• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER... ii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER... ii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi ABSTRAK ... x ABSTRACT ... xi RINGKASAN ... xii DAFTAR ISI ... xv I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 10 1.4.1. Tujuan Umum ... 10 1.4.2. Tujuan Khusus ... 11 1.5. Manfaat Penelitian ... 11 1.5.1. Manfaat Teoritis ... 11 1.5.2. Manfaat Praktis ... 12

(2)

xvi

1.6. Orisinalitas Penelitian ... 13

1.7. Landasan Teoritis ... 17

1.7.1. Konsep Negara Hukum ... 17

1.7.2. Teori Kewenangan ... 21

1.7.3. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 23

1.7.4. Konsep Hak Asasi Manusia ... 26

1.7.5. Ajaran Penafsiran Hukum ... 31

1.8. Metode Penelitian ... 33

1.8.1. Jenis Penelitian... 33

1.8.2. Metode Pendekatan ... 34

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ... 35

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 38

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 38

II. TINJAUAN UMUM ... 40

2.1. Wewenang ... 40

2.1.1. Istilah Wewenang... 40

2.1.2. Sifat Wewenang ... 42

2.1.3. Sumber Wewenang ... 44

2.1.4. Pembatasan Wewenang ... 48

2.2. Menteri Komunikasi dan Informatika ... 50

2.3. Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif ... 55

2.4. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif ... 58

(3)

xvii

III. PEMBLOKIRAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DALAM

PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA ... 62

3.1. Hak Asasi Manusia ... 62

3.1.1. Pengertian dan Sejarah Hak Asasi Manusia ... 62

3.1.2. Perkembangan Pemikiran tentang Hak Asasi Manusia ... 67

3.2. Keterkaitan Kebebasan Informasi dengan Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif ... 72

3.2.1. Kategorisasi Kebebasan Informasi dalam Generasi Hak Asasi Manusia ... 72

3.2.2. Pengaturan Kebebasan Informasi dalam Instrumen Hak Asasi Manusia ... 83

3.3. Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia ... 99

3.3.1. Hak Asasi Manusia di Indonesia ... 100

3.3.2. Pemblokiran Situs Internet dalam Rangka Menciptakan Ketertiban Umum dan Keamanan Negara ... 110

IV. KEWENANGAN ATAS TINDAKAN PEMBLOKIRAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 19 TAHUN 2014 ... 140

4.1. Keabsahan Tindakan Pemerintahan ... 140

4.2. Kedudukan Permenkominfo dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan ... 145

(4)

xviii

4.3. Kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika Berdasarkan

Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 ... 152

4.3.1. Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif Berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 ... 152

4.3.2. Penentuan Situs Internet Bermuatan Negatif... 172

V. PENUTUP ... 204

5.1. Simpulan ... 204

5.2. Saran ... 205

(5)

x

ABSTRAK

Menteri Komunikasi dan Informatika memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem elektronik. Dalam rangka melakukan pengawasan, menteri dapat mengambil tindakan pemblokiran terhadap situs internet yang diduga bermuatan negatif. Kewenangan melakukan pemblokiran oleh menteri yang tidak sesuai prosedur telah melanggar hak asasi pengelola situs dan masyarakat, sehingga sangat penting untuk diadakan penelitian. Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu pemblokiran situs internet oleh menteri dapat dinyatakan telah melanggar atau tidak melanggar hak asasi manusia dan keabsahan kewenangan yang dimiliki menteri dalam melakukan pemblokiran berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.

Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan analisis konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa Indonesia. Seluruh bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan studi kepustakaan dan dianalisa secara deskriptif, evaluatif, dan argumentatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan, pemblokiran situs internet tidak serta merta tindakan melanggar hak asasi manusia dengan pertimbangan bahwa Pancasila mengakui harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk sosial dan individu, serta dapat dibatasi dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang menjadi tanggung jawab bersama mewujudkannya. Kewenangan untuk melakukan pemblokiran terhadap situs internet bermuatan negatif merupakan kewenangan yang sah berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. Pemblokiran dilakukan sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan menteri tersebut, walaupun masih ditemukan adanya rumusan norma yang kabur.

(6)

xi

ABSTRACT

Minister of Communication and Informatic has the authority to supervise the implementation of the electronic system. In order to conduct surveillance, the minister may take action blocking of websites that expected containing of negative contents. Minister’s authority to block without right procedures have been violating human rights of site manager and peoples, to conduct research on the phenomena is very important. There were two issues examined in this study: the blocking of websites by the minister may have otherwise been violated or did not violate human rights and the legitimacy of the minister’s authority to blocking based on the Ministerial Decree Number 19 of 2014.

The method applied in this thesis is a normative legal research using the case approach, the statute approach, and analytical approach to legal concepts. Legal materials used were primary legal materials in the form of legislation, secondary legal material in the form of literature related to the problems, and third material is Indonesian dictionary. Those legal materials were collected and classified based on the problems formulated through library research and the data analyzed by descriptive, evaluative, and argumentative method.

Based on the results of the study focusing on the two problems, blocking of websites is not an act in violation of human rights on the basis that Pancasila recognize human dignity as a social and individual being, also human rights can be limited by morality, religious values, security and public order that are part of our responsibility to ensuring the human rights. Blocking by ministers is legal act based on Ministerial Decree Number 19 of 2014, however there is unclear formulation on ministerial decree’s articles.

(7)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 (tiga puluh dua) tahun diakhiri oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, sehingga rakyat memperoleh kembali haknya untuk menyatakan pendapat secara bebas.1 Kehidupan pers di Indonesia memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan). Bila di era Orde Baru terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi lebih bebas, namun kebebasan tersebut tetap dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak lain adalah hak asasi setiap orang sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).2

Pers merupakan bagian vital dalam upaya untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis. Kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) diakui dan dijamin oleh konstitusi, sehingga kebebasan pers sangat penting dan fundamental di Indonesia. Namun demikian, kebebasan pers sekarang ini hampir tidak memberikan ruang rahasia atau privasi. Kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru

1 Suwandi, 2009, Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. Dalam: H. Muladi, Editor. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum &

Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, h. 42.

2

Veronica Agnes Sianipar, et.al., 2014, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, e-JOURNAL LENTERA HUKUM: Nomor I, h. 66, tersedia di http://jurnal.unej.ac.id/index.php/eJLH/article/view/566, diakses 25 September 2015.

(8)

2

tetapi memunculkan pula berbagai situs internet yang memuat berbagai macam informasi. Dukungan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seperti smartphone, semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses berita secara online di situs internet tertentu.

Dalam rangka pemenuhan hak masyarakat atas informasi, tidak hanya pihak pers atau pengelola situs internet yang mengambil peran, tetapi Pemerintah ikut pula di dalamnya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) terdapat ketentuan yang mengatur bahwa peran Pemerintah selain memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik,3 Pemerintah berperan pula untuk melindungi ketertiban umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.4 Ketentuan pasal ini bermakna bahwa Pemerintah diberikan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan perannya dalam memberikan perlindungan umum. Penegasan atas wewenang Pemerintah dalam pengawasan terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik, disebutkan pula oleh Pasal 33 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang menentukan bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika berwenang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Sistem Elektronik. Pengawasan sebagaimana dimaksud didalamnya mencakup pemantauan, pengendalian, pemeriksaan, penelusuran, dan pengamanan.

3 Pasal 40 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE 4

(9)

3

Kegiatan menutup akses terhadap situs internet tertentu secara keseluruhan atau disebut sebagai pemblokiran, dapat saja diartikan sebagai bagian dari kewenangan Pemerintah dalam rangka pengendalian dan pengamanan. Persoalannya adalah seberapa kuat dalil dan landasan hukum yang digunakan Pemerintah untuk mengambil tindakan berupa pemblokiran terhadap situs internet. Misalkan, jika konten dari situs internet terbukti menampilkan pornografi sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi5 (selanjutnya disebut UU Pornografi), maka dalam rangka melakukan pencegahan, Pemerintah memiliki kewenangan untuk memblokir konten tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf a UU Pornografi.6 Meskipun rumusan UU Pornografi mengatur demikian, dalam praktiknya pemblokiran terhadap konten media sosial yang diduga memiliki muatan pornografi belum berjalan efektif dengan berbagai alasan seperti karakter media sosial yang dinamis maupun Pemerintah yang belum memiliki sumber daya memadai untuk memonitor lalu lintas konten dalam media sosial.

Mekanisme pemblokiran terhadap situs internet yang dianggap membahayakan sejauh ini belum tersosialisasi secara baik kepada masyarakat.

5 Pasal 4 UU Pornografi menyebutkan bahwa: “(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”

6 Pasal 18 huruf a menyebutkan bahwa: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet.” (Pasal 17 menentukan: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”)

(10)

4

Proses pengambilan keputusan untuk memblokir suatu situs internet cenderung dilakukan secara tertutup. Pemerintah yang secara tiba-tiba melakukan pemblokiran tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dapat dikategorikan sebagai tindakan represif. Pada dasarnya publik berhak mengetahui indikator apa saja yang menjadi dasar setiap keputusan yang diambil oleh Pemerintah. Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menentukan bahwa setidaknya ada jaminan bagi masyarakat dalam memperoleh informasi dari badan publik terkait semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan, pertimbangan, orang yang terlibat, serta dokumen pendukung lainnya. Pemerintah sebagai badan publik khususnya yang membidangi komunikasi dan informatika, sudah semestinya mengutamakan keterbukaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sehingga tidak menimbulkan anggapan bahwa Pemerintah bertindak sewenang-wenang.

Pemblokiran terhadap situs internet di Indonesia tidak hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Pada akhir tahun 2008 lalu, Indonesia dihebohkan oleh kemunculan sebuah blog yang memuat komik berbahasa Indonesia dengan konten berupa penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Blog tersebut menuai berbagai protes dan sampai ditangani oleh pihak kepolisian. Kemunculan blog tersebut juga membuat Muhammad Nuh selaku Menteri Komunikasi dan Informatika pada saat itu, ikut turun tangan dengan menyatakan bahwa akan menindak tegas pemilik blog tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Ditegaskan oleh Muhammad Nuh bahwa pelakunya dapat dijerat dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, UU ITE, atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berkenaan dengan

(11)

5

pelakunya sampai sekarang ini tidak dipublikasikan oleh pihak berwajib. Apabila alamat blog tersebut diakses, maka hanya muncul keterangan yang bertuliskan: “The blog has been archived or suspended for a violation of our Terms of

Service”.7

Selanjutnya, di tahun 2015 terjadi pemblokiran terhadap beberapa situs internet yang berbasis Islam.8 Sebagaimana dilansir dari situs Hukum Online Edisi Rabu, 08 April 2015 dinyatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan pemblokiran terhadap 22 situs berita Islam yang dianggap menyebarkan radikalisme. Pemblokiran dilakukan atas saran dan dukungan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Tindakan tersebut justru dikritik oleh sejumlah anggota Komisi III DPR RI dalam rapat kerja dengan BNPT di Gedung DPR, Rabu (8/4). Anggota Komisi III Al Muzzamil Yusuf berpandangan, pemblokiran terhadap situs berita yang sifatnya provokasi dan menyebarkan propaganda wajib dilakukan. Apalagi, menjadi bagian dari instrumen melakukan gerakan kelompok radikal dan ekstrim seperti keberadaan paham ISIS yang sedang gencar.9

Pemblokiran yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika didasarkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

7 Merry Magdalena, 2009, UU ITE: don’t be the next victim! – Tips Aman Gaul di

Internet BIar Gak Kejerat Cyber Law, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 33-34.

8

Situs-situs internet yang mengalami pemblokiran: Arrahmah.com; voa-islam.com; ghur4ba.blogspot.com; panjimas.com; thoriquna.com; dakwatuna.com; kafilahmujahid.com; an-najah.net; muslimdaly.net; hidayatullah.com; salam-online.com; aqlislamiccenter.com; kiblat.net; dakwahmedia.com; muqawamah.com; lasdipo.com; gemaislam.com; eramuslim.com; daulahislam.com; mshoutussalam.com; azzammedia.com; Indonesiasupportislamicstate.com.

9

Hukum Online, 2015, Komisi III Cecar Kepala BNPT Soal Pemblokiran Situs Berita: BNPT Kekeuh Telah Menempuh Cara Sesuai Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, tersedia di

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5524fa3d2450b/komisi-iii-cecar-kepala-bnpt-soal-pemblokiran-situs-berita, diakses 10 April 2015.

(12)

6

Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (selanjutnya disebut Permenkominfo No. 19 Tahun 2014). Dalam Peraturan Menteri ini, dijumpai perluasan kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap situs internet. Pemblokiran hanya dapat dilakukan terhadap situs internet yang terbukti mengandung konten “pornografi” dan konten berupa “kegiatan ilegal lainnya” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Permenkominfo No. 19 Tahun 2014.

Setelah melakukan penelusuran terhadap Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, ditemukan sebuah kelemahan yaitu Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 belum mampu merumuskan secara definitif yang dimaksud dengan “kegiatan ilegal lainnya”. Kejelasan rumusan istilah “kegiatan ilegal lainnya” akan berdampak pada kejelasan dalam menentukan kriteria dari situs internet bermuatan negatif. Bagian “Ketentuan Umum” dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 seharusnya memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah dan frasa yang digunakan dalam peraturan menteri. Namun, pengertian “kegiatan ilegal lainnya” tidak diatur dalam ketentuan umum, bahkan tidak diatur pula mengenai pengertian “bermuatan negatif”. Ketiadaan pengaturan tersebut sama dengan ketiadaan batasan untuk menentukan suatu kegiatan sebagai kegiatan ilegal, serta suatu konten merupakan konten dengan muatan negatif. Hal ini berimplikasi serius pada hak asasi manusia, karena tanpa batasan yang jelas konten apapun di internet dapat dikategorikan bermuatan negatif dan kegiatan apapun dapat dinyatakan sebagai kegiatan ilegal.

(13)

7

Berdasarkan kasus pemblokiran yang diketengahkan dalam penelitian ini, bahwa situs-situs internet yang mengalami pemblokiran dianggap mengandung paham radikal. Dalam hal ini harus ada kejelasan dalam merumuskan seperti apakah radikalisme itu, mengingat Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 belum mampu merumuskan secara definitif yang dimaksud kegiatan ilegal dan bermuatan negatif. Apabila mengacu pada UU ITE dan UU Pornografi sebagai landasan hukum Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, tidak dijumpai adanya pengaturan tentang radikalisme. Dengan lain perkataan, Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU Pornografi dan UU ITE. Sehingga, apabila pemblokiran dilakukan atas dasar situs internet tersebut mengandung paham radikal, maka kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan pemblokiran dapat dinyatakan sebagai kewenangan tanpa dasar, khususnya untuk menilai apakah suatu situs benar-benar bermuatan negatif karena memuat kegiatan ilegal.10

Kelemahan yang dijumpai dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 memunculkan pandangan dan argumentasi bahwa keberlakuannya telah melanggar hak asasi setiap orang dalam memperoleh dan menyebarluaskan informasi melalui media elektronik. Secara tegas UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak setiap orang dalam memperoleh dan menyebarluaskan informasi, serta mengatur kekuasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Pemblokiran situs internet oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika di satu pihak dianggap membatasi akses informasi elektronik masyarakat, di mana

10 Andi Saputra, 2014, Permen Konten Negatif Digugat ke MA, Pemohon: Harusnya Diatur Lewat UU, tersedia di http://news.detik.com/read/2014/11/24/183524/2757784/10/permen-konten-negatif-digugat-ke-ma-pemohon-harusnya-diatur-lewat-uu, diakses 10 April 2015.

(14)

8

pembatasan tersebut diyakini sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia. Di pihak lain, Pemerintah berkeyakinan bahwa pemblokiran sebagai upaya Pemerintah dalam melindungi kepentingan umum yang dapat terganggu oleh konten-konten bermuatan negatif. Tentunya perdebatan ini perlu ditengahi, sehingga Penulis tertarik untuk mengangkat isu hukum tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul: KEWENANGAN MENTERI KOMUNIKASI DAN

INFORMATIKA DALAM KASUS PEMBLOKIRAN SITUS

BERDASARKAN PERATURAN MENTERI NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut, yaitu:

1. Apakah pemblokiran situs internet dengan konten bermuatan negatif yang dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika dapat dinyatakan telah melanggar Hak Asasi Manusia?

2. Bagaimanakah kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait pemblokiran terhadap situs internet yang dianggap mengandung konten bermuatan negatif berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang memberikan pembatasan terhadap permasalahan yang akan dikaji dalam suatu

(15)

9

penelitian. Kajian terhadap permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada kewenangan Menteri Komunikasi dan Informatika berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 untuk melakukan tindakan pemblokiran terhadap situs internet bermuatan negatif.

Kajian pertama mengenai tindakan pemerintahan berupa pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia atau sebaliknya merupakan tindakan untuk melindungi kepentingan umum. Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan konsekuensi dari dianutnya konsep negara hukum. Indonesia sebagai sebuah negara yang berlandaskan pada hukum telah menentukan bahwa setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dalam rangka untuk mengetahui tindakan pemblokiran telah melanggar hak asasi manusia atau tidak, maka diketengahkan konsep hak asasi manusia berdasarkan negara hukum Pancasila.

Kajian kedua mengenai kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 terkait tindakan pemblokiran terhadap situs internet bermuatan negatif. Dalam peraturan menteri tersebut telah diatur mengenai tata cara pemblokiran situs internet bermuatan negatif, walaupun masih ditemukan rumusan istilah “bermuatan negatif” dan “kegiatan ilegal lainnya” yang tidak jelas. Kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan kewenangan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika sebagaimana diamanatkan dalam ketentuam Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan di bidang komunikasi dan informatika dipertegas

(16)

10

kembali oleh ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menentukan bahwa: “Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.” Dapat dielaborasi bahwa frasa yang menyebutkan “urusan tertentu dalam pemerintahan” merupakan penegasan dari urusan di bidang komunikasi dan informatika.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari dilakukannya penelitian ini, yakni meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah dalam rangka mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Paradigma ini memberikan pemahaman bahwa ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Beranjak dari pemahaman bahwa ilmu tidak pernah final, maka perlu dikritisi dan dikaji secara berkelanjutan, sehingga dapat memposisikan ilmu secara tepat dalam batas wilayahnya. Selain itu, dapat menghindarkan dari paradigma yang memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan terus mengalami perkembangan. Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka penggalian atas kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran dalam ranah hukum pemerintahan.

(17)

11

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang hendak dicapai dengan melakukan penelitian ini, antara lain yaitu:

1. Untuk mengetahui tindakan Menteri Komunikasi dan Informatika yaitu pemblokiran situs internet bermuatan negatif dapat dinyatakan sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia karena membatasi hak masyarakat dalam memperoleh dan menyebarkan informasi, atau sebaliknya merupakan tindakan Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketertiban umum.

2. Untuk mengetahui keabsahan wewenang yang dimiliki oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait tindakan pemblokiran beberapa situs yang dianggap mengandung konten bermuatan negatif berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, serta untuk mengetahui pengertian dari konten bermuatan negatif sebagaimana dimaksud oleh peraturan menteri ini.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini secara teoritis maupun praktis dapat dijabarkan sebagai berikut.

1.5.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat secara teoritis yang dapat diperoleh dengan melakukan penelitian ini, yaitu:

1. Memberikan kontribusi pemikiran kepada Pemerintah Indonesia tentang pentingnya mengedepankan prinsip keterbukaan dan ketelitian dalam

(18)

12

merumuskan maupun menerapkan suatu peraturan perundang-undangan khususnya berkenaan dengan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014, serta perlunya pengaturan kewenangan Pemerintah secara tegas agar tindak menciptakan kesewenang-wenangan ataupun penyalahgunaan wewenang. 2. Memberikan informasi kepada Pemerintah maupun masyarakat tentang

pentingnya melakukan penjaminan, pembatasan, perlindungan maupun penegakan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk menyebarluaskan dan memperoleh informasi melalui media elektronik (situs internet).

1.5.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang dapat diperoleh dengan melakukan penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat praktis bagi Pemerintah adalah adanya landasan hukum yang jelas terhadap kewenangan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan khususnya di bidang komunikasi dan informatika, serta Pemerintah dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu apabila diperlukan dalam rangka menciptakan ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat.

2. Manfaat praktis bagi masyarakat adalah masyarakat dapat menempatkan dan menggunakan hak-hak yang dimilikinya secara tepat khususnya dalam berkomunikasi di media elektronik. Selain itu, pengelola situs internet dan masyarakat mengetahui tolok ukur situs internet bermuatan negatif, serta mekanisme pemblokirannya sebagaimana diatur dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014.

(19)

13

1.6. Orisinalitas Penelitian

Permasalahan mengenai kewenangan Pemerintah dan penjaminan hak asasi manusia sudah sering dibahas dalam berbagai penelitian, baik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi. Begitu pula penelitian mengenai kewenangan Menteri Komunikasi dan Informatika berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 dalam melakukan pemblokiran situs internet bermuatan negatif. Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, belum ditemukan penelitian dalam bentuk tesis maupun skripsi yang secara spesifik meneliti tentang kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan pemblokiran situs internet bermuatan negatif berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. Secara substansi, penelitian yang paling dekat berkenaan dengan situs internet bermuatan negatif, kewenangan menteri komunikasi dan informatika, dan hak asasi manusia adalah sebagai berikut:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu Ria Dewi Marheni, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Denpasar yang pada tahun 2013 melakukan penelitian tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha dalam Situs Internet (Website)”. Penelitian tersebut merumuskan 2 (dua) pokok permasalahan, yakni bagaimanakah bentuk pengaturan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia? dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia?. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bentuk pengaturan hukum terhadap pencantuman

(20)

14

disclaimer di Indonesia ditinjau dari Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang secara khusus (lex specialis derogate legi generali) mengatur kegiatan di dunia maya, masih belum jelas. Namun, jika ditinjau dari segi perlindungan konsumen secara umum dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagian besar pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi. Perlindungan hukum bagi konsumen di dunia maya sangat diperlukan untuk menjamin persamaan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Saat ini perlindungan hukum secara umum dapat diberikan kepada konsumen secara preventif dengan dibentuknya suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) dan secara represif melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata dan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Melalui jalur non litigasi dapat diselesaikan dengan alternatif penyelesaian sengketa salah satunya melalui jalur Arbitrase.11

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Junaidi, SH, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Tangjungpura yang pada tahun 2014 melakukan penelitian tesis dengan judul “Analisis Yuridis Keberadaan Peraturan Bersama Menteri dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”. Adapun permasalahan yang diangkat yakni apakah yang menjadi sumber hukum

11 Ni Putu Ria Dewi Marheni, 2013, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha dalam Situs Internet (Website)”,

(Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, tersedia di http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-918-843034403-ni%20putu%20ria%20dewi%20marheni%20pdf.pdf, diakses pada 12 April 2015.

(21)

15

dan sumber kewenangan dari kementerian untuk menerbitkan Peraturan Bersama Menteri jika dilihat dari sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?. Pembahasan atas permasalahan dalam penelitian, maka diperoleh bahwa berdasarkan hasil pegujian secara normatif terhadap Peraturan Bersama Menteri dengan menggunakan empat indikator, maka dapat diketahui bahwa Peraturan Bersama Menteri merupakan bentuk tertulis, bersifat pengaturan dan berlaku umum akan tetapi secara kewenangan, menteri tidak tepat mengeluarkan Peraturan Bersama karena tidak ada atribusi ataupun delegasi dari peraturan perundang-undangan.12

Ketiga, tesis oleh Putu Eva Laheri, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Denpasar yang pada tahun 2015 melakukan penelitian tesis dengan judul “Tanggung Jawab Negara terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan dengan Pelanggaran Hak Berwisata sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia”. Penelitian ini memuat rumusan masalah yakni apakah secara konseptual wisatawan dapat menuntut ganti rugi kepada negara dalam kaitannya terhadap pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia? dan dalam hal bagaimanakah tuntutan ganti kerugian tersebut dapat diajukan kepada negara?. Hasil pembahasan dapat disimpulkan: pertama, secara konseptual wisatawan dapat mengajukan ganti rugi kepada negara selama wisatawan mampu membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan karena negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak berwisata yang dimilikinya. Kedua, tuntutan

12

Junaidi, 2014, “Analisis Yuridis Keberadaan Peraturan Bersama Menteri dalam

Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, (Tesis) Program Studi Magister Hukum

Universitas Tangjungpura, Kalimantan Barat, tersedia di

(22)

16

ganti rugi oleh wisatawan dapat diajukan ketika wisatawan mampu membuktikan jika negara telah melakukan pelanggaran hak sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Maastricht dan negara tidak mampu membuktikan jika pelanggaran tersebut terjadi karena negara dalam keadaan bahaya atau darurat.13

Keempat, skripsi oleh Rio Ariyanto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 2014 dengan judul “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Penulisan skripsi ini memuat rumusan masalah yakni bagaimana upaya kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah terhadap penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia? dan bagaimana pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia saat ini?. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dapat dilihat dengan adanya upaya-upaya dari Pemerintah seperti Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia ini dimaksud untuk memperkuat upaya Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia yang sejalan dengan kebijakan nasional di bidang Hak Asasi Manusia dan peningkatan kesadaran hukum. Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah terhadap penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia saat ini, Pemerintah belum sukses dalam menjalankan tugasnya, di mana masih banyaknya

13 Putu Eva Laheri, 2015, “Tanggung Jawab Negara terhadap Kerugian Wisatawan

Berkaitan dengan Pelanggaran Hak Berwisata sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia”, (Tesis)

Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, tersedia di http://www.pps.unud.ac.id/thesis/detail-1247-tanggung-jawab-negara-terhadap- kerugian-wisatawan-berkaitan-dengan-pelanggaran-hak-berwisata-sebagai-bagian-dari-hak-asasi-manusia.html, diakses 31 Oktober 2016.

(23)

17

pelanggaran HAM yang terjadi dan tindakan diskriminasi yang masih dilakukan oleh para aparat penegak hukum.14

1.7. Landasan Teoritis

Di bawah ini merupakan uraian dari beberapa teori dan konsep hukum yang dipergunakan guna menunjang pembahasan atas permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penelitian, yakni konsep negara hukum, teori kewenangan, teori pembentukan peraturan perundang-undangan, konsep hak asasi manusia, dan ajaran penafsiran hukum.

1.7.1. Konsep Negara Hukum

Dalam paragraf ini dikemukakan beberapa aspek menyangkut konsep negara hukum, yaitu konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan negara hukum Indonesia.

1. Konsep rechtsstaat dan the rule of law

Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to The Study of The Law of The Constitution. Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tergambar

14

Riyanto, Rio, 2014, “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah terhadap

Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Andalas,

(24)

18

dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law atau modern Roman Law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut

common law.15

Karakteristik rechtsstaat adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat arahan (pengarahan) tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja ialah memutus perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu sistem peradilan sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja untuk memutus suatu perkara, tapi bukan melaksanakan kehendak raja.16

Konsep rechtsstaat telah mengalami perkembangan dari konsep klasik (liberal democratische rechtsstaat) ke konsep modern (sociale rechtsstaat). Konsep liberal democratische rechtsstaat beranjak dari ide sentral rechtsstaat yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan bertujuan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu

15 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Sebuah

Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Surabaya (Selanjutnya disebut

Philipus M. Hadjon I), h. 67. 16

(25)

19

tangan yang sangat cenderung mengarah kepada tindakan penyalahgunaan kekuasaan.17 Dalam sociale rechtsstaat, perlindungan hukum diarahkan kepada perlindungan terhadap hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural.18 Kebebasan dan persamaan dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat, bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu dengan individu yang lain.19

2. Negara hukum Pancasila

Baik konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law, lahir dari suatu usaha usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenagan atau absolutisme. Oleh karena itu, jiwa dan isi Negara Hukum Pancasila seyogianya tidaklah begitu saja mengesampingkan konsep rechtsstaat atau konsep the rule of law. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan titik sentral dari konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law. Namun, dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikehendaki masuknya rumusan hak-hak asasi manusia bercorak Barat yang bersifat individualistis. Bagi negara Indonesia, keserasian hubungan antara Pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan/kekeluargaan dan gotong-royong merupakan titik sentral yang paling utama.20 Dari asas kerukunan/kekeluargaan dan gotong-royong ini akan berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian 17 Ibid., h. 71. 18 Ibid., h. 74. 19 Ibid., h. 73. 20 Ibid., h. 79.

(26)

20

sengketa secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir dan hak-hak asasi manusia tidaklah hanya ditekankan pada hak atau kewajiban saja tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.21

Berikut ini diketengahkan pula beberapa pemikiran Negara Hukum Pancasila dari pemikir-pemikir hukum Indonesia, seperti Oemar Senoadji, Soediman Kartohadiprodjo, dan Padmo Wahjono. Menurut Oemar Senoadji, Negara Hukum Pancasila memiliki ciri khas yaitu hak asasi sebagai unsur esensial negara hukum sesuai penghormatan martabat manusia; kebebasan beragama sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh konstitusi; memberikan ruang kebebasan berpikir maupun berbicara; dan tidak mengesampingkan hak-hak asasi dalam keadaan darurat negara.22

Pemikiran Negara Hukum Pancasila oleh Soediman Kartohadiprodjo memuat unsur-unsur, yaitu: jiwa kekeluargaan; musyawarah mufakat berlandaskan hukum adat; melindungi rakyat dari tindakan Pemerintah yang sewenang-wenang; dan mengutamakan tugas beserta tanggung jawab bagi lembaga-lembaga negara.23 Selanjutnya, Padmo Wahjono mengemukakan pemikiran Negara Hukum Pancasila yang bertolak dari asas kekeluargaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yakni: mengutamakan kepentingan rakyat banyak dan kemakmuran rakyat; orang-perseorangan berusaha sepanjang tidak mengenai hajat

21

Ibid., h. 80.

22 I Dewa Gede Atmadja, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja I), h. 154-155.

23

(27)

21

hidup orang banyak; fungsi pengayoman; dan mengakui eksistensi hukum tidak tertulis selain hukum yang tertulis.24

1.7.2. Teori Kewenangan

Setiap pejabat administrasi Negara dalam bertindak (menjalankan tugas-tugasnya) harus dilandasi oleh wewenang sah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum (wet matigheid van bestuur/asas legalitas/le principle de la l’egalite de’l administration). Oleh karena itu, setiap pejabat administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sumber wewenang Pemerintah terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga dikatakan oleh Wade, bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse of power, maka semua kekuasaan harus dibatasi oleh hukum atau peraturan perundang-undangan.25

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.26 Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya adalah atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet

24

Ibid., h. 157.

25 Ridwan HR, op.cit, h. 100.

26 H.M. Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam

(28)

22

beginselen).27 Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan,

yakni fungsi pembuat kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat Pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara; dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).28

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.29 Teori kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat sebagaimana definisinya dapat dicermati di bawah ini:

a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang Pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);

b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het een bestuursorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya); dan

c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).30

27 Nomensen Sinamo, 2010, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, h. 87.

28

Viktor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Admnistrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta, h. 30.

29 Ridwan HR, op.cit, h.103. 30

(29)

23

1.7.3. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Suatu norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif tergantung dari norma hukum yang lebih tinggi, sehingga apabila norma hukum diatas dihapus maka norma hukum yang di bawahnya secara otomatis terhapus. Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu norma-norma dasar itu dikatakan

pre-supposed.31

Menurut S.J. Fockema Andreae, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu : 1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk

peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. 2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil

pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 32

Pembentukan perundang-undangan adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan membentuk Perundang-Undangan yang dapat diterima masyarakat luas merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan

31

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan 2, Kanisius, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati Soeprapti I), h. 25.

32 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika dan Ilmu

(30)

24

Perundang-Undangan adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan legislatif dengan rakyat dalam suatu negara. Dalam proses pembentukan Perundang-Undangan ini, di dalamnya terdapat transformasi visi, misi dan nilai yang diinginkan oleh lembaga pembentuk Perundang-Undangan dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum.

Pembentuk Perundang-Undangan sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar Perundang-Undangan yang dihasilkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Pertama, mampu dilaksanakan; kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi masyarakat. Selain berbagai kesulitan tersebut, pembentuk Perundang-Undangan berpacu dengan dinamika perkembangan masyarakat yang terus berubah sejalan dengan nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. Jadi, pembentukan Perundang-Undangan sebagai bagian dari proses pembentukan sistem hukum yang lebih luas tidaklah statis, tetapi mengalami dinamika perubahan.

Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011) menetapkan bahwa yang dimaksudkan dengan istilah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah “Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.” Dalam membentuk peraturan perundang-undang harus didasarkan pada asas pembentukan peraturan

(31)

25

perundang-undangan yang baik, meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan (Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011).

Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangan-undangan, maka dikenal ada 3 (tiga) landasan teori agar suatu perundang-undangan itu berlaku dengan baik sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yakni landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis.33

1. Landasan filosofis, merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

33 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II), h. 53.

(32)

26

hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum dan rasa keadilan masyarakat serta menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.34

1.7.4. Konsep Hak Asasi Manusia

Penjabaran konsep-konsep tentang hak asasi manusia di Barat, konsep sosialis dan konsep Dunia Ketiga memberikan gambaran tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di masa lalu hingga sekarang ini.

1. Konsep hak asasi manusia di Barat

Konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada dasarnya diarahkan pada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan Pemerintah. Pemikiran dan perjuangan menegakkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimulai sejak abad XVII dan berlanjut hingga saat ini, konsep hak asasi pada abad XX ini merupakan sintesis dari tesis abad XVIII dan antithesis abad XIX. Tesis abad XVIII bahwa hak-hak asasi manusia tidaklah ditasbihkan secara ilahi (divinely ordained), juga tidak dipahami secara ilahi (divinely conceived); hak-hak itu adalah pemberian Allah sebagai konsekuensi dari manusia adalah ciptaan

34 Penjelasan dalam Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(33)

27

Allah. Hak-hak itu sifatnya kodrati (natural) dalam arti: pertama, kodratlah yang menciptakan dan mengilhami akal budi dan pendapat manusia; kedua, bahwa setiap orang dilahirkan dengan hak-hak tersebut,35 dan ketiga, hak-hak itu dimiliki manusia dalam keadaan alamiah (state of nature) dan kemudian dibawanya dalam hidup bermasyarakat. Sebelum adanya Pemerintah, individu itu otonom dan berdaulat, oleh karenanya tetap berdaulat di bawah setiap Pemerintah karena kedaulatan tidak dapat dipindahkan (inalienable) dan adanya Pemerintah hanya atas persetujuaan dari yang diperintah.

Antitesis abad XIX yaitu pertama, masuknya dukungan etik dan utilitarian, dan kedua, pengaruh sosialisme yang lebih mengutamakan masyarakat atau kelompok daripada individu, bahwa keselamatan individu hanya dimungkinkan dalam keselamatan kelompok atau masyarakat.

Sintesis abad XX adalah pertama, abad ini menjembatani hukum kodrat dan hukum positif, yaitu dengan menjadikan hak-hak kodrat sebagai hak-hak hukum positif (positive legal rights); kedua, mengawinkan penekanan pada individu (yang sifatnya otonom dan memiliki kebebasan) dengan penekanan (sosialisme) pada kelompok serta penekanan kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk semua, mengawinkan pandangan terhadap Pemerintah sebagai ancaman bagi kebebasan dengan pandangan terhadap Pemerintah sebagai alat yang dibutuhkan untuk memajukan kesejahteraan bersama. Salah satu aspek daripada sintesis ini ialah pandangan tentang hak atas kebebasan dan persamaan, maksudnya bahwa jika abad XVIII lebih mengedepankan hak atas kebebasan, dan

35

(34)

28

abad XIX lebih mengedepankan hak atas persamaan sehingga hak atas persamaan berada di atas hak atas kebebasan, maka abad XX menerima kedua hak tersebut (hak atas kebebasan dan persamaan) sebagai hak dasar (basic rights).36

Pada abad XVIII, hak-hak kodrat dirasionalkan melalui konsep-konsep kontrak sosial, dan membuat hak-hak tersebut menjadi: sekular, rasional, universal, individual, demokratik, dan radikal. Hak yang sangat ditonjolkan pada abad ini adalah kebebasan sipil (civil liberties) dan hak untuk memiliki (rights to have). Menonjolnya kedua hak tersebut merupakan rentetan logis dari hak yang sudah diperoleh sebelumnya dalam abad XVII. Pikiran-pikiran abad inilah yang mewarnai revolusi Amerika dan Perancis. Pemikir-pemikir terkenal abad ini, antara lain John Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau.

John Locke (1632 – 1704) banyak mengemukakan pandangannya tentang sosial dan politik. Pemikiran sosial dan politiknya dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Menurut John Locke, negara bukan pemberian Tuhan tetapi negara adalah produk dari kehendak manusia. Sebagai negarawan, John Locke adalah pelopor dari apa yang disebut “liberalisme” dan “demokrasi”.37

Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrati menjadi hak-hak hukum (from natural human rights into positive legal rights). Salah satu usaha terbesar abad ini dalam sejarah umat manusia adalah merumuskan standar universal tentang hak-hak asasi

36 Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 37. 37

(35)

29

manusia dalam deklarasi yang terkenal The Universal Declaration of Human

Rights.38

2. Konsep sosialis tentang hak asasi manusia

Konsep sosialis tentang hak-hak asasi manusia bersumber pada ajaran Karl Marx dan Fredrieck Engels. Sosialisme Karl Marx dan Engels berbeda dengan pikiran-pikiran sosialis di Eropah Barat seperti dinyatakan oleh Karl Marx:

Wir deutsche Sozialisten sind stolz darauf, abzustammen nicht nur von Saint – Simon, Fourier und Owen, sondern auch von Kant, Fichte und Hegel. Die deutsche Arbeiter – bewegung istdie Erbinder deutsche klassichen Philosophie. (Kami Sosialis Jerman bangga karena tidak hanya berasal dari Saint – Simon, Fourier atau Owen, melainkan juga dari Kant, Fichte dan Hegel. Gerakan buruh Jerman merupakan ahli-waris dari filsafat Jerman Klasik.)

Pikiran-pikiran sosialisme di Eropah Barat adalah pendukung terhadap kebebasan, sebaliknya sosialisme yang bersumber pada ajaran Karl Marx dan Engels menekankan masyarakat atau kelompok, sedangkan individu subordinant terhadap masyarakat dan kelompok. Konsep sosialisme Marx mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak-hak politik dan hak-hak sipil, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan. Hal ini memberikan pemahaman bahwa konsep ini tidak menekankan hak terhadap masyarakat, melainkan menekankan kewajiban terhadap masyarakat.39

38 Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 40. 39

(36)

30

3. Konsep Dunia Ketiga

Menurut H. Gros Espiel, diantara kelompok dunia ketiga, terdapat tiga kelompok yaitu kelompok pertama, yang dipengaruhi oleh konsep sosialis Marxisme; kelompok kedua, yang dipengaruhi oleh konsep Barat; dan kelompok ketiga, negara-negara yang karena falsafah hidupnya, ideologi dan latar belakang sejarahnya, menerapkan suatu konsep tersendiri tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan tiga kelompok ini, dengan berdasarkan pada latar belakang budaya dan politik, negara Indonesia kiranya termasuk kelompok ketiga dalam konsep dunia ketiga.40 Indonesia mendasarkan konsep hak-hak asasi manusia menurut Pancasila.

Dari riwayat perumusannya dan penempatan sila-silanya di dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan dasar negara dalam arti ideologi dan filsafat hidup. Dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi negara atau Pancasila adalah falsafah hidup negara. Sebagai ideologi atau falsafah hidup, dengan sendirinya Pancasila menjadi pedoman tingkah laku hidup kenegaraan dan hidup bernegara.

Dalam susunan Tertib Hukum menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Pancasila dikatakan sebagai “sumber” dari segala sumber hukum, dengan demikian Pancasila berada di atas Undang-Undang Dasar dan semua peraturan perundang-undangan. Dengan kedudukan yang demikian, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan sumber isi untuk Undang-Undang Dasar (secara langsung) dan untuk peraturan perundang-undangan (secara tidak

40

(37)

31

langsung, artinya melalui tahapan hierarki tata susunan norma hukum). Mendasarkan pada teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tentang lapisan norma hukum, Pancasila merupakan Grundnorm.41

Esensi Pancasila adalah isi pokok dari Pancasila yang merupakan rangkaian lima sila yang tersusun secara sistematis logis yang isinya adalah ide dasar negara Republik Indonesia yang akan menjawab berbagai pertanyaan filosofis. Rangkaian lima sila itu akan menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan negara, bagaimana bentuk negaranya, bagaimana sistem pemerintahannya, seberapa jauh partisipasi warganya dalam pengambilan keputusan.42

1.7.5. Ajaran Penafsiran Hukum

Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, akan tetapi masih berpegang pada bunyi teks itu.43 Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan

41

Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 58. 42 Philipus M. Hadjon I, op.cit., h. 59.

43 Ahmad Ali, 1996, Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, h. 167.

(38)

32

ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh.44

Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum dikenal dengan nama hermeneutika yuridis. Metode interpretasi meliputi interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi sosiologis, interpretasi komparatif, interpretasi antisipatif, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi subsumtif, interpretasi interdisipliner dan interpretasi multidisipliner.45 Dalam penelitian ini penulis memakai metode penafsiran untuk memecahkan permasalahan berupa peristilahan “kegiatan ilegal lainnya” sebagai kategori “bermuatan negatif” dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. Adapun metode penafsiran hukum yang dipergunakan, yaitu:

1) Interpretasi Gramatikal

Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku. Interpretasi gramatikal mencoba menangkap arti teks atau peraturan menurut bunyi kata-katanya.

2) Interpretasi Sistematis

Interpretasi sistematis adalah metode menafsirkan peraturan perundangan dengan menghubungkanya dengan peraturan hukum atau dengan keseluruhan sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem. Undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Artinya tidak satupun

44 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 169.

45

(39)

33

dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu negara.

1.8. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.46 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini bersifat penelitian hukum normatif. Penelitian hukum yang bersifat normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Adapun ciri-ciri dari penelitian hukum normatif yaitu: beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum; tidak menggunakan hipotesa; menggunakan landasan teori; dan menggunakan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.47

Adapun kesenjangan dalam norma hukum yang diketengahkan dalam penelitian ini yaitu adanya kekaburan norma (vague norm) mengenai yang dimaksud dengan “kegiatan ilegal lainnya” yang berdampak pada ketidakjelasan

46 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 47 Amiruddin dan Zainal Azikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 166.

(40)

34

indikator untuk menentukan situs intenet “bermuatan negatif”. Hal ini memiliki implikasi serius pada kewenangan Pemerintah karena dapat memunculkan berbagai interpretasi tentang “kegiatan ilegal lainnya”, sehinga pada akhirnya memunculkan pula pandangan berbeda mengenai konten “bermuatan negatif”. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa dimungkinkan menimbulkan wewenang lain selain yang telah diatur dalam peraturan menteri. Implikasi lainnya adalah bahwa tanpa batasan yang jelas konten apapun di situs internet dapat dikategorikan sebagai konten bermuatan negatif, sehingga batasan yang dimaksud dengan “bermuatan negatif” sangatlah diperlukan. Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 didasarkan pada UU ITE dan UU Pornografi, sehingga seharusnya larangan dalam Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tidak melebihi perbuatan-perbuatan sebagaimana dilarang dalam UU ITE dan UU Pornografi. Hal ini mengingat bahwa kasus yang diketengahkan dalam penelitian ini adalah pemblokiran terhadap situs internet yang memuat konten radikalisme. Dapat pula dinyatakan bahwa peraturan menteri ini tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menilai apakah suatu situs internet bermuatan negatif atau sebaliknya tidak bermuatan negatif, terlebih lagi untuk mengambil langkah pemblokiran.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Peter Mahmud Marzuki menggolongkan pendekatan dalam penelitian hukum normatif menjadi lima

(41)

35

pendekatan, meliputi: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual

approach).48

Pembahasan dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan kasus merupakan metode penelaahan dengan mengemukakan dan menganalisis fakta hukum terkait kasus pemblokiran situs internet bermuatan negatif oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika berdasarkan Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,49 kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Pendekatan konseptual yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.50 Terkait penelitian ini diketengahkan konsep negara hukum dan konsep hak asasi manusia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian dapat dijabarkan seperti di bawah ini.

48 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, Cetakan ke-3, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 17.

49 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93.

50 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 3.

(42)

36

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta-fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan, ide. Penelitian menggunakan bahan hukum primer dapat berupa asas dan kaidah hukum dimana perwujudan dari asas dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang mempunyai otoritas (autoritatif) yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim.51 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yakni meliputi:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan;

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang

51

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan metode lean pada penelitian ini adalah mengurangi “waste” berupa waktu pendinginan dalam proses pemeliharaan dengan merancang portable air ejector

hanya diperhitungkan faktor teknis saja, yaitu tipe konstruksi tower yang digunakan adalah bentuk lattice tipe Aa dan Bb saluran udara tegangan tinggi (SUTT) 150 kV dengan

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik Sungai Siak tidak layak digunakan untuk pemanfaatan kebutuhan keluarga dan hanya bisa dimanfaatakan

Parfum Laundry Malang Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI JENIS PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Laundry Kiloan/Satuan

Perusahaan merupakan suatu unit kegiatan produksi yang mengelola sumber- sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan untuk

Berdasarkan tabel dan histogram di atas, maka dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat kreativitas guru dalam mengajar dilihat dari sudut pandang guru kelas III di SD

Tetapi adsorben zeolit alam perlakuan aktivasi kimia dan fisik mempunyai daya serap gas karbonmonoksida yang lebih rendah daripada adsorben zeolit alam tanpa aktivasi.. Hal

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan p value = 1,000 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan