• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian - Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian - Tinjauan Makna Dan Bahasa Visual Iklan (Analisis Semiotika Iklan Axis"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir (Sunarto, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto, 2011:9)

Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

(2)

dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk perubahan sosial (Sunarto, 2011:9).

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan bagian dari aliran pemikiran kritis.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Massa

Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).

Komunikasi massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan erat dengan komuniaksi massa. Salah satu diantaranya yaitu media massa. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan media massa untuk menunjang kegiatannya seperti ketika akan berpergian keluar rumah , mereka melihat berita ramalan cuaca terlebih untuk mengetahui apakah cuaca cerah, mendung atau sedang hujan. Contoh lainnya adalah info lalu lintas. Di kota-kota besar, info lalu lintas adalah info yang paling banyak dicari masyarakat. Dan semua itu didapatkan melalui media massa seperti koran, radio dan televisi.

(3)

1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.

2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film atau buku.

Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol. Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan tindakan interpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya. Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian, 2008: 368).

Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

1. Komunikator Terlembagakan

(4)

2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

(5)

televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. 8. Umpan Balik Tertunda

Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari

feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):

1. Pengawasan peringatan (surveillance)

Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang mempekerjakan pengawasan.

2. Interpretasi (Interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan, adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.

3. Hubungan (Linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual.

4. Sosialisasi

(6)

5. Hiburan (Entertainment)

Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian besar programnya bersifat menghibur (to entertain).

2.2.2 Iklan

Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010: 17).

Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad pertengahan advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”, sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri sehingga terbentuk image semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2011: 65).

Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra. Apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2011: 126).

(7)

terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan ( Bungin, 2011: 81).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

(8)

2.2.3 Tanda

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27).

Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).

Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai

petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda

juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.

(9)

untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.

Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek

(yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu) (Danesi, 2010:36). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.

Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).

(10)

2.2.4 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau

seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17).

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannnya. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2006: 261), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Analisis semiotik berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.

(11)

tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13).

Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multimensional. Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20), Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Peirce mengidentisikasi, dari ilmu logika ke ilmu intelektual, yaitu tindakan komunikatif yang telah menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi kepentingan teknis ilmu (Sobur, 2004: 40-41).

Pierce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Peirce, yang biasanya dipandang sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.

(12)

kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur pengantara yang berperan sebagai ketigaan.

Ketiga tanda yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memiliki penafsir).

Charles Sanders Peirce mengemukakan gagasannya mengenai model tanda dan taksonominya. Peirce mengemukakan model triadic tanda, yang terdiri atas elemen-elemen sebagai berikut:

a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak senantiasa bersifat material).

b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh tanda.

(13)

Gambar 1

Segitiga Makna Charles S.Peirce Sense

B

A C

Sign Vehicle Referent

(Sumber : Morissan, 2009: 28)

Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut ‘semiosis’. Untuk lebih memahaminya, kita bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda yang dikemukakan oleh Peirce, lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu merah yang ada di persimpangan jalan (sebagai representamen), kendaraan berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah mengindikasikan kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant) (Morissan, 2009:28).

(14)

tanda yang disebutnya dengan istilah ‘the most fundamental divisions of signs’. Pembagian tanda Peirce ini kemudian menjadi rujukan bagi banyak ahli semiotika di dunia sampai saat ini. Namun demikian, para ahli cenderung tetap menggunakan istilah signifier dan signified sebagai pengganti istilah sign vehicle

dan object-nya Peirce.

Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen)

selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant.

Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign

adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004: 41).

Ferdinand De Saussure (1857-1913), secara umum diakui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistque General yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure meninggal, diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda).

(15)

Ferdinand de Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas.

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.

Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Hubungan antara

signifier dan signified dibagi tiga, yaitu

1. Ikon, yaitu tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.

(16)

hubungan dengan yang ditandai. Dapat pula dikatakan, indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.

3. Simbol, yaitu sebuah tanda di mana hubungan antara signifier

dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa (Aart Van Zoest dalam Sobur, 2004: 126).

2.2.5 Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah

pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ – pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22)

(17)

1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu).

3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

(18)

Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.

6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut, disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.

2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2010: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

(19)

sasaran. Jagad desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massa dan konsumsi massa. Terkait dengan fakta tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Untuk mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu diperhatikan. Hal tersebut antara lain: garis (line), bentuk (form), ruang (space), tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian, warna, irama, ukuran serta durasi

1. Garis (Line)

Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik poin dengan titik poin yang lain sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung (curve) atau garis lurus (straight). Garis adalah unsur dasar untuk membangun bentuk atau konstruksi desain.

2. Bentuk (Form)

Istilah bentuk (form) digunakan untuk menyatakan suatu bangun atau

(20)

memiliki diameter, tinggi dan lebar. Bentuk (form) adalah tubuh atau massa yang berisi garis-garis. Sedangkan garis adalah bagian tepi atau garis pinggir bentuk suatu benda atau biasa disebut “kontur benda”. Kontur memperlihatkan bangun atau gerakan itu sendiri. Garis lurus dan garis lengkung termasuk elemen benda; tanpa bentuk, tetapi garis-garis tersebut dapat menjelaskan suatu bentuk; dengan menyusun garis horizontal dan vertikal yang sama panjang akan terjadi suatu bentuk bangun bujur sangkar. Semua bangun seperti bujur sangkar, lingkaran dan segitiga sama sisi merupakan sebagian dari bentuk dasar yang dipergunakan untuk mendesain. Bentuk suatu benda bisa bersifat dua dimensional (lonjong, oval, polygon, persegi panjang dan heksagon), yaitu datar tanpa ketebalan atau bersifat tiga dimensional (kerucut, kubus, silinder, prisma, piramida dan bola) yang mempunyai ketebalan atau padat.

Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategori menjadi tiga, yaitu:

a. Huruf (character) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai wakil dari bahasa verbal dengan bentuk visual langsung seperti A, B, C dan sebagainya.

b. Simbol (symbol) yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang mewakili bentuk benda secara sederhana dan dapat dipahami secara umum sebagai simbol atau lambang untuk menggambarkan suatu bentuk nyata, misalnya gambar orang, bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan dalam bentuk nyata (dengan detail).

c. Bentuk nyata (form), bentuk ini betul-betul mencerminkan kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara detail, hewan secara detail atau benda lainnya.

3. Ruang (space)

(21)

lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur untuk memberi efek estetika desain. Sebagai contoh, tanpa ruang kita tidak akan tahu yang mana kata dan mana kalimat atau paragraf. Tanpa ruang kita tidak tahu mana yang harus dilihat terlebih dahulu, kapan harus membaca dan kapan harus berhenti sebentar.

Dalam bentuk fisiknya pengidentifikasian, ruang digolongkan menjadi dua unsur, yaitu objek (figure) dan latar belakang (background). Hubungan antar ruang merupakan bagian dari perencanaan desain, apakah itu berupa jarak antar huruf atau huruf dengan gambar yang terletak pada sebidang kertas. Ruang sebagai latar belakang dari suatu objek juga perlu diolah, umpamanya dengan memberi warna, tekstur dan lain-lain.

4. Tekstur

Tekstur adalah sifat dan kualitas fisik dari permukaan suatu bahan, seperti kasar, mengkilap, pudar atau kusam yang dapat diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa pengulangan-pengulangan untuk suatu desain. Pada umumnya desain berkaitan dengan indera peraba dan juga indera penglihatan. Tekstur akan tampak jelas tergantung pada cahaya serta bayangannya yang disebabkan oleh ilusi optis. Dalam penggunaan tekstur disusun secara serasi atau kontras hasilnya, tetapi secara kontras hasilnya akan lebih menarik daripada kombinasi dengan tekstur yang serupa.

5. Keseimbangan (balance)

Prinsip dasar dari komposisi yaitu keseimbangan paling mudah dikenal atau dilihat. Bilamana ada dua benda dengan berat sama diletakkan pada jarak yang sama terhadap sumbu khayal (maya), maka objek yang ada pada kedua belah sisi dari garis maya tampak seolah-olah berbobot sama. Keseimbangan bisa terjadi secara fisik maupun secara optis. Untuk menghayatinya hanya diperlukan satu titik atau sumbu khayal (maya). Prinsip ini merupakan prinsip utama yang menghasilkan kesan beraturan sehingga tampak dinamis.

(22)

Simetris berarti sama dalam ukuran, bentuk, bangun dan letak dari bagian- bagian atau objek-objek yang akan disusun di sebelah kiri dan kanan garis sumbu khayal. Asimetris terjadi apabila garis, bentuk, bangun atau massa yang tidak sama dalam ukuran, isi atau volume yang diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengikuti aturan keseimbangan asimetris yang banyak digunakan dalam desain modern atau kontemporer. Ada pada lukisan atau karya fotografi, keseimbangan antara bidang bagian atas dan bidang bagian bawah diperoleh dengan penggunaan keseimbangan horizontal.

7. Keserasian (harmony)

Keserasian adalah prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan di antara bagian-bagian suatu karya. Keserasian adalah suatu usaha menyusun berbagai bentuk, bangun, warna, tekstur dan elemen-elemen lain yang disusun secara seimbang dalam suatu susunan komposisi yang utuh agar indah untuk dipandang. Keseimbangan dapat dicapai dengan mengkombinasikan berbagai elemen yang sifatnya sama, misalnya kesamaan dalam skala dan bentuk; dan apabila skala dan bentuk tersebut berbeda, maka kemungkinan yang juga bisa dicapai adalah dengan warna yang sama. Walaupun keserasian merupakan upaya mencapai suatu kesatuan dalam penampilan tetapi juga diperlukan variasi-variasi agar tidak berkesan monoton dan membosankan.

8. Irama (rhythm)

(23)

atau nilai dari elemen-elemen desain secara bertahap bersamaan dengan pengulangan yang terjadi.

9. Warna

Warna sebagai unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang diterima oleh mata lebih ditentukan cahaya. Permasalahan mendasar dari warna di antaranya adalah hue (spektrum warna), saturation (nilai kepekatan) dan lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa haru, sedih, gembira, mood atau semangat.

Molly E. Holzschlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisannya “Creating Colour Scheme” (Kusrianto, 2007: 47) membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respon secara psikologis:

a. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresivitas dan bahaya.

b. Biru bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan perintah.

c. Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan dan pembaruan.

d. Kuning bermakna optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran/kecurangan, pengecut dan penghianatan.

e. Ungu bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak dan arogan.

f. Orange bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan. g. Coklat bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan. h. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan merusak.

i. Putih bermakna kemurnian/suci, bersih, kecermatan,

(24)

j. Hitam bermakna kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan. Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan. Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25).

Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesan verbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut ini:

1. Huruf (Romein)

Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2. Huruf Egyptian

Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.

3. Huruf Sans Serif

Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4. Huruf Miscellaneous

(25)

5. Huruf Script

Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.

Media gambar atau visual mampu mengkomunikasikan pesan dengan cepat dan berkesan. Sebuah gambar bila tepat memilihnya, bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata, secara individual juga mampu untuk memikat perhatian. Gambar merupakan bagian yang terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Ada banyak elemen dalam membuat gambar yang baik, teknik pengambilan suatu gambar akan sangat menentukan hasil suatu gambar yang baik (http://dc355.4shared.com)

Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni popular dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar Penanda (Signifier) Petanda (Signified)

Pengambilan Gambar

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (angle) pengambilan gambar

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

(26)

otoritas Tipe Lensa

Wide angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, voyeuristik

Fokus

Selective focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek)

Soft focus Romantis serta nostalgia

Deep focus Semua unsur adalah penting

(melihat secara keseluruhan objek) Pencahayaan

High key Riang dan cerah

Low key Suram dan muram

High contrast Dramatikal dan teatrikal

Low contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter

Pewarnaan

Warm (kuning, oranye, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and white (hitam dan putih)

Realisme, aktualisme dan faktual

(Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 33)

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya gambar (foto maupun film) dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas:

(27)

sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Kesan yang muncul adalah mengesampingkan subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila

long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang nampak dari gambar tersebut.

2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Ukuran gambar subjeknya sama ukurannya dengan ukuran latar. Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal 3. Pengambilan gambar dalam bentuk close up, ukuran subjek lebih

besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek. Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan. 4. Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya

ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar (angle) dibagi menjadi:

1. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada di atas lebih

powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

(28)

yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang.

3. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus berhubungan dengan tipe lensa yang dipakai ketika objek diambil gambarnya, yaitu: tele, standart dan wide focus. Dalam standar pengambilan fokus suatu gambar jika memakai lensa standar akan menghasilkan suasana yang natural. Hal ini karena gambar diambil dari fokus yang tidak jauh dan tidak dekat (normal), sehingga komposisi dan perbandingan antara objek menjadi merata. Hal ini berbeda dengan gambar yang diambil dengan menggunakan lensa tele ataupun wide karena objek akan nampak lebih besar dibandingkan dengan ojek yang lain. Pencahayaan gambar juga akan menciptakan suasana dan mood yang berbeda. Dengan pencahayaan yang cerah dan riang tidak akan menampilkan suasana atau mood yang sedih dan misterius.

(29)

Tabel 2

Kerja kamera dan teknik penyuntingan

((Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 34)

Dalam teknik penyuntingan terdapat efek gambar yang blank (hilang) yang disebut efek deep to black (gambar yang tercipta dari teknik fade in dan fade out). Teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara dan musik juga merupakan hal lain yang juga menarik.Semua penanda tersebut menolong kita menterjemahkan apa yang kita lihat di televisi. Televisi merupakan media yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, bahasa gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide penting pada orang.

2.2.7 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69).

Pan down Kamera mengarah ke bawah Kekuasaan dan kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera bergerak ke dalam Observasi dan fokus

Fade in Gambar kelihatan pada layar kosong Permulaan gambar

Fade out Gambar di layar menjadi hilang Penutupan

Cut Pindah dari gambar satu ke gambar lain Kebersambungan, menarik

(30)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,2004:69).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek) dan signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.

(31)

Gambar 2

Gambar peta tanda Roland Barthes

(Sumber: Cobley and Jansz dalam Sobur, 2004:69)

Dari peta Barthes di atas, akan terlihat tanda denotative (3) yang terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Pada saat bersamaan juga, denotatif adalah penanda konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.

Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal dan non verbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis.

1. signifier

(penanda)

2. signified

(petanda)

3. denotative sign (tanda

denotatif)

4.CONNOTATIVE

SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE

SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

(32)

Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Budiman, dalam Christomy, 2004: 255). Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna-makna pada makna-makna tingkat ketiga.

Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan. Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berarti ‘sejenis bunga’.

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana (2001: 40) (dalam Sobur, 2003: 263) mendefinisikan denotasi (denotations) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.

(33)

kata tersebut). Makna denotatif (denotatif meaning) disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial atau makna proposional. Disebut makna denotasial, referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote)

kepada suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Disebut makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan- pernyataan yang bersifat faktual.

Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu maka itu berarti kata tersebut ingin menunjukkan, mengemukakan dan menunjuk pada hal itu sendiri. Dengan pengertian tersebut kita dapat mengatakan bahwa kata ayam mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur untuk sarapan. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan kata-kata dengan arti denotatifnya, dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti berbagai kamus karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang kata-kata yang terdapat dalam kamus tersebut.

Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau yang ditimbulkan pada penulis dan pembaca. Misalnya kata

amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain.

Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat “Berilah ia

amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang. Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang semir atau uang gosok.

(34)

sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174).

Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003: 264).

Barthes menggunakan konsep connotation-nya untuk menyingkap makna makna tersembunyi. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif. Pada tingkatan denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, tahap sekunder, munculah makna yang ideologis.

Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification, materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue

(Barthes, 2007:16).

(35)

Hanya dalam masyarakat yang benar-benar tertutup akan ditemui kemutlakan suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos tadi akan ditentang oleh mitos-mitos lain pula, ketika itu, yang merupakan kontramitos (Junus dalam Sobur, 2004: 131).

Pada dasarnya, analisis semiotika memang sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh”, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca atau mendengar suatu narasi atau naskah. Analisisnya bersifat paradigmatik, dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks (Berger dalam Sobur, 2004: 117). Teks yang dimaksud tidak hanya berarti berkaitan dengan aspek linguistik.

Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata

idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata

logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata dan arti kata logia berarti

science (pengetahuan) atau teori.

Salah satu kultivasi ideologi dalam iklan televisi berlangsung melalui representasi mitos. Dalam tayangan iklan, akan terlihat bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film (Sobur, 2004:116).

(36)

Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif semiotika struktural tidak akan pernah menampilkan gagasan-gagasan yang dikeluarkan Roland Barthes. Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama ”membaca” iklan televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning) yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai beragam (http://www.scribd.com).

Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemi alias berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan. Oleh karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika, seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem

(37)

2.3 Model Teoritik Gambar 3

Bagan Model Teoritik Penelitian Makna dan Bahasa Visual Iklan Objek Penelitian

Foto (gambar) pada iklan Axis “Internet Untuk Rakyat” Suara pada iklan Axis “Internet

Untuk Rakyat”

Semiotika Roland Barthes - Denotasi dan Konotasi - Mitos

Gambar

Gambar 1
Tabel 1
gambar (foto maupun film) dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas:
Gambar kelihatan pada layar kosong
+3

Referensi

Dokumen terkait

Terpilihnya alokasi sumber daya operasional Divisi Regional, khususnya yang terkait dengan operasi dan pemeliharaan infrastruktur access dalam rangka eksekusi

Saya/Kami mengakui dan bersetuju bahawa data peribadi, termasuk apa-apa data peribadi yang sensitif, yang dikumpulkan di sini digunakan, diproses dan dizahirkan untuk tujuan

Adapun tujuan Universitas al-Azhar adalah: (1) mengemukakan kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan jaminannya terhadap kebahagiaannya di

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, serta atas izin-Nya pula, akhirnya kami dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Strategi Adaptasi

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Muhammadiyah terkait dengan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid mengenai bank. 4.2.Bahan atau Data Penelitian. Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala kasih dan berkatnya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi