• Tidak ada hasil yang ditemukan

judul peningkatan kualitas bab 1.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "judul peningkatan kualitas bab 1.docx"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBINGKAIAN BERITA MENGENAI AKSI DEMO 411

PADA MEDIA

ONLINE

(Analisis Framing Robert N. Entman pada Tempo.co Edisi 4

November 2016)

Proposal Penelitian

Mata Kuliah Kajian Media

Oleh:

Alifta Resyfa R.

10080012204

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2017

(2)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada tanggal 4 November 2016 lalu, Jakarta dihebohkan dengan aksi demo besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam. Tak hanya ormas-ormas Islam saja, masyarakat Muslim yang non-ormas Islam pun turut meramaikan aksi demo tersebut. Aksi ini dilakukan dengan tujuan menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk diproses secara hukum. Mengingat pada September 2016 lalu, masyarakat dibuat terkejut oleh salah satu video yang memuat pernyataan Ahok mengenai Surat Al-Ma’idah ayat 51, pada saat dirinya sedang melakukan pidato di hadapan warga Kepulauan Seribu. Dalam pidatonya, Ahok menyebut surat Al-Ma’idah ayat 51 dipakai untuk membohongi masyarakat agar tidak memilihnya sebagai pemimpin. Video tersebut akhirnya beredar luas di internet dan mendapat kecaman dari berbagai masyarakat. Mereka menganggap, apa yang telah Ahok ucapkan dalam pidatonya tersebut sudah masuk ke dalam penistaan agama Islam dan melukai hati umat muslim. Sehingga, beberapa diantara mereka termasuk organisasi masyarakat pun melaporkan Ahok ke polisi dan berujung pada aksi demo.

Aksi demo yang juga disebut dengan demo 411 ini berpusat di kawasan antara Bundaran Hotel Indonesia, Bundaran Bank Indonesia dan Istana Kepresidenan. Polisi memperkirakan sekitar 200.000 warga menghadiri aksi ini,[perkiraan lain menyebut angka 50.000. Aksi ini berjalan dengan damai dan tertib hingga Jumat sore. Para demonstran berorasi dan

menggunakan yel-yel, mendesak agar Ahok diproses secara hukum.

Namun sekitar pukul 18:30 WIB aksi yang seharusnya sudah bubar mulai menjadi ricuh. Diduga, elemen demonstran beratribut HMI memulai dorong-dorongan dan menyerang polisi. Elemen lain tidak terlibat upaya kericuhan, dan sebagian massa Front Pembela Islam (FPI) berusaha melindungi barisan polisi dari elemen yang menyerang.Awalnya, polisi mempertahankan barisannya dengan perisai dan tanpa senjata.Namun setelah serangan menjadi lebih parah, anggota FPI yang melindungi polisi menghindar dan polisi melepaskan tembakan gas air mata. Dua kendaraan milik Brimob dibakar saat terjadi kericuhan di depan Istana Merdeka, sekitar pukul 20:10 WIB. Situasi di sekitar Istana mulai terkendali sekitar pukul 21:00 WIB, namun kericuhan terjadi di bagian lain Jakarta, tepatnya di Penjaringan,

(3)

Dalam memberitakan suatu peristiwa, media tidak pernah lepas dari ideologi dan

kepentingan yang dimilikinya. Hal tersebut, dapat mempengaruhi cara media dalam melihat dan menceritakan peristiwa kepada khalayak. Sehingga, bukan tidak mungkin khalayak dapat terpengaruh oleh informasi yang disampaikan media.

Walaupun media tersebut memiliki visi ataupun mengklaim menjadi media yang jujur dan berimbang namun tetap saja dalam peliputan peristiwa yang dilakukannya, terkadang media secara sadar ataupun tidak telah melakukan keberpihakan kepada pihak-pihak tertentu dan memberitakan suatu peristiwa yang berbeda dari yang terjadi di lapangan. Hal itu mungkin saja dilakukan agar berita yang disampaikan memiliki nilai jual yang tinggi dan mendapatkan perhatian yang lebih dari khalayak. Terlebih, peristiwa yang diangkat adalah mengenai isu SARA. Dimana isu tersebut bisa dibilang merupakan isu yang paling sensitif. Di sinilah letak permasalahannya, apakah media memberitakan peristiwa tersebut sesuai dengan fakta dan apa adanya ataukah membungkusnya dengan sedikit membelokkan fakta, dimana hal tersebut bisa saja media membungkusnya dengan hal-hal yang bertujuan untuk mendamaikan atau malah memberi citra yang lebih buruk mengenai isu tersebut agar bisa mendapatkan keuntungan. Tentu ini menjadi pertimbangan bagi media agar untuk memberikan informasi yang layak bagi khalayak, terutama berita yang memuat isu SARA.

Tempo.co merupakan salah satu media online mainstream yang cukup dikenal sebagai media yang memberitakan suatu peristiwa dengan jujur dan berimbang. Namun, belakangan terdengar bahwa Tempo.co mulai menyimpang dalam memberitakan peristiwa dengan memihak pada kelompok tertentu. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah Tempo.co telah kehilangan independensi dan mengabaikan visinya untuk menjadi media yang memberitakan suatu peristiwa dengan berimbang? Apalagi, berita yang dimuat Tempo.co kali ini adalah mengenai isu SARA. Di sini bisa terlihat apakah Tempo.co benar-benar mempertahankan visi dan independensinya ataukah justru sudah mulai terlihat melenceng.

1.2 Fokus dan Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Fokus Penelitian

(4)

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co?

1.2.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti menetapkan identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur define problems?

2. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur diagnose causes?

3. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur make moral judgement?

4. Bagaimana pembingkaian berita mengenai aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur treatment recommendation?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur define problems.

1.3.2 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur diagnose causes.

1.3.3 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur make moral judgement.

1.3.4 Untuk mengetahui pembingkaian berita aksi demo 411 pada media online Tempo.co dilihat dari unsur treatment recommendation.

1.4 Kegunaan Penelitian

(5)

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi, khususnya jurnalistik mengenai analisis teks media massa, terutama analisis framing.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap masyarakat agar dapat menganalisis dan mengkritisi pembingkaian berita yang dilakukan oleh media.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang akan melakukan penelitian sejenis.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan acuan bagi para jurnalis di media

online Tempo.co agar dapat melihat dan mengidentifikasi frame dalam sebuah berita. Serta agar Tempo.co tetap mempertahankan maupun meningkatkan kualitas medianya.

1.5 Setting Penelitian

1.5.1 Pada penelitian ini peneliti akan melakukan analisis terhadap media online Tempo.co sebagai media yang memberitakan tentang aksi demo 411.

1.5.2 Sebagai sampel, peneliti mengambil dua buah berita yang diunggah Tempo.co pada tanggal 4 November 2016, yang berjudul ‘Demo 4 November, Istana dikepung Massa Dari Empat Sisi’ dan ‘Demo 4 November Ricuh, Lemparan Batu Dibalas Gas Air Mata’.

1.5.3 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif analisis framing

Robert N. Entman.

1.6 Kerangka Pemikiran

Nurudin (2007:33) menjelaskan, bahwa media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini. Bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian besar.

Ketergantungan yang tinggi pada media massa tersebut akan menundukkan media sebagai alat yang akan ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(6)

2.1 Review Penelitian Sejenis

Penelitian yang dilakukan kali ini merupakan penelitian mengenai analisis framing pada media online. Untuk itu, peneliti mulai mencari dan melakukan tinjauan terhadap penelitian sejenis agar dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai analisis framing.

Selain itu, penelitian sejenis ini juga akan sangat membantu peneliti dalam melakukan penelitian ini. Sehingga, dapat dijadikan bahan rujukan untuk perbandingan dan

mempermudah peneliti. Berikut adalah review penelitian sejenis yang peneliti anggap memiliki kesamaan, baik dari segi metode, teori maupun permasalahan yang dibahas .

2.1.1 Hilmy Farhan, Konstruksi Berita Kerusuhan Hari Raya Idul Fitri Di Tolikara

Dalam penelitian ini Hilmy menganalisis berita mengenai kerusuhan hari raya Idul Fitri di Tolikara yang dimuat oleh Viva.co.id dan Eramuslim.com. Dalam analisisnya, Hilmy mencoba menguak bagaimana konstruksi realitas yang dibentuk oleh Viva.co.id dan Eramuslim.com dalam pemberitaan mengenai kerusuhan di Tolikara. Hilmy mengambil empat buah berita, yang diperoleh dari masing-masing kedua media tersebut. Berita pertama dan kedua berasal dari Viva.co.id, yang masing-masing berjudul ‘Wapres: Kerusuhan di Papua Disebabkan Speaker’ dan ‘Tak Ada Peran Asing dalam Insiden Tolikara’. Sedangkan, untuk berita ketiga dan keempat berasal dari Eramuslim.com, masing-masing berjudul ‘JK Ngeles Sebut Ada Perda Larang Speaker, Menag Membantah Ada Perda Tersebut’ dan ‘Teroris Penyerang Muslim Tolikara Adalah Peserta KKR, Bukan Penduduk Asli, GIDI Harus Bertanggungjawab’.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis framing model Robert N. Entman. Sedangkan untuk teknik pengumpulan datanya sendiri, Hilmy

menggunakan teknik dokumentasi dan studi pustaka. Berikut adalah hasil analisis yang dilakukan oleh Hilmy dalam penelitiannya:

Keterangan Judul Berita dan Media

Berita A: Wapres: Kerusuhan di Papua Sisebabkan Speaker (Vivanews)

Berita B: Tak Ada Peran Asing dalam Insiden Tolikara (Vivanews)

(7)

Berita D: Teroris Penyerang Muslim Tolikara Adalah Peserta KKR, Bukan Penduduk Asli, GIDI Harus Bertanggungjawab (Eramuslim)

1. Pada berita A, define problems yaitu speaker merupakan masalah pemicu terjadinya kerusuhan, diagnose cause yaitu speaker masjid, make moral judgement yaitu tidak ada sikap saling menahan diri dari kedua belah pihak, dan treatment recommendation yaitu harapan JK terhadap kepolisian.

2. Pada berita B, define problems yaitu tidak adanya keterlibatan pihak asing dalam insiden Tolikara, diagnose cause yaitu dua pemuda GIDI, make moral moral judgement yaitu tidak diperlukannya penahanan tersangka, dan treatment recommendation yaitu umat Islam di Tolikara sebagai korban kerusuhan sudah menerima.

3. Pada berita C, define problems yaitu rancunya pernyataan JK terhadap masalah pemicu terjadinya kerusuhan, diagnose cause yaitu perda larangan umat Islam pakai speaker, make moral judgement yaitu tidak ada informasi valid yang diterima pemerintah, dan treatment recommendation yaitu kesalahan dalam memberikan pernyataan.

4. Pada berita D, define problems yaitu peranan GIDI di Tolikara, diagnose cause yaitu GIDI, khususnya peserta KKR, make moral judgement yaitu permasalahan dalam hidup beragama di Tolikara, semenjak masuknya GIDI, dan treatment recommendation yaitu pembangunan kembali masjid Baitul Muttaqin.

Di akhir penelitiannya, Hilmy memberikan kesimpulan bahwa terdapat banyak perbedaan anatara Viva.co.id dan Eramuslim.com dalam memberitakan peristiwa kerusuhan hari raya Idul Fitri di Tolikara. Hal tersebut dapat dilihat dari segi define problems, diagnose cause,

make moral judgement, dan treatment recommendation. Berikut perbedaannya yang dikemukakan oleh Hilmy:

1. Pada unsur define problems, Viva.co.id cenderung menekankan pada aktualitas berita, memperlihatkan ideologinya pada judul berita dengan cara menetralkan isu-isu negatif dari pihak lain, dan melakukan standar ganda dengan cara memperhalus istilah guna mengalihkan makna. Sedangkan Eramuslim.com memperlihatkan ideologinya dari judul berita dengan cara pencitraan negatif dan menyerang pihak lain, dan melakukan proses investigasi pada kasus kerusuhan tersebut.

(8)

2. Pada unsur diagnose cause, Viva.co.id kembali melakukan standar gandanya dalam menetapkan sumber masalah kerusuhan dan menonjolkan karakteristik media mainstream

dengan mempunyai kecenderungan untuk memberikan informasi yang sekadarnya. Sedangkan Eramuslim.com memperlihatkan karakteristik jurnalisme islami dengan cara

tabayyun pada setiap isu yang beredar dan memperlihatkan ideologinya dari sumber masalah tersebut yang dicantumkan di judul berita dengan cara pencitraan negatif dan menyerang pihak lain dengan sebuah istilah yang tidak biasa dilakukan oleh media Viva.co.id.

3. Pada unsur make moral judgement, Viva.co.id kembali memperlihatkan ideologinya dengan membela pihak tertentu dengan menetralkan isu-isu negatif dari pihak lain dan menerapkan peran jurnalisme damai walaupun fakta yang diseleksinya menimbulkan ketidakadilan. Sedangkan Eramuslim.com kembali memainkan peran jurnalisme islami, yakni bersikap tabayyun dengan melakukan investigasi dan menelusuri kronologi dari awal pada isu yang beredar.

4. Pada unsur treatment recommendation, Viva.co.id menyelesaikan masalah dari sumber tangan ketiga dan kembali memainkan peran jurnalisme damainya. Sedangkan

Eramuslim.com tidak melakukan peran jurnalisme damai, melainkan hanya meredakan saja panasnya konflik yang terjadi.

Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Hilmy adalah kami sama-sama meneliti media online. Selain itu, dari segi topik yang dibahas pun hampir sama yakni mengenai isu SARA.

2.1.2 Ahmad Syarifudin, Agama dan Media Massa

Dalam penelitian ini Ahmad melakukan analisis terhadap pembingkaian berita mengenai LGBT yang dimuat oleh harian umum Republika edisi Februari 2016. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis framing model Robert N.Entman.

Ahmad mengambil 12 buah teks berita untuk dijadikan objek penelitian. Adapun beberapa kriteria yang ditentukan oleh Ahmad dalam memilih teks-teks berita tersebut adalah sebagai berikut: 1) Berita yang diteliti menjadi headline utama di surat kabar harian Republika pada edisi Februari 2016. 2) Berita berupa indepth dari kelanjutan headline utama di edisi Februari 2016. Berikut adalah 10 berita yang diambil oleh Ahmad dalam penelitiannya:

(9)

1. Ahad, 14 Februari 2016 Headline

KPI Jangan Takut

2. Selasa, 16 Februari 2016 Headline

Ada Tekanan Asing Soal LGBT

3. Selasa, 16 Februari 2016 Pro dan Kontra

Pemerintah Bantah Terima Dana

4. Selasa, 16 Februari 2016 Pro dan Kontra

UNDP Perkuat Komunitas LGBT

5. Rabu,17 Februari 2016 Headline

UNDP Sudah Bicara Dengan Pemerintah RI

6. Rabu, 17 Februari 2016 Pro dan Kontra

LGBT Inginkan UU Antidiskriminasi

7. Rabu, 17 Februari 2016 Pro dan Kontra

Pemerintah Khawatirkan Dampak Sosial LGBT

8. Kamis, 18 Februari 2016 Headline

Polisi Minta Pro-LGBT tak Berkampanye

9. Kamis, 18 Februari 2016 Pro dan Kontra

MUI Dorong Pidana Kampanye LGBT

10. Kamis, 18 Februari 2016 Pro dan Kontra

LGBT Optimalkan Media Online

11. Jumat, 19 februari 2016 Headline

Majelis Agama Tolak LGBT

12. Jumat, 19 februari 2016 Fokus Publik

Kampanye LGBT Kian Masif

Di akhir penelitiannya, Ahmad memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Republika dalam melakukan pemberitaan LGBT cenderung lebih mengedepankan ideologi yang diusung yakni Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberitaan yang diterbitkan Republika selalu mengutip sikap dari menteri agama maupun majelis agama.

2. Dalam framing yang dilakukan, Republika berusaha mempengaruhi persepsi pembaca dengan menggiringnya pada pihak yang kontra LGBT. Hal ini bisa dibuktikan dengan

(10)

pemilihan judul yang memojokan kelompok LGBT. Semisal ‘KPI Jangan Takut’, ‘Ada Tekanan Asing SOAL LGBT’, ‘Pemerintah Khawatirkan Dampak Sosial LGBT’, ‘MUI Dorong Pidana Kampanye LGBT’, dan ‘Majelis Agama Tolak LGBT’.

3. Republika memandang persoalan LGBT merupakan orientasi seks menyimpang yang bertentangan dengan agama ketimbang melihatnya dalam bingkai kemanusiaan, sehingga berita yang diterbitkan cenderung menolak perilaku LGBT. Hal ini bisa dilihat dari porsi pemberitaan pada kelompok yang kontra dengan LGBT lebih banyak dibanding yang datang dari pihak LGBT itu sendiri.

Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Ahmad adalah kami sama-sama membahas mengenai isu SARA. Adapun perbedaan dari kedua penelitian ini adalah jika peneliti menganalisis berita pada media online, sedangkan Ahmad menganalisis berita pada media cetak.

Tabel 2.1

(11)

Nama Peneliti dan

Metode Penelitian Penelitian Kualitatif Penelitian Kualitatif Penelitian Kualitatif

(12)

aktualitas berita dan

Kata komunikasi atau communication dalam Bahasa Inggris berasal dari kata Latin

(13)

lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana, 2003:41)

Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga

menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak akan ada komunitas. Komunitas bergantung pada

pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu, komunitas juga berbagi bentuk-bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni, agama dan bahasa, dan masing-masing bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut. (Mulyana, 2003:42)

Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antarsesama melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. (Komala, 2009:73)

Tubbs and Moss mendefinisikan komunikasi sebagai “proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih”, sedangkan Gudykunst dan Kim mendefinisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai “proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang (dari budaya yang berbeda). (Mulyana, 2003:42)

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan sekunder. Proses primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna dan lainnya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Dalam proses ini, pertama-tama komunikator akan menyandi (encode)

pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan dari komunikator itu.

Proses sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Media kedua itu seperti surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, media online/internet. (Komala, 2009:83)

(14)

Proses komunikasi terjadi manakala manusia berinteraksi dalam aktivitas komunikasi: menyampaikan pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Proses tahap pertama komunikasi adalah penginterpretasian: yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator. Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan yang masih bersifat abstrak. (Komala, 2009:83)

Proses komunikasi tahap kedua adalah penyandian: tahap ini masih terjadi dalam diri komunikator, berawal sejak pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan akal budi manusia ke dalam lambang komunikasi. Proses ini kita sebut encoding, proses penyandian. Akal budi manusia berfungsi encoder, alat penyandi: mengubah pesan yang abstrak menjadi konkrit. (Komala, 2009:83-84)

Proses komunikasi tahap ketiga adalah pengiriman: proses ini terjadi ketika komunikator melakukan tindakan komunikasi mengirim lambang komunikasi dengan peralatan

jasmaniahnya yang berfungsi sebagai transmitter, alat pengirim. (Komala, 2009:84)

Effendy (2001) (dalam Komala, 2009) mengemukakan bahwa tujuan dari komunikasi adalah untuk perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavior change), dan perubahan sosial (social change). Selain itu, Effendy juga menambahkan bahwa fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan mempengaruhi (to influence).

2.2.2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). (Mulyana, 2003:75)

Nurudin (2007) mengungkapkan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(15)

Di dalam komunikasi massa, komunikator merupakan lembaga media massa itu sendiri. Itu artinya, komunikatornya bukan orang per orang Menurut Alexis S. Tan (1981) komunikator dalam komunikasi massa adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara serempak ke sejumlah khalayak yang banyak dan terpisah.

Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa (surat kabar, jaringan televisi, stasiun radio, majalah, atau penerbitan buku). Media massa ini disebut organisasi sosial karena merupakan kumpulan beberapa individu yang bertanggung jawab dalam proses komunikasi massa tersebut.

Nurudin (2007:21) menambahkan, bahwa komunikator dalam komunikasi massa setidak-tidaknya mempunyai ciri sebagai berikut: 1) kumpulan individu, 2) dalam berkomunikasi individu-individu itu terbatasi perannya dengan sistem dalam media massa, (3) pesan yang disebarkan atas nama media yang bersangkutan dan bukan atas nama pribadi unsur-unsur yang terlibat, (4) apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis.

2. Komunikan dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen

Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen/beragam. Artinya, penonton massa itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, punya jabatan yang beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.

Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/komunikan sebagai berikut;

a. Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai

heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat.

b. Berisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Disamping itu, antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung.

c. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal.

3. Pesannya Bersifat Umum

Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu

kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain pesan-pesan ditujukan pada khalayak yang

(16)

plural. Oleh karena itu pesan-pesan yang dikemukakan pun tidak boleh bersifat khusus. Khusus disini artinya pesan memang tidak disengaja untuk golongan tertentu.

4. Komunikasi Berlangsung Satu Arah

Dalam media cetak seperti koran dan TV, komunikasi hanya berjalan satu arah. Kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan).

5. Komunikasi Massa Menimbulkan keserempakan

Komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran pesan-pesannya. Serempak berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut hampir secara bersamaan. Bersamaan sifatnya relatif.

6. Media Massa Mengandalkan Peralatan Teknis

Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik (mekanik atau elektronik). Televisi disebut media yang kita

bayangkan saat ini tidak akan lepas dari pemancar.

7. Komunikasi Massa Dikontrol oleh Gatekeeper

Gatekeeper atau yang sering disebut penepis infomasi/palang pintu/penjaga gawang adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper

ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebar lebih mudah dipahami.

Gatekeeper ini juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah data, dan mengrangi pesan-pesannya. Intinya gatekeeper merupakan pihak yang ikut

menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa dan menentukan kualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan.

Menurut Nurudin, fungsi komunikasi massa adalah sebagai berikut: a. Informasi

b. Hiburan c. Persuasi

d. Transmisi budaya e. Mendorong kohesi sosial f. Pengawasan

g. Korelasi

(17)

j. Menggugat hubungan trikotomi

2.2.3 Media Massa

Media massa adalah alat atau sarana yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber (komunikator) kepada khalayak (komunikan/penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis, seperti surat kabar, radio, televisi, film, dan internet. (Suryawati, 2011:37)

McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (1989), menyatakan ada enam perspektif tentang peran media massa dalam konteks masyarakat modern, yaitu sebagai berikut :

1. Media massa sebagai sarana belajar untuk mengetahui berbagai informasi dan peristiwa. Ia ibarat 'jendela' untuk melihat apa yang terjadi di luar kehidupan.

2. Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa suka atau tidak suka. Ia ibarat 'cermin' peristiwa yang ada dan terjadi di masyarakat ataupun dunia.

3. Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai informasi dan issue yang layak mendapat perhatian atau tidak.

4. Media massa sebagai penunjuk arah berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. 5. Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan berbagai informasi atau ide kepada publik untuk memperoleh tanggapan/umpan balik.

6. Media massa sebagai interkulator, tidak sekadar tempat 'lalu lalang' informasi, tetapi memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.

Media massa sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yakni media cetak, media elektronik dan

media online.

2.2.4 Ideologi Media Massa

Menurut Peter D. Moss (dalam Eriyanto, 2002) ideologi sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi.” Pandangan ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekadar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Implikasinya, Bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

(18)

Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefinisian tersebut bukan hanya pada peristiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Di antara berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai

mekanisme integrasi sosial. Media di sini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Salah satu kunci dari fungsi semacam ini adalah bidang atau batas budaya. Untuk mengintegrasikan masyarakat dalam tata nilai yang sama, pandangan atau nilai harus didefinisikan sehingga keberadaannya di terima dan diyakini kebenarannya. Dalam kerangka ini, media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai dengan kelompok dan perilaku atau nilai apa yang dipandang

menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah (nature), yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan dikonstruksi. Lewat konstruksi tersebut, media secara aktif mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga

membentuk kenyataan apa yang layak, apa yang baik, apa yang sesuai, dan apa yang dipandang menyimpang. (Eriyanto, 2002: 144-145)

Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi berita adalah semacam konsensus: bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama dan dimaknai. Di sini ada dua pengertian: pada satu sisi peristiwa dan aktor yang direstui dan pada sisi lain adalah peristiwa dan perilaku yang dikeluarkan (mbalelo) dari pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu kesatuan: satu negara, satu masyarakat satu budaya─dan seringkali juga diterjemahkan sebagai ‘kami’: industri kami, kebudayaan kami, ekonomi kami, sistem pemerintahan kami, sistem demokrasi kami, dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang beragam dan tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa dikenali, sesuatu yang plural menjadi tunggal. (Eriyanto, 2002: 145-146)

(19)

semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. (Eriyanto, 2002:150)

Bidang ini menunjukkan bagaimana terjadinya kesepakatan umum sehingga peristiwa, gagasan, atau realitas dipahami dalam bingkai yang sama. Bingkai itu menyertakan nilai-nilai yang dipahami dan disepakati secara bersama oleh anggota komunitas. Bidang kedua adalah wilayah kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa realitas (peristiwa, perilaku, dan gagasan) dipandang menyimpang dan buruk, dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus: menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.

Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana perilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam peta yang berbeda, karena ideologi menempatkan bagaimana nilai-nilai bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari. (Eriyanto, 2002:151)

Gambar 2.1

Model Peta Ideologi Daniel Hallin

2.2.5 Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul

Sphere of Deviance

(20)

The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu

menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. (Bungin, 2008:13)

Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul

padaabad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme. (Suparno, 1997:24)

Berger dan Luckmann (1990:1) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan ‘pengetahuan’. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckmann (1990:61) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan

dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Pendek kata, Berger dan Luckmann (1966:61) mengatakan terjadi dialektika Antara

individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. (Bungin, 2008:14-15)

Frans M. Parera (Berger dan Luckmann, 1990:xx) menjelaskan, tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelas dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga ‘moment’ simultan. Pertama,

(21)

individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. (Bungin, 2008:15)

Eksternalisasi terjadi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Proses ini dimaksud adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.

Tahap obyektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann (1990:49) mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektivitas ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. (Bungin, 2011:16)

Internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. (Bungin, 2011:19)

2.2.6 Konstruksi Sosial Media Massa

Posisi “konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi “konstruksi sosial atas realitas”, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan “konstruksi sosial media massa” atas “konstruksi sosial atas realitas”.

Dari konten konstruksi sosial media massa, dan proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut: (a) tahap menyiapkan materi konstruksi; (b) tahap sebaran konstruksi; (c) tahap pembentukan konstruksi realitas; (d) tahap konfirmasi. (Bungin, 2011:194-195)

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Menyiapkan materi konstruksi media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal, yaitu kedudukan (takhta), harta, dan perempuan. (Bungin, 2011:195)

(22)

Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang yaitu persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas maupun kengerian. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:

a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Disini media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.

b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk ‘menjual berita’ dan menaikkan rating untuk kepenyingan kapitalis.

c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar. (Bungin, 2011:196)

2. Tahap Sebaran Konstruksi

Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda, namun prinsip utamanya adalah

real time. Media elektronik memiliki konsep real time yang berbeda dengan media cetak. Karena sifat-sifatnya yang langsung (live), maka yang dimaksud dengan real time oleh media elektronik adalah seketika disiarkan, seketika itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau pendengar. Sedangkan media cetak memiliki konsep real time terdiri dari beberapa konsep hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan mingguan atau terbitan beberapa mingguan atau bulanan.

Walaupun media cetak memiliki konsep real time yang sifatnya tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut. (Bungin, 2011:196)

3. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas

a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas

Ada tiga tahap yang berlangsung secara generik pada pembentukan konstruksi realitas yang dilakukan oleh media massa. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua,

kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif. Tahap pertama

(23)

dikonstruksi oleh media massa. Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila apabila ia belum membaca koran.

b.Pembentukan Konstruksi Citra

Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model : 1) model good news, Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung

mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri, dan 2) model bad news, pada model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri.

(Bungin, 2011:198-200)

4. Tahap Konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca member argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial. Alasan-alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a) kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah life style orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media berdasarkan subyektivitas media, namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses. (Bungin, 2011:200)

2.2.7 Media Online Menurut Suryawati (2011:46), media online merupakan media komunikasi yang

pemanfaaatannya menggunakan perangkat internet. Karena itu, media online tergolong media massa yang populer dan bersifat khas. Kekhasan media ini terletak pada keharusan untuk

(24)

memiliki jaringan teknologi informasi dengan menggunakan perangkat komputer, di samping pengetahuan tentang program komputer untuk mengakses informasi atau berita.

Suryawati (2011:46-47) mengungkapkan bahwa media online memiliki beberapa keunggulan diantaranya:

1. Informasinya bersifat up to date (senantiasa terbaru)

Media online dapat melakukan upgrade suatu informasi atau berita dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena media online memiliki proses penyajian informasi dan berita yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan jenis media massa lainnya.

2. Informasinya bersifat real time

Media online dapat menyajikan informasi dan berita saat peristiwa sedang berlangsung

(live). Sebagian besar wartawan media online dapat mengirimkan informasi langsung ke meja redaksi dari lokasi peristiwa.

3. Informasinya bersifat praktis

Keunggulan media online lainnya, seperti adanya fasilitas hyperlink, yaitu sistem koneksi antara website ke website lain, fasilitasnya dapat dengan mudah menghubungkan dari situs ke situs lainnya, sehingga pengguna dapat mencari atau memperloeh informasi lainnya. Tidak sedikit wartawan sebagai pencari berita yang mencari berita dari internet.

Selain itu, menurut Muhtadi (2016) hal menarik yang membedakan media online dengan media cetak lainnya adalah munculnya tingkat keterlibatan masyarakat yang lebih tinggi dalam menulis dan menyampaikan beria. Tidak diperlukan keahlian khusus seperti halnya wartawan profesional media cetak atau elektronik. Mereka seolah bebas menulis berita, mulai dari kebingungan ibu-ibu menemukan resep masakan yang akan dipakai, hingga masalah-masalah besar, seperti konflik Muslim-Yahudi di sekitar Masjid Al-Aqsha.

2.2.8 Jurnalistik Online

Sesuai dengan media atau sarana yang digunakan, jurnalistik online dikategorikan sebagai jurnalistik modern. Beberapa pakar jurnalistik menyebutnya dengan istilah jurnalistik baru

(new journalism) atau jurnalistik modern. Sedangkan jurnalistik yang sudah dikenal sebelumnya (cetak, radio, dan televisi) disebut sebagai jurnalistik konvensional.

(25)

Jurnalistik online sebagai jurnalistik modern memiliki karakteristik sebagai berikut. (dalam Suryawati, 2011:118-120)

1. Bersifat real time

2. Bersifat interaktif

3. Mampu membangun hubungan yang partisipatif 4. Menyertakan unsur-unsur multimedia

5. Lebih leluasa dalam mekanisme publikasi 6. Kemudahan dalam pengaksesan

7. Tidak membutuhkan penyunting/redaktur seperti halnya media konvensional 8. Tidak membutuhkan organisasi resmi berikut legal formalnya sebagai lembaga pers 9. Lebih murah dibandingkan dengan media konvensional

10. Bisa didokumentasikan/diarsipkan

2.2.9 Berita

Berita (news) berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Vrit (persamaan dalan bahasa Inggris dpat dimknai dengan write) yang artinya ‘ada’ atau ‘terjadi’. Sebagian ada yang menyebutnya dengan Vritta, artinya “kejadian” atau ‘peristiwa yang telah terjadi’. Vritta dalam bahasa Indonesia berarti ‘berita atau warta’. (Suryawati, 2011:67)

Barus (2010) mengatakan, bahwa berita adalah segala laporan mengenai peristiwa,

kejadian, gagasan, fakta yang menarik perhatian dan penting untuk disampaikan atau dimuat dalam media massa agar diketahui atau menjadi kesadaran umum. Pada dasarnya, berita mengandung beberapa unsur antara lain: 1.Suatu peristiwa, kejadian, gagasan, pikiran, fakta yang aktual 2. Menarik perhatian karena ada faktor yang luar biasa (extraordinary) di dalamnya 3. Penting 4. Dilaporkan, diumumkan atau dibuat untuk menjadi kesadaran umum supaya menjadi pengetahuan bagi orang banyak (massa) 5. Laporan itu dimuat di media tertentu.

Dalam berbagai literatur, berita bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Berita dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu seperti berikut. (dalam Suryawati, 2011:70-72)

1. Berita Berat (Hard News)

Hardnews adalah berita tentang peristiwa yang dianggap penting bagi masyarakat baik sebagai individu, kelompok maupun organisasi. Hardnews tergolong berita langsung, sama

(26)

halnya dengan straightnews dan spotnews. Aktualitas merupakan unsur penting dari berita langsung. Peristiwa/kejadian yang sudah lama terjadi tidak bernilai untuk berita langsung. Namun, aktualitas bukan hanya menyangkut waktu, makin baru (aktual) berita itu disiarkan, maka berita-berita tersebut makin baik. Aktualitas juga menyangkut sesuatu yang baru diketahui atau diketemukan. Misalnya, cara baru, ide baru, penemuan baru, dan lain-lain.

2. Berita Ringan (Soft News)

Softnews seringkali disebut juga dengan feature, yaitu berita yang tidak terikat dengan aktualitas namun memiliki daya tarik bagi pemirsanya. Berita-berita semacam ini seringkali lebih menitikberatkan pada hal-hal yang dapat menakjubkan atau mengherankan pemirsa. Ia juga dapat menimbulkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, atau mungkin juga menimbulkan simpati. Dengan kata lain, softnews langsung menyentuh emosi pembaca, misalnya

keterharuan, kegembiraan, kasihan, kegeraman, kelucuan, kemarahan, dan lain-lain. Objeknya bisa manusia, hewan, benda, tempat, atau apa saja yang dapat menarik perhatian pemirsa.

3. Berita Mendalam (Indepth News)

Berita mendalam (indepth news) adalah berita yang memfokuskan pada peristiwa/fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita. Berita mendalam menempatkan fakta dan atau pendapat pada satu mata rantai laporan berita dan merefleksikan masalah dalam konteks yang lebih luas. Adapun jenis berita yang tergolong berita mendalam adalah berita komprehensif, berita interpretatif, dan berita investigatif. Khusus berita interpretatif maupun berita

investigatif, biasanya diangkat dari suatu peristiwa atau masalah yang kontroversial.

2.2.9.1 Nilai Berita

Nilai berita (news values), menurut Downie JR dan Kaiser (dalam Santana, 2005)

merupakan istilah yang tak mudah didefinisikan. Istilah ini meliputi segala sesuatu yang tidak mudah dikonsepsi. Ketinggian nilainya tidak mudah untuk dikonkretkan. Kriteria umum nilai berita merupakan acuan yang dapat digunakan oleh para jurnalis, yakni para reporter dan editor untuk memutuskan fakta yang pantas dijadikan berita dan memilih mana yang lebih baik. (Suryawati, 2011:76)

(27)

beberapa pakar lain menyebutkan, ketertarikan manusia (humanity) dan seks (sex) dalam segala dimensi dan manifestasinya. Berikut Dimensi nilai-nilai berita yang dimaksud Brian S. Brook yaitu sebagai berikut. (dalam Suryawati, 2011:77-79)

1. Aktual (Timeliness) Berita yang sedang atau baru saja terjadi (aktualitas waktu dan masalah)

2. Keluarbiasaan (Unusualness) Berita adalah sesuatu yang luar biasa

3. Akibat (Impact)

Berita adalah hal yang berdampak luas

4. Kedekatan (Proximity)

Berita adalah sesuatu yang dekat, baik psikologis maupun geografis.

5. Informasi (Information) Berita adalah informasi. Menurut Wilbur Scramm, informasi adalah hal yang bisa

menghilangkan ketidakpastian.

6. Konflik (Conflict) Berita adalah konflik atau pertentangan.

7. Orang penting (Public figure/news maker) Berita adalah tentang orang-orang penting yang menjadi figur publik, sehingga apa yang dilakukannya atau apa yang terjadi pada dirinya menarik perhatian publik untuk tahu.

8. Kejutan (Surprising) Berita adalah kejutan, yang datangnya tiba-tiba di luar dugaan, saat sebelumnya hampir tidak mungkin terjadi.

9. Ketertarikan manusia (Human interest) Berita adalah hal yang menggetarkan hati, menggugah perasaan, dan mengusik jiwa.

10. Seks (Sex) Berita adalah informasi seputar seks, yang terkait dengan perempuan.

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani: methodos yang berarti cara atau jalan. Jadi metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami obyek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan permasalahan.

Sedangkan yang dimaksud penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dan dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. (Subagyo, 2006:1)

Jadi, yang dimaksud dengan metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. (Subagyo, 2006:2)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimana, dalam penelitian kualitatif peneliti dapat berinteraksi dengan subjek yang akan diteliti. Selain itu, penelitian kualitatif ini menggunakan setting alamiah.

3.1.1 Penelitian Kualitatatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2009:4), metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).

Sedangkan, Denzim dan Lion (dalam Moleong, 2009:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.

Lincoln dan Guba mengulas sepuluh ciri penelitian kualitatif, diantaranya adalah:

1. Latar alamiah

(29)

3. Metode kualitatif

4. Analisis data secara induktif

5. Teori dari dasar

6. Deskriptif

7. Lebih mementingkan proses daripada hasil

8. Adanya batas yang ditentukan oleh fokus

9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data

10. Desain bersifat sementara

Jadi, secara sederhana penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan memahami suatu fenomena, untuk kemudian digali

maknanya. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis framing sebagai pendekatannya. Dimana, peneliti akan mencari tau apa makna yang terkandung dalam sebuah teks media. Serta bagaimana media mengonstruk suatu realitas untuk kemudian dituangkan ke dalam sebuah tulisan.

3.1.2 Analisis Framing

Menurut Eriyanto (2002:10-11),pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Analisis framing juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media.

Eriyanto menambahkan, ada dua esensi utama dalam framing. Pertama, bagaimana peristiwa ini dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan.

Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan analisis isi kuantitatif. Dalam analisis isi kuantitatif, yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi. Sementara dalam analisis

(30)

framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama, melihat bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak pembaca.

Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis (paradigma transmisi). (Eriyanto, 2002:43)

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang

menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks dan pengalaman, pengetahuannya sendiri. (Eriyanto, 2002:47)

3.1.3 Analisis Framing Robert N. Entman

(31)

belakang), pengulangan, pemakaian grafis, untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut. (Eriyanto, 2002:221)

Tabel 3.1

Aspek framing dalam media menurut Robert N. Entman

Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.

Penonjolan aspek

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari isu tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. (Eriyanto, 2002:222)

(32)

Tabel 3.2

Model Analisis Framing Robert N. Entman

Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Misalnya frame anti-militer yang dipakai untuk melihat dan memproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata, citra, dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosa kata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibandingakan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol, atau menghubungkan dengan bagian lain dalam teks berita, sehingga bagian itu lebih menonjol, lebih mudah dilihat, diingat, dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan, di dalamnya, konsepsi dan skema interpretasi wartawan. Pesan, secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk, dan menginterpretasikan makna di dalamnya. (Eriyanto, 2002:224)

Define Problems (Pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes

(Memperkirakan masalah atau sumber masalah)

Peristiwa itu disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa aktor yang dianggap sebagai penyebab masalah?

Make moral judgement

(Membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk

menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau

mendelegitimasi suatu tindakan?

Treatment Recommendation

(Menekankan penyelesaian)

(33)

Konsepsi mengenai framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan

master frame/ bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut

dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.

Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. (Eriyanto, 2002:225)

Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip

berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. (Eriyanto, 2002:226)

Elemen framing lain adalah treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto,

2002:227)

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu yang diteliti baik orang, benda, ataupun lembaga (organisasi). Dalam hal ini, penulis menjadikan situs online Tempo.co sebagai subjek penelitian. Sedangkan, pemberitaan mengenai aksi demo 411 yang dimuat oleh Tempo.co dijadikan peneliti sebagai objek penelitian.

3.3 Sumber Data

3.3.1 Sumber Data Primer

(34)

Pada penelitian ini sumber data primer yang peneliti peroleh berasal dari dua teks berita menegenai aksi demo 411 yang dimuat oleh Tempo.co. Kedua teks berita tersebut masing-masing berjudul: ‘Demo 4 November, Istana Dikepung Massa dari Empat Sisi’ dan ‘Demo 4 November Ricuh, Lemparan Batu Dibalas Gas Air Mata’

3.3.2 Sumber Data Sekunder

Sedangkan, untuk sumber data sekunder peneliti memperolehnya dari hasil wawancara dan studi kepustakaan yang terkait dengan pemberitaan aksi demo 411.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Dokumentasi

Pada teknik dokumentasi ini peneliti mengumpulkan berbagai data langsung dari teks berita yang dimuat oleh Tempo.co.

3.4.2 Studi Pustaka

Pada studi pustaka ini, peneliti akan mengumpulkan berbagai data dari buku, jurnal, media massa,baik cetak maupun elektronik serta situs online.

3.4.3 Wawancara

Pada penelitian ini, peneliti juga akan mengumpulkan data melalui wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk menambah dan memperkuat data-data yang sudah ada. Dalam hal ini, peneliti akan mewawancarai dua wartawan dari Tempo.co yang memberitakan tentang aksi demo 411. Dua wartawan yang akan diwawancari yaitu Indri Maulidar, wartawan yang menulis berita berjudul ‘Demo 4 November, Istana Dikepung Massa dari Empat Sisi’ dan Egy Adyatama, wartawan yang menulis berita berjudul ‘Demo 4 November Ricuh,

Lemparan Batu Dibalas Gas Air Mata’ .

3.5 Teknik Analisis Data

Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan

conclusion drawing/verification. (Sugiyono, 2016:91)

(35)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. (Sugiyono, 2016:92)

3.5.2 Data Display (penyajian data)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Miles and Huberman (1984) menyatakan, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks bersifat naratif.

Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. (Sugiyono, 2016:95)

3.5.3 Conclusion Drawing/verification (penarikan kesimpulan/verifikasi)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang

sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. (Sugiyono, 2016:99)

3.6 Uji Keabsahan Data

Dalam sebuah penelitian diperlukan pengujian terhadap keabsahan data. Hal itu dilakukan agar data yang diperoleh selama penelitian sesuai dengan data sesungguhnya yang berada pada objek penelitian. Selain itu, uji keabsahan data ini dilakukan untuk mengurangi dan meniadakan kesalahan data yang diperoleh selama penelitian. Sehingga, data tersebut benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, Sugiyono (2016:119) menyebutkan bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar belakangnya.

(36)

Dalam penelitian kualitatif uji keabsahan data meliputi empat cara, yaitu meliputi uji

credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektifitas). (Sugiyono, 2016:121). Untuk penelitian kali ini, peneliti menggunakan uji credibility atau uji kredibilitas.

Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check. (Sugiyono, 2016:121). Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik triangulasi.

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. (Sugiyono, 2016:125)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data.

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Sedangkan, triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. (Sugiyono, 2016:127)

DAFTAR PUSTAKA

(37)

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Group.

Ishwara, Luwi. 2007. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses dan Konteks. Bandung: Widya Padjadjaran.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhtadi, Asep Saeful. 2016. Pengantar Ilmu Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Subagyo, Joko. 2006. Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sugiyono. 2016. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suryawati, Indah. 2011. Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia.

https://www.tempo.co

Lampiran

(38)

Demo 4 November, Istana Dikepung Massa

dari Empat Sisi

Jum'at, 04 November 2016 | 15:32 WIB

Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab berada diatas mobil komando saat melakukan long march dikawasan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, 4 November 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - Istana Negara tempat Presiden Joko Widodo berkantor dikepung pendemo pada Jumat, 4 November 2016, dari empat sisi. Jalan protokol yang biasanya dilalui kendaraan kini diisi ribuan pendemo Basuki Tjahaja Purnama, yang mereka anggap

menistakan Al-Quran.

Di sisi Jalan Medan Merdeka Barat, misalnya. Ribuan orang berbendera Himpunan

Mahasiswa Islam, Laskar Mujahidin, Forum Pembela Islam, dan massa GPII menutupi dua ruas jalan tersebut. Di jalan ini, polisi antihuru-hara bertameng dan mengenakan pengaman sudah siaga.

Mobil tank air, barakuda, dan polisi bersenjata gas air mata juga siaga. Massa beberapa kali melemparkan botol ke arah polisi sejak pukul 14.00 WIB.

Untuk meredam emosi, polisi melantunkan ayat-ayat Al-Quran dari atas mobil barakuda. Sedangkan sekitar pukul 12.00 WIB di Jalan Medan Merdeka Barat, polisi dan pendemo sempat menunaikan salat Jumat bersama.

(39)

barakuda tetap siaga. Ada pula puluhan polisi berkuda yang menjaga massa agar tidak merangsek masuk ke Istana.

Di Jalan Majapahit, pendemo jauh lebih tenang. Pendemo memadati jalan ini sejak pukul 13.30 WIB. Menurut pantauan Tempo, massa berbendera HMI dan FPI berorasi dengan santai. Di ruas jalan ini, hanya polisi Sabhara antihuru-hara yang mengawal orasi massa.

Istana juga terkepung dari sisi Jalan Juanda. Massa yang bergerak dari Masjid Istiqlal ini jauh lebih banyak dan dikawal polisi Sabhara.

Di depan pagar Istana, tentara baret merah berjaga ketat. Istana Negara juga dipagari kawat berduri.

INDRI MAULIDAR

Demo 4 November Ricuh, Lemparan Batu

Dibalas Gas Air Mata

Gambar

gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosa kata dan gambar itu

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, penafsiran gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam peraturan perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku. Pitlo,

Hal yang akan penulis kaji menyangkut potret diskriminasi di dalam realitas kehidupan sosial, peran agama dalam membangun budaya yang adil dan dinamis, serta

Dalam kajian ini eili padi Capsicum jrutescens yang telah matang diberikan rawatan pembungkusan yang berbeza iaitu pembungkusan menggunakan suratkhabar, plastik polivinil klorida

Perancangan multimedia interaktif pengodean penyakit berdasarkan ICD-10 membutuhkan isi berupa berupa rule bab XV, struktur ICD- 10 bab XV, terminologi, contoh soal dan

Pada kapal-kapal yang menggunakan motor yang letaknya terlalu jauh dari buritan kapal, maka poros antara dapat dipasang lebih dari satu dengan tujuan untuk mempermudah dalam

Selanjutnya, peserta geladi dan KP mengolah dan menganalisis data yang diperoleh untuk mengidentifikasi permasalahan inti yang dialami oleh setiap UKM

Populasi pada model SEIQR dibagi menjadi lima kelompok yaitu, suspectible ( kelas subpopulasi yang rentan terinfeksi penyakit, latent ( kelas individu yang telah

Oleh karena itu untuk mendukung sistem informasi penerimaan karyawan, dibutuhkan suatu sistem yang terstruktur untuk memilih karyawan sesuai dengan posisi yang