• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Sikap terhadap Pendidikan Inklusif dan Strategi Pengajaran pada Guru SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Sikap terhadap Pendidikan Inklusif dan Strategi Pengajaran pada Guru SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Sikap terhadap Pendidikan Inklusif dan Strategi

Pengajaran pada Guru SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif

Cahaya Murni Sihombing, Dra. Farida Kurniawati, M.Sp.Ed.

Faculty of Psychology, University of Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

caycahaya@gmail.com

Abstrak

Sikap dan strategi pengajaran pada guru di sekolah inklusif memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pendidikan inklusif. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan antara sikap dan strategi pengajaran gruru. Sebanyak seratus guru yang mengajar di SD inklusif dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hasil penelitian menemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan strategi pengajaran guru di SD negeri inklusif. Di sisi lain, terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan strategi pengajaran guru di SD swasta inklusif. Penelitian ini juga menemukan tidak terdapat perbedaan strategi pengajaran guru di SD negeri Inklusif dan SD swasta inklusif. Sementara itu, terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen kognitif dan afektif sikap terhadap pendidikan inklusif antara guru SD negeri inklusif dan guru SD swasta inklusif. Saran untuk penelitian selanjutnya didiskusikan dalam penelitian ini.

The Relationship between Attitudes toward Inclusive Education and Teaching Strategies of Teachers in Inclusive Public and Private Primary School

Abstract

It has been argued that attitudes and teaching strategies of teachers have positive effect on the successful implementation of inclusive education. This study was set up to examine the relationship between atitudes and teaching strategies of teachers. One hundred inclusive primary school teachers were involved in this research. The results show that there is no significant correlation between attitudes and teaching strategies of teachers working in inclusive public primary school. On the other hand, it was found that teachers’ attitudes in inclusive private primary school has a significant correlation with their teaching strategies. Furthermore, there is a significant difference on cognitive and affective components of attitudes between groups of teachers working in the two types of school.The study reveals that there is no a significant difference on teaching strategies between these groups. Recommendations for future research are discussed in the study.

Keywords: Inclusive education, attitudes, teaching strategies, teacher primary school

Pendahuluan

Setiap anak memiliki hak untuk menempuh pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 dan 2 (kemenag.go.id, 2008). Berdasarkan peraturan tersebut, jelas bahwa setiap anak dengan kondisi apapun berhak menempuh pendidikan yang bermutu. Sejak pertengahan tahun 1970’an, anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah khusus, bergabung dengan kekhususan yang sama untuk memperoleh program pembelajaran dan peralatan khusus (Mangunsong, 2009). Foreman (1996) menyatakan bahwa perubahan dalam pendidikan khusus didasari oleh hasil penelitian yang

(2)

menunjukan bahwa sekolah khusus yang terpisah ternyata tidak menghasilkan pembelajaran akademis dan sosial yang lebih baik daripada pendidikan yang terintegrasi, khususnya bagi siswa yang memiliki tingkat disabilitas yang ringan. Pernyataan Salamanca pasal 2 menjelaskan bahwa sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan pendidikan untuk semua anak, ditambah lagi pendidikan inklusif akan memberikan pendidikan yang efektif dan meningkatkan efisiensi biaya sistem pendidikan (UNESCO, 1994).

Dalam menerapkan pendidikan inklusif, sikap guru terhadap pendidikan inklusif itu sendiri memegang peranan penting. Guru kelas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab pada proses perkembangan siswa, bertugas memenuhi kebutuhan siswa-siswanya. Sikap guru terhadap pendidikan inklusif menjadi penting karena sikap guru berpengaruh terhadap keinginan guru untuk memperhatikan kebutuhan pribadi para siswanya yang berkebutuhan khusus dan melakukan usaha untuk memenuhinya (Wolstenhome, 2010). Dengan sikap positif dari guru dan menerima kondisi siswa yang berbeda-beda, siswa akan merasa diterima dan dihargai di lingkungan sekolah.

Dalam penelitian ini, sikap dipandang sebagai konstruk multidimensional yang berarti memiliki lebih dari satu domain, yaitu kognitif, afektif dan konatif terhadap pendidikan inklusif sebagai obyek. Komponen kognitif dapat berupa belief guru terhadap kemampuan yang dimiliki oleh siswanya terlepas dari kondisi siswa tersebut. Komponen afektif merupakan perasaan positif maupun perasaan negatif guru ketika berhadapan dengan siswa berkebutuhan khusus, sementara komponen konatif merupakan kesediaan guru untuk menerima dan mengajar siswa berkebutuhan kelas di sekolah inklusif. Positif atau negatifnya sikap guru terhadap siswa menentukan keberhasilan pendidikan inklusif. Sikap guru yang positif terhadap siswa dengan menunjukkan keyakinan guru bahwa siswa dianggap mampu (kognitif) dan bila guru merasa senang dan nyaman berada di sekolah inklusif (afektif) serta bersedia mengajar siswa terlepas dari kondisi siswa tersebut (konatif), maka siswa akan merasa diterima, dihargai atau siswa akan melihat dirinya secara positif pula. Sebaliknya, apabila sikap guru negatif terhadap siswanya yang tercermin pada perilaku menganggap siswa tertentu tidak mampu, tidak pernah menghargai siswa berkebutuhan khusus di dalam kelasnya maka siswa tersebut tidak akan percaya diri dan melihat dirinya secara negatif. Cara siswa memandang dirinya baik secara secara negatif maupun secara positif akan mempengaruhi performance siswa di sekolah. Dengan demikian jelas bahwa sikap guru terhadap pendidikan

(3)

Selain sikap, terdapat faktor lain yang juga berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan inklusif, yaitu strategi pengajaran yang diterapkan oleh guru (Schaffner & Buswell, 1997). Peran guru yang paling penting adalah mengidentifikasi strategi pengajaran yang paling tepat untuk anak dan mencoba untuk menyesuaikannya dengan perkembangan, kebutuhan siswa dan tuntutan pendidikan. Melalui penerapan strategi pengajaran yang tepat dan efektif bagi siswa berkebutuhan khusus, hak dan kebutuhan mereka akan pendidikan akan terpenuhi. Dalam menerapkan strategi pengajaran, ada banyak instruksi yang digunakan oleh guru sesuai dengan kebutuhan siswa tersebut. Secara garis besar terdapat dua jenis strategi pengajaran guru, yaitu strategi individual dan strategi kognitif. Strategi individual dapat diterapkan melalui pendekatan-pendekatan perorangan pada siswa, misalnya dengan memberikan materi pembelajaran yang berbeda untuk siswa yang berkebutuhan khusus, menggunakan beberapa cara pelaksanaan tes, seperti tes lisan atau tes dengan waktu yang lebih panjang pengerjaanya dan lain sebagainya. Kemudian strategi kognitif dilakukan dengan mengutamakan pemahaman siswa terhadap suatu materi pembelajaran, seperti mengajarkan metode khusus untuk mengingat hapalan kalimat, mendorong siswa-siswa untuk bercerita kepada teman-temannya mengenai cara mengingat suatu materi, menekankan suasana belajar dalam kondisi tenang dan lain-lain. Semakin bervariasi strategi pengajaran yang digunakan oleh guru, akan semakin efektif pula proses pembelajaran yang dilakukan siswa karena mereka diajar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Apabila siswa diajar dengan strategi pengajaran yang efektif maka siswa juga akan merasa nyaman ketika belajar. Variasi strategi pengajaran ini juga akan mewujudkan prinsip pendidikan inklusif, yaitu education for all, dimana setiap anak berhak untuk belajar melalui penyesuaian sistem pendidikan dengan kondisi siswa, bukan siswa yang menyesuaikan dengan sistem pendiikan. Oleh karena itu strategi pengajaran yang diterapkan guru terhadap siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan inklusif.

Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengukur sikap guru dan strategi pengajaran secara terpisah. Mengingat sikap dan strategi pengajaran terhadap di sekolah inklusif sama-sama memiliki pengaruh terhadap keberhasilan pendidikan inklusif, maka kedua hal ini dinilai penting untuk diteliti korelasinya. Sikap guru yang positif terhadap pendidikan inklusif dinilai akan memberikan pengaruh bahwa strategi pengajaran yang diterapkannya juga akan efektif bagi siswa di sekolah inklusif. Sejalan dengan pernyataan tersebut, beberapa perbedaan karakter yang terdapat pada sekolah dasar negeri inklusif dan sekolah dasar swasta di Inodesia, seperti kebijakan, fasilitas, tenaga pengajar dan biaya juga dinilai penting untuk diteliti mengingat jenis sekolah juga akan mempengaruhi sikap dan strategi pengajaran guru

(4)

di sekolah inklusif serta turut memberikan pengaruh pada keberhasilan pendidikan inklusif. Oleh karena itu hubungan antara sikap dan strategi pengajaran guru serta perbandingannya dinilai penting untuk diteliti di sekolah dasar negeri inklusif dan sekolah dasar swasta inklusif.

Tinjauan Teoritis

Menurut Ajzen (2005) sikap didefinikan sebagai disposisi untuk berespon secara favorable atau unfavorable terhadap benda, orang, institusi atau kejadian. Sikap dapat dilihat sebagai konstruk multidimensional yang terdiri dari afektif, kognitif dan konatif (Mahat, 2008). Sikap terhadap pendidikan inklusif dapat didefinisikan sebagai kecenderungan berespon secara kognitif, afektif, dan konatif terhadap pendidikan inklusif yang mencakup aspek fisik, sosial, dan kurikulum. Adapun sikap terbagi dalam tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan konatif (Ajzen, 2005).

a. Kognitif

Komponen ini merupakan respon yang merefleksikan persepsi dan pikiran tentang suatu objek. Hal ini berhubungan dengan belief seseorang mengenai segala sesuatu, baik negatif maupun positif tentang objek sikap.

b. Afektif

Komponen ini menjelaskan evaluasi dan perasaan seseorang terhadap objek sikap. c. Konatif

Komponen konatif adalah kecenderungan tingkah laku, intensi, komitmen dan tindakan yang berkaitan dengan objek sikap.

Sikap terhadap pendidikan inklusif dapat dipengaruhi oleh tiga variabel (Avramidis & Norwich, 2010). Pertama, variabel anak yang termasuk di dalamnya adalah faktor jenis disabilitas yang disandang siswa dan/atau masalah pendidikan yang ditunjukkan siswa. Dalam studi literatur yang dilakukan oleh Avramidis dan Norwich (2010) guru cenderung bersikap positif terhadap siswa dengan kesulitan belajar dan gangguan emosi. Variabel kedua, variabel guru yang mencakup faktor jenis kelamin, pengalaman mengajar, tingkat kelas yang diajar, pengalaman kontak dengan anak berkebutuhan khusus, pelatihan, keyakinan guru, dan pandangan sosio-politik guru. Terakhir adalah variabel konteks/lingkungan yang mencakup dukungan fisik (sumber, fasilitas mengajar, teknologi, restrukturisasi lingkungan fisik, dll.) dan manusia (asisten, guru khusus, terapis bicara, dll.). Dalam hal ini guru akan merasa bahwa dalam implementasi pendidikan inklusif, mereka turut melibatkan berbagai pihak, sehingga

(5)

dukungan sosial dan dukungan sarana serta fasilitas dinilai sebagai faktor penting dalam pembentukan sikap positif guru terhadap pendidikan inklusif.

Leyser, Kapperman dan Keller (1994) menemukan bahwa faktor budaya, seperti agama dan kepadatan penduduk mempengaruhi sikap guru terhadap pengintegrasian siswa berkebutuhan khusus ke dalam setting pendidikan reguler, salah satunya pendidikan inklusif. Meskipun begitu, ada pula faktor-faktor yang sama di setiap budaya pada guru yang memiliki sikap yang positif, yaitu pengalaman, usia, jenis kelamin, tingkat kelas yang diajar, iklim organisasi sekolah, penilaian kemampuan diri dan jenis sekolah.

Dalam konteks pendidikan inklusif, strategi pengajaran dapat diartikan sebagai proses memilih dan mengaplikasikan metode mengajar setelah dilakukan asesmen terlebih dulu pada siswa berkebutuhan khusus (Glaser, 1977 dalam Scott, Vitale, & Masten, 1998). Termasuk di dalamnya, guru melakukan modifikasi terhadap materi belajar, tugas, prosedur ujian, kriteria penilaian, jumlah anggota kelompok, maupun teknik memberi umpan balik dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus di kelas umum. Dalam penelitian ini strategi pengajaran dipandang sebagai konstruk yang terdiri dari dua komponen, yaitu individualized instructional dan cognitive strategy instruction. Strategi individual dilakukan dengan pendekatan individu, misalnya dengan memberikan tepukan di punggung, memberi pujian, memberi instruksi perorangan, membedakan bahan pelajaran sesuai kebutuhan siswanya dan memberikan pengajaran perorangan. Strategi kognitif merupakan strategi pengajaran yang memiliki fokus pada pemahaman siswa atas suatu materi, misalnya dengan mengajarkan metode khusus untuk mengingat suatu materi, menggunakan instruksi tugas yang sedehana dan diberikan contoh agar siswa dapat memahaminya dengan jelas (Bender, 1995).

Penelitian Scott, Vitale, dan Masten (1998) mengungkapkan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan strategi pengajaran dalam pendidikan inklusif. Faktor-faktor tersebut antara lain karakteristik guru, pelatihan guru, dan dukungan dari sekolah. Hal yang termasuk dalam faktor karakteristik guru adalah tingkat kelas yang diajar dan lamanya pengalaman mengajar sebagai guru. Selanjutnya pelatihan guru dapat dilihat dari pelatihan sebelum ataupun saat guru sedang melaksanakan layanan pendidikan inklusif. Adapun dukungan sekolah dapat berupa konsultasi pada ahli mengenai strategi pengajaran maupun manajemen perilaku dalam kelas, serta adanya waktu ekstra bagi guru untuk melakukan perencanaan mengajar.

Di Indonesia, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2010. Berdasarkan peraturan tersebut,

(6)

pengelolaan pendidikan dilakukan oleh pemerintah (provinsi, kabupaten/kota), yang disebut dengan sekolah negeri dan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat atau sekolah swasta. Menurut Drokers dan Robert (2003), sekolah swasta lebih efektif daripada sekolah negeri. Efektivitas tersebut dapat mencakup iklim sekolah. Perbedaan yang terdapat pada proses belajar dan mengajar juga ditemukan lebih efektif pada sekolah swasta dibandingkan sekolah negeri. Kedua jenis sekolah dasar ini juga memiliki beberapa perbedaan dari segi kebijakan, biaya, fasilitas serta tenaga pengajar dan strategi pengajaran.

Metode Penelitian

Tipe Penelitian. Penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan (applied research) dimana teknik, prosedur, dan metode penelitian yang menjadi bentuk penelitian dapat diaplikasikan dalam kumpulan informasi mengenai berbagai aspek situasi, isu, masalah atau fenomena sehingga informasi yang dikumpulkan dapat digunakan untuk hal lain. Penelitian ini dikategorikan juga sebagai penelitian korelasional karena bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan atau korelasi antara dua atau lebih aspek dari suatu situasi, yaitu sikap dan strategi pengajaran sehingga disebut sebagai studi korelasional. Studi ini juga akan melihat perbedaan dua kelompok, yaitu sekolah dasar negeri dan sekolah dasar swasta. Selain itu, penelitan ini juga termasuk penelitian kuantitatif karena dilakukan dengan mengkuantifikasi variasi dalam suatu fenomena, situasi, masalah, atau isu dan menganalisisnya untuk mengetahui besaran variasinya.

Desain Penelitian. Penelitian ini dikategorikan sebagai one-shot study karena pengambilan data dari subyek hanya dilakukan dalam satu waktu. Penelitian ini juga tergolong pada desain penelitian retrospective karena meneliti suatu gejala yangtelah terjadi. Selain itu, desain penelitian ini juga dapat digolongkan pada penelitian non-experimental karena peneliti tidak melakukan manipulasi untuk mengetahuihubungan antar variabel dalam penelitian dan tidak melakukan randomisasi padasampel penelitian.

Responden Penelitian. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 guru kelas yang mengajar di SD inklusif, baik negeri maupun swasta di Jakarta dan Jawa Barat. Pemilihan sampel responden dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel yang dipilih adalah yang memenuhi karakteristik khusus penelitian ini. Teknik sampling ini masuk dalam kategori non-random/non-probability sampling karena tidak semua orang dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi responden penelitian

(7)

Alat Ukur. Pada penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur, yaitu Multidimensional Attitudes toward Inclusive Education Scale Versi Indonesia (MATIES_VI) yang mengukur sikap guru terhadap pendidikan inklusif dan Bender Classroom Stucture Quesionair Versi Indonesia (BCSQ_VI) yangmengukur strategi pengajaran guru dalam sekolah inklusif.

Pengambilan Data. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 168 guru SD inklusif di Jakarta dan Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 2014 sampai 17 April 2014. Dari 168 guru yang bersedia mengisi kuesioner namun hanya 112 kuesioner yang diisi lengkap dan layak diolah, yaitu 62 kuesioner dari SD negeri inklusif dan 50 kuesioner dari SD swasta inklusif. Akan tetapi untuk menyeimbangkan jumlah sampel, peneliti hanya menggunakan 100 kesioner, masing-masing 50 kuesioner dari kedua sekolah tersebut.

Pengolahan Data. Peneliti mengolah data dengan menggunakan software SPSS (Statistical Product and Solutions) versi 13.0. Adapun teknik yang digunakan oleh peneliti adalah analisis statistik deskriptif, yaitu teknik yang digunakan untuk mengetahui nilai rata-rata (mean), standar deviasi, nilai minimum dan maksimum dari variabel-variabel yang diteliti. Teknik ini digunakan untuk melihat gambaran demografis responden. Kemudian peneliti menggunakan teknik independent sample t-test: digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan nilai rata-rata (mean) antara dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan data sikap dan strategi pengajaran guru di sekolah dasar negeri inklusif dan sekolah dasar swasta inklusif. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik pearson correlation, yaitu teknik statistik yang digunakan untuk menggambarkan besar dan arah hubungan linear dua variabel. Teknik ini digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel sikap dan variabel strategi pengajaran.

Hasil Penelitian

Hubungan antara sikap terhadap pendidikan inklusif dan strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif akan ditampilkan pada tabel 1.

Tabel 1. Hubungan antara sikap dan strategi pengajaran Sikap Strategi Pengajaran

Individual Kognitif Total

(8)

Afektif .45** .50** .47**

Konatif .16 .34* .27

Catatan: *p< .05, **p< .01

Dalam penelitian ini untuk uji statistik digunakan alfa atau LOS (Level of Significant) sebesar .05. Berdasarkan hasil perhitungan teknik Pearson Correlation seperti pada tabel 1, diperoleh koefisien korelasi antara komponen kognitif sikap dengan komponen individual strategi pengajaran r(49)= .30 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Selanjutnya, diperoleh koefisien korelasi antara komponen afektif sikap dengan komponen individual strategi pengajaran r(49)= .45 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif.

Dalam tabel 1 juga digambarkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara komponen afektif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran adalah r(49)= .50 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan signifikan antara komponen afektif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Begitu juga dengan hubungan antara komponen konatif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran yang memiliki koefisien korelasi r(49)= .34 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif.

Pada hubungan antara komponen kognitif sikap dan skor total strategi pengajaran, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Selain itu, dari hasil perhitungan diperoleh koefisien korelasi antara komponen afektif sikap dengan skor total strategi pengajaran r(49)= 0.47 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif. Sementara itu, ditemukan bahwa tidak terdapat

(9)

hubungan signifikan antara komponen konatif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif.

Hubungan antara sikap dan strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif akan ditampilkan pada tabel 2.

Tabel 2. Hubungan antara sikap dan strategi pengajaran

Sikap Strategi Pengajaran

Individual Kognitif Total

Kognitif .41 ** .48** .45 **

Afektif .56** .69** .66**

Konatif .48** .51** .50**

Catatan: *p≤ .05, **p≤ .01

Hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara komponen kognitif sikap dan komponen individual strategi pengajaran yang didapat yaitu r(49)= .41 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Koefisien korelasi komponen afektif sikap dan komponen individual strategi pengajaran, yaitu r(49)= .56 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Selanjutnya, diperoleh koefisien korelasi antara komponen konatif sikap dengan komponen individual strategi pengajaran, yaitu r(49)= .48 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan komponen individual strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif.

Berdasarkan tabel 2 koefisien korelasi antara komponen kognitif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran yang didapat adalah r(49)= 0.48 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Komponen afektif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran memiliki koefisien korelasi r(49)= .69 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan signifikan antara komponen afektif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Begitu juga dengan komponen konatif sikap, diperoleh koefisien korelasi antara komponen konatif sikap dengan komponen kognitif strategi pengajaran r(49)= .51 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima,

(10)

sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif.

Koefisien korelasi antara komponen kognitif sikap dan skor total strategi pengajaran, adalah r(49)= .45 dan p< .00. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Koefisien korelasi komponen afektif sikap dan skor total strategi pengajaran guru adalah r(49)= 0.66 dan p< .05. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif. Selanjutnya diperoleh koefisien korelasi antara komponen konatif sikap dengan skor total strategi pengajaran r(49)= .50 dan p< .00. Hasil ini membuat hipotesis alternatif diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan skor total strategi pengajaran pada guru di SD Swasta Inklusif.

Berdasarkan perhitungan terhadap perolehan skor sikap guru di sekolah inklusif didapatkan hasil seperti ditampilkan dalam tabel3.

Tabel 3. Perbedaan sikap guru

Komponen Guru SD Negeri Inklusif Guru SD Swasta Inklusif T P

N M (SD) N M (SD)

Kognitif 50 25.98 (4.79) 50 29.30 (4.55) -3.54 .00 Afektif 50 28.90 (4.35) 50 30.70 (3.88) -2.18 .03 Konatif 50 27.12 (5.78) 50 28.42 (4.99) -1.20 .23

Perhitungan dengan teknik independent sample T test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen kognitif sikap antara guru SD Negeri Inklusif (M= 25.98, SD= 4.79) dan guru SD Swasta Inklusif (M= 29.30, SD= 4.55); t (98)= -3.54, p< .05. Hal yang sama juga terlihat pada komponen afektif dimana terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen afektif antara sikap guru SD Negeri Inklusif (M= 28.90, SD= 4.35) dan guru SD Swasta Inklusif (M= 30.70, SD= 3.88); t (98)= -2.18, p<.05. Sementara, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen konatif sikap antara guru SD Negeri Inklusif dan guru SD Swasta Inklusif.

Berdasarkan perhitungan terhadap perolehan skor strategi pengajaran guru di sekolah inklusif didapatkan hasil seperti ditampilkan dalam tabel4.

(11)

Komponen Guru SD Negeri Inklusif Guru SD Swasta Inklusif T P N M (SD) N M (SD) Individual 50 39.36 (4. 61) 50 42.08 (5.44) -2.69 .00 Kognitif 50 35.78 (4. 49) 50 34.50 (4.06) -1.49 .13 Total skor 50 121.90 (11.62) 50 124.54 (13.20) -1.06 .29

Tabel 4 menggambarkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen individual strategi pengajaran antara guru SD Negeri Inklusif (M= 39.36, SD= 4.61) dan guru SD Swasta Inklusif (M= 42.08, SD= 5.44); t (98)= -2.69, p< .05. Di sisi lain, hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen kognitif dan strategi pengajaran antara guru SD inklusif dan guru SD Swasta Inklusif.

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yang terdiri dari beberapa pertanyaan. Pertama, melihat hubungan antara sikap dan strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen individual strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Kemudian, terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen individual strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara komponen konatif sikap dan komponen individual strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Selanjutnya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Kemudian, terdapat hubungan yang signifikan antara komponen afektif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Disimpulkan juga bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan skor total strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Selain itu, dari hasil perhitungan juga disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara komponen afektif sikap dan skor total strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif. Di sisi lain, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen konatif sikap dan skor total strategi pengajaran guru di SD Negeri Inklusif.

Penelitian ini juga ingin menjawab pertanyaan penelitian kedua, yaitu melihat hubungan antara sikap dan strategi pengajaran guru di SD Swasta Inklusif. Berdasarkan hasil

(12)

penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga komponen sikap (kognitif, afektif dan konatif) dan kedua komponen (individual dan kognitif) serta skor total strategi pengajaran guru di SD Swasta Inklusif.

Selain pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini juga akan menjawab pertanyaan penelitian ketiga, yaitu melihat perbedaan sikap guru terhadap pendidikan inklusif di SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap guru di SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif, kecuali pada komponen konatif sikap. Sementara untuk pertanyaan penelitian keempat, tidak terdapat perbedaan strategi pengajaran pada guru di SD Negeri Inklusif dan SD Swasta Inklusif.

Diskusi

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa sikap guru terhadap pendidikan inklusif cenderung positif. Kecenderungan guru bersikap positif dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin guru yang mayoritas adalah perempuan. Avramidis dan Norwich (2010) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa guru dengan jenis kelamin perempuan cenderung memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan guru berjenis kelamin laki-laki. Selain jenis kelamin, kecenderungan guru bersikap positif juga bisa dipengaruhi oleh usia guru yang rata-rata digolongkan masih muda. Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Leyser, Kapperman dan Keller (1994) yang menyebutkan bahwa guru yang berusia lebih muda serta memiliki pengalaman lama mengajar yang lebih sedikit cenderung memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan guru yang berusia lebih tua.

Selanjutnya, berkaitan dengan strategi pengajaran, penelitian menemukan penggunaan strategi pengajaran di sekolah inklusif cenderung bervariasi. Penemuan dalam penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Bender, Vail dan Scott (1993), yaitu sikap terhadap pendidikan inklusif akan mempengaruhi strategi pengajaran guru. Guru yang memiliki sikap positif akan menerapkan strategi pengajaran yang efektif di kelas inklusif. Dalam penelitian ini kecenderungan guru yang bersikap positif terhadap pendidikan inklusif turut mempengaruhi guru untuk menggunakan strategi pengajaran yang bervariasi dalam kelas inklusif.

Penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komponen kognitif sikap dan komponen kognitif strategi pengajaran dan total skor strategi pengajaran pada guru di SD negeri inklusif. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan guru yang dinilai masih kurang dalam mengajar siswa di sekolah inklusif. Berbicara mengenai

(13)

kognitif, hal tersebut berkaitan dengan pengetahuan guru mengenai penerapan pendidikan inklusif. Salah satu sumber pengetahuan tentang pendidikan inklusif dapat diperoleh melalui pelatihan atau penggalian informasi secara pribadi oleh guru melalui media informasi (seperti buku, internet dan lain-lain). Selain itu, latar belakang pendidikan guru di SD negeri inklusif rata-rata adalah pendidikan guru sekolah dasar atau pendidikan di bidang ilmu tertentu, bukan pendidikan luar biasa, sehingga pengetahuan mereka tentang pendidikan inklusif juga dinilai kurang berdasarkan latar belakang pendidikan guru. Kurangnya pengetahuan dan informasi yang diikuti oleh guru-guru di SD negeri inklusif kemungkinan mempengaruhi tidak adanya hubungan antara komponen kognitif sikap dan strategi pengajaran di sekolah inklusif.

Selain itu, hal tersebut mungkin sejalan dengan komponen kognitif sikap guru yang cenderung berbeda daripada komponen kognitif sikap guru SD swasta inklusif. Guru-guru yang menerapkan beberapa strategi pengajaran yang bervariasi sesuai kebutuhan siswanya didorong oleh tanggungjawab dan perannya sebagai guru. Meskipun kondisi siswa berkebutuhan khusus berbeda dengan siswa reguler, mereka tetap menerapkan strategi pengajaran yang bervariasi di sekolah inklusif. Selanjutnya, kebijakan pemerintah yang menunjuk beberapa sekolah untuk menerapkan pendidikan inklusif tampaknya belum sesuai dengan kesiapan SD negeri inklusif. Guru merasa diwajibkan untuk menerima dan mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelasnya. Penemuan ini membuktikan bahwa strategi pengajaran guru di sekolah inklusif tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh belief guru, namun dapat juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan tanggungjawab sebagai guru serta keputusan pemerintah untuk menerapkan pendidikan inklusif di sekolah tempat guru mengajar.

Penelitian ini juga menemukan tidak terdapat hubungan antara komponen konatif dan total skor strategi pengajaran. Menurut Ajzen (2005), perilaku individu dipengaruhi oleh sikap, subjective norm dan perceived behavioral control. Dalam penelitian ini salah satu komponen sikap, yaitu konatif tidak cukup untuk memprediksi perilaku guru yang diwujudkan melalui strategi pengajaran di sekolah inklusif. Subjective norm dapat berupa dukungan sekolah dan tuntutan sosial. Sementara perceived behavioral control berupa self efficacy atau kemampuan untuk menunjukkan perilaku mengajar. Dengan demikian strategi pengajaran guru di SD negeri inklusif juga dapat dipengaruhi oleh hal lain seperti dukungan sekolah dan self efficacy guru dalam mengajar siswa.

Berbeda dengan SD negeri inklusif, penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga komponen sikap dengan kedua komponen strategi pengajaran dan total skor strategi pengajaran pada guru SD swasta inklusif. Lebih lanjut, perbedaan karakter institusi yang terdapat pada sekolah negeri dan sekolah swasta juga

(14)

mempengaruhi hubungan yang ada pada sikap dan strategi pengajaran. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik jenis sekolah juga akan mempengaruhi hubungan antara sikap dan strategi pengajaran guru di sekolah inklusif.

Komponen kognitif dan afektif sikap guru SD negeri inklusif dan guru SD swasta inklusif cenderung berbeda, namun penelitian ini menemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen konatif sikap antara guru SD negeri inklusif dan guru SD swasta inklusif. Perbedaan sikap guru ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik yang ada pada SD negeri inklusif dan SD swasta inklusif. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari jumlah siswa dan school support serta iklim sekolah. Di Indonesia, jumlah siswa dalam kelas SD negeri inklusif lebih banyak daripada siswa di kelas SD swasta inklusif. Menurut Bender, Vail dan Scoot (1995) terdapat perbedaan sikap antara guru yang memiliki sedikit siswa berkebutuhan khusus dan banyak siswa. Guru yang memiliki lebih banyak siswa berkebutuhan khusus cenderung memiliki sikap yang lebih positif. Namun belum dapat disimpulkan arah dari hubungan ini. Selain itu, jumlah guru pembimbing khusus sebagai school support di SD negeri inklusif juga lebih sedikit daripada jumlah guru pembimbing khusus di SD swasta inklusif. Sejalan dengan pernyataan tersebut, variabel konteks/lingkungan yang mencakup dukungan fisik (sumber, fasilitas mengajar, teknologi, restrukturisasi lingkungan fisik, dll.) dan manusia (asisten, guru khusus, terapis bicara, dll.) juga mempengaruhi sikap guru terhadap pendidikan inklusif (Avramidis & Norwich, 2010). Hal ini juga turut mempengaruhi komponen kognitif dan afektif sikap guru yang berbeda pada kedua jenis sekolah tersebut. Di sisi lain, kurangnya pelatihan yang diikuti oleh guru-guru juga merupakan salah satu faktor penting yang mengembangkan sikap guru terhadap pedidikan inklusif (Avramidis & Norwich, 2010). Salah seorang guru SD swasta inklusif yang terlibat dalam perencanaan pelatihan untuk guru di sekolah inklusif mengakui bahwa di beberapa guru dari berbagai SD negeri inklusif kurang mengikuti pelatihan terkait pendidikan inklusif. Tanpa adanya perencanaan untuk pelatihan guru, penerapan pendidikan inklusif akan mengalami kendala. Sehingga hal ini juga yang mempengaruhi perbedaan sikap di antara guru-guru tersebut. Selain hal-hal tersebut tingkatan kelas yang diajar guru juga kemungkinan mempengaruhi karena masing-masing tingkatan kelas memiliki tekanan dan tantangan yang berbeda-beda. Misalnya pada kelas 1 dimana guru dituntut untuk membantu siswa dalam melakukan adaptasi proses belajar di sekolah formal pertamanya dan kelas 6 dimana guru berperan membimbing siswa dalam persiapan untuk lulus dari jenjang pendidikan dasar.

(15)

Komponen ini berkaitan dengan kesediaan guru untuk menerima dan mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelasnya. Hasil penelitian ini kemudian menyanggah penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurniawati, Minnaert, Mangunsong, & Ahmed (2013) yang menemukan perbedaan pada komponen perilaku sikap guru, yaitu SD swasta inklusif lebih favorable daripada sikap guru SD negeri inklusif. Kesamaan komponen konatif sikap pada guru ini kemungkinan dipengaruhi oleh penilaian kemampuan diri guru kelas akan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan program inklusif. Hal ini menggambarkan saat perubahan dari pendidikan reguler ke pendidikan inklusif terjadi (Foreman, 1996). Rata-rata guru di SD inklusif, baik negeri maupun swasta bersedia menerima kehadiran dan mengajar siswa berkebutuhan khusus. Guru-guru tersebut mungkin merasa bahwa kemampuan yang mereka miliki dalam mengajar di kelas inklusif sudah cukup memadai sehingga mereka bersedia menerima kehadiran siswa berkebutuhan khusus.

Kemudian terdapat perbedaan yang signifikan pada komponen individual strategi pengajaran antara guru SD negeri inklusif dan guru SD swasta inklusif. Guru SD swasta inklusif cenderung lebih sering menggunakan strategi individual daripada guru SD negeri inklusif. Strategi individual dilakukan dengan pendekatan individu, misalnya dengan memberikan tepukan di punggung, memberi pujian, memberi instruksi perorangan, membedakan bahan pelajaran sesuai kebutuhan siswanya dan memberikan pengajaran perorangan bagi siswa yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata. Perbedaan strategi pengajaran pada kedua jenis sekolah ini dapat dipengaruhi oleh jumlah siswa yang terdapat di setiap kelas SD Sswasta inklusif lebih sedikit daripada SD negeri inklusif, sehingga lebih memungkinkan guru untuk melakukan strategi individual.

Selain hasil tersebut, ditemukan juga bahwa tidak terdapat perbedaan total skor strategi pengajaran antara guru di SD negeri inklusif dan guru SD swasta inklusif. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kesadaran peran akan peran dan tanggungjawab sebagai guru. Salah satu dari peran guru adalah bertanggungjawab untuk merencanakan aktivitas yang memfasilitasi pembelajaran siswa serta penyampaian materi pembelajaran (Parsons, Hinson, & Sardo-Brown, 2001). Guru merasa wajib untuk menjalankan perannya, sehingga mereka menerapkan beberapa strategi pengajaran yang sesuai dengan kondisi siswa yang diajar. Selain itu, guru di sebuah sekolah mengungkapkan bahwa jika terdapat siswa berkebutuhan khusus masuk ke sekolah inklusif tempat mereka mengajar atau siswa yang baru didiagnosis oleh psikolog memiliki kebutuhan khusus, mau tidak mau para guru harus menerima dan mengajar siswa tersebut.

(16)

Jika ditinjau berdasarkan pengukuran, penelitian ini menggunakan alat ukur yang cenderung masih baru di Indonesia. Untuk mengukur sikap, peneliti menggunakan alat ukur MATIES (Mahat, 2008) sementara pengukuran strategi pengajaran guru di sekolah inklusif, peneliti menggunakan BCSQ yang dikembangkan oleh Bender (1995) di luar Indonesia, baru pertama kali diadaptasi dan digunakan di Indonesia. Terdapat perbedaan budaya yang akan mempengaruhi pemahaman responden ketika mengisi kuesioner pada beberapa item. Meskipun peneliti sudah melakukan uji keterbacaan, tetapi terjemahan terhadap alat ukur tersebut mungkin tidak dimengerti sepenuhnya oleh responden. Selain itu kedua alat ukur ini merupakan alat ukur yang memiliki social desirability yang cenderung tinggi sehingga responden kemungkinan mengisi kuesioner dengan memilih pilihan respon yang dinilai baik atau positif secara sosial. Kelemahan alat ukur ini juga kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian yang tidak signifikan.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian, dapat diajukan beberapa saran, yaitu:

Saran Teoritis

Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat berguna bagi penelitian lanjutan dengan topik yang sama. Peneliti selanjutnya diharapkan memilih variabel ketiga dengan aspek yang lebih fokus, seperti dukungan kepala sekolah atau guru pembimbing khusus pada kedua jenis sekolah ini.

Saran Metodologis

1. Pada saat pengambilan data sebaiknya peneliti mendampingi guru yang mengisi kuesioner untuk menghindari adanya kuesioner yang tidak lengkap dan tidak kembali serta mencegah ketidakakuratan data akibat kurangnya pemahaman guru mengenai makna masing-masing item dengan bertanya kepada peneliti.

2. Selain menggunakan alat ukur dalam bentuk kuesioner, dalam penelitian selanjutnya ada baiknya peneliti juga menggunakan metode observasi terhadap penerapan pendidikan inklusif. Metode ini dinilai tepat untuk memperoleh data dan informasi yang lebih akurat.

3. Alat ukur ini dinilai kurang valid untuk mengukur variabel sikap, khususnya komponen kognitif. Untuk mengatasi hal ini, peneliti sebaiknya melakukan perluasan pada sampel agar varian datanya lebih bervariasi.

(17)

1. Peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat berguna bagi pendidikan inklusif di Indonesia. Sekolah-sekolah dapat bekerjasama dengan pihak terkait, seperti sekolah inklusif lainnya dan departemen pendidikan agar dapat saling mendukung dalam penerapan strategi pendidikan inklusif yang efektif di Indonesia.

2. Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan sikap positif dan strategi pengajaran guru di sekolah inklusif.

3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pelatihan terkait pendidikan inklusif bagi guru-guru di sekolah inklusif. Pelatihan ini merupakan salah satu bentuk intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mendidik siswa dengan kebutuhan khusus.

Daftar Referensi

Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Traits (10th ed.) England: McGraw-Hill.

Avramidis, E., & Norwich, B. (2002). Teachers' attitudes towards integration/ inclusion: a review of the literature. European Journal of Special Needs Education, 17, 129-147. doi: 10.1080/08856250210129056

Bender, W. N., & Ukeje, I. C. (1989). Instructional strategies in mainstream classrooms: Prediction of the strategies teachers select. Remedial and Special Education, 10, 23-30. doi: 10.1177/074193258901000206

Bender, W. N., Vail, C. O., & Scott, K. (1995). Teachers’ attitudes toward increased mainstreaming: Implementing effective instruction for students with learning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 28, 87-94. doi: 10.1177/002221949502800203

Dronkers, J., & Robert, P. (2003). The effectiveness of public and private schools from a comparative perspective (Report No. 13). Italy: European University Institute.

Foreman, P. (1996). Integration and inclusion in action. Australia: Harcourt Australia Pty Ltd.

Jenkinson, J. C. (1997). Mainstream or special: Educating student with disabilities. New York: Routledge.

Kurniawati, F., Minnaert, A., Mangunsong, F., & Ahmed, W. (2013). Empirical study on primary school teachers’ attitudes towards inclusive education in Jakarta, Indonesia. Social and Behavioral Sciences 69, 1430-1436. doi: 10.1016/j.sbspro.2012.12.082

(18)

Leyser, Y., Kapperman, G., & Keller, R. (1994). Teacher attitudes toward mainstreaming: A cross-cultural study in six nations. European Journal of Special Needs Education, 9, 1-15.doi: 0.1080/0885625940090101

Mahat, M. (2008). The development of a psychometrically-sound instrument to measure teachers’ multidimensional attitudes toward inclusive education. International Journal of Special Education, 23. Diunduh dari: http://eric.ed.gov/?id=EJ814377

McKinnon, M., Lydia, B., & Jase, M. (2013). Public versus private education in primary science: The case of Abu Dhabi schools. International Journal of Educational Research, 62, 51-61. doi: 10.1016/j.ijer.2013.06.007

Parsons, R. D., Hinson, S. L., & Sardo-Brown, D. (2001). Educational psychology: A practitioner-researcher model of teaching. USA: Wadsworth Thomson.

Scott, B. J., Vitale, Michael R.., & Masten, W. G. (1998). Implementing instructional adaptations for students with disabilities in inclusive classrooms: A literature review. Remedial and Special Education, 19, 106-119. doi: 10.1177/074193259801900205

UNESCO. (1994). Salamanca Statement. Diunduh dari:

http://www.unesco.org/education/pdf/SALAMA_E.PDF

UU No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Republik Indonesia. Diunduh dari: www.djpp.depkumham.go.id

Villa, R. A., Thousand, J. S., Meyers, H., & Kevin, A. (1996). Teacher and administrator perception of heterogeneous education. Exceptional Children, 6, 29-46. Diunduh dari: http://eric.ed.gov/?id=EJ529421

Wolstenholme, C. (2010). Including students with personal care and physical needs: a discussion of how attitudes of school and college staff impact on effective educational inclusion. Support for Learning, 25, 146–150. doi: 10.1111/j.1467-9604.2010.01459.x

Gambar

Tabel 2. Hubungan antara sikap dan strategi pengajaran
Tabel 3. Perbedaan sikap guru
Tabel  4  menggambarkan  bahwa  terdapat  perbedaan  yang  signifikan  pada  komponen  individual strategi pengajaran antara guru SD Negeri Inklusif (M= 39.36, SD= 4.61) dan guru  SD Swasta Inklusif (M= 42.08, SD= 5.44); t (98)= -2.69, p&lt; .05

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data tersebut, diperoleh probabilitas signifikansi 0,005 &lt; dari 0,05 maka hipotesis ditolak, terdapat perbedaan yang signifikan antara berbagai

Tujuan penelitian ini adalah unutk menganalisis pemikiran dua tokoh Indonesia masa revolusi kemerdekaan Indonesia yaitu Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dalam usaha

karangannya serta perubahan perubahan yang terjadi dari segi zihaf dan ilah di dalam. syair-syair

Dengan begitu pelaku bisnis kuliner dapat merumuskan strategi bersaing yang. tepat agar dapat terus mempertahankan dan memaksimalkan tujuan bisnis

Astaxanthin, tepung wortel dan spirulina merupakan sumber beta karoten alami yang dapat meningkatkan kualitas dan kecerahan warna pada ikan hias.. Sejauh ini belum

 Persamaan (29) ditetapkan dengan cara memplot (suatu aliran dengan diameter tertentu) suatu kurva dengan ordinat angkutan sedimen dasar dan kemiringan S sebagai absis,

selanjutnya diimplantasi ion berbasis nitrogen (N 2 ) menggunakan alat implantor ion dengan kekerasan yang optimum untuk mengimplantasi cobalt chrome alloy yang akan