• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN RESILIENCE DITINJAU DARI JENIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEDAAN RESILIENCE DITINJAU DARI JENIS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN RESILIENCE DITINJAU DARI JENIS

KELAMIN DAN BIG FIVE PERSONALITY PADA KORBAN

PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

Aldila Putri Sandani Ika Annisa Elvira Ratri Susilaningrum Yasmin Meutia Solihati

Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan resilience ditinjau dari jenis kelamin dan big five personality pada korban pasca erupsi gunung Merapi. Penelitian ini melibatkan 47 responden terdiri dari 16 laki-laki dan 31 Perempuan yang bertempat tinggal di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan Skala Big Five Personality dari Goldberg 1993 yang diadopsi oleh Aulia (2015). Secara keseluruhan

skala Big Five Personality berjumlah 44 aitem yang berupa pernyataan. Skala resilience mengacu pada teori dan aspek dari Reivich & Shatte (2002) yang mempunyai 27 aitem berupa pernyataan. Hasil analisis data menggunakan statistic uji analisis perbedaan dua kelompok yaitu independent sample t-Test untuk uji rerata kelompok pada kelompok jenis kelamin dan korelasi product moment untuk menguji hubungan antara resilience dengan dimensi-dimensi pada big five personality. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan resilience antara laki-laki dan perempuan kemudian ada perbedaan signifikan antara resilience dengan big five personality.

(2)

PENDAHULUAN

Secara geografis Indonesia

merupakan negara kepulauan yang

terletak pada pertemuan empat

lempeng tektonik yaitu lempeng

Benua Asia, Benua Australia,

lempeng Samudera Hindia dan

Samudera Pasifik. Kondisi tersebut

sangat berpotensi sekaligus rawan

bencana seperti letusan gunung

berapi, gempa bumi, tsunami, banjir

dan tanah longsor (bnpb.go.id).

Indonesia juga dilewati oleh jalur

pegunungan aktif dunia yaitu sirkum

mediterania dan sirkum pasifik, hal

tersebut menyebabkan Indonesia

masuk pada jalur Ring of

Fire(FokusJabar.com, 2015). Letak

geografis tersebut menjadikanbanyak

pegunungan di Indonesia berstatus

aktif. Hal ini memunculkan beberapa

potensi terjadinya bencana. Salah

satu bencana besar yang memakan

banyak korban adalah meletusnya

gunung Merapi yang berada di

Yogyakarta.

Pada 26 Oktober 2010 terjadi

letusan Gunung Merapi yang lebih

besar dibandingkan dengan tahun

1872 dan telah memakan korban

lebih dari 100 orang yang meninggal

(Kompas.com, 2010). Berdasarkan

data yang diperoleh dari Badan

Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) korban meninggal terbanyak

di Kabupaten Sleman dengan jumlah

163 orang, di Sleman yang menjadi

korban meninggal luka bakar akibat

awan panas sebanyak 141 orang dan

non luka bakar sebanyak 22 orang.

Sementara di Jawa tengah lima

warga Klaten meninggal akibat luka

bakar dan sebanyak 26 orang lainnya

meninggal akibat non luka bakar.

Selain itu 498 orang menjalani rawat

inap di sejumlah rumah sakitdan

370.028 pengungsi tersebar di 687

titik pengungsian (Tribunnews.com,

2010).

Dampak yang ditimbulkan dari

erupsi Gunung Merapi tidak hanya

menelan korban jiwa saja, melainkan

menyebabkan kerugian secara

materil, infrastruktur dan

meninggalnya orang terdekat

(Eisenbruch, dalam Sales,

2005).Korban erupsi merapi

sebanyak 5,26 persen korban erupsi

Gunung Merapi mengalami

gangguan psikologis. Sejumlah

gangguan psikologis yang dialami

oleh masyarakat diantaranya

insomnia, post traumatic syndrome

(3)

schizoprenia, dan gangguan jiwa

tidak spesifik lainnya

(AntaraNews.com, 2010).

Wawancara yang dilakukan

peneliti pada korban erupsi Merapi di

Cangkringan Sleman hari Minggu,

25 September 2016 bertempat di

rumah subjek A berjenis kelamin

perempuan. Subjek menceritakan

bahwa ketika terjadinya erupsi

Gunung Merapi merasa ketakutan,

panik, dan ingin pergi ke tempat

yang aman agar selamat dari

kejadian tersebut. Hal ini sama juga

di rasakan pada subjek B berjenis

kelamin perempuan yang peneliti

wawancarai pada hari Minggu, 1

Oktober 2016 bertempat di rumah

subjek B di Cangkringan, Sleman.

Subjek B menceritakan bahwa ketika

terjadinya erupsi Gunung Merapi

merasakan ketakutan dan ingin pergi

untuk menyelamatkan diri. Kejadian

Erupsi Gunung Merapi telah berlalu

enam tahun silam, namun hal

tersebut masih menyisakan traumatis

tersendiri bagi A dan B. Hingga saat

ini A masih merasakan perasaan

takut, khwatir dan gelisah ketika

nantinya terjadi kembali Erupsi

Merapi. Berbeda dengan subjek B

yang menyatakan bahwa peristiwa

yang sudah terjadi tidak bisa kembali

lagi, B berpikir untuk bersyukur

masih diberikan kesempatan dapat

memperbaiki diri dan menjalani

hidupnya.

Tantangan bagi korban yang

selamat dari erupsi Gunung Merapi

adalah survive dalam situasi bencana

dan bertahan menjalani kehidupan

pasca erupsi Gunung Merapi.

Menurut Hodgkinson (dalam Sales,

2005) bencana alam menuntut

individu, wilayah, lingkungan dan

komunitas yang menjadi korban

untuk bangkit kembali dan

memegang kendali atas kehidupan

sekarang dan masa depannya.

Kondisi tersebut memunculkan

kemampuan untuk bangkit kembali

yang disebut dengan resilience.

Menurut Connor dan Davidson

(dalam Rinaldi, 2010) resilience

adalah ciri kepribadian yang bersifat

stabil ditandai oleh kemampuan

untuk bangkit kembali dari

pengalaman negatif dan kemampuan

menyesuaikan diri terhadap

perubahan kehidupan yang

terus-menerus.

Mengalami kejadian traumatis

tersebut dialami secara

(4)

erupsi merapi bervariasi sehingga

ada individu yang mengalami trauma

ringan, sedang, berat dan ada yang

tidak mengalami trauma. Hal

tersebut tergantung pada kapasitas

masing-masing individu dalam

mengatasinya (Ulfah, 2013).

Menurut Ahern (2006) terdapat

faktor utama yang mempengaruhi

resilience salah satunya adalah faktor

internal yaitu kepribadian.

Kepribadian merupakan pola yang

cenderung menetap baik dalam

pikiran, perasaan, dan perilaku yang

membedakan individu satu dengan

yang lain (Roberts & Mroczek,

2009). Ada beberapa pendekatan

yang dikemukakan oleh para ahli

dalam memahami kepribadian. Salah

satu teori yang digunakan adalah

teori trait, dimana teori trait

merupakan sebuah model untuk

mengidentifikasi trait-trait dasar

untuk menggambarkan kepribadian.

Trait merupakan watak yang

membedakan individu satu dengan

yang lain dalam hal perilaku,

konsistensi perilaku di sepanjang

waktu dan stabilitas perilaku di

setiap situasi (Pervin, dkk, 2005).

Para ahli masih memperdebatkan

jumlah yang pasti dari trait

kepribadian utama ini, kini sebagian

besar ahli setuju akan keberadaan

lima trait yang dikenal sebagai Big

Five (Jang dkk., 1998; Paunonen,

2003; McCrae dkk., 2005, 2006,

dalam Wade & Tavris, 2007).

Big five personality merupakan

pendekatan yang digunakan untuk

melihat kepribadian melalui trait

yang tersusun dalam lima buah

domain kepribadian. Lima trait

kepribadian itu adalah neuroticism,

extraversion, openness to experience,

agreeableness, dan

conscientiousness (McCrae & John,

dalam Saricaoglu & Arslan, 2013).

Kelima dimensi dasar tersebut

digunakan untuk menggambarkan

perbedaan dalam perilaku kognitif,

afektif, maupun sosialnya (Pervin,

dkk., 2005). Beberapa penelitian

sebelumnya menunjukan bahwa

variabel kepribadian dapat

memprediksi sikap resilensi pada

individu. Penelitian yang dilakukan

oleh Campbell-Sills, dkk (2006)

menunjukan bahwa resilience

berkorelasi negatif dengan

neuroticism dan berkorelasi positif

dengan extraversion dan

conscientiousness. Penelitian lain

(5)

(2006) menunjukan hal yang serupa,

dimana terdapat hubungan positif

antara resilience dengan

extraversion, openness to

experiencedan conscientiousness dan

berhubungan negatif dengan

neuroticism.

Penelitian sebelumnya terkait

dengan resilience dilakukan oleh

Gafur, dkk (2012) dengan judul

“Resilience Perempuan dalam

Bencana Alam Merapi : Studi di

Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan

Sleman Yogyakarta”. Penelitian

tersebut menemukan bahwa

perempuan yang menjadi korban

erupsi Merapi dapat meningkatkan

resilience dengan melewati proses

yang panjang, seperti dengan

mencari pekerjaan untuk menafkahi

keluarga. Selanjutnya, penelitian

yang dilakukan oleh Nakaya, dkk

(2006) yang berjudul “Correlations

for Adolescent Resilience Scale with

Big five personality Traits”. Subjek

dalam penelitian ini merupakan 130

sarjana di Kota Toyota, Japan.

Penelitian tersebut menemukan

bahwa yang mendukung resiliensi

pada remaja di temukan pada aspek

kepribadian Conscientiousness.

Berdasarkan penelitian di atas,

perbedaan penelitian ini dengan

sebelumnya yaitu pada penelitian ini

peneliti memiliki judul “perbedaan

resilience ditinjau dari jenis kelamin

dan big five personality korban pasca

erupsi Gunung Merapi tahun 2010”.

Peneliti menggunakan teori Conner

dan Davidson (2003) untuk

menjelaskan Resilience, sedangkan

teori Saricaoglu dan Arslan (2013)

untuk menjelaskan Big five

personality. Subjek yang digunakan

dalam penelian ini adalah korban

pasca erupsi Gunung Merapi pada

tahun 2010. Pada resilience peneliti

mengacu pada teori dan aspek dari

Reivich & Shatte (2002). Sedangkan

untuk skala Big five personality,

peneliti mengadopsi skala Big Five

Inventory yang dikembangkan oleh

Aulia (2015).

Berdasarkan uraian diatas, maka

rumusan masalah yang diajukan

dalam penelitian ini adalah “adakah

perbedaan resilience ditinjau dari

jenis kelamin dan big five personality

korban pasca erupsi Gunung Merapi

(6)

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui perbedaan

resilience ditinjau dari jenis kelamin

dan big five personality korban pasca

erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

Resilience menurut Connor

(dalam Rinaldi, 2010) adalah ciri

kepribadian yang bersifat stabil

ditandai oleh kemampuan untuk

bangkit kembali dari pengalaman

negatif dan kemampuan

menyesuaikan diri terhadap

perubahan kehidupan yang

terus-menerus.

Menurut Reivich dan Shatte

(2002), resiliensi merupakan

kemampuan seseorang untuk

bertahan, bangkit, dan menyesuaikan

dengan kondisi yang sulit. Resiliensi

berarti kemampuan untuk pulih

kembali dari suatu keadaan, kembali

ke bentuk semula setelah

dibengkokkan, ditekan, atau

diregangkan. Bila digunakan sebagai

istilah psikologi, resi1iensi adalah

kemampuan individu untuk cepat

pulih dari perubahan, sakit,

kemalangan, atau kesulitan.

Reivich dan Shatte (2002),

memaparkan tujuh kemampuan yang

berbentuk resiliensi, yaitu:

1. Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah

kemampuan untuk tetap di bawah

kondisi yang menekan. Individu

yang kurang memiliki kemampuan

untuk mengatur emosi mengalami

kesulitan dalam membangun dan

menjaga hubungan dengan orang

lain.

2. Impulse Control

Pengendalian impuls adalah

kemampuan individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan,

kesukaan, serta tekanan yang muncul

dari dalam diri. Individu dapat

mengendalikan impulsivitas dengan

mencegah terjadinya kesalahan

pemikiran, sehingga dapat

memberikan respon yang tepat pada

permasalahan yang ada. Kemampuan

individu untuk mengendalikan

impuls sangat terkait dengan

kemampuan regulasi emosi yang ia

miliki.

1. 3. Optimism

Individu yang resilience adalah

individu yang optimis, optimism

adalah ketika kita melihat bahwa

masa depan kita cemerlang.

Optimism yang dimiliki oleh seorang

(7)

individu tersebut percaya bahwa

dirinya memiliki kemampuan untuk

mengatasi kemalangan yang

mungkin terjadi di masa depan.

Optimism akan menjadi hal yang

sangat bermanfaat untuk individu

bila diiringin dengan self-efficacy,

hal ini dikarenakan dengan

optimisme yang ada seorang individu

terus didorong untuk menemukan

solusi permasalahan dan terus

bekerja keras demi kondisi yang

lebih baik. Tentunya optimism yang

dimaksud adalah optimism yang

realistis (realistic optimism) yaitu

sebuah kepercayaan akan

terwujudnya msa depan yang lebih

baik dengan diiringi segala usaha

untuk mewujudkan hal tersebut.

Perpaduan antara optimisme yang

realistis dan self-efficacy adalah

kunci resiliensi dan kesuksesan.

4. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada

kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat

penyebab dari permasalahan yang

mereka hadapi. Individu yang

resilien adalah individu yang

memiliki fleksibelitas kognitif.

Mereka mampu mengidentifikasikan

semua penyebab yang menyebabkan

kemalangan yang menimpa mereka,

tanpa terjebak pada salah satu gaya

berpikir explanatory. Individu yang

resilien tidak akan menyalahkan

orang lain atas kesalahan yang

mereka perbuat demi menjaga

self-esteem mereka atau membebaskan

mereka dari rasa bersalah. Mereka

tidak terlalu berfokus pada

faktor-faktor yang berada di luar kendali

mereka, sebaliknya mereka

memfokuskan dan memegang

kendalipenuh pada pemecahan

masalah, perlahan mereka mulai

mengatasi permasalahan yang ada,

mengarahkan hidup mereka, bangkit

dan meraih kesuksesan.

2. 5. Empathy

Empati sangat erat kaitannya

dengan kemampuan individu untuk

membaca tanda-tanda kondisi

emosional dan psikologis orang lain.

Beberapa individu memiliki

kemampuan yang cukup mahir dalam

menginterpretasikan bahsa-bahasa

nonverbal yang ditunjukkan oleh

orang lain, seperti ekspresi wajah,

intonasi suara, bahasa tubuh dan

mampu menangkap apa yang

dipikirkan dan dirasakan orang lain.

Oleh karena itu, seseorang yang

(8)

cenderung memiliki hubungan sosial

yang positif. Individu denga empati

yang rendah cenderung mengulang

pola yang dilakukan oleh individu

yang tidak resilien, yaitu

menyamaratakan semua keinginan

dan emosi orang lain.

6. Self-efficacy

Self-efficacy merepresentasikan

sebuah keyakinan bahwa kita mampu

mememcahkan masalah yang kita

alami dan mencapai kesuksesan.

Self-eficacy merupakan hal yang

sangat penting untuk mencapai

resiliensi.

7. Reaching out

Resiliensi lebih dari sekedar

bagaimana seorang individu

memiliki kemampuan untuk

mengatasi kemalangan dan bangkit

dari keterpurukan, namun lebih dari

resiliensi juga merupakan

kemampuan individu meraih aspek

positif dari kehidupan setelah

kemalangan yang menimpa. Banyak

individu yang tidak mampu

melakukan reaching out, hal ini

dikarenakan mereka telah diajarkan

sejak kecil untuk sedapat mungkin

menghindari kegagalan dan situasi

yang memalukan. Hal ini

menunjukkan kecenderungan

individu untuk berlebih-lebihan

(overestimate) dalam memandang

kemungkinan hal-hal buruk yang

dapat terjadi di masa mendatang.

Individu-individu ini memiliki rasa

ketakutan untuk mengoptimalkan

kemampuan mereka hingga batar

akhir.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

resilience ada dua yaitu, faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi, kesehatan, jenis

kelamin, kemampuan kognitif,

karakteristik kepribadian,

kemampuan coping, tempramen.

Faktor eksternal meliputi, keluarga

(anggota keluarga, lingkungan,

budaya, status sosial ekonomi) dan

komunitas (dewasa, teman sebaya,

sekolah, pelayanan kesehatan).

Kepribadian merupakan

karakteristik khas yang mampu

membentuk individu baik di dalam

lingkungan fisik maupun sosialnya

(Atkinson, dkk., dalam Saricaoglu

dan Arslan, 2013). Lebih jauh lagi

diterangkan oleh Burger (Saricaoglu

& Arslan, 2013) yang menyatakan

bahwa kepribadian dapat membantu

(9)

orang lain, dalam hal ini kepribadian

adalah istilah yang mencakup

kepentingan individu, sikap, dan

kemampuan, gaya bicara,

penampilan luar dan gaya yang

diadopsinya dari lingkungan sekitar.

Selama bertahun-tahun banyak

peneliti seperti McCrae, Costa dan

lainnya mencoba menyatukan

pandangan mengenai kepribadian

manusia. Salah satu teori yang

digunakan adalah teori trait, dimana

teori tersebut dapat

mengklasifikasikan trait-trait

kepribadian secara sederhana dan

dapat mengkelompokan perbedaan

individu ke dalam lima dimensi

kepribadian, hal ini dikenal dengan

“Big Five” (dalam Pervin, dkk.,

2005).

Banyak para ahli yang meyakini

bahwa gambaran mengenai

kepribadian individu dapat terlihat

jelas dengan menggunakan five

factor model (Costa & McCrae,

dalam Mastuti, 2005). Five factor

model mengelompokan kepribadian

menjadi lima dimensi yang dikenal

dengan neuroticism, extraversion,

openness to experience,

agreeableness dan

conscientiousness. Lima dimensi

tersebut merupakan dasar dari

kepribadian (Costa & McCrae, dalam

Pervin, dkk., 2005).

Costa dan McCrea (dalam Pervin,

dkk., 2005) menyatakan

dimensi-dimensi dari Big five personality

adalah sebagai berikut:

1. Neuroticism

Dimensi ini mengukur

penyesuaian dan kesetabilan emosi.

Mengidentifikasi kecendrungan

individu yang rentan terhadap stres,

ide-ide yang tidak realistis, keinginan

yang berlebihan dan respon koping

yang bersifat maladiptif. Individu

dengan neuroticism rendah akan

cenderung menjadi peribadi yang

tenang, santai, tidak emosional dan

memiliki kepuasan diri. Sementara

individu dengan neuroticism tinggi

akan cenderung menjadi pribadi yang

emosional, mudah gelisah, memiliki

rasa khawatir yang tinggi, dan

merasa tidak aman.

2. Extraversion

Dimensi ini mengukur kuantitas

dan intensitas interaksi interpersonal,

dan kebutuhan untuk bahagia.

Individu dengan extraversion rendah

cenderung menjadi pribadi yang

(10)

tidak memiliki semangat, dan

berorientasikan pada tugas.

Sementara individu dengan

extraversion tinggi cenderung

menjadi pribadi yang mudah

bersosialisasi, banyak bicara,

optimis, penuh kasih sayang dan

menyenangkan.

3. Openness to experience

Dimensi ini mengukur pencarian

dan penghargaan terhadap

pengalaman dan keterbukaan akan

hal-hal yang baru. Individu yang

memiliki tingkat openness to

experience rendah akan cenderung

menjadi pribadi konvensional, tidak

memiliki minat yang luas, dan tidak

menyukai seni. Sementara individu

dengan openness to expereince tinggi

cenderung menjadi pribadi yang

kreatif, orisinil, memiliki keingin

tahuan yang luas, tertarik belajar

mengenai hal-hal yang baru dan

imajinatif.

4. Agreeableness

Dimensi ini mengukur kualitas

intrapersonalbaik dari kemampuan

berfikir, berperilaku dan perasaan.

Individu dengan agreeableness

rendah cenderung menjadi pribadi

yang sinis, kasar, penuh dengan

curiga, pendendam dan mudah

tersinggung. Sementara individu

dengan agreeableness tinggi akan

cenderung menjadi pribadi yang baik

hati, penuh kepercayaan, senang

dalam membantu, pemaaf, dan

mudah tertipu.

5. Conscientiousnes

Dimensi ini mengukur ketekunan

dan motivasi dalam mencapai tujuan.

Individu dengan conscientiousnes

rendah akan cenderung menjadi

pribadi yang tidak memiliki tujuan,

tidak dapat diandalkan, malas,

ceroboh, pelupa dan memiliki

keinginan yang lemah. Sementara

individu dengan conscientiousnes

tinggi akan cenderung menjadi

pribadi yang terorganisir, dapat

diandalkan, pekerja keras, disiplin,

tegas dan ambisius.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan

penelitian kuantitatif. Variabel pada

penelitian ini adalah Big five

personality dan variabel tergantung,

Resilience. Rancangan penelitian ini

bersifat ingin mengetahui perbedaan

(11)

dan big five personality korban pasca

erupsi Gunung Merapi tahun 2010

Teknik pengambilan sampel

menggunakan Purposive Sampling

dan untuk teknik pengambilan data

menggunakan skala Resilience dan

Big five personality.

Subjek dalam penelitian ini adalah

individu yang menjadi korban erupsi

merapi tahun 2010, peneliti

mengambil subjek dengan kriteria

berjenis laki-laki dan perempuan

berusia 20-50 tahun bertempat

tinggal di Cangkringan, Sleman,

Yogyakarta.

Pada penelitian ini peneliti

menggunakan skala resilience dan

(BFI) Big Five Inventory untuk

pengukuran Big five personality.

Skala Big five personality

menggunakan alat ukur Goldberg

(1993) dengan mengadopsi skala Big

Five Inventory oleh Aulia (2015).

Secara keseluruhan skala Big five

personality berjumlah 44 aitem yang

berupa pernyataan. Skala resilience

mengacu pada teori dan aspek dari

Reivich & Shatte (2002) yang

mempunyai 27 aitem berupa

pernyataan. Kedua skala ini

menggunakan empat pilihan jawaban

yang bergerak dari sangat tidak

setuju hingga sangat setuju.

Teknik analisis data pada

penelitian ini menggunakan statistik

uji analisis perbedaan dua kelompok

yaitu independent sample t-Test

untuk uji rerata kelompok pada

kelompok jenis kelamin dan korelasi

product moment untuk menguji

hubungan antara resilience dengan

dimensi-dimensi pada big five

personality. Perhitungan analisis data

dilakukan dengan menggunakan

komputer pada program Statistical

Package for Social Science (SPSS)

20.0 for windows sebagai alat bantu

analisis secara statistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Resilience adalah ciri kepribadian

yang bersifat stabil dan ditandai oleh

kemampuan individu untuk bangkit

kembali dari pengalaman negatif dan

kemampuan menyesuaikan diri

terhadap perubahan kehidupan yang

terus menerus (Connor, 2006).

Dalam penelitian ini peneliti

mengajukan dua hipotesis, yaitu ada

perbedaan resilience ditinjau dari

jenis kelamin dan ada hubungan

antara reslience dengan big five

(12)

Hasil uji normalitas variabel

resilience menunjukan bahwa data

berdistribusi normal dengan nilai p =

0.20 (p > 0.05). Sementara itu kelima

dimensi big five personality

menunjukan data berdistribusi

normal dengan nilai p = 0.20 (p >

0.05). Hasil uji homogenitas

menunjukan hasil yang homogen p =

0.07 (p > 0.05). Hasil uji linearitas

menunjukkan hasil linear antara

resilience dan kelima dimensi big

five personality menunjukkan nilai p

= 0.04 (p < 0.05).

Setelah dilakukan uji normalitas,

uji homogenitas, dan uji linearitas,

selanjutnya dilakukan uji hipotesis.

Tujuan dilakukannya uji hipotesis

pertama ini adalah untuk mengetahui

apakah ada perbedaan resilience

ditinjau dari jenis kelamin.

Berdasarkan hasil uji analisis dengan

menggunakan Independent Sampe

t-Test diperoleh p = 0.76 (p < 0.05)

menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan resilience antara jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Uji

hipotesis kedua untuk mengetahui

perbedaan resilience dengan big five

personality dengan menggunakan uji

analisis anova satu jalur (one way

anova) diperoleh p = 0,003 (p <

0,005) yaitu ada perbedaan yang

signifikan antara resilience dengan

big five personality. Peneliti juga

membuat analisis tambahan untuk

mengetahui hubungan resilience

ditinjau dari big five personality

(neuorotism, extraversion,

agreeableness, conscientiousnes,

openness to experience)

menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara extraversion dan

openness to experience.

Menunjukkan hasil resilience dengan

extraversion p = 0.010 (p < 0.05) dan

resilience dengan openness to

experience p = 0.021 (p < 0.05).

Tetapi untuk dimensi neuroticism,

conscientiousness, agreeableness

menunjukkan hasil yang tidak

signifikan dengan hasil resilience

dengan neuroticism diperoleh p =

0.745 (p < 0.05), resilience dengan

conscientiousness diperoleh p =

0.236 (p < 0.05) dan resilience

dengan agreeableness diperoleh p =

0.233 (p < 0.05). Hasil tersebut

menunjukkan bahwa hipotesis yang

diajukan peneliti untuk melihat

hubungan resilience ditinjau dari Big

five personality diterima, hal ini

terlihat bahwa ada hubungan antara

(13)

pada extraversion dan openness to

experience.

Peneliti melakukan analisis

tambahan yaitu untuk melihat

pengaruh antara resilience dan Big

five personality, hasil menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara resilience dan big

five personality yaitu dengan

sumbangan efektif sebesar 26,7%.

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui perbedaan

resilience ditinjau dari jenis kelamin

dan big five personality korban pasca

erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

Berdasarkan hasil uji hipotesis

pertama pada data penelitian ini

maka hipotesis yang diajukan

ditolak. Hal ini ditunjukan dengan

terdapatnya dua dimensi big five

personality yang berhubungan

dengan resilience, yaitu dimensi

extraversion dan openness to

experience. Hal ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Nakaya, Oshio dan

Kaneko (2006), hasil penelitian

tersebut membuktikan adanya

korelasi positif antara extraversion,

conscientiousness dan openness to

experience terhadap resilience, serta

adanya korelasi negatif antara

neuroticisim dengan resilience. Hasil

yang sama ditunjukan oleh

Campbell-Sills, dkk (2006) dimana

terdapat hubungan negatif antara

neuroticisim dengan resilience dan

hubungan positif antara extraversion

dan conscientiousness dengan

resilience.

Fayombo (2010), menjelaskan

bahwa Extraversion, Openness to

experience, Agreeableness dan

Conscientiousness merupakan

kepribadian yang sehat dengan

sifatnya seperti pekerja keras, easy

going, rasa ingin tahu yang tinggi

dan asertif, sehingga semakin baik

kepribadian seseorang maka orang

tersebut akan semakin resilience.

Individu neuroticisim mempunyai

sifat pencemas, rasa takut dan

kekhawatiran yang tinggi. Mereka

akan gugup dan takut apabila

dihadapkan dengan masalah-masalah

(Ramdhani, 2012). Individu

pencemas dan memiliki

kekhawatiran yang tinggi cenderung

menjadi pribadi yang emosional,

akibatnya individu mudah

mengalami stress. Ketidakmampuan

dalam mengelola emosi menjadikan

individu berpikiran irrasional dalam

(14)

juga kurang memiliki kontrol diri

atas perilaku yang dilakukannya, hal

tesebut dapat membuat individu sulit

beresilience.

Indvidu extraversion memiliki

semangat untuk membangun

hubungan dengan orang lain. Mereka

tidak pernah sungkan untuk

berkenalan ataupun mencari teman

baru. Individu extraversion juga

tegas dan asertif dalam bersikap, bila

individu merasa tidak setuju maka

akan mengemukakan pendapat

mereka (Ramdhani, 2012). Individu

yang mudah bersosialisasi dan

terbuka kepada orang lain akan

cenderung lebih resilince karena

mudah dalam menceritakan

permasalahan yang dialaminya

kepada orang lain sehingga individu

tidak mudah berlarut-larut dalam

masalah. Selain itu dengan

mudahnya individu membangun

hubungan dengan orang lain,

membuat individu mendapatkan

dukungan sosial ketika berada dalam

suatu permasalahan.

Individu openness to experience

memiliki sikap keterbukaan, suka

belajar sesuatu yang baru dan pandai

menciptakan aktivitas yang berda di

luar kebiasaan. Mereka akan

menerima semua sudut pandang yang

terbuka untuk menerima wawasan

yang lebih luas dan mendalam

(Ramdhani, 2012). Individu yang

terbuka dengan

pengalaman-pengalaman baru akan mudah untuk

beresilience dikarenakan individu

tersebut mampu terbuka dengan

pikiran dan perasaannya serta

memandang suatu hal yang

dialaminya secara positif.

Individu yang memiliki

agreeableness rendah cenderung

menjadi pribadi yang penuh dengan

curiga, pendendam dan kasar. Hal

tersebut menjadikan individu sulit

beresilience dikarenakan individu

kurang mampu dalam

mengendalikan emosi yang

dirasakannya.

Individu yang memiliki

conscientiousness rendah cenderung

menjadi pribadi yang tidak memiliki

tujuan dan memiliki keinginan yang

lemah. Hal tersebut menjadikan

individu sulit untuk beresilience

dikarenakan dengan rendahnya

keinginan dan ketidakjelasan tujuan

dalam hidup membuat individu

mudah menyerah ketika dihadapkan

oleh tantangan-tantangan yang dapat

(15)

keberhasilan. Hal ini membuat

individu tidak dapat bertahan ketika

mengalami sebuah kesulitan.

Penelitian ini menemukan bahwa

tidak ada perbedaan resilience antara

kelompok laki-laki dan perempuan.

Hasil ini menunjukkan bahwa

resilience pada korban pasca erupsi

Gunung Merapi pada tahun 2010

pada kelompok laki-laki dan

perempuan tidak ada perbedaannya.

Hal tersebut menurut peneliti

dikarenakan responden penelitian

masih terbatas yaitu kelompok jenis

kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok

berjenis kelamin laki-laki. Sehingga

dapat diketahui bahwa resilience

pada individu tidak dapat dilihat

berdasarkan jenis kelamin saja, dapat

dilihat berdasarkan faktor-faktor

demografi lainnya dari individu

tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan dapat ditarik

kesimpulan yaitu ada hubungan

antara big five personality dengan

resilience pada korban erupsi gunung

merapi pada tahun 2010.

Dimensi-dimensi pada big five personality

yang berhubungan yaitu

Extraversion, Conscientiousnes, dan

Openness to experience. Terdapat

perbedaan juga pada resilience antara

kelompok jenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Dengan demikian,

hipotesis yang diajukan peneliti

diterima.

SARAN

Bagi peneliti yang ingin

melanjutkan penelitian tentang

resilience, disarankan untuk

melibatkan variabel lain antara lain

religiusitas dan tingkat pendidikan

sebagai salah satu variabel

penelitian, karena diasumsi ini erat

kaitannya dengan resilience.

DAFTAR PUSTAKA

Ahern, N. (2006). Adolescent

Resilience: An Evoluationary

Concept Analysis. Journal of

Pediatric Nursing, 21, 3.

Connor, K. M. & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new

resilience scale: The Connor

Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Journal of Depression and

Anxiety, 18, 76-82.

Fayombo, G. A. (2010). The relationship between personality

traits and psychological resilience

among the Caribbean adolescents.

(16)

Gafur, W. A., Noorkamilah., & Gazali, H. (2012). Resilience Perempuan dalam Bencana Alam Merapi: Studi di Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman

Yogyakarta. Jurnal Ilmu

Kesejahteraan Sosial, 1, 1, 43-68.

Nakaya, M., Oshio, A., & Kaneko, H. (2006). Correlation for Adolescent Resilience Scale with

Big five personality Traits. Journal Psikology Reports, 98, 927-930.

Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P. (2005). Personality Theory

and Reasearch . 9 ed. United

State of America : John Willey & Sons, Inc.

Ramdhani, N. (2012). Adaptasi Bahasa dan Budaya Inventori Big Five. Jurnal Psikologi. Vol. 39,

No. 2, 189-207.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The

Resilience Factor. New York:

Broadway Books.

Rinaldi. (2010). Resiliensi pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau

dari Jenis Kelamin. Jurnal

Psikologi. 3, 2.

Sales, P., Cervellon, P., Vazquez.,Vidales D., & Gaborit, M. (2005). Post Traumatic Factors and Resilience: The Role of Shelter Management and Survivors’ Attitudes after the Earthquake in El Salvador (2001).

Journal of Community & Applied Social Psychology, 15, 368-382.

Saricaoglu, H., & Arslan, C. (2013). An Investigation into

Psychological Well-Being Levels of Hinger Education Students wit Respect to Personality Traits and

Self-Compassion. Educational

Science: Theory and Practice, 13 4, 2097-2104.

Suyono, H., Aulia., & Tentama, F. (2015). Leadership of Indonesian Defence Forces. Laporan

Penelitian Kerjasama Kelembagaan (PKK). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Wade, C., & Travis, C. (2007).

Psikologi. Edisi ke-9, Jilid 2.

Jakarta: Erlangga.

Widuri, E. L. (2002). Regulasi Emosi dan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama. Jurnal

Humanistik, 9,2.

http://megapolitan.kompas.com/read/ 2010/11/09/15573541/erupsi.merapi. 2010.lebih.besar.dari1872 diakses 26 September 2016

http://www.tribunnews.com/regional/ 2010/11/11/korban-tewas-letusan-gunung-merapi-menjadi-194 diakses 26 September 2016.

http://www.antaranews.com/berita/2 34234/200-tenaga-kesehatan-jiwa-dampingi-korban-merapi diakses 25 September 2016.

http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-bencana/potensi-ancaman-bencana diakses 27 September 2016

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan persetujuan para pemegang saham pada tanggal 26 Juni 2006, maka selama tahun 2008, Perusahaan melakukan penerbitan saham baru sejumlah 7.556.155 saham dengan nilai

Perihal : Undangan Pembuktian Kualifikasi Paket Review Desain Pembangunan Pelabuhan Ampimoi Kode Lelang 3788041.. Sehubungan dengan proses pelelangan untuk Paket

Subjek dengan perlakuan bermain video game kinetik simulasi tari sebagai exergame selama 8 minggu memiliki nilai akhir kelincahan yang lebih cepat dengan kategori

Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda.. Sistem kurs tetap (fixed exchange

Faktor-faktor tersebut antara lain : Dividend Payout Ratio, Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Volume Perdagangan, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, Total Assets Turnover

Oleh Satker ABC, KDP Gedung dan Bangunan yang telah diserahkan kepada Satker DEF tersebut diinput dalam Aplikasi SIMAK BMN pada menu Transaksi KDP  Transfer Keluar KDP,

Analisis Kesalahan Siswa Berdasarkan Kategori Kesalahan Menurut Watson Dalam Menyelesaikan Permasalahan Statistika Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 2 Genteng; Nanik Mujayanti,

10Fr dan size 12Fr terhadap penurunan saturasi oksigen pada pasien yang. terpasang ventilator agar dapat dikembangkan sebagai dasar