BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori2.1.1 Belanja Langsung
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006
Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja
langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil
(PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum
berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan
dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan pembentukan modal.
b. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian
barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang
dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja
c. Belanja Modal
Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk
didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya
mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas
dan kualitas aset.
Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama:
i. Belanja Modal Tanah
ii. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
iii. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
iv. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
v. Belanja Modal Fisik Lainnya
2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah dan APBD a Pengelolaan Keuangan Daerah
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005, keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang
maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
keuangan daerah yang diatur dalam peraturan menteri ini meliputi
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur
APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD,
penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki
DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas,
penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan
pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan
pengelolaan keuangan BLUD. Pendekatan dalam memahami ruang
lingkup keuangan daerah dapat dilihat dari segi objek, subjek, proses
dan tujuannya yaitu :
1. Dari sisi objek
Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan daerah adalah semua
hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD.
2. Dari sisi subjek
Subjek keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam
pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini pemerintah daerah
dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan
3. Dari sisi proses
Keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan
kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban.
4. Dari sisi tujuan
Keuangan daerah meliputi keseluruhan kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan
penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah
gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan daerah.
Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut
kemudian dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelolaan
Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala
SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Barang Negara.
Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur
secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi
pemerintah daerah. Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan
perencanaan/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah
b. Pengertian APBD
Menurut Bastian (2006:189), “Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah merupakan rencana kerja Pemerintah daerah dalam bentuk
satuan uang untuk kurun waktu satu tahun tahunan dan berorientasi
pada tujuan kesejahteraan publik”.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD
sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan
dengan peraturan daerah. APBD yang disusun oleh pemerintah daerah
telah mengalami perubahan dari yang bersifat incramental menjadi
anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.
c. Fungsi APBD
APBD merupakan salah satu bentuk instrumen kebijakan
ekonomi yang mempunyai fungsi tersendiri yaitu :
1. Fungsi Otorisasi
Anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan
rencana kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan
Anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
Anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
6. Fungsi Stabilisasi
Anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja daerahnya, selain
dengan menggunakan transfer dari pemerintah pusat, mereka juga
menggunakan sumber dananya sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah
(PAD). PAD menurut Halim (2004 : 67) merupakan “ semua penerimaan
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos
Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos
Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos
Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam (Isdijoso, 2002).
Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan
menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli
Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber
pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal
(Elita dalam Pratiwi, 2007).
Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai seluruh
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan daerah otonom
kepada bantuan pusat diharapkan seminimal mungkin. Semakain besar
kontribusi yang dapat diberikan oleh PAD terhadap APBD berarti semakin
kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat.
PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian
daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif
mempunyai kemungkinan untuk memiliki pendapatan per kapita yang
lebih baik (Harianto dan Adi, 2007). Apabila suatu daerah PAD-nya
meningkat maka dana yang dimiliki pemerintah akan meningkat pula.
Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintah, karena dapat digunakan
PAD menurut Halim (2004:67) merupakan “Semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. PAD hanya
merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara
disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah
dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya
dapat ditambah sebagai sumber pendanan penyelenggaraan pemerintahan
di daerah. Keseluruhan penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam
APBD. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD,
proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi “derajat
kemandirian ” keuangan suatu pemerintah daerah.
Pendapatan asli daerah merupakan sumber murni daerah yang terdiri dari:
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri 13/2006
adalah terdiri dari :
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan.
2.1.4 Dana Perimbangan
Dalam Ketentuan Umum UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud
dengan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem hubungan
keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah,
sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk
penyerahan sebagian wewenang pemerintahan.
Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang
berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan
pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada
daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang sangat baik (Widjaja 2002:129).
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, mengalokasikan sejumlah dana dari APBN sebagai dana
perimbangan yang terdiri atas :
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana bagi hasil bersumber dari :
a. Pajak
DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari
penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan
Pasal 21.
Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari
Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
1. DBH PBB
Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan
10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah dan 90%
(sembilan puluh persen) untuk daerah. DBH PBB untuk
daerah sebesar 90% (sembilan puluh persen) dibagi
persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 64,8%
(enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk
kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9% (sembilan persen)
untuk biaya pemungutan. Bagian Pemerintah sebesar 10%
(sepuluh persen) dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan
kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud
dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6,5% (enam lima
persepuluh persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten dan kota, dan 3,5% (tiga lima persepuluh
persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota
yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan
pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan yang ditetapkan.
2. DBH BPHTB
Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan
puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar
80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai
berikut: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan; dan 64% (enam puluh empat persen) untuk
kabupaten/kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah sebesar
20% (dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi yang sama
BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB
tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB
dilaksanakan secara mingguan. Penyaluran DBH BPHTB
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2009.
3. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen). DBH
PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagi dengan rincian sebagai
berikut: 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
dan 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan. DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 dibagi dengan rincian berikut: 8,4% (delapan empat
persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak
terdaftar; dan 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan
bagian yang sama besar.
b. Sumber Daya Alam
DBH yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota.
Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah :
a. Dana Alokasi Umum (DAU), ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/
Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi
Umum sebagaimana ditetapkan diatas.
c. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu
ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk
Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/
Kota yang bersangkutan.
d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan
proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan
selisih dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal.
Kebutuhan fiskal merupakan persentase bobot daerah yang dikalikan
dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, indeks
kemahalan kontruksi, indeks pembangunan manusia dan indeks PDRB
perkapita yang kemudian hasil dari persentase perhitungan tersebut
dikalikan dengan rata-rata total belanja daerah. Sedangkan kapasitas
fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan Dana
Bagi Hasil (DBH).
Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh
dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Yani (2008:142), “DAU bertujuan untuk pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi
daerah.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus merupakan dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Alokasi DAK
dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak
Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang–Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan
tersedianya dana dalam APBN. DAK disalurkan dengan cara
pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas
umum daerah. Oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK
tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan,
penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian
kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya:
kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis
investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil,
saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan
yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki konsep yang
sama dengan penelitian ini, antara lain :
1. Habriani (2009)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap
mengambil sampel sebanyak 25 Kab/Kota di Sumatera Utara selama
periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara
parsial, hanya lain-lain PAD yang sah yang berpengaruh signifikan positif
terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan, keseluruhan
variabel yang terdapat dalam PAD berpengaruh signifikan positif terhadap
belanja langsung.
2. Hariani (2010)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung di Pemerintah
Kab/Kota di Sumatera Barat ini mengambil sampel sebanyak 10 Kab/Kota
di Sumatera Barat selama periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kedua variabel independen berpengaruh positif
terhadap belanja langsung secara bersama-sama, dan secara parsial Dana
Aloksi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung dan
Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap
Belanja langsung.
3. Lestari (2010)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja
Langsung pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi selama
periode 2004–2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga
variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara
berpengaruh terhadap Belanja Langsung, sedangkan Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak berpengaruh signifikan
positif terhadap Belanja Langsung.
4. Indraningrum (2011)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Langsung (Studi Pada
Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah) selama periode
2007-2009. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Hal tersebut berarti
Pemerintah Daerah dapat memprediksi anggaran Belanja Langsung
didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum
PAD Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak
Kerangka konseptual merupakan sistensi atau ekstrapolasi dari tinjauan teori
yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan
tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis. Jadi
kerangka konseptual berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau
pun masalah yang ada dalam peneliti.
Penelitian ini menggunakan empat variabel independen yaitu PAD, DAU,
DAK, dan DBH serta satu variabel dependen yaitu belanja langsung. PAD (X1),
DAU (X2), DAK (X3), dan DBH (X4) merupakan sumber dana yang mencirikan
otonomi daerah yang sesungguhnya yang dialokasikan sebagian untuk belanja
langsung (Y).
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis menurut Erlina (2007:41), menyatakan hubungan yang diduga
secara logis antara dua variabel atau lebih dalam hubungan preposisi yang dapat
diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang
diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :
H1: PAD berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung.
H2: DAU berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung. PAD
𝑋1
DAK
𝑋3 DAU
𝑋2
DBH
𝑋4
Belanja Langsung
H3: DAK berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung.
H4: DBH berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung
H5: PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh secara simultan terhadap