• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad), Dana Alokasi Umum (Dau), Dana Alokasi Khusus (Dak), Dan Dana Bagi Hasil (Dbh) Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2010-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad), Dana Alokasi Umum (Dau), Dana Alokasi Khusus (Dak), Dan Dana Bagi Hasil (Dbh) Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2010-2013"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Belanja Langsung

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006

Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja

langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung

dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari:

a. Belanja Pegawai

Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang

maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil

(PNS), dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum

berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan

dimana pekerjaan tersebut yang berkaitan dengan pembentukan modal.

b. Belanja Barang dan Jasa

Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian

barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang

dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang

dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja

(2)

c. Belanja Modal

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang

memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk

didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya

mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas

dan kualitas aset.

Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama:

i. Belanja Modal Tanah

ii. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

iii. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

iv. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

v. Belanja Modal Fisik Lainnya

2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah dan APBD a Pengelolaan Keuangan Daerah

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2005, keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang

maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan

yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

(3)

keuangan daerah yang diatur dalam peraturan menteri ini meliputi

kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur

APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD,

penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki

DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas,

penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah,

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan

pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan

pengelolaan keuangan BLUD. Pendekatan dalam memahami ruang

lingkup keuangan daerah dapat dilihat dari segi objek, subjek, proses

dan tujuannya yaitu :

1. Dari sisi objek

Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan daerah adalah semua

hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk

didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan

hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD.

2. Dari sisi subjek

Subjek keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam

pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini pemerintah daerah

dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada

kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan

(4)

3. Dari sisi proses

Keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang

berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan

kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban.

4. Dari sisi tujuan

Keuangan daerah meliputi keseluruhan kebijakan, kegiatan dan

hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan

penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

daerah.

Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah

gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan daerah.

Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut

kemudian dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelolaan

Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala

SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Barang Negara.

Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur

secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan

anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi

pemerintah daerah. Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan

perencanaan/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah

(5)

b. Pengertian APBD

Menurut Bastian (2006:189), “Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah merupakan rencana kerja Pemerintah daerah dalam bentuk

satuan uang untuk kurun waktu satu tahun tahunan dan berorientasi

pada tujuan kesejahteraan publik”.

APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD

sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan

pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.

APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,

distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan

dengan peraturan daerah. APBD yang disusun oleh pemerintah daerah

telah mengalami perubahan dari yang bersifat incramental menjadi

anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.

c. Fungsi APBD

APBD merupakan salah satu bentuk instrumen kebijakan

ekonomi yang mempunyai fungsi tersendiri yaitu :

1. Fungsi Otorisasi

Anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan

belanja pada tahun yang bersangkutan.

2. Fungsi Perencanaan

(6)

rencana kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

3. Fungsi Pengawasan

Anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan

penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan.

4. Fungsi Alokasi

Anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan

pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas perekonomian.

5. Fungsi Distribusi

Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan

kepatutan.

6. Fungsi Stabilisasi

Anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan

mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja daerahnya, selain

dengan menggunakan transfer dari pemerintah pusat, mereka juga

menggunakan sumber dananya sendiri yaitu Pendapatan Asli Daerah

(PAD). PAD menurut Halim (2004 : 67) merupakan “ semua penerimaan

(7)

Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos

Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos

Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos

Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam (Isdijoso, 2002).

Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan

menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli

Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber

pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal

(Elita dalam Pratiwi, 2007).

Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk

menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan

keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai seluruh

penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan daerah otonom

kepada bantuan pusat diharapkan seminimal mungkin. Semakain besar

kontribusi yang dapat diberikan oleh PAD terhadap APBD berarti semakin

kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat.

PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian

daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif

mempunyai kemungkinan untuk memiliki pendapatan per kapita yang

lebih baik (Harianto dan Adi, 2007). Apabila suatu daerah PAD-nya

meningkat maka dana yang dimiliki pemerintah akan meningkat pula.

Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintah, karena dapat digunakan

(8)

PAD menurut Halim (2004:67) merupakan “Semua penerimaan

daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. PAD hanya

merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara

disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah

dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya

dapat ditambah sebagai sumber pendanan penyelenggaraan pemerintahan

di daerah. Keseluruhan penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam

APBD. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD,

proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi “derajat

kemandirian ” keuangan suatu pemerintah daerah.

Pendapatan asli daerah merupakan sumber murni daerah yang terdiri dari:

a. Pajak Daerah

b. Retribusi Daerah

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri 13/2006

adalah terdiri dari :

(9)

penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan.

2.1.4 Dana Perimbangan

Dalam Ketentuan Umum UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud

dengan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari

penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang

dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi. Perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem hubungan

keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah,

sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk

penyerahan sebagian wewenang pemerintahan.

Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang

berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan

pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada

daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat yang sangat baik (Widjaja 2002:129).

(10)

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, mengalokasikan sejumlah dana dari APBN sebagai dana

perimbangan yang terdiri atas :

1. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada

daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana bagi hasil bersumber dari :

a. Pajak

DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari

penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan

Pasal 21.

Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari

Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

1. DBH PBB

Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan

10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah dan 90%

(sembilan puluh persen) untuk daerah. DBH PBB untuk

daerah sebesar 90% (sembilan puluh persen) dibagi

(11)

persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 64,8%

(enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk

kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9% (sembilan persen)

untuk biaya pemungutan. Bagian Pemerintah sebesar 10%

(sepuluh persen) dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan

kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud

dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6,5% (enam lima

persepuluh persen) dibagikan secara merata kepada seluruh

kabupaten dan kota, dan 3,5% (tiga lima persepuluh

persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota

yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan

pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana

penerimaan yang ditetapkan.

2. DBH BPHTB

Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20%

(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan

puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar

80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai

berikut: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang

bersangkutan; dan 64% (enam puluh empat persen) untuk

kabupaten/kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah sebesar

20% (dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi yang sama

(12)

BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB

tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB

dilaksanakan secara mingguan. Penyaluran DBH BPHTB

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2009.

3. DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21

Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21

dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen). DBH

PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagi dengan rincian sebagai

berikut: 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan;

dan 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam

provinsi yang bersangkutan. DBH PPh WPOPDN dan PPh

Pasal 21 dibagi dengan rincian berikut: 8,4% (delapan empat

persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak

terdaftar; dan 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh

kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan

bagian yang sama besar.

b. Sumber Daya Alam

DBH yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan,

pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,

(13)

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar

daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

Desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota.

Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah :

a. Dana Alokasi Umum (DAU), ditetapkan sekurang-kurangnya 26%

dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

b. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/

Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi

Umum sebagaimana ditetapkan diatas.

c. Dana Alokasi Umum (DAU), untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu

ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk

Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/

Kota yang bersangkutan.

d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan

proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia yang telah

ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi,

Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan

(14)

selisih dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal.

Kebutuhan fiskal merupakan persentase bobot daerah yang dikalikan

dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, indeks

kemahalan kontruksi, indeks pembangunan manusia dan indeks PDRB

perkapita yang kemudian hasil dari persentase perhitungan tersebut

dikalikan dengan rata-rata total belanja daerah. Sedangkan kapasitas

fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan Dana

Bagi Hasil (DBH).

Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh

dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang

berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Yani (2008:142), “DAU bertujuan untuk pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk

mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui

penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi

daerah.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana alokasi khusus merupakan dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan

tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Alokasi DAK

dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak

(15)

Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan

Undang–Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan

tersedianya dana dalam APBN. DAK disalurkan dengan cara

pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas

umum daerah. Oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK

tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan,

penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.

Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan

kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan

dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian

kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya:

kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis

investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil,

saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan

yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki konsep yang

sama dengan penelitian ini, antara lain :

1. Habriani (2009)

Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap

(16)

mengambil sampel sebanyak 25 Kab/Kota di Sumatera Utara selama

periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara

parsial, hanya lain-lain PAD yang sah yang berpengaruh signifikan positif

terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan, keseluruhan

variabel yang terdapat dalam PAD berpengaruh signifikan positif terhadap

belanja langsung.

2. Hariani (2010)

Penelitian yang berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Langsung di Pemerintah

Kab/Kota di Sumatera Barat ini mengambil sampel sebanyak 10 Kab/Kota

di Sumatera Barat selama periode 2005 sampai 2007. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa kedua variabel independen berpengaruh positif

terhadap belanja langsung secara bersama-sama, dan secara parsial Dana

Aloksi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung dan

Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap

Belanja langsung.

3. Lestari (2010)

Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja

Langsung pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi selama

periode 2004–2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga

variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara

(17)

berpengaruh terhadap Belanja Langsung, sedangkan Pendapatan Asli

Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak berpengaruh signifikan

positif terhadap Belanja Langsung.

4. Indraningrum (2011)

Penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Langsung (Studi Pada

Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah) selama periode

2007-2009. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh

positif dan signifikan terhadap Belanja Langsung. Hal tersebut berarti

Pemerintah Daerah dapat memprediksi anggaran Belanja Langsung

didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum

(18)

PAD Daerah dan Dana Bagi Hasil masing-masing tidak

Kerangka konseptual merupakan sistensi atau ekstrapolasi dari tinjauan teori

yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan

tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis. Jadi

kerangka konseptual berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi

(19)

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau

pun masalah yang ada dalam peneliti.

Penelitian ini menggunakan empat variabel independen yaitu PAD, DAU,

DAK, dan DBH serta satu variabel dependen yaitu belanja langsung. PAD (X1),

DAU (X2), DAK (X3), dan DBH (X4) merupakan sumber dana yang mencirikan

otonomi daerah yang sesungguhnya yang dialokasikan sebagian untuk belanja

langsung (Y).

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis menurut Erlina (2007:41), menyatakan hubungan yang diduga

secara logis antara dua variabel atau lebih dalam hubungan preposisi yang dapat

diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang

diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

H1: PAD berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung.

H2: DAU berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung. PAD

𝑋1

DAK

𝑋3 DAU

𝑋2

DBH

𝑋4

Belanja Langsung

(20)

H3: DAK berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung.

H4: DBH berpengaruh secara parsial terhadap belanja langsung

H5: PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh secara simultan terhadap

Referensi

Dokumen terkait

From these results, it was concluded that weaning and yearling weight of Bali cattle can be estimated using simple linear body measurement of heart girth, body length

penelitian maka judul penelitian ini adalah “ PENGARUH PENGELOLAAN KELAS DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI (Survey Pada

Untuk mengaplikasikan hasil pembelajaran pada Penelitian Pendidikan Fisika digunakan program Matlab dengan menggunakan optimasi dari suatu persamaan gerak bola

membaca kembali transkrip hasil wawancara dan mengutip berbagai pernyataan yang bermakna, menguraikan arti yang ada dalam pernyataan yang signi fi kan untuk menemukan kata

An increase in motorcycle performance during stationary and road tests was attributed using natural zeolite or coal-fly ash as air filter because the zeolite has a

Simpulannya yakni terdapat pengaruh pemberian tomat dan zink terhadap jumlah oosit tikus putih betina galur Sprague dawley yang diinduksi gelombang

Oleh karena itu masalah abu terbang batubara harus segera diselesaikan agar tidak terjadi penumpukan dalam jumlah yang besar baik di Indonesia maupun di Wilayah

One of it is PhET simulation (Physics Education and Technology). PhET is an interactive simulation that is very suitable to be applied in education. PhET was