• Tidak ada hasil yang ditemukan

UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTU"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK MENINGKATKAN

KETERIKATAN KERJA KARYAWAN

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Profesi Psikologi

Program Studi Magister Profesi Psikologi Minat Utama Psikologi Industri dan Organisasi

Diajukan Oleh Farisa H. Wedhalaksmi

08/266804/PPS/1707

Kepada

PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

▸ Baca selengkapnya: contoh format laporan umpan balik dari teman sejawat doc

(2)

▸ Baca selengkapnya: catatan umpan balik hasil supervisi

(3)
(4)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Lampiran ... vii

Ucapan Terima Kasih ... .. viii

Abstrak ... 1

Pengantar ... 1

Metode ... 14

Subjek Penelitian ... 14

Definisi Operasional ... 15

Alat Ukur... 15

Rancangan Eksperimen ... 17

Manipulasi ... 19

Prosedur ... 19

Hasil ... 25

Statistik Deskriptif... 25

Uji Prasyarat………. ... 26

Uji Hipotesis ... 26

Diskusi ... 28

Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

(5)

DAFTAR GAMBAR

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sebaran Butir Pernyataan Skala Keterikan Kerja... 17 Tabel 2. Statistik Deskriptif... ... 25

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Penelitian... 38

Lampiran B. Data Penelitian ... 39

Lampiran C. Hasil Analisis Kuantitatif ... 41

Lampiran D. Cek Manipulasi... ... 45

Lampiran E. Hasil Cek Manipulasi... ... 48

Lampiran F. Hasil Evaluasi Pelatihan ... 57

Lampiran G. Inform Consent Peserta Penelitian ... 59

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas terselesaikannya tesis ini, penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. IJK Sito Meiyanto, selaku dosen pembimbing, Bapak Drs. Haryanto FR., MA., Psi, Bapak Drs. Rachmat Hidayat, S.Psi., MSc., Ph.D dan Ibu Dra. Anita Lestari, Msi., Psi selaku dosen

penguji atas semua bimbingan dan arahannya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kartika Rizki Astuti, M.Psi., Psi atas masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan modul dan kesediaannya

menjadi trainer penelitian ini.

Terima kasih kepada PT. Garuda Maintenance Facilities Aero-asia atas segala kerjasamanya dalam penelitian ini.

Tak lupa, ucapan terima kasih diucapkan kepada orang tua dan adik tersayang, suami tercinta Zaid Muttaqien, yang terkasih Jasmine Zaida, juga kepada pihak pengelola Magister Profesi Psikologi dan teman-teman MAPRO angkatan V yang telah

memberikan dukungan luar biasa kepada penulis sepanjang menempuh masa pendidikan di Magister Profesi Psikologi UGM.

Terakhir dan paling utama, Alhamdulillahi robbil alamin. Segaja puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah membukakan pintu ilmu dan meminjamkan sedikit pengetahuan kepada penulis. Sesungguhnya, seluruh ilmu yang ada di dunia hanyalah

(9)

UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK

MENINGKATKAN WORK ENGAGEMENT KARYAWAN

Farisa H. Wedhalaksmi

Intisari

Penelitian terdahulu telah membuktikan adanya hubungan antara permasalahan kinerja dengan keterikatan kerja (work engagement) karyawan. Tingkat keterikatan kerja karyawan dipengaruhi oleh job demands dan job resources. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas pemberian umpan balik sebagai salah satu jenis job resources terhadap keterikatan kerja karyawan. Umpan balik berdasarkan hasil assessment centre dipilih karena pertimbangan objektivitas terhadap proses pengambilan data. Asesor sebagai perwakilan dari pihak perusahaan diberikan pelatihan umpan balik untuk menjamin kualitas pemberian umpan balik. Subjek penelitian merupakan para pimpinan lini yang direkomendasi untuk mengikuti assesssment centre. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen yaitu untreated control group design with pretest-posttest dengan melibatkan 16 peserta asesmen yang dibagi menjadi kelompok eksperimen (n=8) dan kelompok kontrol (n=8 orang). Variabel keterikatan kerja diukur dengan 17 aitem skala dari Ulrich Work Engagement Scale (UWES) yang telah diadaptasi. Hipotesis diuji dengan menggunakan analisis kovarian (ANAKOVA) dengan menempatkan skor pra-tes sebagai kovarian. Penelitian ini menghasilkan bukti bahwa pemberian umpan balik hasil assessment centre dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan (F = 82,805, p<0,05). Nilai keterikatan kerja pada kelompok yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak diberi perlakuan.

Kata kunci: keterikatan kerja, umpan balik, assessment centre

Abstract

Previous research had verified correlation between performance problems and the

work engagement. Employees’ work engagements were influenced by job

demands and job resources. This study aimed to measure the effectiveness of feedback as one kind of job resources on employee engagement. Feedback based assessment centre report was selected due to the objectivity of the data collection process. Assesors as the company representative were being trained to deliver feedback in order to ensure quality of the feedback delivery. The subjects were supervisors recommended by company to attend assessment centre. This study used experimental design that was untreated control group design with pretest-posttest, involving 16 participants which were divided into an experimental group (n=8) and a control group (n=8). Work engagement was measured by 17 item Ulrich Work Engagement Scale (UWES) that had been adapted. Hypothesis was tested by using analysis of covariance (ANCOVA) technique by placing the pretest score as a covariant. The study produced evidence that feedback based assessment centre can increase employee work engagement (F = 82,805, p<0,05). The value of work engagement in the group treated with feedback was higher than the untreated group.

Keywords: work engagement, feedback, assessment centre

Pengantar

(10)

2009). Oleh sebab itu hanya perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif saja lah yang mampu bertahan dan memenangkan persaingan bisnis tersebut.

Pertumbuhan industri penerbangan turut meningkatkan peluang bisnis perawatan pesawat di Indonesia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir kecenderungan pasar perawatan pesawat di Amerika dan Eropa beralih ke kawasan Asia Pasifik. Hanya saja, bisnis perawatan pesawat di Indonesia masih rawan direbut pihak asing. Saat ini, dari seluruh permintaan jasa perawatan pesawat udara dalam negeri, Indonesia hanya mampu memenuhi 30% dari seluruh permintaan tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena industri jasa perawatan pesawat dalam negeri masih kalah bersaing dengan industri jasa perawatan pesawat di luar negeri.

PT. Garuda Maintenance Facilities (PT. GMF) sebagai perusahaan perawatan pesawat di Indonesia, saat ini sedang mengembangkan kapabilitasnya untuk mengantisipasi pertumbuhan industri aviasi yang ditandai dengan kehadiran jenis-jenis pesawat baru. Kini PT. GMF telah mendapatkan lisensi untuk merawat pesawat Bombardier buatan Kanada. Selain pengembangan kapabilitas, PT. GMF juga mengembangkan kapasitasnya untuk menangani pesawat dengan jenis Boeing B737-NG dan Airbus A320 sebagai dua tipe pesawat yang paling banyak digunakan maskapai penerbangan, karena sifatnya yang efisien dalam penggunaan bahan bakar. Pengembangan kapasitas ini juga dilandasi adanya rencana PT. Garuda Indonesia sebagai induk perusahaan untuk menggandakan jumlah pesawatnya dari kondisi saat ini yang berjumlah 92 pesawat, menjadi 194 pesawat di tahun 2015.

Hanya saja, upaya perluasan jangkauan bisnis perusahaan masih terhambat karena kualitas hasil kerja yang belum memadai. Berdasarkan wawancara awal dengan pihak SDM PT. GMF pada akhir bulan Juli 2012, produktivitas perusahaan masih belum optimal, ditandai dengan masih adanya keterlambatan dalam penyelesaian perawatan pesawat yang disebut sebagai Turn-around Time (TAT) dan masih tingginya biaya yang dikeluarkan akibat ketidaksempurnaan hasil perawatan pesawat, yang disebut juga sebagai Cost of Poor Quality (COPQ).

Permasalahan terkait kinerja berkaitan erat dengan keterikatan kerja (work engagement) karyawan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa keterikatan kerja

(11)

Pada unit Line Maintenance maupun Base Maintenance, kurangnya semangat untuk menunjukkan hasil kerja yang prima ditunjukkan para pimpinan lini (supervisor) sehingga hal ini memicu penurunan motivasi karyawan di bawah tanggung jawabnya. Sikap apatis yang disebabkan karena masalah ketersediaan material juga ditunjukkan karyawan di unit Line Maintenance, Base Maintenance dan Component Maintenance. Sementara kejenuhan dari unit Material Management

merupakan masalah tersendiri yang sering berakibat pada ketidakdisiplinan melakukan koordinasi penggunaan material dan proses dokumentasi penggunaan material. Karyawan di unit Engine Maintenance juga kurang menunjukkan sikap proaktif untuk menyajikan kelengkapan peralatan sehingga memperpanjang proses kerja bagi unit-unit produksi. Kurangnya kesadaran untuk menindaklanjuti hasil temuan menyebabkan kualitas pengecekan dari unit Quality Assurance & Safety menjadi dipertanyakan. Pemeriksa (inspector) di unit ini juga sering mengalami kejenuhan karena pekerjaan yang bersifat administratif. Rendahnya semangat kerja karyawan dalam memberikan kontribusi yang optimal pada akhirnya berdampak pada pencapaian target di masing-masing unit kerja.

Beberapa tantangan yang dihadapi PT. GMF secara umum berkaitan dengan pemenuhan material yang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Hal ini sering mengakibatkan ketidaksesuaian spesifikasi barang yang dibutuhkan atau keterlambatan dalam pemenuhan material. Akibatnya para teknisi harus menunda pekerjaannya hingga material yang dibutuhkan tersedia sehingga target penyelesaian perawatan pesawat tidak tercapai. Berdasarkan data di tahun 2011, dari target TAT sebesar 100%, unit Line Maintenence hanya dapat memenuhi 92%. Kesenjangan ini tentu saja mengakibatkan hilangnya peluang (opportunity lost) bagi pihak perusahaan jasa penerbangan. Semangat kerja di unit Line Maintenence sendiri juga tidak bisa terbilang baik. Bahkan dikatakan bahwa dari semua unit produksi yang ada, unit Line Maintenance merupakan unit kerja dengan tingkat pencapaian performa kerja dalam hal service level agreement yang paling rendah. Bila dikaitkan dengan kejenuhan yang juga dirasakan para pemeriksa di unit Quality Assurance & Safety, permasalahan COPQ ini semakin terlihat. Pesawat yang

(12)

Berdasarkan uraian sebelumnya, gambaran permasalahan yang terjadi secara umum antara lain adalah kurangnya semangat kerja dari para karyawan, adanya hambatan cenderung menurunkan dorongan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar yang diharapkan perusahaan, adanya kejenuhan dalam melakukan tugas sehari-hari yang menunjukkan bahwa karyawan kurang terinspirasi dan kurang tertantang pada pekerjaannya, serta indikasi kurangnya konsentrasi munculnya kesalahan berulang yang menunjukkan bahwa karyawan kurang terhubung dalam pekerjaannya. Gejala-gejala tersebut memberikan indikasi permasalahan mengenai keterikatan kerja karyawan. Karyawan dengan keterikatan kerja yang rendah cenderung membuang energi mereka untuk kegiatan yang tidak berguna sehingga apa yang ia kerjakan tidak mendukung performa organisasi. Semakin rendah keterikatan kerja seseorang, ia akan semakin tinggi perilaku yang merugikan perusahaan tempat ia bekerja (Johnson, 2011).

Keterikatan kerja merupakan perilaku positif dalam organisasi yang dipercaya lebih kuat memprediksi kinerja bila dibandingkan dengan kepuasan kerja dan komitmen afektif (Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008; Markos & Sridevi, 2010). Harter, Schmidt, Hayes (2002) menyatakan bahwa keterikatan kerja memberikan sumbangan sebesar 16% terhadap profitabilitas, 18% pada produktivitas, 25% terhadap turnover pada perusahaan dengan turnover tinggi, 49% turnover pada perusahaan dengan turnover rendah, 37% terhadap ketidakhadiran dan 60% pada kualitas kerja. Peningkatan keterikatan kerja sangat penting artinya bagi produktivitas perusahaan.

Keterikatan kerja adalah kondisi pikiran positif, dipenuhi hal-hal terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya semangat, pengabdian dan kekhusukan. Semangat (Vigor) ditandai dengan adanya energi dan ketahanan mental yang tinggi ketika bekerja, adanya kemauan untuk berusaha dalam suatu bidang pekerjaan, serta adanya kegigihan dalam menghadapi hambatan. Pengabdian (Dedication) merupakan kondisi ketika seseorang merasa terlibat, antusias, bangga, merasa berarti, terinspirasi dan tertantang dalam melakukan pekerjaannya. Kekhusukan (Absorption), yaitu kondisi dimana seseorang dengan gembira dan penuh perhatian terhubung dengan pekerjaannya, merasakan kondisi dimana waktu terasa berlalu dengan cepat dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004; Schaufeli, Bakker & Salanova, 2006). Karyawan yang terikat pada pekerjaannya akan memberikan intensitas yang lebih

(13)

Penyebab tinggi rendahnya keterikatan kerja karyawan dapat dijelaskan berdasakan job demand-resource model. Keterikatan kerja dibentuk oleh dua faktor utama yaitu job demands dan job resources. Job demands merupakan aspek fisik, psikologis, sosial maupun organisasional yang membutuhkan usaha dalam bentuk fisik, kognitif maupun emosional tertentu untuk memenuhinya. Meskipun job demands tidak selalu menghasilkan efek negatif, namun job demands dapat berubah

menjadi stres kerja bila disertai dengan tuntutan yang membutuhkan usaha yang besar, yang pada akhirnya dapat menimbukan efek negatif seperti depresi, kecemasan dan burnout (Schaufeli & Bakker, 2004). Dalam kasus ini, beban kerja yang bersifat rutin, pola kerja yang cenderung birokratif serta penempatan karyawan yang relatif lama di suatu unit kerja merupakan job demands yang berpotensi sebagai faktor yang mempengaruhi rendahnya keterikatan kerja karyawan. Sebaliknya, job resources merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun psikologis dari pekerjaan yang mampu: (1) mengurangi tuntutan pekerjaan dalam kaitannya dengan pengorbanan psikologis (psychological cost) yang diberikan karyawan; (2) memberikan pengaruh pada pencapaian tujuan; (3) menstimulasi pengembangan dan pembelajaran (Bakker & Demerouti, 2008; Schaufeli & Bakker, 2004).

Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris (2008) menyatakan bahwa job resources memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keterikatan kerja bila dibandingkan dengan job demands. Hal ini disebabkan karena job resources dapat menahan pengaruh negatif akibat job demands. Bakker dan Demerouti (2008) menyatakan bahwa job resources dapat berada pada tingkatan organisasi (misalnya gaji, kesempatan berkarir dan keamanan kerja), tingkatan interaksi sosial (misalnya hubungan dengan supervisor dan rekan kerja), tingkatan pengelolaan pekerjaan (kejelasan tugas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan), serta pada tingkatan tugas (keberagaman tugas, otonomi, umpan balik dan signifikansi tugas).

(14)

Koyuncu, Burke & Fiksenbaum (2006) mengajukan pengalaman ketika bekerja sebagai prediktor dari keterikatan kerja. Pengalaman ini bisa berupa kontrol, penghargaan, pengakuan kinerja dan kesesuaian nilai dengan perusahaan. Sementara, Harter, Schmidt & Hayes (2002) mengemukakan adanya empat hal yang penting dipenuhi agar memunculkan keterikatan kerja, yaitu:

1. Kejelasan harapan mengenai target kerja dan ketersediaan materi dan perlengkapan yang dibutuhkan,

2. Perasaan berkontribusi terhadap organisasi, 3. Perasaan memiliki organisasi, dan

4. Harapan atas adanya peluang untuk membahas kemajuan dan perkembangan. Penjelasan paling umum dari sejumlah uraian di atas adalah bahwa kemungkinan keterikatan kerja akan meningkat ketika karyawan yakin akan menerima kembali hasil peran kerja mereka dalam bentuk pengakuan kinerja dan peluang untuk berkembang. Mengacu pada pentingnya kebermaknaan psikologis untuk meningkatkan keterikatan kerja, diperlukan adanya suatu bentuk komunikasi dua arah antara karyawan dan pihak yang mewakili perusahaan yang berfokus untuk memfasilitasi kemajuan dan perkembangan diri karyawan. Dialog merupakan satu-satunya media penyampaian informasi secara lengkap untuk memastikan adanya pemahaman (Lee, 2011). Bila dihubungkan dengan job resource-model, maka jenis job resource yang memiliki pendekatan berupa dialog adalah pemberian umpan balik. Schaufeli, Bakker & Van Rhenen (2009) telah membuktikan bahwa keterikatan kerja karyawan dapat meningkat dengan adanya jenis intervensi ini.

Berdasarkan teori pertukaran sosial, perilaku muncul dari keinginan untuk meminimalisasi pengalaman negatif dan memaksimalkan pengalaman positif. Ketika karyawan merasa organisasi memberi imbalan atas pengetahuan, keterampilan dan kinerja yang mereka berikan, maka karyawan akan membalasnya dengan perilaku dan sikap positif di lingkungan kerja (Willis, 2010).

(15)

mengatur upaya dan hasil kerja karena di dalamnya berisi peta sukses individu. Karena sifatnya sebagai informasi, maka umpan balik harus disampaikan secara netral dan tidak menimbulkan reaksi yang bersifat emosional. Dari ketiga definisi di atas dapat ditarik garis merah bahwa umpan balik adalah suatu aktivitas yang dilakukan pihak lain berupa penyampaian informasi mengenai status dan kualitas dari beberapa aspek kinerja aktual individu terhadap suatu standar kerja yang diharapkan .

Umpan balik tidak selalu menyenangkan sehingga dalam dialog interpersonal memiliki resiko untuk menimbulkan menghasilkan emosi negatif yang menghambat proses pembelajaran (Comer, 2007). Kluger dan DeNisi (1996) bahkan menyatakan bahwa umpan balik dapat memberikan efek negatif rata-rata sebesar 38%. Umpan balik yang tidak menyenangkan dapat berujung pada sikap negatif, kurangnya penerimaan terhadap hasil umpan balik dan keengganan untuk memperbaiki perilaku berdasarkan umpan balik yang diterima. Umpan balik harus dibangun atas informasi yang menggambarkan permasalahan, tantangan, ide dan peluang yang ada (Lee, 2011).

Untuk mendapatkan kualitas yang tinggi, umpan balik harus bersifat membangun, yaitu umpan balik yang berfokus pada tugas atau target jabatan, tidak kepada individual. Umpan balik mempunyai 2 peran yaitu membantu individu untuk memahami informasi kinerja dengan membandingkannya terhadap standar serta dapat berfokus pada perbaikan kinerja dengan menunjukkan perilaku yang harus dipelajari (Peacock, Scott, Murray dan Morss, 2012).

Schartel (2012) merumuskan bahwa umpan balik akan efektif bila disampaikan dalam setting/ kondisi yang pantas, berfokus pada kinerja dibandingkan pada individu, spesifik dan didasarkan pada pengamatan yang objektif, menggunakan bahasa netral yang tidak menghakimi serta mengidentifikasi tindakan dan rencana pengembangan. Umpan balik yang disampaikan secara adil dan wajar akan menghasilkan penerimaan terhadap umpan balik tersebut dan reaksi-reaksi yang lebih menguntungkan terhadap organisasi (Leung, Su dan Moris, 2001).

The Ken Blancard Companies (2007) menawarkan delapan pedoman

pemberian umpan balik, yaitu sebagai berikut:

(16)

2. Kepercayaan (Trust) yaitu menumbuhkan kepercayaan dengan mempertahankan keseimbangan antara menunjukkan informasi menganai perilaku bermasalah dengan apresiasi perilaku yang diinginkan. Dalam proses ini, pemberi umpan balik perlu meminta ijin untuk melakukan umpan balik.

3. Bebas dari penilaian sepihak (Non-judgemental) yaitu menghilangkan penilaian dan penghakiman dengan berfokus pada perilaku yang menjadi masalah, bukan pada individu sehingga dalam sesi umpan balik karyawan diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Ketika proses penyampaian umpan balik, hal-hal yang disampaikan tidak dihubungkan pada hal-hal terkait kepribadian ataupun kehidupan pribadi karyawan, juga tidak berhubungan dengan kesalahan mereka di masa lalu untuk menghukumnya. Pemberi umpan balik perlu peka terhadap bahasa non-verbal dan intonasi bicara, menggunakan bahasa yang netral, mendengarkan dengan hormat dan sopan serta mengekspresikan penghargaan terhadap waktu dan usaha mereka.

4. Segera (Timely) yaitu memberikan umpan balik sesegera mungkin agar ingatan karyawan mengenai kinerjanya masih dalam titik puncak.

5. Relevan (Relevant) yaitu memberikan penjelasan yang relevan mengenai langkah terinci mengenai hal-hal yang selanjutnya harus ditempuh. Umpan balik seharusnya difokuskan untuk bergerak maju, bukan membahas tentang peristiwa di masa lalu. Langkah ini dapat dengan mudah dicapai dengan menjabarkan komponen utama dan menyampaikan informasi secara langsung dan berfokus pada bagaimana perilaku karyawan mempengaruhi perusahaan. Sesi umpan balik berusaha mengeksplorasi alasan dibalik perilaku yang ditunjukkan karyawan, dan bukan mengatasi perilaku tersebut sendiri.

6. Mempertimbangkan wewenang, kendali dan tanggung jawab karyawan dalam menangani perilaku kinerja yang tidak diinginkan.

7. Spesifik dan deskriptif (Specific and descriptive). Terdapat model situasi-perilaku-pengaruh (Situation-Behavior-Impact model) yang dapat menjadi pedoman melakukan langkah ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjabarkan situasi munculnya suatu perilaku. Hal yang kedua adalah menjabarkan perilaku meliputi karakteristik, perilaku verbal dan non-verbal yang teramati yang perlu untuk diubah atau ditingkatkan. Hal terakhir adalah menjabarkan konsekuensi dari perilaku tersebut terhadap pihak lain dan bagaimana tingkat efektivitasnya dalam menciptakan pengaruh.

(17)

dalam istilah yang membangun. Ketiga, berempati, bukan bersimpati. Keempat, mengajukan pertanyaan dalam bentuk positif dengan frase yang positif. Kelima, menggunakan kata ganti saya untuk menyatakan keprihatinan dan ketidaknyamanan terhadap perilaku tertentu untuk menghindari penilaian sepihak.

Steelman dan Rutkowski (2004) menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap umpan balik negatif dimungkinkan bila memenuhi 3 kondisi. Pertama, umpan balik yang disampaikan memiliki kualitas yang tinggi. Kedua, umpan balik didasarkan pada sumber data yang kredibel. Terakhir, umpan balik disampaikan dengan cara yang penuh perhatian.

Berbicara mengenai sumber data yang kredibel, sebagian besar perusahaan menemukan bahwa umpan balik terhadap hasil assessment centre diterima dengan lebih baik bila dibandingkan dengan umpan balik dari hasil informasi evaluatif lain seperti penilaian kinerja (Thornton & Rupp, 2006). Hal ini disebabkan karena hasil assessment centre didapat berdasarkan observasi terhadap kriteria yang diukur melalui perilaku yang spesifik berdasarkan metode dan dilakukan oleh multi-asesor. Persepsi keadilan terhadap suatu proses evaluatif akan menghasilkan penerimaan, bahkan bila individu menerima kritik terhadap kinerjanya (Leung, Su dan Morris, 2001).

Assessment centre (AC) adalah prosedur yang digunakan untuk mengevaluasi atribut perilaku atau kemampuan yang relevan terkait dengan efektivitas organisasi (Thornton & Rupp, 2006). Fokus AC adalah bukti perilaku aktual yang ditunjukkan peserta asesmen yang dapat diamati dan dievaluasi oleh asesor terlatih, berdasarkan multi-kriteria dalam beberapa simulasi langsung terkait situasi kerja sesungguhnya (Lievens, 2009). Setiap kriteria dalam AC harus dapat diukur melalui lebih dari satu jenis simulasi. Suatu simulasi pun harus dapat mengukur lebih dari satu kriteria. Asesor merupakan sebutan bagi orang yang bertanggung jawab untuk mengamati dan mengevaluasi perilaku peserta asesmen. Tugas utamanya merekam perilaku peserta asesmen dalam simulasi dan menggunakan data tersebut untuk memberikan rating pada setiap dimensi perilaku (Gatewood, Field, & Barrick, 2008).

(18)

International Task Force on Assessment Centre Guideline (2009) menyebutkan sepuluh elemen esensial dalam proses assessment centre:

1. Assessment centre dilakukan berdasarkan model kompetensi yang disusun dari proses analisis jabatan terlebih dahulu. Model kompetensi yang dimaksud berisi dimensi-dimensi yang secara jelas dapat mendeskripsikan perilaku yang dapat terobservasi melalui prosedur dalam pelaksanaan assessment centre.

2. Adanya klasifikasi perilaku setelah proses pengamatan dalam setiap simulasi. Perilaku yang ditunjukkan oleh peserta asesmen harus diklasifikasikan ke dalam kategori yang bermakna sesuai dengan dimensi perilaku pada model kompetensi yang dimiliki perusahaan.

3. Adanya teknik asesmen yang dedesain khusus untuk memberikan informasi terkait dimensi perilaku dalam model kompetensi yang dimiliki perusahaan.

4. Menggunakan kombinasi beberapa jenis metode asesmen (multi-metode). Beberapa metode digunakan dengan mempertimbangkan bahwa masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kombinasi metode ini digunakan untuk memanfaatkan masing-masing metode agar kelemahan dari salah satu jenis metode dapat diatasi dengan penggunaan metode yang lain.

5. Adanya simulasi yang mencerminkan kondisi natural pada target jabatan yang didesain untuk mengungkap perilaku yang menjadi prasyarat pada target jabatan tersebut.

6. Dilakukan oleh sekelompok asesor terlatih untuk mengoptimalkan objektifitas penilaian serta menekan bias (multi-asesor).

7. Adanya pelatihan terhadap asesor yang memastikan bahwa asesor yang terlibat dapat menunjukkan kinerja sesuai dengan pedoman pelaksanaan assessment centre.

8. Adanya prosedur sistematis yang dilakukan para asesor untuk merekam secara akurat observasi yang mereka lakukan terhadap perilaku spesifik yang ditunjukkan kandidat. Prosedur pencatatan dapat berupa cek lis, skala perilaku, maupun catatan tangan. Perekam audio maupun video dapat digunakan sebagai alat bantu dalam proses assessment centre.

9. Adanya integrasi data dari setiap perilaku partisipan yang didapatkan melalui gabungan dari informasi yang dimiliki masing-masing asesor.

(19)

Umpan balik seharusnya menjadi bagian dari setiap proses assessment centre (Ballantyne & Povah, 2004). Namun demikian, International Task Force on

Assessment Centre Guideline (2009) menyatakan bahwa keberadaan dan format pemberian umpan balik dalam suatu kesatuan assessment centre sangat dipengaruhi oleh tujuan pelaksanaan pengukuran kompetensi. Tujuan assessment center pada umumnya lebih ditekankan untuk memberikan data kepada organisasi

sebagai dasar pengambilan keputusan untuk seleksi, penempatan dan promosi sehingga umpan balik yang diberikan kepada partisipan sebatas pada rekomendasi kelayakan promosi disertai keterangan kekuatan dan kelemahan peserta secara ringkas. Umpan balik terkait dengan kelebihan dan kelemahan partisipan yang diberikan biasanya bersifat umum dan lebih singkat serta disampaikan oleh karyawan di unit SDM.

Pelaksanaan assessment centre yang ditujukan untuk kepentingan pengembangan akan menghasilkan output umpan balik berupa informasi kebutuhan dan arah pengembangan jangka pendek. Ballantyne & Povah (2004) menyatakan bahwa pihak yang paling ideal memberikan umpan balik adalah para asesor yang tidak menjadi bagian dari struktur organisasi di perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi karena alasan objektivitas. Pemberian umpan balik oleh asesor eksternal juga lebih sesuai karena dinilai lebih mampu menumbuhkan kepercayaan dan penerimaan terhadap umpan balik yang diberikan.

Kompleksnya usaha yang perlu dilakukan untuk dapat melakukan aktivitas assessment centre pada umumnya mendorong beberapa perusahaan untuk memberikan sesi umpan balik langsung kepada para partisipan sebagai upaya pengembangan. Hanya saja ada beberapa penyebab yang menjadi kendala bagi perusahaan dalam mengimplementasikan umpan balik hasil assessment centre antara lain keterbatasan sumber daya baik dalam hal tenaga (SDM), biaya, maupun saran dan prasarana; kurangnya desain pengembangan yang tersedia berdasarkan hasil assessment center dan belum tersedianya metode evaluasi terhadap hasil penugasan. Terlebih lagi seperti yang disebutkan pada International Task Force on Assessment Centre Guideline (2009), tujuan awal pelaksanaan assessment centre yang sebelumnya ditetapkan perusahaan akan mempengaruhi beberapa keputusan termasuk mengenai kualifikasi asesor serta materi seleksi dan pelatihan asesor.

(20)

melibatkan proses tatap muka dimana terjadi level kontak yang tinggi yang menuntut asesor untuk dapat membangun hubungan yang didasari rasa percaya dan empati. Selain dituntut memberikan umpan balik yang bersifat positif dan negatif dengan menyampaikan bukti-bukti perilaku yang didapatkan dari hasil assessment centre, para asesor juga dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri dari partisipan yang kemudian menjadi dasar untuk memotivasi partisipan agar terlibat dalam rencana aksi tertentu sesuai dengan rekomendasi yang diberikan.

Umpan balik sebagai sebuah intervensi merupakan tindakan yang dilakukan pihak lain untuk memberikan informasi terkait beberapa aspek dari performa individu terhadap suatu tugas (Kluger & DeNisi, 1996). Umpan balik dari hasil AC diberikan agar peserta dapat menyerap secara optimal manfaat yang terkandung dalam proses asesmen. Nilai dari informasi yang didapat dari keseluruhan proses yang dilakukan ditentukan dari seberapa efektif umpan balik ini diberikan. Dalam penelitian ini, untuk dapat meningkatkan keterikatan kerja, jenis umpan balik yang diperlukan adalah umpan balik yang komprehensif yang ditujukan ke arah pengembangan. Informasi dalam umpan balik diberikan agar peserta memahami kelebihan dan kekurangan terkait kompetensi yang dipersyaratkan untuk jabatan yang lebih tinggi. Dengan mengetahui gap kompetensinya, maka partisipan secara pribadi dapat menentukan langkah-langkah untuk pengembangan diri untuk memenuhi level kompetensi yang dipersyaratkan.

Pelatihan terhadap asesor PT. GMF terkait keterampilan dalam pemberian umpan balik masih perlu dilakukan. Sejumlah materi yang telah diberikan kepada para asesor PT. GMF setelah proses seleksi mencakup materi-materi antara lain sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap organisasi dan jenis pekerjaan yang ada di perusahaan. 2. Pengetahuan mengenai dimensi perilaku dalam model kompetensi yang

digunakan perusahaan, definisi dan hubungannya terhadap pencapaian kinerja. 3. Pengetahuan mengenai teknik asesment, konten simulasi, dimensi-dimensi

perilaku yang diungkap dalam setiap simulasi, serta contoh-contoh sampel perilaku.

4. Kemampuan untuk melakukan observasi, pencatatan dan pengklasifikasian perilaku ke dalam dimensi perilaku.

5. Kemampuan memberikan rating dan melakukan integrasi data.

6. Kemampuan untuk dapat berperan secara objektif dan konsisten dalam simulasi yang membutuhkan interaksi dengan peserta asesmen.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian didapatkan nilai koefisien korelasi Kendall Tau sebesar 0,407 dengan signifikasi 0,024 (p&lt;0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang Kementerian

Selepas tamat te mpoh 2 tahun daripada tarikh polisi mula dikuatkuasakan atau dikuatkuasakan se mula , tiada polisi yang bole h di per soalkan oleh pihak insurer atas alasan

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Utara maka BAPPEDA

total akan semakin kecil dan terbesar didapat pada kecepatan angin 5 m/s dengan pipa tanpa insulasi yaitu 11953,6 W/m dan ter kecil pada kecepatan angin 1m/s dengan , akan

Kelebihan Maple yang lain yaitu, terdapat menu yang sangat lengkap pada klik kanan pada setiap ekspresi matematis yang kita tunjuk untuk dilakukan eksekusi sesuai

Dalam buku filsafat islam karya Hasyimiyah Nasution, dia menulis bahwa Ibnu Sînâ dengan teori emanasi yang banyak dipengaruhi dari Neo- Platonisme, berpendapat

Selama masa pemerintah penjajah Hindia Belanda tampaknya mereka sengaja menjauhkan orang Jawa dari hal-hal yang berbau keprajuritan. Kalaupun ada militer di Jawa atau di