• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum Penyelesaian Sengketa Perd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Hukum Penyelesaian Sengketa Perd"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

Makalah

Untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh mata kuliah

Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan (HKU2091)

Disusun Oleh :

Nama : Ken Luigi Bagaskara

NIM : 13 / 351885 / HK / 19707

YOGYAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dalam menjalankan aktivitas kehidupan, terjadinya persinggungan antara manusia

ataupun badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun badan hukum.

Persinggungan tersebut dapat menimbulkan suatu konflik yang menyebabkan terjadinya

sengketa. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah perbedaan

kepentingan ataupun perselisihan antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Segala hal yang

terjadi dalam kehidupan dan aktivitas manusia dapat menimbulkan perselisihan dan berujung

pada sengketa.

Selain karena sengketa dapat terjadi pada siapa saja, baik dari karakter dan sifat

seseorang, juga dapat terjadi oleh adanya faktor-faktor eksternal berupa aturan-aturan yang

berlaku bagi setiap orang. “Aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak

tertulis dapat menyebabkan konflik, jika penerapannya terlalu kaku dan keras”.1 Karena suatu

peraturan yang kaku menyebabkan seseorang tidak dapat bergerak ataupun bertindak. Selain itu

bagi orang-orang yang terjun di dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi,

klien, konsumen, maupun lawan atau saingan bisnis.

Adanya usaha dari para pihak untuk mencapai tujuannya masing-masing, tentunya akan

berdampak pada persaingan yang tidak sehat. Persaingan yang tidak sehat tentu akan

menimbulkan kerugian baik dari salah satu pihak, maupun pada kedua belah pihak. Maka dari itu

sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup

(3)

nasional maupun internasional. Timbulnya suatu perselisihan tersebut mempunyai arti penting

agar manusia selalu dapat memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib dalam hidup

bersama tersebut2, dan juga terjadinya suatu sengketa harus dapat diselesaikan oleh para pihak.

Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui litigasi, yaitu melalui jalur

pengadilan ataupun non-litigasi, yaitu melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa

melalui pengadilan berpedoman pada Hukum Acara yang mengatur persyaratan-persyaratan

yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan hingga upaya upaya hukum yang dapat

dilakukan. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk dilakukannya

penyelesaian sengketa harus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak berdasarkan

adanya pemaksaan, dan prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya

kepada para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, pada umumnya ada beberapa faktor

kekurangan. diantaranya adalah faktor jangka waktu yang lama, Faktor biaya yang besar dapat

menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa. Pengadilan juga harus menangani perkara

yang harus diselesaikan bahkan sampai menumpuk perkara-nya.3 Karena pada biasanya untuk

menyelesaikan suatu kasus perdata di pengadilan dapat membutuhkan waktu yang lama untuk

menyelesaikan sengketa sampai pada putusan hakim dibacakan. Tidak hanya itu, putusan yang

telah keluar dari pengadilan pun belum tentu memberikan rasa puas bagi para pihak yang

bersengketa sehingga mereka mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi atau peninjauan

kembali. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain

2 Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., “Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan”, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm 12.

(4)

itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah

alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.4

Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.5 Undang-Undang tersebut memang ditujukan untuk

mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak

bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau

perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para

pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang

bersengketa. Pada dasarnya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, lebih banyak mengatur

tentang ketentuan arbitrase, mulai dari tata cara, prosedur, kelembagaan, jenis-jenis, maupun

putusan dan pelaksanaan putusan arbitrase itu sendiri.

Oleh karena itu, saat ini mulai diperkenalkan alternatif lain untuk menyelesaikan

sengketa di luar pengadilan. yakni negosiasi, arbitrasi, mediasi, dan konsiliasi. Salah satu

kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang menyelesaikan berbagai

perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahmi. Dalam bahasa hukum

modern dikenal Win – Win Solution dan inilah tujuan hakiki atau esensial dari Penyelesaian

sengketa perdata di luar pengadilan.

Secara umum penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan di-equivalensi-kan dengan

pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli mengenai objek yang disengketakan dengan

waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan dan pihak-pihak dapat menyelesaikan

sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi dan lain sebagainya. Penyelesaian

4 Winarta, Herda Frans, S.H, M.H., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm 1-2

(5)

sengketa di luar proses pengadilan mempunyai maksud untuk menyelesaikan sengketa bukan

sekedar memutuskan perkara atau perselisihan.6

Menurut Goldberg, tujuan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa itu sendiri adalah

Mengurangi kemacetan di pengadilan, Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses

penyelesaian sengketa, Memperlancar jalur menuju keadilan, dan Memberikan kesempatan bagi

terciptanya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua

pihak.7

BAB II

6 Jurnal resmi : https://www.academia.edu/9350099/PENYELESAIAN_SENGKETA_ALTERNATIF. Diakses pada 9 Maret 2016 Pukul 15.00.

(6)

RUMUSAN MASALAH

Makalah ini membahas tentang Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan.

ditinjau dari segi teori dan pendapat para ahli, macam – macam proses penyelesaian sengketa di

luar pengadilan menurut undang – undang, asas – asas yang ada pada proses penyelesaian

sengketa di luar pengadilan, dan manfaat proses penyelesaian sengketa perdata di luar

pengadilan.

(7)

PEMBAHASAN

Keberedaan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam sistem penyelesaian sengketa

sudah diramal sejak 40 tahun yang lalu, dalam pidato Prof. Frank Sander dari Harvard University

di tahun 1976 untuk memperingati Roscoe Pound, bahwasannya untuk merespon kecenderungan

makin meningkatnya perkara di pengadilan, maka nantinya hanya akan ada dua solusi, yaitu : 1)

mencegah terjadinya sengketa, dan 2) mengeksplor alternatif penyelesaian sengketa di luar

pengadilan.8

Secara garis besar, Masyarakat di Indonesia pada umumnya menyelesaikan sengketa

dengan jalan musyawarah dan dengan para tetua atau pemuka adat di suatu tempat tertentu.

seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sekarang ini sudah hal yang biasa

jika terjadi sengketa antar para pihak ditempuh dengan jalur pengadilan. Sengketa-sengketa yang

dapat diselesaikan di pengadilan memerlukan waktu yang lama, proses peradilan yang

berbelit-belit, dan biaya mahal. Kesulitan mendapatkan suatu putusan yang benar-benar final dan

mengikat (karena hak para pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali,

bantahan, dan lainnya). sebagaimana digambarkan oleh J. David Reitzel, bahwa : “There is a

long wait for litigants to get trial”.9 Suatu kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui

litigasi, merupakan kenyataan yang umum di seluruh pelosok dunia.

8 Sander, Frank E. "Varieties of Dispute Processing" in The Pound Conference: Perspectives on Justice in the Future (A. Levin & R. Wheeler eds., West, 1979).

(8)

A. Studi Literatur dan Tujuan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian

Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

konsiliasi atau penilaian ahli.10

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa

merupakan cara menyelesaikan sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya

dilaksanakan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih pilihan penyelesaian

sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau meminta

penilaian dari ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhya dari para pihak. Kebebasan untuk

memilih bentuk penyelesaian yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman dapat diketahui bagi masyarakat tidak terdapat keharusan untuk

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan

sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian atau arbitrase.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981 Pemerintah

Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign

Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan

dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di

(9)

New York, yang diprakarsai oleh PBB. Konvensi ini mengatur bahwa dalam setiap perjanjian

yang diadakan oleh para pihak yang mencantumkan klausul arbitrase, akan meniadakan hak dari

pengadilan untuk memeriksa sengketa yang terjadi berdasarkan perjanjian tersebut.

Tujuan Alternative Dispute Resolution yang merupakan serangkaian praktik dan

teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :11

a. memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk

keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa;

b. mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi

konvensional;

c. mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.

B. Asas-Asas Alternatif Penyelesaian Sengketa

Alternatif penyelesaian sengketa intinya adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Asas-asas yang berlaku dalam

alternatif penyelesaian sengketa antara lain:12

1. Kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan

undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula kesepakatan mengenai tempat dan jenis

penyelesaian sengketa yang akan dipilih.

11 H. Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, (PT Fikahati Aneska & BANI, 2002), hlm. 15.

(10)

2. Itikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.

3. Kepatutan, terbuka, dan kedua pihak bertujuan untuk tidak pergi ke pengadilan;

4. Perjanjian terakhir dan mengikat (pacta sunt servanda), yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.

5. Putusan terakhir dan mengikat (final and binding);

6. Kerahasiaan (confidential), yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain, karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas sengketa.

C. Macam – macam Proses Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 1. Konsultasi

Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang

pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang dikemukakan

oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins

bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang

sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama

dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan

memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah

diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau

strategi yang telah direncanakan.13

13 Yetti Wira Citerawati, “PENYULUHAN DAN KONSULTASI”

(11)

Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

konsultasi (consultation) adalah :

Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation

of persons on some subject.14

Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui,

bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu

pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan,

yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan

kliennya tersebut.

Di dalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan

ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan

dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti

dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari

konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali,

konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang

untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh

para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan

bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa

tersebut.15

2. Negosiasi

14 Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999. 15 Jurnal resmi :

(12)

Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang berkonflik akan

memulai suatu komunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan oleh para pihak untuk dapat

mengetahui pokok permasalahan. Setelah terjalin komunikasi di antara para pihak selanjutnya

adalah menegosiasikan masalah yang sedang dihadapi.

Dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 rumusan tentang negosiasi pada

prinsipnya adalah memberikan kepada pihak-pihak terkait suatu alternatif untuk menyelesaikan

sendiri masalah yang timbul di antara mereka secara kesepakatan dimana hasil dari kesepakatan

tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai komitmen yang harus dilaksanakan kedua

belah pihak.

Dalam kenyataannya negosiasi merupakan cara pertama yang akan ditempuh para pihak

guna menghindari atau mengatasi suatu sengketa, karena merupakan cara termurah dan paling

tertutup dari pihak lain dibandingkan cara-cara lainnya. Negosiasi adalah proses konsensual yang

digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka yang bersengketa.

Komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah

pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan

sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa

keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan, maupun

pengambil keputusan.16

Negosiasi dijadikan sarana bagi mereka yang bersengketa untuk mencari solusi

pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Negosiasi biasanya digunakan dalam kasus yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak beritikad

(13)

baik untuk secara bersama memecahkan persoalannya. Negosiasi dilakukan jika komunikasi

antara pihak masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan baik

untuk mencapai kesepakatan serta menjalin hubungan baik. Penyelesaian Negosiasi tidak

win-lose, tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang

memuaskan para pihak. Batasan waktu penyelesaian yang paling lama 14 hari, dan

penyelesaiannya langsung oleh pihak yang bersengketa.17

Ada baiknya apabila sudah mencapai suatu kesepakatan antara para pihak dibuat tenggat

waktu pelaksanaan atas kesepakatan tersebut bagi masing-masing pihak dengan tujuan

meminimalisasi kerugian-kerugian yang akan muncul dari tidak dilaksanakannya kesepakatan

tersebut. Oleh karena itu untuk dapat menjamin adanya kepastian dalam pelaksanaan

kesepakatan, sebaiknya dibuat suatu nota kesepakatan ataupun akta perdamaian di antara para

pihak yang bersifat mengikat para pihak untuk taat dan tunduk terhadap segala hal yang telah

disepakati bersama. Adanya nota kesepakatan atau akta perdamaian tentu dapat dijadikan bukti

oleh para pihak apabila terjadi tindakan wanprestasi dari salah satu pihak dalam pelaksanan

kesepakatan sehingga pihak yang beritikad baik tidak dirugikan.18

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa

sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak

yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa yang diinginkan. Pihak yang

bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian yang

diharapkan.

17 Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 313.

(14)

Kekurangan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah ada kalanya mengalami

jalan buntu, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, dan manakala terdapat pihak yang

kaku.

3. Mediasi

Penyelesaian sengketa dengan mediasi sekarang ini dibatasi. Dibatasi hanya untuk

sengketa keperdataan saja. Di Indonesia terdapat beberapa sengketa yang dapat diselesaikan

dengan mediasi, yakni sengketa perbankan, konsumen, tenaga kerja, dan sengketa di pengadilan.

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak

(impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka

memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.19

Proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada

seorang mediator. Mediator adalah seorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak – atau

lebih – yang bersengketa. Tujuannya adalah untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa

membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua

belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediator juga berkewajiban untuk melaksanakan

tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan bebas para pihak. Mediator tidak

mempunyai kewenangan memberikan putusan terhadap objek yang dipersengketakan, melainkan

hanya berfungsi membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa.

Mediator juga harus mempunyai sertifikasi pelatihan sebagai seorang mediator nonhakim dari

lembaga yang sudah disertifikasi oleh Mahkamah Agung.

(15)

Ketentuan tentang mediasi dapat ditemukan di dalam Pasal 6 ayat (3) s.d. ayat (5) UU

No. 30 Tahun 1999. Pengalaman, kemampuan, dan integritas dari seorang mediator sangat

menentukan keefektifan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa. Selain itu

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,

kemudian diganti dengan peraturan yang baru yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun

2016.

Ada beberapa poin penting dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 yang berbeda dengan

Perma No. 1 Tahun 2008. Misalnya, jangka waktu penyelesaian mediasi lebih singkat dari 40

hari menjadi 30 hari terhitung. Kedua, kewajiban para pihak menghadiri pertemuan mediasi

dengan atau tanpa kuasa hukum, kecuali ada alasan sah. Hal terpenting adanya itikad baik dan

akibat hukum (sanksi) para pihak yang tidak beritikad baik dalam proses mediasi. Perma No. 1

Tahun 2016 juga mengenal kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang terlibat dalam

sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya. Berbeda dengan Perma sebelumnya

apabila hanya sebagian pihak yang bersepakat atau tidak hadir mediasi dianggap dead lock

(gagal). Tetapi, Perma yang baru kesepakatan sebagian pihak tetap diakui, misalnya penggugat

hanya sepakat sebagian para tergugat atau sebagian objek sengketanya.20

Substansi Perma No. 1 Tahun 2016 hampir sama dengan Perma sebelumnya. Misalnya,

prosedur mediasi bersifat wajib ditempuh, jika tidak putusan batal demi hukum; mediator bisa

dari kalangan hakim ataupun nonhakim yang bersertifikat. Hanya saja, pengaturan Perma

Mediasi terbaru cakupannya lebih luas dari Perma sebelumnya.

(16)

Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan,

yakni diantaranya adalah:

1. Keputusan yang hemat

2. Penyelesaian secara cepat

3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak

4. Kesepakatan yang komprehensif

5. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan

6. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang ada pada proses mediasi terletak pada

kekuatan eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan. Karena kesepakatan dicapai dengan

cara suka rela, maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan kondisi yang suka rela pula.

Oleh karena itu proses mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para pihak yang benar-benar

secara suka rela menghendaki perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan demikian,

mengandung konsekuensi bahwa mediator serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap

secara suka rela harus diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

4. Konsiliasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha

mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan

(17)

pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak-pihak secara

negosiasi.21

UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian

atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30

Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga

alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia

ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak

ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan.

Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal

daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang

disebut dengan badan atau komisi konsiliasi.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis

dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan

kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para

pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.

Dalam upaya menyelesaikan sengketa :

1. Konsiliator tidak harus mengadakan pertemuan dan pembicaraan dengan kedua belah

pihak di suatu tempat, tapi bisa dihasilkan shuttle negotiation antara para pihak.

2. Putusan yang diambilnya dijadikan resolusi yang dapat dipaksakan kepada kedua belah

pihak.

Proses konsiliasi berakhir, apabila :

(18)

1. Berdasarkan persetujuan untuk berakhir yang ditandatangani oleh para pihak;

persetujuan tersebut harus tetap bersifat rahasia kecuali dalam perjanjian tersebut

mensyaratkan agar persetujuan tersebut dibuka;

2. Berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh konsiliator mengenai laporan yang

menyatakan bahwa upaya untuk berkonsiliasi tidak berhasil. laporan-laporan demikian itu

tidak perlu mencantumkan alasan-alasannya; dan

3. Berdasarkan pemberitahuan kepada konsiliator oleh satu pihak atau lebih pada saat

proses konsiliasi dinyatakan tidak lagi menyelesaikan perkaranya melalui proses

konsiliasi.

Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama

dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang

menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan

dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para

pihak yang bersengketa.

5. Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Pada dasarnya arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul di kemudian

(19)

(arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan

melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana

dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.22

Para pihak sepakat menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada pihak yang netral.

Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum

yang diterapkan. Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi

untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi. Putusan yang dimaksud bersifat final

and binding, serta merupakan win-loss solution.

Beberapa jenis arbitrase yaitu:

1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase)

2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)

Disebut juga dengan arbitrase Ad-Hoc atau Volunter Arbitrase karena sifat dari arbitrase

ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan

menyelesaikan satu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka arbitrase

Ad-Hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani

penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa;

demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa,

tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat

dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh

menyimpang dari apa yang telah ditemukan oleh undang-undang.23

Kelebihan alternatif penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase adalah adanya

kebebasan, kepercayaan, dan keamanan. berproses menggunakan arbitrase adalah perkaranya

22 Emirzon, Joni, Op,Cit. hlm. 97-98.

(20)

diproses dengan cepat dan hemat biaya. selain itu adanya arbiter/wasit yang memiliki keahlian

(expertise).

Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini

adalah bahwa arbitrase tidak memilikii kekuatan eksekutorial dan kepastian hukum terhadap

kesepakatan yang telah dihasilkan.

BAB IV

PENUTUP

Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di

dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan

atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui

(21)

memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan. Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur

pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan kemudahan dibandingkan dengan

proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal di Indonesia ada empat jenis,

yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

Salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang

menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahmi.

Dalam bahasa hukum modern dikenal “WIN WIN SOLUTION” dan inilah tujuan hakiki atau

esensial dariArbitrase, Mediasi, atau cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NO. 30/ 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Goldberg, Stephen B., Frank E. Sander, Nancy H. Rogers & Sarah Rudolph Cole. Dispute

(22)

Sander, Frank E. "Varieties of Dispute Processing" in The Pound Conference: Perspectives on

Justice in the Future (A. Levin & R. Wheeler eds., West, 1979).

Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999.

Garry Goodpaster, “Arbitrase di Indonesia”, Jakarta : Ghalia Indonesia,1995,

Wahyudi, “Manajemen Konflik: Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner”, Bandung : Alfabeta, 2008

Amriani, Nurnaningsih, S.H, M.H., “Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di pengadilan”,

Jakarta : Rajawali Pers, 2011

Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., “Cara Menyelesaikan Sengketa di luar Pengadilan”, Jakarta :

Transmedia Pustaka, 2011

Winarta, Herda Frans, S.H, M.H., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012

Widjaja, Gunawan, “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005

Harahap, Yahya, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradiilan dan Penyelesaian Sengketa”,

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997,

H. Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa”, (PT Fikahati Aneska

& BANI, 2002)

Yetti Wira Citerawati, “PENYULUHAN DAN KONSULTASI”

https://adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf.

Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa”, Jakarta : Sinar Grafika, 2012,

Emirzon, Joni, “Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Jakarta: PT Gramedia

(23)

https://www.academia.edu/6362402/MODEL_ALTERNATIF_PENYELESAIAN_SENGKETA_

DAN_BERBAGAI_KELEMAHAN_DALAM.

Referensi

Dokumen terkait

Alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution(ADR) dapat diartikan sebagai penyelesaian sengketa yang dilaksanakan baik oleh pihak ketiga, di luar

Kedua, proses penyelesaian sengketa pemanfaatan tanah ulayat kaum di Kenagarian Lubuk Basung diawali dengan penyelesaian antara para pihak yang bersengketa, dilanjutkan dengan

Penyelesaian Sengketa dengan Menggunakan Hukum Nasional, apabila para pihak yang bersengketa tidak bisa menyelesaikan permasalahan menggunakan perantara fetor, maka

Lahirnya kesepakatan para pihak yang bersengketa dengan pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, melalui beberapa tahapan, diawali dari pengaduan, atau berasal

Konsiliasi mirip dengan mediasi, yakni juga merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral dan tidak

b) Pada prinsipnya dalam sengketa perbankan syariah pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang dikehendaki

Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan liidup kepada lembaga penyedia jasa dengan

Untuk penyelesaian sengketa nonlitigasi ketentuan tersebut menjadi penting dalam hal mengingatkan kepada para pihak yang bersengketa bahwa kepadanya diberikan kebebasan oleh hukum untuk