• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Rekonstruksi Bahasa Melayu Langkat, Bahasa Melayu Serdang, dan Bahasa Melayu Panai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Rekonstruksi Bahasa Melayu Langkat, Bahasa Melayu Serdang, dan Bahasa Melayu Panai"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa terjadi karena antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak memiliki hubungan wajib. Misalnya dalam bahasa Indonesia untuk menyebutkan sebuah aktivitas memasukkan sesuatu ke dalam mulut, mengunyah lalu menelannya disebut makan, lalu dalam bahasa Inggris disebut eat.

Salah satu bahasa yang kita kenal adalah bahasa Melayu. Adapun bahasa Melayu yang menjadi bidang kajiannya terbatas pada bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara khususnya bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Serdang, dan bahasa Melayu Panai. Peneliti memilih ketiga bahasa ini yaitu bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Serdang, dan bahasa Melayu Panai berdasarkan persamaan kosakata dari ketiga bahasa di atas sehingga peneliti merasa tertarik untuk melihat bagaimana korespondensi bunyi vokal dan konsonan dari ketiga bahasa yang dibandingkan tersebut dan perlu pula dilihat bagaimana wujud leksikon proto dari ketiga bahasa tersebut. Peneliti juga melihat bahwa penelitian ini akan dapat membantu menambah pengetahuan masyarakat mengenai bahasa Melayu secara lebih mendalam. Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk kepentingan pembelajaran di sekolah – sekolah pada pelajaran bahasa daerah mengenai bagaimana menentukan bentuk proto atau bentuk tua dari bahasa Melayu yang ada di Sumatera Utara.

(2)

Menurut Sinar (2002:1) di dalam Kronik Dinasti T’ang di Cina, sudah ada tertulis nama kerajaan di Sumatera “MO-LU-YUE” ditulis dalam aksara dan logat cina. Penulisannya pada tahun 644 dan 645 Masehi. Pada abad ke-18 orang Barat, terutama Inggris dan Belanda yang mulai aktif di Nusantara, menganggap semua penduduk Nusantara dan Semenanjung Malaya karena warna kulit dan profil tubuh hampir sama, serta bisa mengerti bahasa Melayu selaku lingua franca, menyebut bangsa pribumi ini dengan nama bangsa Melayu. (Sinar, 1987 : 4). Banyak pendapat, antara lain menurut Tuur (dalam Wijk, 1985) menganggap bahwa asal-usul Melayu itu berarti ‘penyebrang’, kepada agama Islam karena agama Islam di kawasan Hindia sangat diterima dengan baik oleh orang Melayu.

Bahasa Melayu termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu – Polynesia atau dikenal dengan Proto Austronesia. Menurut Ophuijsen (1983 : xxiv) rumpun bahasa Austronesia kawasan bagian Barat membentang dari Malagasi sampai Pulau Rapa Nui (dekat Amerika Selatan) pada bagian Timur ; dari Taiwan pada bagian Utara sampai ke Selandia Baru pada bagian Selatan. Rumpun bahasa Austronesia juga menunjukkan kekerabatan dengan beberapa bahasa yang dituturkan di sebagian Hindia Belakang, padahal kawasan bahasa itu sampai masuk ke India. Bellwood (2000 : 142) memperkirakan jumlah bahasa Austronesia mencapai sekitar 1.200 bahasa dan merupakan rumpun bahasa yang jumlah anggotanya terbesar di dunia dan paling luas penyebaran geografisnya. Penyebaran geografis bahasa-bahasa Austronesia ini relatif tidak terputus, kecuali di daerah pinggiran Madagaskar dan Vietnam bagian Selatan yang terisolasi akibat ekspansi orang Vietnam belakangan ini. Pater Schmidt (dalam Ophuijsen 1983 : xxiv) membedakan bahasa Austronesia ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:

(3)

2. Kelompok Melanesia, dalam kawasan ini terdapat sejumlah bahasa peralihan Melanesia-Polinesia sedangkan di Irian dan beberapa pulau lain ada juga bahasa-bahasa Papua.

3. Kelopok Polinesia (Selandia Baru sampai kira-kira 110° garis bujur barat).

Selanjutnya Blust (dalam Bellwood, 2000 : 152) menggolongkan rumpun bahasa Austronesia ke dalam dua subkelompok, yaitu Melayu Polinesia dan Formosa. Subkelompok Melayu Polinesia mencakup semua bahasa Austronesia yang tidak berlokasi di Taiwan. Bahasa Formosa sendiri sering dianggap sebagai subkelompok besar, tetapi penelitian belakangan ini mengungkapkan bahasa Formosa merupakan satu atau lebih subkelompok utama. Penelitian mengenai pembagian rumpun bahasa Austronesia ini terus dilakukan oleh para ahli. Penggolongan Blust dianggap cocok sekali dengan bukti arkeologis dari Kepulauan Asia Tenggara. Adapun penggolongan subkelompok bahasa Austronesia menurut Blust (dalam Bellwood, 2000:152) adalah sebagai berikut:

1. Bahasa Formosa

2. Bahasa Melayu – Polinesia (semua bahasa di luar Formosa menurut Blust, meskipun Reid (1982) mengecualikan beberapa bahasa Filipina bagian utara dari bahasa Melayu- Polinesia dan menempatkannya dalam satu kelompok yang terpisah langsung.)

3. Bahasa Melayu – Polinesia Barat (Filipina, Vietnam, Madagaskar, Malaysia, Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa bagian barat, dan dua bahasa di Mikronesia Barat yaitu Palau dan Chamoro).

4. Bahasa Melayu – Polinesia Timur – Tengah.

(4)

7. Halmahera Selatan – Nugini Barat.

8. Bahasa Oceania ( semua bahasa Melayu – Polinesia bagian timur).

Selanjutnya menurut pakar linguistik lain, yaitu Dyen (1965 ) mengelompokkan bahasa Austronesia menjadi dua kelompok besar. Dyen memilah bahasa Austronesia pertama-tama dengan pola dua kelompok: kelompok Melayu-Polinesia dan Irian Timur Melanesia. Pada tahapan kedua Dyen membagi masing-masing kelompok itu berdasarkan pola tripilah. Pola tripilah ini bisa dilihat pada pengelompokan Melayu Polinesia menjadi kelompok Hespersonesia, Maluku (Moluccan Linkage), dan Heonesia. Kemudian kelompok Maluku dibagi lagi menjadi kelompok Sula-Bacan, Ambon Timur, dan Halmahera Selatan-Irian Barat. Berdasarkan geografi dialek, Paitoon (1999 : 1) membagi bahasa Austronesia menjadi dua, yaitu bahasa Austronesia Barat dan bahasa Austronesia timur. Bahasa Austronesia Barat dibagi atas bahasa Hesperonesia (Indonesia Barat) dan Papua sedangkan bahasa Austronesia Timur dibagi atas bahasa Heonesia (Polinesia dan Mikronesia) dan bahasa Melanesia (Melanesia dan Pantai Timur Irian).

Penelitian ini mengkaji tentang bahasa Melayu Langkat, bahasa melayu Serdang, dan bahasa Melayu Panai. Bahasa Melayu Langkat, selanjutnya dalam pembahasan disebut dengan BML. BML adalah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu yang ada di kawasan Kabupaten Langkat, sebuah kabupaten yang terletak di Sumatera Utara, Indonesia dengan ibukotanya Stabat. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 6.272 km² dan berpenduduk sejumlah 902.986 jiwa tahun 2000).

(5)

Bahasa Melayu Panai selanjutnya dalam pembahasan disebut dengan BMP. BMP adalah bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Melayu yang ada di kawasan Kabupaten Labuhanbatu. Kabupaten Labuhanbatu adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Ibukotanya Rantau Parapat. Kabupaten Labuhanbatu terkenal dengan hasil kelapa sawit dan karet. Pada mulanya luas kabupaten ini adalah 9223,18km, sedangkan jumlah penduduknya sebanyak 1.431.605 jiwa Labuhanbatu Utara maka luas kabupaten ini menjadi 2562,01km dan penduduknya sebanyak 857.692 jiwa (2008). Batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Selat Melaka. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas Utara. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Riau.

Ketiga bahasa ini merupakan satu rumpun dan memiliki sebagian besar kosakata yang sama, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Bahasa Melayu Langkat

Bahasa Melayu

Serdang Bahasa Melayu Panai Gloss

anaʔ anaʔ anaʔ anak

baca baca baca baca

cocaʔ cicaʔ cicaʔ cocak

daun daun daun daun

gigi gigi gigi gigi

(6)

lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat (Keraf, 1996 : 40).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana korespondensi bunyi vokal dan konsonan yang terjadi dari ketiga bahasa

yang dibandingkan (Melayu Langkat, Melayu Serdang, dan Melayu Panai), dan 2. Bagaimana rekonstruksi Proto Melayu dari ketiga bahasa yang dibandingkan (Melayu

Langkat, Melayu Serdang, dan Melayu Panai) 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis korespondensi bunyi vokal dan konsonan yang terjadi dari ketiga bahasa yang dibandingkan (Melayu Langkat, Melayu Serdang, dan Melayu Panai), dan

2. Untuk menganalisis rekonstruksi Proto Melayu dari ketiga bahasa yang dibandingkan (Melayu Langkat, Melayu Serdang, dan Melayu Panai).

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Memperkaya khasanah penelitian kekerabatan bahasa khususnya korespondensi bunyi vokal dan konsonan serta rekonstruksi bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Serdang, dan bahasa Melayu Panai.

b. Sebagai sumber acuan bagi para linguis dan para peneliti dalam penelitian –

(7)

c. Sebagai masukan kepada pemerintah kabupaten Langkat, Serdangbedagai,Labuhan Batu, dan Provinsi Sumatera Utara agar dapat dijadikan dasar bagi kebijakan lokal dala membangun bahasa daerah.

Sedangkan manfaat yang diharapkan secara praktis adalah:

a. Untuk menggugah minat generasi muda untuk mempelajari bahasa daerah guna

pelestarian bahasa tersebut.

b. Sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang melakukan penelitian yang

relevan untuk masa yang akan datang. 1.4.Klarifikasi Istilah

Klarifikasi istilah yang digunakan guna mempermudah pemahaman penelitian ini hal ini akan dipaparkan secara singkat yaitu:

Variasi dalam bahasa dapat berupa perbedaan ucapan seseorang dari waktu ke waktu, maupun perbedaan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tetapi, di antara variasi-variasi yang tampaknya tidak terbatas ini, diketahui bahwa variasi-variasi itu memperlihatkan pula pola-pola tertentu. Pola-pola itu ada yang dipengaruhi pola-pola sosial, ada pula yang bersifat kedaerahan atau geografis. (Keraf, 1996 : 143). Variasi dapat berupa variasi bunyi, variasi leksikal, variasi morfologis, dll. Variasi bahasa diantaranya terdiri atas dialek dan idiolek. Idiolek merupakan ciri khas yang terdapat pada ujaran seseorang, sedangkan dialek adalah ciri khas ujaran pada sekelompok individu yang memiliki cir-ciri ujaran yang sama.

Korespondensi bunyi merupakan istilah lain dari hukum bunyi. Hukum bunyi diganti karena istilah ini mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat. (Keraf, 1996 : 49). Korespondensi bunyi pada hakikatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antarbahasa lebih lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat. (Keraf, 1996 : 40)

(8)

Batak Mandailing : bintang

Dari data tersebut di atas maka diperoleh perangkat korespondensi berikut: /b – b - b

/i – i - i /n – t - n /t – t - t /a – a - a /ŋ – ŋ – ŋ

Semakin banyak data yang dibandingkan maka semakin bahnyak pula kemungkinan untuk memeroleh perangkat korespondensinya.

Dalam linguistik historis komparatif, inovasi mengandung pengertian bahwa unsur-unsur itu tidak harus merupakan unsur yang sama sekali baru, yang tidak diturunkan dari bahasa purba, tetapi dapat juga berupa unsur pewarisan dari bahasa purba yang telah mengalami perubahan sesuai dengan kaidah perubahan bunyi (adaptasi fonologi) dalam bahasa turunannya.(Mahsun, 1995 : 84)

Selanjutnya Mahsun (1995 : 85) menguraikan ciri-ciri inovasi yaitu:

1) Unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru, yang tidak memiliki kognat dalam bahasa lain.

2) Unsur itu memiliki kesamaan dalam bahasa lain, bukan karena pewarisan etimon protobahasa (melainkan hasil inovasi internal yang dipinjam oleh bahasa penerima) tetapi keberadaan unsur itu tidak sesuai dengan sistem (kaidah perubahan bunyi) bahasa (penerima) dan atau distribusi unsur itu terbatas dibandingkan dengan distribusi dalam bahasa lain yang diduga sebagai bahasa sumbernya.

3) Unsur itu memiliki kognat dalam bahasa lain karena pewarisan dari protobahasa yang

sama, namun pola pewarisannya (kaidahnya) memperlihatkan kekhasan, tidak sama dengan bahasa lain yang juga sama-sama mewarisi etimon itu.

(9)

Macam-macam perubahan bunyi dapat dibedakan berdasarkan tipe berubahan bunyi. Tipe perubahan bunyi lebih meneropong perubahan bunyi secara individual, yaitu semata-mata mempersoalkan bunyi proto itu tanpa mengaitkannya dengan fonem-fonem lain dalam lingkungan yang dimasukinya.sebaliknya macam-macam perubahan bunyi didasarkan atas hubungan bunyi tertentu dengan fonem-fonem lainnya dalam sebuah segmen atau dalam lingkungan yang lebih luas. (keraf, 1996: 85). Pola – pola perubahan bunyi yang sering ditemukan menurut Mahsun (1995: 26-28) adalah

• peleburan (merger), merupakan penggabungan dua fonem atau lebih menjadi satu fonem.

• perengkahan (split), merupakan gejala perubahan satu fonem membelah menjadi dua fonem

atau lebih.

• penunggalan (monophonemization),

• penggugusan (diphonization), merupakan suatu perubahan gugus fonem menjadi dua fonem

bergugus.

• peluluhan bunyi (phonemik loss), merupakan perubahan bunyi berupa hilangnya fonem baik

pada posisi awal, tengah, maupun akhir.

Di samping itu Keraf (1996 : 85-94) mengemukakan macam – macam perubahan bunyi didasarkan pada hubungan bunyi tertentu dengan fonem-fonem lainnya dalam sebuah segmen atau dalam lingkungan yang lebih luas.perubahan tersebut yaitu:

• Asimilasi, merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang berbeda dalam

bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang sama.

• Disimilasi, merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang sama dalam

bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang berbeda. • Perubahan bunyi berdasarkan tempat, merupakan perubahan yang terjadi akibat perubahan

tempat. Macam-macam perubahan ini : metatesis, aferesis, sinkop, apokop, protesis, epentesis, dan paragog.

(10)

seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologinya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu baha

Referensi

Dokumen terkait

Terimakasih juga kepada seluruh staff BATAN atas ilmu yang sangat bermanfaat, nasehat yang membangun, atas motivasi dan arahan yang telah diberikan selama

Diharapkan kepada Pembaca yang melakukan proses enkripsi dan dekripsi file ataupun teks untuk menggunakan kunci yang lebih panjang dan lebih variatif antara huruf dan angka

Jadi tujuan pembelajaran harus menunjukkan tingkah laku akhir atau hasil belajar yang dituntut dapat dilakukan siswa sebagai bukti usaha belajarnya telah berhasil.. KD

Asam lemak bebas (FFA) yang dihasilkan dalam proses pembuatan minyak goreng ini berupa zat padat, dikenal dengan nama distilat asam lemak minyak sawit (DALMS) atau Palm Fatty Acid

Iklan billboard yang telah dirancang memiliki beberapa alternatif dengan konsep yang sesuai dengan tempat wisata yaitu keceriaan.Desain iklan billboard yang telah

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan individu dalam mengatur emosinya terkait dengan cara mereka merasakan,

: Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Jika terduga bahwa masih ada asap, petugas penolong harus mengenakan

Abaningi kweLobukholwa bakholelwa ukuthi uJesu uyingxenye kaZi- qu-zintathu “Ongcwele.” Kodwa iBhayibheli alifundisi ukuthi uNkulunkulu ungabantu abathathu koyedwa?. Futhi