• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA PT PLN (Persero) PUSDIKLAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA PT PLN (Persero) PUSDIKLAT"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

PADA PT PLN (Persero) PUSDIKLAT

TESIS

FEBRIANA BUDHI MURNIANITA 0906654090

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA

(2)

PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

PADA PT PLN (Persero) PUSDIKLAT

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen

FEBRIANA BUDHI MURNIANITA 0906654090

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN MANAJEMEN UMUM

JAKARTA JANUARI 2012

(3)
(4)
(5)
(6)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya akhir ini dengan judul “Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Employee Engagement pada PT PLN (Persero) Pusdiklat.” Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Manajemen pada Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa banyak sekali bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang diberikan kepada saya, dari masa perkuliahan sampai dengan selesainya penyusunan tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., selaku ketua Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

2. Ibu Dr. Yanki Hartijasti, MBA, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran serta arahan-arahan selama penyusunan tesis ini.

3. Ayahanda & Almh. Ibunda tercinta, kakak tersayang, mba Novi, mba Ina, mas Budhi, mba Tuti dan mas Edi, telah memberi dukungan dan doa yang luar biasa. Tak lupa my beloved nephews Fikri, Tyo, Dhimas dan Atha, yang memberi semangat.

4. PT PLN (Persero) Pusdiklat yang selama 3 tahun ini saya mengabdi dan juga sebagai tempat penelitian dilakukan.

5. Keluarga besar PT PLN (Persero) Pusdiklat, baik di Kantor Induk maupun Udiklat, Aster dan Unit Sertifikasi yang telah membantu menyebarkan kuesioner dan bersedia diganggu untuk mengisi kuesioner tugas akhir saya. 6. Teman-teman kelas F092+SY dan PS092, seperjuangan selama menempuh

kuliah di MMUI.

(7)

v

Jakarta, Januari 2012 Penulis

(8)
(9)

vii Universitas Indonesia

Nama : Febriana Budhi Murnianita Program Studi : Magister Manajemen

Judul : Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Employee Engagement Pada PT PLN (Persero) Pusdiklat

Peran kepemimpinan merupakan salah satu faktor pembentuk keterikatan pegawai di dalam organisasi. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara kepemimpinan dengan keterikatan pegawai. Dalam penelitian ini dilakukan analisis tentang pengaruh kepemimpinan terhadap keterikatan pegawai pada PLN Pusdiklat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, adanya keterikatan pegawai di lingkungan PLN Pusdiklat, serta gaya kepemimpinan transformasional dan laissez-faire secara signifikan berpengaruh terhadap employee engagement. Sedangkan kepemimpinan transaksional secara signifikan berpengaruh negatif hanya pada dimensi vigor dan dedication pada variabel employee engagement.

Kata kunci :

Keterikatan pegawai, kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional, laissez-faire

(10)

Name : Febriana Budhi Murnianita Study Program : Master of Management

Judul : The Influence of Leadership on Employee Engagement in PT PLN (Persero) Pusdiklat

Leadership role is one of the factors in forming of employee engagement within the organization. Results from several studies showed a significant correlation between leadership and employee engagement. This study conducted an analysis of the influence of leadership on employee engagement in PLN Pusdiklat. Results obtained from this study, there is employee engagement in PLN Pusdiklat, as well as transformational leadership style and laissez-faire significantly affect to employee engagement. Whereas transactional leadership is significantly has negative effect only on the dimensions of vigor and dedication on employee engagement variable.

Keyword :

Employee engagement, transformational leadership, transactional leadership, laissez-faire

(11)

ix Universitas Indonesia

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 6 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Lingkup Penelitian ... 6 1.5 Sistematika Pembahasan ... 6 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8 2.1 Employee Engagement ... 8

2.1.1 Tipe Employee Engagement ... 13

2.1.2 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement ... 14

2.1.3 Dampak Employee Engagement ... 16

2.2 Kepemimpinan ... 16

2.2.1 Pemimpin (leader) dan Manager ... 18

2.2.2 Pendekatan Teori Kepemimpinan ... 18

2.2.3 Kepemimpinan Transformasional ... 20

2.2.4 Kepemimpinan Transaksional ... 22

2.2.5 Kepemimpinan Laissez-Faire ... 24

2.3 Hubungan Kepemimpinan dengan Employee Engagement ... 25

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Desain Penelitian ... 27

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 28

3.3 Responden Penelitian ... 30

3.4 Teknik Pengambilan Data ... 31

3.5 Skala Pengukuran dan Variabel ... 31

3.6 Uji Reliabilitas ... 38

3.7 Uji Validitas ... 38

3.8 Hasil Pengujian Instrumen ... 38

(12)

4. PROFIL PERUSAHAAN ... 41

4.1 Sejarah Perusahaan ... 41

4.2 Visi, Misi dan Nilai-nilai Perusahaan ... 42

4.3 Struktur Organisasi ... 43

4.4 Tugas Utama PLN Pusdiklat ... 44

4.5 Kegiatan Operasional ... 45

4.5.1 Jenis-jenis Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) ... 45

5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1 Analisis Profil Responden ... 49

5.2 Analisis Employee Engagement pada PLN Pusdiklat ... 53

5.3 Analisis Kepemimpinan pada PLN Pusdiklat ... 53

5.4 Analisis Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Employee Engagement Pada PLN Pusdiklat ... 54

5.5 Analisis Dimensi Kepemimpinan Terhadap Employee Engagement ... 55

5.6 Analisis Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Vigor) ... 56

5.7 Analisis Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Dedication) ... 57

5.8 Analisis Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Absorption) ... 58

5.9 Analisis Dimensi Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Vigor) ... 59

5.10Analisis Dimensi Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Dedication) ... 60

5.11Analisis Dimensi Kepemimpinan Terhadap Dimensi Employee Engagement (Absorption) ... 61

5.12Diskusi ... 62

5.13Implikasi Manajerial ... 70

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

6.1 Kesimpulan ... 72

6.2 Keterbatasan Penelitian ... 73

6.3 Saran ... 73

DAFTAR REFERENSI ... 75

(13)

xi Universitas Indonesia

Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Tetap PLN Pusdiklat ... 30

Tabel 3.2 Contoh Pernyataan Dimensi Kepemimpinan Transaksional .. 34

Tabel 3.3 Contoh Pernyataan Dimensi Kepemimpinan Transformasional 35 Tabel 3.4 Contoh Pernyataan Dimensi Kepemimpinan Laissez-faire .... 36

Tabel 3.5 Pernyataan Dimensi Keterikatan Kerja ... 37

Tabel 3.6 Hasil Pengujian Instrumen ... 39

Tabel 4.1 Unit Pelaksana ... 41

Tabel 5.1 Jenis Kelamin Responden ... 49

Tabel 5.2 Usia Responden ... 49

Tabel 5.3 Tingkat Pendidikan Responden ... 50

Tabel 5.4 Posisi Jabatan Responden ... 50

Tabel 5.5 Bidang Pekerjaan Responden ... 51

Tabel 5.6 Masa Kerja Responden di Perusahaan ... 52

Tabel 5.7 Masa Kerja Responden pada Posisi Jabatan ... 52

Tabel 5.8 Analisis Employee Engagement ... 53

Tabel 5.9 Analisis Kepemimpinan ... 54

Tabel 5.10 Analisis Kepemimpinan terhadap Employee Engagement ... 55

Tabel 5.11 Analisis Dimensi Kepemimpinan terhadap Employee Engagement ... 56

Tabel 5.12 Analisis Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Vigor) ... 57

Tabel 5.13 Analisis Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Dedication) ... 58

Tabel 5.14 Analisis Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Absorption) ... 59

Tabel 5.15 Analisis Dimensi Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Vigor) ... 60

Tabel 5.16 Analisis Dimensi Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Dedication) ... 60

Tabel 5.17 Analisis Dimensi Kepemimpinan terhadap Dimensi Employee Engagement (Absorption) ... 61

Tabel 5.18 Analisis Kepemimpinan dan Dimensinya Terhadap Employee Engagement dan Dimensinya ... 65

(14)

Gambar 2.1 Engagement Model ... 9

Gambar 2.2 Karakteristik dan Perilaku Pegawai yang Terikat ... 12

Gambar 2.3 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement ... 15

Gambar 3.1 Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 33

(15)

xiii Universitas Indonesia

Lampiran 1 Surat Ijin Riset ... 79

Lampiran 2 Surat Ijin Penggunaan Instrumen Penelitian (Kuesioner) ... 80

Lampiran 3 Uji Reliabilitas dan Validitas ... 81

Lampiran 4 Statistik Deskriptif ... 97

Lampiran 5 Frekuensi ... 98

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia saat ini sudah mengarah ke human capital. Sumber daya manusia tidak lagi dianggap sebagai fungsi penunjang (supporting), tetapi sebagai sumber kunci/aset keberhasilan suatu organisasi. Sebagai aset keberhasilan organisasi, maka diperlukan adanya keterikatan (engagement) pegawai sebagai sumber daya manusia. Dalam sebuah organisasi, keterikatan pegawai lebih dari inisiatif sumber daya manusia dan merupakan dorongan untuk mengendalikan kinerja, serta merupakan fondasi stratejik yang bisa mengarah pada tercapainya tujuan organisasi.

Keterikatan pegawai didefinisikan sebagai keterlibatan dan kepuasan individu, serta antusiasme dalam bekerja (Harte, Schmidt & Hayes, 2002 dalam Little & Little, 2006). Menurut Buckingham & Coffman (1999) serta Coffman & Gonzales – Molina (2002) dalam Little & Little (2006), keterikatan pegawai secara statistik memiliki korelasi dengan produktivitas, keuntungan, keamanan, retensi pegawai dan kepuasan pelanggan. Apabila pegawai memiliki antusiasme dan terlibat secara total dalam pekerjaannya, maka secara pribadi pegawai lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan berkomitmen untuk menghasilkan kinerja terbaik (Britt, 2003 dalam Metzler, 2006).

Berdasarkan konsep-konsep engagement yang dikemukakan oleh para ahli, dapat diketahui bahwa engagement mencakup hal-hal sebagai berikut (Schaufeli & Bakker, 2010):

Engagement memiliki tiga dimensi, yaitu (1) kognitif, ditunjukkan dengan adanya kepercayaan serta dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi; (2) afektif, ditunjukkan oleh rasa memiliki, kebanggaan

(17)

Universitas Indonesia

dan keterikatan dengan organisasi; (3) perilaku, ditunjukkan oleh kemauan bekerja keras dan keinginan untuk tinggal di dalam organisasi (DDI, 2004).

Pegawai yang engaged secara konsisten menunjukkan tiga perilaku umum (say, stay dan strive), yaitu (1) konsisten berbicara hal-hal positif; (2) memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari organisasi; (3) memanfaatkan kelebihan waktu, tenaga dan ide/inisiatif untuk berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi (Hewitt, 2011).

Keadaan afektif yang mencerminkan kepuasan pegawai, inspirasi dan afirmasi yang diperoleh pegawai dari pekerjaannya dan sebagai bagian dari organisasi (Towers Perrin, 2003).

Sejalan dengan konsep engagement dari Kahn (1990), engagement adalah wujud pegawai mempekerjakan serta mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional dalam melaksanakan kinerja pekerjaannya. Keterikatan pegawai secara fisik, kognitif dan emosional, ditunjukkan melalui keterlibatan pegawai di dalam tugas-tugas, memiliki perhatian lebih pada tugas dan perannya di dalam pekerjaan, serta mampu membangun hubungan, berempati dan perhatian terhadap rekan kerjanya. Sedangkan Schaufeli et al. (2002) dalam Schaufeli & Bakker (2010), lebih menekankan pada keterlibatan kerja (work engagement), yang diartikan sebagai hal positif, memenuhi dan dalam bekerja memiliki karakteristik yang ditandai dengan adanya vigor (semangat), dedication (dedikasi) dan absorption

(penyerapan).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterikatan (engagement) memerlukan perilaku bersemangat (vigor), pengabdian/dedikasi (dedication) dan berinisiatif (absorption). Keterikatan setiap dimensi yang dirasakan oleh pegawai akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Nantinya keterikatan personal inilah yang dapat mendorong terciptanya employee engagement (Kahn, 1990 dalam Margaretha dan Saragih, 2008).

(18)

Pegawai yang memiliki tingkat engagement tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi terhadap organisasi, sehingga akan berpengaruh dalam menyelesaikan pekerjaan dan cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan (Schaufeli & Bakker, 2004 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Pegawai yang terikat akan termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya, mau menerima tantangan dan merasa pekerjaannya memberi makna bagi dirinya. Hal tersebut akan berdampak positif bagi kinerja pegawai, serta bagi produktifitas dan pertumbuhan organisasi. Maka dapat dikatakan bahwa employee engagement dapat memberikan perubahan bagi individu, tim maupun organisasi (Margaretha dan Saragih, 2008).

Robinson et al. (2004) dalam Hockey & Ley (2008), menekankan pentingnya pemimpin dan manajemen dalam sebuah organisasi. Oleh karena itu, faktor yang mendasari terbentuknya engagement (Robinson et al., 2004 dalam Hockey & Ley, 2008) adalah kualitas manajemen yang baik dan adanya perasaan pegawai untuk dihargai dan keterlibatannya di dalam organisasi. Hal tersebut sangat penting bagi pemimpin agar peduli terhadap pegawainya, memperlakukan pegawai secara adil, memberi semangat dan informasi, serta membantu pegawai untuk berkembang melalui pelatihan-pelatihan.

Kepemimpinan adalah suatu proses seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama (Kreitner dan Kinicki, 2010). Kepemimpinan terbentuk dari beberapa unsur, yaitu adanya proses atau hubungan antara pemimpin dan pengikut, adanya pengaruh sosial, peran kepemimpinan ada di setiap tingkatan dalam organisasi dan berfokus pada pencapaian tujuan. Disinilah peran seorang pemimpin dibutuhkan untuk dapat mempengaruhi dan mendorong semangat, kegairahan, keamanan, kualitas kerja serta prestasi organisasi. Keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnnya merupakan wujud dari kinerja yang baik, sebagai hasil dari berjalannya fungsi kepemimpinan yang kompeten.

(19)

Universitas Indonesia

Terkait pentingnya peran kepemimpinan dalam organisasi, dikembangkan beberapa teori kepemimpinan, salah satunya, yaitu teori kepemimpinan transaksional dan transformasional. Pemimpin transformasional memberikan perhatian pada kebutuhan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang, dengan cara berperan sebagai pelatih dan mentor. Adapun karakteristik pemimpin transformasional (Bass, 1998), yaitu memiliki (1) pengaruh idealis (idealized influence), (2) inspirasi motivasi (inspirational motivation), (3) stimulasi intelektual (intellectual stimulation), (4) pertimbangan individual (individualized consideration).

Sebaliknya kepemimpinan transaksional adalah metode kepemimpinan yang diterapkan agar bawahan dapat memenuhi persyaratan bekerja, dengan memberikan hukuman (punishment) atau penghargaan (reward) (Bass, 1995; Burns, 1978 dikutip dari Metzler, 2006). Pemimpin transaksional ikut campur tangan ketika mendapati perilaku bawahannya menyimpang dari norma yang ada (Bass, 1985 dikutip dari Metzler, 2006), serta memberikan penghargaan atau hukuman sesuai dengan tingkat kinerja yang dicapai (Robbins & Judge, 2007). Karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin transaksional, yaitu (1)

contingent reward, (2) management by exception (active), (3) management by exception (passive).

Menurut penelitian Metzler (2006), kepemimpinan transaksional dan transformasional memiliki pendekatan berbeda terhadap hubungan antara pemimpin dengan bawahannya. Kepemimpinan transformasional lebih efektif daripada kepemimpinan transaksional dalam hal perbaikan dan perubahan di antara para bawahan (Bass, 1985; Den Hartog & Koopman, 2002 dikutip dari Metzler, 2006). Kepemimpinan transformasional melakukan perubahan bagi bawahannya, seperti perubahan perilaku, nilai-nilai, moral, kepercayaan dan kebutuhan. Sedangkan kepemimpinan transaksional berupaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kinerja, mengganti goals organisasi dengan goals yang lain dan mengurangi resistensi dalam bertindak (Bass, 1985 dalam Metzler, 2006).

(20)

Penelitian Schaufeli & Bakker (2004) dikutip dari Metzler (2006), menunjukkan bahwa dimensi individual consideration, contoh salah satu pernyataan “meluangkan waktu untuk mengajar dan melatih bawahannya”, pada kepemimpinan transformasional berkorelasi positif terhadap dimensi keterikatan kerja (vigor, dedication dan absorption). Sedangkan hasil penelitian dari May, Gilson dan Harter (2004) yang dikutip dari Metzler (2006), menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kepemimpinan dengan keterikatan. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa keterikatan pegawai terkait dengan hubungan antara pegawai dengan pemimpinnya. Maksudnya adalah ketika pemimpin peduli terhadap kebutuhan dan perasaan pegawai, maka pegawai akan memberikan reaksi (feedback) positif kepada pemimpinnya. Hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa ada hubungan antara kepemimpinanterhadapketerikatan pegawai.

PT PLN (Persero) Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PLN Pusdiklat) adalah salah satu unit kerja PT PLN (Persero) yang memiliki core business

sebagai penyedia pendidikan dan pelatihan bagi pegawai internal (PLN dan anak perusahaan PLN) maupun eksternal (perusahaan luar PLN). Dengan ditetapkannya sasaran PLN Pusdiklat yang akan menuju Centre of Excellence

dan sebagai pusat rujukan ilmu pengetahuan, maka diperlukan kesiapan dan komitmen dari seluruh pegawai mulai dari staf hingga jajaran manajemen atas untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu diperlukan pemimpin yang mampu mendorong dan menumbuhkan keterikatan pegawai agar tujuan organisasi dapat tercapai. Selain itu dalam kurun waktu 2 tahun (2009 – 2010) hasil survei kepuasan pegawai yang dilakukan secara internal di PLN menunjukkan kepuasan pegawai terhadap dimensi kepemimpinan mengalami penurunan dari semula 77% (2009) menjadi 74% (2010). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap employee engagement pada PT PLN (Persero) Pendidikan dan Pelatihan.

(21)

Universitas Indonesia 1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah keterikatan pegawai di lingkungan PLN Pusdiklat?

2. Bagaimana gaya kepemimpinan yang diterapkan di lingkungan PLN Pusdiklat?

3. Bagaimana pengaruh kepemimpinan terhadap employee engagement di lingkungan PLN Pusdiklat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui keterikatan pegawai di lingkungan PLN Pusdiklat,

2. Mengetahui gaya kepemimpinan yang diterapkan di lingkungan PLN Pusdiklat,

3. Mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap employee engagement di lingkungan PLN Pusdiklat.

1.4 Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dan mengukur tingkat keterikatan (engagement) pegawai di lingkungan PT PLN (Persero) PUSDIKLAT.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari enam bab beserta sub-sub babnya, yang diuraikan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang permasalahan terkait dengan pengaruh kepemimpinan terhadap employee engagement, perumusan masalah, tujuan penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penulisan.

(22)

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Berisi tinjauan pustaka yang digunakan sebagai acuan di dalam penelitian ini, yang dikutip dari beberapa literature maupun jurnal terkait dengan employeeengagement dan kepemimpinan.

Bab 3 Metodologi Penelitian

Menjelaskan tentang desain penelitian, metode pengumpulan data, responden, teknik pengambilan data, skala pengukuran, pengujian instrumen dan variabel, serta metode analisis data.

Bab 4 Profil Perusahaan

Menjelaskan tentang profil perusahaan, yang dimulai dari sejarah perusahaan, visi, misi dan nilai-nilai perusahaan, struktur organisasi sampai dengan tujuan utama dan kegiatan operasional perusahaan.

Bab 5 Analisis dan Pembahasan

Berisi tentang analisis dan pembahasan hasil penelitian, berupa gambaran umum untuk menjawab permasalahan penelitian, sampai dengan diskusi atas hasil dari analisis yang didapatkan.

Bab 6 Kesimpulan Dan Saran

Berisi tentang risalah hasil penelitian, meliputi kesimpulan, saran bagi manajemen perusahaan dan saran bagi penelitian selanjutnya, serta berisi tentang kekurangan pada penelitian ini.

(23)

8 Universitas Indonesia BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Employee Engagement

Istilah employee engagement digunakan pertama kali oleh kelompok peneliti Gallup di tahun 1990an (Buckingham & Coffman, 1999 dalam Schaufeli & Bakker, 2010). Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2010) menyatakan, employee engagement adalah keterkaitan, kepuasan dan antusiasme seseorang terhadap pekerjaannya. Menurut Britt (2003) dalam penelitian Metzler (2006), employee engagement merupakan keadaan seorang pegawai secara pribadi bertanggung jawab dan berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik.

Konsep-konsep engagement yang dikemukakan oleh beberapa peneliti dan akademisi, antara lain (Schaufeli & Bakker, 2010) :

Development Dimensions International (2004), engagement memiliki tiga dimensi : (1) kognitif, percaya serta mendukung tujuan dan nilai-nilai organisasi; (2) afektif, rasa memiliki, kebanggaan dan keterikatan dengan organisasi; (3) perilaku/individual value, kemauan untuk bekerja keras dan keinginan untuk tinggal di dalam organisasinya.

Hewitt (2011), pegawai yang terikat secara konsisten menunjukkan tiga perilaku umum (say, stay dan strive), yaitu (1) konsisten berbicara hal-hal positif tentang organisasi kepada bawahan, calon pegawai dan pelanggan; (2) memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari organisasi, meskipun memiliki kesempatan untuk bekerja di tempat lain; (3) memanfaatkan kelebihan waktu, tenaga dan ide/inisiatif untuk berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi.

(24)

Gambar 2.1 Engagement Model

Sumber : Hewitt (2011)

Towers Perrin (2003) : employee engagement dianggap sebagai keadaan afektif yang mencerminkan kepuasan pegawai, serta inspirasi dan afirmasi yang diperoleh pegawai dari pekerjaannya dan sebagai bagian dari organisasi.

Mercer (2011) : employee engagement disebut juga komitmen atau motivasi, merujuk pada kondisi psikologis pegawai yang memiliki perhatian terhadap kesuksesan organisasinya dan menunjukkan hasil kinerja lebih tinggi dari yang dipersyaratkan.

Selain itu pendapat lain terkait definisi employee engagement (dalam Beverly & Philip Little, 2006), antara lain :

Harter, Schmidt dan Hayes (2002), employee engagement adalah suatu keterikatan dan kepuasan seseorang sebesar antusiasmenya dalam bekerja.

Robinson, Perryman dan Hayday (2004), engagement adalah suatu perilaku positif yang ditunjukkan oleh seorang pegawai terhadap perusahaan dan nilai-nilai perusahaan. Seorang pegawai yang

(25)

Universitas Indonesia

engaged akan peduli terhadap kelangsungan hidup perusahaan, meningkatkan kinerjanya dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi perusahaan.

Sedangkan Kahn (1990) melihat engagement sebagai kondisi psikologis dari personal engagement. Keterikatan pribadi (personal engagement), menurut Kahn (1990), berkaitan dengan bagaimana pegawai mempekerjakan diri sendiri untuk melaksanakan kinerja pekerjaannya.

Engagement sebagai wujud pegawai mempekerjakan serta mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional dalam melaksanakan kinerja pekerjaannya (Kahn, 1990). Lebih lanjut, Kahn menyatakan bahwa pegawai yang engaged berusaha menjaga perannya dalam organisasi, mendorong energi yang dimiliki menjadi perilaku peran (self employment) dan menampilkan dirinya dalam suatu peran (self expression). Pegawai dapat terikat secara fisik, kognitif dan emosional. Keterikatan secara fisik diartikan pegawai yang terlibat di dalam tugas-tugas, baik secara individu atau dalam sebuah tim. Keterikatan secara kognitif yaitu pegawai yang memiliki perhatian lebih pada tugas dan perannya di lingkungan pekerjaan. Keterikatan secara emosional ditunjukkan dengan pegawai mampu membangun hubungan, berempati dan perhatian terhadap perasaan pegawai lainnya.

Menurut Konrad (2006), dikutip dalam Margaretha dan Saragih (2008) employee engagement memiliki tiga aspek, yaitu :

Aspek Kognitif yang berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki oleh pegawai terhadap organisasi, pemimpin, serta lingkungan kerjanya. Aspek Emosional berhubungan dengan apa yang dirasakan oleh pegawai terhadap tiga aspek ini, serta sikapnya (positif maupun negatif) terhadap organisasi dan pemimpinnya.

(26)

Aspek Perilaku sebagai komponen penambah nilai bagi organisasi dan upaya yang diberikan pegawai pada pekerjaannya yang bersifat sukarela.

Dari beberapa konsep yang telah dijelaskan diatas, dapat diketahui bahwa intisari dari engagement, yaitu (Schaufeli & Bakker, 2010) :

Adanya komitmen organisasi, khususnya komitmen yang afektif (keterikatan secara emosional terhadap organisasi), dan komitmen yang berkelanjutan (bersedia untuk tinggal/berada dalam organisasi). Perilaku pegawai yang melebihi perannya (perilaku diskresioner untuk mengefektifkan fungsi organisasi).

Meskipun istilah keterikatan pegawai dan keterikatan kerja seringkali digunakan bergantian, namun keterikatan kerja dianggap lebih spesifik. Keterikatan kerja merujuk pada hubungan antara pegawai dengan pekerjaannya, sedangkan keterikatan pegawai terkait hubungan pegawai dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010). Keterikatan kerja menurut Schaufeli et al. (2002) dalam Schaufeli & Bakker (2010), diartikan sebagai hal yang positif, memenuhi dan dalam bekerja memiliki karakteristik yang ditandai dengan adanya vigor (semangat), dedication (dedikasi) dan

absorption (penyerapan). Karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Vigor, merupakan karakter pegawai yang memiliki energi tinggi, memiliki kemauan bekerja, tidak mudah lelah dan mampu menghadapi kesulitan-kesulitan.

b. Dedication, karakter pegawai yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan pekerjaannya, antusias, menginspirasi dan memiliki kebanggaan, serta menyukai tantangan.

c. Absorption, merupakan karakter pegawai yang menikmati pekerjaannya, berkonsentrasi penuh dalam bekerja dan tidak

(27)

Universitas Indonesia

terpisahkan dengan pekerjaannya, serta merasa waktu cepat berlalu saat bekerja.

Gambar 2.2 Karakteristik dan Perilaku Pegawai yang Terikat

Sumber : Hockey & Ley (2008)

Dari penjabaran di atas, diketahui bahwa keterikatan (engagement) memerlukan perilaku yang bersemangat (vigor), pengabdian/dedikasi (dedication) dan berinisiatif (absorption). Keterikatan setiap dimensi yang dirasakan oleh pegawai akan mendorong terciptanya keterikatan personal. Nantinya keterikatan personal inilah yang dapat mendorong terciptanya

employee engagement (Kahn, 1990 dalam Margaretha dan Saragih, 2008).

Employee engagement (Vazirani, 2007) berada di tingkatan komitmen dan keterlibatan pegawai di dalam organisasi, serta nilai-nilai yang dianut.

(28)

Pegawai yang terikat (engaged) sadar akan proses bisnis organisasi dan bekerja sama dengan rekan kerjanya untuk meningkatkan kinerja dan berkontribusi terhadap organisasi. Sedangkan organisasi berkewajiban untuk mengembangkan dan memelihara keterikatan (engagement), yang memerlukan hubungan dua arah antara organisasi dan pegawainya (Vazirani, 2007).

2.1.1 Tipe Employee Engagement

Menurut Vazirani (2007), terdapat tiga aspek dasar terkait dengan

employee engagement, yaitu:

Pegawai dan aspek psikologis yang terbentuk dalam diri pegawai, serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Para pemimpin dan kemampuannya dalam menciptakan kondisi untuk mendorong munculnya employee engagement.

Interaksi di antara para pegawai pada setiap tingkatan/jenjang.

Hal tersebut menjadi tanggung jawab besar bagi organisasi dalam menciptakan lingkungan dan budaya kondusif, terkait dengan hubungan kerja dan perlakuan yang adil.

Terkait dengan employee engagement, menurut penelitian Gallup dalam Vazirani (2007), terdapat tiga tipe pegawai, yaitu :

Engaged : pegawai yang terikat merupakan sang pembangun, yang ingin mengetahui harapan organisasi terhadap perannya, sehingga berusaha untuk memenuhi harapan tersebut. Pegawai yang engaged

menunjukkan kinerja tinggi secara konsisten, memanfaatkan talenta dan kelebihannya pada saat bekerja, serta mendorong terciptanya inovasi-inovasi.

(29)

Universitas Indonesia

Not Engaged : merupakan tipe pegawai yang lebih cenderung berkonsentrasi pada tugas-tugas daripada tujuan dan hasil yang diharapkan dapat tercapai. Pegawai tipe ini cenderung merasa diabaikan dan kelebihan mereka kurang diperhatikan. Hal tersebut biasanya terjadi karena pegawai tidak memiliki hubungan yang produktif dengan pemimpin maupun rekan kerjanya.

Actively Disengaged : pegawai tipe ini, selalu berusaha menunjukkan ketidak senangannya di setiap kesempatan dan tidak menyukai pencapaian yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Pegawai seperti ini dapat melemahkan fungsi organisasi.

2.1.2 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement

Menurut McBain (2007) dalam Margaretha dan Saragih (2008), umumnya ada tiga faktor utama dalam terciptanya employee engagement, yaitu :

Organisasi :

Hal-hal yang menjadi faktor terciptanya employee engagement adalah visi dan nilai yang dianut, budaya organisasi dan brand organisasi. Budaya organisasi yang dimaksud adalah budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan sikap suportif, serta komunikasi yang baik antara rekan kerja (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Adanya keadilan dan kepercayaan sebagai nilai organisasi akan memberikan dampak positif dalam terciptanya employee engagement.

Manajemen dan Kepemimpinan

Engagement dibangun melalui proses dan membutuhkan waktu yang panjang, serta komitmen yang tinggi dari para pemimpin. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi pemimpin dalam hal mentoring karyawan

(30)

(Paradise, 2008 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Adapun keterampilan yang sebaiknya dimiliki oleh pemimpin dalam menciptakan employee engagement, yaitu teknik komunikasi, teknik memberikan feedback dan teknik penilaian kinerja (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008).

Working Life

Kondisi lingkungan kerja yang nyaman, dapat menjadi pemicu terciptanya employee engagement. Beberapa kondisi lingkungan kerja yang diharapkan dapat mendorong terciptanya employee engagement, yaitu:

a. Lingkungan kerja yang memiliki keadilan distributif dan prosedural. Pegawai yang berpersepsi memperoleh keadilan tersebut akan berlaku adil pada organisasi, dengan cara membangun ikatan emosi yang mendalam pada organisasi (McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008).

Gambar 2.3 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement

(31)

Universitas Indonesia

b. Lingkungan kerja yang melibatkan pegawai dalam pengambilan keputusan. Hal ini akan mempengaruhi pegawai secara psikologis dan menganggap dirinya berharga bagi organisasi.

c. Organisasi yang memperhatikan keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga pegawai.

2.1.3 Dampak Employee Engagement

Pegawai yang memiliki tingkat engagement tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi terhadap organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi akan mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya dan cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan (Schaufeli & Bakker, 2004 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Menurut Paradise (2008) dalam Margaretha dan Saragih (2008), employee engagement

secara positif membentuk kualitas tim kerja yang efektif.

Employee engagement dapat mempengaruhi kinerja organisasi ketika

employee engagement lebih dahulu memberikan pengaruh positif bagi pegawai. Pegawai yang terikat akan termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya, mau menerima tantangan dan merasa pekerjaannya memberi makna bagi dirinya. Pengalaman tersebut akan berpengaruh bagi kinerja pegawai dan juga memberikan dampak positif di tingkat organisasi, yaitu produktivitas dan pertumbuhan organisasi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa employee engagement dapat memberikan perubahan bagi individu, tim dan organisasi (Margaretha dan Saragih, 2008).

2.2 Kepemimpinan

Menurut Kreitner dan Kinicki (2010), kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Robbins dan Judge (2007),

(32)

kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai visi atau tujuan yang telah ditetapkan. Dari pengertian diatas, diketahui adanya kesamaan dalam definisi kepemimpinan (Kreitner dan Kinicki, 2010), yaitu :

Adanya proses atau hubungan antara pemimpin dan pengikut. Adanya pengaruh sosial.

Peran kepemimpinan ada di hampir setiap tingkatan dalam organisasi. Berfokus pada pencapaian tujuan.

Dari definisi diatas, maka peran pemimpin di dalam suatu organisasi ialah mampu mempengaruhi semangat, kegairahan, keamanan, kualitas kerja dan prestasi organisasi, serta memiliki peranan dalam mendorong individu dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Ada sembilan hal untuk meningkatkan efektifitas kepemimpinan, menurut Peter Drucker (dalam Kreitner & Kinicki, 2010) :

Menentukan tugas atau pekerjaan apa saja yang akan diselesaikan. Menentukan tindakan yang tepat untuk kesejahteraan seluruh organisasi atau perusahaan.

Mengembangkan rencana tindakan yang menentukan hasil yang diharapkan.

Bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan rencana tindakan dan memberi informasi kepada setiap orang dalam rangka penyelesaian pekerjaan.

Berfokus pada peluang, bukan pada masalah yang ada. Tidak memendam masalah dan melihat perubahan sebagai sebuah kesempatan, bukan ancaman.

(33)

Universitas Indonesia

Melaksanakan pertemuan yang efektif.

Berkata dan berpikir secara ke”kita”an, bukan ke”aku”an. Serta mempertimbangkan kebutuhan dan kesempatan organisasi sebelum memikirkan kesempatan dan kebutuhan diri sendiri.

Mendengar terlebih dahulu, sebelum memberi respon atau berbicara.

2.2.1 Pemimpin (leader) dan Manager

Menurut Bernard Bass (dalam Kreitner & Kinicki, 2010) “pemimpin mengatur dan manager memimpin, namun merupakan dua aktivitas yang berbeda.” Seorang manager menjalankan fungsi yang berhubungan dengan perencanaan, investigasi, pengorganisasian dan pengontrolan serta bertanggung jawab untuk mengimplementasikan visi dan rencana stratejik perusahaan. Sedangkan seorang pemimpin lebih kepada aspek interpersonal, yaitu menginspirasi pegawai, memberi dukungan emosional dan mendorong pegawai berlomba-lomba untuk mencapai tujuan perusahaan.

2.2.2 Pendekatan Teori Kepemimpinan

Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bahwa kepemimpinan merupakan hal terpenting didalam organisasi. Dengan adanya kepemimpinan akan membentuk strategi bisnis perusahaan, melalui pengaturan dan pengembangan sumber daya yang ada (orang, keuangan, maupun prosedur). Keberhasilan suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnnya merupakan wujud dari kinerja yang baik. Kinerja baik sebagai hasil dari berjalannya fungsi kepemimpinan yang kompeten. Terkait hal tersebut muncul beberapa pendekatan teori yang membahas tentang kepemimpinan (Kreitner & Kinicki, 2010), antara lain :

(34)

a. Teori Kepemimpinan Trait

Teori ini disebut juga dengan teori kepemimpinan great man, pendekatan teori ini berdasarkan asumsi bahwa beberapa pemimpin memang memiliki bakat menjadi pemimpin. Maksudnya adalah ada pemimpin yang sudah memiliki sifat kepemimpinan sejak lahir. b. Teori Kepemimpinan Behavioral

Teori ini muncul disebabkan oleh dua hal, ialah anggapan bahwa teori kepemimpinan trait tidak mampu menjelaskan tentang efektifias kepemimpinan dan hubungan antar sesama. Dimana efektifitas kepemimpinan dipengaruhi oleh perilaku pemimpin. Hal inilah yang mendasari munculnya teori kepemimpinan behavioral, karena dipercayai bahwa perilaku pemimpin berpengaruh pada efektifitas pekerjaan kelompok/tim dan pola perilaku tersebut mampu mempengaruhi pengikut.

c. Teori Kepemimpinan Situational

Teori ini muncul ketika teori kepemimpinan sifat dan perilaku tidak lagi konsisten dalam menjelaskan terkait gaya kepemimpinan. Teori situational menjelaskan bahwa efektifitas suatu gaya kepemimpinan tergantung dari situasi yang dihadapi. Maksudnya adalah ketika terjadi perubahan situasi/keadaan, gaya kepemimpinan akan berubah menyesuaikan dengan situasi yang terjadi saat itu.

d. Teori Kepemimpinan Full Range Model

Teori ini menyebutkan bahwa perilaku kepemimpinan bervariasi dari kepemimpinan Laissez-Faire (tidak ada campur tangan dari pemimpin dan memberikan kebebasan kepada pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan) sampai dengan kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional.

(35)

Universitas Indonesia

e. Teori Kepemimpinan Emerging

Selain dari keempat teori kepemimpinan, ada beberapa perspektif tambahan terkait dengan kepemimpinan, antara lain:

Model kepemimpinan leader member exchange ialah didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin mengembangkan hubungan yang unik terhadap setiap pengikutnya.

Shared leadership menekankan bahwa pegawai memiliki kebutuhan untuk berbagi informasi dan bekerja sama. Disinilah hubungan kepemimpinan secara horizontal diperlukan. Shared leadership memerlukan proses mempengaruhi pegawai secara simultan, untuk saling berbagi tanggung jawab dalam memimpin.

Level 5 leadership, model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Jim Collins tentang bagaimana suatu perusahaan mampu berubah dari perusahaan berkinerja baik menjadi perusahaan berkinerja paling baik. 5 level yang dimaksud adalah (1) individual dengan kemampuan tinggi, (2) kontribusi anggota tim, (3) manager yang kompeten, (4) pemimpin yang efektif, serta (5) eksekutif yang memiliki karakter rendah hati dan tidak kenal takut.

Gaya kepemimpinan yang dianut dan diimplementasikan di setiap organisasi atau perusahaan berbeda-beda. Gaya kepemimpinan yang dipakai pun tidak hanya berdasarkan salah satu pendekatan teori, namun bisa juga berupa gabungan beberapa pendekatan kepemimpinan.

2.2.3 Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass dan Riggio (2006), pemimpin transformasional adalah orang-orang yang mampu mendorong dan menginspirasi para pengikutnya untuk mencapai kinerja luar biasa dan juga mengembangkan kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa (Bass dan

(36)

Riggio, 2006) pemimpin transformasional membantu menumbuhkan dan mengembangkan pengikutnya untuk menjadi seorang pemimpin, dengan cara memberdayakannya dan menyelaraskan antara tujuan individu, tujuan kelompok serta tujuan organisasi/perusahaan. Telah dibuktikan bahwa kepemimpinan transformasional mampu menggerakkan pengikut untuk mencapai kinerja yang melampaui harapan, setinggi tingkat kepuasan pengikut serta komitmen dari tim kerja maupun organisasi.

Adapun empat komponen dari kepemimpinan transformasional (Bass, 1998), sebagai berikut :

a. Pengaruh idealis (idealized influence) atau dikenal juga sebagai Kepemimpinan Karismatik, seorang pemimpin transformasional berperilaku sebagai seorang panutan, dihormati, dikagumi dan dipercaya. Pemimpin tersebut mau mengambil resiko, dapat diandalkan, serta bermoral dan beretika baik. Pengaruh idealis juga dapat diartikan pemimpin yang dapat memberikan visi dan misi, menanamkan kebanggaan, saling menghormati dan saling percaya (Robbin & Judge, 2007). Pada dimensi ini terbagi menjadi dua, yaitu:

Idealized influence attributed (Antonakis et al., 2003 dalam McCann, 2008), merupakan karisma sosial seorang pemimpin yang dipersepsikan sebagai pemimpin yang berkuasa dan percaya diri, serta fokus pada tujuan. Pemimpin seperti ini menunjukkan kebanggaan, rasa hormat dan kepercayaan bagi bawahannya (Mehmood & Arif, 2011).

Idealized influence behavior (Antonakis et al., 2003 dalam McCann, 2008), merupakan tindakan karismatik dari seorang pemimpin yang mengacu pada misi, nilai-nilai dan keyakinan. Pemimpin ini memiliki prinsip-prinsip etika dan moral, mendorong dan menuntut keterikatan yang tinggi, serta mengkomunikasikan nilai dan tujuan organisasi secara meyakinkan (Mehmood & Arif, 2011).

(37)

Universitas Indonesia

b. Inspirasi motivasi (inspirational motivation), pemimpin seperti ini menunjukkan antusiasme dan optimisme, serta menciptakan suasana kerja yang berkomitmen mencapai tujuan dan visi organisasi. Selain itu pemimpin yang memiliki karakteristik inspirasi motivasi adalah pemimpin yang mampu mengkomunikasikan harapan-harapan tinggi, fokus terhadap usaha/upaya dan mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang sederhana (Robbin & Judge, 2007).

c. Stimulasi intelektual (intellectual stimulation), pemimpin transformasional mendorong kreatifitas pengikutnya dan mendorong adanya terobosan baru dalam penyelesaian masalah.

d. Pertimbangan individual (individualized consideration), maksudnya adalah pemimpin transformasional berperan sebagai pelatih sekaligus mentor, serta menghargai kebutuhan dan keinginan individu. Pemimpin seperti ini adalah pendengar dan memiliki interaksi yang baik dengan individu lainnya. Umumnya para pengikutnya berkembang menjadi individu berpotensi tinggi.

2.2.4 Kepemimpinan Transaksional

Sebelum berkembangnya teori kepemimpinan, pada masa lalu kepemimpinan merupakan suatu metode yang diterapkan agar bawahan dapat memenuhi persyaratan bekerja, dengan memberikan hukuman (punishment) atau penghargaan (reward) (Bass, 1995; Burns, 1978 dikutip dari Metzler, 2006). Model kepemimpinan seperti ini dipandang sebagai hubungan pertukaran (exchange) antara pemimpin dan bawahannya (Den Hartog & Koopman, 2002). Pertukaran tersebut bisa berupa nilai ekonomis, politis maupun psikologis (Burns, 1978 dikutip dari Metzler, 2006).

Pemimpin transaksional adalah pemimpin yang dapat mengarahkan atau memotivasi pegawainya sesuai dengan arahan yang telah ditentukan dengan cara memberikan peran dan tugas-tugas secara jelas, serta

(38)

memberikan penghargaan atau hukuman sesuai dengan tingkat kinerja yang dicapai (Robbins & Judge, 2007). Karakter pemimpin transaksional terdiri dari beberapa dimensi, yaitu (Bass, 1985 dalam Metzler, 2006; Robbin & Judge, 2007) :

a. Contingent reward

adalah pemimpin yang mampu mengenali pencapaian prestasi dan menjanjikan penghargaan apabila kinerja tercapai dengan baik (Den Hartog, Van Muijen & Koopman, 1997 dikutip dari Metzler, 2006). Penghargaan bisa berupa pujian atas pencapaian kerja yang bagus, rekomendasi kenaikan gaji atau pemberian promosi. Sebaliknya hukuman diberikan ketika pemimpin mengetahui adanya reaksi negatif yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai. Hukuman bisa berupa teguran, menunjukkan ketidaksetujuan atau bisa menghalangi kesempatan pegawai untuk memimpin tim.

b. Management by exception (active)

Management by exception (Bass, 1985; den Hartog et al., 1997 dikutip dari Metzler, 2006), merupakan karakteristik pemimpin yang akan melakukan intervensi apabila ada hal-hal tidak sesuai dengan standar atau aturan-aturan. Dimensi ini dibagi menjadi management by exception (active) atau management by exception (passive). Pemimpin yang memiliki karakter management by exception aktif, akan mencari penyimpangan-penyimpangan dari prosedur yang ada dan mengambil tindakan jika terjadi penyimpangan (Metzler, 2006). c. Management by exception (passive)

Sebaliknya pemimpin yang memiliki karakter management by exception pasif, akan bertindak setelah terjadinya penyimpangan. Pemimpin tersebut bisa jadi menunggu masalah muncul atau bahkan tidak melakukan tindakan apapun (Bass et al., 2003 di dalam Metzler, 2006).

(39)

Universitas Indonesia 2.2.5 Kepemimpinan Laissez-Faire

Laissez-faire merupakan jenis kepemimpinan yang berbeda, selain kepemimpinan transaksional dan transformasional. Gaya kepemimpinan ini ditunjukkan dengan perilaku tidak adanya kepemimpinan atau menghindari tanggung jawab sebagai pemimpin, tidak ada usaha untuk memotivasi pegawai, bahkan tidak mengenali dan tidak memenuhi kebutuhan para pegawainya. Efek yang ditimbulkan adalah tertundanya keputusan dan tidak ada penghargaan bagi pegawai (Bass et al., 1997 dalam Barnett, 2003).

Akan tetapi menurut Victor (2010), laissez-faire merupakan gaya kepemimpinan yang memungkinkan adanya kebebasan penuh bagi tim/kelompok kerja untuk pengambilan keputusan, tanpa campur tangan pemimpin itu sendiri. Pemimpin laissez-faire tidak berpartisipasi dalam diskusi atau tugas kelompok. Pemimpin seperti ini biasanya memberikan penugasan (provides materials) dan hanya menawarkan bantuan jika ada permintaan dari bawahannya. Pemimpin ini tidak memberi komentar tentang kinerja bawahannya, kecuali diminta secara langsung dan tidak berpartisipasi atau campur tangan dalam kegiatan pekerjaan bawahannya.

Lebih lanjut, terdapat sebuah penelitian dari Barnett et al (2005) yang menemukan, bahwa gaya kepemimpinan laissez-faire menunjukkan adanya pengaruh positif pada lingkungan lembaga pendidikan/sekolah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan perilaku kepemimpinan dengan lingkungan pembelajaran/sekolah, yang menunjukkan hasil bahwa kepemimpinan laissez-faire lebih berpengaruh daripada gaya kepemimpinan lainnya. Kepemimpinan laissez-faire

menunjukkan kepemimpinan yang tidak efektif di dalam organisasi, akan tetapi cocok digunakan dengan kondisi lingkungan kerja yang pegawainya sudah kompeten dan memiliki motivasi instrinsik yang tinggi, sehingga mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik (Frischer, 2006).

(40)

2.3 Hubungan Kepemimpinan dengan Employee Engagement

Menurut Hockey & Ley (2008) seperti pada gambar 2.3, kepemimpinan merupakan salah satu faktor pembentuk keterikatan pegawai, selain faktor-faktor lainnya seperti budaya dan iklim organisasi, pelatihan dan pendidikan, job factors, serta adanya perasaan dihargai dan dilibatkan. Pegawai akan memberi respon positif dan menghasilkan kinerja yang lebih baik, ketika pegawai tersebut memiliki keterikatan emosional (emotionally engaged) dengan manajer/pemimpinnya. Keterikatan emosional yang dimaksud, seperti pegawai merasa opini-opininya didengarkan dan merasa yakin bahwa pemimpin peduli terhadap pengembangan dirinya. Lebih lanjut, pegawai yang terikat secara kognitif (cognitive engaged) mengerti apa yang diharapkan dari diri mereka, paham akan tujuan/misi yang harus dijalankan, diberi kesempatan untuk berkembang, dan secara aktif menggali informasi terkait pengembangan dirinya. Pegawai seperti inilah yang akan mendorong keberhasilan

pemimpinnya dan juga memberikan keberhasilan bagi organisasi.

Dalam rangka menciptakan keterikatan pegawai baik emosional maupun secara kognitif, seorang pemimpin selain memperhatikan lingkungan kerja, keefektifan kegiatan manajerial akan mendorong terciptanya employee engagement (Luthan & Peterson, 2002; McBain, 2007 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Organisasi yang ingin meningkatkan employee engagement sebaiknya fokus pada persepsi pegawai terhadap dukungan yang diterima dari para pegawai.

Hal tersebut dapat difasilitasi dengan adanya program-program organisasi yang menanggapi kebutuhan dan kepentingan pegawai. Seperti melalui survei, kelompok kerja dan program pemberian saran (Saks, 2006 dalam Margaretha dan Saragih, 2008). Adapun beberapa rekomendasi tindakan stratejik pemimpin dalam rangka pengembangan engagement

(41)

Universitas Indonesia

Mengkomunikasikan tujuan dan sasaran organisasi dengan jelas dan konsisten

Menciptakan aturan dan praktek yang bisa menstimulasi employee engagement

Mengkaitkan sasaran organisasi dengan tugas pegawai sehari-hari Memelihara diskusi terbuka antara manajemen dengan pegawai Pemberian penghargaan bagi manajer yang mampu menciptakan dan meningkatkan employee engagement

Mampu mendengarkan keinginan dan kebutuhan pegawai

Menyediakan peluang dan tantangan untuk menggali potensi yang dimiliki pegawai

Kejelasan bagi pegawai tentang bagaimana berkontribusi untuk organisasi

(42)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini merupakan suatu kerangka pemikiran yang digunakan sebagai pedoman dalam mengumpulkan dan menganalisis hipotesa mengenai pengaruh kepemimpinan terhadap keterikatan pegawai (employee engagement). Penelitian ini merupakan descriptive research

dengan tujuan untuk mengumpulkan data-data primer melalui survei yang dilakukan terhadap pegawai di lingkungan PT PLN (Persero) Pusdiklat dan terdiri atas :

1. Profil demografi responden : pada bagian ini responden/pegawai mengisi data demografi responden/pegawai yang bersangkutan sesuai dengan kondisi saat ini.

2. Profil demografi atasan langsung responden : pada bagian ini responden/pegawai mengisi data demografi atasan langsung responden saat ini.

3. Penilaian terhadap gaya kepemimpinan atasan langsung : pada bagian ini responden/pegawai mengisi pernyataan yang menggambarkan gaya kepemimpinan atasan langsung. Penilaian dilakukan oleh (1) staf yang menilai gaya kepemimpinan supervisor atau deputy manager, (2)

deputy manager atau supervisor yang menilai gaya kepemimpinan manajer dan (3) jajaran manajer yang menilai gaya kepemimpinan kepala PLN Pusdiklat.

4. Penilaian terhadap work engagement pegawai : pada bagian ini pegawai menjawab pernyataan yang menggambarkan kondisi dan perasaan pegawai terhadap pekerjaan dan lingkungan kerjanya.

(43)

Universitas Indonesia 3.2 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan, baik untuk data sekunder dan data primer adalah sebagai berikut:

a. Data Sekunder

Merupakan kumpulan data-data hasil penelitian sebelumnya yang diperoleh dari buku-buku, internet dan jurnal yang terkait dengan penelitian ini.

b. Data Primer

Merupakan data yang secara langsung diperoleh peneliti, menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah suatu teknik yang terstruktur untuk mengumpulkan data dan terdiri dari kumpulan pertanyaan lisan maupun tulisan yang dijawab oleh responden (Malhotra, 2010). Kuesioner di dalam penelitian ini terdiri dari 62 pertanyaan tertutup dan 3 pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka berupa komentar dan saran dari responden terkait dengan keterikatan pegawai dan gaya kepemimpinan atasan langsung. Jawaban dari pertanyaan terbuka digunakan untuk pendalaman analisis penelitian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

Multifactor Leadership Questionaire (MLQ) – 5X

Multifactor Leadership Questionaire (MLQ) – 5X dari Bass dan Avolio (2004), merupakan suatu kuesioner yang digunakan untuk mengukur kepemimpinan transaksional dan transformasional. Model klasik dari kuesioner Bass ini disebut juga MLQ – 5X Short, yang terdiri atas isian diri sendiri (self form) dan isian dari rekan kerja (rater form). Rater form tersebut bertujuan untuk mengukur kepemimpinan yang dipersepsikan oleh rekan kerja yang memiliki posisi jabatan lebih tinggi, sama atau bahkan lebih rendah dari pemimpin tersebut. Kuesioner ini dapat menampilkan persepsi terhadap diri sendiri maupun persepsi dari orang lain. Adapun

(44)

beberapa alasan menggunakan multifactor leadership questionaire

(MLQ), yaitu :

MLQ sebagai alat ukur terhadap kepemimpinan transformasional dan transaksional.

Dapat digunakan di berbagai jenis organisasi dan budaya.

Sudah diteliti, divalidasi dan didokumentasikan di berbagai jurnal dan penelitian independen.

Mudah pengelolaannya, membutuhkan 15 menit bagi responden untuk menyelesaikan 45 pertanyaan.

Butir-butir pernyataan di dalam kuesioner tersebut terdiri atas beberapa dimensi, yaitu :

Dimensi kepemimpinan transaksional : contingent reward, management by exception (active) dan management by exception (passive).

Dimensi kepemimpinan transformasional : intellectual stimulation, idealized influence (behavior), idealized influence (attributed), inspirational motivation, individual consideration.

Dimensi kepemimpinan laissez-faire : laissez-faire.

Utrecht Work Engagement Scale (UWES)

Utrecht Work Engagement Scale (UWES) merupakan instrument yang sering digunakan untuk mengukur engagement (Schaufeli & Bakker, 2003; Schaufeli et al., 2002b dalam B Schaufeli & Bakker, 2010), yang terdiri dari 17 butir pertanyaan dan terbagi dalam 3 dimensi, yaitu vigor, dedication dan absorption.

(45)

Universitas Indonesia 3.3 Responden Penelitian

Pada penelitian ini target responden yang dipilih adalah seluruh pegawai di lingkungan PT PLN (Persero) Pusdiklat, baik yang berada di Kantor Induk maupun Unit-unitnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena hasil survei kepuasan pegawai selama 2 tahun (2009 – 2010) terhadap dimensi kepemimpinan menunjukkan penurunan dari semula 77% (2009) menjadi 74% (2010) . Kriteria responden adalah pegawai tetap PT PLN (Persero) Pusdiklat dan bukan pegawai outsourcing

maupun yang masih menjadi siswa OJT (on the job training). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan penelitian populasi (sensus), yaitu mengumpulkan data dari keseluruhan populasi target responden. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap keterikatan pegawai (employee engagement) di lingkungan PT PLN (Persero) Pusdiklat.

Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Tetap PLN Pusdiklat

No Unit Jumlah (orang)

1 Pusdiklat Kantor Induk 93

2 Udiklat Bogor 24 3 Udiklat Jakarta 25 4 Udiklat Semarang 42 5 Udiklat Pandaan 33 6 Udiklat Tuntungan 18 7 Udiklat Makassar 25 8 Udiklat Suralaya 29 9 Udiklat Padang 17 10 Udiklat Palembang 13 11 Udiklat Banjarbaru 10

12 Unit Assessment Centre 17

13 Unit Sertifikasi 3

Total 349

(46)

3.4 Teknik Pengambilan Data

Pada penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai sumber data primer, dengan teknik penyebaran kuesioner sebagai berikut:

a. Cara penyebaran kuesioner dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui

online survey (website) dan penyebaran secara langsung kepada para responden.

b. Periode penyebaran kuesioner dan pengumpulan data, dimulai dari tanggal 14 November 2011 sampai dengan tanggal 2 Desember 2011. c. Jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 349 kuesioner, baik yang

online maupun penyebaran secara langsung. Selama periode penyebaran kuesioner tersebut, jumlah responden yang merespon sebanyak 206 orang, sehingga response rate sebesar 59,03%. Dari hasil yang diperoleh, terdapat beberapa data yang tidak valid sehingga tidak dilakukan pengujian. Selain itu beberapa orang tidak merespon kuesioner, dikarenakan sedang melaksanakan tugas kedinasan, cuti, maupun menjalankan tugas pendidikan.

3.5 Skala Pengukuran dan Variabel

Pengukuran bisa diartikan menetapkan angka/nomor atau simbol-simbol dengan karakteristik suatu objek berdasarkan aturan-aturan tertentu (Malhotra, 2010). Dalam hal ini bukanlah objek yang diukur, tetapi karakteristik dari objek tersebut. Sedangkan skala adalah proses penetapan objek/responden dalam suatu kesatuan sesuai dengan karakteristik yang sedang diteliti (Malhotra, 2010). Menurut Wijaya (2011), di dalam penelitian ada empat tipe skala pengukuran, antara lain:

a. Skala nominal adalah skala pengukuran yang menyatakan kategori kelompok dan digunakan untuk mengklasifikasikan objek, individual atau kelompok. Skala nominal tidak dapat dikuantifikasi secara langsung dan hanya sebagai kategori saja. Dalam penelitian ini skala

(47)

Universitas Indonesia

nominal digunakan untuk mengetahui demografi responden. Contohnya yaitu, klasifikasi jenis kelamin (Perempuan=0 dan Lelaki=1), pendidikan, status perkawinan dan sebagainya.

b. Skala ordinal merupakan skala pengukuran yang tidak hanya menyatakan kategori, tetapi menyatakan peringkat objek yang diukur. Skala ordinal memberikan informasi apakah suatu objek memiliki karakteristik yang lebih atau kurang daripada objek lainnya. Skala ini digunakan dalam penelitian untuk mengukur work engagement dan gaya kepemimpinan atasan langsung responden, menggunakan skala likert.

c. Skala interval merupakan skala pengukuran yang menyatakan kategori, peringkat dan jarak suatu objek. Adanya jarak pada skala tersebut memudahkan peneliti untuk mengetahui perbedaan karakteristik antara satu individu dengan individu lainnya. Contoh skala interval dalam penelitian ini yaitu pada butir pertanyaan “lama anda bekerja dengan atasan langsung anda saat ini.”

d. Skala rasio merupakan skala perbandingan yang menunjukkan kategori, peringkat, jarak maupun perbandingan suatu objek. Skala rasio memiliki semua karakteristik, baik skala nominal, skala ordinal dan skala interval (Malhotra, 2010). Contoh skala rasio pada penelitian ini, pada butir usia, lama bekerja pada perusahaan dan lama berada pada posisi saat ini.

Menurut Kerlinger (2006) dalam Wijaya (2011), variabel adalah simbol atau lambang yang melekat pada bilangan atau nilai. Adapun jenis variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas adalah suatu variabel yang berfungsi untuk menerangkan (mempengaruhi) variabel lainnya dan biasanya diberi notasi “X”.

Sedangkan variabel terikat ialah variabel yang diterangkan atau dipengaruhi oleh variabel yang lain dan diberi notasi “Y”. Pada penelitian

(48)

ini variabel-variabel yang digunakan, yaitu gaya kepemimpinan atasan langsung sebagai variabel bebas (variabel X) yang di hipotesiskan memiliki pengaruh terhadap terbentuknya employee engagement sebagai variabel terikat (variabel Y).

Gambar 3.1 : Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Sumber : Penulis

Penjelasan terkait variabel-variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a. Variabel Bebas (independent variable)

Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini ialah variabel gaya kepemimpinan atasan langsung (leadership), dengan menggunakan

multifactor leadership questionaire (MLQ – 5X) dari Bass dan Avolio (2004), sebagai alat ukurnya. Dimensi-dimensi kepemimpinan transaksional yang terdiri dari contingent reward, management by exception (passive) dan management by exception (active) akan dijelaskan pada tabel berikut :

Gaya Kepemimpinan Transaksional :

- Contingent reward

- Management by exception (active) - Management by exception (passive) Transformasional :

- Intellectual stimulation - Idealized influence (behavior) - Idealized influence (attributed) - Inspirational motivation - Individual consideration Laissez-faire : - Laissez-faire Employee Engagement - Vigor - Dedication - Absorption

(49)

Universitas Indonesia Tabel 3.2 Contoh Pernyataan Dimensi Kepemimpinan Transaksional

Dimensi Pernyataan Kuesioner

Contingent Reward

merupakan interaksi antara pemimpin dan bawahan yang menekankan adanya pertukaran, seperti memberikan hadiah yang sesuai dengan pencapaian tertentu dan telah disepakati sebelumnya.

Menyatakan secara jelas apa yang dapat diharapkan untuk diterima oleh bawahannya apabila tujuan kinerja dapat tercapai.

Management by Exception (passive)

menunjukkan perilaku pemimpin pasif yang ikut campur tangan ketika sesuatu/keadaan telah menjadi salah.

Menunggu sampai keadaan menjadi salah sebelum mengambil tindakan.

Management by Exception (active)

menunjukkan perilaku pemimpin yang secara aktif memantau dan memastikan agar tidak terjadi kesalahan

Mengarahkan perhatian terhadap berbagai kegagalan agar mengacu pada standar kerja.

Sumber : Kuesioner MLQ-5X (2004)

Sedangkan pada variabel kepemimpinan transformasional terdiri dari dimensi-dimensi intellectual stimulation, idealized influence (behavior), idealized influence (attributed), inspirational motivation, individual consideration. Penjelasan terkait dengan definisi operasional dan contoh pernyataan di dalam kuesioner dapat dilihat pada tabel berikut :

(50)

Tabel 3.3 Contoh Penyataan Dimensi Kepemimpinan Transformasional Dimensi Pernyataan Kuesioner

Inspirational motivation

perilaku pemimpin yang menunjukkan antusiasme dan optimisme, dalam mencapai tujuan dan visi organisasi

Mengartikulasikan gambaran masa depan secara meyakinkan.

Intellectual Stimulation

menunjukkan adanya perubahan pada perilaku dan pola pikir, serta mendorong adanya kreatifitas dalam penyelesaian masalah

Melihat berbagai masalah dari banyak sudut pandang yang berbeda.

Idealized influence (behavior)

merupakan perilaku pemimpin

yang mampu

mengkomunikasikan nilai dan tujuan organisasi kepada bawahan, serta mendorong munculnya keterikatan yang tinggi dari bawahan.

Menanamkan kebanggaan kepada bawahan karena adanya keterikatan dengan pemimpinnya.

Idealized influence (attributed)

merupakan perilaku pemimpin yang menunjukkan kepercayaan diri dan fokus pada tujuan

organisasi, sehingga

menumbuhkan kebanggaan, rasa hormat dan kepercayaan bagi bawahannya.

Menjelaskan pentingnya memiliki kesadaran yang kuat terhadap suatu tujuan.

Individual consideration

pemimpin yang berperan sebagai pelatih sekaligus mentor, serta memperhatikan kebutuhan

bawahan dan memberi

kesempatan bawahan untuk belajar

Meluangkan waktu untuk mengajar dan melatih bawahannya.

Sumber : Kuesioner MLQ-5X (2004)

Laissez-faire menunjukkan tidak adanya kepemimpinan atau menunjukkan perilaku pemimpin yang menghindari tanggung jawab,

(51)

Universitas Indonesia

tidak memberikan arahan dan motivasi bagi pegawai (Bass et al., 1997 dalam Barnett, 2003). Namun, kepemimpinan laissez-faire

memungkinkan adanya kebebasan penuh bagi tim/kelompok kerja untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengambil keputusan, tanpa campur tangan dari pemimpin itu sendiri (Victor, 2010).

Tabel 3.4 Contoh Penyataan Dimensi Kepemimpinan Laissez-faire

Dimensi Pernyataan Kuesioner

Laissez-faire

menunjukkan perilaku pemimpin yang menghindari tanggung jawab, namun memungkinkan adanya kebebasan bagi tim/kelompok kerja untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengambil keputusan

Menghindar untuk terlibat jika suatu persoalan penting muncul.

Sumber : Kuesioner MLQ-5X (2004)

Pengukuran untuk setiap dimensi pada variabel tersebut menggunakan skala 5 poin, yaitu dari skala 1 (tidak sama sekali), skala 2 (sekali-sekali), skala 3 (kadang-kadang), skala 4 (cukup sering) dan skala 5 (sering, bahkan selalu).

b. Variabel Terikat (dependent variable)

Variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel keterikatan kerja (work engagement), dengan menggunakan the Utrecht work engagement (UWES) dari Schaufeli sebagai alat ukurnya, terdiri atas dimensi-dimensi, antara lain :

Gambar

Gambar 2.1 Engagement Model
Gambar 2.2 Karakteristik dan Perilaku Pegawai yang Terikat
Gambar 2.3 Faktor-faktor Pembentuk Employee Engagement
Tabel 3.1 Jumlah Pegawai Tetap PLN Pusdiklat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain hal tersebut, Surat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diupayakan oleh pemerintah melalui kekuasaan yang dimiliki untuk membuat SVLK berbiaya rendah... Hal

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Pemantulan dan Pembiasan

Jadi, menggunakan asumsi-asumsi di atas, didapatkan bahwa untuk memproduksi satu liter metanol nuklir dari air laut, dibutuhkan biaya sebesar Rp 2.359, atau kita bulatkan saja jadi

Hal ini dikarenakan secara garis besar, industri hulu Minyak Kelapa Sawit sudah terintegrasi dengan perkebunan Kelapa Sawit yang siap memberikan supply Tandan Buah Segar setiap

Hubungan antara limit satu sisi dan dua sisi juga berlaku untuk turunan, yakni sebuah fungsi memiliki turunan pada suatu titik jika dan hanya jika fungsi

Penelitian ini akan menerapkan Fuzzy Logic dengan menggunakan metode tsukamoto utuk menentukan tingkat polusi udara, zat pencemar digunakan variabel input.. Basis

Selain itu penelitian yang lain oleh Parawiyati, Ambar Waro Hastuti dan Edi Subiyantoro (2000) menunjukkan bahwa untuk memprediksi perubahan laba dan arus kas dua tahun kedepan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa semakin besar konsentrasi dari asam asetat maka suhu dan nilai hantaran dari asam