PE GARUH KEMASA
DA
PERIODE SIMPA
SERTA
I VIGORASI TERHADAP VIABILITAS DA
VIGOR
BE IH PURWOCE G (
Molk
AZIMAH
SEKOLAH PASCASARJA A
I STITUT PERTA IA
BOGOR
PER
YATAA
ME
GE
AI TESIS DA
SUMBER I
FORMASI
Pimpinella pruatjan !" #
! $
$ !
% & '()(
azimah
ABSTRACT
! " # $ %
!& ' ( %) * + * , -,
* . / *) 00 0 0
& &
&! " $ " ! ! " 1& 0 #2$ & &
0 ( # ($ 0 #3$
1& 0 " ! .! ! !
1& 0 ( & - 4
- 0 ( & *
! # (* $ 4 0 & / 0 3556 1& 0 " 7 / " 3 8 & " & 0 & & & !0 !0 0 &
& 5 3 9 : ; 25 " ! <& 1& 0 " ( 0& * 0 = / "
! 22 0 ( . :555 #<5 3 <5 9 <5 : <5 ; $ > 58 #5 2 5 3 5 8?$ . 8 #3@ @5 A@ 255 &&0$
* ! 1& 0 " & " & 0 &! " !& 25 " 0 # ($ 0 " A 9? " 0 0 "
" 0 9 " ! 25 "
" # ($ 0 0
& " 0
0 & 1 " 0 3
9 " ! 25 " 1& 0 " . 8 A@ &&0
255 &&0 & ! & 0 " 0 &! "
RI
GKASA
AZIMAH ! > 0 0& &
4 ! " # $ / 0
' ( %) * + > ! * , -, * . / *)
! " # ! >/ $ 0 !&
0 0 0
& 0 0 & # $ 0 &! " & 2;@5<35@5 0 & ! ! 2@<325(
& 0 ! & /
/ !
!C! ! ! 0 0& C & ! 0 0& & 0& &! " &
&! " > ! 0 +
0 > .! ! ! > 0 ( & D " 4
- !0 0! 4 4 - !0 4
0 + 0 #4 - *+$ ( 0 ! 4 0! ! & 0& / 0 3556
! & !B #2$ ! 0 0& & 0& & ! ! ! 0 ( &
&! " #3$ ! & &! " & & 0
0 ! # 7 / $ &
! ! 0 ! ! ( ' & 0 0 0&
! & !0 !0 !
& 0& 0 & ! ! & 0& 5 0 ! 3 0 ! 9 0 ! : 0 ! ; 0 ! 25 0 ! E
0 & ! & @9 0
! ! 0 ! & #* -$
! 22 & ! ! . :555 <5 3 <5 9 <5 : <5 ; > +85 2? 5 3? 5 8 ? . 8
3@ &&0 @5 &&0 A@ &&0 255 &&0 % ! & 88 ! &
& & 0 & ! ! 0 ' ! 0 0& & 0& & ! &
&! " > 0 & !0 !0 0 !& 0 ! ! &! " 0 & 0& 3 0 ! 0! & &! "
0 0 " 3@ 2? 0 C 85 6?
0 0 5 ; 0 0 C 2 2 0 4 ! ! & !0 ! 0 5 ; ?7 0 0 C 2 2 ?7 0
5? 0 C : 3? ! ! C!
! ! ( & ! 0 0& & 0& 0 ! C! & ! &
&! " 4 0& 0 0 & 0! 0 ! 3 ! 9 0& 0 ! 25 0 ! C!
0 0 0 # ! ! E ! ! :: 5? @: 65
0 $ #39 A? : 58 0 $ 0
> ! 0 &! & 0
! ! & !0 ! #3 :?7 0 82 8?$ ! 0 ! C! " & ! . 8A@ &&0 . 8
255 &&0 0 0 & !0 ! # ! ! E ! ! 9 2?7 0 9 6?7 0 $ 0 " & ! ! 0 !&
0 0 &! "
PE GARUH KEMASA
DA
PERIODE SIMPA
SERTA
I VIGORASI TERHADAP VIABILITAS DA
VIGOR
BE IH PURWOCE G (
Molk
AZIMAH
SEKOLAH PASCASARJA A
I STITUT PERTA IA
BOGOR
! " !
# $ # % ! & ' (
)*
+ + , !
+- ./01232211
$ $
4 , 5 &
6 &
. .
) !
) ) ! '
) % !
6 6 ! . +
! " # $Pimpinella pruatjan% &'
(#
) * ) + , - " % . ) / * ) ) % ) * ) ) * " 0
*
) * ) 1 %
( /
1 / ! " # ) !
# 2
( 3 % * + (
, # ) !
# % 4 / % 5 ) 2 ,
#
4 " % , "
( #
/
! 6787
! "# $ % " & ' ( # #
) ***
+ , - . "
/- 0# + ) )
/+ 01 ) % 2 #
) " + /+ 0 +
) ' ! " 3 ' 4 ! /'4!0 **
! ) /! +0 5
4 ( ' #
% ) , - .
" ** # + ) 1 )
1 3 1 )
! "
# $ %#& '
( ) * + ( # ,
-( # , $ . # * /
" ! ! 0 !
( ! ( 0 102
"0 ! ! " 2 )* &
+ , 3
, + #+ 4
1 + $5 4
#+ 4
* '
* + $) , * 6
! $5
( 0 ! ( ! ( 0
102
)* & 4
+ , '
, + #+
-1 + $5
-#+
-* /
* + $) , * 4
! $5 4'
! 47
! ! 46
! " '8
5 * , * * * $ 5 , $ * * $5 9 5 #+ * $5 * * : , + 5 # # + 9 . ) *9 +
. # ) , 5 %#& 5 + * , $ 6
3 , * $ * * $5 + 5 #+ * $5 , + 5 # # 5 $) , & $) , 5 + * , $ 38
, 5 $ * * $5 + 5 #+ * $5 , + 5
" + 5 + * , $ 33
4 , 5 $ * * $5 + 5 #+ * $5 , + 5
. ) * ) , 5 %#& 5 + # + * * , 3
' , 5 $ * * $5 + 5 #+ * $5 , + 5
. # ) , 5 %#& 5 + # + * * , $ 3'
7 5 * , * * * $ 5 , $ * * $5 9 5 #+ ! $5 + * : , + 5 # # + 9 + :
) & $) ,9 & 5 $) ,9 + * . # 9 ) & $) , # $ 9 + 5 $) , & $) , ) , 5 %#& 5 +
* , 2
3-- , * $ * * $5 + 5 #+ * $5 5 +
* , 2 , + 5 . ) * + . # ) , 5 %#& 3/
/ , * $ * * $5 + 5 #+ * $5 5 + * , 2 , + 5 . # ) , 5 %#&
6 # 5 #+ * $5 , + 5 . # ) , 5 %#& +
# # 5 $) , ) $) , 5 + * , 2 3
8 5 * , * * * $ 5 , . # * , + 5 . ) * ;+ : ) & $) , + ) & $) , # $ < + . #
; & 5 $) ,9 + * . # 9 + 5 $) , & $) ,<
) , 5 %#& 4
, . # * , + 5 . ) * ) , 5 %#& 4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
!
"
# ! "
$ % !
&
" $ % !
'( ' "
) $ % !
'( ' * '
+ , ! +
- .%
-' $ % !
DAFTAR LAMPIRA
Halaman
! #*3 )
! 4 )
! ,##0 )
! 56# +
! # +
"
! 7, +
)
! #*3 *
-+
! 4 *
-! ,##0 *
-'
! 56# "'
! # * "'
! 7, * "'
7, "
4 "
"
,##0 "
PE DAHULUA
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki biodiversitas dan tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan sangat tinggi. Tingginya keragaman tersebut terbukti dari tidak kurang 40000 jenis tumbuhan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 7557 jenis di antaranya adalah tumbuhan yang diketahui berkhasiat sebagai obat (Kasahara 1986).
Pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan. Hal ini didukung dengan bertambahnya industri jamu di berbagai daerah dengan memanfaatkan tanaman tradisional yang berkhasiat sebagai obat alami. Perkembangan industri jamu ini berhubungan dengan semakin banyaknya penduduk dunia yang lebih senang memakai obat alami. Di Asia peluang perdagangan obat herbal tersebut sudah dimanfaatkan oleh China yang merupakan pusat produksi obat herbal terbesar di Asia dan mampu menghasilkan devisa sebesar 6 miliar U$ pada tahun 1997 (Sinambela 2003). Selain itu, Amerika Serikat telah memformulasikan obat yang berasal dari tumbuhan, dimana dari 45 jenis obat herbal yang diperdagangkan 14 spesies berasal dari Indonesia (Sampurno 2003). Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk menemukan obat baru karena memiliki sumber keanekaragaman tumbuhan obat yang besar di dunia, akan tetapi Indonesia belum mampu menggali potensi sumberdaya secara optimal (Darwati 2007).
Purwoceng ( Molk. atau KDS.) merupakan
tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi. Habitat alami purwoceng berada pada ketinggian 180033500 m dpl (Heyne 1987). Pengembangan budidayanya pada saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas. Di Dataran Tinggi Dieng purwoceng tumbuh pada ketinggian 185032050 m dpl
dengan suhu antara 15321oC (Raharjo . 2006).
endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena mengalami erosi genetik secara besar3besaran, bahkan populasinya digunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur dinyatakan sudah musnah (Darwati dan Roostika 2006 ).
Berdasarkan status erosi genetiknya, tanaman purwoceng dapat
dikelompokkan ke dalam kategori genting ( ) atau hampir punah
(Rivai . 1992). Kegentingan tersebut terutama disebabkan oleh tindakan
eksploitasi yang berlebihan tanpa diimbangi oleh upaya konservasi. Sebagian besar perusahaan obat tradisional (jamu) mengambil atau memanen bahan tanaman purwoceng secara langsung dari habitatnya tanpa usaha peremajaan. Mengingat bahan utama tanaman yang dipanen adalah akarnya, maka tindakan permanen secara otomatis merusak tanaman secara keseluruhan.
Budidaya purwoceng dalam skala luas merupakan salah satu strategi untuk mengatasi kelangkaan bahan baku obat dan jamu tradisional yang sekaligus diharapkan dapat membuka peluang usaha tani baru. Namun pengembangan budidayanya hingga saat ini belum terlaksana dengan baik. Salah satu kendala dalam budidaya purwoceng adalah tidak tersedianya benih bermutu. Oleh karena itu, penelitian teknologi budidaya khususnya dalam pengadaan benih purwoceng perlu mendapat perhatian secara serius. Sampai saat ini teknologi penyimpanan dan jenis kemasan simpan benih purwoceng serta proses invigorasi benih yang tepat masih belum tersedia informasinya.
Mutu benih mencapai maksimum pada saat benih mencapai masak
fisiologi, kecuali benih yang mengalami dormansi atau . Benih yang
memiliki viabilitas yang rendah akibat adanya dormansi, atau
mengalami kemunduran memerlukan perlakuan invigorasi untuk meningkatkan viabilitas dan vigornya.
Perlakuan invigorasi berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan viabilitas benih cabai berdasarkan pengamatan terhadap parameter fisiologi benih yang ditandai dengan meningkatnya indeks vigor, daya berkecambah, kecepatan
invigorasi benih juga secara nyata dapat meningkatkan viabilitas benih yang memiliki tingkat vigor sedang (Sutariati 2002).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa KNO3 mampu
meningkatkan viabilitas benih, seperti pada benih semangka, ketimun, kayu
manis, tomat dan beberapa benih rerumputan. Mayer dan Mayber Wusono
(2001) menyatakan bahwa larutan KNO3dapat merangsang perkecambahan benih
yang mengalami dormansi. Faktor fungsi, harga KNO3 yang relatif murah, dan
kemudahan dalam mendapatkannya sehingga menyebabkan KNO3 menjadi salah
satu garam yang sering digunakan untuk .
Giberelin juga diketahui dapat mematahkan dormansi pada beberapa benih dan mata tunas, mempengaruhi perpanjangan batang, memperbesar luas daun, bunga dan buah, mendorong pembentukan buah tanpa biji serta mempengaruhi
proses sintesa protein. GA3 adalah giberelin yang umum tersedia di pasar dan
telah banyak dipergunakan dalam penelitian. Salah satu fungsi GA3 adalah dapat mendorong pembentukan beberapa enzim, termasuk enzim yang dapat merubah lipid menjadi sukrosa (Wahana 2005).
Menurut Risdianto (1997) menggunakan larutan
osmotikum KNO3 dan PEG dengan tekanan potensial masing–masing 1.0 MPa
dan 0.5 MPa menghasilkan daya berkecambah, berat kering kecambah normal, dan potensi tumbuh maksimum nyata lebih tinggi dibanding kontrol, baik pada
benih gmelina dengan katub dibuang atau masih utuh. Rata–rata
daya berkecambah (DB) benih dengan perlakuan dan tanpa
katub adalah 96%, sementara DB pada benih kontrol 68%. Pada
perlakuan yang sama nilai rata–rata berat kering kecambah normal dan potensi tumbuh masing–masing diperoleh 5.72 g dan 98.7 g untuk benih dengan
perlakuan dan 3.13 g dan 82.67 g pada benih tanpa perlakuan.
Tujuan Penelitian
Bagan alur penelitian yang dilaksanakan pada dua percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.
TI JAUA
PUSTAKA
Botani Tanaman Purwoceng
Tanaman purwoceng merupakan tumbuhan endemik Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai obat. Purwoceng termasuk dalam genus Pimpinella, suku
, bangsa . Purwoceng merupakan
terna tahunan, daun majemuk ganda, pangkal tangkainya melebar menjadi upih, duduk tersebar. Tinggi tanaman purwoceng berkisar antara 15350 cm, tumbuh di pegunungan dengan ketinggian 180033500 m dpl, di Jawa Barat (Gunung Pangrango), Jawa Tengah (Dataran Tinggi Dieng) dan Jawa Timur (Burkill, 1935; Heyne 1987). Sampai saat ini yang dikenal sebagai daerah pengembangannya hanya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah dalam areal yang sempit. Bagian yang berkhasiat dari tanaman purwoceng ini adalah akarnya, dikenal sebagai afrodisiak (Hernani dan Yuliani 1990).
Hasil pengamatan di lapang ditemukan dua tipe tanaman purwoceng berdasarkan warna tangkai daun, tipe pertama tangkai daunnya berwarna merah kecoklatan dan tipe ke dua tangkai daun berwarna agak kehijauan. Sebagian besar populasi tanaman terdiri atas tanaman yang tangkai daunnya berwarna merah kecoklatan yaitu lebih kurang sebanyak 98%, dan sebagian kecil saja tanaman yang tangkai daunnya agak kehijauan dengan populasinya lebih kurang hanya 2%
(Rahardjo 2006).
Tanaman purwoceng merupakan kelompok berumah satu, dapat juga menyerbuk silang, mulai berbunga pada umur 3 bulan setelah tanam (BST) sebanyak 13%, tanaman berbunga mancapai 100% pada umur 9 BST. Tangkai bunga muncul pada bagian ujung tanaman. Tipe pembungaan adalah bunga majemuk membentuk bunga payung. Setiap tanaman mempunyai sekitar 439 tangkai bunga primer. Setiap tangkai primer rata3rata memiliki 435 tangkai bunga sekunder. Sementara setiap tangkai sekunder mempunyai rata3rata 4310 tangkai tersier dan setiap tangkai tersier mempunyai lebih kurang 8310 tandan bunga yang membentuk bunga payung. Setiap tandan bunga yang berbentuk payung tersebut terdapat lebih kurang 8315 bunga yang akan membentuk biji. Dengan demikian setiap satu rumpun tanaman purwoceng dapat menghasilkan 150032500 biji. Biji yang telah masak berwarna hitam, ukurannya sangat kecil, dan berat 1000 butirnya hanya 0,52 g. Tanaman yang bertangkai daun coklat kemerahan lebih vigor dibandingkan dengan tanaman yang bertangkai daun kehijauan, hal ini terlihat dari perbedaan komponen tumbuhnya (Raharjo 2005).
Purwoceng mengandung senyawa metabolit sekunder berupa turunan kumarin, sterol, saponin, dan alkaloid (Caropeboka dan Lubis 1975). Bagian akar purwoceng berfungsi sebagai afrodisiak yaitu obat perangsang seks. Ekstrak akar tersebut dapat meningkatkan potensi seksual sehingga tenaga dan kemampuan seksualnya dapat lebih kuat. Potensi seksual ini dapat dipengaruhi oleh testosteron
(Gauthaman 2002). Kadar metabolit sekunder mencapai optimal pada
tanaman umumnya fase tanaman telah memasuki fase generatif, oleh karena itu umur panen purwoceng dapat dilakukan pada tanaman umur 639 bulan setelah tanam (BST). Produksi herbal (simplisia) masih rendah apabila pemanenan dilakukan pada umur tanaman 6 BST dibandingkan dengan tanaman dipanen pada umur 9 BST. Sehingga untuk tujuan memperoleh mutu dan produksi yang tinggi, pemanenan hendaknya dilakukan pada tanaman umur 9 BST (Raharjo 2006).
tanaman yang diperbanyak secara vegetatif dan tidak tergantung musim (Syahid 2003). Purwoceng yang semula banyak digunakan oleh industri obat tradisional, semakin sulit didapat karena kelangkaan bahan baku di Dataran Tinggi Dieng yang merupakan sentra produksi dan salah satu habitat endemiknya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pengganti purwoceng, produsen obat
tradisional mensubstitusinya dengan kolesom karena
kandungan saponin didalam umbinya serta relatif mudah budidayanya. Padahal hal yang sangat keliru karena kandungan bahan aktifnya sangat rendah (Hernani dan Yuliani 1990).
Viabilitas dan Vigor Benih
Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam berbagai fenomena fisiologis maupun kimiawi (Sadjad 1994). Viabilitas benih merupakan proses hidup benih yang dapat diketahui melalui gejala pertumbuhan atau gejala metabolisme benih dan dapat ditunjukkan pula oleh keadaan organel sitoplasma atau kromosom. Viabilitas dapat diukur dengan menggunakan lima pendekatan parameter yaitu: viabilitas total, viabilitas potensial, vigor daya simpan, vigor kekuatan tumbuh, dan viabilitas dorman (Sadjad 1993).
Bagi produsen dan teknolog benih, viabilitas benih adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan menghasilkan kecambah normal. Pengertian ini sama dengan daya berkecambah. Hal ini berkaitan dengan hidup atau tidaknya benih yang tergantung kepada kemampuan benih untuk berkecambah dan memproduksi kecambah normal. Selain itu, viabilitas benih menunjukkan tingkat hidup benih, aktifitas metabolisme dan kemampuan enzim didalam benih untuk mengkatalis reaksi metabolisme yang dibutuhkan untuk perkecambahan dan pertumbuhan benih. Viabilitas benih mencapai maksimum pada saat benih mengalami masak fisiologi (MF) walaupun lingkungan tanaman induknya tidak optimum. Setelah masak fisiologi benih mengalami penurunan viabilitas sampai benih tersebut mati (Copeland dan McDonald 1995).
Viabilitas benih dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor
dan Faktor3faktor yang menentukan kesempurnaan
pemupukan tanaman induk, sehatnya benih sumber yang ditanam, proteksi terhadap tanaman induk dan proses terjadinya benih pada tanaman induk. Faktor merupakan faktor lingkungan simpan di sekitar benih berupa iklim,
suhu, kelembaban dan lain3lain, sedangkan faktor adalah watak atau sifat
dari benih yang bersifat genetik (Sadjad 1993).
Viabilitas benih dideteksi dengan menggunakan beberapa pendekatan, tetapi yang paling umum digunakan adalah pendekatan fisiologi. Dalam pendekatan fisiologi terdapat dua jenis metode dan indikasi yaitu metode langsung dan metode tidak langsung serta indikasi langsung dan tidak langsung. Pada metode langsung setiap individu benih diamati sedangkan pada metode tidak langsung deteksi viabilitas dilakukan terhadap sejumlah benih sekaligus. Pada indikasi langsung dilakukan penumbuhan benih menjadi kecambah atau bibit sedangkan pada indikasi tidak langsung yang diamati adalah gejala metabolisme benih seperti aktivitas enzim dan respirasi benih (Sadjad 1993).
Peningkatan Vigor Benih melalui Invigorasi
Benih yang telah rendah mutunya, karena kemunduran selama benih
disimpan, maupun dormansi masih dapat ditingkatkan melalui
invigorasi. Invigorasi adalah proses bertambahnya vigor benih. Salah satu cara yang telah banyak dilakukan saat ini yaitu dengan perlakuan fisiologis benih
sebelum tanam ( ).
Perlakuan benih secara fisiologi untuk memperbaiki perkecambahan dan
vigor benih telah menjadi dasar dalam perlakuan benih yang
diantaranya berupa perlakuan dan Khan
(1992) mengemukakan perlakuan menggunakan larutan
osmotik dapat memperbaiki proses fisiologi dan biokimia benih selama
penundaan perkecambahan. Perlakuan menggunakan larutan
osmotik berpotensial rendah sedangkan potensial matrik media imbibisi dapat
diabaikan. Perlakuan benih hanya berpengaruh positif pada benih
dengan taraf kemunduran tertentu. Banyak penelitian yang telah dilakukan
membuktikan bahwa perlakuan benih tidak menguntungkan pada
Umumnya benih3benih yang masih dapat ditingkatkan mutunya berada pada taraf kemunduran tipe I, dengan protoplas masih relatif baik, meskipun sudah mulai mengalami degenerasi (Roberts 1972).
terdiri dari inkubasi benih dalam larutan osmotik, biasanya larutan garam atau PEG, untuk mengontrol pengambilan air dan
mencegah keluarnya radikel (Ozbingol 1998). Keberhasilan
ditentukan oleh jumlah air yang masuk kedalam benih, potensial osmotik dan jenis larutan yang digunakan (Bradford 1984). Larutan yang biasa digunakan adalah PEG, KN03, K3P04, KH2P04, MgS04, NaCl, gliserol,
dan manitol (Khan 1992). Diantara larutan tersebut PEG paling sering
digunakan karena dengan berat molekul yang sangat besar, PEG tidak meresap dalam benih sehingga tidak meracuni benih walaupun viskositasnya tinggi dan kelarutan oksigennya rendah (Murray dan Wilson 1987). Perlakuan PEG pada
benih ketumbar ! Linn.) jenis Sumba, Mesir dan Thailand
bervigor sedang meningkatkan daya berkecambah, berat kering kecambah normal dan kecepatan tumbuh serta menurunkan kecambah abnormal pada ketumbar (Prasaktiyo 1997).
Menurut Saut (2002), perlakuan perendaman benih dengan GA3
berpengaruh sangat nyata terhadap Daya Berkecambah (DB), Berat Kering
Kecambah Normal (BKKN) dan tinggi kecambah terong (" )
namun tidak berpengaruh terhadap Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) dan
Kecepatan Tumbuh (KCT). Diketahui pula bahwa GA3 200 ppm 24 jam lebih
banyak menghasilkan viabilitas benih tertinggi berdasarkan semua peubah yang
diamati pada benih terong (" ) var Dadali Perlakuan
perendaman benih cabai (! L.) var Jatiiaba LV dalam larutan
GA3 juga memberikan hasil yang berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur DB
dan PTM dan berpengaruh nyata pada tolok ukur KCT, tetapi tidak berpengaruh terhadap tolok ukur BKKN dan tinggi kecambah.
Nasution (2003) menyatakan bahwa perlakuan invigorasi benih semangka
(! Schard.) pada periode simpan 3 bulan dengan perendaman
dalam GA3150 ppm mampu meningkatkan viabilitas potensial dengan tolok ukur
periode simpan 3 bulan dengan menggunakan perendaman dalam GA3 50 ppm dapat meningkatkan viabilitas potensial benih dengan tolok ukur DB dan BKKN. Selain zat pengatur tumbuh seperti Auksin, Giberelin, Sitokinin, dan Etilen, KNO3 juga dapat berperan sebagai pengganti zat pengatur tumbuh seperti GA3. Wusono
(2001) menyatakan bahwa perendaman benih dalam KNO3 0.02% dan GA3 100
ppm selama 24 jam dapat meningkatkan daya kecambah benih terung diatas 80%.
Menurut Sarah Risdianto (1997), perlakuan baik
menggunakan PEG 6000 maupun KNO3 mampu meningkatkan nilai
perkecambahan serta keserempakan tumbuh pada benih terung kopek.
Keuntungan penggunaan KNO3 sebagai larutan adalah
garam ini dapat menyumbangkan nitrogen dan nutrisi essensial (K+) kepada benih
untuk sintesis protein selama proses perkecambahan. Tapi KNO3 juga kadang3
kadang dapat menyebabkan keracunan pada kecambah apabila diberikan dengan waktu dan konsentrasi yang tidak sesuai (Copeland dan McDonald 1995).
Menurut penelitian Junisusanti (2003), KNO3 0.6% dan 0.8% memberikan
hasil viabilitas benih yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain berdasarkan semua peubah yang diamati. Dari hasil penelitian Nasution (2003)
diketahui bahwa KN03 mampu meningkatkan viabilitas potensial dengan tolok
ukur daya berkecambah pada periode simpan 3 bulan pada benih semangka
(! Schard.) dan juga mampu meningkatkan vigor kekuatan
tumbuh dengan tolok ukur kecepatan tumbuh. Pada perlakuan invigorasi benih
ketimun (! ) dengan KN03 3% mampu meningkatkan viabilitas
potensial dengan tolok ukur BKKN pada periode simpan 1 bulan. Sedangkan
KN03 2% mampu meningkatkan vigor kecambah benih ketimun dengan tolok
ukur tinggi kecambah pada periode simpan 3 bulan. Selain itu menurut Wulansari
(2003), perendaman benih kayu manis dalam KNO3 3% memberikan hasil yang
PE GARUH KEMASA
SIMPA
DA
PERIODE SIMPA
TERHADAP VIABILITAS DA
VIGOR BE IH PURWOCE G
PADA KO DISI SUHU KAMAR DA
AC
ABSTRACT
The aim of this experiment was to study the effect of packaging and storage period on viability and vigor of seeds in ambient and AC rooms. The experiment were conducted at Gunung Putri Experimental Station Cipanas, Laboratory of Seed Science and Technology IPB, Physiology Laboratory of Indonesian Medical and Aromatic Crops Research Istitute (IMACRI) Bogor, from April to Desember 2009. The experiment was arranged in a Nested/Hierachical Design with 2 factors and 3 replications, where package material of paper, plastik and aluminium foil, as the main plots, and storage period of 0, 2,4, 6,8, and 10 weeks, as the sub3plots. Results of the experiment showed that plastik was the best package material for storing purwoceng seed up to 10 weeks in ambient and air condition (AC) rooms with 7.4% initial water content. In ambient room, seed vigor with seedling growth rate variable increased significantly starting from 4 weeks until 10 weeks, whereas in air condition (AC) room, viability of seed indicated by germination percentage and dry weight of normal seedling variables and seed vigor indicated by germination speed and vigor index variables, were increased starting from 2 or 4 weeks until 10 weeks.
PE DAHULUA
Kualitas benih yang terbaik tercapai pada saat benih masak fisiologis karena pada saat benih masak fisiologis maka berat kering benih, viabilitas, dan vigornya tinggi. Setelah masak fisiologis kondisi benih cenderung menurun sampai pada akhirnya benih tersebut kehilangan viabilitas dan vigornya sehingga benih tersebut mati. Proses penurunan kondisi benih setelah masak fisiologis disebut dengan deteriorasi (Saut 2002). Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Yang dipertahankan adalah viabilitas maksimum benih yang tercapai pada saat benih masak fisiologis atau berada pada stadium II dalam konsep Steinbaurer tahun 1985. Kemasakan fisiologis diartikan sebagai suatu keadaan yang harus dicapai oleh benih sebelum keadaan optimum untuk panen dapat dimulai (Sutopo 2004).
Penyimpanan dalam konsep fisiologi mempunyai arti yang luas yaitu sejak benih tersebut mencapai kematangan fisiologisnya sampai ditanam, dapat pada tanaman, digudang atau dalam rangka pengiriman benih itu ke tempat atau daerah yang memerlukannya. Oleh karena itu, benih perlu diberi perlakuan yang tepat sebelum dan selama dipenyimpanan agar kemunduran benih dapat diperlambat.
Menurut Sadjad (1984) ada tiga faktor yang mempengaruhi daya simpan
benih, yaitu faktor dan faktor Faktor merupakan
faktor yang berhubungan dengan sifat genetik benih. Faktor berhubungan
dengan kondisi lapang sewakm benih diproduksi sedangkan faktor
berhubungan dengan lingkungan simpan benih. Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa faktor lingkungan simpan terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi benih, serangga gudang dan cendawan sedangkan faktor abiotik meliputi suhu, kelembaban dan komposisi gas.
Faktor eksternal yang paling berperan adalah suhu, kelembaban relatif, dan ketersediaan oksigen. Lingkungan penyimpanan berpengaruh nyata terhadap
kualitas benih terutama pada penyimpanan jangka panjang (Lewis . 1998).
Benih yang disimpan pada ruang AC (20 oC, 65% RH) mampu mempertahankan
kondisi kamar viabilitas dan vigor benih mulai menurun saat 15 minggu setelah simpan (Setyaningsih 2002).
Kondisi ruang simpan mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan, terutama RH dan suhu ruang simpan yang merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam mempertahankan daya simpan benih. Penyimpanan benih di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, sering mengalami kendala terutama
karena adanya fluktuasi suhu. Harrington Byrd (1983) menyatakan bahwa
untuk penyimpanan benih selama mungkin tanpa menyebabkan hilangnya daya berkecambah dan vigor dapat dilakukan dengan mengkondisikan lingkungan penyimpanan yang kering dan dingin. Benih yang masa simpannya pendek atau disimpan pada kondisi dingin dan kering dapat mempertahankan viabilitas benih dengan baik pada wadah kertas atau kain porous. Sedangkan benih yang disimpan pada kondisi lingkungan beriklim tropis tidak memiliki perlindungan terhadap kelembaban yang tinggi akan cepat kehilangan viabilitas (Justice dan Bass 2002).
Benih # $ Cass.) yang disimpan selama 1 3 2 bulan
menunjukkan perkecambahan yang rendah. Penyimpanan selama 3 bulan meningkatkan perkecambahan benih sampai mendekati 100%. Benih mulai mundur setelah disimpan selama 12 bulan. Memasuki penyimpanan bulan ke 13 benih telah kehilangan viabilitasnya (Dhakal dan Pandey 2001). Pada benih adas penyimpanan sampai 12 minggu menyebabkan penurunan viabilitas terutama pada tolok ukur berat kering kecambah normal. Periode penyimpanan yang sama
pada suhu rendah (5 oC) menunjukkan laju penurunan berat kering kecambah
normal yang lebih rendah dibanding penyimpanan pada suhu tinggi (26 oC)
(Rochmany 1997).
Penggunaan jenis kemasan merupakan faktor lingkungan simpan yang juga mempengaruhi viabilitas benih. Kemasan benih dirancang untuk melindungi mutu fisik benih selama penyimpanan sehingga kemasan yang dipergunakan harus cukup kuat, tahan pecah dan sobek. Di dalam pengemasan yang penting adalah bahwa bahan pengemas merupakan penahan uap air. Sifat permeabilitas bahan kemas terhadap uap air ini diperlukan untuk mempertahankan kadar air serta viabilitas benih. Sedangkan sifat3sifat lainnya yang tidak kalah pentingnya
(Barlian 1990). Menurut Harrington (1973) jenis kemasan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) kemasan kedap uap air, contohnya aluminium foil, (2) kemasan yang resisten terhadap kelembaban, contohnya plastik polietilen, dan (3) kemasan porous, contohnya kertas.
Pemilihan jenis kemasan harus disesuaikan dengan tipe benih, kadar air awal, RH ruang simpan, kondisi ruang simpan, lama penyimpanan, dan tujuan
akhir dari penyimpanan (Haggerty Byrd 1983). Hasil penelitian Jaya
(2003) menunjukkan bahwa benih bengkuang yang disimpan di ruang AC dengan kemasan aluminium foil memiliki viabilitas sebesar 86.67% setelah disimpan selama empat bulan sedangkan benih bengkuang yang disimpan di suhu kamar dengan kemasan plastik, aluminium foil dan kain blacu viabilitasnya kurang dari 68.00%.
Untuk mempertahankan viabilitas benih sesuai dengan kurun waktu yang ditargetkan, perlu dilakukan teknik penyimpanan yang tepat, diantaranya kadar air benih, kemasan simpan dan suhu ruang simpan.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh kemasan simpan dan periode simpan terhadap viabilitas dan vigor benih purwoceng.
BAHA
DA
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB dan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Cimanggu, Bogor, pada bulan April–Desember 2009.
Metode Penelitian
periode simpan 2 minggu (K1), periode simpan 4 minggu (K2), periode simpan 6 minggu (K3), periode simpan 8 minggu (K4), dan periode simpan 10 minggu (K5). Masing–masing percobaan diulang tiga kali, sehingga didapatkan lima puluh empat kombinasi perlakuan pada satu kondisi suhu.
A. Kondisi suhu kamar
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah : Yijk = µ + Wi+ Uj(W)i+ Kk+ (KW)jk+ ∑ijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada kemasan simpan ke3i, ulangan ke3j, dan
periode simpan ke3k
µ = Rataan umum
Wi = Pengaruh kemasan simpan pada taraf ke3j
Uj(W)i = pengaruh ulangan dalam kemasan
Kk = Pengaruh periode simpan pada taraf ke3k, (k = 0, 2, 4, 6, 8, 10)
(WK)ik = Interaksi antara kemasan ke3j dan periode simpan ke3k
∑ijk = Galat gabungan
B. Kondisi suhu AC
Model rancangan percobaan yang digunakan sama seperti pada percobaan penelitian kondisi suhu kamar.
Pelaksanaan Penelitian
A. Pengambilan Sampel Benih Purwoceng
menggunakan kaca pembesar (Lup), kemudian dipilih benih yang seragam untuk digunakan dalam percobaan ini.
Gambar 3 Morfologi tanaman dan benih purwoceng yang digunakan dalam penelitian.
B. Teknik Penyimpanan Benih Purwoceng
Kemasan yang digunakan terdiri dari tiga macam yaitu kertas samson, plastik polietilen, dan aluminium foil. Sebanyak 100 butir benih yang telah bersih dimasukkan ke dalam setiap jenis kemasan. Kemasan kertas ditutup dengan lem kertas sedangkan kemasan plastik dan aluminium foil ditutup dengan
menggunakan alat perekat ( ). Selanjutnya masing–masing kemasan yang
telah berisi benih di masukkan dalam boks plastik tertutup, disimpan di kondisi
kamar (suhu 26332 oC dan RH 60370%) dan AC (18320 oC dan RH 53360%) di
laboratorium Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Cimanggu, Bogor, selama 10 minggu. Pengujian viabilitas benih dilakukan dengan interval waktu 2 minggu yaitu 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 minggu. Setiap akhir periode simpan dilakukan pengujian viabilitas dan kadar air benih.
[image:33.595.104.509.63.807.2] [image:33.595.112.494.605.730.2]C. Pengujian Viabilitas dan Vigor Benih Purwoceng
Pengujian viabilitas benih dilakukan melalui penanaman benih pada media kertas stensil. Benih dikecambahkan dalam media kertas stensil dengan metode Uji Diatas Kertas (UDK) menggunakan cawan petri yang berdiameter 10 cm. Pada percobaan ini setiap satuan percobaan terdiri atas 50 butir benih untuk pengamatan daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, berat kering kecambah normal dan laju pertumbuhan, dan 50 butir benih untuk pengamatan kadar air.
Pengamatan dilakukan dengan mengamati pertumbuhan kecambah dari benih purwoceng dengan tolok ukur kadar air dan beberapa tolok ukur viabilitas (DB dan BKKN) dan vigor (KCT, IV, dan LPK) antara lain:
1. Kadar Air Benih (KA)
Pengukuran kadar air benih (%) dengan cara menimbang berat kemasan (kertas aluminium) kemudian benih sebanyak 50 butir dimasukkan ke dalam kemasan, ditimbang dan dicatat beratnya sebelum dikeringkan. Setelah ditimbang,
benih di dalam kemasan dioven pada suhu 103 ±2 oC selama 17 jam. Setelah 17
jam benih dikeluarkan dari oven dan diletakkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah dingin ditimbang berat keringnya.
Kadar air benih dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan:
KA : kadar air (%) M I : berat kemasan (g)
M2 : berat awal (benih + kemasan sebelum dioven) (g) M3 : berat akhir (benih + kemasan setelah dioven) (g)
2. Parameter viabilitas diamati berdasarkan tolok ukur: a. Daya Berkecambah (DB)
Keterangan :
KN I = jumlah kecambah normal pada hitungan pertama KN II = jumlah kecambah normal pada hitungan ke dua
b. Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)
Pengukuran rata–rata berat kering kecambah normal (mg) dilakukan diakhir pengamatan. Caranya dengan membuang kotiledonnya dan dioven pada
suhu 60 oC selama 3x24 jam kemudian dimasukkan dalam desikator, setelah
dingin ditimbang berat keringnya. BKKN dihitung berdasarkan nilai rata–rata berat kering kecambah normal.
3. Parameter vigor diamati berdasarkan tolok ukur: a. Kecepatan Tumbuh (KCT)
Kecepatan tumbuh diukur berdasarkan persen kecambah normal pada waktu tanam sampai akhir pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap persentase kecambah normal dibagi dengan etmal (24 jam). Nilai etmal kumulatif dimulai saat benih ditanam sampai dengan waktu pengamatan. Rumus perhitungannya adalah :
Keterangan :
KCT = Kecepatan tumbuh
t = Waktu pengamatan (satuan etmal)
d = Persentase kecambah normal setiap hari pengamatan
b. Indeks Vigor (IV)
c. Laju Pertumbuhan Kecambah (LPK)
Laju pertumbuhan kecambah menggambarkan vigor benih yang dihitung berdasarkan berat kering untuk setiap kecambah normal. Rumus perhitungannya adalah :
Analisa data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan dilakukan melalui analisis ragam. Apabila dalam analisis ragam terdapat pengaruh yang nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjutan terhadap nilai rata–rata perlakuan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan menggunakan prosedur uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DA
PEMBAHASA
A. Kondisi simpan pada suhu kamar
Hasil analisis ragam pengaruh kemasan simpan, periode simpan dan interaksinya terhadap kadar air dan beberapa tolok ukur viabilitas yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kacambah normal maupun vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh, indeks vigor dan laju pertumbuhan kecambah dapat dilihat pada Tabel lampiran 1 sampai dengan 6 dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh kemasan simpan, periode simpan dan interaksinya terhadap tolok ukur kadar air, viabilitas dan vigor benih purwoceng pada suhu kamar
Tolok ukur Perlakuan dan interaksinya
W P W x P
Kadar air * * tn
viabilitas:
Daya berkecambah ** ** tn
Berat kering kecambah normal ** ** tn
Vigor:
Kecepatan tumbuh * ** tn
Indeks vigor tn ** tn
Laju pertumbuhan kecambah ** ** **
Rekapitulasi hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor tunggal kemasan simpan dan periode simpan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur kadar air (KA) benih. Interaksi antara kemasan dan periode simpan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap tolok ukur kadar air.
Viabilitas benih yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal sangat nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal kemasan dan periode simpan. Vigor benih yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal kemasan simpan kecuali indeks vigor yang tidak berpengaruh nyata. Faktor tunggal periode simpan sangat berpengaruh nyata terhadap vigor benih yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh, indeks vigor, dan laju pertumbuhan kecambah. Interaksi antara kemasan dan periode simpan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap viabilitas benih yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal, sedangkan vigor benih yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh dan indek vigor menunjukkan pengaruh tidak nyata kecuali laju pertumbuhan kecambah yang menunjukkan pengaruh sangat nyata.
Tabel 2 memperlihatkan hasil uji lanjut interaksi kemasan simpan dan periode simpan terhadap tolok ukur laju pertumbuhan kecambah.
Tabel 2 Pengaruh interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan terhadap tolok ukur laju pertumbuhan kecambah pada suhu kamar
Periode simpan Kemasan simpan
(Kamar) Kertas Plastik Aluminium foil
Laju pertumbuhan kecambah (mg/KN)
0 Minggu 1.01 (0.51) efg 0.99 (0.50) efg 0.99 (0.48) efg
2 Minggu 1.07 (0.76) def 1.24 (1.04) b3e 1.50 (1.73) ab
4 Minggu 1.45 (1.60) bc 1.77 (2.63) a 1.47 (1.68) abc
6 Minggu 0.87 (0.30) fg 1.31 (1.23) b3e 1.19 (0.97) b3f
8 Minggu 0.77 (0) g 1.42 (1.53) bc 1.35 (1.38) bcd
10 Minggu 0.77 (0) g 1.46 (1.63) abc 1.15 (0.87) c3f
Keterangan: Angka yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+½). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi. Koefisien keragaman (KK) 14.50%.
penyimpanan 4 minggu. Adapun minggu–minggu berikutnya laju pertumbuhan kecambahnya rendah. Pada kemasan plastik laju pertumbuhan kecambah meningkat pada periode simpan 4 minggu, kemudian terjadi penurunan pada periode simpan 6 dan 8 minggu, pada periode simpan 10 minggu laju pertumbuhan kecambahnya meningkat lagi, sedangkan pada kemasan simpan aluminium foil laju pertumbuhan kecambah meningkat pada periode simpan 2 dan 4 minggu, adapun minggu–minggu berikutnya telah mengalami penurunan laju pertumbuhan kecambah. Hal ini di duga pengemasan dengan aluminium foil tidak sempurna sehingga tidak kedap 100%. Kemasan simpan plastik dan aluminium foil terbuat dari bahan kedap udara dan uap air yang memiliki permeabilitas yang lebih kecil terhadap gas oksigen dibandingkan dengan kemasan kertas sehingga laju respirasi benih dalam kemasan plastik berjalan lambat. Kondisi penyimpanan pada suhu kamar mempunyai fluktuasi suhu dan RH. Hal ini memungkinkan masuknya uap air kedalam kemasan yang pada akhirnya akan diserap oleh benih mengingat sifat benih yang higroskopis. Plastik merupakan kemasan yang mempunyai penampakan bervariasi dan transparan, berminyak, mudah dibentuk, lemas, gampang ditarik, daya rentang dan permeabilitas terhadap uap air dan gas
tinggi (Rahayu . 2003).
Faktor tunggal jenis kemasan dan periode simpan terhadap tolok ukur kadar air benih dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar air benih merupakan faktor penting agar viabilitas dan vigor benih dapat dipertahankan di dalam penyimpanan. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penyimpanan benih dengan kemasan kertas pada suhu kamar mengalami peningkatan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan plastik dan aluminium foil yaitu sebesar 10.1%. Kadar air terjadi peningkatan pada periode simpan 4 minggu, periode simpan 6 minggu terjadi penurunan kadar airnya, akan tetapi pada periode simpan 8 minggu terjadi peningkatan kadar air hingga periode simpan 10 minggu. Hal ini disebabkan oleh kemasan kertas yang disimpan pada suhu kamar memiliki suhu
dan RH yang cukup tinggi (suhu 26332 oC dan RH 60370 %). Meskipun
Tabel 3 Pengaruh perlakuan kemasan simpan dan periode simpan terhadap kadar air pada suhu kamar
Periode simpan Kemasan simpan
(Kamar) Kertas Plastik Aluminium foil
Kadar air (%) Rata3rata
0 Minggu 2.8 (7.3) 2.8 (7.4) 2.8 (7.5) 2.8 (7.4) b
2 Minggu 2.9 (7.9) 2.7 (6.9) 2.9 (7.8) 2.8 (7.6) b
4 Minggu 3.6 (13.6) 3.2 (10.1) 3.0 (8.4) 3 3 (10.7) a
6 Minggu 3.2 (9.7) 2.8 (7.3) 2.5 (6.1) 2.8 (7.7) b
8 Minggu 3.5 (12.1) 3.2 (9.8) 3.4 (10.8) 3.3 (10.9) a
10 Minggu 3.2 (9.7) 2.9 (8.1) 2.9 (7.8) 3.0 (8.5) ab
Rata3rata 3.2 (10.1) A 2. 9 (8.3) B 2. 9 (8.1) B
Keterangan: Angka rataan yang dikuti huruf kecil yang sama untuk kolom yang sama dan huruf besar yang sama untuk baris yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+½). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi. Koefisien Keragaman (KK) 12.80%.
Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa benih yang berada dalam kemasan yang terbuat dari bahan kedap uap air yang baik akan menunjukkan perubahan kandungan air yang kecil sedangkan benih yang berada dalam bahan kedap uap air yang buruk akan bertambah dan berkurang kadar airnya dengan
cepat. Menurut Bar Bewley dan Black (1984) pada sistem penyimpanan
tertutup kadar air benih tetap konstan selama periode simpan, tetapi pada penyimpanan terbuka kadar air benih berubah–ubah sesuai dengan perubahan kelembaban nisbi udara di penyimpanan.
meningkat maka kadar air benih juga akan meningkat. Copeland (1976) menyatakan bahwa efektifitas wadah atau pengemas benih ditentukan oleh kemampuannya untuk mempertahankan kadar air benih dan memelihara viabilitas benih selama periode penyimpanan. Berdasarkan Tabel 3, kemasan plastik dan aluminium sebagai kemasan yang aman untuk penyimpanan benih purwoceng karena dapat menjaga kadar air benih tetap konstan. Hal ini sesuai dengan penelitian Sundari (2005) yang menunjukkan bahwa kadar air benih buncis varietas lokal yang disimpan dalam kemasan aluminium foil dapat dipertahankan dengan baik selama 6 bulan periode simpan. Menurut Sutopo (2004), viabilitas benih yang disimpan dengan kandungan air yang tinggi akan cepat mengalami kemunduran. Kadar air benih kol bunga putih yang ≤ 8% aman untuk penyimpanan benih sehingga benih tidak cepat mengalami kemunduran (Wahana 2005). Pengaruh faktor tunggal perlakuan kemasan simpan dan periode simpan terhadap viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan kemasan simpan dan periode simpan terhadap
viabilitas benih purwoceng pada kondisi suhu kamar
Periode Simpan Wadah Simpan
(Kamar) Kertas Plastik Aluminium Foil
Daya Berkecambah (%) Rata3rata
0 Minggu 4.9 (24.7) 5.0 (25. 3) 5.0 (25.3) 5.0 (25.1) a
2 Minggu 5.5 (30.7) 5.8 (33. 3) 5.3 (28. 7) 5.5 (30.9) a
4 Minggu 2.4 (5.3) 2.5 (6.7) 3.3 (10.7) 2.8 (6.0) b
6 Minggu 1.0 (0.7) 2.5 (6.0) 1.6 (2. 7) 1.7 (3.1) c
8 Minggu 0.7 (0) 2.9 (8.0) 2.5 (6.0) 2.0 (4.9) c
10 Minggu 0.7 (0) 2.3 (4.7) 2.3 (5.3) 1.8 (3.3) c
Rata3rata 2.5 (10.3) B 3.5(14.0) A 3.4 (12.3) A
Berat kering kecambah normal (mg) Rata3rata
0 Minggu 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) b
2 Minggu 1.2 (1.1) 1.3 (1.2) 1.2 (1.0) 1.2 (1.1) a
4 Minggu 0.8 (0.2) 0.9 (0.3) 0 .9 (0.4) 0.9 (0.3) c
6 Minggu 0.7 (0) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) 0.8 (0.1) d
8 Minggu 0.7 (0) 0.9 (0.3) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) cd
10 Minggu 0.7 (0) 0.8 (0.2) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) d
Rata3rata 0.8 (0.3) B 1.0 (0.5) A 0.9 (0.4) AB
Tabel 4 menunjukkan bahwa viabilitas benih purwoceng terbaik terdapat pada kemasan plastik dan aluminium foil. Viabilitas benih tertinggi terdapat pada tolok ukur daya kecambah (14.5%), dan berat kering kecambah normal (12.11 mg) (Gambar 5). Daya berkecambah pada awal periode simpan tidak mengalami peningkatan, sedangkan pada tolok ukur berat kering kecambah normal mengalami peningkatan pada periode simpan 2 minggu sampai periode simpan 10 minggu. Hal ini diduga periode simpan benih purwoceng pada kondisi suhu kamar sangat pendek sehingga tidak bisa mempertahankan viabilitas benih sampai pada periode simpan yang lama.
Pada umumnya viabilitas benih mengalami penurunan setelah melewati masa penyimpanan, karena setiap organisme yang hidup selalu mengalami penuaan. Sadjad (1980) menyatakan bahwa periode simpan akan berpengaruh terhadap viabilitas benih, dimana penurunan viabilitas seiring dengan pertambahan waktu.
a. Kertas b. Plastik c. Aluminium foil
Gambar 5 Hasil pengujian daya berkecambah benih purwoceng setelah disimpan selama 2 minggu pada kemasan kertas, plastik, dan aluminium foil.
Tabel 5 Pengaruh perlakuan kemasan simpan dan periode simpan terhadap vigor benih purwoceng pada kondisi suhu kamar
Periode Simpan Kemasan simpan
(Kamar) Kertas Plastik Aluminium Foil
Kecepatan tumbuh (%/etmal) Rata3rata
0 Minggu 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) 1.1 (0.8) b
2 Minggu 1.2 (1.1) 1.3 (1.2) 1.2 (1.0) 1.2 (1.1) a
4 Minggu 0.8 (0.2) 0.9 (0.3) 0.9 (0.4) 0.9 (0.3) c
6 Minggu 0.7 (0) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) 0.8 (0.1) d
8 Minggu 0.7 (0) 0.9 (0.3) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) cd
10 Minggu 0.7 (0) 0.8 (0.2) 0.8 (0.2) 0.8 (0.1) d
Rata3rata 0.8 (0.3) B 1.0 (0.5) A 0.9 (0.4) AB
Indeks Vigor (%) Rata3rata
0 Minggu 0.7 (0) 0.7 (0) 0.7 (0) 0.7 (0) c
2 Minggu 2.2 (4.7) 3.0 (8.7) 2.3 (5.3) 2.5 (6.2) a
4 Minggu 0.7 (0) 1.6 (2.7) 1.3 (1.3) 1.2 (1.3) b
6 Minggu 0.7 (0) 1.3 (1.3) 1.0 (0.7) 1.0 (0.7) bc
8 Minggu 0.7 (0) 1.2 (1.3) 1.0 (0.7) 1.0 (0.7) bc
10 Minggu 0.7 (0) 1.6 (2.0) 1.0 (0.7) 1.1 (0.9) bc
Rata3rata 0.9 (0.8) B 1.6 (2.7) A 1.2 (1.4) AB
Keterangan: Angka rataan yang dikuti huruf kecil yang sama untuk kolom dan huruf besar yang sama untuk baris tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+½). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi. Koefisien Keragaman (KK). KCT:
9.01%, KK.IV: 36.97%.
Tabel 5 menunjukkan bahwa vigor benih terbaik terdapat pada kemasan simpan plastik dan aluminium foil yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh (0.5%/etmal) dan indeks vigor (2.7%). Hal ini menunjukkan bahwa plastik polietilen dan aluminium foil yang digunakan sebagai kemasan simpan benih purwoceng merupakan bahan kedap air dan udara sehingga dapat menahan pertukaran air atau udara dari luar kedalam kemasan. Ini menyebabkan sedikit sekali terjadi penyerapan uap air benih. Toples yang digunakan sebagai tempat penyimpanan diduga mampu menahan pertukaran antar udara juga.
Hasil penelitian Nugraha dan Wahyuni (1998) menunjukkan bahwa benih kedelai Varietas Lawu dalam kemasan plastik mampu mempertahankan daya berkecambah 93% selama 4 bulan penyimpanan, bahkan tetap diatas 80% selama 8 bulan penyimpanan pada ruang simpan kamar.
simpan benih purwoceng pada kondisi suhu kamar sangat pendek sehingga tidak dapat meningkatkan vigor benih sampai pada periode simpan yang lama.
Periode simpan dua minggu mendapatkan hasil terbaik terhadap viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur berat kering kecambah normal (17.94 mg), dan vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh (1.1%/etmal), dan indeks vigor (6.2%) (Gambar 6).
a. 0 minggu b. 2 minggu c. 4 minggu
d. 6 minggu e. 8 minggu f. 10 minggu
Gambar 6 Hasil pengujian daya berkecambah benih purwoceng setelah disimpan selama 0310 minggu dalam kemasan plastik pada suhu kamar.
Penyimpanan benih merupakan periode III dalam periode viabilitas benih dimana benih bisa disimpan dengan vigor yang masih tinggi atau maksimum sebagaimana dicapai pada masak fisiologis. Selama penyimpanan, benih mengalami kemunduran baik secara kronologis maupun fisiologis. Kemunduran kronologis artinya segala benih apapun di dunia ini akan mengalami kemunduran sejalan dengan waktu (Sadjad 1994).
[image:43.595.109.510.167.526.2]akibat suhu dan kelembaban ruang yang tidak menunjang (Sadjad , 1999). Ruang simpan kamar memiliki suhu dan kelembaban yang tidak konstan. Berubah3rubahnya suhu dan kelembaban pada ruang simpan kamar menyebabkan benih selalu berusaha menyeimbangkan kadar airnya dengan kelembaban sekitar (Sundari 2005).
B. Kondisi simpan pada suhu AC
Hasil analisis ragam pengaruh kemasan simpan, periode simpan dan interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan terhadap kadar air dan beberapa tolok ukur viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal maupun vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh, indeks vigor dan laju pertumbuhan kecambah dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7 sampai dengan 12 dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh kemasan simpan, periode simpan dan interaksinya terhadap kadar air, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, berat kering kecambah normal dan laju pertumbuhan kecambah benih purwoceng pada suhu AC
Tolok ukur Perlakuan dan interaksinya
W P W x P
Kadar air tn tn tn
viabilitas:
Daya berkecambah ** ** **
Berat kering kecambah normal ** ** **
Vigor:
Kecepatan tumbuh ** ** **
Indeks vigor ** ** **
Laju pertumbuhan kecambah tn ** tn
Keterangan : W (kemasan simpan), P (periode simpan), ** (berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%), tn (tidak berpengaruh nyata).
sangat nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal kemasan simpan kecuali laju pertumbuhan kecambah yang tidak menunjukkan pengaruh nyata.
Faktor tunggal periode simpan sangat berpengaruh nyata terhadap viabilitas dan vigor benih purwoceng. Interaksi antara kemasan dan periode simpan menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap viabilitas benih yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal, sedangkan vigor benih yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh dan indek vigor menunjukkan pengaruh sangat nyata kecuali laju pertumbuhan kecambah yang menunjukkan pengaruh tidak nyata.
Pengaruh interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan terhadap viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kacambah normal disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Pengaruh interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan pada suhu AC terhadap viabilitas benih purwoceng
Periode Simpan Kemasan simpan
(AC) Kertas Plastik Aluminium foil
Daya Berkecambah (%)
0 Minggu 4.9 (24.7) def 5.0 (24.7) def 4.9 (24.7) def
2 Minggu 5.7 (32.0) cde 6.6 (43.3) a3d 6.4 (40.7) bcd
4 Minggu 4.0 (16.0) e3h 7.3 (54.0) abc 5.5 (30.7) de
6 Minggu 3.4 (11.3) f3i 5.1 (26.0) de 3.2 (10.7) ghi
8 Minggu 4.7 (22.0) efg 8.1 (66.0) a 2.6 (6.7) hi
10 Minggu 2.9 (4.0) i 7.7 ( 58.7) ab 5.7 (35.3) cde
Berat kering kecambah normal (mg)
0 Minggu 2.49 (5.90) ef 2.52 (6.033) ef 2. 53 (6.07) ef
2 Minggu 3.93 (15.77) cd 4.57 (20.53) c 4. 32 (18.53) c
4 Minggu 3.77 (13.70) cde 6.00 (35.60) b 4. 54 (20.17) c
6 Minggu 2.69 (6.83) def 4.00 (15.73) cd 2. 45 (6.23) ef
8 Minggu 4.33 (19.23) c 7.57 (56.90) a 2. 59 (6.40) ef
10 Minggu 1.99 (3.50) f 6.02 (35.93) b 3. 47 (13.89) cde
Keterangan: Angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+½). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi. Koefisien Keragaman (KK) DB: 17.27%, KK. BKKN: 18.47%.
kecambah normal interaksi antara kemasan dan periode simpan berpengaruh sangat nyata. Pada kemasan simpan kertas tidak mengalami peningkatan daya berkecambah pada suhu ruang AC selama periode simpan dibandingkan dengan kemasan plastik dan aluminium foil. Penyimpanan kemasan plastik terjadi peningkatan daya berkecambah pada periode simpan 2 sampai periode simpan 10 minggu. Pada kemasan aluminium foil tidak terjadi peningkatan daya berkecambah mulai dari periode awal simpan sampai dengan periode simpan 10 minggu.
Viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur berat kering kecambah normal terjadi peningkatan pada periode simpan 2 dan 8 minggu dalam kemasan kertas, sedangkan pada periode simpan 4, 6, dan 10 minggu tidak terjadi peningkatan berat kering kecambah normal. pada kemasan plastik terjadi peningkatan berat kering kecambah normal pada periode simpan 2 minggu hingga 10 minggu, periode simpan terbaik benih purwoceng dalam kemasan plastik terdapat pada periode simpan 8 minggu, sedangkan penyimpanan benih dalam kemasan aluminium foil terjadi peningkatan berat kering kecambah normal pada periode simpan 2 minggu hingga 4 minggu.
Benih purwoceng yang disimpan pada kondisi suhu AC pada periode simpan 8 sampai 9 minggu masih menghasilkan viabilitas dan vigor benih purwoceng yang tinggi, ini dapat dilihat pada Gambar 7. Hal ini diduga karena periode simpan untuk benih purwoceng masih cukup panjang sehingga sampai dengan periode simpan 10 minggu viabilitas benih purwoceng masih dapat dipertahankan tetap tinggi dan belum mengalami penurunan. Selain hal tersebut
diduga karena adanya benih3benih yang belum berakhir masa nya
saat memasuki periode simpan. Periode benih dapat dikategorikan
sebagai bagian dari dormansi. Menurut Harjadi (1980) dikenal
sebagai perubahan yang terjadi pada benih kering dan dorman setelah benih lepas dari induknya. Dormansi pada benih tersebut akan hilang setelah disimpan pada suhu tertentu.
Sundari (2005) menduga terdapat fenomena pada benih
96.83%, lebih tinggi dibandingkan dengan awal periode simpan (90.17%) dan periode simpan 2 bulan (89.50%). Demikian pula pada benih buncis varietas lokal yang disimpan dalam kemasan plastik polietilen di kondisi kamar pada periode simpan 4 bulan memiliki nilai indeks vigor sebesar 98.67%, lebih tinggi dibandingkan dengan awal periode simpan (85.83%) dan periode simpan 2 bulan (91.17%).
a. 0 minggu b. 2.minggu c. 4 minggu
d. 6 minggu e. 8 minggu f. 10 minggu
Gambar 7 Hasil pengujian daya berkecambah benih purwoceng setelah disimpan selama 0310 minggu dalam kemasan plastik pada suhu AC.
Pengaruh interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan terhadap vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur kecepatan tumbuh dan indeks vigor disajikan pada Tabel 8.
[image:47.595.114.511.205.537.2]benih dalam kemasan simpan aluminium foil pada kondisi ruang suhu AC tidak terjadi peningkatan terhadap kecepatan tumbuh. Untuk periode simpan 2 minggu, benih yang disimpan dalam kemasan kertas menunjukkan nilai indeks vigor lebih tinggi dibandingkan periode simpan lainnya. Benih purwoceng yang disimpan dalam kemasan plastik menunjukkan penurunan indeks vigor pada periode simpan 4 minggu. Benih yang disimpan pada kemasan plastik menunjukkan indeks vigor meningkat pada periode simpan 2, 8, dan 10 minggu. Periode simpan 10 minggu menghasilkan nilai indeks vigor tertinggi yaitu 31.3%.
Tabel 8 Pengaruh interaksi antara kemasan simpan dan periode simpan pada suhu AC terhadap vigor benih purwoceng
Periode Simpan Kemasan simpan
(AC) Kertas Plastik Aluminium foil
Kecepatan tumbuh (%/etmal)
0 Minggu 1.1 (0.8) e3h 1.1 (0.8) e3h 1.1 (0.8) e3h
2 Minggu 1.3 (1.1) def 1.4 (1.6) bcd 1.4 (1.5) cde
4 Minggu 1.0 (0.5) ghi 1.5 (1.9) abc 1.2 (1.1) d3g
6 Minggu 1.0 (0.4) hi 1.2 (1.0) d3g 1.0 (0.5) hi
8 Minggu 1.1 (0.7) fgh 1.8 (2.6) a 0.8 (0.2) i
10 Minggu 0.8 (0.1) i 1.7 (2.3) ab 1. 3 (1.4) c3f
Indeks vigor (%)
0 Minggu 0.7 (0) f 0.707 (0) f 0.9 (0.3) f
2 Minggu 3.1 (9.3) cd 3.8 (14.0) bc 3.0 (9.3) cde
4 Minggu 0.7 (0) f 2.0 (4.7) c3f 1.3 (1.3) ef
6 Minggu 2.0 (4.0) c3f 3.4 (11.3) c 2.1 (5.3) c3f
8 Minggu 1.5 (2.0) def 5.3 (28.0) ab 0.7 (0) f
10 Minggu 0.7 (0) f 5.6 (31.3) a 3.2 (16.0) cd
Keterangan: Angka yang dikuti dengan huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+½). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi. Koefisien Keragaman (KK) KCT: 11.52%, KK. IV: 42.02%.
Benih purwoceng yang disimpan dalam kemasan aluminium foil terjadi penurunan indeks vigor pada periode simpan 4 sampai 8 minggu, sedangkan pada periode simpan 10 minggu indeks vigor benih purwoceng meningkat. Hal ini
diduga karena penyimpanan benih dalam kemasan plastik mampu
[image:48.595.102.513.185.807.2]terhadap gas oksigen dibandingkan kemasan kertas dan aluminium foil sehingga laju respirasi benih dalam kemasan plastik berjalan lebih lambat.
Penggunaan kemasan plastik mempunyai keunggulan dibandingkan bahan kemasan lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2 dan CO2 (Numinah 2002). Pengaruh lain dari kemasan plastik adalah melindungi produk dari perubahan kadar air karena bahan kemasan dapat menghambat terjadinya
penyerapan uap air dari udara (Loekman . 1991 Hafriyanti 2008). Pada
kemasan kertas yang terbuat dari bahan porous, memiliki permeabilitas lebih besar terhadap gas oksigen sehingga respirasi benih lebih efektif karena kadar oksigen dalam kemasan tersebut berada dalam jumlah yang optimum tersedia.
Pengaruh faktor tunggal periode simpan terhadap vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur laju pertumbuhan kecambah dapat dilihat pada Tabel 9.
Table 9 Pengaruh faktor tunggal periode simpan terhadap vigor benih purwoceng dengan tolok ukur laju pertumbuhan kecambah pada suhu AC
Periode simpan Laju pertumbuhan kecambah
(mg/KN)
0 minggu 0.99 d
2 minggu 1.19 c
4 minggu 1.41 ab
6 minggu 1.28 bc
8 minggu 1.52 a
10 minggu 1.38 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Koefisien Keragaman (KK) 12.142%.
bulan pada suhu dan kelembaban nisbi lingkungan simpan terkendali yaitu pada suhu diatas titik beku. Menurut Roberts (1972) suhu tinggi dapat menyebabkan
periode lebih pendek, sedangkan pada suhu rendah pematahan
terjadi lebih lama. Pada umumnya viabilitas benih mengalami penurunan setelah melewati masa penyimpanan, karena setiap organisme hidup selalu mengalami penuaan. Sadjad (1980) menyatakan bahwa periode simpan akan berpengaruh terhadap viabilitas benih, dimana penurunan viabilitas seiring dengan pertambahan waktu.
SIMPULA
Pada kondisi suhu kamar, faktor tunggal kemasan simpan dan periode simpan berpengaruh nyata terhadap viabilitas dan vigor benih purwoceng. Kemasan plastik dan aluminium foil merupakan kemasan terbaik untuk benih purwoceng dibandingkan kemasan kertas. Pada periode simpan 2 minggu mulai terlihat adanya peningkatan viabilitas benih purwoceng, dimana daya berkecambah benih awalnya 25.1% menjadi 30.9%, dan berat kering kecambah normal dari 0.8 mg menjadi 1.1 mg. Berdasarkan tolok ukur kecepatan tumbuh, vigor benih terlihat meningkat dari 0.8 %/etmal menjadi 1.1 %/etmal dan indeks vigor dari 0% menjadi 6.2%. Sebagai tolok ukur vigor benih, laju pertumbuhan kecambah juga menunjukkan peningkatan pada perlakuan kemasan plastik mulai minggu ke 4 hingga minggu ke 10.
PE GARUH I VIGORASI TERHADAP VIABILITAS DA
VIGOR BE IH PURWOCE G
ABSTRACT
The aim of this experiment was to study the effect of invigoration on viability and vigor of purwoceng seeds. The experiment was conducted at Physiology Laboratory of Indinesian Medical and Aromatic Crops Research Istitute (IMACRI) Bogor, from September to Desember 2009. This experiment was arranged in a Completely Randomized Design with single factor of invigoration including 11 treaments, i.e. Control, PEG 6000 (3 0.2 MPa, 3 0.4
MPa, 3 0.6 MPa, and – 0.8 MPa), KNO3 (01%, 02%, and 03 %), and GA3 (25
ppm, 50 ppm, 75 ppm, and 100 ppm). Result of the experiment showed that GA3
of 75 ppm and 100 ppm produced the highest speed of germination indicated that those were the best invigoration treatments for increasing seed vigor of purwoceng seed.
PE DAHULUA
Penggunaan benih bermutu tinggi adalah prasyarat penting untuk menghasilkan produksi tanaman yang menguntungkan secara ekonomis. Sebaliknya, penggunaan benih yang bermutu rendah akan menghasilkan persentase pemunculan bibit yang rendah pula, dan bibit yang kurang toleran terhadap cekaman abiotik dan lebih sensitif terhadap penyakit tanaman yang pada akhirnya akan menurunkan hasil (Ilyas 2005).
Proses invigorasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk meningkatkan vigor benih yang telah mengalmi deteriorisasi atau kemunduran.
Proses invigorasi dapat dilakukan sebelum benih ditanam ( ),
sebelum benih disimpan ( ) atau diantara penyimpanan benih
( ). Teknik invigorasi ada berbagai cara, yaitu
%
dan
atau biasanya dilakukan pada suhu 15
atau 200C dalam larutan PEG untuk mengatur potensial air yang kira–kira antara 3
1,0 sampai dengan 32,0 MPa (Karssen . 1989). Bagaimanapun pengaruh yang
menguntungkan ini tergantung pada kondisi potensial air, suhu, oksigen dan lama
perlakuan (Haigh dan Barlow 1987). Invigorasi menggunakan 3
PEG31,0 MPa, 3 KNO3 0,2% (30,46) mampu memperbaiki
viabilitas dan vigor benih adas manis sampai 25 minggu periode simpan
(Setyaningsih 2002). Harris . (2005) melaporkan bahwa benih–benih yang di3
melalui perendaman dengan air ( & ) dapat tahan terhadap penyakit
dan memiliki vigor yang tinggi pada saat ditanam di lapang. Benih yang
digunakan untuk adalah benih gandum, jagung, padi, sorgum, kacang
hijau, dan kacang panjang. Keuntungan ‘on3farm’ pada benih jagung,
benih padi dan benih sorgum dilaporkan oleh Harris (2001) yang meliputi
perkembangan dan keseragaman benih yang lebih cepat, tanaman menjadi lebih vigor dan tahan terhadap kekeringan, serta pembungaan dan panen yang lebih cepat dan meningkatkan hasil panen menjadi lebih tinggi.
ditingkatkan performansinya dengan memberi perlakuan invigorasi. Taylor
(1998) mendefinisikan sebagai perlakuan pasca panen yang
memperbaiki perkecambahan atau pertumbuhan kecambah, atau memfasilitasi benih dan materi lain yang diperlukan saat tanam. Definisi ini mencakup tiga
metode umum: (1) ' ( (2)
dan (3) ( termasuk
sistem penyerapan air tidak terkontrol (metode dimana air tersedia bebas dan tidak dibatasi oleh lingkungan) dan sistem terkontrol (metode yang mengatur kadar air sehingga mencegah perkecambahan).
Saat ini perlakuan invigorasi benih merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi viabilitas benih yang rendah yaitu dengan cara memberi perlakuan benih sebelum ditanam untuk mengaktifkan kegiatan metabolisme benih sehingga benih siap memasuki fase perkecambahan (Khan Sutariati 2002). Menurut Sutariati (2002), berbagai cara dapat dilakukan sehubungan dengan perlakuan invigorasi benih sebelum tanam, namun demikian
cara yang umum digunakan adalah dengan (
dengan menggunakan larutan osmotik seperti PEG, KNO3, KH2PO4, NaCL dan
Manitol) dan dengan menggunakan media padat, seperti Micro3
Cel E, Vermikulit, juga telah dipelajari beberapa media alternatif antara lain abu gosok dan serbuk gergaji.
Perlakuan invigorasi secara dapat mengontrol masuknya air
ke dalam benih secara tepat sehingga mempengaruhi proses fisiologi dan selular dalam benih. Ini menyebabkan peningkatan perkecambahan dan performansi
benih di lapang (Hacisalihoglu dan Khan 1997). Menurut Fu Sutariati
(2002), penyerapan air yang lebih lambat dapat memperbaiki membran benih. Beberapa jenis enzim yang erat kaitannya dengan perbaikan membran meningkat selama perlakuan invigorasi. Perubahan komposisi lemak membran akibat aktivitas enzim tersebut menyebabkan meningkatnya integritas membran sehingga mengurangi kebocoran metabolit yang akan mempengaruhi viabilitas benih.
benih kangkung dalam GA3 100 ppm dapat meningkatkan kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh dan daya berkecambah. Benih kacang tanah (
L.) yang disimpan 0 bulan dan diberi perlakuan invigorasi dengan GA3
100 ppm, GA3 150 ppm, dan & 1500 ppm dapat meningkatkan berat
kering kecambah normal (Sitorus 2005).
Benih purwoceng memiliki viabilitas dan vigor yang rendah pada saat panen, sehingga perlu diberi perlakuan invigorasi.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi terhadap viabilitas dan vigor benih purwoceng.
BAHA
DA
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Cimanggu, Bogor, pada bulan September–Desember 2009.
Metode Penelitian
Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor tunggal invigorasi, yang terdiri atas 11 perlakuan, yaitu kontrol,
PEG 6000 0.2 MPa, 30.4 MPa, 30.6 MPa, dan 30.8 MPa, KNO3 0.1%, 0.2%, dan
0.3 %, dan GA3 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm, dan 100 ppm. Ulangan dilakukan
sebanyak tiga kali sehingga terdapat tiga puluh tiga satuan percobaan. Jumlah total benih yang digunakan adalah 3300 butir benih, dimana setiap percobaan menggunakan seratus butir benih.
Model rancangan yang digunakan adalah: Yij= µ + Vi+ εij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan invigorasi ke3i, dan ulangan ke3j
µ = Rataan umum
Vi = Pengaruh perlakuan invigorasi ke3i
Pelaksanaan Penelitian
A. Pengambilan Sampel Benih Purwoceng
Benih yang digunakan berasal dari KP. Gunung Putri, BALITTRO, Cipanas. Benih dipanen pada umur delapan minggu setelah antesis dengan cara menandai bunga yang telah mucul pada tanaman purwoceng. Setelah delapan minggu benih dipanen dan dikering angin, kemudian dilakukan pembersihan dan pemilahan benih dengan menggunakan kaca pembesar (Lup), sehingga mendapatkan benih yang seragam.
Gambar 8 Benih purwoceng yang digunakan dalam penelitian.
B. Perlakuan Invigorasi Benih Purwoceng
Benih purwoceng yang telah dipilih kemudian disimpan dalam kemasan
kertas samson pada suhu kamar (20–260C) selama enam minggu. Invigorasi
dilakukan dengan cara benih direndam dalam larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 30.2, 30.4, 30.6, dan 30.8 MPa, KNO30.1, 0.2, dan 0.3 %, dan GA325, 50, 75, dan 100 ppm dengan menggunakan cawan petri yang berdiameter 10 cm, dilapisi dengan kertas stensil sebanyak tiga lembar, masing–masing petri diberi 6 ml selama dua minggu pada kondisi ruang AC. Setelah dua minggu perlakuan invigorasi terlihat benih sudah mulai retak, benih di cuci pada air yang mengalir, dikering anginkan selama 15 menit kemudian baru ditanam pada media baru yang sudah disiapkan. Setiap satu satuan percobaan digunakan 100 butir benih.
Untuk mendapatkan taraf potensial osmotik larutan, didasarkan pada
[image:55.595.136.475.275.400.2]PEG 6000 ditentukan berdasarkan rumus Michel dan Kaufmann (1973):
Ψ = 3(1.18 x 1032) C – (1.18 x 1034) C32+ (2.67 x 1034) CT + (8.39 x 1037) C2T
Keterangan:
Ψ = Tekanan osmotik larutan (Bar; 1 Bar = 0.1 MPa)
C = Konsentrasi PEG (g PEG/kg H2O)
T = Suhu ruangan (0C),
C. Pengujian Viabilitas dan Vigor Benih Purwoceng
Pengujian viabilitas dan vigor dilakukan melalui penanaman benih pada media kertas stensil. Benih dikecambahkan dalam media kertas stensil dengan metode Uji Diatas Kertas (UDK). Pada percobaan ini dilakukan pengamatan terhadap tolok ukur daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, berat kering kecambah normal dan laju pertumbuhan kecambah. Perkecambahan dilakukan dengan menggunakan cawan petri yang berdiameter 10 cm.
Gambar 9 Uji viabilitas dan vigor benih purwoceng.
Kegiatan pengamatan pada penelitian dilakukan terhadap parameter viabilitas dan vigor benih.
A.Parameter viabilitas diamati berdasarkan tolok ukur:
1. Daya Berkecambah (DB)
Keterangan :
KN I = jumlah kecambah normal pada hitungan pertama KN II = jumlah kecambah normal pada hitungan ke dua
2. Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)
Pengukuran rata–rata berat kering kecambah normal (mg) dilakukan diakhir pengamatan. Caranya dengan membuang kotiledonnya dan dioven pada
suhu 60 oC selama 3x24 jam kemudian dimasukkan dalam desikator, setelah
dingin ditimbang berat keringnya. Berat kering kecambah normal dihitung
berdasarkan nilai rata – rata berat kering kecambah normal.
B.Parameter vigor diamati berdasarkan tolok ukur:
1. Kecepatan Tumbuh (KCT)
Kecepatan tumbuh diukur berdasarkan persen kecambah normal pada waktu tanam sampai akhir pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap persentase kecambah normal dibagi dengan etmal (24 jam). Nilai etmal kumulatif dimulai saat benih ditanam sampai dengan waktu pengamatan. Rumus perhitungannya adalah :
Keterangan :
KCT = Kecepatan tumbuh
t = Waktu pengamatan (satuan etmal)
d = Persentase kecambah normal setiap hari pengamatan
2. Indeks Vigor (IV)
3. Laju Pertumbuhan Kecambah (LPK)
Laju pertumbuhan kecambah menggambarkan vigor benih yang dihitung berdasarkan berat kering untuk setiap kecambah normal. Rumus perhitungannya adalah :
Jika dalam analisis ragam ternyata perlakuan yang diberikan menunjukkan pengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan membandingkan nilai tengah menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 0.05
HASIL DA
PEMBAHASA
Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah (DB) dan berat kering kecambah normal (BKKN) dan vigor benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur
kecepatan tumbuh (KCT), indeks vigor (IV) dan laju pertumbuhan kecambah
(LPK) dapat dilihat pada Tabel Lampiran 13 sampai dengan 17 dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh invigorasi terhadap viabilitas (daya berkecambah dan berat kering kecambah normal) dan vigor (kecepatan tumbuh, indeks vigor dan laju pertumbuhan kecambah) benih purwoceng.
Tolok ukur Perlakuan invigorasi
Viabilitas:
Daya berkecambah **
Berat kering kecambah normal tn
Vigor:
Kecepatan tumbuh **
Indeks vigor **
Laju pertumbuhan kecambah **
Keterangan : ** (berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%), tn (tidak berpengaruh nyata).
dengan tolok ukur kecepatan tumbuh, indeks vigor, dan laju pertumbuhan kecambah kecuali berat kering kecambah normal yang menunjukkan pengaruh tidak nyata.
Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap viabilitas benih purwoceng yang diukur dengan tolok ukur daya berkecambah disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Pengaruh invigorasi terhadap viabilitas benih purwoceng
Perlakuan invigorasi Daya berkecambah (%)
Kontrol 64.7 abc
PEG 6000 (30.2) MPa 59.3 a3d
PEG 6000 (30.4) MPa 61.3 a3d
PEG 60