• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA, NASIONALISME, DAN POLITIK IDENTITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NEGARA, NASIONALISME, DAN POLITIK IDENTITAS"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

1

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

NEGARA, NASIONALISME,

DAN POLITIK IDENTITAS

(2)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

NEGARA, NASIONALISME,

DAN POLITIK IDENTITAS

Salam,

Diskusi yang dilangsungkan oleh Ciputat School pada 31 Agustus 2012 ini membahas Buku yang ditulis oleh Anthony Reid

berjudul: Imperial Alchemy; Nationalism

and Political Identity in Southeast Asia.

Pendekatan Reid berbeda dengan Nugroho Notosusanto yang sering disebut orang sebagai sejarah politik karena dia bicara pertarungan elite. Dia tak banyak memberi tempat kepada kelompok-kelompok di

luar elite tersebut. Sebaliknya kalau kita membaca sejarawan seperti Sartono, dia dikenal sebagai sejarawan sosial karena

(3)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

memberi tempat kepada orang-orang marjinal atau grassroot.

Sementara Anthony Reid dikenal

dengan total history. Dia tidak memberi prioritas pada isu-isu dinasti, alit atau peperangan. Semua itu sama proporsinya dengan penjelasan dia tentang makanan, gaya hidup, atau budaya di berbagai daerah. Jadi kalau membaca buku

Southeast Asia in the Age of Commerce, itu melelahkan dan membosankan juga. Saya membaca buku Reid ini terus terang agak kelewat detail seperti membahas ada kesamaan kata dalam bahasa China dengan Thailand, Indonesia, Malaysia. Dia detail sekali padahal untuk apa juga. Tapi itulah kira-kira total history. Dia banyak memberi tempat untuk itu.

Di bawah ini adalah transkripsi lengkap diskusi tersebut. Selamat menikmati. Redaksi

(4)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

I. PENGANTAR DISKUSI Ihsan Ali-Fauzi

Selamat malam, assalamualaikum wr. wb. Minal aidin walfaizin, semuanya. Mari kita mengucapkan terima kasih kepada Elza Peldi Taher, yang menyediakan hidangan khusus hari ini.

Teman-teman sekalian, sekarang

mari kita mulai diskusi kita. Kita akan mendiskusikan satu buku karya Anthony Reid. Judulnya, Imperial Alchemy:

Nationalism and Political Identity in Southeast Asia. Ada masalah komunikasi

karena handphone Nur Iman Subono (Boni) bermasalah. Sudah lama sekali kita berharap Boni bisa mempresentasikan ini. Boni sempat kurang sehat dan sebagainya. Menjelang akhir minggu lalu belum ada kejelasan apakah Boni bisa atau tidak. Sebagai penanggungjawab forum ini saya lalu mengambil inisiatif membuat review terhadap buku itu. Jadi

(5)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

sekarang kita punya dua paper. Keduanya sudah diperbanyak. Saya persilakan Boni untuk memberi pengantar lebih dulu. Nanti kalau diperlukan saya bisa mempresentasikan paper saya juga. Silakan Boni.

(6)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

II. PRESENTASI NARASUMBER: Nur Iman Subono & Ihsan Ali-Fauzi

Nur Iman Subono

Terima kasih, selamat malam,

assalamu’alaikum wr. wb. Memang

ada soal komunikasi. Kemarin saya baru baca e-mail ternyata saya punya tanggungjawab untuk bicara hari ini. Seminggu yang lalu handphone saya hilang. Terima kasih teman saya Ihsan sudah membuat paper juga dan saya kira lebih bagus dan lebih serius.

Buku yang akan kita bahas kali ini adalah buku Anthony Reid. Seperti disinggung di paper Ihsan, Reid ini produktif sekali menulis tentang Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kalau lihat disertasinya, dia bicara tentang asal-usul konflik di Aceh. Dia juga menulis tentang Sumatera Timur. Ada juga bukunya tentang revolusi nasional di Indonesia. Buku ini sebetulnya sudah lama saya dapat dari Ihsan tapi

(7)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

saya baru sempat baca kemarin-kemarin. Nanti mungkin detailnya bisa kita diskusikan bersama.

Anthony Reid mencoba memahami nasionalisme di Asia Tenggara dengan mengambil beberapa studi kasus tapi dengan cara berbeda. Dia menggunakan istilah imperial alchemy atau saya sebut alkemi imperial. Nanti bisa kita pertanyakan apakah istilah ini cocok. Dalam pembicaraan tentang nasionalisme, Reid banyak dipengaruhi Anthony Smith. Smith banyak bicara tentang nasionalisme, istilah dia ethnie

nationalism. Smith dikenal sangat

memasukkan dimensi mistis dari nasionalisme. Dan ini yang tampaknya coba dipakai Reid untuk melihat Asia Tenggara.

Ada dua pertanyaan Reid yang saling berkaitan, pertama, apakah nasionalisme yang berkembang di Asia, Asia Tenggara, atau khususnya Indonesia, mengikuti jalan nasionalisme yang berkembang di Eropa? Atau tidak ada paralelisme antara nasionalisme yang terjadi di Eropa dengan apa yang berkembang di Asia atau Asia Tenggara? Kalau kita membaca

(8)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

bukunya, tampaknya dia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada paralelisme. Nasionalisme yang berkembang di Asia menurutnya berbeda. Pertanyaannya, perbedaannya di mana?

Dalam buku ini dia mengutip berbagai literatur. Saya kira beberapa kawan sudah akrab dengan nama-nama seperti Anthony Giddens, Benedict Anderson, John Armstrong atau Ernest Gellner yang bicara tentang nasionalisme. Walaupun argumennya bervariasi tapi mereka sampai pada kesimpulan bahwa nasionalisme bukan sesuatu yang alamiah melainkan hasil konstruksi. Tapi dari seluruh argumen itu mereka merujuk pada apa yang berkembang di Eropa. Anthony Reid merasa bahwa ini tak relevan dengan nasionalisme di Asia. Dia misalnya mengatakan, “jalan nasionalisme Asia, khususnya Asia Tenggara, berbeda dengan jalan Eropa, didasari pada pertanyaan, mengapa Asia Tenggara tidak memiliki nasionalisme etnik yang sangat desesif seperti di Eropa di mana negara-negara akan menjadi bersatu atau terpecah belah akibat perang, dan batas-batas wilayah ditentukan atau ditentukan

(9)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

kembali oleh para pemenang.”

Dugaan saya buku ini muncul untuk

menjawab buku-buku tentang

nasionalisme yang sudah ada sebelumnya.

Reid kemudian memperkenalkan

beberapa tipologi nasionalisme, ada

ethnie nationalism, state nationalism, anti-imperial nationalism, outrage dan at state humiliation. Saya merasa ethnie nationalism sebagai elemen kunci dari

seluruh penjelasan ini. Ihsan bisa koreksi saya kalau salah.

Pertanyaannya, apa ethnic nationalism ini? Di sini memang disebutkan, “yaitu yang memiliki peran dalam pembentukan nasionalisme. Komunitas ethnic ini bisa diartikan sebagai kelompok sosial yang anggotanya saling berbagi perasaan, sentimen bersama, asal-usul bersama, klaim terhadap sejarah atau tradisi, berbagi budaya berbeda, termasuk bahasa dan agama, dan berkaitan dengan satu wilayah teritorial, baik masa lalu atau saat ini, dan adanya perasaan solidaritas.” Dari kasus-kasus yang diangkat tampaknya semua bicara tentang ethnie nationalism ini yang kemudian bertransformasi

(10)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

menjadi state-nationalism atau

anti-imperial nationalism. Kalau kita lihat

beberapa studi kasus yang diangkat, misalnya tentang etnis Cina, Batak, Melayu, atau Aceh, semuanya bertumpu pada ini.

Di papernya Ihsan dijelaskan bahwa ada interaksi yang berbeda di sana. Aceh misalnya sering terjadi ketegangan. Aceh yang merasa dirinya sebagai

ethnie nationalism menurut penjelasan

Reid selalu berkonflik atau mengalami ketegangan dengan state

nationalism-nya Indonesia. Sebaliknya etnis

Batak lebih punya kemampuan untuk beradaptasi, tak ada perasaan minder. Mereka merasa sama dengan etnis-etnis yang lain dan mereka berada di dalam

state nationalism-nya Indonesia.

Ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan. Konsep alkemi imperial ini menjadi mistis karena menurut Reid seluruh border perbatasan itu sama dengan hasil kolonialisme. Ini berbeda dengan tradisi Eropa yang berdarah-darah dan kemudian pecah. Tapi menariknya, kerajaan-kerajaan atau dinasti yang berkembang kemudian

(11)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

mempertahankan itu. Nation-state dengan batas-batas imperial kolonial ini kemudian menjadi satu kesatuan. Upaya-upaya untuk menggoncang batas-batas ini tampaknya menurut Reid tidak terlalu berhasil.

Dia menyebutkan contoh seperti aneksasi Timor Leste yang pada akhirnya kembali lepas lagi. Upaya untuk memisahkan Vietnam Selatan dan Vietnam Utara, di mana Amerika terlibat, pada akhirnya kembali lagi menjadi satu kesatuan.

Upaya-upaya pemberontakan di

Indonesia tahun 1950-60-an tampaknya juga tak berhasil menggoyang negara. Inilah dimensi mistis dari nasionalisme Reid karena ada alkemi imperial yang bisa mempertahankan ini semua. Dengan ini dia sebetulnya ingin mengatakan bahwa hal ini diametral dengan nasionalisme yang berkembang di Eropa yang berdarah-darah.

Reid berbeda dengan Nugroho

Notosusanto yang sering disebut orang sebagai sejarah politik karena dia bicara pertarungan elite. Dia tak banyak memberi tempat kepada kelompok-kelompok di luar elit tersebut. Sebaliknya

(12)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

kalau kita membaca sejarawan seperti Sartono, dia dikenal sebagai sejarawan sosial karena memberi tempat kepada orang-orang marjinal atau grassroot. Sementara Anthony Reid dikenal dengan

total history. Dia tidak memberi prioritas

pada isu-isu dinasti, alit atau peperangan. Semua itu sama proporsinya dengan penjelasan dia tentang makanan, gaya hidup, atau budaya di berbagai daerah. Jadi kalau membaca buku yang dikutip Ihsan, Southeast Asia in the

Age of Commerce, itu melelahkan dan

membosankan juga. Saya membaca buku Reid ini terus terang agak kelewat detail seperti membahas ada kesamaan kata dalam bahasa Cina dengan Thailand, Indonesia, Malaysia. Dia detail sekali padahal untuk apa juga. Tapi itulah kira-kira total history. Dia banyak memberi tempat untuk itu.

Kemudian saya ingin mempertanyakan apa benar ada magic ini di balik kokohnya Asia Tenggara sebagai satu unit atau kesatuan? Dalam Age of commerce, Reid melihat Asia Tenggara sebagai satu unit atau kesatuan. Tampaknya di buku ini dia juga ada obsesi itu dengan dimensi

(13)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

alkemi imperial ini. Apa benar juga jalan Asia Tenggara yang relatif damai berbeda dengan jalan nasionalisme Eropa yang berdarah-darah? Lagi-lagi pengaruh Anthony Smith sangat kuat dengan adanya dimensi mistis dari nasionalisme ini.

Saya bicara agak keluar untuk mengatakan sebetulnya yang digambarkan Reid tentang Eropa juga tidak sepenuhnya benar. Britania Raya misalnya tidak berdarah-darah. Padahal kita tahu Britania Raya terdiri dari Skotlandia dan Irlandia Utara. Gabungnya juga baik-baik walaupun kemudian Irlandia terpisah karena Perang Sipil. Tapi Wales dan Irlandia itu punya parlemen sendiri, bendera sendiri, gereja sendiri, bahkan bahasa Wales itu resmi selain Bahasa Inggris. Belgia juga misalnya ada yang berbahasa Belanda, Prancis, Brussel, dan Jerman. Mereka juga punya otonomi untuk politik luar negeri mereka masing-masing.

Sebaliknya untuk Asia Tenggara saya mempertanyakan apa benar chemistry ini begitu kuat? Kita bertanya kenapa

(14)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

tidak ada penjelasan tentang Moro di Mindanau dalam buku ini? Kita tak pernah tahu perjuangan Moro untuk berpisah dari Filipina. Dia juga tidak memasukkan kasus Pattani di Thailand. Kasus di Myanmar sekarang juga menjadi penting. Apa benar alkemi imperial ini begitu kuat untuk mempertahankan Asia Tenggara sebagai satu kesatuan?

Saya lihat konflik perbatasan antara

Thailand-Myanmar dan

Kamboja-Vietnam juga sampai sekarang masih terus terjadi. Tentu kalau seandainya Papua lepas, saya kira alkemi imperial, dimensi mistis dari nasionalisme ini, makin tak relevan lagi.

Saya bisa simpulkan jalan Eropa pun tidak tunggal. Dan untuk kasus-kasus yang tidak berdarah-darah, jangan-jangan imperial alchemy-nya justru lebih berfungsi di Eropa. Saya kira itu saja. Kita lebih produktif nanti kalau diskusi.

Ihsan Ali-Fauzi

Saya menambahkan beberapa hal biar yang belum sempat baca buku Reid bisa memperoleh gambaran lebih lengkap

(15)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

mengenai apa isi buku itu. Di awal paper saya bicara sesuatu mengenai Reid, antara lain dia adalah orang yang beda dari umumnya orang-orang Cornell School. Benedict Anderson misalnya menulis The Spectre of Comparison. Dia merasa jangan sembarangan melakukan komparasi, sudah kita bicara mengenai sesuatu yang detail saja. Daripada kita bicara mengenai sesuatu yang besar lalu melakukan generalisasi. Alasannya selalu ada risiko kalau kita melakukan generalisasi. Tapi Reid mencoba melihat, jangan-jangan meski satu sama lain berbeda, ada kesamaan-kesamaan tertentu.

Jadi Reid adalah seseorang yang disebut

comparative historian. Itu antara lain

karena bukunya yang terkenal, Southeast

Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: The Lands below the Winds, yang saya

kutip di sini. Dalam konteks itu, masuk ke buku ini, dia coba membandingkan kesamaan atau perbedaan apa yang bisa diperoleh kalau kita berbicara mengenai nasionalisme di beberapa tempat di Asia Tenggara dalam konteks perbandingannya dengan Eropa atau Amerika, tapi juga Asia Timur Laut,

(16)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

maksudnya Cina, Korea dan Jepang yang

ethnic nationalism-nya sangat kentara.

Di bab satu bukunya dia memulai dengan tesis yang umum sekali diutarakan banyak sarjana Barat, bahwa di kawasan Asia Tenggara, dilihat dari perspektif Barat atau sejarah Eropa, yang disebut negara tidak muncul. Sayangnya Reid tidak mendefinisikan apa yang ia maksud negara. Tapi gambarannya sangat jelas Weberian, ada birokrasi modern, ada monopoli kekerasan, itulah negara. Negara dalam konteks itu tak muncul di Asia Tenggara.

Dia menyebut Asia Tenggara sebagai

state-averse world, satu dunia yang

menghindar dari negara. Maksudnya elit-elit di kawasan itu adalah elit-elit-elit-elit yang tidak bisa atau tidak mau menyatukan satu kawasan dan orang-orang yang ada didalamnya sehingga bisa dikontrol dengan baik, diambil pajaknya, dan dia kuasai alat-alat penggunaan cara-cara kekerasan. Tak ada state yang seperti itu di Asia Tenggara. Itu umum sekali dalam studi-studi mengenai state di Asia Tenggara. Clifford Geertz, misalnya,

(17)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

menyebut Bali di abad ke-19 itu sebagai

Theatre State. State tak berfungsi sama

sekali. State di sana berguna bukan karena berfungsi tapi karena melakukan seremoni dan di tengah-tengah itu rakyat mengurus diri sendiri.

Reid, misalnya, mencontohkan bahwa banyak orang-orang yang tinggal di pedalaman yang memang tak bisa dikuasai atau diatur karena merepotkan. Umumnya begitu. Itu sampai tahun 1900-an. Di tengah-tengah itu, kawasan ini kita tahu sebagian besar dijajah. Ada Inggris, Belanda, Prancis dan Portugis. Ada juga yang tidak seperti Thailang. Thailand tidak dijajah karena dia pintar memanfaatkan dan mengadudomba dua kekuatan kolonial, Prancis dan Inggris. Perdana menterinya yang sangat cakap waktu itu Chulalongkorn. Jadi perhatikanlah bahwa ada kolonialisme di sana. Tapi ada juga wilayah yang tidak terkena kolonisasi seperti Thailand tadi. Di luar itu ada Filipina yang dikolonisasi oleh Portugis kemudian Spanyol.

Kalau kita pakai Ben Anderson, nasionalisme itu sumbernya dari Barat. Ingat bukunya, Imagined Communities.

(18)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Yang dia maksud dengan nasionalisme itu

origin-nya Barat, dan spread, menyebar. Imagined Communities itu anak judulnya Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Itu Ben Anderson yang

sangat kagum dengan Timur, Indonesia, Soekarno, Pramoedya dan sebagainya. Kata Partha Chatterjee, yang sama-sama kiri tapi kritis terhadap Ben, kalau semuanya dari Barat apa lagi yang bisa diimajinasikan? Perhatikan debat-debat itu semua.

Kita tahu faktanya tahun 1940-an wilayah ini rata-rata merdeka dan tiba-tiba memperoleh apa yang disebut

nation-state. Malaysia agak belakangan, 1957,

yang kemudian Singapura melepaskan diri pada 1965. Jadi yang disebut state dan nation di Asia Tenggara baru ada 80 tahun terakhir ini. Pertanyaan Reid, bagaimana menjelaskannya? Samakah atau bedakah dengan nation-state dan

nationalism yang muncul di Eropa abad

ke-15 dan 16?

Di Eropa pada awalnya adalah etnik kemudian kerajaan ketika berkelahi satu sama lain lalu muncul apa yang disebut

(19)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

ke-16. Beberapa tempat malah sebelum itu. Tiba-tiba kerajaan seperti Hapsburg dan lain-lain hilang. Kata Charles Tilly, mari kita jangan hanya pelajari apa yang masih ada dalam kerajaan-kerajaan lama tapi juga apa yang hilang dalam kerajaan-kerajaan lama. Tilly di The Formation of

National States in Western Europe bilang

negara di Eropa tumbuh karena ongkos perang makin mahal maka kerajaan-kerajaan yang kecil memilih bergabung dengan kerajaan-kerajaan yang besar. Itu menguntungkan untuk melakukan perang maupun mempersiapkan diri dari diserang orang. Itulah asal-usul tumbuhnya state-making di Eropa. Kalau begitu caranya, maka kerajaan-kerajaan banyak yang hilang. Muncullah negara-negara modern yang kita sebut sebagai

modern nation-state. Bagaimana

modern nation-sate seperti itu terjadi di

Asia Tenggara? Apakah pola terjadinya sama atau tidak dengan yang di Eropa? Itulah pertanyaan Reid.

Reid melihat apa yang terjadi di Asia Tenggara tak sama karena faktanya di sini sebagian besar ada kolonialisme dan ada ethnic atau belakangan kita sebut ethno-nationalism. Di

(20)

masing-P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

masing itu ada suku-suku yang pada tingkat tertentu juga punya semangat kebangsaan. Aceh, misalnya, yang dulu punya sejarah panjang dengan Islam punya sense kebangsaan yang sangat tinggi. Batak pura-pura merasa bangsa yang besar tapi sebetulnya stateless. Reid menyebutnya ethnicizing stateless, dia tak punya negara tapi mencoba-coba bersatu sebagai satu ethnic padahal Batak banyak sekali jenisnya. Jadi itu konstruksi untuk alasan-alasan tertentu dan seterusnya.

Pertanyaannya, tumbuhnya

nation-state a la Eropa itu kan terjadi di Asia

Tenggara pada pertengahan abad ke-20, bagaimana itu terjadi? Menurutnya ada sesuatu yang dia sebut imperial

alchemy. Itu tesis besarnya. Imperial alchemy adalah satu jenis upaya di mana

unsur-unsur kolonialisme dan ethnie

nationalism tadi digodok sedemikian

rupa. Memang tak sama di semua tempat tapi ada pola besarnya. Itulah yang menjelaskan mengapa nasionalisme di Asia Tenggara relatif berbeda dari yang di Eropa dan tak bisa dijelaskan dengan pengalaman Eropa umumnya. Kira-kira

(21)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

garis besarnya begitu.

Kemudian dia menjelaskan lebih teknis beberapa istilah besar. Pertama, dia membuat beberapa kategori . Jenis nasionalisme yang muncul di Asia Tenggara itu ada yang dia sebut ethnie

nationalism, seperti Aceh, Melayu dan

seterusnya; kedua, state-nationalism, seperti Indonesia dan negara-negara lain;

ketiga, anti-imperial nationalism, yang

sangat dominan sehingga seakan-akan itu menjadi penjelasan semuanya. Padahal kalau kita lihat Siam atau Thailand itu bukan anti-imperial nationalism karena di sana tidak ada imperialisme; terakhir, ada outrage at state humiliation (OSH), nasionalisme tertentu yang muncul karena kegeraman atau kekesalan terhadap negara yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Bayangkan Aceh terhadap Indonesia. Ada perasaan nasionalisme karena kemarahan terhadap Indonesia yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Yang dimaksud Indonesia tentu adalah Jawa dan Jakarta. Keempat unsur itu fluktuatif, bekerja bersamaan, fluid, sangat cair, dan multiple dalam arti ada state-nationalism tapi di dalamnya

(22)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

kadang ada juga ethnie nationalism. Itu mencirikan hubungan Indonesia dan Aceh. Begitulah jenis-jenis nasionalisme yang menurutnya ada di Asia Tenggara. Di sini unsur imperial-nya main. Dia melihat bagaimana interaksi kolonial dengan penduduk setempat, baik elit maupun rakyat biasa, dalam melahirkan

nation-state. Model-modelnya ada tiga. Pertama adalah kasus di mana satu core ethnic group di satu negara menjadi

acuan pokok nasionalisme yang muncul belakangan. Contohnya adalah Shan di Burma, Siam, atau Laos. Bayangkan etnis Jawa yang kemudian menjadi faham kebangsaan Indonesia. Untungnya itu tak terjadi di Indonesia. Tapi di Burma seperti itu. Suku terbesar di Burma menjadi identitas politik negara Burma.

Kedua adalah transformasi dari

kerajaan yang sangat besar. Dalam hal ini imperium-imperium perdagangan besar seperti yang ada di kawasan yang kemudian kita kenal sebagai archipelago, menjadi satu nasionalisme yang civic, yang sangat baik. Contohnya adalah Indonesia dan Filipina.

(23)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Model ketiga hubungan imperial dengan penduduk setempat adalah model di mana penguasa kolonial membantu memperkuat posisi kerajaan di daerah tertentu yang lembek menjadi lebih kokoh dan kemudian dia menjadi penguasa di nation-state. Ini adalah kasus Malaysia. Mekanismenya seperti itu.

Perangkat-perangkat itulah yang dipakai Reid, campuran antara model-model konseptual yang sudah dikembangkan dalam studi-studi nasionalisme dengan apa yang dia peroleh dari kasus di Asia Tenggara sendiri. Itulah aransemen-aransemen konseptual dan teoritis dari dia yang kita bisa diskusikan nanti.

Yang sangat menarik buat saya adalah kasus-kasus empiriknya, dijelaskan di bab tiga sampai tujuh, menyangkut kaitan antara penguasa kolonial dengan penguasa setempat dalam satu proses yang dia sebut kimia imperial itu. Dan yang mengagetkan buat kita, pada bab tiga dia mengatakan bahwa unsur yang menurutnya sangat penting dalam menentukan semua ini justru bukan penduduk asli Asia Tenggara melainan

(24)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

yang dia sebut sebagai essential outsiders Cina Peranakan. Itu menarik sekali buat saya, enlightening, tak terduga, dan revisionis.

Kira-kira kalau kita pakai teologi politiknya Carl Schmitt, definisi kita mengenai diri kita sendiri rupanya ditentukan oleh siapa musuh kita, bukan teman sekongkol kita. Dan itu menentukan siapa kita. Dalam hal ini etnis Cina sangat berpengaruh. Kita tahu dalam sejarah mereka adalah middle man traders, perantara antara penguasa kolonial dengan rakyat setempat, dengan rambut panjang, mata sipit dan seterusnya. Reid membuat satu konferensi dengan Daniel Chirot pada 1994 dan melahirkan buku yang judulnya Essential Outsiders untuk menjelaskan pentingnya posisi Cina Perantauan di seluruh kawasan Asia Tenggara dibandingkan dengan nasib orang-orang Yahudi di Eropa. Ini perbandingan sejarah yang sangat menarik. Mereka sama, malah lebih tragis Cina di sini karena disparitas yang jauh lebih tinggi antara Cina Perantauan dengan rakyat setempat dibanding

(25)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Yahudi dengan rakyat setempat di sana. Jadi buat Reid, essential outsiders adalah orang lain tapi orang lain itu harus ada di situ karena they are present to define our

identity. Itu mendefiniskan semuanya.

Contoh terbaiknya adalah Malaysia.

Nation-state Malaysia di-define karena

kira-kira 30 persen orang di sana adalah keturunan Cina dan Cina Perantauan. Ada satu peristiwa penting, saya kira pada 1567, di mana kaisar Cina merasa sekarang rakyatnya boleh pergi ke mana-mana untuk cari uang dan boleh pulang. Itu membuat perantauan Cina jauh lebih banyak di mana-mana. Keberadaan mereka di sini itu harus didefinisikan oleh orang-orang sini dan semua itu membentuk nasib atau jenis nasionalisme yang tumbuh di masa kemerdekaan. Cerita yang dibilang Boni boring tadi sebetulnya sangat menarik. Tapi intinya keberadaan mereka mau tak mau begitu pentingnya sehingga harus didefinsikan oleh kalangan elit kolonial maupun elit setempat, Bung Karno maupun Van den Bosch, untuk mendudukkan Cina ini siapa. Ini menentukan jenis nasionalisme yang tumbuh kemudian ketika Indonesia

(26)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

merdeka.

Selain Cina, yang sangat penting dalam sejarah Asia Tenggara adalah yang dia sebut Melayu. Reid di sini menurut saya sangat enlightening. Istilah Melayu mirip istilah ‘umat’ yang mengalami penciutan dan pemekaran menurut orang-orang berbeda. Melayu pada mulanya adalah sebuah bahasa yang dipakai kelompok tertentu di negerinya Novri. Tapi belakangan dia jadi ada di mana-mana, panjang ceritanya. Orang Makassar misalnya harus mempelajari bahasa Melayu karena perdagangan, yang sangat penting pada masa itu, menggunakan Bahasa Melayu. Cina Perantauan juga bisa menggunakan Bahasa Melayu. Lagi-lagi di situ Melayu menentukan model nasionalisme yang tumbuh pada masa Indonesia merdeka dan bayangkan itu bisa membedakan antara Indonesia dan Malaysia misalnya.

Ada dua model besar dalam selesainya kolonialisme di Asia Tenggara. Yang pertama secara revolusioner dan dengan kekerasan seperti Indonesia dan Filipina. Kedua adalah model

(27)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

settlement, negosiasi dan diplomatis.

Ini model yang sangat umum terjadi. Contohnya yang terjadi di Malaysia. Dua model ini berpengaruh terhadap model nasionalisme yang kelak berkembang ketika semua negara ini merdeka.

Di Malaysia, karena modelnya seperti itu, yang dijadikan ancaman terbesar di sana adalah kelompok komunis Cina. Gerakan komunis Cina sangat ditakuti Tun Abdul Razak waktu itu. Daripada begitu lebih baik bekerjasama, damai, dan Inggris memang ada masalah besar. Inggris merasa bahwa kolonialisme itu beban, tak seperti Belanda. Ada keinginan Inggris untuk melepaskan jajahannya seperti halnya yang terjadi di India yang kemudian muncul Pakistan. Jadi ada model-model kolonialisme yang berbeda, ada model-model penyelesaian kolonialisme yang juga berbeda, dan semuanya memengaruhi jenis nasionalisme yang tumbuh di masa

nation-state tumbuh yang juga berbeda.

Tadi saya sudah cerita mengenai nasionalisme yang tumbuh di Malaysia yang pada akhirnya mengutamakan

(28)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

orang-orang yang disebut Melayu. Tiba-tiba Melayu di situ dianggap sebagai pemilik sah tanah Melayu pada masa itu sampai sekarang. Kita tahu bahwa salahsatu eksesnya adalah terjadinya kerusuhan anti-Cina yang sangat besar di Malaysia tahun 1968 yang diperbandingkan dengan kerusuhan anti-Cina di Indonesia tahun 1998.

Di Indonesia, Melayu justru menjadi sesuatu yang sangat positif karena tiba-tiba dia menjadi satu alasan bagi tumbuhnya nasionalisme yang sangat

civic. Kelompok ras yang terbesar di Jawa

itu tak dianggap sebagai ras unggulan dan bahasanya tidak dipakai sebagai bahasa utama seperti halnya di Malaysia melainkan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Soekarno berani berkata bahwa kita bukan Jawa, bukan Ambon, bukan Batak, tapi kita adalah Indonesia yang baru yang bahasanya adalah bahasa Melayu, Bahasa Indonesia.

Di Malaysia, Melayu jadi dasar

satu model nasionalisme yang

mengutamakan kelompok tertentu, yaitu tuan rumah yang dianggap son of

(29)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

the soil. Di Indonesia, dia menjadi bahan

yang sangat baik untuk tumbuhnya satu nasionalisme yang civic, sangat terbuka, yang sangat dipuji-puji oleh Reid dan saya kira kita juga harus memujinya dibanding Malaysia. Itu kira-kira yang dia sampaikan di bab 3-4.

Di sisa bukunya Reid bercerita mengenai ethnicizing stateless, soal

etno-nasionalisme yang kecil-kecil

yang sebetulnya tak punya negara. Nasibnya ada dua. Pertama, ikut negara yang baru terbentuk, masuk ke dalam nasionalismenya yang baru sehingga etno-nasionalisme tadi memperoleh wadah baru yang lebih lebar yang muncul di negara baru atau, kedua, dia melawan. Di situlah dia bercerita mengenai Aceh. Aceh berbeda dengan Batak karena punya sejarah masa lalu yang sangat panjang. Itu yang menjelaskan kenapa hubungan Aceh dan Indoensia kadang-kadang tegang.

Bagian selanjutnya dia bercerita mengenai Batak karena dia juga pernah melakukan penelitian cukup lama di Sumatera Timur. Satu jenis

(30)

etno-P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

nasionalisme yang sebetulnya tak ada tapi diada-adakan untuk menjadi alat negosiasi. Saya tak tahu nasionalisme Madura ada atau tidak tapi Jamal atau Zuhairi bisa adakan untuk jualan misalnya. Kalau dia mau keluar ya sudah keluar saja. Penjelasannya mengenai nasionalisme Batak sangat menarik. Yang terakhir dia bercerita mengenai etno-nasionalisme dari satu komunitas kecil di Borneo yang sukarela menyatakan ingin masuk bagian negara federasi Malaysia. Itu menunjukkan contoh di mana sekelompok komunitas yang tadinya belum masuk ke dalam satu negara menyatakan diri masuk menjadi bagian suatu negara. Alasannya karena nation-state yang baru tumbuh itu dianggap sebagai sesuatu yang

promising buat kesejahteraan dia. Itu

yang dijelaskan Reid secara garis besar dalam bukunya.

Di bagian akhir dia memperlihatkan beberapa hal yang tadi sudah disebut Boni. Dengan imperial alchemy dia ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang pasti dengan apa yang terjadi

(31)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

dengan nasionalisme di Asia Tenggara. Dia adalah campuran berbagai unsur, tergantung kreatifitas orang-orang setempat, tergantung jenis kolonialisme yang ada, dan tergantung pada sejarah masa lalu etno-nasionalisme yang ada. Kalau ada suku seperti Aceh maka dia akan jadi lebih berat dan seterusnya. Itu yang dia maksud dengan alchemy, jadi unsur-unsur kimia ini bergabung. Di situ ada peran kolonialisme sehingga dia menambahkan imperial. Unsur imperial penting karena hanya pada masa kolonialisme-lah kawasan ini menjadi sadar akan perlunya sesuatu yang disebut nation-state. Sebelumnya mereka tak sadar.

Pada konteks itu Reid merasa bahwa satu unsur yang juga sangat penting dalam

imperial alchemy ini adalah outsiders

yang bukan ‘asli Asia Tenggara’, kalau kita mau sebut demikian, tapi dia sudah ada lama di Asia Tenggara selain jumlahnya banyak dan sangat berpengaruh. Kata Reid, imperial alchemy is working. Bukunya diakhiri seperti itu.

(32)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

dari Reid tapi yang penting dia merasa bahwa bahwa Indonesian nationalism

is very seductive, sangat menggoda.

Tantangan terbesar nasionalisme

Indonesia menurutnya bukan etno-nasionalisme seperti dulu karena relatif bisa diselesaikan dengan peaceful seperti disebut Boni tadi.

Boni tadi cerita mengenai beberapa kasus yang tidak masuk. Reid memang memilih kasus yang sudah dia kuasai dengan baik. Itu bisa jadi keuntungan tapi juga kerugian. Dia tak betul-betul ahli mengenai Vietnam seperti Victor Lieberman, misalnya. Reid sangat ahli mengenai Indonesia dan Malaysia jadi kasusnya banyak sekali diambil dari Indonesia dan Malaysia. Perbandingan-perbandingannya juga Indonesia dan Malaysia.

Dilihat dari perbandingan ini, misalnya, sementara nasionalisme Indonesia sangat seductive, dia merasa bahwa cara Indonesia menampung nasionalisme dalam satu bentuk negara yang unitary menurut dia keliru. Ini ironis dan sangat disayangkan. Dalam hal ini Malaysia

(33)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

menurutnya jauh lebih menjanjikan. Malaysia negara federal. Dia misalnya mengutip Robert Elson yang bilang ada yang missing antara 1944-1946

sehingga kesimpulan-kesimpulannya

diambil secara tergesa-gesa. Akibatnya federalisme gagal dan Indonesia jatuh menjadi negara kesatuan. Dibanding Malaysia, dia lebih suka Malaysia. Menurutnya ongkos menjaga kesatuan itu lebih besar.

Yang sangat menarik menurutnya cobaan terbesar dari apakah nasionalisme ini sehat wal afiat atau tidak adalah sejauh mana demokratisasi, sesudah terjadi otoritarianisme di awal-awal kemerdekaan, bisa memungkinkan lahirnya secessionist atau tidak. Yang dia maksud adalah peristiwa 1999. Itu sangat krusial dalam sejarah Indonesia. Memang sangat masuk akal kalau Timor Timur, seperti disebutkan Boni, keluar waktu itu. Jadi dia sama sekali tak menangisinya. Menurutnya itu memang bukan bagian dari alkemi imperial yang sah karena itu hasil aneksasi 1975.

(34)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

bahwa sejarah gerakan secession oleh

ethno-nationalism di seluruh dunia

itu hanya terjadi di awal terjadinya demokratisasi menyusul transisi dari rezim otoritarian. Itulah yang terjadi dengan Soviet, misalnya. Sesudah Soviet stabil dan demokratisasinya stabil,

secession karena ethno-nationalism

yang kembali bangkit itu biasanya tak akan berhasil karena orang-orang akan mempertahankan negara yang sudah ada. Kira-kira begitu.

(35)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

III.

SESSI TANYA JAWAB DAN KOMENTAR

Ahmad Gaus

Menarik sekali apa yang disampaikan Boni dan Ihsan tentang nasionalisme. Saya tadinya menduga gagasan nasionalisme itu sudah final sejak kemerdekaan. Kalau pun gagasan itu kembali dihidupkan, pertanyaan saya arahnya mau dibawa ke mana? Dalam konklusi paper Ihsan disebutkan bahwa Anthony Reid menyayangkan mengapa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, bukan negara federal. Sekarang sebetulnya wacana negara federal sudah surut kecuali beberapa tahun lalu dikemukakan Amien Rais dan Cak Nur. Setelah ada empat pilar wacana negara federal saya kira sudah tertutup. Karena itu relevan sekali untuk mempertanyakan ke mana wacana nasionalisme ini akan di bawa? Mempersoalkan NKRI sudah tak mungkin lagi karena NKRI harga mati.

(36)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

hanya sedikit dalam konteks identitas kekuatan lokal seperti Banten, Makassar, Aceh dan Mataram. Kalau nasionalisme tadi didefinisikan oleh siapa musuh kita, maka Islam punya peran yang sangat besar di awal pergerakan ketika kolonialisme masuk ke Indonesia. Islam saya kira sangat relevan di sini, apakah semangatnya itu nasionalisme atau apa pun. Dengan spirit iman itulah mereka mempertahankan wilayah-wilayah yang dikuasai penjajah. Jadi agak aneh kalau kita tak bicara mengenai posisi Islam dalam pembentukan identitas nasional Indonesia.

Kemudian kita tahu bahwa dalam sidang BPUPKI ada perdebatan keras yang antara lain memperlawankan Islam dengan nasionalisme. Posisi Islam di hadapan nasionalisme mungkin sama rumitnya dengan etnis Cina di hadapan nasionalisme. Rangkaian eksklusi dan kasus kekerasan terhadap Cina di Indonesia, misalnya, berlangsung sejak dulu. Sebetulnya kurang Indonesia bagaimana Cina itu? Di bukunya Slamet Mulyana, “Runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Bangkitnya Kerajaan

(37)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Islam di Nusantara”, bahkan disebutkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Demak yang dipimpin Raden Fatah, orang Cina. Dia putra Kertabumi, raja Majapahit terakhir, yang menikah dengan seorang perempuan dari Tiongkok yang sudah beragama Islam. Belum lagi kalau kita bicara Laksamana Cheng Ho, Walisongo dan sebagainya. Cina sudah berbaur sedemikian rupa dengan masyarakat Indonesia tapi tetap keindonesiaannya diragukan. Saya tulis di puisi saya, “Di tepi-tepi sungai Cisadane”, bahwa orang Cina sudah ada di sana sejak abad ke-15. Kalau kita bilang Cina semua kaya, tidak sama sekali kalau kita ke Kampung Melayu dan Teluk Naga.

Soal Melayu, dia identitas nasional atau identitas kawasan? Seorang Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya, pernah terobsesi untuk menjadikan Melayu sebagai bahasa kawasan di Asia Tenggara yang sampai matinya itu tidak terwujud. Indonesia kemudian memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu. Bahasa Melayu dijadikan bahasa nasional

(38)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

di Brunei, Singapura dan Malaysia. Sebagai satu identitas budaya kawasan, ini merupakan satu aset peradaban yang sangat besar yang juga diakui Cak Nur. Cak Nur pernah bicara mengenai Islam Arab dan Islam Persia, misalnya. Dia mengajukan Islam Melayu sebagai wacana tandingan terhadap Islam Arab dan Islam Persia yang mendominasi. Kenapa kita tidak berbicara mengenai Islam Melayu sebagai suatu budaya kawasan yang mempersatukan dan punya sejarah kuat sejak dulu? Jadi, sebetulnya bicara nasionalisme dalam konteks budaya Melayu maupun Islam tidak ada yang samar-samar.

Neng Dara Affiah

Dari pengetahuan saya tentang nasionalisme, unsur-unsurnya kira-kira adalah, pertama, siapa atau negara mana yang melakukan kolonialisme? Kedua, wilayah jajahannya sejauh mana? Lalu, ada unsur yang menyatukan seperti bahasa tapi juga bisa agama. Selanjutnya ada kelompok elit terpelajar yang mengadopsi pengetahuan Eropa modern serta mengadopsi hukum dan

(39)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

tata kelola negara dari konsep kolonial. Itu yang menurut saya penting dalam sebuah nation.

Di Indonesia, nasionalisme selalu berproses dan rapuh. Sejak merdeka kita awali dengan demokrasi liberal, situasinya kurang lebih sama dengan sekarang. Itu gagal. Beberapa kelompok melakukan gerakan separatis. Dari dulu Papua atau Irian Jaya kerap bermasalah. Sebagai ras dia berbeda dengan Melayu. Sebagai wilayah kolonial dia juga berbeda. Kelompok Islam, misalnya, juga tidak terintegrasi.

Di masa demokrasi terpimpin yang otoritarian, persoalan yang dihadapi adalah kelompok-kelompok separatis yang tidak berintegrasi dengan nation untuk mengokohkan nasionalisme. Kalau tidak demikian, dia rapuh dan terpecah belah. Di era Suharto otoritarianisme begitu kuat atas nama NKRI. Dia menjadi otoritarian karena nasionalismenya rapuh. Sekarang di era reformasi juga demikian. Kita semua tahu ada Hizbut Tahrir dan lain-lain.

(40)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

berkontribusi terhadap pembentukan bangsa. Tapi banyak masalahnya juga, misalnya soal Piagam Jakarta dan sebagainya. Yang menarik adalah NU. Salahsatu kelompok Muslim yang cenderung integral dengan nation-state itu adalah NU. NU mendukung Soekarno lewat figur KH. Hasyim Asy’ari, mengakui Pancasila, dan sebagainya. Dia lebih terintegrasi dengan konsep negara-bangsa sementara kelompok Islam yang lain agak naik turun.

Yang menyedihkan adalah kelompok Cina. Cina mungkin sudah ada di negeri ini bersamaan dengan adanya Muslim. Dalam tetralogi Pramoedya, cerita tentang Cina sangat luar biasa dan mengharukan. Mereka sudah ada sejak abad ke-17 tapi keberadaannya sering tidak diakui oleh kelompok ‘pribumi’. Yang tragis adalah tahun 1998 sampai perempuan Cina diperkosa. Dia dianggap ‘the others’ sampai sekarang. Itulah kerapuhan-kerapuhan dari nasionalisme kita.

Fenomena NU yang mengusung Islam dan Nasionalisme atau Cak Nur yang mengusung Islam dan keindonesiaan itu

(41)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

bisa menjadi analisis sendiri. Itu adalah upaya untuk mengintegrasikan Islam ke dalam nation-state. Nasionalisme dan persenyawaan atau alkimianya ini tak semulus yang kita bayangkan. Sejak kelahirannya sampai sekarang dia naik turun dan rapuh. Imajinasi tentang keindonesiaan itu apa? Belum lama saya ke NTT, orang-orang di sana bertanya-tanya apa yang mempersatukan kita dengan keindonesiaan?

Ihsan Ali-Fauzi

Saya diingatkan Sidney Jones, suatu kali, tentang ini. Kata dia, coba ingat DI/TII. Itu singkatannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. DI marah sama Soekarno dan lainnya tapi tidak untuk melepaskan diri dari Indonesia. PRRI itu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dia berontak tapi Indonesia-nya tetap ada. Hizbut Tahrir juga ada Indonesianya. Saya tidak sedang mengatakan bahwa nasionalisme kita kokoh dan tak ada masalah tapi mereka kalau berontak, namanya tetap pakai Indonesia. Dia tetap “cinta” Indonesia. Hanya HMI yang tidak ada Indonesia-nya….

(42)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Reid juga bilang bahwa salahsatu tantangan terbesar untuk nasionalisme di Indonesia dan Malaysia sekarang ini tidak muncul dari ethno-nationalism melainkan justru dari agama dalam konteks globalisasi. Ini mengingatkan kita pada HTI meski Hizbut Tahrir tetap ada embel-embel Indonesianya.

Saya setuju soal NU tapi Muhammadiyah dan lainnya juga. Ide negara Islam itu ide yang sangat umum dipakai oleh banyak sekali orang seperti disebutkan Yusril dalam disertasinya. Bapaknya Gus Dur sebetulnya juga termasuk memakai ide ini. Gus Dur dan adiknya juga berdebat di Media Indonesia dulu. Menurut saya nasionalisme Hasyim Asy’ari tak serta merta menjadi tipis hanya karena pada masa itu dia ingin Indonesia didasarkan pada Islam. Itu sesuatu yang biasa saja pada masa 1955. Waktu itu orang berdebat karena ingin negara Indonesia didasarkan pada Islam. Tapi itu tak membuat nasionalismenya menjadi tipis. Kalau Cak Nur ada pada masa itu sebagaimana Pak Natsir dan Pak Roem, jangan-jangan Cak Nur juga ingin negara Islam. Itu dugaan saya saja tapi faktanya adalah bahkan Bapaknya Gus Dur saja

(43)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

waktu itu ingin negara Islam. Husni Mubarak

Saya terkagum dan ingin membaca lebih jauh buku ini. Klaimnya besar sekali, meliputi Asia dibandingkan dengan Eropa. Benang merah antara negara-negara di Asia ini adalah imperial selain hubungan dengan elit-elit lokal. Tadi Teh Neng sudah menyinggung bahwa jenis penjajahan Inggris, Belanda dan Spanyol berbeda. Pertanyaan saya, kenapa jenis penjajahan yang berbeda tapi hasilnya sama, yaitu mendorong nation-state? Istilah imperial alchemy terutama

imperial construct were declared to be a nation-state. Dalam hal ini baik Inggris,

Belanda, maupun Spanyol hasilnya sama, nation dan state.

Wilayah yang dijajah Inggris, tadi disebut kak Ihsan juga, kalau bisa dilepas ya dilepas. Hasilnya bisa jadi etnis. Sementara Belanda sejak awal

ingin mempersatukan jajahannya.

Indonesia hari ini juga adalah template buatan Belanda. Perbedaan ini kok tidak berimplikasi pada perbedaan jenis nasionalisme. Karena itu saya

(44)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

lebih tertarik dengan soal magis meski saya yakin ada penjelasan yang lebih mekanistik tentang itu.

Daniel Awigra

Saya ingin menyinggung soal

ongkos yang terlalu besar untuk

mempertahankan nasionalisme

sebagaimana disampaikan kak Ihsan tadi. Kalau membaca Pramoedya, nation Indonesia memang bukan bangsa. Kalau bangsa memang ya bangsa Jawa, Madura dan sebagainya. Tesis yang ditawarkan adalah persatuan bangsa-bangsa. Jadi bukan NKRI atau negara kesatuan karena akan ada indikasi untuk enforcing dari atas ke bawah. Sila ke tiga, persatuan Indonesia, menurut saya lebih tepat karena lebih mengakui sama-sama bangsa merdeka dan ingin bersatu. Persatuan lebih punya subjektifitas yang utuh dibanding kesatuan. Mungkin ini yang menjadikan ongkosnya terlalu mahal untuk Indonesia. Jika state kita adalah NPRI, Negara Persatuan Republik Indonesia, jangan-jangan bentuknya jadi federal, otonomi penuh, bukan otonomi setengah hati seperti sekarang.

(45)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Rumadi

Ada dua hal yang ingin saya komentari dan saya tanyakan. Pertama menyangkut bahasa. Saya kira salahsatu kesuksesan para pendahulu Indonesia dalam menyatukan kebangsaan dan satu-satunya yang masih tersisa dan relatif kuat adalah bahasa. Coba bayangkan seandainya pada masa-masa awal kemerdekaan tidak ada gagasan mengenai bahasa yang bisa digunakan semua orang, mungkin nasib Indonesia akan lebih tragis. Tak ada lagi unsur yang menyatukan. Pertanyaan saya, kenapa bahasa Melayu?

Yang menggunakan bahasa Melayu pada masa itu lebih sedikit dibanding yang menggunakan bahasa Jawa, misalnya. Ini diulas Hikmat Budiman ketika dia menjelaskan multikulturalisme dalam kaitannya dengan hak minoritas. Salahsatu aspek yang dibahas mengenai bahasa. Dari komposisi penduduk Indonesia pada masa itu, yang merasa terikat dengan bahasa Melayu jauh lebih kecil dibanding, misalnya, orang yang merasa terikat dengan bahasa Jawa. Seandaninya pada waktu itu bahasa Jawa

(46)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

dipaksakan sebagai bahasa nasional, sebenarnya nyaris tak ada halangan. Tapi kenapa bahasa Melayu?

Kedua, soal agama dan nasionalisme. Salahsatu yang khas di Indonesia adalah adanya impitan yang cukup erat antara etno-nasionalisme dengan agama. Identitas etnis sering kali berimpitan dengan identitas agama. Misalnya etnis Minang itu Islam, Papua Kristen dan sebagainya. Implikasi lanjutan dari keberimpitan etnis dan agama itu menjadikan kelompok-kelompok etnis tertentu mengalami ketegangan ketika misalnya ada orang Minang yang Kristen. Ke-Minang-annya seakan menjadi hilang. Bahkan simbol-simbol Minang dilarang digunakan untuk tempat ibadah selain Muslim.

Hal yang sama terjadi di Aceh. Beberapa waktu lalu ketika orang-orang Aceh Singkil datang ke Jakarta, salahsatu hal yang mereka pertanyakan adalah etnisitas mereka. Mereka tak merasa orang Aceh. Meski tinggal di Aceh, mereka merasa lebih menjadi bagian dari etnis Sumatera Utara. Itu karena etnisitas di Aceh berimpit dengan

(47)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

agama. Problem-problem seperti ini saya kira banyak muncul di tempat lain terutama di wilayah yang etnisitas dan agamanya melekat. Saya kira di Papua hal yang sama juga terjadi. Kalau orang Papua menjadi Islam itu dianggap sebagai penyimpangan terhadap ke-Papua-an. Zezen Zainal Mutaqin

Kalau kita baca Ben Anderson, origin nasionalisme di Eropa juga terkait dengan, misalnya, Protestanisme, Martin Luther yang memprotes Vatikan, penerjemahan Bible ke bahasa Jerman, ditemukannya mesin cetak sehingga orang makin aware akan bahasa ibunya dan seterusnya. Tapi kalau mau disederhanakan, inti awal kemunculan nasionlisme adalah karena lunturnya bahasa suci dalam tradisi Latin di Barat serta munculnya bahasa-bahasa ibu yang salahsatunya didorong oleh Revolusi Industri, penemuan mesin cetak, dan lain-lain.

Dalam konteks non-Barat, katakanlah Islam, di mana sacred text tak hilang, yang mendorong munculnya nasionalisme itu menurut saya sepenuhnya kolonialisme. Kita lihat bagaimana kekuasaan Turki

(48)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Usmani yang membentang luas tiba-tiba dipotong semena-mena oleh negara-negara yang memperebutkan Timur Tengah. Di Afrika, Eritrea digaris seenaknya. Di Kalimantan, pulau yang begitu besar, orangnya sama-sama berbahasa Melayu, dibagi dua seenaknya antara Inggris dan Belanda. Papua yang begitu besar dikuasai Belanda dan Jerman dibagi dua dengan garis yang lurus begitu saja. Jadi itu betul-betul diciptakan.

Yang paling jelas adalah Afrika dan Timur Tengah. Di sana nasionalisme sepenuhnya dibuat dan dikonstruksi oleh kolonialisme, bukan yang lain. Kalau di Barat nasionalisme muncul karena lunturnya sacred text dan munculnya bahasa ibu, dalam konteks Arab tidak. Sampai sekarang mereka masih menggunakan Bahasa Arab, dari Afrika Barat sampai Timur Tengah. Tapi state-nya sudah tak sama karena dibagi-bagi oleh kolonial. Indonesia juga demikian.

Saya yakin bahwa yang paling menentukan nasionalisme di Indonesia

(49)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

bukan hal lain selain penjajahan Belanda. Saya ragu kalau Belanda tak menjajah kita, nama kita masih Indonesia. Nama Indonesia bahkan muncul dari elit nasionalisme didikan Belanda. Alkeminya karena sama-sama dijajah Belanda. Yang dijajah Portugis keluar. Papua sekalipun rasnya sangat berbeda tetap mati-matian dipertahankan karena dulu sama-sama dijajah Belanda. Saya tak yakin kalau tak ada Belanda kita masih bernama Indonesia.

Rumadi

Saya ingat satu hal terkait pertanyaan Neng tentang apa yang mengikat kita. Empat bulan lalu pendeta-pendeta GKI Papua datang ke Cikeas terkait penyelesaian konflik Papua. Waktu itu ada salahseorang pendeta yang bilang bahwa yang mengikat kami dengan Indonesia bukan persoalan bahasa atau pun Pancasila melainkan karena di luar wilayah Papua masih ada orang Kristen. Jadi yang mengikat mereka adalah kesamaan agama. Saya tak tahu apakah itu mewakili mayoritas atau tidak tapi itu sempat diucapkan. Jadi perasaan

(50)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

keindonesiaan tidak diikat Pancasila, NKRI atau bahasa tetapi karena ada orang Kristen di Jawa, misalnya. Ini juga terkait dengan penindasan umat Kristiani di sejumlah wilayah. Kalau Anda mengganggu orang Kristen, itu artinya Anda mempercepat Papua untuk segera keluar dari Indonesia.

Budhy Munawar-Rachman

Orang Papua asli yang Muslim juga banyak. Yang banyak dipersoalkan orang Papua, terutama mereka yang merasa terasing dengan Indonesia, adalah karena keadilan dan kesejahteraan. Pada saat referendum tak semua orang Papua memilih tapi lewat perwakilan. Perwakilan-perwakilan itu dicurigai sudah dipengaruhi sedemikian rupa sehingga kemudian hasilnya memilih Indonesia.

Yang disebut keindonesiaan itu memang pasti kelanjutan dari teritori kolonialisme. Nasionalisme memang kelanjutan dari kolonialisme dari segi teritori. Tapi yang dibicarakan bukan itu melainkan dinamika dan kerumitan yang membedakan satu tempat dengan

(51)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

tempat yang lain terkait kolonialisme dan pasca-kolonialisme.

Soal bahasa memang menarik. Bahasa menjadi salahsatu penanda yang membuat nasionalisme menjadi lebih kuat. Pertanyaannya persis seperti Rumadi. Yang mengherankan kita adalah bagaimana Soekarno dan kawan-kawan bisa mendapat sense bahwa bahasa menjadi bagian penting untuk memperkuat nasionalisme? Dan kenapa bahasa yang dimaksud adalah bahasa Melayu? Bahasa Melayu banyak dipengaruhi Islam dan bahasa ini mengikat orang Islam di seluruh Indonesia. Premis pertamanya begitu. Dari Aceh sampai Papua orang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Padahal Melayu lama itu pengaruh Islamnya sangat kuat.

Yang mengherankan juga adalah meski kekristenan dan bahasa Melayu tak terkait langsung, di beberapa tempat bahasa Melayu lebih banyak digunakan orang Kristen. Di Maluku orang Kristen menggunakan bahasa Melayu sedangkan orang Muslim menggunakan bahasa lokal. Itu salahsatu dinamika yang unik

(52)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

dalam kaitannya dengan bahasa. Bahasa Melayu terkait dengan Islam tapi di beberapa tempat pemerintah kolonial mendorong orang-orang Kristen untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kekristenan. Kalau kita sekarang tanya bahasa Maluku seperti apa, orang Kristen Ambon akan bilang bahasa Melayu Ambon, misalnya. Tapi orang Islam di Kepulauan Seram dan lain-lain punya bahasa etnis sendiri.

Soen’an Hadi Purnomo

Saya mencoba netral dalam arti melepaskan diri dari definisi bangsa dan negara. Nasionalisme dan kebangsaan secara kimia disatukan oleh berbagai macam, tergantung situasi. Ada yang dipersatukan oleh agama seperti di Pakistan dan Bangladesh. Tapi ada juga yang karena etnisitas, kultur atau politik. Semua itu tergantung daerahnya. Di Indonesia, yang kuat mengikat menjadi bangsa memang politik, dalam arti pernah dijajah oleh Belanda. Kalau Belanda yang menjajah, orang yang dijajah dibodohkan. Contohnya Suriname dan Indonesia. Kalau Inggris yang

(53)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

menjajah, orang dibiarkan pintar, diberi pendidikan dan sebagainya. Sementara kalau Spanyol dan Portugis jajahannya diberi agama.

Begitu di sini dibodohkan, kesenjangan antara penjajah dan yang dijajah sangat jauh sehingga nasionalisme politiknya terasa menonjol dibanding etnisitas, agama dan lainnya. Karena itu Indonesia lebih kuat terbentuk oleh politik penjajahan tadi. Waktu itu yang dipintarkan Belanda adalah orang yang dibutuhkan, anak-anaknya ambtenaar yang jadi pegawai Belanda. Yang lain dibiarkan tak sekolah. Tokoh-tokoh terpelajar tadi yang belajar huruf latin-lah yang paling bisa Melayu. Honocoroko tidak ada di percetakan. Elit itulah yang menjadi “juru masak” nasionalisme Indonesia sehingga akhirnya Melayu menjadi dominan untuk mempersatukan. Jadi saya rasa tergantung konteks kolonial.

Eropa sangat berbeda dengan Indonesia dalam banyak hal. Mereka penjajah

sementara kita dijajah. Mereka

(54)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

dan bergunung-gunung. Di sini sangat cocok untuk menjadi salad bowl, bukan melting pot. Kalau melting pot, ibaratnya gula, tepung dan lainnya menjadi satu sampai tak kelihatan lagi gula dan tepungnya. Sementara salad

bowl seperti karedok, masih kelihatan

timunnya, kecambahnya dan lainnya. Secara kultural kita berbeda tapi secara politik dan ekonomi lebih baik negara kesatuan. Kalau semua difederalkan, pulau-pulau kecil yang tak punya sumber ekonomi sangat berat. Jadi secara ekonomi dan politik perlu jadi satu tapi secara kultural tetap beragam. Yang diperlukan adalah keadilan. Papua inilah yang sekarang rawan. Mana yang kuat itulah yang menjadi nation. Sekarang Indonesia kuat tapi suatu saat kalau politiknya tak adil, lalu agama atau unsur lain menguat, Papua bisa lepas lagi.

Nur Iman Subono

Saya mulai dengan bahasa. Kalau kita baca Anderson, kapitalisme memang menjadi elemen kunci nasionalisme yang berkembang. Tapi bagi Reid itu tak terjadi di Asia Tenggara. Tulisan

(55)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

dalam bentuk cetak pertama kali masuk melalui proyek mesianis Kristen yang diterjemahkan di Filipina. Bahasa Latin sangat terlambat masuk. Itu dianggap

alien language. Karakter tertulis pertama

yang masuk justru karakter Cina. Ini juga tak dipahamai masyarakat waktu itu. Reid ingin menunjukkan bahwa elemen bahasa dalam kasus Asia Tenggara tak seperti yang dibayangkan Anderson dalam bukunya. Bahasa-bahasa yang bicara tentang dunia dan hal-hal yang terjadi di luar sana memang terlambat sekali masuknya. Itu berbeda dengan Asia bagian Utara seperti Jepang dan Korea yang lebih cepat menerimanya. Persoalan perbatasan juga saya kira benar. Reid mengatakan, Ihsan juga sudah menyebutkan, bahwa di Asia Tenggara ada fenomena yang disebut state-averse, “emoh negara”. Saya ingat terjemahan almarhum Romo Bowo, “emoh negara”. Masing-masing kerajaan berkonsentrasi untuk memperkuat dirinya. Tapi penjajah yang masuk tak demikian. Spanyol dan Portugis membuat perjanjian untuk bagi-bagi wilayah jajahan. Demikian juga Inggris dan Belanda. Sampai pada suatu ketika, kata Reid, masyarakat-masyarakat

(56)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

lokal baru sadar bahwa dia termasuk bagian dari wilayah politik penjajah. Keengganan terhadap negara ini membuat mereka tak menyadari bahwa ada implikasi politik dari perjanjian-perjanjian ini. Belakangan baru mereka menyadari dan bereaksi.

Soal Islam, Reid juga menyebutkan faktor agama sebagai penanda penting identitas meski hanya dikutip sedikit. Menariknya dia mengatakan bahwa ada rivalitas antara proses islamisasi seperti yang terjadi di Banten dan Aceh dengan upaya Portugis untuk membangun tandingan seperti yang berkembang di Batak, Bali dan lainnya. Tapi kalau kita lihat kasus Aceh, di sana yang sama-sama Islam sekali pun punya persoalan. Ketika masyarakat Aceh menolak sekolah-sekolah yang dibangun Belanda karena dianggap kafir lalu sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Taman Siswa mulai masuk, orang Aceh tak sepenuhnya menerima. Muhammadiyah dianggap Sumatera Barat dan Taman Siswa dianggap Jawa, padahal sama-sama Islam. Jadi dinamikanya tak hitam putih.

(57)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Selanjutnya soal nasionalisme yang politis. Reid sendiri menyebut bahwa dalam banyak hal state-nationalism ini memang bisa jadi represif. Saya setuju dengan Ihsan kalau konsep negaranya sangat Weberian. Negara punya otoritas untuk memaksa dan bahkan melakukan kekerasan. Dalam

anti-imperial nationalism, seluruh komponen

bergabung melawan kolonialisme.

Tapi ketika negara terbentuk,

state-nationalism dalam perkembangannya

menjadi sangat bisa melanggar hak asasi manusia demi menjaga NKRI tadi. Dalam sejarah, Reid juga menyebutkan, pada masa Orde Baru-lah elemen etnis Cina (Tionghoa) hilang. Reid mengingatkan ada peristiwa Batavia, pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Cina ketika mereka melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Itu memperlihatkan bahwa Cina tidak tunggal. Leo Suryadinata membagi tiga, ada etnis Cina yang sangat berorientasi pada main land-nya, ada yang sangat nasionalis, dan ada juga yang lebih menonjolkan asimilasi. Reid saya kira sangat terpengaruh bukunya Wang

(58)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Gungwu, The Chinese Diaspora, karena memberikan tempat yang cukup besar bagi Cina yang disebut essential outsiders tadi. Dalam buku ini Reid tak hanya mendorong agar Cina mendapatkan hak-haknya dan dilindungi, tapi lebih jauh dia mempertanyakan kenapa tidak ada Cina yang menjadi pahlawan nasional. Di alam demokratisasi orang bicara kesetaraan hak tapi Reid lebih jauh dari itu.

Selanjutnya, Reid memang tak

menggunakan kata nation karena

pengaruh Anthony Smith yang

menggunakan ethno-nationalism. Tapi tentu orang bertanya apa bedanya? Kapan dia menjadi nation? Kuncinya adalah teritori. Ethno-nationalism mencintai teritori tapi pada bangsa, teritori menjadi sesuatu yang pasti. Kalau orang luar yang datang entah dari mana bisa diakui sebagai bagian dari teritori, dan sebaliknya orang yang merasa sebagai pemilik sah teritori ini menerima mereka, maka jadilah

nation. Ethno-nationalism ini memang

bertransformasi, dari base metal menjadi nationhood. Unsur magis ini

(59)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

masih ada, seperti bahasa tadi. Lalu apa yang mempersatukan itu?

Betul bahwa bahasa Jawa lebih banyak pada saat itu tapi penyebaran bahasa Melayu lebih pesat karena menjadi

bahasa perdagangan. Saya kira

Soekarno memikirkan itu sehingga dia memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Kenapa Jong Java, Jong Ambon, dan lain-lain itu berkumpul pada Kongres Pemuda 1928? Ini juga menjadi kritik. Nasionalisme sering disebut karena ada elit-elit yang disekolahkan kolonial. Mereka yang mejadi motor. Anderson mengatakan begitu tapi di saat bersamaan dia menyebut pemuda. Revolusi itu pemuda, bukan elit terdidik dan jadi ambtenaar. Pemudalah yang menjadi motor revolusi nasional dan lebih massal dibanding para elit.

Soal jenis penjajahan berbeda, Reid saya kira tak terlalu menyinggung itu. Tapi ini menarik. Belanda datang ke sini sebagai merchant capitalist. Tujuannya mengambil hasil bumi untuk dijual ke pasar internasional. Politik etik baru tahun 1920-an dan sebagian karena

Referensi

Dokumen terkait

Rincian 4 : Nilai Impor Luar Negeri, isikan nilai impor luar negeri dari produk utama tahun 2011, 2012, dan 2013 pada rincian ini (dalam satuan Juta Rupiah).. Jika nilai impor

Dalam mendukung konsep adanya fasilitas penunjang lingkungan outdoor yaitu taman, yang peletakannya di dalam dan di luar ruang diperbanyak. Tanaman yang dipilih untuk mengisi

 Pada kotak „Link‟, Anda bisa memilih „Parent‟ untuk membuat sub menu pada kanal, klik „Add URL‟ untuk menghubungkan menu dengan halaman atau website tertentu.. Anda

Dari hasil penelitian ini didapatkan mutasi gen NPHS2 C412T (R138X) pada kelompok kasus (SNRS) 40 (45,5%) dengan mutasi heterozigot 39 (44,3%) dan homozigot 1(1,1%), sedangkan

Dalam pembuatan game pencarian kata dengan Aksara Toba menggunakan algoritma runut balik (backtracking), maka dilakukan beberapa tahapan seperti yang terlihat pada

As Seth Jayson recently said in his article about the same topic entitled How Google is Killing the Internet ˆI think when you pit a few hundred Google Smarty Pantses -- who are

Tata letak pabrik dapat didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas- fasilitas pabrik dengan memanfaatkan luas area secara optimal guna menunjang kelancaran

Suatu dalam memasarkan produk atau jasanya selalu disertai dengan pelayanan, dengan adanya suatu perusahaan dapat memberikan gambaran mengenai produknya dengan