KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga Jurnal AgriSains ini dapat diterbitkan sesuai rencana.
Jurnal AgriSains merupakan jurnal hasil penelitian bidang agrikultur yang diterbitkan oleh LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali dalam setahun.
Jurnal AgriSains perdana ini menyuguhkan 3 hasil penelitian dari 3 kelompok bidang ilmu, yaitu Peternakan, Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian. Pada kelompok bidang Peternakan disajikan 4 artikel dengan tema Pengembangan Ternak Sapi di Daerah Aliran Sungai Progo, Studi Kelayakan Usaha Ternak Kambing Peranakan Etawah, Pemanfaatan Tepung Pupa Ulat Sutra Sebagai Pakan Puyuh dan Pemanfaatan Limbah Sapi dan Babi sebagai bio gas, dan pada bidang Agroteknologi dilaporkan pengembangan teknologi pembenihan kacang hijau dan jagung. Sedangkan pada bidang Teknologi Hasil Pertanian disajikan pembuatan stick pisang, dan karak, serta evaluasi retensi vitamin C pada jus jeruk.
Redaksi menyadari penerbitan jurnal perdana ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam.
ISSN : DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv-v
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRA (Bombyx mori)
UNTUK PAKAN PUYUH 1 - 6
(Coturnix-coturnix japonica) JANTAN Sri Hartati Candra Dewidan J. Setiohadi
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO
(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE
TOWARDS BIOGAS PRODUCTION) 7 - 14
Setyo Utomo dan Vita Wahyuningsih
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO
KULONPROGO, YOGYAKARTA 15 - 22
Nur Rasminati dan Setyo Utomo
ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN
USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO
KABUPATEN KULONPROGO 23 - 30
Sundari dan Komarun Efendi
OPTIMASI PERENDAMAN DALAM LARUTAN CaCl2 TERHADAP SIFAT FISIK DAN TINGKAT
KESUKAAN STICK PISANG 31 - 39
Agus Slamet
PENAMBAHAN NATRIUM TRIPOLIFOSFAT DAN CMC (CARBOXY METHYL CELLULOSE)
PADA PEMBUATAN KARAK 40 - 49
Astuti Setyowati
VITAMIN C RETENTION AND ACCEPTABILITY OF ORANGE (Citrus nobilis var. microcarpa)
JUICE DURING STORAGE IN REFRIGERATOR 50 - 55 Chatarina Wariyah
ISSN :
PEMANFAATAN GULMA BABADOTAN DAN TEMBELEKAN DALAM PENGENDALIAN Sitophillus SPP.
PADA BENIH JAGUNG 56 - 67
Dian Astriani
PENGARUH KADAR AIR DAN WADAH SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH KACANG HIJAU DAN POPULASI
HAMA KUMBANG BUBUK KACANG HIJAU
Callosobruchus Chinensis L. 68 - 77 Wafit Dinarto
PEMANFAATAN TEPUNG PUPA ULAT SUTRERA (Bombyx mori) UNTUK PAKAN PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) JANTAN
Sri Hartati Candra Dewi1) dan J. Setiohadi2)
Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta e-mail : candradewisrihartati@yahoo.co.id
1)
Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta 2)
Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta
ABSTRACT
This research was conducted to investigate the effect of the usage of silk worms (Bombyx mori) pupa in rations on male quail performance. It used 120 male quails of 7 days old which were divided in to 5 treatments. Each treatment consisted of 3 replicationa, and 8 quails for eac replication. The level of silk worms (Bombyx mori) pupa meal in rations were respectively 0; 2,5; 5; 7,5; and 10%. The performances were feed consumption, ADG, feed conversion, mortality and carcass weight. This research was designed One Way Completely Randomized Design, and the data were analyzed by variance analysis and the significant results were tested by Duncan’s New Multiple Range Tesr (DMRT). The results showed that the performance of male quail were not affected by the treatment. Feed consumtion were respectively 10,77; 10,74; 10,76; 10,78 and 10,76 g/quail/day. ADG were 2,27; 2,18; 2,10; 2,16 and 2,10 g/quail/day. FFed conversions were 4,73; 4,92; 5,12; 4,97 and 5,12. Carcass weight were 69,16; 68,67; 69,15; 67,40 and 68,19 %. It was concluded that silk worms (Bombyx mori) pupa a meal may be substituting fish meal up to 10 % level of the total rations.
Key words : male quail (Coturnix-coturnix japonica), silk worms (Bombyx mori) pupa meal, performance.
PENDAHULUAN
Dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat telah dilakukan usaha peningkatan produksi di bidang peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menyusun program sebagai tindak lanjut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tentang prospek dan arah pengembangan agribisnis
komoditas unggulan peternakan yaitu sapi, kambing/domba dan unggas (Anonimus, 2005). Selain komoditas unggulan perlu juga didukung dengan pengembangan ternak lain yang mempunyai potensi cukup baik sebagai pemenuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang cukup potensial adalah puyuh (Coturnix-coturnix japonica), yang dapat menghasilkan daging maupun telur. Puyuh betina digunakan
sebagai penghasil telur dan puyuh jantan dapat diarahkan sebagai penghasil daging.
Dalam mendukung usaha peternakan, faktor ketersediaan pakan sangat penting untuk diperhatikan baik kuantitas maupun kualitasnya. Ketergantungan komponen impor bahan penyusun ransum unggas yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri perunggasan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari sumber pakan baru sebagai alternatif bahan pakan yang dari segi harga terjangkau tetapi mempunyai kualitas yang baik.. Masalah pakan dapat diatasi dengan cara pengembangan peternakan secara integratif dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah industri yang dapat digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera.
Pupa ulat sutera (Bombyx mori) merupakan limbah budidaya ulat sutera dan proses pemintalan benang sutera. Kandungan protein tepung pupa ulat sutera cukup tinggi yaitu 54,9 % (Murtidjo, 1991). Mathius dan Sinurat (2001) mnyatakan bahwa dalam memanfaatkan limbah pertanian maupun industri perlu diperhatikan faktor kontinuitas ketersediaan, kandungan gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terhadap kinerja puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan.
MATERI DAN METODE Materi
Penelitian ini menggunakan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan umur 7 hari sebanyak 120 ekor. Obat-obatan yang digunakan adalah vaksin New Castle Disease (NCD) strain lasota, vitamin, antibiotic dan desinfektan. Kandang yang digunakan untuk penelitian adalah kandang kelompok model bertingkat, terbuat dari kayu, bamboo dan kawat strimin, sebanyak 15 buah. Ukuran kandang 50 cm x 40 cm x 30 cm, dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.
Peralatan yang digunakan adalah timbangan Ohaus berkapasitas 2610 gram, dengan kepekaan 0,1 gram. Seperangkat alat untuk menyembelih puyuh.
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini tersusun dari jagung, bekatul, tepung ikan, kapur dan tepung pupa ulat sutera. Penyusunan ransum penelitian dibedakan atas aras tepung pupa ulat sutera pada masing-masing perlakuan yaitu 0 %; 2,5 %; 5 %; 7,5% dan 10 % untuk mensubtitusi tepung ikan.
Metode
Metode pembuatan tepung pupa ulat sutera yaitu kepompong
ulat sutera dicuci dengan air bersih kemudian dipisahkan antara kepompong dan pupa dengan menggunakan gunting. Setelah itu ditiriskan dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digiling menjadi tepung.
Puyuh dikelompokkan dalam 15 kandang, sehingga tiap kandang berisi 8 ekor. Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ulangan.
Data yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, persentase karkas dan mortalitas. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s
New Multiple Range Test (DMRT) (Astuti, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan rata-rata per ekor selama penelitian untuk setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan dengan menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum terdapat perbedaan yang tidak nyata. Konsumsi pakan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain umur, ukuran tubuh, palatabilitas, dan kualitas pakan yang diberikan. Konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata tersebut karena ransum tiap perlakuan
Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 10,96 10,65 10,70 10,77 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 10,76 10,69 10,76 10,74 R2 (Tp.pupa 5 %) 10,75 10,76 10,76 10,76 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 10,78 10,77 10,72 10,76 R4 (Tp.pupa 10 %) 10,74 10,77 10,77 10,76 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
disusun mendekati iso energi dan protein. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyudi (2003) dan Budi (2005) yang meyatakan bahwa pakan yang mempunyai nutrient yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama.
Pertambahan Bobot Badan Rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) untuk
setiap perlakuan tertera pada tabel 1. Pertambahan bobot badan hasil penelitian berkisar antara 2,02 – 2,33 g/ekor/hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum berbeda tidak nyata. Perbedaan pertambahan bobot badan yang tidak nyata disebabkan karena kandungan nutrient dalam ransum yang dikonsumsi
mempunyai kandungan protein dan energi yang relatif sama. Pertambahan bobot badan yang berbeda tidak sama ini disebabkan karena konsumsi pakan yang sama antar perlakuan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soeparno (1994), yang menyatakan bahwa konsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selain jenis kelamin, hormon, kastrasi,
Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan setiap perlakuan (g/ekor/hari) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 2,26 2,23 2,33 2,27 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 2,17 2,10 2,28 2,18 R2 (Tp.pupa 5 %) 2,02 2,16 2,13 2,10 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 2,05 2,30 2,15 2,16 R4 (Tp.pupa 10 %) 2,04 2,05 2,22 2,10 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
genetik dan jenis pakan yang diberikan. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mempunyai pengaruh yang sama dengan tepung ikan,
sehingga tepung tersebut dapat digunakan bahan pakan sebagai
alternatif yang dapat menggantikan tepung ikan.
Konversi Pakan
Konversi pakan rata-rata untuk tiap perlakuan tertera pada tabel 3. Konversi pakan hasil penelitian berkisar antara 4,59 – 5,33.
Tabel 3. Rata-rata konversi pakan setiap perlakuan Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0 (Tp.pupa 0 %) 4,84 4,77 4,59 4,73 R1 (Tp.pupa 2,5 %) 4,95 5,09 4,71 4,92 R2 (Tp.pupa 5 %) 5,33 4,98 5,05 5,12 R3 (Tp.pupa 7,5 %) 5,25 4,68 4,98 4,97 R4 (Tp.pupa 10 %) 5,26 5,25 4,85 5,12 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konversi pakan antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang berbeda tidak nyata juga. Konversi pakan merupakan
perbandingan antara konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan, sehingga apabila kedua peubah tersebut tidak beda nyata makan konversi pakannya juga akan berbeda tidak nyata. Penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dengan
hasil yang berbeda tidak nyata dengan tepung ikan, maka tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan.
Konversi pakan merupakan nilai yang menggambarkan kemampuan unggas untuk mengubah pakan menjadi daging. Hasil penelitian ini yang menghasilkan konversi pakan antara 4,59 – 5,33, hasil ini lebih rendah dibandingkan pakan yang menggunakan bahan pakan enceng gondok. Hasil penelitian
Wahyudi (2003) yang
menggunakan tepung enceng gondok dalam ransum puyuh jantan menghasilkan konversi pakan sebesar 5,68 – 7,82. Dengan demikian penggunaan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) lebih baik dari pada tepung enceng gondok. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1999) yang menyatakan bahwa semakin kecil konversi pakan menunjukkan bahwa ramsum yang dikonsumsi dapat digunakan lebih efisien
dalam menghasilkan peningkatan bobot badan.
Persentase Karkas
Rata-rata persentase karkas yang dihasilkan untuk setiap perlakuan tertera dalam tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak nyata pada persentase karkas puyuh jantan. Persentase karkas merupakan hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot hidup dikalikan 100 %., oleh karena bobot badan berbeda tidak nyata maka persentase karkaspun juga berbeda tidak nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (1994) dan hasil penelitian Dewi (2007), bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot hidup dan bobot karkas, apabila bobot hidup dan bobot karkas berbeda tidak nyata maka persentase karkasnya juga berbeda tidak nyata.
Tabel 4. Rata-rata persentase karkas setiap perlakuan (%) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata (ns) R0(Tp.pupa 0 %) 69,51 68,90 69,06 69,16 R1(Tp.pupa 2,5 %) 68,72 68,95 68,34 68,67 R2(Tp.pupa 5 %) 68,48 69,50 69,46 69,15 R3(Tp.pupa 7,5 %) 64,93 67,13 70,16 67,40 R4(Tp.pupa 10 %) 68,01 68,60 67,97 68,19 Keterangan : ns = berbeda tidak nyata
Hasil penelitian persentase karkas puyuh jantan dengan perlakuan ransum dengan pakan yang menggunakan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) rata-rata berkisar antara 67,40 – 69,16 %. Hasil ini lebih baik dari persentase
karkas yang menggunakan tepung gangsing yang berkisar antara 60,08 – 68,09 % (Budi, 2005). Mortalitas
Selama penelitian tidak terjadi kematian puyuh, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dalam ransum tidak menyebabkan kematian puyuh. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrient ransum dari bahan yang disusun dengan tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) mampu memenuhi kebutuhan nitrisi puyuh jantan, dan juga tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) tidak mengandung bahan yang merugikan puyuh jantan.
KESIMPULAN
Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan dalam ransum puyuh jantan mensubtitusi tepung ikan sampai pada aras 10 % tanpa mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan. DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2005, RPPK : Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan
Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Astuti, M., 1980, Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Budi, S. , 2005, Pengaruh Aras Tepung Gangsing (Sesarma reticulatum) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Dewi, S. H. C., 2007, Pengaruh
Pemberian Gula dan Insulin sebelum Pemotongan terhadap Kualitas Fisik Daging Domba. Buletin Pertanian dan Peternakan Vol. 8 N0. 17.
Kamal, M. 1999, Nutrisi Ternak Dasar. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mathius I.W dan A.P. Sinurat,
2001, Pemanfaatan Bahan Baku Pakan Inkonvensional Untuk Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun 2001. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Murtidjo, B. A., 1991, Pedoman
Beternak Ayam Broiler. Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahyudi, A. 2003. Pengaruh Penggunaan Tepung
Enceng Gondok
(Eichornia crassites) dalam Ransum terhadap Kinerja Burung Puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) Jantan. Fakultas pertanian, Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta
DOSIS CAMPURAN LIMBAH SAPI DENGAN LIMBAH BABI TERHADAP PRODUKSI GASBIO
(THE MIXTURE OF CATTLE AND PIGS WASTE DOSAGE TOWARDS BIOGAS PRODUCTION)
Setyo Utomo1) dan Vita Wahyuningsih2) 1)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, UMB Yogyakarta
2)Alumni Peternakan, UMB Yogyakarta ABSTRACT
This research was aimed to know biogas production consist of the mixture of cattle and pigs waste within three levels. The treatment consist of 75% pigs waste; 25 % cattle waste (P1), 50% pigs waste; 50% cattle waste (P2) and 25% pigs waste; 75% cattle waste (P3). The observed variable consist of dry matter waste (DM), substrat, pH, C/N ratio, environmental and digester temperature, the maximal biogas product and the total of biogas. The research showed that the DM waste of P1 = 29,35%; P2= 25,98% and P3 = 80,88%. The DM of substrat P1 = 7,94%, P2 = 7,84% and P3 = 7,76%. pH of P1 = 7,59; P2 and P3 = 7,44. CN ratio P1 = 11,82; P2 = 10,32 and P3 = 8,81. The avarage of digester temperature P1 = 26,160C; P2 = 26,380C and P3 = 26,280C with the environmental temperature was between 270C to 300C. The total of biogas production within 30 days retention was P1 = 2195,20 (l/1 atm/290C); P2 = 2098,77 0C (l/1 atm/290C) and P3 = 2224,83 (l/1 atm/290C) showed the different was not significant, while the biogas production tended to be higher rather than (P1) and (P2) and the maximum biogas production reached on the 21st to 25th day.
Key words : Biogas production, Pig waste, Cattle waste, level
PENDAHULUAN
Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produksi ternak dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembang usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan teknologi pembuatan gasbio (Basuki, 1985). Pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, bertujuan memanfaatkan bahan limbah menjadi sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah (Suriawirya, 2004). Teknologi pembuatan biogas dari kotoran ternak berpeluang menjadi solusi pilihan untuk keterbatasan ketersediaan bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta peningkatan produksi ternak
menuju swasembada daging serta mendorong perbaikan lingkungan (Sembiring, 2005)
Gasbio sebagai sumber bahan bakar dapat diperoleh melalui proses fermentasi anaerob dari limbah pertanian maupun limbah peternakan yang mengalami biokonversi menjadi bahan bakar yang lebih berguna. Komposisi gas bio terdiri dari gas methan (CH4), Karbondioksida (CO2), dan sedikit Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen (N2), Karbonmonoksida (CO) serta Oksigen (O2) (Sihombing, 1980). Diantara komponen penyusun gas bio tersebut yang berfungsi sebagai bahan bakar adalah gas methan (CH4) (Soejono et al. 1989)
Produksi gas methan untuk setiap proses produksi produksi berbeda-beda, termasuk antara feses ternak babi dan ternak sapi potong, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah mikrobia dan C/N rasio feses. Menurut Hadi (1982) rasio C/N feses babi adalah 25 lebih besar dari pada sapi 18. Terdapat perbedaan jumlah mikrobia antara feses babi dan feses sapi potong. Selain itu banyak sedikitnya jumlah mikrobia dipengaruhi oleh perbedaan jenis makanan, umur ternak, kondisi pengumpulan feses, cara memelihara dan juga faktor lingkungan (Anonimus, 1980).
MATERI DAN METODA Penelitian ini di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, DIY dan di
Lab.Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah larutan feses sapi potong dan feses babi masing-masing sebanyak 123,09 kg. Alat yang digunakan adalah digester berupa drum plastik bekas dengan kapasitas 125 l,digunakan sebanyak 9 buah, Gas holder, terbuat dari plastik berukuran 60 kg, 9 buah, selang kecil, digunakan untuk mengukur tekanan gas berbentuk “U”, thermometer, diperlukan 10 buah thermometer air raksa, pH Meter, digunakan untuk mengukur derajat keasaman isian digester (substrat), drum bekas dan ember dan Kompor gas.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan tiga level perlakuan dan tiga ulangan yaitu campuran feses babi dengan feses sapi . Sebelum substrat dimasukkan kedalam digester dilakukan pengamatan berupa kadar bahan kering feses dan substrat serta pengukuran C/N rasio. Pengamatan setelah pengisisan substrat adalah pengukuran pH, , pengukuran suhu lingkungan dan digester serta pengukuran produksi gas bio. 1. Analisis kadar bahan kering
feses dan substrat 2. Pembuatan substrat
Substrat dibuat dengan perbandingan feses dengan air 1 : 3 dari drum berkapasitas 125 l diisi 7/8
bagian x 125 l = 109,38 kg/l (kotoran + air)
a. P1 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 20,51 kg, feses sapi 6,84 kg dan airnya sebanyak 82,04 l b. P2 digunakan substrat yang
terdiri dari feses babi sebanyak 13,675 kg, feses sapi 13,675 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.
c. P3 digunakan substrat yang terdiri dari feses babi sebanyak 8,84 kg, feses sapi 20,51 kg dan airnya sebanyak 82,04 l.
3. Pengukuran derajat keasaman, temperatur digester dan temperatur lingkungan
4. Pengukuran gas bio
Setelah digester di isi dengan substrat (P1), (P2) dan (P3) dan pengisian dilakukan sampai hampir penuh yaitu 7/8 bagian drum berkapasitas 125 litter, pengukuran tekanan gas bio dalam slang yang diisi air indicator dimulai pada hari ke dua setelah substrat dimasukan kedalam digester. Untuk mengukur tekanan dalam gas holder digunakan rumus:
P =
.
g
.
h
13
1
Produksi gas bio dihitung berdasar tekanan suhu atmosfir 290C dengan menggunakan rumus Boyle-Gay Lussac 2 2 2 1 1 1
.
.
T
V
P
T
V
P
Analisis DataPenelitian ini menggunakan Complletely Randomized Design (CRD) pola searah, dengan analisis data adalah analisis variansi. (Astuti, 1980).
Hipotesis
Produksi gas bio dipengaruhi oleh macam/level
substrat / campuran (feses sapi dan feses babi).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis bahan kering Feses dan substrat, pH serta C/N rasio
Analisis bahan kering (BK) feses (P3) sebesar 33,80%, lebih besar dari (P1) 29,35% dan (P2) 25,98%. Perbedaan BK terjadi karena pengaruh pakan, umur
P : Tekanan dalam
gas holder
g :
Gayagrafitasi bumi
h : Selisih permukaan air dalam
manometer
P1 : Tekanan gas dalam 1 atm P2 : Tekanan gas dalam gas holder V1 : Volume gas pada tekanan 1 atm V2 : Volume gas dalam gas holder T1 : Suhu lingkungan (
0 Kelvin) T2: Suhu dalam gas holder (0 Kelvin)
ternak, jenis ternak dan besar kecilnya ternak. Selengkapnya
data BK adalah sbb.:
Tabel 1. Kadar bahan kering feses, substrat, pH dan C/N rasio
Perlakuan BK. Feses ( % ) BK Substrat ( % ) pH C/N rasio P1 29,35 7,94 7,59 11,82 P2 25,98 7,84 7,52 10,32 P3 33,80 7,76 7,44 8,81
Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
Kadar BK substrat masih dalam kisaran normal yaitu (P3) sebesar 7,76 %, (P2) 7,84% dan (P1) 7,94%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Basuki, 1990) bahwa kadar bahan kering substrat berada pada kisaran 7 – 9 %.
Derajat keasaman (pH) P3 sebesar 7,44%, P2 sebesar 7,52% dan P1 sebesar 7,59%. Wibowo et al (1985) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme dibutuhkan kisaran pH 6 – 8, sedangkan yang paling ideal 7,4 (Blot, 1976). Suriawirya dan Sastramiharja (1980), menambahkan bahwa fermentasi anaerob dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan gas bio secara optimal pada kisaran pH 6,8 – 8. Pada pH dibawah 6,8, misalnya 6,2, aktivitas mikroorganisme metanogenik menurun sedang bakteri asetogenik yang menghasilkan asam asetat terus meningkat dan mengakibatkan produksi gas bio menurun (Sihombing, 1997).
Hasil penelitian menunjukan kandungan C/N rasio (P3) adalah 8,81, (P2) adalah 10,32
dan (P1) adalah 11,82. Imbangan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan organik sangat menentukan kehidupan dan aktifitas mikroorganisme. Imbangan C/N yang optimum bagi mikroorganisme adalah 25 – 30 % (Surajudin et al, 2006).
Ratio C/N dalam bahan organik sangat mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam memproduksi gas bio. Bila C/N terlalu tinggi populasi dan aktivitas mikroorganisme rendah akibatnya produksi gas bio menjadi rendah atau mungkin tidak terbentuk samasekali dan apabila C/N terlalu rendah akan mengurani nitrogen yang akan berubah menjadi ammonia dan meracuni bakteri (Hadi, 1982).
B Proses gas bio
Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan sebesar 28,16 0C dengan kisaran 18 – 32 0C.
Tabel 2. Suhu lingkungan dan suhu digester
Perlakuan Suhu digester (0C) Suhu lingkungan (0C)
P1 26,16 28,16
P2 26,38 28,16
P3 26,28 28,16
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu digester dari (P1) 26,16 0C, (P2) 26,38 0C dan (P3) 26,28 0C, suhu tersebut masih pada kisaran yang normal meskipun belum ideal untuk proses pembentukan gas bio. Fermentasi dapat berlangsung bila suhu lingkungan dan suhu digester berkisar antara 5 – 55 0C, sedangkan suhu digester yang ideal antara 32 – 35 0C (Sihombing, 1997).
Suhu digester berada dibawah suhu lingkungan ideal dan suhu digester mengalami
perubahan hampir sama dengan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meynell (1976) bahwa temperatur kerja penghasil gas bio sangat tergantung pada temperatur lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan, temperatur didalam pencerna (digester) gas bio semakin tinggi. Produksi gas bio akan menurun akibat perubahan temperatur yang mendadak dalam digester. Perubahan temperatur yang tiba-tiba melebihi 3 0C akan mempengaruhi proses produksi gas bio (Hadi, 1980).
C Produksi gas bio
Volume gas bio yang di produksi setiap perlakuan tidak selalu sama. Adanya keteraturan yang sama yaitu bahwa produksi gas bio bervariasi dari ke hari namun cenderung mengalami kenaikan sampai dengan hari ke 20, tetapi setelah mancapai
puncak produksi akan terjadi penurunan secara gradual. Hal ini di sebabkan oleh penurunan aktivitas bakteri anaerob, dengan adanya penurunan bahan organik yang telah mengalami degradasi menjadi komponen lain.
1. Pengukuran produksi gas bio
Tabel 3: Produksi gas bio dari campuran feses babi dengan feses sapi per 10 hari (l/1 atm/29 0C) Perlakuan Waktu Retensi P1 P2 P3 0 – 10 325.62 240.95 262.63 11 - 20 786.48 686.00 810.02 21 - 30 1083.10 1171.82 1152.18 Jumlah 2195.20 2098.77 2224.83 Reratans 731.73 699.59 741.61
ns. Rerata produksi gasbio ketiga perlakuan substrat berbeda tidak beda nyata (non significant).
Hasil penelitian produksi gas bio selama 30 hari menunjukkan bahwa puncak produksi dari (P1) dicapai pada hari ke 20 sebesar 114,16 l, (P2) dicapai pada hari ke 25 sebesar 128,37 l dan (P3) dicapai pada hari ke 24 sebesar 113,17 l. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio substrat, apabila C/N rasio substrat mendekati C/N rasio yang ideal yaitu 25 – 30 maka proses fermentasi akan lebih cepat sehingga produksi gas bio yang diproduksi akan lebih cepat.
Hasil analisa statistik untuk ketiga perlakuan macam substrat menunjukkan adanya perbedaan yang tidak nyata. Hal itu disebabkan semua perlakuan
substrat mempunyai pH, suhu lingkungan ,suhu digester dan bahan kering substrat yang hampir sama. Adanya kecenderungan perbedaan dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi produksi gas bio seperti C/N rasio. Selain itu (P3) masih banyak aktifitas mikrobia dan zat-zat lainnya seperti protein, lemak, lignin dan lainnya yang dapat diurai menjadi gas methan. Fakta menunjukan bahwa perlakuan dengan slah satu bahan (feses) yang banyak memiliki kecenderungan produksi gasbio yang relative lebih banyak, hal ini disebabkan karena tingginya C/N rasio pada babi dan didukung banyaknya mikroorganisme yang mampu merubah gas methan yang terdapat pada feses sapi.
Puncak produksi gasbio sesuai dengan Basuki et al (1990) yaitu bahwa puncak produksi gasbio dicapai pada hari ke 21 – 25 dan setelah mencapai puncak produksi gas bio akan menurun secara gradual. Pada hari ke 30 gas bio masih tetap berproduksi ini dimungkinkan karena masih adanya substrat yang dapat digunakan untuk proses pembentukan gas bio, sehingga prses fermentasi tetap berlangsung.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 dan puncak produksi dicapai pada hari ke 21 - 25 dengan bahan baku sebanyak 27,35 kg. Produksi gas bio yang paling baik dari ketiga level adalah
(P3) yaitu sebesar 2224,83 l dan terendah adalah (P2) sebesar 2098,77 l.
Saran
Dalam pembuatan gasbio sebaiknya menggunakan substrat dengan campuran feses babi 25% dengan feses sapi sebanyak 75%, karena akan dihasilkan produksi gasbio terbanyak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1980. Guide Book on Bio Gas Development. Energy Resources Development Series 21. United Nations Publ., Bangkok.
Astuti, M., 1980. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik I. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Basuki, P., 1985. Pemanfaatan Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Rumah Tangga. Seminar on Development of Tropical Resources and Efective Utilization of Energi in Agriculture. 21 – 22 Januari 1985, Yogyakarta.
Basuki, P., G. Murjito dan N. Ngadiono. 1990. Hubungan Antara Umur Isian Bahan Baku Dengan Produksi Gas Bio Pada Kotoran Sapi Potong. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Blot, P. de. S. J., (1976). Recycling Proses dalan Integrated Rural, Development system, Yayasan Realina, Yogyakarta.
Hadi, N., 1980. Sumber Gas sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa. Seminar Nasional Lembaga Penelitian Ternak. 28-29 Januari 1979, Jakarta. Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982,
Pra Rencana Pabrik Bio Gas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
Meynell., J. P. 1976. Methane Planning a Digester. Prism Press, Stable Court, Calmington, Dorchester, Dosert.
Sihombing, D. T. H. 1980, Prospek Penggunaan Bio Gas untuk Energi Pedesaan di Indonesia, LPL, No II Tahun XIV, LEMIGAS, Jakarta. Sihombing, D. T. H. 1997, Ilmu
Ternak Babi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Sihombing, D. T. H. 2000, Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Soejono, M., E.S. Soetarto, R.
Utomo, P. Basuki dan Harsoyo. 1989. Pengaruh Amoniasi Urea Jerami Padi Terhadap Kotoran Sapi Untuk Produksi Gas Methana. Laporan Penelitian No. 50/L. PAU/UGM/215/1989. PAU. Bioteknologi UGM, Yogyakarta. Suriawiria, U. dan I. Sastramihardja. 1979. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis didalam Proses Pembentukan Gas Bio Serta Penggunaan Starter Efektif didalamnya.
Lokakarya Pengembangan Energi Non Konvensional.
Direktorat Jenderal Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Suriawirya, U, 2004, Menuai Biogas dari Limbah, Info Teknologi, Bandung.
Sembiring, I, 2005, Biogas, Alternatif Ketika BBM Menipis, Waspada Online, Fakultas Pertanian,
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PROGO KULONPROGO, YOGYAKARTA
Nur Rasminati*) dan Setyo Utomo*)
*)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
E-mail : nurrasminati@yahoo.co.id ABSTRACT
The objectives of this research was to know the potency of DAS Progo for beef cattle development based on capability of forage production, carrying capacity and the level of animal productivity. The number of 60 respondents that live around DAS Progo, Lendah district, Kulon Progo regency were used in this research. The data were feed productivity, average daily gain (ADG) and calving interval were analyzed descriptively. The result showed that 96,66% respondents have areas DAS that is planted with forage. While the rest don’t have DAS area, but they undirectly used by buying from owner of DAS area. The productivity of elephant grass is 47,2 ton/Ha/defoliation, so it’s predicted the production in one year is 424,8 ton and can receive 33,25 UT of cattle. The ADG for PO and Simmental cross at 0 – 12 months are 0,476 g/head vs 0,509 g/head, 12 – 30 months are 0,379 g/head vs 0,445 g/head, more than 30 month are 0,253 g/head vs 0,278 g/head. The calving interval for PO dan Simmental are 15,33 and 13,67 months. It could be concluded that DAS Progo area in Kulonprogo regency has potency for the cattle development. The Simmental cross is appropriate to be developed in DAS Progo, it has growth rate and calving interval better than PO cattle.
Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area
PENDAHULUAN
DAS Progo menyimpan potensi dalam menghasilkan hijauan pakan ternak terutama rumput gajah dan rumput star grass yang berkembang pesat dengan produksi yang melimpah meskipun tanpa pembudidayaan yang intensif. Produksinya hampir 100 ton per ha per defoliasi. Hal ini didukung oleh kondisi media tumbuh yang sangat subur karena tersedianya unsur-unsur hara dalam tanah. Proses terbentuknya tanah di sepanjang DAS Progo
disebabkan adanya endapan sungai yang selalu terjadi pada saat air melimpah dan tanaman yang ada, sehingga endapan maupun seresah bahan organik yang terbawa air akan tertahan, akhirnya menjadi media tumbuh tanaman yang sangat subur. Areal yang berjarak sekitar 700 m dari batas pemukiman penduduk merupakan lahan yang dapat ditanami hijauan pakan dan merupakan tanah tidak bertuan.
Melihat fakta yang ada dapat dipastikan bahwa
pengembangan ternak sapi maupun ternak ruminansia lainnya dapat dilakukan secara intensif di wilayah tersebut. Kondisi yang ada sekarang menunjukkan bahwa ketersediaan hijauan belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat yang mempunyai ternak sapi dengan pola pemeliharaan yang masih tradisional. Mereka justru memberi pakan jerami padi dengan alasan jerami padi lebih efisien karena sekali mendatangkan dengan truk bisa dapat digunakan berhari-hari. Hal ini dapat dipahami karena pemeliharaan ternak hanya merupakan usaha sambilan dan hanya sekedar sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mendapatkan uang kontan.
Permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah sapi yang berada di sepanjang DAS Progo belum berproduksi secara optimal sehingga keuntungan belum dapat dirasakan oleh petani peternak. Mereka belum memanfaatkan secara maksimal potensi DAS sebagai penyedia rumput atau hijauan pakan. Masyarakat perlu melihat secara langsung bahwa wilayahnya berpotensi sebagai pusat pengembangan ternak sapi karena keberadaan DAS dengan ketersediaan hijauan yang cukup tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi DAS Progo terhadap pengembangan ternak sapi di masyarakat sekitar terutama dalam penyediaan hijauan pakan, kemampuan produksi rumput, daya tampung
ternak, produktivitas ternak baik produksi maupun reproduksinya.
METODA PENELITIAN
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
desa
Ngentakrejo,
kecamatan
Lendah yang berada di wilayah
aliran
sungai (DAS)
Progo
Kulonprogo
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Peternak sapi, peternak yang diambil sebagai responden sebanyak 60 orang yang memiliki minimal 1 ekor ternak sapi dalam berbagai fase. 2. Ternak sapi, dibutuhkan
minimal 60 ekor sapi dalam berbagai fase.
3. Hijauan pakan, yang digunakan adalah hijauan pakan yang tumbuh di sepanjang DAS Progo yaitu rumput alam, rumput gajah dan star grass.
Metoda
Penelitian ini menggunakan metoda survey terhadap 60 petani peternak responden sebagai sampel yang berada di desa Ngentakrejo, kecamatan Lendah, Kulon Progo terutama yang berada di sepanjang DAS Progo.
Data yang diamati meliputi kinerja produksi sapi yang meliputi bobot badan pada setiap fase (pedet, fase pertumbuhan sampai dengan pubertas) dan ADG pada
masa pertumbuhan dan kinerja reproduksi seperti Calving Interval dan S/C serta data produksi rumput, Carrying Capacity dan jenis rumput unggul yang ada di wilayah DAS Progo.
Analisis Data
Data yang diperoleh baik data produktivitas hijauan maupun ternak, yang ada di DAS Progo Kulonprogo dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Luas wilayah desa Ngentakrejo adalah 540,8865 Ha terdiri atas pemukiman, ladang, jalan, kuburan dan lahan DAS Progo. Kondisi DAS yang cukup luas sebagai lahan hijauan merupakan potensi yang baik untuk usaha pengembangan peternakan terutama ternak sapi potong. Diperkirakan desa ini memiliki lahan DAS sekitar 399 Ha. Kepemilikan lahan DAS
Ketersediaan
lahan
hijauan pakan di sepanjang
DAS Progo akan menentukan
jumlah hijauan pakan ternak
yang dapat disediakan sebagai
pakan. Pada kenyataannya
sebagian besar lahan DAS
ditanami hijauan pakan berupa
rumput unggul (rumput gajah
maupun star grass). Sehingga
secara langsung sumber daya
DAS
akan
menentukan
keberhasilan usaha ternak sapi
potong di DAS Progo.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di desa Ngentakrejo (96,66%) memiliki lahan DAS yang ditanami dengan hijauan pakan. Sedangkan sisanya tidak memiliki lahan DAS namun secara tidak langsung memanfaatkannya dengan cara membeli rumput kepada pemilik lahan DAS. Kepemilikan lahan DAS berlangsung secara turun temurun dan tidak dibuktikan oleh tanda bukti apapun, hanya berdasarkan siapa yang terlebih dahulu memanfaatkannya. Selengkapnya data kepemilikan lahan DAS tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kepemilikan lahan daerah aliran sungai (DAS) Progo
Jumlah responden
Luas DAS (m2) Orang Persentase
0 2 3,33 100 – 500 33 55 600 – 1000 8 13,33 1100 – 1500 4 6,67 1600 – 2000 6 10 > 2000 7 11,67 Jumlah 60 100
Daya tampung DAS Progo
Fungsi DAS Progo bagi masyarakat disekitarnya adalah sebagai lahan sawah / pertanian tadah hujan, lahan hijauan pakan ternak, tanaman pertanian seperti jagung, pisang, singkong, dan bahkan sebagai lahan penambangan pasir. Santosa (1992) menyatakan bahwa DAS merupakan bagian integral dari kesatuan wilayah teritorial yang mempunyai potensi untuk mendukung bidang pertanian termasuk bidang peternakan.
Fungsi sinergis yang telah berlangsung selama ini adalah sebagai lahan penyedia hijauan pakan ternak khususnya ternak sapi. Kebanyakan tanaman rumput yang ditanam adalah rumput gajah, rumput raja dan rumput star grass serta rumput alam yang tumbuh secara liar. Pengelolaan hijauan pakan unggul belum dilakukan secara intensif, hanya dalam pemberian pupuk saja sedangkan pendangiran jarang dilakukan sehingga produktivitasnya belum optimal.
Cara penanaman rumput gajah dan raja dilakukan dengan pols (akar) bukan menggunakan stek, sehingga diharapkan akan mempunyai titik tumbuh yang lebih banyak dan produksinya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stek. Luas lahan di sepanjang DAS yang diperkirakan sekitar 420 Ha di wilayah Ngentakrejo, hal ini dapat menjadi potensi untuk pengembangan usaha peternakan karena tersedianya lahan untuk sumber pakan yang cukup luas.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa produksi rumput gajah adalah sebesar 47,2 ton/Ha/defoliasi, sehingga diperkirakan produksi hijauan selama satu tahun adalah 424,8 ton dan menampung sapi dewasa sekitar 33,25 UT/th. Produksi rumput gajah di lokasi penelitian belum optimal (optimal sekitar 150 ton/ha/defoliasi), karena rumput gajah di sepanjang DAS walaupun diberi pupuk, tetapi belum sesuai standar kebutuhan. Hal ini disebabkan peternak kurang memiliki modal untuk membeli sarana produksi termasuk membeli pupuk. Para peternak lebih mengutamakan memupuk tanaman pertaniannya dibandingkan dengan tanaman rumput.
Pemberian Pakan
Ketersediaan pakan secara kontinyu, murah dan mudah didapat merupakan kunci sukses keberhasilan suatu usaha peternakan. Biaya pakan menduduki porsi sekitar 70 – 80 % dari total biaya produksi. Atas dasar itulah pemenuhan pakan secara cukup dan sempurna merupakan suatu keharusan dalam suatu usaha peternakan, khususnya pada ternak ruminansia kebutuhan akan hijauan pakan ternak juga menjadi sangat penting.
Umumnya sapi di wilayah DAS mengkonsumsi pakan berasal dari hijauan pakan di lahan DAS (100%) meskipun harus menambah jerami dari daerah lain dengan alasan kepraktisan dalam teknis memotong hijauan terutama
dari aspek waktu. Sedangkan berdasarkan jenis rumputnya masyarakat DAS Progo sebagian besar memberikan jenis rumput gajah sebagai pakan ternak sapinya (86,67%) sedangkan sisanya (13,33%) memberikan campuran rumput gajah dengan rumput alam yang juga diambil dari lahan DAS.
Defoliasi terhadap rumput gajah maupun rumut raja dilakukan pada umur 30 – 40 hari, dengan alasan penampilan rumput belum terlalu tua dan ternak lebih menyukainya. Sebagaimana pendapat Reksohadiprojo (1985) yang menyatakan bahwa sebaiknya pemotongan rumput gajah adalah umur 6 – 8 minggu atau dilakukan paling baik adalah pada umur 6 minggu (42 hari).
Jumlah pemberian rumput gajah per hari per ekor sapi adalah sekitar 25 kg untuk sapi dewasa (sekitar 18 bulan) dengan taksiran berat sekitar 350 kg sehingga masih diperlukan lagi hingga mencapai 35 kg/ekor/hari. Meskipun ternak tersebut juga diberi pakan tambahan atau pakan penguat yang terdiri atas bekatul, ampas tahu, kulit kedelai dan ketela. Rata-rata responden memberikan pakan penguat berupa bekatul (83,34%), bahan campuran (ampas tahu, bekatul, kulit kedelai dan ketela) sebanyak 1,66% dan hanya 1,66 yang memberikan ampas tahu dan sebanyak 13,34% masyarakat DAS tidak memberikan bahan pakan penguat.
Capaian Produksi Sapi
Sebagian besar masyarakat di sepanjang DAS Progo memiliki ternak sapi potong rata-rata 2 ekor (41,66%) atau berada pada jumlah kepemilikan antara 1 – 5 ekor, dengan status kepemilikan adalah milik sendiri (61,6%), gaduhan (28,3%) dan lain-lain (10%). Dari jumlah tersebut bangsa sapi yang dipelihara adalah sapi PO (52,2%) dan sapi Simental (47,8%). Umur sapi yang dipelihara masyarakat di DAS Progo terbanyak adalah anakan sampai dengan umur 30 bulan (76,31%) dan sisanya di atas 30 bulan.
Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sudah terdapat kesadaran masyarakat untuk beternak sapi dari bangsa unggul yang lebih menguntungkan. Meskipun dari status kepemilikan ternak sapi terbesar adalah milik sendiri namun untuk pengembangan usaha masih dibutuhkan permodalan karena rata-rata kepemilikan hanya 2 ekor.
Prospek
pemeliharaan
sapi masyarakat DAS cukup
baik terutama ditinjau dari umur
ternak
sapinya
disamping
bangsa
yang
dipelihara.
Dengan umur sapi anakan
sampai
dengan
30
bulan
menunjukkan
sapi
dalam
kisaran umur produktif baik
untuk
tujuan
penggemukan
maupun
tujuan
pembibitan.
Peningkatan
produktivitas
sangat
mungkin
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
kesadaran beternak sebagai
suatu kegiatan usaha. Indikator
kinerja sapi dapat ditentukan
berdasarkan capaian
Avarage
Daily Gain
(ADG) dan dari
kinerja
reproduksinya
sudah
tergambarkan dalam ukuran CI
(
Calving Interval
).
ADG sapi DAS Progo
Angka ADG menunjukkan hasil capaian dari seekor ternak (sapi) yang merupakan gambaran prestasi dari berbagai pengaruh baik genetik maupun lingkungan yang ada dimana sapi tersebut berada dan dipelihara. Pengaruhnya akan sangat nyata terutama pada masa pertumbuhan
sapi (0 – 18 bulan) atau sebelum pubertas dicapai. Capaian ADG untuk sapi dengan bangsa yang berbeda yaitu PO dan Simmental dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan rata-rata ADG sapi PO dan Simmental pada umur pertumbuhan anakan sampai dengan 12 bulan diketahui adalah 0,476 g/ekor/hari vs 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ADG antar ke dua bangsa disebabkan karena genetik yang berbeda, sapi PO merupakan keturunan sapi-sapi Bos Zebu yang memiliki kemampuan pertumbuhan lebih lambat jika dibandingkan dengan Simmental yang merupakan keturunan Bos taurus.
Tabel 2. Capaian ADG sapi DAS berdasarkan bangsa yang berbeda Avarage Daily Gain (ADG) g/ekor Umur (bulan ) Peranakan Ongole (PO) Simmental
0 – 12 0,476 0,509
13 - 30 0,379 0,445
> 30 0,253 0,278
Williamson dan Payne
(1993) menyatakan bahwa
rata-rata ADG dari mulai sapih
sampai siap potong untuk
sapi-sapi
keturunan
Bos
taurus
sebesar 0,84 kg sedangkan
sapi-sapi keturunan
Bos indicus
sebesar
0,33
kg.
Menurut
Reksohadiprodjo
(1985),
kenaikan berat badan harian
sapi keturunan
Bos taurus
lebih
besar dibandingkan dengan
Bos
indicus
karena secara genetis
kedua
bangsa
ini
memiliki
karakteristik
dalam
hal
pertumbuhan, pertumbuhan
Bos
indicus
lebih
lambat
dibandingkan
dengan
Bos
taurus
.
Rata-rata pertumbuhan harian sapi Simmental yang dipelihara di wilayah DAS hanya mencapai angka pertumbuhan 0,509 g/ekor/hari. Perbedaan ini disebabkan karena sapi-sapi Simmental yang dipelihara
masyarakat DAS bukan merupakan keturunan Bos taurus murni namun sudah merupakan persilangan dengan sapi-sapi PO (keturunan Bos Zebu) (Williamson dan Payne, 1993). Selain itu, pakan yang diberikan oleh peternak belum sesuai dengan standar kebutuhan sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga masih rendah.
Pada pertumbuhan 12 bulan sampai dengan 30 bulan baik sapi-sapi PO maupun Simmental mengalami penurunan ADG yaitu 0,379 g/ekor/hari vs 0,445 g/ekor/hari, namun sapi Simmental masih berada lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan optimal sudah terlewati dan juga sapi-sapi sudah mengalami masa pubertas maupun kelahiran pertama pada sapi betina. Kedua bangsa yang berbeda capaian ADG nya disebabkan karena sistem pemeliharaan dan kemampuan genetis. Untuk sapi PO memiliki kemampuan genetis lebih rendah dibandingkan dengan sapi Simmental terutama dalam hal pertumbuhan (Reksohadiprodjo, 1985).
Hal yang sama ditunjukkan pada ADG umur sapi di atas 30 bulan yang hanya dicapai pada sapi PO 0,253 g/ekor/hari dan sapi Simmental 0,278 g/ekor/hari. Penurunan ADG ini diakibatkan karena kondisi fisiologis sapi yang sudah banyak mengalami penurunan dalam pertumbuhan jaringan otot namun sudah lebih dominan ke arah pembentukan timbunan lemak. Dalam kondisi
ideal berat tubuh akan bertambah (mengikuti kurva sigmoidal) yang menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar pada saat menjelang pubertas dan selanjutnya akan berangsur-angsur menurun (lambat) pada saat dicapai dewasa kelamin (Williamson dan Payne, 1993; Black, 1983 dan Hammond, dkk, 1984).
Interval kelahiran
Untuk mengetahui kinerja reproduksi ternak sapi dapat dilakukan dengan pengukuran interval kelahiran (calving interval = CI). Atas dasar perhitungan CI maka performens dari pola pemeliharaan dan kemampuan ternak akan dapat tergambarkan dengan baik dan jelas. Calving interval akan menggambarkan jarak beranak yang normal jika batas-batas waktu ideal berdasarkan kondisi fisiologis ternak dapat tercapai. Kondisi paling ideal dari CI adalah 12 bulan (negara-negara maju) dan 13,5 bulan untuk Indonesia (Hardjosubroto, 1994).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata CI untuk sapi PO dan Simmental masing-masing adalah 15,33 dan 13,67 bulan. Ternyata CI sapi Simmental mendekati kondisi CI yang digunakan di Indonesia yaitu 13, 5 bulan dan agak panjang untuk sapi PO. CI dipengaruhi oleh faktor genetik dan sistem pemeliharaan termasuk kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Berdasarkan capaian
nilai CI pemeliharaan sapi di wilayah DAS sudah tergolong baik terutama untuk sapi Simmental yang mampu merespon lingkungan secara baik dalam kinerja reproduksinya meskipun agak rendah pada sapi-sapi PO.
Calving Interval menggambarkan estrus kembali setelah beranak (Estrus Post partum= EPP), S/C dan lama bunting. EPP dipengaruhi oleh penyapihan (weaning), kualitas dan kuantitas pakan dan kondisi kesehatan ternaknya. S/C dipengaruhi oleh kondisi ternak sapi, kualitas dan kuantitas pakan dan ketrampilan inseminator . Lama bunting sapi rata-rata pada kisaran 286 hari, maju dan mundurnya waktu bunting ditentukan oleh kondisi kesehatan induk, kondisi foetus dan jumlah anak yang dikandungnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa wilayah DAS Progo mampu menopang pakan ternak khususnya untuk ternak sapi. Kinerja produksi dan reproduksi sapi potong masih perlu ditingkatkan lagi. Sapi keturunan Simmental cocok untuk dikembangkan di wilayah DAS, memiliki angka pertumbuhan dan jarak beranak yang lebih baik jika dibandingkan dengan sapi PO.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.L., 1983. Sheep Production. Butterworth, London.
Hammond, J.Jr, Bowman, J. C dan Robinson T. R., 1984. Hammond’s Farm Animals. 5th ed. Butler dan Tanner Ltd. London. Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grassindo. Jakarta. Reksohadiprodjo, S., 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Santoso, H., 1992. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai :
Konsepsi dan
Kebijaksanaan. Makalah disampaikan pada kursus
Evaluator AMDAL
Pertanian, 22 Mei 1992. Departemen Pertanian, Jakarta.
Wiiliamson, G dan W. J. A. Payne,
1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHA PETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI KECAMATAN GIRIMULYO
KABUPATEN KULONPROGO Sundari 1dan Komarun Efendi2 1
Dosen, Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
2Alumni Prodi Produksi Ternak UMBY ABSTRACT*)
This research was conducted to investigate the income and feasibility of etawah cross farming in Girimulyo, Kulonprogo regency. Location was determined by purposive on 3 villages and such as a combination of the high of land and population of Etawah cross. Samples were taken by proportional random sampling 10% of farmers. There were 51 farmers of 3 villages : Jatimulyo 37 respondent, Giripurwo 10 respondents, and Pendoworejo 4 respondents. The characteristics of respondents were the everage 48,78 years old, 50,99% on elementary school, 78,51% farmer as main job, experienced 25,05 years, 8 mature goat owned or 1,18 AU. The data analysis showed that the average income was Rp. 4.486.443,31 per year. This farming was feasible to be raised with RCR value 1,28 and rentability value 28,03%. The rentability was higher than Bank BRI rate in Girimulyo sub district. Break Event Point (BEP) Rp. 787.822,60 or 0,17 AU, about 1 mature goats. It was concluded that Etawah cross farming was profitable and feasible to be raised.
Key words : Etawah cross, income, feasibility, Girimulyo subdistrict.
PENDAHULUAN
Permintaan pasar daging kambing dalam negeri setiap tahun mencapai 4,3 juta ekor. Sekitar 15% dari jumlah tersebut masih diimpor. Peluang pasar ekspor bahkan jauh lebih besar. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), peluang pasar daging kambing dunia saat ini mencapai 22,2 juta ekor per tahun. Sebagian besar permintaan itu datang dari Afrika, Amerika, Asia
dan Eropa. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita dunia khususnya negara berkembang akan terus meningkat. Di sisi lain laju konsumsi daging kambing di Tanah Air juga mengalami peningkatan dengan laju 5,6% per tahun, bahkan pada tahun 2005 total konsumsi daging mencapai 18,531 ton atau 5,25 kg per kapita per tahun (Anonimus, 2005), sehingga ternak kambing masih sangat berpeluang untuk dikembangkan guna mencukupi kebutuhan gizi masayarakat dari protein hewani nasional.
Sampai saat ini peternakan di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat, dengan jumlah kepemilikan ternak kambing sedikit yaitu 1-2 ekor saja, serta kepemilikan lahan yang sempit. Usaha peternakan kambing merupakan usaha sampingan dari usaha tani tanaman pangan yang dilakukan petani di pedesaan (Murtidjo, 1995). Ternak kambing dapat beranak kembar dan mudah dalam pemeliharaannya. Ditinjau dari aspek pengembangan secara komersil sangat potensial bila diusahakan, karena umur dewasa kelamin dan dewasa tubuh serta lama bunting ternak kambing sangat pendek dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya.
Kecamatan Girimulyo terletak pada ketinggian 500 m diatas permukaan air laut dengan suhu rata-rata harian 25-270 C dan curah hujan 1.192 mm/tahun. Pada umumnya masyarakat Girimulyo bermata pencaharian sebagai petani, sehingga pada tahun 2003 hasil pertanian mencapai 38 % dari total penghasilan daerah Kecamatan Girimulyo (Data Pokok Pembangunan, 2003). Akan tetapi penghasilan dari sektor pertanian sangat ditentukan oleh adanya musim penghujan, sehingga pada musim kemarau hasil pertanian menurun. Oleh karena itu banyak petani yang berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dengan beternak, karena wilayah kecamatan Girimulyo yang berbukit sampai pegunungan cocok untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah.
Ketersediaan pakan untuk ternak di daerah Girimulyo sangat
mencukupi, ini didukung adanya hutan lindung dan petani yang rata-rata berkebun serta banyaknya lahan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun perkampungan maka daerah tersebut ditanami tanaman kaliandra/ramban. Ternak kambing lebih menyukai pakan rambanan daripada pakan berupa rumput-rumputan (Sarwono, 2006).
Ciri-ciri kambing Etawah adalah berat badan relatif besar 50-70 kg, tinggi gumba sekitar 70-80 cm, kepala tegak, garis profil cembung dan produksi susu rata-rata 2-3 liter/ekor/hari (Djanah, 1988). Ciri-ciri kambing Peranakan Etawah diantara kambing kacang (lokal) dengan kambing Etawah. Derajat kecembungan, garis profil, panjang maupun lebar daun telinga, berat badan, tinggi dan lain-lain hampir sama dengan kambing Etawah. Produksi daging kambing ini sangat baik dengan pertambahan berat badan 49 gram/hari, sedangkan produksi susu 1-1,5 liter/hari. Berat badan jantan dewasa rata-rata 45 kg dan 38 untuk betina dewasa, bobot lahir rata-rata 3,5 kg. Sentra kambing Peranakan Etawah terdapat di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo dan Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo serta Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman (Sarwono, 2006).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Girimulyo Kabupaten
Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Peternak kambing Peranakan Etawah yang ada di desa Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo Kecamatan Girimulyo dengan jumlah sebanyak 51 responden.
2. Peralatan yang digunakan adalah : kuisioner dan alat tulis.
Penentuan Sampel Lokasi
Kecamatan Girimulyo terdiri dari 4 desa yaitu desa Purwosari, Jatimulyo, Giripurwo dan Pendoworejo. Pada letak
ketinggian yang berbeda terdapat perbedaan biaya produksi, terutama air guna memenuhi kebutuhan hidup ternak. Lokasi penelitian diambil secara Purposive pada tiga desa yang dianggap mewakili dan merupakan kombinasi antara tinggi tempat dan kepadatan peternak yaitu desa yang datarannya relatif tinggi, sedang dan rendah serta pada desa dimana populasinya relatif padat, sedang dan sedikit. Desa yang ada di dataran tinggi adalah Jatimulyo, sedang adalah Giripurwo dan dataran rendah adalah Pendoworejo. Jumlah peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo sebanyak 876 peternak yang tersebar di empat desa (Tabel 1).
Tabel 1. Populasi peternak kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo. No Desa Jumlah Peternak (orang) Tinggi tempat (DPL) Suhu rata-rata 1 Purwosari 360 750 m 23-30 0C 2 Jatimulyo 370 750 m 23-30 0C 3 Giripurwo 100 600 m 24-30 0C 4 Pendoworejo 46 500 m 24-30 0C Jumlah 876
Sumber : Monografi Kecamatan Girimulyo, 2006 Pengambilan Sampel Responden
Pengambilan sampel responden menggunakan metode Purposive Random Sampling sebanyak 10% dari jumlah peternak.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode survey terhadap peternak kambing Peranakan
Etawah yang berada di lokasi terpilih secara acak. Data yang diambil meliputi data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak seperti keterangan atau angka-angka yang diperoleh secara langsung dari peternak sebagai responden yang terdiri dari identitas peternak, biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap)
dan penerimaan, dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Kulonprogo serta keterangan dari instansi-instansi terkait dan Bank BRI cabang Girimulyo untuk
mengetahui besarnya bunga kredit Bank.
Macam Analisis
1. Analisis Pendapatan, Soekartawi (1995) Y = P + Q + R – M – N – O (dalam rupiah) Dimana :
Y : Pendapatan bersih dari ternak kambing Peranakan Etawah P : Nilai ternak pada akhir tahun
Q : Nilai ternak yang dijual dalam satu tahun R : Nilai pupuk kandang selama satu tahun M : Nilai ternak pada awal tahun
N : Nilai ternak yang dibeli dalam satu tahun O : Biaya perawatan ternak selama satu tahun
2. Analisis Return Cost Ratio (RCR), Kusumadewa dkk (1978) RCR =
Cost
Return
Return = penerimaanCost = biaya total
3. Analisis Rentabilitas, Soetrisno (2000)
%
100
x
Y
Z
R
Keterangan : R = Nilai rentabilitasY = Biaya total Z = Keuntungan
4. Analisis Break Event Point (BEP), (Riyanto, 1981) BEP (dalam rupiah) =
P
VC
-1
FC
FC = fixed cost ( biaya tetap) VC = variable cost ( biaya tidak tetap) P = harga jual BEP(unit) =ap/unit
tidak tet
Biaya
-jual/unit
Harga
tetap
Biaya
Batasan-batasan OperasionalBeberapa batasan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan data yaitu : 1. Seluruh perhitungan didasarkan atas nilai atau harga didaerah penelitian
dan pada waktu penelitian.
2. Penghitungan unit ternak untuk kambing : (BPS, 1988) a. Kambing dewasa > 1 tahun = 0,14 UT
b. Kambing muda umur 0,5-1 tahun = 0,07 UT c. Cempe (anak) < 0,5 tahun = 0,035 UT
3. Data yang digunakan adalah data biaya produksi dan penerimaan yang berasal dari responden selama pemeliharaan satu tahun yaitu mulai bulan April 2005 sampai dengan Maret 2006.
4. Untuk mengetahui hasil penyusutan menggunakan rumus (Riyanto,1981):
W
H
H
D
o
1 Dimana : D : Depresiasi Ho : Nilai awal barang Hi : Nilai akhir barang W : Waktu pemakaianHASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum lokasi penelitian.
Letak geografis Kecamatan Girimulyo berada di wilayah
Kabupaten Kulonprogo, D.I.Yogyakarta. Batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Nanggulan; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Nanggulan dan Pengasih; sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Sedangkan jarak menuju kota kabupaten adalah 14 Km yang dilalui dengan
perhubungan darat (BPS Kulonprogo, 2005).
Kecamatan Girimulyo mempunyai luas wilayah 5.490.424 Ha yang terdiri dari perkampungan, sawah, tegalan, hutan. Keadaan tanah yang sebagian besar tanah
kering/tegalan dan hutan yaitu 75 % mampu memberikan potensi yang baik untuk pengembangan ternak kambing Peranakan Etawah. Lahan hutan dan tegalan dapat menjadi potensi untuk penyediaan pakan ternak kambing Peranakan Etawah, karena banyaknya pakan berupa rambanan.
Kecamatan Girimulyo merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500-750 m diatas permukaan air laut dengan perincian wilayah datar sampai berombak 10 %; berombak sampai berbukit 15 %; berbukit sampai bergunung 75 %. Rata-rata suhu udara minimum-maksimum Kecamatan Girimulyo adalah 24-300 C.
Dari segi demografi, penduduk Kecamatan Girimulyo berjumlah 29.011 orang (laki-laki 14.527 orang dan perempuan 14.484 orang) dengan kepadatan penduduk 528 jiwa/Km2 (Data Registrasi Penduduk, 2005).
Sub sektor peternakan merupakan usaha yang produktif,
usaha peternakan yang menjanjikan di Kecamatan Girimulyo adalah ternak kambing Peranakan Etawah, ini dikarenakan lahan yang berbukit dan bergunung banyak ditanami tanaman tahunan dan hutan rakyat, sehingga mampu menyediakan pakan ternak asal hijauan yang berlimpah. Luas kepemilikan lahan peternak dikecamatan Girimulyo berkisar antara 1.000-10.000 m2, dengan luas lahan yang cukup tinggi tersebut telah menghasilkan pakan ternak yang berlimpah, hal ini dikarenakan lahan pertanian tersebut ditanami tanaman kacang-kacangan dan ditumpangi dengan tanaman kolonjono dipematangnya sehingga pakan yang dihasilkan dari limbah pertanian cukup berlimpah. Melihat dari uraian diatas, pakan yang dihasilkan di Kecamatan Girimulyo mampu memenuhi kebutuhan ternak, sehingga untuk perkembangan peternakan cukup baik (Arik, 2005).
Dari hasil penelitian, karakteristik peternak menunjukkan bahwa umur rata-rata peternak kambing Peranakan Etawah berkisar 29-70 tahun dengan rata-rata 48,78 tahun. Tingkat pendidikan peternak SD 50,99%, SLTP 37,25% SLTA 11,76%. Pekerjaan pokok peternak meliputi petani 74,51%, pedagang 19,61%, pamong desa 3,92%, dan buruh bangunan 1,96%. Pengalaman beternak rata-rata sebesar 25,02 tahun. Rerata jumlah kepemilikan ternak kambing Peranakan Etawah adalah 8 ekor atau 1,18 UT.
Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa rerata biaya
penyusutan kandang yang telah dikeluarkan oleh peternak responden adalah Rp. 157.306,84 atau sebesar 0,90% dari biaya produksi, rerata biaya sewa lahan yang dibayar peternak responden adalah sewa tanah untuk kandang sebesar Rp. 18.451,96 atau sebesar 0,11% dari biaya produksi. Besarnya rerata bunga modal adalah Rp. 598.118,82 atau sebesar 3,44% dari biaya produksi, bunga modal diperoleh dengan mengalikan nilai modal keseluruhan (nilai kandang dan alat) dengan suku bunga Bank yang berlaku di Kecamatan Girimulyo yaitu sebesar 18%. Rerata biaya penyusutan alat Rp. 14.005,96 atau sebesar 0,08% dari biaya produksi. Rerata biaya pakan pada peternakan kambing Peranakan Etawah per tahun sebesar Rp. 3.133.990,20 atau sebesar 18,03% dari biaya produksi. Rerata biaya pembelian bibit sebesar Rp. 9.944.725,49 atau sebesar 57,21%. Rata-rata biaya tenaga kerja Rp. 3.471.762,75 atau 19,97%. Rerata biaya obat-obatan sebesar Rp. 29.549,02 atau sebesar 0,18%. Biaya listrik sebesar Rp. 6.000,00 atau 0,03%. Rerata biaya alat habis pakai satu tahun sebesar Rp. 8.725,49 atau sebesar 0,05%. Besarnya biaya produksi rata-rata sebesar Rp. 17.382.576,29. Besarnya penerimaan peternak responden per tahun adalah Rp. 21.869.019,61. Rerata pendapatan setiap peternak per tahun sebesar Rp. 4.486.433,31. Rerata nilai RCR hasil penelitian ini adalah 1,28 yaitu menunjukkan bahwa usaha peternakan kambing Peranakan Etawah di Kecamatan Girimulyo