BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produktivitas Masyarakat Pedesaan
Produktivitas menurut Sudomo (2006), mempunyai berbagai pengertian
terpenting sebagai berikut :
1. Produktivitas ialah rasio dari apa yang dihasilkan (output) terhadap
keseluruhan faktor produksi yang digunakan (input)
2. Dewan Produktivitas Nasional Indonesia merumuskan produktivitas
sebagai berikut : Produktivitas pada dasarnya adalah sesuatu sikap mental
yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus
lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
3. Produktivitas mengikut sertakan pendayagunaan secara terpadu sumber
daya manusia dan ketrampilan barang modal, teknologi, manajemen,
informasi, energi dan sumber-sumber lain menuju kepada pengembangan
dan peningkatan standar hidup untuk seluruh masyarakat melalui konsep
produktivitas semesta/total.
4. Produktivitas adalah kekuatan pendorong (driving force) untuk mewujudkan kualitas hidup, pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial
yang pada hakekatnya adalah sasaran pembangunan nasional. Dengan
perkataan lain produktivitas mendorong pertumbuhan dan pertumbuhan
adalah kemajuan. Untuk suatu negara ukurannya adalah Gross Domestik
Product (GDP) sedangkan untuk perorangan diukur dengan jam kerja
Menurut Balai Pengembangan Produktivitas Tenaga Kerja, produktivitas
dipandang dari 2 segi yaitu :
a. Secara Filosofis adalah suatu pandangan bahwa kualitas kerja hari ini,
harus lebih baik dari kualitas kerja kemarin dan kualitas kerja hari esok,
harus lebih baik dari hari ini atau kualitas kerja kehidupan hari ini, harus
lebih baik dari kemarin dan kualitas esok harus lebih baik dari hari ini.
Dengan kata lain, merupakan sikap mental untuk selalu melakukan
perbaikan dan peningkatan dalam bekerja dan dalam penghidupan pada
umumnya.
b. Secara teknis merupakan rasio antara keluaran (output) dan masukan
(input), atau dengan formula : Output dibagi dengan Input.
2.2. Manfaat Produktivitas Bagi Masyarakat
Produktivitas merupakan salah satu faktor kunci dalam mendorong
kehidupan dan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Mutu kehidupan di negara
yang ekonominya telah maju ternyata lebih tinggi dibanding dengan mutu
kehidupan di negara-negara yang sedang berkembang. Beberapa manfaat yang
dapat diperoleh dalam memasyarakatkan produktivitas, secara garis besar
diantaranya adalah :
b. Meningkatkan produktivitas nasional. Dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi akan terwujud kemakmuran rakyat yang ditandai
dengan standard hidup yang lebih baik. Standard hidup yang lebih baik
antara lain, perolehan pendapatan perkapita lebih besar, pelayanan sosial
dari berbagai sektor meningkat terutama dari sektor swasta. Hasil-hasil
yang diperoleh dapat digunakan untuk membiayai pembangunan,
terutama pada sektor-sektor yang berkaitan dengan infrastruktur dan
pengembangan pendidikan, yang dianggap sebagai pilar peningkatan
kualitas disegala aspek kehidupan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi, diharapkan akan menjadi daya tarik investor untuk
menanamkan modalnya.
c. Meningkatkan produktivitas regional. Di tingkat regional,
masing-masing propinsi/ Kota/ Kabupaten saling berlomba untuk berkreatifitas
dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga memiliki
daya saing yang lebih tinggi. Tingginya tingkat produktivitas di salah
satu daerah, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah lainnya.
d. Meningkatkan produktivitas sektoral. Peningkatan produktivitas di
tingkat sektoral memberi manfaat pada suatu daerah, untuk mengetahui
sektor mana yang merupakan prioritas utama, yang perlu dikembangkan
serta subsektor apa saja yang menjadi komoditi andalan daerah tersebut.
Mengetahui peningkatan produktivitas tingkat nasional, regional dan
maupun sektoral merupakan salah satu instrumen dalam merumuskan
kebijaksanaan pemerintah dalam menyusun perencanaan pembangunan.
e. Memperkuat daya saing perusahaan, karena dapat memproduksi dengan
biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik.
f. Menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan, karena dengan
peningkatan produktivitas perusahaan akan memperoleh keuntungan ang
g. Menunjang terwujudnya hubungan industrial yang lebih baik, terutama
apabila nilai tambah yang diperoleh disebabkan peningkatan
produktivitas dan dinikmati secara bersama oleh pengusaha, karyawan,
masyarakat dan negara.
h. Mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja, kesempatan kerja yang
disebabkan ekspansi perusahaan.
2.3. Faktor Produksi dan Tingkat Produktivitas
Faktor produksi adalah semua masukan yang diberikan pada proses
produksi agar menghasilkan output. Beberapa literatur menyebutkan faktor
produksi dengan istilah input, atau faktor produksi keluaran produksi. Faktor
produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh. Hubungan
antara faktor produksi (input) dan produksi (output) disebut fungsi produksi.
Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan
antara tingkat produksi dan tingkat penggunaan faktor produksi (Boediono, 2002).
Faktor produksi menggambarkan bahwa bentuk umum fungsi produksi yang bisa
menampung berbagai kemungkinan substitusi antara kapital [K], tenaga kerja [L],
adalah sebagai berikut :
Q = f (K, L)
Dimana :
Q = Output atau keluaran
K = Stok Capital atau modal
Analisis fungsi produksi sering digunakan untuk mendapatkan informasi
bagaimana sumber daya yang terbatas dapat dikelola dengan baik agar produksi
maksimum dapat diperoleh. Dalam pemakaian fungsi produksi, kondisi efisiensi
harga dipakai sebagai patokan, yaitu dengan mengatur penggunaan faktor
produksi sedemikian rupa, sehingga nilai produk marginal suatu input X sama
dengan harga faktor produksi (input) tersebut.
Setiap faktor produksi yang terdapat dalam perekonomian adalah dimiliki
oleh seseorang. Pemiliknya menjual faktor produksi tersebut kepada pengusaha
dan sebagai balas jasanya mereka akan memperoleh pendapatan. Pendapatan yang
diperoleh masing-masing jenis faktor produksi tersebut tergantung kepada harga
dan jumlah masing-masing faktor produksi yang digunakan. Jumlah pendapatan
yang diperoleh berbagai faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan
sesuatu barang adalah sama dengan harga barang tersebut (Sukirno, 2002).
Fungi produksi pada persamaan (2.3) dapat diturunkan dengan
memasukkan sumber daya [M) dengan rumus :
Q = f (K, L,M)
Fungi produksi tersebut dapat diturunkan dengan memasukkan teknologi
[T) dengan rumus :
Q = f (K, L,M,K)
Sehingga dapat lengkap menjadi fungsi produksi yang memasukkan semua unsur
faktor produksi.
Berdasarkan modul Depnaker Langkat (2000), faktor- faktor yang
berpengaruh terhadap produktivitas individu tenaga kerja adalah :
a. Motivasi kerja yaitu suatu dorongan kehendak yang mempengaruhi
perilaku tenaga kerja, untuk berusaha meningkatkan produktivitas kerja
karena adanya keyakinan bahwa peningkatan produktivitas mempunyai
manfaat bagi dirinya.
b. Disiplin kerja yaitu sikap atau tingkah laku berupa kepatuhan dan ketaatan
secara sadar terhadap aturan yang berlaku dalam lingkungan kerja, karena
adanya keyakinan bahwa dengan aturan-aturan itu tujuannya dapat
tercapai.
c. Etika kerja adalah seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang diterima
sebagai pedoman, pola tingkah laku tenaga kerja. Jika tenaga kerja
mempunyai sikap mental produktif, maka dimungkinkan akan mampu
mengarahkan dan mengerahkan kemampuan yang dimilikinya untuk
meningkatkan produktivitas.
2. Pendidikan
Pada umunya orang yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, formal atau
informal akan mempunyai wawasan yang lebih luas terutama dalam penghayatan
akan arti pentingnya produktivitas. Tingginya kesadaran akan pentingnya
produktivitas, mendorong tenaga kerja bersangkutan melakukan tindakan
produktif.
3. Ketrampilan
Tenaga kerja yang terampil akan lebih mampu bekerja serta akan
menggunakan fasilitas kerja dengan baik. Tenaga kerja akan menjadi lebih
4. Kemampuan Manajerial
Pengertian manajemen berkaitan dengan sistem yang diterapkan oleh
pimpinan untuk mengelola, ataupun memimpin serta mengendalikan karyawan
bawahannya. Apabila cara mengelolanya tepat, maka akan menimbulkan
semangat yang lebih tinggi, tenaga kerja terdorong untuk melakukan tindakan
yang produktif. Terdapat berbagai sistem manajemen diantaranya adalah
manajemen berdasarkan sasaran pengendalian Mutu Terpadu (Total Quality
Control). Terutama tentang total quality control sudah banyak diterapkan di berbagai negara dan menunjukkan hasil yang positif dalam upaya meningkatkan
produktivitas tenaga kerja.
5. Tingkat Penghasilan
Apabila tingkat penghasilan cukup akan menimbulkan konsentrasi kerja
dan mengerahkan kemampuan yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas.
6. Gizi dan Kesehatan
Apabila kebutuhan gizi dan kesehatan terpenuhi, maka tenaga kerja akan
memiliki daya tahan fisik yang lebih kuat dan mampu mempertahankan
konsistensi kerja dan memperbaiki motivasi kerja, sehingga akan berdampak pada
peningkatan produktivitas.
7. Jaminan Sosial dan kesejahteraan
Jaminan sosial yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada karyawannya,
pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pengabdian dan semangat kerja.
Apabila jaminan sosialnya mencukupi, maka akan menimbulkan kesenangan
bekerja sehinga mendorong pemanfaatan kemampuan yang dimiliki untuk
8. Kemiskinan
Lingkungan dan iklim kerja yang baik akan mendorong karyawan untuk
betah bekerja, meningkatkan rasa tanggung jawab dan meningkatkan kualitas
kehidupan kerja sehingga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas.
9. Sarana Produksi
Mutu sarana produksi sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas.
Apabila sarana produksi yang digunakan tidak baik, kadang-kadang dapat
menimbulkan pemborosan bahan. Sarana produksi yang baik apabila yang
digunakan oleh tenaga kerja yang trampil akan mendorong peningkatan
produktivitas.
10. Teknologi
Apabila teknologi yang digunakan sesuai dan mempertimbangkan aspek
ekonomis, teknis dan sosial, maka diharapkan akan berdampak terhadap :
a. Penyelesaian proses produksi yang tepat waktu.
b. Jumlah produksi yang dihasilkan lebih banyak dan bermutu.
c. Pemborosan bahan baku dapat ditekan seminimal mungkin.
Dari berbagai faktor yang telah dikemukakan, faktor sikap mental dan
ketrampilan sangat besar perannya dalam rangka peningkatan produktivitas, maka
perlu dilakukan berbagai upaya untuk memantapkan sikap mental serta
meningkatkan ketrampilan tenaga kerja.
11. Kesempatan bekerja
Seorang karyawan bekerja tentunya mengharapkan peningkatan karier
ataupun pengembangan potensi dari pribadinya, yang nantinya akan bermanfaat
untuk berprestasi, maka akan menimbulkan dorongan psikologis untuk
meningkatkan semangat berkarya, dedikasi serta pemanfaatan potensi yang
dimilikinya untuk meningkatkan produktivitas.
2.4. Model Pengukuran Produktivitas Berdasarkan Pendekatan Rasio Input dan Output
Pengukuran produktivitas berdasarkan pendekatan rasio input dan output
akan mampu menghasilkan tiga jenis pengukuran produktivitas, yaitu
produktivitas parsial, produktivitas total faktor dan produktivitas total.
a. Produktivitas Parsial
Produ ktivitas parsial sering juga disebut dengan produktivitas faktor tunggal
yang merupakan rasio dari output terhadap salah satu jenis input. Sebagai
contoh, produktivitas tenaga kerja merupakan ukuran produktivitas parsial
bagi input tenaga kerja yang diukut berdasarkan rasio output terhadap input
tenaga kerja.
Produktivitas Tenaga Kerja = Output periode tertentu
Input tenaga kerja periode tertentu
b. Produktivitas Total Faktor
Produktivitas total faktor merupakan rasio dari output terhadap banyaknya
input modal dan tenaga kerja yang digunakan. Output bersih adalah hasil
pengurangan total output dengan barang-barang dan jasa antara (input) yang
digunakan dalam proses produksi. Berdasarkan definisi tersebut, maka jenis
input yang dipergunakan dalam pengukuran produktivitas total faktor adalah
Produktivitas Total Faktor (PTF) = output bersih
Input tenaga kerja+modal
c. Produktivitas Total
Produktivitas total merupakan rasio dari output total terhadap input total
(semua input yang digunakan dalam proses produksi). Berdasarkan definisi
tersebut, tampak bahwa ukuran produktivitas total merefleksikan dampak
penggunaan semua input secara bersama dalam memproduksi output.
Produktivitas total = total output (tangiable)
Total input (tangible)
Total output (tangiable) diartikan sebagai semua output yang dihasilkan oleh
perusahaan yang jumlahnya dapat diukur yaitu hasil penjumlahan nilai
produk jadi, nilai produk setengah jadi, bunga dari saham dan pendapatan
lain-lain. Sedangkan total input (tangible) terdiri dari depresiasi mesin,
material yang digunakan, tenaga kerja, energi seperti listrik, air dan gas, serta
perawatan mesin.
Menurut Muchdansyah Sinungan (1992) menyatakan bahwa produktivitas
adalah konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih
banyak barang dan jasa untuk lebih banyak manusia dengan menggunakan
sumber- sumber ril yang semakin sedikit dengan produk perusahaan sehingga
dikaitkan dengan skill karyawan. Dari uraian tersebut maka dengan kata lain
produktivitas merupakan tolok ukur efisiensi produktif suatu perbandingan antara
hasil keluaran dan masukan. Masukan seringkali dibatasi oleh masukan tenaga
kerja, sedangkan keluaran diukur dengan satuan fisik, bentuk atau nilai (Ravianto,
Produktivitas tenaga kerja merupakan gambaran kemampuan pekerja
dalam menghasilkan output. Hal ini karena produktivitas merupakan hasil yang
diperoleh oleh suatu unit produksi dengan jumlah tenaga kerja yang dimiliki,
dengan produktivitas kerja yang tinggi menunjukkan kemampuan yang dimiliki
oleh tenaga kerja juga tinggi. Produktivitas mengandung pengertian
filosofis-kualitatif dan kuantitatif-teknis operasional. Secara filosofis-filosofis-kualitatif,
produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang berusaha
untuk miningkatkan mutu kehidupan. Keadaan hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin, dan mutu kehidupan besok harus lebih baik dari pada hari ini.
Produktivitas tenaga kerja juga dapat dilihat dari nilai produksi. Nilai
produksi adalah tingkat produksi atau keseluruhan jumlah barang yang merupakan
hasil akhir proses produksi pada suatu unit usaha yang selanjutnya akan dijual
atau sampai ke tangan konsumen. Naik turunnya permintaan pasar akan hasil
produksi dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila permintaan hasil produksi
perusahaan atau industri meningkat, produsen cenderung untuk menambah
kapasitas produksinya. Untuk maksud tersebut produsen akan menambah
penggunaan tenaga kerjanya (Sudarsono, 1990).
Untuk definisi kerja secara kuantitatif, produktivitas merupakan
perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan dengan keseluruhan
sumber daya (masukan) yang digunakan per satuan waktu (Simanjutak, 1985).
Produktivitas dapat juga didefinisikan sebagai perbandingan antara hasil kerja
yang telah dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan dalam waktu
tertentu. Satuan ukurannya adalah angka yang menunjukkan ratio antara output
banyak dalam jangka waktu yang sama, atau suatu tingkat produksi tertentu dapat
dihasilkan dalam waktu yang lebih singkat.
2.5. Pasar Kredit, Modal Usaha dan Teknologi
Ada tiga macam ukuran untuk menilai pertumbuhan ekonomi yaitu
pertumbuhan output, pertumbuhan output per pekerja, dan pertumbuhan output
per kapita. Pertumbuhan output digunakan untuk menilai pertumbuhan kapasitas
produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan tenaga kerja dan modal di
wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja sering digunakan sebagai
indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut (melalui pertumbuhan
produktivitas). Sedangkan pertumbuhan output per kapita digunakan sebagai
indikator perubahan kesejahteraan ekonomi (Bhinadi, 2003).
Bila membahas mengenai persoalan kredit, maka pandangan kita tidak
lepas dari pembahasan mengenai pasar kredit. Secara singkat pasar kredit dapat
diartikan sebagai pertemuan antara penjual dan pembeli yang ada di pasar kredit,
atau dengan kata lain terjadinya transaksi kredit antara pemberi kredit (kreditor)
dengan penerima kredit (debitor). Dalam hal ini pihak kreditor menawarkan
sejumlah uang tertentu, dan pihak distributor akan menerima sejumlah uang
tertentu. Selanjutnya besarnya jumlah dana yang dapat di pinjamkan oleh Si
pemberi kredit ini disebut dengan loanable funds (Harunnurrasyid, 2002).
Dalam teori pasar kredit, keseimbangan pasarnya terjadi bila pertemuan
antara pemerintah dan penawaran kredit. Menurut George N. Halm (Dalam Farid
Wijaya, 1999), faktor-faktor utama yang mempengaruhi penawaran loanable
working capital dan berbagi kebijaksanaan ekonomi (antara lain kebijaksanaan perpajakan atau tax policies). Selanjutnya dari segi permintaan loanable funds
dipengaruhi oleh interest rate (tingkat bunga) dan dependent on the anticipated
profitability of the planed invesment (kemampuan antisipasi perilaku keuntungan
dari investasi yang di rencanakan).
Sedangkan menurut Charles L. Prather (Dalam Wayne, 1997) dijelaskan
pula kredit memperkaya konsumsi masyarakat melalui kelonggaran yang
dimilikinya untuk memiliki tempat tinggal, mobil, peralatan dan perlengkapan
serta barang-barang elektronik, dan barang-barang tahan lama lainnya pada masa
sekarang, dengan janji untuk membayarnya di masa datang (intern for promises to
pay in future). Di samping itu, menurutnya kredit memungkinkan individu-individu untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa untuk mengatasi kebutuhan
finansial darurat pada saat kelahiran anak, sakit, dan musibah kematian. Kredit
juga membantu memperluas kegiatan produksi dalam bentuk peningkatan
besarnya unit proses produksi dalam bentuk peningkatan besarnya unit proses
produksi dan efisiensi pengolahan produksi.
Namun demikian, kenyamanan memiliki barang-barang konsumsi yang
relatif jauh berada di bawah kemampuan pendapatan sebenarnya dapat
menimbulkan beban dan kerugian konsumsi bagi masyarakat di masa datang dan
menimbulkan tabungan yang dipaksakan. Suatu motif yang diharapkan dapat
timbul dari kenaikan produksi tidaklah mungkin dapat menjadi kenyatan,
sehingga dapat menenggelamkan Si penerima kredit dalam kewajiban-kewajiban
besar yang harus di penuhi. Di samping itu, Si penerima kredit dapat secara
pendapatannya terpaksa harus digunakan untuk melunasi hutang dan bunga
pinjaman.
Apalagi dalam keadaan pinjaman yang di terima oleh si penerima kredit
tenggang waktu transaksinya relatif cukup pendek, hal ini dapat menimbulkan
kesulitan bagi penerima kredit itu sendiri karena dengan secara suka rela maka ia
harus melunasi hutang yang diperolehnya yang harus dibayarnya dalam jumlah
yang cukup besar sehingga cenderung menyebabkan perubahan yang tajam dalam
belanja pendapatannya terhadap rasional harga-harga dan volume sumber-sumber
daya atau input yang dipakai.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa keberadaan lembaga perkreditan, bank
yang bersifat formal maupun informal telah ikut membawa pengaruh positif
namun negatif bagi pembangunan masyarakat pedesaan. Dalam kondisi terjepit di
mana lembaga keuangan formal mengalami krisis keuangan, maka masyarakat
pedesaan mencari alternatif lain memanfaatkan lembaga kredit pedesaan informal.
Sebagai akibatnya, masyarakat pedesaan banyak yang terperangkap dalam
genggaman praktek lintah darat (rentenir). Proses industrialisasi yang terus
berjalan baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan. Meskipun dengan
corak yang berbeda-beda di masing wilayah-wilayah indonesia, maka lembaga
keuangan akan memegang peranan dalam memenuhi dana untuk pengembangan
industri.
Dalam penjelasan lain Nurimansyah Hasibuan (2003) menegaskan bahwa
95% pengrajin di daerah pedesaan yang tidak pernah dapatkan fasilitas kredit akan
menyebabkan usaha kerajinan usaha di desa sulit berkembang. Sehingga upaya
itu keberadaan suatu lembaga dalam perkereditan di daerah perdesaan baik yang
bersifat formal maupun informal terlihat saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. Disamping itu, pemberian kredit yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
perbankan ada yang memiliki mata rantai yang panjang dan rumit. Sebagian besar
masyarakat ada yang tidak dapat secara langsung melakukan transaksi kredit pada
bank, melainkan melalui lembaga-lembaga non bank tertentu yang terkadang
belum mendapat pengakuan yang sah. Keadaan seperti ini pada gilirannya dapat
menghambat proses transaksi kredit, sehingga proses pendistribusian kredit
kepada masyarakat dapat berlangsung relatif lambat dan tak merata.
Dampak keadaan tersebut pada akhirnya memungkinkan masyarakat
sebagian terpaksa lari ke lembaga perkereditan informal, sehingga banyak di
antaranya yang terperangkap ke dalam kehidupan yang memprihatinkan. Dengan
tingkat suku bunga yang harus mereka bayar relatif tinggi, dan ditambah lagi
beban tanggungan keluarga yang relatif besar menyebabkan mereka semakin
menghadapi krisis keuangan yang parah. Akhirnya, mereka terpaksa melepas
sebagian dari harta pribadi yang mereka miliki yang akhirnya menyebabkan
mereka sulit keluar dari lembah kemiskinan.
Penanaman modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk
tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal
baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. Aktiva tetap berwujud adalah
aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan
dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk diperjual belikan atau
membutuhkan modal yang terdiri atas modal asing dan modal sendiri. Pengertian
modal adalah hak atau bagian yang dimiliki perusahaan yang ditujukan dalam
modal saham. Modal asing merupakan modal yang berasal dari pinjaman para
kreditur, supplier, dan perbankan. Sedangkan modal sendiri merupakan modal
yang berasal dari pihak perusahaan dari pemilik perusahaan (pemegang saham)
maupun laba yang tidak bagi (laba ditahan). Di dalam memenuhi modal yang
dibutuhkan tersebut perusahaan dapat menerbitkan dan menjual surat berharga
berupa obligasi (modal pinjaman) dan saham (modal sendiri). Surat berharga
tersebut dijual kepada para investor yang menginginkannya dimana perusahaan
berkewajiban memberikan hasil (return) yang dikehendaki oleh investor tersebut.
Paradigma Mosher (1966) tentang delivery systems meyakini tentang
pentingnya teknologi dan modal untuk meningkatkan produktivitas, sehingga
diperlukan pengembangan insentif ekonomi untuk mengembangkan teknologi dan
modal di wilayah pertanian . Dengan pemikiran demikian, maka cukup beralasan
bagi Mosher untuk mengembangkan konsep delivery systems untuk memacu
pertumbuhan produksi sekaligus pertumbuhan ekonomi wilayah pertanian .
Telah diketahui bahwa inovasi teknologi mempunyai peran yang sangat vital
untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang dinamis,
efisien, dan berdaya saing tinggi (Suryana, 2007). Menurut Mosher (1966) inovasi
teknologi merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar suatu
pembangunan pertanian dapat tumbuh-berkembang secara progresif; keempat
syarat mutlak lainnya adalah adanya pasar bagi produk-produk agribisnis,
tersedianya sarana dan peralatan produksi secara lokal, adanya perangsang
teknologi secara terus- menerus, pembangunan pertanian akan terhambat,
walaupun keempat syarat mutlak lainnya telah terpenuhi.
Mosher (1974) untuk menyebut 6 kegiatan yang esensial dalam pembangunan
pertanian. Salah satunya adalah menciptakan struktur pedesaan progresif. Struktur
pedesaan progresif mempunyai 5 unsur yaitu:
1. Kota-kota pasar yang merupakan tempat penjualan dimana petani dapat
membeli sarana produksi dan alat-alat pertanian serta pasar tempat petani menjual
hasil pertaniannya.
2. Jalan-jalan pedesaan memperlancar dan menekan pengangkutan hasil pertanian
serta untuk penyaluran informasi dan segala jasa-jasa di pedesaan.
3. Percobaan pengujian local untuk menentukan teknologi usahatani yang sesuai
dengan keadaan setempat.
4. Aparat penyuluhan dimana petani dapat belajar teknologi baru.
5. Fasilitas kredit untuk membiayai penggunaan input.
Modal pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu modal aktif
dan modal pasif. Modal aktif menunjukkan penggunaan dana yang tertera di sisi
aktiva (aktiva lancar dan aktiva tetap) yaitu yang menggambarkan bentuk-bentuk
dalam sebelah mana dana yang diperoleh perusahaan ditanamkan. Sedangkan
modal pasif menunjukkan sumber dana yang tertera di sisi pasiva yang
menggambarkan sumber-sumber dana dari mana diperoleh atau asal dana
diperoleh. Modal pasif terdiri atas hutang jangka pendek, hutang jangka panjang
Menurut Sawir (2001): “Modal kerja adalah keseluruhan aktiva lancar
yang dimiliki perusahaan atau dapat pula dimaksudkan dana yang harus tersedia
untuk membiayai kegiatan operasi perusahaan sehari-hari”. Menurut
Gitosudarmo (2002) “Besarnya modal kerja adalah sejumlah dana yang tertanam
dalam aktiva lancar yang benar-benar dapat digunakan untuk membiayai operasi
perusahaan atau sesudah dikurangi besarnya hutang lancar”. Sedangkan Riyanto
(2002) mengemukakan : Modal adalah baik yang berupa barang – barang konkrit
yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah
debet maupun berupa daya beli atau nilai tukar dari barang – barang itu yang ada
di sebelah kredit. Jadi yang tercatat disebelah debet dari neraca disebut modal
konkrit dan yang tercatat disebelah kredit disebut modal abstrak.
2.6. Pendapatan Masyarakat
Pendapatan Nasional adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi
dalam perekonomian pada suatu kurun waktu tertentu (Dornbusch, 2004). Dari
konsep dasar pendapatan nasional dapat dihitung pendapatan pribadi (personal
income) dan selanjutnya dapat dihitung pula pendapatan siap pakai (disposable
income). Pendapatan seseorang individu dapat didefinisikan sebagai jumlah penghasilan siap pakai yang diperolehnya dari jasa-jasa produksi yang
diserahkannya pada suatu waktu tertentu atau yang diperolehnya dari harta
kekayaannya. Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari semua
pendapatan individu yang diukur dengan jalan mencatat dan menjumlahkan
transaksi-transaksi pendapatan individu yang terjadi selama suatu periode waktu
dibayar oleh para penerima pendapatan, maka nilai yang tersisa dinamakan
pendapatan siap pakai. Pendapatan siap pakai adalah sejumlah uang yang
sesungguhnya diterima oleh masyarakat rumah tangga, yang boleh dibelanjakan
oleh para penerimanya untuk membeli barang dan jasa sesuai dengan
keinginannya (Samuelson, 2002).
Pendapatan merupaka hasil yang diperoleh dari kegiatan produksi yang
memakai faktor-faktor produksi dapat berupa tanah, tenaga kerja, modal dan
keterampilan (skill). Perusahaan dalam melakukan kegiatan memerlukan
faktor--faktor produksi yang tersedia di masyarakat. Dalam perputaran kegiatan
perekonomian yang terdiri dari rumah tangga (masyarakat) dengan perusahaan
terjadi arus timbal balik dimana rumah tangga mendapat pendapatan dari batas
jasa faktor-faktor produksi yang diberikan pada perusahaan.
Distribusi pendapatan dapat berwujud pemerataan maupun ketimpangan,
yang menggambarkan tingkat pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh
berbagai kegiatan ekonomi (Rahayu,2000). Distribusi dari suatu proses produksi
terjadi setelah diperoleh pendapatan dari kegiatan usaha. Pengukuran masalah
pemerataan telah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Namun,
pendekatan pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan
dari distribusi pendapatan adalah Gini coefficient yang dibantu dengan
menggunakan Lorentz curve (Gambar 1). Sedangkan untuk mengukur tingkat
kemiskinan digunakan metode headcount measure dan poverty gap. Ukuran yang
dipakai dalam menentukan ketidakmerataan baik di tingkat wilayah maupun
2.7. Sarana dan Prasarana Infrastruktur
Menurut Setyaningrum (1997), infrastruktur adalah bagian dari capital
stock dari suatu negara, yaitu biaya tetap sosial yang langsung mendukung produksi. Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai
fasilitas-fasilitasfisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik
untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik,
pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk
memfasilitasi tujuan-tujuanekonomi dan sosial.
Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung
maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi
yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan
infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di
sektor-sektor lainnya.
Sementara itu The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi
tiga, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi
final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi
dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi da
2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan
keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan),
kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi
(taman, museum dan lain-lain).
3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol
administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.
Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan
pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk
perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat
dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya rel
kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan
infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,
telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan
oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun
dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Perbedaan antara infrastruktur dasar dan pelengkap tidaklah selalu sama dan dapat
berubah menurut waktu. Misalnya pengadaan air minum yang dulunya
digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai
Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai
kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan
swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference),
dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang
tepat di suatu daerah atau populasi. Edwin (1998) menguraikan prasarana umum
yang diambil dari Catanese (1992), terdiri dari kategori-kategori dalam fasilitas
pelayanan dan fasilitas produksi. Fasilitas pelayanan meliputi kategori-kategori
sebagai berikut:
1. Pendidikan, berupa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan perpustakaan umum.
2. Kesehatan, berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas pemeriksaan
oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling,
fasilitas kesehatan mental dengan mobil keliling, rumah yatim piatu,
perawatan penderita gangguan emosi, perawatan pecandu alkohol dan obat
bius, perawatan penderita cacat fisik dan mental, rumah buta dan tuli, serta
mobil ambulans.
3. Transportasi, berupa jaringan rel kereta api, bandar udara dan fasilitas
yang berkaitan, jalan raya dan jembatan di dalam kota dan antar kota serta
terminal penumpang.
4. Kehakiman, berupa fasilitas penegakan hukum dan penjara.
5. Rekreasi, berupa fasilitas rekreasi masyarakat dan olahraga.
Sedangkan fasilitas produksi meliputi kategori-kategori:
1. Energi, yaitu penyuplai energi langsung.
2. Pemadam kebakaran, berupa stasiun pemadam kebakaran, mobil pemadam
3. Sampah padat, berupa fasilitas pengumpulan dan peralatan sampah padat
dan lokasi pembuangannya.
4. Telekomunikasi, berupa televisi kabel, televisi udara, telepon kabel dan
kesiagaan menghadapi bencana alam.
5. Air limbah, berupa waduk dan sistem saluran air limbah, sistem
pengolahan dan pembuangannya.
6. Air bersih, berupa sistem suplai untuk masyarakat, fasilitas penyimpanan,
pengolahan dan penyalurannya, lokasi sumur dan tangki air di bawah
tanah.
Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan
masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun
pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha
yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh
pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar
dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.
Pemerintah sebagai pemain utama dalam penyediaan infrastruktur
selayaknya menjaga kesinambungan investasi pembangunan infrastruktur dan
memrioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional, sehingga
infrastruktur dapat dibenahi baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu
perlu pendekatan yang lebih terpadu dalam pembangunan infrastruktur guna
menjamin sinergi antar sektor dan wilayah (Bulohlabna, 2008).
2.7.1. Infrastruktur Jalan dan Transportasi
Infrastruktur jalan dan transportasi sebagai salah satu infrastruktur
ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer sehingga proses
produksi dan distribusi akan lebih efisien. Pembangunan prasarana jalan turut
akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya
volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan
menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor
produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan.
Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya
variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor
swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of
entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga
kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan
komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena ketiadaan infrastruktur. Lebih
jauh lagi infrastruktur sangat berpengaruh terhadap biaya marketing. Sebagai
contoh adanya pembukaan dan peningkatan jalan di Sulawesi tidak hanya
menurunkan biaya transportasi, namun juga menjadi faktor penting dalam
memperkuat bargaining power dari petani coklat. Akibatnya, margin yang
diterima petani coklat meningkat dari sekitar 62 persen pada tahun 1980-an
menjadi sekitar 90 persen setelah tersedianya Jalan Trans Sulawesi. Queiroz
dalam Sibarani (2002) juga menunjukkan adanya hubungan yang konsisten dan
signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara berpenghasilan lebih
dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 10.110 km/1 juta
penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US$ 545 - US$ 6.000/kapita
mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km/1 juta penduduk dan negara
km/1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang berpenghasilan
tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan negara
berpenghasilan rendah.
2.7.2. Infrastruktur Listrik
Dengan semakin majunya suatu wilayah, kebutuhan akan listrik menjadi
tuntutan primer yang harus dipenuhi, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga
untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Dalam kehidupan masyarakat yang
semakin modern, semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta
aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandalkan sumber energi dari listrik.
Peningkatan kegiatan ekonomi dalam produksi dan investasi juga membutuhkan
listrik yang memadai. Oleh karena itu permintaan listrik meningkat dari tahun ke
tahun baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.
Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sementara sebagian lagi masih disuplai oleh
perusahaan-perusahaan non PLN. Sampai dengan tahun 2007, belum semua
wilayah di Indonesia telah tersambung dalam jaringan PLN. Oleh karena itu,
sebagian masyarakat mengusahakannya secara swasembada yaitu melalui
perusahaan non PLN yang dikelola Pemda, koperasi maupun perusahaan swasta
lainnya.
2.7.3. Infrastruktur Air Bersih
Air bersih merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam
kehidupan manusia sehingga pengadaan sumber daya ini termasuk dalam prioritas
pembangunan. Pengalokasian air bersih yang efisien harus didasarkan pada sifat
tertentu. Karakteristik sumber daya air dikemukakan oleh Anwar dalam
Oktavianus (2003), yaitu:
1. Mobilitas air, menyebabkan sulitnya penegasan hak-hak (property right)
atas sumber daya air secara ekslusif agar dapat menjadi komoditas
ekonomi yang dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar.
2. Sifat skala ekonomi yang melekat, menyebabkan penawaran air bersifat
monopoli alami (natural monopoly), dimana semakin besar jumlah air
yang ditawarkan, maka biaya per satuan yang ditanggung produsennya
semakin murah.
3. Sifat penawaran air dapat berubah-ubah menurut waktu, ruang dan
kualitasnya sehingga penyaluran air dalam keadaan kekeringan hebat dan
banjir biasanya hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan
umum.
4. Kapasitas daya asimilasi dari badan air (water bodies) yang dapat
melarutkan dan menyerap zat-zat tertentu selama daya dukungnya tidak
melampaui, sehingga komoditas air dapat dimasukkan dalam barang
umum (public good) dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan
atas air bersih.
5. Penggunaan air bisa dilakukan secara beruntun ketika air mengalir dari
suatu daerah aliran sungai (DAS) sampai ke laut, yang dapat menyebabkan
perubahan kuantitas dan kualitasnya.
6. Penggunaan yang serba guna (multiple use).
7. Berbobot besar dan memakan tempat (bulkiness) sehingga biaya
8. Nilai kultur masyarakat yang menganggap bahwa sumber daya air sebagai
anugerah dari Tuhan, dapat menjadi kendala dalam pendistribusiannya
secara komersial.
Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam
tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri.
Kebutuhan domestik untuk masyarakat akan meningkat sejalan dengan
pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun pedesaan. Air untuk keperluan
irigasi pertanian juga terus meningkat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
penduduk yang terus bertambah. Demikian juga dalam bidang industri, yang kian
mengalami peningkatan karena struktur perekonomian yang mengarah pada
industrialisasi.
Air harus dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk
mendapatkannya memerlukan pengorbanan baik waktu maupun biaya.
Sebagaimana barang ekonomi lainnya, air mempunyai nilai bagi penggunanya,
yaitu jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumber
daya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari
tambahan setiap kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan
(Briscoe dalam Oktavianus, 2003).
2.7.4.Infrastruktur Pendidikan
Infrastruktur pendidikan merupakan infrastruktur yang berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan (rehabilitasi sekolah dasar dan
menengah dan penyediaan meubeler) yang berperan dalam merangsang
pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan prasarana pendidikan akan
akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya
kualitas dan kuantitas masyarakat yang belajar.
Pembangunan pendidikan penting dilaksanakan supaya masyarakat dapat
maju, sehingga menambah ilmu pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan
Pembangunan pendidikan diusahakan untuk membantu masyarakat yang ingin
bergerak maju ke arah perkembangan yang dikehendaki.
Belajar secara terus-menerus memang mutlak perlu, akan tetapi orang
dapat belajar dari pengalaman tanpa menerima pengajaran secara formal. Jika ada
pengangkutan maka dengan sendirinya akan banyak petani yang bepergian
mengunjungi kota-kota. Sebagai akibatnya, akan memperoleh pengetahuan dan
gagasan yang baru. Jadi, orang dapat belajar tanpa harus ada fasilitas-fasilitas
formal untuk pendidikan. Adanya fasilitas formal dapat mempercepat proses
belajar. (Hanafie, 2010).
2.7.5. Infrastruktur Kesehatan
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar bebas
penyakit dan kelemahan fisik. Dalam prakteknya, pengukuran tingkat kesehatan
yang digunakan antara lain tingkat harapan hidup. Ukuran ini merupakan salah
satu dari tiga komponen dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan
manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian
merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Melalui
pembangunan kesehatan diharapkan setiap penduduk memiliki kemampuan hidup
sehat sehingga di masa mendatang tercipta generasi penerus yang bermutu sebagai
modal penting dalam pembangunan nasional.
Secara ekonomi, masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja
yang sehat dan merupakan input penting untuk pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah
menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan
berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan
pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang
lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar,
memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi
yang lebih besar juga.
Tujuan pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Rencana Strategi
Pembangunan Kesehatan adalah terselenggaranya program atau kegiatan
pembangunan kesehatan yang memberi jaminan tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan visi “Indonesia Sehat 2010”.
Arah kebijakan pembangunan kesehatan menurut Depkes (2004 dalam Wahyuni,
2009) adalah:
1. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling
mendukung, dengan pendekatan paradigma sehat yang memberikan
penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam
kandungan sampai usia lanjut.
2. Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan
melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan
sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang
dapat dijangkau oleh masyarakat.
Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan
kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau
seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.
Pengembangan infrastruktur kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas,
akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan
faktor input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
2.8. Pengertian, Karakteristik dan Tipologi Desa 2.8.1. Pengertian dan Karakteristik Desa
Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal I, yang
dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Menurut UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Daerah, desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Sutardjo Kartohadikusumo, desa adalah suatu kesatuan hukum tepat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Menurut C.S. Kansil, desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Dalam pembentukan sebuah desa terdapat tiga unsur pokok, yaitu:
a. Daerah/wilayah yang merupakan tempat tinggal dan tempat beraktivitas berupa
tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan
geografis.
b. Penduduk, adalah terkait dengan kualitas dan kuantitasnya, misalnya jumlah
penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata pencaharian
penduduk.
c. Tata kehidupan atau aturan-aturan yang berhubungan langsung dengan keadaan
2.8.2. Pengertian Masyarakat Desa dan Karakteristiknya
Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup
dan bekerjasama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya berfikir
tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Sedangkan
yang dimaksud dengan desa menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau
kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang terdapat di situ (suatu
daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah
lain. Pendapat lainnya yaitu menurut Paul H. Landis, desa adalah masyarakat yang
penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan karakteristiknya sebagai berikut:
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c. Cara berusaha (perekonomian) umumnya adalah agraris yang sangat
dipengaruhi alam seperti; iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan
pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan
d. Diantara masyarakatnya mempunyai hubungan yang lebih mendalan bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lain yang di luar batas-batas
wilayahnya.
e. Masyarakat tersebut sifatnya homogeny, seperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat istiadat dan sebagainya.
f. Penduduk desa merupakan unit sosial dan unit kerja.
Pada masyarakat pedesaan mata pencaharian bersifat homogeny yang berada
di sector ekonomi primer, yaitu bertumpu pada bidang pertanian. Kehidupan
ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan
adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan mentah untuk memenuhi
kebutuhan pokok manusia.
Pada umumnya masyarakat pedesaan menganut sistem ekonomi tradisional
atau sistem ekonomi tertutup, cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi
masyarakat terbatas untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan bersama.
2.8.3. Tipologi Desa
Tipologi dari masyarakat desa dilihat dari kegiatan pokok yang ditekuni
masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu tipologi
desa bias dilihat dari segi pemukiman maupun dari tingkat perkembangan
masyarakat desa itu sendiri, dilihat dari segi mata pencaharian pokok yang
dikerjakan. Tipologi masyarakat desa terbagi dua yaitu desa pertanian dan desa
industri (Mosher, 1966).
a. Desa pertanian
Menurut Landis ada 4 tipe desa pertanian, yaitu Farm Village Type, Nebulous
Farm Village Type, Arranged Isolated Farm Type, Pure Isolated Farm Type,
Everett, M.Rogers dan Rabelj. Burge dalam bukunya “Social change in Rural societies menambahkan tipe desa yaitu The scaffered farmstead community and
The Cluster Village.
b. Desa Industri
Selain dilihat dari aspek mata pencaharian, tipologi desa juga dapat dilihat
dari perkembangan masyarakatnya, yaitu;
1. Desa Tradisional (Swadaya), yaitu desa yang masih terikat oleh tradisi
karena taraf pendidikannya relatif rendah, produksi diarahkan untuk
desa swadaya adalah suatu wilayah pedesaan yang hampir seluruh
masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhannya dengan cara mengadakan
sendiri. Ciri-ciri desa swadaya : a) Daerahnya terisolir dengan daerah
lainnya. b) Penduduknya jarang. c) Mata pencaharian homogen yang
bersifat agraris. d) Bersifat tertutup. e) Masyarakat memegang teguh adat.
f) Teknologi masih rendah. g) Sarana dan prasarana sangat kurang. h)
Hubungan antarmanusia sangat erat. i) Pengawasan sosial dilakukan oleh
keluarga.
2. Desa Swakarya, yaitu desa yang sudah agak longgar adat istiadatnya
karena pengaruh luar, mengenal teknologi pertanian, dan taraf pendidikan
warganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya. Atau,
desa yang sudah bias memenuhi kebutuhannya sendiri, kelebihan produksi
sudah mulai dijual ke daerah-daerah lainnya. Ciri-ciri desa swakarya : a)
Adanya pengaruh dari luar sehingga mengakibatkan perubahan pola pikir.
b) Masyarakat sudah mulai terlepas dari adat. c) Produktivitas mulai
meningkat. d) Sarana prasarana mulai meningkat. e) Adanya pengaruh dari
luar yang mengakibatkan perubahan cara berpikir.
3. Desa Swasembada, yaitu desa yang lebih maju daripada desa swakarya
dan tidak terikat lagi oleh adat-istiadat yang ketat. Atau, desa yang lebih
maju dan mampu mengembangkan semua potensi yang ada secara
optimal,dengan ciri-ciri berikut : a) Hubungan antarmanusia bersifat
rasional. b) Mata pencaharian homogen. c) Teknologi dan pendidikan
tinggi. d) Produktifitas tinggi. e) Terlepas dari adat. f) Sarana dan
Tipologi desa adalah teknik untuk mengenal desa-desa yang banyak
jumlahnya, sehingga konkrit permasalahannya. Tingkat perkembangan desa
ditentukan oleh :
a. Imbangan daya unsur-unsur dari dalam desa itu sendiri.
b. Pengaruh unsur-unsur dari dalan desa itu sendiri
c. Intensitas pengaruh unsure luar ditentukan oleh posisi desa tersebut terhadap
pusat-pusat unit wilayah yang lebih besar dan pusat-pusat fasilitas.
Disamping dapat dilihat dari faktor-faktor diatas, maka tingkat pertumbuhan
desa dapat dilihat dari komposisi jenis jalan dan karakteristik kegiatan ekonomi
yaitu primer, sekunder, dan tersier. Komponen potensi desa berdasarkan
perumusan diskusi penelitian desa di Cibogo 1971 digolongkan sebagai berikut :
1. Alami: Lokasi, Luas Desa, Keadaan Tanah, Keadaan Air, keadaan alam nabati
dan hewani.
2. Manusia: Jumlah pendudk, Penyebarannya (Density), karakteristiknya meliputi
:(susunan umur, susunan kelamin (seks), adat istiadat dan agama, organisasi
masyarakatdan gotong royong).
3. Kegiatan Ekonomi: Agraris (Primer) yang meliputi : (pertanian, perikanan,
peternakan, pengumpulan hasil hutan), industri/kerajinan (sekunder),
perdagangan dan jasa-jasa.
4. Prasarana : Prasarana perhubungan dan komunikasi, prasarana pengairan /
produksi , prasarana pemasaran/pasar-pasar, kios-kios dan lain-lain, prasarana
Berdasarkan analisis Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah bekerja sama
dengan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan dan Center for Urban and
Regional Development Curds Medan (April 2009), Di Indonesia, sistem klasifikasi dan tipologi desa didasarkan atas pendekatan ekosistem. Pendekatan
ini, dapat diidentifikasikan adanya sepuluh faktor yang menentukan tingkat
perkembangan sebuah desa, yaitu sebagai berikut.
a. Faktor penduduk (D–Density).
b. Faktor alam (N–Nature).
c. Faktor orbitrasi desa (U–Urban centre).
d. Faktor mata pencarian (E–Earning).
e. Faktor pendapatan desa (Y–Yield/Output).
f. Faktor adat istiadat (C–Custom).
g. Faktor kelembagaan (L).
h. Faktor pendidikan (E–Education).
i. Fakor gotong royong (Gr).
j. Faktor prasarana desa (P).
2.9. Hubungan Modal Kerja, Bank, Jumlah Tenaga Kerja, Infrstruktur dan Teknologi dengan Produktivitas Masyarakat Desa.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, ada tiga macam ukuran untuk menilai
pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan output, pertumbuhan output per
pekerja, dan pertumbuhan output per kapita. Pertumbuhan output digunakan untuk
menilai pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya
peningkatan tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per
tenaga kerja sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing
output per kapita digunakan sebagai indikator perubahan kesejahteraan ekonomi
(Bhinadi, 2003). Terlihat disini bahwa untuk produktivitas suatu desa dapat dilihat
dari pertumbuhan ekonomi desa itu yaitu jumlah tenaga kerja dan modal sehingga
kedua hal ini tidak bisa dipisahkan dari produktivitas.
Menurut Setyaningrum (1997), infrastruktur adalah bagian dari capital stock
dari suatu negara, yaitu biaya tetap sosial yang langsung mendukung produksi.
Produksi yang baik dalam suatu daerah berarti menunjukan produktivitas
masyarakat daerah itu sudah baik. Bank merupakan salah satu infrastruktur
ekonomi yang dibangun oleh pemerintah atau swasta untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi suatu desa. Biasanya masyarakat desa menggunakan
fasilitas bank untuk mengambil kredit dan menabung. Nurimansyah Hasibuan
(2003) menegaskan bahwa 95% pengrajin di daerah pedesaan yang tidak pernah
dapatkan fasilitas kredit akan menyebabkan usaha-usaha di desa sulit
berkembang. Hal ini berarti kredit yang diambil masyarakat desa dari bank baik
untuk modal usaha membuka lahan atau untuk mengembangkan perekonomian
hidup mereka sangat penting.
Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung
maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi
yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan
infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di
sektor-sektor lainnya (The World Bank, 1994). Infrastruktur jalan, pendidikan dan
Sehingga infrastruktur merupakan tolak ukur utama dalam menilai produktivitas
masyarakat desa.
Berdasarkan modul Depnaker Langkat (2000), teknologi merupakan salah
satu faktor yang dari 10 faktor- faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas
individu tenaga kerja. Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefinisikan
pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu
negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada
penduduknya, yang tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian
kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga
komponen, yaitu: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari
meningkatnya secara terusmenerus persediaan barang; kedua, teknologi maju
merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat
pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada
penduduknya; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat. Sangat jelas bahwa teknologi
merupakan hal konstan untuk melihat produktivitas suatu individu dan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
2.10. Penelitian Terdahulu
Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat penting dalam perekonomian
karena mampu mengefisienkan proses produksi dalam perekonomian. Semakin tinggi
tingkat output perkapita, semakin tinggi pula produktivitas ekonominya. Dengan
demikian, penyediaaan infrastruktur berperan dalam meningkatkan kesejahteraan
Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menganalisis bahwa kebijakan
pembangunan infrastruktur yang terpusat di Pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat
menimbulkan disparitas pendapatan per kapita di masing-masing daerah Indonesia,
terutama antara Pulau Jawa dengan luar Jawa dan Indonesia Bagian Barat dengan
Indonesia Bagian Timur, meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi
meningkat. Model yang digunakan merujuk pada model Barro (1990) dengan
infrastruktur sebagai input dalam produksi agregat. Asumsi yang digunakan Barro
adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log Ait = ai + bt. Pendekatan yang
dipilih dalam analisis ini adalah fixed effects dari masing-masing provinsi dengan
indeks i dan pertumbuhan produktivitas Indonesia secara keseluruhan dengan indeks
t. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setiap jenis infrastruktur yang diteliti yaitu
jalan, listrik dan telepon, memberikan kontribusi positif dengan elastisitas yang
berbeda.
Purba (2006) dalam penelitian “Pengaruh Program Pengembangan Prasarana
Perdesaan (P2D) terhadap Pengembangan Wilayah Berbasis Pemberdayaan
Masyarakat di Kecamatan Raya - Kabupaten Simalungun, menyimpulkan bahwa
pemberdayaan masyarakat melalui Program P2D di Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun, sudah menunjukkan hasil-hasil yang cukup baik dan secara statistik
terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata pendapatan rumah tangga sebelum dan
sesudah Program P2D.
Wahyuni (2009) dalam penelitian “Analisis Pengaruh Infrastruktur
Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia”,
menyimpulkan bahwa pendekatan yang dilakukan dengan model fixed effects
yang positif terhadap produktivitas ekonomi dengan tingkat elastisitas yang
berbeda-beda, yaitu infrastruktur sarana kesehatan sebesar 0,65, energi listrik
0,08, panjang jalan 0,07 dan air bersih 0,05. Sarana kesehatan yang merupakan
bagian dalam modal manusia yang vital bagi pembangunan, mempunyai tingkat
elastisitas yang paling besar memengaruhi produktivitas ekonomi dimana setiap
kenaikan 1 persen infrastruktur kesehatan akan meningkatkan produktivitas
ekonomi sebesar 0,65 persen.
2.11. Kerangka Konseptual
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka kerangka
konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar.2.1. Skema Kerangka Konseptual Produktivitas
Masyarakat desa Bank
Infrastruktur desa Jumlah Tenaga
Kerja Modal Kerja
2.12. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan
sebelumnya, dapat ditarik hipotesis yaitu:
1. Modal kerja berpengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat desa di
2.
Kecamatan
Batang Serangan Kabupaten Langkat
Bank berpengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat desa di
3.
Kecamatan Batang
Serangan Kabupaten Langkat
Jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat desa di
4.
Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat
Infrastruktur desa berpengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat desa di
5.
Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat
Teknologi berpengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat desa di Kecamatan