• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Recall Partai Politik dalam Sistem P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Recall Partai Politik dalam Sistem P"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Recall Partai Politik

dalam Sistem Perwakilan di Indonesia

Oleh: Eka Prasetya

Abstract

This Paper discusses about the recall mechanism by a political party of its MPs people’s choice. The approach used in this paper is the normative legal approach with reference to literature data such as legislations as well as information obtained through the media and then analyzed them in descriptive-qualitative format. The findings obtained from this paper concludes the influence of political parties is still very dominant in determining the dismissal of a board member which is elected by the people through replacement over time (PAW), so it has tendency to neglect the people’s soverignty in Indonesian representative system.

Keywords: Replacement over time, Recall, Political Parties, People’s Soverignty

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang hak recall yang dimiliki partai politik terhadap anggota parlemen hasil pilihan rakyat. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini ialah pendekatan hukum normatif dengan merujuk kepada data kepustakaan yang relevan seperti peraturan perundang-undangan serta informasi yang diperoleh melalui media untuk kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Temuan yang diperoleh dari tulisan ini menyimpulkan pengaruh partai politik masih sangat dominan dalam menentukan pemberhentian anggota dewan hasil pemilihan rakyat melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW), sehingga memiliki kecenderungan pengabaian kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan di Indonesia.

Kata Kunci: Penggantian Antarwaktu, Recall, Partai Politik, Kedaulatan Rakyat

(2)

I. Pendahuluan

Pemberhentian Fahri Hamzah dari semua jenjang keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terjadi bulan April yang lalu menyisakan polemik berkepanjangan hingga saat ini, tidak hanya di dalam internal PKS sendiri, melainkan juga menjadi perdebatan di ruang publik. Pemecatan Fahri yang diawali dari keengganannya mematuhi instruksi partai untuk melepas jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disandangnya, menimbulkan persoalan yang mengundang pertanyaan publik, mengingat Fahri merupakan wakil rakyat yang dipilih

oleh 253.870 warga dari Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat. PKS mendasari keputusannya dengan merujuk pada instrumen Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), dimana terdapat klausul yang menyebutkan pimpinan dan anggota DPR diberhentikan apabila dipecat dari partainya.

PKS lantas mengajukan pengganti posisi Fahri yang menjabat unsur pimpinan DPR dengan menunjuk Ledia Hanifa, serta kemungkinan besar akan menunjuk Musleh Kholil sebagai calon yang berpotensi menggantikan Fahri sebagai anggota DPR apabila

dilakukan Penggantian Antarwaktu. Meskipun demikian, unsur pimpinan DPR lainnya belum menindaklanjuti pengajuan yang dilakukan Fraksi PKS dengan alasan belum ada kekuatan hukum tetap (inkracht), karena masih ada upaya hukum yang dilakukan Fahri dalam menggugat partai yang memecatnya tersebut.

Peristiwa Pemecatan Fahri Hamzah dari PKS ini juga mengingatkan kita pada hal yang serupa yang sebelumnya juga menimpa dua politisi senior Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni Lily Chodijah Wahid dan Effendi Choirie beberapa tahun yang lalu. Keduanya dipecat dari PKB karena berani ‘melawan’ keputusan partainya, dimana keduanya berdiri untuk memberikan voting dalam sidang paripurna pengusulan hak angket terhadap Bank Century. Sementara para kolega mereka lainnya yang berasal dari PKB ‘mengikuti arahan partai’ yang ketika itu berkoalisi dengan pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono, dengan menolak usulan hak angket tersebut.

Partai menggunakan logika sederhana, dengan menganggap ‘pembangkangan’ terhadap arah kebijakan dan instruksi yang telah disepakati atau ditetapkan oleh elit

 http://nasional.kompas.com/read/2014/04/29/2249403/Fahri.Hamzah.Kembali.Melenggang.ke.Senayan, diakses pada 25 Mei 2016, pukul 15.49

 http://www.jpnn.com/read/2016/04/05/372921/Ini-Dia-Calon-Pengganti-Fahri-Hamzah-, diakses pada 25 Mei 2016, pukul 16.03 WIB

(3)

partai berarti melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Dengan demikian, partai dapat mendasari keputusannya untuk memecat anggota-anggotanya yang mbalelo tersebut, dengan tuduhan pelanggaran terhadap AD/ART partai. Kemudian, karena diberhentikan dari partai, maka status keanggotaan mereka sebagai anggota DPR juga dicabut, sebagai konsekuensi logis diberikannya hak recall kepada partai politik yang diatur dalam UU MD3 dan UU Parpol.

Kasus Pemecatan terhadap Fahri Hamzah dari PKS kemudian memicu diskursus tentang konstruksi ‘perwakilan rakyat’ yang dipraktikkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Wacana yang menarik untuk dibahas kembali ialah tentang bagaimana sesungguhnya hubungan antara anggota dewan sebagai pihak yang mewakili rakyat yang duduk di lembaga perwakilan. Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini ialah, apakah rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan, terputus hubungannya dengan wakil-wakilnya di DPR setelah berakhirnya pemilihan umum karena digantikan oleh dominasi relasi kuasa dari partai?

Dengan adanya kendali recall di tangan partai, maka anggota dewan yang sudah dipilih oleh rakyat sepenuhnya menjadi ‘wakil partai,’ dimana mereka bertindak dan berperilaku sesuai dengan keinginan, tuntutan, serta arah kebijakan yang ditetapkan oleh partai politiknya. Padahal, arah kebijakan partai politik sering kali bukanlah suatu hasil konsensus bersama yang juga lahir atas pertimbangan aspirasi konstituen, melainkan hanya kepentingan taktis-oportunistik yang diputuskan secara sepihak oleh segelintir elit partai untuk kepentingan politik jangka pendek.

Itulah sebabnya, keputusan suatu partai dalam mengambil pilihan terkait isu-isu politik tertentu yang membutuhkan kesepakatan dalam lembaga perwakilan, kerap tidak sejalan dengan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh para konstituennya. Kita dapat menjadikan kasus Gus Choi dan Lily Wahid sebagai contoh, dimana keduanya berseberangan dengan keputusan partainya yang menolak adanya penggunaan hak angket DPR terhadap Bank Century. Keduanya dipandang mewakili aspirasi rakyat, dimana sebagaian opini masyarakat yang berkembang kala itu menuntut adanya keterbukaan dalam kasus ini. Lantas, sudah tepatkah hak recall partai politik terhadap wakil-wakilnya di badan perwakilan rakyat dengan kecenderungan pengabaian terhadap kedaulatan rakyat seperti yang saat ini dijalankan dalam sistem perwakilan kita?

(4)

Secara etimologis, recall dapat diartikan sebagai pemanggilan atau penarikan

kembali. Di Amerika Serikat (AS), istilah recall merujuk pada recall election yang digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan

wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir. Di AS, prosedur recall election dimulai dari inisiatif rakyat pemilih (konstituen) yang mengajukan petisi kepada para anggota badan perwakilan. Bila badan perwakilan menyetujui petisi pemilih, maka diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait akan lengser atau tetap di jabatannya. Sejak berkembang tahun 1903 di California, tercatat

ada 117 kali percobaan untuk melengserkan para anggota badan perwakilan.

Di Indonesia, istilah recall dimaknai sebagai pemberhentian dan penggantian seorang anggota dewan oleh partai politik. Dengan demikian terdapat perbedaan mendasar antara praktik recall di AS dengan Indonesia, dimana pihak yang memiliki hak untuk melakukan recall terhadap wakil rakyat di Amerika ialah rakyat itu sendiri sedangkan di Indonesia, hak recall ada pada partai politik. Meskipun istilah recall sendiri tidak terdapat dalam nomenklatur yang resmi dalam produk perundang-undangan yang mengatur persoalan terkait, akan tetapi istilah ini kerap dipergunakan dalam pemberitaan media massa maupun dalam konteks diskusi akademik. Istilah recall dalam konteks Indonesia berasosiasi dengan mekanisme Penggantian Antarwaktu yang diatur dalam undang-undang.

Adanya hak recall yang dimiliki oleh partai politik sejatinya merupakan sarana kontrol terhadap para anggota dewan yang duduk di lembaga perwakilan. Mengingat kekuasaan yang besar cenderung abuse of power, sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tends to corrupt, and absolute power corrupts

absolutely), maka kontrol terhadap orang-orang yang memiliki akses pada penggunaan

kekuasaan sangatlah diperlukan dalam rangka menegakkan prinsip chek and balances. Diaturnya mekanisme recall dalam sistem perwakilan merupakan sarana yang dapat dipergunakan sebagai hukuman (punishment) bagi para politisi yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.

 RM. A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensial “Orde Reformasi,”

(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), h.102

 Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI, 2006), h.156

 http://www.hukumonline.com/mempertanyakan_hegemoni_penggantian_antar_waktu_(PAW)_anggota _DPR_di_tangan_parta_politik, diakses pada 25 Mei 2016, pukul 19.50 WIB

(5)

Akan tetapi persoalan konseptual mengenai hak recall terletak pada siapa pihak yang sesungguhnya pantas untuk melakukannya, partai politik ataukah rakyat? Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu bagaimana konstruksi hubungan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dengan anggota dewan sebagai pihak yang mewakili rakyat dalam teori perwakilan rakyat. Merujuk pada sejarahnya, penerapan demokrasi pada mulanya dilakukan secara langsung di negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad 6 sampai dengan abad 3 sebelum Masehi. Pada masa itu, warga negara dapat membuat keputusan-keputusan politik secara langsung tanpa melalui perantara dikarenakan jumlah penduduk dan luas wilayahnya masih terjangkau sehingga memungkinkan

untuk penerapan demokrasi langsung (direct democracy).

Akan tetapi seiring dengan perkembangan negara modern dan semakin kompleksnya kepentingan manusia, maka pengambilan keputusan-keputusan politik

dilakukan melalui demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, rakyat secara keseluruhan tidak membuat keputusan-keputusan politik dan menentukan jalannya pemerintahan negara, akan tetapi rakyat memberikan mandat kepada wakil-wakilnya

yang duduk di sebuah badan perwakilan rakyat untuk melakukannya. Dalam

menentukan siapa wakil-wakilnya yang duduk di badan perwakilan rakyat tersebut, dilaksanakanlah sebuah pemilihan umum (pemilu). Calon-calon yang muncul sebagai hasil rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam pemilu dapat terpilih untuk duduk di badan perwakilan apabila memperoleh suara terbanyak.

Adapun konstruksi hubungan antara rakyat sebagai pihak yang diwakili dengan wakil rakyat sebagai pihak yang mewakili, para ahli membaginya dalam beberapa

klasifikasi. Ramlan Surbakti membagi klasifikasi tipe perwakilan menjadi dua,

pertama, perwakilan dengan tipe delegate atau messenger boy yang menganggap wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili. Ia hanya dapat menyuarakan apa yang dikehendaki oleh rakyat pemilihnya, dan sama sekali tidak memiliki kebebasan berbicara selain dari pada yang dikehendaki oleh konstituennya. Sedangkan yang kedua, perwakilan dengan tipe trustee yang berpendirian bahwa wakil rakyat memiliki kebebasan untuk bertindak dan diberikan kepercayaan penuh. Mereka yang menganut tipe perwakilan ini menganggap wakil-wakil mereka di parlemen memiliki

 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 239

 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 153  Muchyar Yara, Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, makalah pada Simposium Nasional “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani, diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta 8 Agustus 2006, h. 6

(6)

kemampuan untuk mempertimbangkan secara baik (goodjudgment) keputusan-keputusan yang mengutamakan kepentingan nasional.

Sementara itu, dalam melihat hubungan antara wakil dan yang diwakili, Gilbert

Abcarian mengemukakan empat tipologi perwakilan: pertama, wakil sebagai wakil

(trustee), dimana wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya; kedua, wakil sebagai utusan (delegate), dimana wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikan; ketiga, wakil sebagai politico, dimana wakil kadang-kadang bertindak sebagai utusan dan adakalanya bertindak sebagai wakil mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi; keempat, wakil sebagai partisan, dimana wakil bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya, sehingga hubungan pemilih (pihak yang diwakili) dengan wakilnya terlepas begitu proses pemilihan berakhir.

Adanya hak recall yang berada di tangan partai politik seperti yang dipraktikkan dalam sistem perwakilan di Indonesia menempatkan konstruksi hubungan antara wakil dengan yang diwakili dikategorikan wakil sebagai partisan. Hal ini mengingat fakta bahwa setelah wakil rakyat dipilih melalui pemilihan umum, maka hubungan seorang wakil dengan yang diwakili (rakyat) seketika terlepas, karena sang wakil harus tunduk pada program dan kebijakan organisasi atau partai politik yang mengusungnya. Hak recall dapat dijadikan instrumen partai politik untuk “mengancam” anggota-anggotanya di badan perwakilan apabila bertindak melenceng dari arah kebijakan partai, sekalipun hal tersebut harus bertentangan dengan harapan dan keinginan mayoritas pemilihnya (konstituen).

Jika menyimak sejarah konstitusi Indonesia, para penyusun konstitusi (framers of the contitution), menganut teori wakil sebagai trustee bukan sebagai delegate ataupun partisan. Hal itu tercermin di Pasal 90 Konstitusi tahun 1949 Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menyatakan bahwa, “Anggota-anggota DPR mengeluarkan suaranya sebagai orang yang bebas, menurut perasaan dan kehormatan batinnya, tidak atas perintah dan kewajiban berembuk dahulu dengan orang yang menunjuknya

sebagai anggota.” Dengan merujuk pada teori representative as trustee (teori mandat penuh), wakil rakyat setelah memangku jabatan publik, tidak lagi bertindak untuk kepentingan partainya, melainkan bagi kepentingan seluruh bangsa. Jika terjadi benturan antara kepentingan konstituen atau partai dengan kepentingan nasional, maka

 Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), h. 85

(7)

yang lebih diutamakan adalah kepentingan nasional dengan tetap memperhatikan

aspirasi konstituen.

III. Pembahasan

Secara historis, hak recall partai politik dalam bentuk mekanisme Penggantian Antarwaktu di Indonesia mula-mula diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 dimana termuat maksud politis yang sangat kental di dalamnya. Rezim Orde Baru yang ketika itu baru saja berdiri ingin memastikan parlemen ‘bersih’ dari sisa-sisa pendukung Soekarno serta Partai Komunis Indonesia. Ketentuan tentang Penggantian Antarwaktu diatur dalam Pasal 15 yang menyatakan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)/Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong (DPR-GR) dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:a) Anggota dari

calon Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan; b) Anggota Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan; c) Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan.”

Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, ketiga organisasi sosial politik (dua partai politik dan satu golongan karya) pernah melakukan recall dengan mengajukan Penggantian Antarwaktu terhadap anggota-anggotanya di badan perwakilan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan H.J. Naro misalnya, pernah mengajukan usulan Penggantian Antarwaktu kepada Syaifudin Harahap, Tamim Achda, Murtadho Makmur, Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA., Ganni Darussamin AS, dan Ruhani Abdul Hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun pimpinan DPR ketika itu, Amir Machmud menanggapinya dengan

dingin. Usulan tersebut tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada presiden. Akan tetapi pada tahun 1995, Penggantian Antarwaktu dilakukan kepada Sri Bintang Pamungkas (anggota DPR Periode 1992-1998) karena dianggap melanggar tata tertib, meski alasan yang sebenarnya adalah karena Sri Bintang Pamungkas telah melakukan ‘dosa politik’ kepada penguasa Orde Baru dengan kritik-kritik yang dilancarkannya

ketika itu.

Log Cit, RM. A. B. Kusuma (2011)

 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum

Tiras, Edisi 16 Februari 1995, h. 19

(8)

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) juga tercatat pernah mengusulkan Penggantian Antarwaktu untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandow, Soelolo, Santosa Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng (semuanya anggota DPR periode 1977-1982) pada era kepemimpinan Soenawar Soekawati. Kemudian pada era kepemimpinan Soejadi, hak recall partai juga digunakan untuk mengganti Marsoesi, Dudy Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman,

Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 1982-1987. Adapun Golongan Karya (Golkar), Penggantian Antarwaktu pertama menimpa Rahman Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena diduga terlibat dalam kasus Malari 15 Januari 1974. Sedangkan yang kedua dilakukan kepada Bambang Warih (anggota DPR periode

1992-1997). Fraksi ABRI juga pernah me-recall anggotanya di MPR, yakni Brigjen

Rukmini, Brigjen Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.

Setelah Rezim Orde Baru jatuh dan diganti dengan Orde Reformasi, hak recall yang dimiliki partai politik melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu yang selama era Orde Baru dipakai dengan cukup efektif untuk meredam suara-suara kritis dari anggota DPR terhadap rezim, tidak lagi diatur dalam produk undang-undang bidang politik yang dihasilkan dalam suasana euforia reformasi, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk 1999). Hal ini setidaknya berjalan sampai beberapa tahun sampai munculnya Undang-Undang Susduk yang baru pada tahun 2003.

Pada Pasal 5 ayat (1) UU Susduk 1999 ditegaskan anggota MPR berhenti antar

waktu sebagai anggota karena: a) meninggal dunia; b) permintaan sendiri secara

tertulis kepada pimpinan MPR; c) bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d) berhenti sebagai anggota DPR; e) tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib; f) dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan keputusan MPR; g) terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (1).” Dengan demikian, tidak terdapat klausul yang menyebutkan Penggantian Antarwaktu dapat diusulkan oleh partai politik.

Akan tetapi, hak recall partai politik melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Log Cit, Tiras (1995), h. 29

Forum Keadilan, Edisi 2 Maret 1995

(9)

Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk 2003). Di Pasal 85 ayat (1) ditegaskan

anggota DPR berhenti antar waktu karena: "a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c) diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.” Hak recall bahkan mendapat payung hukum dalam konstitusi, tepatnya pada Pasal 22 B Undang-Undang dasar 1945 Amandemen Kedua.

Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu dalam Pasal 85 ayat

(2) ialah karena: “a) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR; b) tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu; c) melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR; d) melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.”

Selain UU Susduk Tahun 2003, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol 2002) dalam Pasal 12 ditentukan bahwa, anggota partai politik yang menjadi anggota DPR diberhentikan status keanggotaannya sebagai

anggota DPR apabila:a) menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan parpol yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota parpol lain; b) diberhentikan dari keanggotaan parpol bersangkutan karena melanggar AD dan ART; atau c) melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menyebabkan yang bersangkutan diberhentikan.” Selain itu pada Pasal 11 ayat (3) UU Parpol 2002 menyatakan bahwa, “...anggota parpol wajib memenuhi AD dan ART serta

berkewajiban untuk berpartisipasi dalam kegiatan parpol.” Selain itu di Pasal 8 huruf

f disebutkan bahwa, “...partai politik berhak mengusulkan Penggantian Antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.”

Selama rentang antara 2004-2009 dimana UU Susduk 2003 dan UU Parpol 2002 diterapkan, terdapat beberapa kasus anggota DPR yang dikenakan Penggantian

 Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

(10)

Antarwaktu, yakni antara lain terhadap: Azzidin dari Partai Demokrat karena terjerat kasus katering haji; Marissa Haque dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) karena maju sebagai calon wakil gubernur dalam pemilukada Provinsi Banten tanpa instruksi partai; serta Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) karena tindakannya ikut studi banding ke luar negeri dinilai

bertentangan dengan garis kebijakan partainya ketika itu. Akibat pemecatan terhadapnya, Djoko Edhi mengajukan judicial review terhadap UU Susduk 2003 dan UU Parpol 2002 ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, permohonan tersebut ditolak

untuk seluruhnya karena dalil-dalil pemohon dipandang tidak beralasan.

Pada tahun 2009, melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2009), hak recall partai politik melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu tetap dipertahankan dalam Pasal 213 ayat (1) yang

menetapkan bahwa, “...anggota DPR berhenti antar waktu karena: a) meninggal

dunia; b) mengundurkan diri; dan c) diberhentikan.” Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal

213 ayat (2) yang menyebutkan anggota DPR diberhentikan antar waktu apabila:a)

tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; b) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d) tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e) diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan undang-undang; f) tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; g) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; h) diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i) menjadi anggota partai politik lain.

Ketentuan lanjutan diatur dalam Pasal 214 yang menetapkan: “...pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan b, serta pada ayat (2) huruf c, e, h, dan i diusulkan oleh pimpinan parpol kepada

 http://www.hukumonline.com... diakses pada 25 Mei 2016, pukul 19.50 WIB  Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.008/PUU-IV/2006

(11)

pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden. Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak

diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.”

Ketentuan mengenai Penggantian Antarwaktu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) tidak disebutkan secara rinci. Akan tetapi seperti halnya UU Parpol 2002, pada UU Parpol 2008 juga diatur ketentuan mengenai pemberhentian keanggotan dari partai politik yang tertera pada Pasal 16 ayat

(1). Selain itu, pada Pasal 16 ayat (3) terdapat klausul pemberhentian anggota partai politik yang juga merupakan anggota lembaga perwakilan rakyat, dimana pemberhentian keanggotaan partai politik diikuti dengan pemberhentian keanggotaan di

lembaga perwakilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, tidak terdapat perbedaan mendasar, kecuali pengubahan Pasal 16 ayat (2) yang semula, “tata cara pemberhentian keanggotaan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan partai

politik,” kemudian menjadi “tata cara pemberhentian keanggotaan partai politik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.”

Pada produk perundang-undangan paling terbaru yang sampai saat ini digunakan, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) tidak terdapat perbedaan yang mendasar mengenai hal terkait dengan ketentuan dalam UU MD3 2009, dimana klausul tentang Pemberhentian Antarwaktu anggota DPR yang tertera pada Pasal 239 ayat (2) memiliki poin-poin dengan substansi yang serupa dengan Pasal 213 ayat (2) UU MD3 2009, kecuali penghilangan satu

klausul yang sebelumnya tertera pada huruf d UU MD3 2009. Selain itu, pada Pasal

241 ayat (1) dijelaskan, “...dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai

Ibid, Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009...

 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik  Ibid, Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008...

Ibid, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008...

 Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(12)

politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah

setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Instrumen Perundang-Undangan Hak Recall Parpol Keterangan

UU No. 10 Tahun 1966 Ada Pasal 15

UU No. 4 Tahun 1999

Tabel 1.0 Hak Recall Partai Politik Menurut Instrumen Perundang-Undangan

Berdasarkan ketentuan seputar mekanisme Pemberhentian Antarwaktu dan Penggantian Antarwaktu yang terdapat dalam UU MD3 2014 maupun yang disinggung

secara tidak langsung dalam UU Parpol 2008, maka terlihat bahwa dominasi partai

politik terhadap anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan sangatlah besar. Partai politik yang memegang hak recall dapat menggunakan instrumen tersebut secara konstitusional untuk memaksa anggota-anggotanya di parlemen agar mengikuti apa yang diinstruksikan oleh partai.

Hal ini mungkin tidak menjadi persoalan apabila budaya internal partai politik yang ada di Indonesia sepenuhnya demokratis, dimana setiap arah dan kebijakan yang ditetapkan partai dihasilkan melalui konsensus dan dialog. Akan tetapi dalam praktiknya, budaya partai politik di Indonesia masih sangat didominasi oleh oligarki elit yang berada di posisi sentral dalam tubuh partai. Dengan demikian, mereka yang bertentangan dengan ‘garis kebijakan para elit’ dapat dengan mudah dikualifikasikan

Ibid, Pasal 241 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014...

(13)

sebagai pelanggar AD/ART partai, sehingga pemecatan terhadap mereka dapat dibenarkan secara konstitusional dan mereka yang dipecat karena alasan politis ini biasanya tidak dapat menang atas upaya hukum mereka di pengadilan.

Penggantian Antarwaktu oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 12 huruf b UU Parpol 2008) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat sangat subjektif pimpinan partai politik yang sulit

dikontrol oleh publik. Yang masih bersifat objektif dan dapat diterima ialah Penggantian Antarwaktu atas dasar alasan mengundurkan diri dari partai politik atau

masuk partai politik lain, serta melanggar peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 yang menyatakan pemberhentian anggota DPR terjadi secara otomatis apabila yang bersangkutan juga diberhentikan dari keanggotaan parpol. Melalui putusannya, MK menyatakan substansi materi dari pasal yang diuji inkonstitusional dengan syarat tertentu (conditionally unconstitutional).

Syarat tersebut antara lain adalah:a) partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta pemilu atau kepengurusan partai politik tersebut sudah tidak ada lagi; b) anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya; c) tidak terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya.”

Menurut MK, konstitusi tidak membatasi seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota parpol lain atau bahkan pada saat yang bersamaan menjadi anggota lebih dari satu parpol, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional seseorang untuk berhenti dari keanggotaan salah satu parpol karena menjadi anggota parpol lain. Putusan MK ini dapat dipandang mereduksi wewenang parpol dalam menggunakan hak recall-nya, karena “membelotnya” seorang anggota parpol baik dikarenakan melanggar AD/ART maupun dengan pindah keanggotaan ke parpol lain, tidak serta merta memberikan otoritas kepada parpol yang bersangkutan untuk me-recall orang tersebut dari

keanggotaannya di DPR. Meski demikian MK juga menggarisbawahi, seseorang yang

 Rida Farida, Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan Implikasinya Dalam Konsep

Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356-1440

Dissenting Opinion Abdul Mukhtie Fadjar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.008/PUU-IV/2006

 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.39/PUU-XI/2013

(14)

telah masuk dan menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu parpol mempunyai kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal parpol

tersebut.

Pertimbangan MK dalam penolakan permohonan Lily C. Wahid juga patut disimak, dimana MK pernah mengeluarkan putusan bahwa Penggantian Antarwaktu karena pencabutan keanggotaan dari partai politik bagi anggota DPR itu sah dan konstitusional sebagai hak partai politik. MK mendasari pertimbangannya oleh karena menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR merupakan partai politik dan tak seorang pun dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui partai politik. Maka, MK berpandangan wajar dan proporsional apabila partai politik diberi wewenang untuk melakukan Penggantian Antarwaktu (hak recall) atas anggotanya yang duduk di DPR.

Akan tetapi argumentasi MK yang menolak permohonan Lily C. Wahid tidak sepenuhnya tepat, karena sistem Pemilu 2009 dimana Lily Wahid terpilih sebagai anggota DPR berbeda dengan sistem Pemilu 2004. Dengan hadirnya UU MD3 2009, maka sistem Pemilu 2004 yang menganut model proporsional terbuka dengan daftar nomor urut yang ditentukan oleh Partai Politik berubah menjadi sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dimana Lily Wahid berhasil duduk menjadi anggota DPR karena suara terbanyak dari rakyat. Dengan demikian, seharusnya hak Penggantian Antarwaktu terhadap anggota DPR tidak sepenuhnya berada di tangan partai politik, melainkan juga konstituen. Partai perlu mempertimbangkan aspirasi konstituen yang memilih Lily Wahid saat pemilu serta tidak melakukan recall secara sepihak.

IV. Kesimpulan dan Saran

Sebagai pedoman tertinggi dalam bernegara, Undang-Undang Dasar 1945 telah menyebutkan bahwa, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hal ini menunjukkan kedaulatan tertinggi

sesungguhnya ada di tangan rakyat dengan MPR sebagai wujud demokrasi perwakilan. Partai politik merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat itu, antara lain dengan melakukan rekrutmen dan kaderisasi terhadap calon-calon pemimpin yang kemudian dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Partai politik juga menjadi corong aspirasi dan artikulasi politik rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga

(15)

perwakilan. Meskipun demokrasi perwakilan mengharuskan pemberian mandat oleh rakyat kepada calon-calon anggota DPR yang berasal dari partai politik pada saat pemilu, akan tetapi setelah pemilu usai dan wakil-wakil itu telah duduk di parlemen, rakyat sama sekali tidak kehilangan kedaulatannya.

Adaya hak recall memang sangat dibutuhkan sebagai mekanisme kontrol terhadap anggota DPR yang memiliki kekuasaan. Akan tetapi melekatkan hak tersebut kepada partai politik dalam praktiknya malah mereduksi kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip utama demokrasi. Hak recall yang berada di tangan partai politik menjadi semacam jebakan bagi demokrasi di tengah kultur oligarkis yang melekat erat dengan partai politik di Indonesia dewasa ini. Konstruksi hubungan antara wakil yang duduk di lembaga perwakilan dengan rakyat yang di wakili merupakan bentuk hubungan yang bersifat partisan, karena “wakil rakyat” sesungguhnya tidak sedang mewakili rakyat melainkan mewakili partai politiknya.

Kasus pemecatan terhadap Fahri Hamzah merupakan salah satu contoh dari diabaikannya “kedaulatan rakyat,” dimana keputusan partai seolah-olah menafikan suara lebih dari 250 ribuan pemilih begitu saja, hanya karena Fahri dinilai tidak menjalankan instruksi partai yang berarti melanggar AD/ART. Terlepas dari sudah dilaluinya tahapan dan alur mekanisme pemecatan yang sesuai dengan prosedur secara sah berdasarkan AD/ART partai, tetapi pemecatan terhadap seorang wakil rakyat dalam sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak merupakan suatu hal yang meresahkan dalam praktik berdemokrasi. Pemilih Fahri di daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat sangat mungkin mendasari pilihannya kepada Fahri bukan karena partai yang mengusungnya, melainkan karena sebagai individu Fahri dinilai memiliki kepabilitas untuk merepresentasikan aspirasi warga NTB.

(16)

V. Referensi

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,

Farida, Rida. 2015. Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 2 Desember 2015

Huda, Ni’matul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Kusuma, Ananda B. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, Jakarta: MK RI

Kusuma, RM. A.B., 2011. Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensial “Orde Reformasi,” Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widyasarana Yara, Muchyar. 2006. Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, Dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(17)

Media Daring: nasional.kompas.com www.jpnn.com news.detik.com

Gambar

Tabel 1.0 Hak Recall Partai Politik Menurut Instrumen Perundang-Undangan

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang sama ditemui pada sebuah sarung tangan atau conveyor yang digunakan dalam waktu singkat untuk menangani berton-ton makanan dalam pabrik memiliki kemungkinan migrasi

Dari pengertian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Futri dan Gede (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan auditor maka semakin tinggi pula

Kelas hutan bukan untuk produksi adalah kawasan hutan yang karena berbagai-bagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang

Untuk memenuhi sisa target yang dicapai dan memperkenalkannya lebih lebar, serta dengan memahami teori dan karakter dasar dari sebuah perancangan identitas visual, informasi

 Optimalisasi Keberadaan UP-PKSA Prov, Kab/Kota 1500-771 ANAK TIDAK SEKOLAH 2018 Indonesia bebas ABH dari Penjara Dewasa 2018 **.. KEGIATAN PKSA

Tahap pengorganisasian dilakukan setelah sosialisasi kepada masyarakat mengenai program PKMS, pada tahap ini dilakukan verifikasi Rumah Tangga Miskin (RTM) untuk

Pada pengamatan selama tujuh hari pada keadaan suhu ruang dan suhu 65 °C pada jenis oli mesin kekentalan monograde SAE 40 dan pelumas Multigrade (SAE 80W-90) dengan