• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam perbankan, mengingat usaha perkreditan akan membantu pelaksanaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam perbankan, mengingat usaha perkreditan akan membantu pelaksanaan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Usaha pemberian kredit menempati posisi yang paling utama dan menentukan dalam perbankan, mengingat usaha perkreditan akan membantu pelaksanaan pembangunan ekonomi dan memberikan perluasan kesempatan kerja yang pada akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, disamping itu bagi bank sendiri bahwa perkreditan ini merupakan usaha yang memberikan keuntungan dan pendapatan yang terbesar dalam penerimaan bank. Tujuan dari pemberian kredit tidak terlepas dari falsafah yang dianut suatu negara.1

Di negara-negara liberal, tujuan kredit didasarkan kepada usaha untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi yang dianut oleh negara yang bersangkutan, yaitu dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan (profitability) serta keamanan (safety) merupakan tujuan dari pemberian kredit. Keuntungan tersebut dalam bentuk bunga yang diterima, sedangkan keamanan yang dimaksud adalah bahwa prestasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang dan atau jasa betul-betul terjamin pengembaliannya. Pancasila adalah sebagai dasar dan falsafah negara kita,

1

Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Indonesia Utama, 1997), hlm.15.

(2)

maka tujuan kredit tidak semata-mata keuntungan melainkan disesuaikan dengan tujuan negara yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.2

Fasilitas kredit sebagai aktivitas utama lembaga perbankan pada dasarnya memiliki ciri yang sama sejak dulu. Namun dalam perkembangannya saat ini mengarah pada variasi dan pola-pola yang menggabungkan perkembangan teknologi dengan segmen pasar dan regulasi yang menyertainya. Jika dilihat dari segi pola dan penggolongan kreditnya, maka salah satu produk perbankan dalam memberikan kreditnya kepada masyarakat adalah melalui kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau yang saat ini lebih populer dikenal dengan istilah UMKM.3

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara.

Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian

2 Ibid.

3

(3)

nasional dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor dengan produktivitas yang rendah, seperti: sektor pertanian, perdagangan dan industri rumah tangga. Pada sektor inilah jumlah usaha mikro dan kecil terkonsentrasi (84,7%) yang memperebutkan porsi PDB sebesar 30,4% pada tahun 2003. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha mikro dan kecil.4

Selama tahun 2000 – 2003 peranan usaha mikro, kecil dan menengah dalam penciptaan nilai tambah terus meningkat dari 54,51% pada tahun 2000 menjadi 56,72% pada tahun 2003. Sebaliknya peranan usaha besar semakin berkurang dari 45,49% pada tahun 2000 menjadi 43,28% pada tahun 2003. Usaha mikro, kecil dan menengah menyediakan kebutuhan barang dan jasa nasional sebesar 43,8%, sementara usaha besar 42,1% dan impor 14,1%.5

Pada tahun 2003, pertumbuhan ekonomi Usaha mikro dan kecil sebesar 4,1%, usaha menengah tumbuh sebesar 5,1%, sedang usaha besar hanya tumbuh 3,5%. Pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah telah meningkatkan kontribusi usaha mikro, kecil dan menengah untuk pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 2,37% dari total pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,1%. Usaha mikro, kecil dan menengah memiliki keunggulan pertumbuhan PDB dalam sektor sekunder yang tumbuh masing-masing sebesar 5,60%, 4,65% dan 5,36% pada periode 2001-2003,

4

Departemen Koperasi Dan UKM, Renstra 2004-2009, http://depkop.go.id, diakses tanggal 28 Januari 2010.

5 Ibid.

(4)

sedang usaha besar hanya tumbuh sebesar 3,36%, 3,60% dan 4,04% pada periode yang sama. Usaha mikro, kecil dan menengah di sektor sekunder dan tersier relatif potensial dikembangkan pada masa mendatang mengingat memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.6

Usaha mikro dan kecil umumnya memiliki keunggulan dalam bidang yang memanfaatkan sumber daya alam dan padat karya, seperti: pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan dan restoran. Usaha menengah memiliki keunggulan dalam penciptaan nilai tambah di sektor hotel, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan kehutanan. Usaha besar memiliki keunggulan dalam industri pengolahan, listrik dan gas, komunikasi dan pertambangan. Hal ini membuktikan usaha mikro, kecil, menengah dan usaha besar di dalam praktiknya saling melengkapi.7

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.

Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan / atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor

6 Ibid.

7

Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

(5)

dan / atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi.8

Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dipandang sebagai suatu undang-undang baru yang mengatur BUMN secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Penerapan prinsip-prinsip tersebut sangat penting dalam melakukan pengelolaan dan pengawasan BUMN. Pengalaman membuktikan bahwa keterpurukan ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia, antara lain disebabkan perusahaan-perusahaan di negara tersebut tidak menerapkan

8 Ibid.

(6)

prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) secara konsisten.

Maksud dan tujuan pembentukan BUMN itu sendiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yaitu:

1. Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:

a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Dalam koridor ini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.

b. Mengejar keuntungan, meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan / atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang

(7)

banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan / atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.

Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

2. Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan / atau kesusilaan.

Wujud dukungan terhadap kebijakan pemerintah dalam menggerakkan sektor riil sebagaimana tercantum dalam Inpres Nomor 6 tahun 2007 tanggal 08 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM serta Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah, Perbankan dan Perusahaan Penjamin pada tanggal 09 Oktober 2007, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk

(8)

telah menerbitkan ketentuan melalui Surat Edaran Direksi Nomor: S.4-DIR/ADK/01/2008 tanggal 21 Januari 2008 tentang Kredit Usaha Rakyat yang kemudian di revisi dengan Surat Edaran Direksi Nomor: S.4a-DIR/ADK/01/2008 tanggal 17 Maret 2009. Kredit Usaha Rakyat (KUR) tersebut telah diluncurkan pada tanggal 5 November 2007 oleh Presiden RI. Dalam peluncuran tersebut, Presiden RI memberi nama kredit tersebut dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sehubungan dengan hal tersebut, agar tidak menimbulkan kerancuan didalam pelaksanaannya untuk selanjutnya kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi dengan pola penjaminan (KUMKP) dirubah menjadi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Adapun tujuan dari pengguliran dana melalui pola pembiayaan dengan bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah untuk memberikan kemudahan pada usaha mikro, kecil dan koperasi untuk memperoleh fasilitas kredit dari Bank.

Fokus bisnis BRI adalah pada UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk merupakan salah satu bank BUMN yang sangat concern terhadap penyaluran dana kredit kepada UMKM termasuk terhadap program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai wujud salah satu fungsinya sebagai agent of development. Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu strategi pemerintah dalam menyediakan pembiayaan bagi pengusaha mikro yang layak namun belum bankable. KUR masih dipandang sebagai alat yang efektif dalam menggerakkan sektor riil khususnya dalam hal menyediakan kemudahan akses permodalan bagi pengusaha mikro. Hal ini dicerminkan dari kebijakan pemerintah untuk menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp.20 trilliun selama 5 (lima) tahun

(9)

kedepan. Sementara itu, pada tahun 2009 ini BRI telah menyatakan komitmen kepada pemerintah untuk menyalurkan KUR sebesar Rp.8 trilliun. Dengan mengacu pada porsi penyaluran KUR Mikro tahun 2008 (70% dari total penyaluran KUR BRI) maka untuk tahun 2009 BRI harus menyalurkan KUR Mikro sebesar Rp.5,6 trilliun.9 Hasil penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk tergambar dari Laporan Neraca Keuangan posisi 31 Desember 2009 dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 1.

Kutipan Laporan Neraca Keuangan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk

Posisi 31 Desember 2009

Delta Komposisi Komposisi Kenaikan Dec-08 Dec-09

161.061

205.542 27,62%

a. Mikro 42.756 54.075 26,47% 26,55% 26,31%

- KUR Mikro 4.466 2.851 -36,16% 10,45% 5,27% - Non KUR Mikro 38.290 51.224 33,78% 89,55% 94,73%

b. Ritel 65.853 88.761 34,79% 40,89% 43,18%

- KUR Ritel 2.401 2.470 2,87% 3,65% 2,78%

- Non KUR Ritel 63.452 86.291 35,99% 96,35% 97,22% c. Ritel Program 8.200 8.993 9,67% 5,09% 4,38% d. Syariah 999 - n/a 0,62% 0,00% e. Menengah 12.453 14.968 20,20% 7,73% 7,28% f. Korporasi 30.800 38.745 25,80% 19,12% 18,85% (8.810) (13.003) 47,59% (dalam Rp. Milliar) Dec-08 Dec-09 Pinjaman PPAP Aktiva

Sumber : Laporan Sumber Dan Penggunaan Pada Rapat Asset Liabilities Cordination (ALCO) PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk tanggal 28 Januari 2010.

9

Lihat Surat Kantor Pusat PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk, Nomor. B.501-DIR/MKR/08/2009 tanggal 31 Agustus 2009 tentang Instruksi Ekspansi KUR Mikro

(10)

Adapun perincian atas angka non performing loan (kredit bermasalah) dari pengguliran dana atas program Kredit Usaha Rakyat secara terperinci adalah sebagai berikut:

Tabel 2.

Kondisi Kredit Usaha Rakyat

di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Posisi 31 Desember 2009

Segmen Debitur Outstanding Kredit (OS) OS NPL % NPL

KUR Ritel 28.991 2.469.726.084.914 126.242.895.068 5,11 KUR Mikro 1.209.618 2.851.462.506.000 169.722.343.000 5,95 Sumber : Laporan Kondisi NPL KUR Nasional pada Rapat Asset Liabilities Cordination

(ALCO) PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk tanggal 28 Januari 2010. Struktur klasifikasi kualitas kredit yang dimiliki oleh suatu bank sangat menentukan tingkat kesehatan bank. Perkreditan suatu bank dikategorikan sehat bila bank tersebut memiliki ratio Non Performing Loan (NPL) lebih kecil dari 5%. Rasio Non Performing Loan adalah perbandingan antara kredit lancar dengan jumlah kredit kurang lancar, kredit kurang lancar dan kredit macet dikali 100%.10

Timbulnya kredit macet tidak saja akan merugikan para pemilik dana dan yang sebagian besar adalah anggota masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkatan kehidupan yang dapat meresahkan masyarakat bahkan merusak sendi perekonomian negara.11 Naiknya NPL akan memaksa perbankan memperkuat struktur permodalannya. Untuk keperluan ini, boleh jadi perbankan akan memperbesar porsi

10

Lihat Peraturan Bank Indonesia No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP, tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

11

Bandingkan dengan pendapat Bismar Nasution, yang mengatakan bahwa prosedur penyaluran kredit yang dinilai tidak berhati-hati dapat memicu kredit macet yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian negara. Bisnis Indonesia, dalam Rubrik Opini, Edisi. 16 Mei 2005, hlm. 7.

(11)

penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Konsekuensinya adalah pada saat perbankan berupaya memperkuat struktur permodalan, secara otomatis hal ini akan mengurangi kemampuan perbankan melakukan ekspansi kredit (ke sektor riil).12

Dana yang disalurkan sebagai kredit oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk sebagian besar adalah dana masyarakat yang dihimpun baik melalui deposito, giro maupun tabungan. Sementara dana masyarakat yang disimpan di bank tidak dijamin dalam bentuk jaminan kebendaan tetapi hanya berdasarkan prinsip kepercayaan, maka dalam penyaluran kredit tersebut bank harus memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat serta asas kehati-hatian.

Melihat kondisi yang saling kontra tersebut, hal yang penting di kaji sebagai bahan perumusan masalah adalah adanya ketidaksinergisan antara kebijakan pemerintah mengenai UMKM dengan pengaturan penyaluran kredit dari Bank Indonesia selaku regulator perbankan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM untuk penyaluran kredit berpola penjaminan (Kredit Usaha Rakyat)?

12

Latif Adam, Kredit Bermasalah, Penyebab dan Dampaknya,

(12)

2. Bagaimana risiko penyaluran kredit berpola penjaminan (Kredit Usaha Rakyat) kepada sektor UMKM di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk?

3. Bagaimana pertanggungjawaban Direktur Bank BUMN terhadap timbulnya kredit bermasalah (non performing loan) pada UMKM berdasarkan doktrin business judgement rule?

C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan prinsip kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM untuk penyaluran kredit berpola penjaminan (Kredit Usaha Rakyat).

2. Untuk mengetahui dan menganalisis risiko penyaluran kredit berpola penjaminan (Kredit Usaha Rakyat) kepada sektor UMKM di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban Direktur Bank BUMN terhadap timbulnya kredit bermasalah (non perfroming loan / NPL) di bank BUMN berdasarkan doktrin business judgement rule.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:

(13)

1. Manfaat teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan teori-teori yang dapat dipakai didalam penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit melalui pendekatan prinsip business judgement rule pada Bank BUMN berbentuk Perseroan Terbatas. Dengan demikian penelitian ini akan memberikan sumbangan yang berarti kepada pengembangan ilmu hukum khususnya hukum ekonomi.

2. Manfaat praktis.

Penelitian ini akan menghubungkan teori, konsep serta kelaziman yang berlaku didalam dunia perbankan dengan azas dan peraturan / ketentuan hukum khususnya mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit melalui pendekatan prinsip business judgement rule. Dengan adanya suatu kesamaan pandangan terhadap konsep business judgment rule maka akan memudahkan semua pihak, yaitu penegak hukum, praktisi perbankan, masyarakat dan stakeholder Bank untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan bank.

E. Keaslian Penelitian.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2007 atau dengan perkataan lain undang-undang tersebut relatif baru walaupun pada sistem common law prinsip business judgement rule telah lama diterapkan. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian sejenis juga dilakukan oleh 5

(14)

(lima) orang mahasiswa Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu:

1. Katharina Melati Siagian, dengan judul Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk) pada tahun 2006.

2. Rudi Dogar Harahap, dengan judul Penerapan Business Judgment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank Yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas pada tahun 2008.

3. Delmon Frengki, dengan judul Peran Hukum Perbankan Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Studi Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Lubuk Pakam) pada tahun 2008.

4. Kusmono, dengan judul Tanggung Jawab Direksi Persero Pada Pengelolaan Penyertaan Modal Negara Dalam Hal Terjadi Kerugian pada tahun 2008.

5. Marganti Panggabean, dengan judul Analisis Pertanggungjawaban Direksi Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada tahun 2008.

Namun, penelitian yang dilakukan penulis ini berbeda objek penelitiannya, penelitian ini spesifik dilakukan pada industri perbankan yang bergerak di sektor bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk penyaluran kredit dengan pola penjaminan sehingga pendekatan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan penelitian menggunakan ketentuan perundang-undangan, aturan Bank Indonesia, teori-teori, asas-asas dan kelaziman-kelaziman yang berlaku dalam dunia perbankan.

(15)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional.

1. Kerangka Teori.

Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan pertunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum itu mengandung ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan.13

Ternyata keadilan saja tidak cukup, masyarakat membutuhkan peran hukum lebih luas dari hanya sekedar penegakan keadilan, tetapi masyarakat juga menginginkan hukum dapat menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain serta kepentingannya juga terlayani. Oleh karenanya, Satjipto Rahardjo dengan mengutip pendapat Radbruch yang mengemukakan bahwa hukum harus memiliki tiga nilai dasar yaitu: kepastian hukum (rechtsickerheit), kemanfaatan (zubeckmassigheit) dan keadilan (gezechtigheit).14

Selain tiga nilai dasar tersebut, dalam penelitian ini, konsep hukum yang akan digunakan adalah hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Menurut J.D. Ny. Hart, hukum yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

13

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 18.

14

(16)

a. Hukum harus dapat membuat prediksi (predictibility), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.

b. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam menyelesaikan sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal (court of administrative tribunal), penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution), dan penunjukan arbiter konsiliasi (conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa.

c. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of laws) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan Negara.

d. Hukum setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan.

e. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance), karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi.

f. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status), yang dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang.

g. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

(17)

h. Tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas (stability) sebagaimana diuraikan dimuka.15

Peraturan atau norma hukum, itu tidak lahir dengan sendirinya. Ia dilatarbelakangi oleh dasar-dasar filosofis tertentu, yang disebut dengan asas hukum. Sehingga untuk mempelajari norma hukum, kita harus mengetahui asas-asas hukumnya. Hal ini disebabkan asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis yang merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan etis masyarakat.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan asas hukum merupakan jantungnya perautan hukum. Karena itu ia merupakan landasan yang luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa asas-asas hukum bukan peraturan hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya.16

Demikian juga bila berbicara tentang perbankan, bahwa dalam melaksanakan kemitraan antara bank dan nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang

15

Bismar Nasution, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Pada Hukum Indonesia, Bahan Kuliah Pada Pasca Sarjana Hukum Ekonomi USU, hlm. 19.

16

(18)

sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas hukum (khusus) yaitu:17

a. Asas Demokrasi Ekonomi.

Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti, fungsi dan usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tersebut harus dihindarkan hal-hal sebagai berikut:

1) Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktur ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia.

2) Sistem etatisme, dalam arti bahwa negara beserta aparatur negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara.

3) Persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.18

17

Rahmadi Usman, Op Cit. hlm. 14.

18

(19)

b. Asas Kepercayaan.

Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Demikian juga bank melengkapi dirinya dengan peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman serta kebijakan sehingga mampu mengelola dana ataupun titipan masyarakat dengan baik. Kepercayaan sangat mahal nilainya sebab tidak akan ada nasabah yang berani menitipkan dananya pada suatu bank jika ia tidak yakin akan ada nasabah yang berani menitipkan dananya pada suatu bank jika ia tidak yakin dan percaya pada bank tersebut.19

c. Asas Kerahasiaan.

Dalam hubungan antara bank dengan nasabah terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun kecuali jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku, hal ini dinamakan rahasia bank. Dengan demikian istilah rahasia bank mengacu pada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabah walaupun bersifat rahasia tapi tidak tergolong rahasia bank bank menurut undang-undang perbankan. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Kerahasiaan informasi yang terlahir dalam kegiatan perbankan ini

19 Ibid.

(20)

diperlukan baik untuk kepentingan bank maupun nasabah. Oleh karenanya bank harus memegang teguh keterangan yang tercatat olehnya.20

d. Asas Kehati-hatian.

Perkataan kehati-hatian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti memperhatikan dengan sungguh-sungguh.21 Menurut A.C. Page dan R.B. Ferguson sebagaimana dijelaskan dalam ”The Prudent Man Rule”, bahwa setiap orang yang bertugas mengelola sesuatu investasi untuk kepentingan pihak lain, harus selalu bertindak hati-hati dan di dalam pikiran merasa terikat secara moral dengan pihak lain tersebut. Bagi seorang pengusaha, ia harus sadar bahwa yang dikelolanya adalah milik orang lain dan secara moral bertanggungjawab kepada masyarakat.22

Ross Cranston mengemukakan bahwa diperbankan aturan kehati-hatian (prudential regulation) membedakan antara aturan preventif dan aturan protektif dengan perincian sebagai berikut:

1) Preventif (pencegahan), mencakup hal-hal yang bersifat teknis yang sengaja diadakan untuk membentengi krisis dengan cara mengurangi risiko yang dihadapi bank. Teknik-teknik ini meliputi antara lain pengawasan dan monitoring manajemen bank, kecukupan modal, solvensi dan standar likuiditas serta batas maksimum pemberian kredit.

20 Ibid.

21

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 301.

22

A.C. Page & R.B. Ferguson, The Prudent Man Rule; Investor Protection, (London: Weiden Feld and Nocolson Ltd, 1992), hlm. 19-20.

(21)

2) Protektif, bermaksud memberikan perlindungan dan dukungan kepada bank terutama pada saat krisis mengancam. Fasilitas pinjaman dari bank sentral (lender of last resort) merupakan manfaat yang segera tersedia, tetapi yang terutama adalah bantuan penyelamatan (rescue operation) merupakan hal yang dibutuhkan, dan juga skema pembayaran dibawah asuransi perlindungan deposan.23

Industri perbankan merupakan suatu industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan (fiduciary) masyarakat yang memiliki uang untuk disimpan24 di bank. Dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut bank menghadapi berbagai risiko baik risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional maupun risiko reputasi. Banyaknya ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam melindungi kepentingan masyarakat, termasuk ketentuan yang mengatur kewajiban modal minimum sesuai kondisi bank, batas pemberian kredit dan ketentuan yang mengatur mengatasi bank yang mengalami krisis, menjadikan sektor perbankan yang ”highly regulated”. Pengurus bank adalah profesi yang dituntut memiliki standar kehati-hatian yang tinggi dalam mengelola bank. Alasannya adalah bank sebagai industri keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan berasal dari pemilik bank.25

Menyimak pendapat Ross Cranston sebagaimana diuraikan tersebut di atas bahwa aturan kehati-hatian (prudential regulation) di perbankan mencakup aturan

23

Ross Cranston, Principles of Banking Law 84 (1997), hlm. 11.

24

Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum ekonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2002), hlm. 4.

25

Zulkarnain Sitompul, ”Bankir Perlu Berhati-hati”, Harian Ekonomi Pembaca, 8 Januari 2008.

(22)

preventif dan aturan protektif. Ketentuan-ketentuan tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-Undang Perbankan yang mencakup sisi dasar aspek hukum implementasi prinsip kehati-hatian perbankan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.9/12/DPNP tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance yang mengandung asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran.

Pada Bank BUMN yang bergerak dalam jasa perbankan, aspek hukum The Prudential Banking Practice juga sudah diakomodasikan dalam undang-undang perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menegaskan bahwa Bank Indonesia menetapkan batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

Batasan umum penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit adalah bahwa bank sebelum menyalurkan kredit harus melakukan penilaian yang seksama terhadap calon debitur meliputi apa yang disebut 5C’s of Credit yaitu:

a. Character (Karakter). b. Capacity (kapasitas) c. Capital (Modal) d. Condition (Kondisi)

(23)

Selain hal tersebut di atas, bank juga harus menilai seluruh aspek-aspek perkreditan yang ada. Tujuannya adalah untuk menghindari kredit bermasalah yang berujung pada kredit macet. Kondisi macetnya suatu fasilitas kredit bukan hanya menimbulkan kerugian bagi bank tetapi juga menimbulkan kerugian bagi nasabah penyimpan dana, karena sumber dana bank dalam menyalurkan kredit sebagian besar adalah dana titipan nasabah. Oleh karena itu, bank wajib mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

Risiko dan bank adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, dalam artian bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.

Risiko, khususnya di dalam konteks bisnis (bagi Bank dan lembaga keuangan), tidaklah selalu mewakili sesuatu hal yang buruk. Kenyataannya Risiko bisa mengandung di dalamnya suatu peluang yang sangat besar bagi mereka yang mampu mengelolanya dengan baik. Hal itu mungkin yang melatarbelakangi mengapa kalimat “Saya akan ambil Risiko tersebut,” dalam bahasa Inggris lebih banyak dinyatakan dengan, I will take that chance.

Secara sederhana J.P Morgan mengartikan risiko sebagai suatu ketidak pastian dari Net Return yang terjadi, atau secara komprehensif risiko merupakan suatu potensi terjadinya peristiwa (event) yang dapat memberikan pengaruh negatif

(24)

terhadap nilai suatu portofolio aset yang dapat diukur dengan probabilitas tertentu dalam rentang waktu yang diketahui. 26

Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat diartikan bahwa gampangnya risiko hari ini bisa diterjemahkan sebagai potensi kerugian esok hari, akan tetapi malangnya, risiko tidaklah bisa diukur seperti menghitung pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan bank karena risiko tidaklah bersifat “tangible” (kasat mata). Pengukuran risiko lebih merupakan hal yang konseptual dan merupakan tantangan dalam menerapkan praktik perbankan berbasis risiko. Jadi untuk menilai risiko yang “intangible” (tidak kasat mata), mendefinisikannya dengan benar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar.

Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor. 11/25/PBI/2009, menjelaskan defenisi risiko-risiko yang harus dihadapi Bank dalam aktivitas bisnisnya, walaupun mengadopsi Bassel II namun terdapat perbedaan mengenai definisi tersebut. Adapun jenis risiko yang wajib dikelola bank adalah:

a. Risiko Kredit b. Risiko Pasar c. Risiko Operasional. d. Risiko Likuiditas e. Risiko Hukum 26

(25)

f. Risiko Reputasi g. Risiko Strategik. h. Risiko Kepatuhan

Mencermati jenis-jenis risiko dan akibat yang ditimbulkannya bagi Bank, menuntut paradigma baru bagi Bank tentang risiko perbankan. Jika dulu kita hanya mengenal risiko kredit sekarang tidak cukup hanya dengan risiko kredit saja. Jika dulu pemantauan risiko hanyalah merupakan fungsi auditor, sekarang merupakan tanggung jawab Direksi. Jika dulu risiko hanya sebagai suatu faktor negatif yang harus dikontrol, sekarang risiko diterjemahkan sebagai suatu opportunity bagi bank.27 Bercermin dari petikan perkataan Alan Greenspan : “...We should not forget that basic economic function of these regulated entities (banks) is to take risk. If we minimize risk taking in order to reduce failure rates to zero, we will, by defenition, have eliminated the purpose of banking system”. Pengelolaan risiko Bank bukan berarti menghilangkan risiko sampai menjadi nihil, tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana mengukur, memonitor, mengelola dan mangambil keuntungan dan mengamankan bank dari risiko-risiko tersebut.28

2. Konsepsional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penulisan ini, maka digunakan definisi operasional sebagai berikut:

27

Peraturan Bank Indonesia Nomor. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor. 11/25/PBI/2009.

28 Ibid.

(26)

a. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.29

b. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan / atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).30

c. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

29

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

30

Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.

(27)

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).31

d. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai kriteria sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).32

e. Kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) adalah semua kredit yang memiliki risiko tinggi, karena debitur telah gagal atau menghadapi masalah dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan. Kredit bermasalah dapat diartikan suatu keadaan kredit dimana debitur sudah tidak sanggup membayar sebagian atau keseluruhan kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan, atau

31

Ibid, lihat Pasal 6 ayat (2).

32

(28)

telah ada suatu indikasi potensial bahwa sebagian maupun keseluruhan kewajibannya tidak akan mampu dilunasi debitur.

f. Kredit Usaha Rakyat adalah kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Koperasi dengan pola penjaminan (KUMKP).

g. Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank.33

h. Prinsip business judgement rule berdasarkan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas merupakan pembelaan kepada para Direksi terhadap fiduciary duty karena prinsip ini menekankan bahwa para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.

i. Fiduciary duty adalah Duty of loyality and good faith bersama-sama dengan duty of care and skill (dalam sistem common law). Konsep fiduciary duty berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dijabarkan bahwa Direksi berkewajiban untuk menjalankan pengurusan perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari berdasarkan keahlian, peluang yang

33

(29)

tersedia dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan berdasarkan itikad baik dan tanggung jawab.

j. Pertanggungjawaban Direksi berdasarkan konsep fiduciary duty dalam konteks Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi dan atau tanggung renteng atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam menjalankan penguruan perseroan dengan tidak seksama dan tekun.

G. Metode Penelitian.

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman / aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.34

Metode adalah alat untuk mencari jawab dari suatu permasalahan, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang dicari.35 Agar dapat dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan.

34

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Bandung: Citra Aditya, 2002), hlm. 2.

35

Setiono, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PPS UNS, 2002), hlm. 1.

(30)

1. Jenis dan Sifat Penelitian.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan hukum normatif. Untuk mendukung hasil analisis tersebut, digunakan juga pendekatan hukum secara empiris yang memaparkan kondisi riil di lapangan perihal pemberian fasilitas kredit berpola penjaminan bagi sektor UMKM di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

Penelitian hukum normatif dilakukan melalui pendekatan studi perpustakaan (library research) berdasarkan data sekunder yang bersumber dari produk hukum yang mengatur kebijakan terhadap pelaku UMKM baik dari hukum perbankan maupun peraturan pemerintah yang mengaturnya.

Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.36 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian hukum doktrinal / normatif. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif dan menurut bentuknya penelitian ini merupakan penelitian diagnostik yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala37 yang dalam hal ini tentang penerapan prinsip business judgement rule dalam penyaluran kredit berpola penjaminan kepada UMKM di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk berdasarkan prinsip kehati-hatian pada perbankan.

36

Ibid. hlm. 10.

37

(31)

2. Jenis Data dan Sumber Data.

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, Koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.

Mengacu pendapat Soerjono Soekanto dalam menggunakan data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), maka penulis menggunakan data sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer38 yaitu;

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Badan Usaha Milik Negara.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

38

(32)

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil Dan Menengah.

7) Instruksi Presiden Nomor. 6 Tahun 2007 Tanggal 8 Juni 2007 Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. 8) Peraturan-Peraturan Bank Indonesia.

9) Nota Kesepahaman Bersama Antara Pemerintah, Perbankan Dan Perusahaan Penjamin Pada Tanggal 9 Oktober 2007.

10)Peraturan Internal PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer,39 terdiri atas: berbagai hasil penelitian, hasil penelitian ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk berdasarkan konsep business judgement rule.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,40 dalam tesis ini penulis menggunakan bahan dari media internet, Black’s Law Dictionary, kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Mengingat bahwa jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan dalam penelitian ini

39

Ibid, hlm. 19.

40 Ibid.

(33)

adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) melalui studi dokumen untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

4. Analisis Data.

Metode analisis data yang dilakukan menggunakan data sekunder melalui pengolahan data sebagai prosedur penelitian yang bersifat deskriptif. Sedangkan hasil pengolahan data yang diperoleh akan diuraikan dan dan dianalisis melalui teori yang ada untuk kepentingan analisis kuantitatif dan analisis isi (content analysis). Pendekatan terhadap sudut pandang regulasi hukum terhadap penyaluran kredit perbankan berpola penjaminan kepada UMKM dan prinsip business judgement rule yang dikaji melalui perbandingan antara keduanya. Penarikan kesimpulan dalam penelitian menggunakan metode induktif dan deduktif.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh pada fase baseline 1 yaitu frekuensi anak dalam komunikasi hanya berada pada kisaran 5-7, pada fase intervensi setelah diberikan beberapa kali

Sekiranya tersentuh kulit secara tidak sengaja, elakkan daripada pendedahan langsung kepada matahari atau sumber cahaya UV yang lain kerana kerengsaan yang teruk termasuk

Pembuatan "keju adalah salah saw metode terttJa yang dilakukan oleh manuSla untuk mencegah kerusakan pada bahan-bahan makanan. menjadi prod uk yang tidak mudah

19 Saya memilih menggunakan jasanya karena penawaran harga oleh Romanza sesuai dengan kemampuan saya. 20 Saya lebih memilih Romanza

Kekayaan sumber hayati ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan Gunung Peramas yang terletak di Desa Pangkalan Buton Kecamatan Sukadana

Analyysi on teoriasidonnaista silloin, kun analyysiyksiköt nousevat aineistosta ja kun hyväksytään, että teoreettinen ymmärrys ja tietämys ohjaavat tutkijaa

The reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian water and the western tropical Pacific Ocean: Project summary.. Fecundity of yellowfin tuna

Pada proses pembelajaran digunakan aspek mengumpulkan data pengamatan yang terdiri dari empat deskriptor yaitu mengajukan hasil analisis sesuai dengan rumusan masalah, melihat