• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghina Presiden Jokowi di Facebook Ter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penghina Presiden Jokowi di Facebook Ter"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Paper tugas :

Mata kuliah : Hukum dan Mass Media

Judul : Tuduhan penghinaan terhadap Presiden RI Joko Widodo melalui media sosial Facebook Bab I : Pendahuluan

a. Latar Belakang

Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI pada Pemilihan Umum tahun 2014 yang berjalan dengan aman dan damai, membawa angin segar dan semangat demokratisasi yang dirasakan tidak hanya oleh penduduk Indonesia, namun juga gaungnya terasa sampai ke seluruh dunia. Imej Jokowi sebagai pembela rakyat kecil sedikit ternoda ketika sebuah kasus penghinaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh seorang tukang sate muncul dan terkuak di media massa. Meskipun akhirnya Jokowi memaafkan si pelaku, namun proses hukum terus berjalan dan belum selesai sampai ketika makalah ini dibuat.

Kasus ini berawal dari laporan Ketua Tim Kuasa Hukum Joko Widodo, yaitu pengacara kondang Henry Yosodiningrat, kepada pihak Kepolisian pada tanggal 27 Juli 2014. Pada hari itu, Henry yang juga merupakan politisi PDIP dan rekan satu partai dari presiden terpilih, Joko Widodo, melaporkan Muhammad Arsyad alias Arsyad Assegaf, atas dugaan pencemaran nama baik, penghinaan, dan penyebaran gambar pornografi Presiden RI Joko Widodo, melalui media sosial Facebook miliknya. 1 Dalam jumpa pers yang diadakan di Mabes Polri tanggal 29 Oktober 2014, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Kamil Razak, menjelaskan penangkapan Muhammad Arsyad alias Arsyad Assegaf berawal saat Kasubdit Cyber Crime Mabes Polri melakukan penyelidikan mengenai siapa yang membuat serta menyebarkan foto pornografi Jokowi. Menurut Kamil, pemeriksaan terhadap pekerja di salah satu rumah makan di daerah Ciracas, Jakarta Timur, itu baru bisa dilakukan pada Agustus 2014. Hal ini dikarenakan saat itu sedang dalam masa pemilu presiden.“MA sendiri sudah ditahan sejak 23 Oktober,” katanya.2

Atas tindakannya itu, Arsyad dijerat pasal berlapis yaitu :

- Pasal 29 juncto pasal 4 ayat 1 UU no.44 tahun 2008 tentang Pornografi, - Pasal 310 dan 311 KUHP,

- Pasal 156 dan 157 KUHP,

1

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5450e55879b3c/hina-jokowi-di-facebook--pekerja-rumah-makan-kena-pasal-berlapis

(2)

- serta pasal 27, pasal 32, pasal 35, pasal 36, pasal 45, dan pasal 51 UU no.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 3

Lebih jauh, dalam kesempatan lain, Kapolri Jendral Sutarman mengatakan kasus hukum terhadap Muhammad Arsyad akan terus berjalan meskipun Presiden Joko Widodo telah memberikan maaf, bahkan telah menginstruksikan agar diberikan penangguhan penahanan terhadap dirinya. 4

b. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan tetap berjalannya proses hukum tersebut, kami mempunyai pokok permasalahan yaitu pertama, mengapa pihak penegak hukum menjerat tersangka dengan Pasal-pasal dalam KUHP juga, yaitu pasal 156-157 dan pasal 310 dan pasal 311? Padahal telah ada peraturan perundang-undangan yang spesifik yang mengatur yaitu UU no.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Permasalahan kedua adalah apakah cukup hasil printout screenshot laman Facebook tersangka dijadikan sebagai barang bukti kasus penghinaan tersebut?Hal ini kami anggap menarik karena gambar foto yang berisi pornografi dan penghinaan ini telah dihapus oleh Bareskrim Mabes Polri dari laman Facebook tersangka.

Bab II : Pembahasan Rumusan Masalah I

Untuk membahas kasus tersebut di atas, terlebih dahulu kita telaah kronologis kasus penghinaan melalui media sosial ini.

Kronologi kasus penghinaan dan pornografi5

Muhammad Arsyad Assegaf adalah seorang lulusan SMP yang bekerja sebagai tukang tusuk sate di warung sate Margani depan pasar induk Kramatjati. Arsyad adalah anak dari pasangan Syafrudin dan Mursyidah, keduanya tinggal di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.

Sebelum mengunggah gambar, Arsyad diketahui telah bergabung ke beberapa kelompok yang dengan sengaja melakukan penghinaan dan melakukan pencemaran nama baik terhadap Joko Widodo di jejaring sosial Facebook dengan nama pengguna Arsyad Assegaf.Arsyad kemudian mengunggah montase gambar hasil rekayasa yang memperlihatkan Joko Widodo dalam kondisi telanjang tengah berhubungan seksual dengan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Gambar ini kemudian dilihat dan dilaporkan oleh

3 ibid

4

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/03/063619202/Kapolri-Proses-Hukum-Penghina-Jokowi-Berlanjut

(3)

pengacara sekaligus politisi PDIP, Hendri Yosodininggrat pada tanggal 27 Juli 2014, namun baru bisa diproses kepolisian setelah Pemilihan Presiden 2014 usai.

Karena sedang berada dalam masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, Polisi memutuskan untuk menunda proses laporan hingga bulan Agustus 2014. Pada pemeriksaan awal, pihak Polri meminta keterangan dari pelapor, yaitu Hendry di bulan Agustus 2014, kemudian dilanjutkan pemeriksaan terhadap Joko Widodo sebagai korban pada 10 Oktober 2014. Setelah bukti mencukupi, tim cyber crime Polri langsung melakukan penyergapan.

Arsyad ditangkap di rumahnya di Gang Jum, Kelurahan Kampung Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Kamis pagi, 23 Oktober 2014, pukul 07.00. Saat itu Arsyad tengah tertidur sepulang mengantarkan dua adiknya di sekolah. Empat polisi tanpa seragam masuk ke rumah dan menunjukkan surat penangkapan serta gambar-gambar di telepon seluler kepada Arsyad. Saat Arsyad hendak dibawa, Ibu Arsyad, Mursyidah, mengamuk dan membuang barang-barang di rumahnya. Ia pun sempat lari ke tepi Kali Cipinang dengan niat bunuh diri. Polisi kemudian menenangkan dan menyatakan bahwa tujuan penangkapan tersebut adalah untuk melindungi Arsyad. Arsyad ditahan dengan tuduhan utama melanggar pasal pornografi No 44 tahun 2008 tentang pornografi. Selain itu ia juga dikenai pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan secara tertulis. Pihak Polri menyita 1 barang bukti, yaitu akun Facebook atas nama "Arsyad Assegaf (anti Jokowi)".

Proses hukum

Pada 29 Oktober 2014, pelapor Henry Yosdiningrat menyatakan bahwa Joko Widodo sebagai korban telah sepenuhnya memaafkan Arsyad, namun berkaitan dengan kasus pornografi, proses hukum terhadap Arsyad tetap dilanjutkan. Tak lama setelah penangkapannya, Arsyad menunjukkan tanda-tanda depresi. Arsyad sempat dilarikan ke RS Polri pada hari kamis, 30 Oktober 2014. Begitu tiba di rumah sakit, ia diberi makan dan diinfus selama beberapa jam. Setelah perawatan selesai, ia segar kembali. Ibu Arsyad, Mursyidah, diketahui juga dalam kondisi lemah karena menolak untuk makan.

Pada 1 November 2014, Mursyidah, ibu Arsyad, beserta suaminya, Syafruddin, menemui Presiden Joko Widodo dan Iriana Widodo. Dalam pertemuan ini, Joko Widodo menyatakan secara langsung bahwa ia telah sepenuhnya memaafkan Arsyad dan menjamin penangguhan penahanan. Mursyidah juga menerima sejumlah uang sebagai modal usaha dari Iriana Widodo.

(4)

Pada 3 November 2014, Polri memberikan penangguhan penahanan dengan beberapa pertimbangan, antara lain jaminan dari pelaku untuk tidak melarikan diri, merusak barang bukti, maupun mengulangi perbuatannya. Ia di antar ke rumahnya oleh empat orang penyidik Polri. Keluarga Arsyad, dibantu warga juga mengadakan syukuran di rumahnya atas penangguhan penahanan tersebut. Meski mendapat penangguhan penahanan oleh pihak kepolisian, Muhammad Arsyad tetap tak lepas dari sanksi sosial yang diberikan warga di lingkungan rumahnya, berupa kewajiban untuk membersihkan mushalla selama satu minggu dan wajib lapor dua kali seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Namun karena bukan termasuk jenis delik aduan, proses hukum terhadap Arsyad tetap dijalankan.

Analisis

Untuk menjawab pertanyaan permasalahan diatas, kita harus menelaah terlebih dahulu peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilanggar oleh tersangka M. Arsyad tersebut. Sebagaimana kita ketahui, tersangka dijerat dengan :

- Pasal 29 juncto pasal 4 ayat 1 UU no.44 tahun 2008 tentang Pornografi, - Pasal 310 dan 311 KUHP,

- Pasal 156 dan 157 KUHP,

- serta pasal 27, pasal 32, pasal 35, pasal 36, pasal 45, dan pasal 51 UU no.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 6

Pasal 4 ayat 1 UU No.44 thn 2008 tentang Pornografi, berbunyi sebagai berikut :

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekerasan seksual;

c. Masturbasi atau onani;

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau

f. Pornografi anak

Pasal 29 berbunyi sebagai berikut :

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarkan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

(5)

bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

Pasal 310 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311 KUHP berbunyi :

1. Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 no.1-3 daat dijatuhkan.

Pasal 156 KUHP di bawah ini juga dituduhkan kepada tersangka Arsyad :

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata Negara”.

Pasal 157 ayat 1 KUHP :

(6)

diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 27 ayat 3 :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Selain itu, tersangka Arsyad juga dijerat dengan Pasal 32 ayat 1 UU ITE :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik”.

Lalu Pasal 35 UU ITE yang berbunyi :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.

Begitu pula dengan Pasal 36 UU ITE :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.

Pasal 45 dan Pasal 51 UU ITE berisi tentang hukuman pidana penjara dan/atau denda bagi pelanggaran atas pasal-pasal di atas.

(7)

paling banyak Rp4.500. Sedangkan pada pasal 27 UU ITE sanksinya lebih berat yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar (hal ini terdapat di pasal 45 UU ITE). Kami menilai, penerapan beberapa unsur dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 310 KUHP secara materiil pada prinsipnya adalah sama. Keduanya harus dibuktikan dengan adanya “unsur muatan penghinaan” dan “unsur kesengajaan”.Unsur yang dianggap tidak mudah untuk dibuktikan dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi/dokumen elektronik”.7Penyidik seringkali kesulitan dalam pembuktian unsur-unsur diatas karena tidak semua penyidik mempunyai keahlian dalam bidang informasi dan transaksi elektronik yang baik, maka untuk itu dibutuhkanlah saksi ahli untuk memperkuat unsur-unsur tersebut.Kesulitan dalam mendatangkan saksi ahli ini juga disebabkan karena ilmu tentang teknologi informasi sangat luas dan sangat banyak cabangnya yang spesifik maka sangat jarang ahli yang mengerti benar tentang satu cabang ilmu teknologi informasi yang dibutuhkan sesuai kebutuhan penyidikan.Hal-hal ini menyebabkan bertambahnya kesulitan penyidik jika hanya menggunakan pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE saja.Satu hal lagi yang kami kira dapat menjadi alasan digunakannya pasal berlapis untuk menjerat tersangka kasus penghinaan terhadap Presiden RI Joko Widodo ini, yaitu jika ditinjau dari sisi publikasi sangat high profile karena melibatkan pejabat-pejabat Negara sebagai korbannya. Pihak Kepolisian dan Kejaksaan tentu tidak ingin dianggap kurang tanggap atas kasus yang menimpa orang nomor satu dan mantan orang nomor satu republik ini. Sorotan media sangat luas dan tajam karena pada saat yang sama karena korban penghinaan adalah seorang pejabat Negara yang sedang menjadi perhatian masyarakat.

Bab III : Pembahasan Permasalahan II

Permasalahan kedua yaitu mengenai apakah hasil printout screenshot laman Facebook tersangka yang berisi gambar/foto tersebut dapat dianggap sebagai barang bukti dalam kasus ini? Untuk membahas masalah ini, kami ingin merujuk kepada UU ITE pasal 5 ayat 1 dan 2 :

Ayat 1 :

“Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”

Ayat 2 :

“Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”

(8)

Ditinjau dari kedua ayat diatas, bukti digital berupa screenshot laman Facebook tersangka dalam kasus di atas dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.Namun kami berpendapat jika hanya berupa screenshot saja tidaklah begitu kuat.Hal ini disebabkan karena pelaku bisa saja menghapus konten, dan juga bukti berupa screenshot sangat mungkin untuk dimodifikasi oleh pihak yang berkepentingan terhadap kasus tersebut.

Menurut kami, seharusnya dalam kasus ini, penyidik tidak hanya membuat printout dari screenshot laman Facebook tersangka, namun juga penyidik sebaiknya meminta bantuan ahli teknologi informasi untuk mendapatkan data pada storage computer atau perangkat elektronik yang diduga digunakan oleh tersangka, sehingga minimal penyidik dapat melacak sejarah peramban elektronik dan tautan yang menuju ke konten yang dimaksud. Lebih baik lagi jika penyidik dapat menemukan konten originalnya.Data ini yang kemudian dibuatkan berita acara analisa bukti elektronik yang ditandatangani oleh penyidik bersama dengan ahli teknologi informasi tersebut.

Pasal 5 ayat 2 UU ITE di atas menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam system hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi, dan termasuk arbitrase. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perluasan dari alat bukti yang sah itu seperti apa, akan tetapi pasal 5 ayat 2 UU ITE memberikan petunjuk bahwa perluasan dari alat bukti itu harus “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”. Perluasan ini mengandung makna :

1. Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2. Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Alat bukti KUHAP yang diperluas ialah dalam bentuk surat. Hasil cetak dari informasi elektronik ini dikategorikan sebagai surat, seperti dimaksud dalam pasal 187 KUHAP.

Dengan ini dapat kami simpulkan bahwa printout hasil screenshot tersebut dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan kasus ini, dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Bab IV : Penutup (Kesimpulan)

(9)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

20 diantaranya memang berasal dari BPR murni, sedangkan 3 yang lain berasal dari lembaga keuangan yang awalnya disebut KOP (koperasi) yang berkembang menjadi BPR. BPR-BPR

PENGARUH PROGRAM DIKLAT DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA HOTEL PATRA JASA BALI RESORT & VILLAS. S 081933101070 TAMBAH 1

Berdasarkan hasil penelitian dapat di ambil kesimpulan bahwa Inquiry Training dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan operasi pengurangan dengan tekhnik

Untuk perabot, terdapat pengulangan patra bunga sakura pada kursi makan dan material kayu yang ada pada salah satu dindingnya, karena itu secara keseluruhan ruang ini

Menurut Poedjiadi dan Supriyanti (2009), monosakarida ialah karbohidrat yang sederhana, dalam arti molekulnya hanya terdiri atas beberapa atom karbon saja dan tidak dapat

Tujuan penelitian ini adalah ini adalah menjelaskan proses layanan bimbingan kelompok untuk meningkatkan kedisiplinan belajar pada siswa dan untuk mengetahui