• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan salah satu kekayaan atau sumber daya yang harus dikembangkan, karena keunggulan bangsa pada masa depan sebagian ditentukan oleh kualitas pengembangan anak. Mereka merupakan penerus dan pemilik masa depan bangsa. Upaya yang paling strategis untuk mempersiapkan serta meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Semua anak di Indonesia berhak memgenyam pendidikan, tak terkecuali pada anak berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus banyak macamnya, antara lain: anak tuna netra, anak tunarungu, anak tunaghrahita, anak tunadaksa, anak tunalaras, anak berbakat dan lain-lain. Jadi anak tunarungu juga merupakan salah satu komponen dari anak berkebutuhan khusus. Mereka juga mempunyai hak untuk berkembang dengan mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain.

(2)

mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.

Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun secara keseluruhan yang disebabkan karena faktor-faktor tertentu sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Maksud dari memerlukan pendidikan khusus yaitu anak tunarungu memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya. Salah satu karakteristik yang dimiliki anak tunarungu adalah kemiskinan bahasa yang berakibat sulit mengerti ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan sulit mengartikan kata-kata abstrak.

Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan setelah masa meraban, poses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai kemampuan dan taraf ketunarunguannya.

(3)

Pada umumnya orang akan melihat mengenai ketidakmampuan anak tunarungu dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara). Padahal masalah utama adalah bukan ketidakmampuannya dalam berbicara, melainkan akibat dari keadaan tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasa yaitu ketidakmampuan mereka dalam memahami lambang bahasa dan aturan bahasa.

Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan dan juga sulit untuk mengartikan kata-kata yang abstrak. Padahal dalam proses belajar mengajar guru tidak hanya menyampaikan pelajaran mengenai hal-hal yang konkrit saja, namun terkadang juga hal-hal yang abstrak.

Melihat kondisi yang dialami anak tunarungu di atas, maka anak tunarungu membutuhkan suatu metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Tanpa adanya metode khusus yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, maka penyampaian materi guru ke siswa hanya bersifat transfer saja.

Kualitas hasil pendidikan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang terpenting dan berpengaruh terhadap kualitas hasil pendidikan adalah proses pembelajaran. Didalam proses pembelajaran terdapat berbagai macam kegiatan diantaranya yaitu penyampaian materi pelajaran.

(4)

pembelajaran yang tepat. Penggunaan metode yang tepat oleh guru akan mempengaruhi hasil belajar siswa, maka penggunaan metode pembelajaran dapat menjadi bukti keberhasilan suatu proses belajar mengajar.

Adapun salah satu metode yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran anak tunarungu terutama pada kelas persiapan diantaranya adalah metode oral. Metode oral merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya, karena pengetahuan yang dimilikiya adalah dibangun oleh siswa itu sendii dengan sedikit demi sedikit, yang hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa Kelas persiapan SDLB Negeri Kota Magelang Tahun Pelajaran 2008/2009.

B. Rumusan Masalah

(5)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan bagian yang terpenting dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Adapun tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui apakah metode oral dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa kelas persiapan SDLB Negeri kedungsari Kota Magelang.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Menambah khasanah pengetahuan dalam pendidikan luar biasa, khususnya dalam pengembangan kemampuan bahasa anak tunarungu terutama pada kelas persiapan agar mampu mengucapkan bunyi knsonan bilabial.

b. Menambah khasanah pengetahuan tentang penggunaan metode oral dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tuanrungu di SLB B kedungsari Magelang.

c. Sebagai acuan peneliti selanjutnya dengan variabel yang lebih konkret yang dapat dijadikan dasar untuk pemberian layanan pendidikan terutama untuk pengembangan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu pada saat peneliti berkecimpung di lapangan

2. Secara Praktis a. Bagi Sekolah.

(6)

pendidikannya terutama yang berkaitan dengan proses pembelajaran akademik, khususnya dalam mengembangkan kemampuan bahasa tunarungu. b. Bagi Guru

Bagi guru SdLBN Kedungsari Magelang dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk lebih mengembangkan kreaifitas dalam kegiatan pembelajaran terutama dalam pengembangan Kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu dengan metode oral.

c. Bagi Siswa

Siswa merasa situasi pembelajaran yang dilakukannya menyenangkan dan termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode oral dalam proses belajar mengajar.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Tentang Anak Tunarungu a. Pengertian Anak Tunarungu

Menurut Halllahan dan Kauffman (dalam permanarian Somad dan Tati Hernawati 1995:26) menyatakan: ”hearing impairment. A generic term indicating a hearing disability that may range in saverity from mild to profound it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf prerson in one whose hearing precludes succesfull prcessing of linguistic information through audition or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesfull processing of linguistic information through audition”.

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah yag umum menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang mendengar. Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalaui pendengaran, baik memakai atau tidak memakai alat bantu dengar (ABM), sedangkan kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

(8)

Mardiati Busono (1993:18) mengemukakan, “anak tunarungu adalah anak yang lahir dengan sedikit pendengaran atau tidak dapat mendengar atau yang kehilangan pendengaran sejak awal masa kanak-kanak sebelum dapat berbicara dan berbahasa yang diperlukan”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pada hakekatnya anak tunarungu adalah anak yang mengalami kondisi kekurangan atau kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya organ-organ pendengaran yang terjadi sebelum atau sesudah lahir, yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya terutama hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga memerlukan bimbingan da pelayanan khusus.

b. Karakteristik Anak Tunarungu

Ketunarunguan pada seseorang tidak tampak jelas jika dibandingkan dengan ketunaan lain. Hal ini dikarenakan sepintas fisik mereka tidak mengalami kelainan. Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, emosi serta sosial yang dikemukakan oleh Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995:35-39) adalah sebagai berikut:

1) Karakteristik Dalam Segi Intelegensi

(9)

2) Karakteristik Dalam Segi Emosi dan Sosial

Akibat ketunarunguan dapat menjadikan anak yang terasing dari pergaulan sehari-hari, kemudia keterasingan tersebut menimbulkan efek yang negatif seperti:

(a) Egosentrisme yang melebihi anak normal

(b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas (c) Ketergantungan terhadap orang lain

(d) Perhatian mereka sukar dialihkan

(e) Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa masalah

(f) Lebih mudah marah dan tersinggung 3) Karakteristik dalam Segi Bahasa dan Bicara

Kemampuan berbicara dan berbahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar, hal ini disebabakan perkembangan bahasa erat hubungannya dengan kemampuan mendengar. Kemampuan berbahasa anak tunarungu tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus, sehingga perkembangannya sering tertinggal 2-4 tahun dalam kemampuan membaca dan menulis jika diabndingkan dengan anak yang mendengar. Pada anak tunarungu mengalami kemonotonan dalam suara, irama, dan tekanan suara.

Karakteristik dalam segi bahasa menurut Moh Amin (1984:47) akibat ketunarunguan pada anak mengakibatkan kemiskinan bahhasa dan memiliki ciri khas sebagai berikut:

(a) Biasanya memiliki ketidakampuan berbahasa (b) Miskin kosa kata

(c) Sulit mengerti ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan

(d) Sulit mengartikan kata-kata abstrak (e) Kurang menguasai irama dan gaya bahasa

Berdasarkan pada karakteristik anak tunarungu tersebut, maka anak tunarungu memerlukan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi kemampuan yang dimilikinya, sehingga ia dapat mengerti dan memahami kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya terutama untuk katya-kata yang bersifat abstrak.

c. Penyebab Ketunarunguan

(10)

1) Faktor Dalam Diri Anak

(a) Disebabkan faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tuanya yang mengalami ketunarunguan

(b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit campak Jerman (Rubella). Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin

(c) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin

2) Faktor luar diri anak

(a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misalnya anak terserang Herpes Implex, Jika infeksi ini menyerang pada kelamin ibu maka dapat menular pada saat anak dilahirkan. Demikian pula dengan alat kelamin lain dapat ditularkan melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif.

(b) Peradangan pada selaput otak (c) Peradangan pada selaput gendang (d) Peradangan telinga bagian tengah. d. Klasifikasi Anak Tunarungu

Pemberian layanan pendidiikan untuk anak tunarungu harus disesuaikan dengan tingkat ketunatunguannya da dilakukan dengan cara mengadakan klasifikasi.

Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel Akirk yang dikutip oleh Permanarian Somad (1995:29) adalah sebagai berikut:

1) 0 dB : Menunjukkan pendengaran yang optimal

2) 0 – 26 dB : Menunjukkan seseorang masih menunjukkan pendengaran yang normal

3) 27 – 40 dB : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (terglong tunarungu ringan) 4) 41 – 45 dB : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti

diskusi kelas,membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergoong anak tunarungu sedang)

5) 56 – 70 dB : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat masih mempunyai siswa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunuarungu agak berat)

(11)

tunarungu berat)

7) 91 dB ke atas Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengarannya untuk prses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu berat sekali)

Permanarian Somad (1995:32) juga mengelompokkan anak tunarungu berdasarkan pada anatomi fisiologisnya, yaitu:

1) Tunarungu hantaran (konduksi), ialah ketunarunguan yanng disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran berfungsi. Dapat segera diatasi atau dikurangi secara efektif melalui amplifikasi atau alat bantu dengar.

2) Tunarungu syaraf (Sensorineural), ialah tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada lobus temporali.

3) Tunarungu campuran, adalah kelainan pendengaran yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.

Berdasarkan pada klasifikasi anak tunarungu tersebut penggunaan metode oral dapat dilakukan pada semua anak tunarungu, namun dalam penelitian ini peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tunarungu kelas persiapan yang mempunyai taraf ringan dan sedag serta tidak memiliki kelainan yang lain (kelainan ganda).

2. Tinjauan Tentang Mengucapkan Konsonan Bilabial a. Pengertian Konsonan Bilabial

(12)

dengan menggetarkan udara itu. Konsonan bilabial termasuk penggolongan konsonan berdasarkan artikulasi. Adapun penggolongan konsonan berdasarkan artikulasi sebagai berikut:

1) Konsonan bilabial yaitu terjadi apabila dua bibir tertutup dimana keduanya berfungsi sebagai artikulatir dan artikulasi, bunyi bahasa yang dihasilkan yaitu: b, p, m, dan w

2) Konsonan Labio Dental yaitu gigi atas sebagai titik artikulasi dan gigi bawah sebagai titik artikulatirnya menghasilkan bunyi bahasa f dan v 3) Konsonaan opiko-denal yaitu ujub lidah sebagai artikulator yang

dipertemukan dengan gigi atas sebagai titik artikulasi menghasilkan bunyi bahasa t, z san s

4) Konsonan opiko palatal yaitu ujung lidah sebagai artikulator yang dipertemukan dengan langitlangit keras sebagai artikulasinya, menghasilkan bunyi bahasa d, n , l dan r

5) Konsonan alatal yaitu bagian lidah tengah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasi, menghasilksn bunyi bahasa c, j, ny, sy, dan y

6) Konsonan velar apabila belakanglidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasi, bunyi bahasa yang dihasilkan g, k , ng dan kh

(13)

kata rakyat, adik, dan sebagainya kemudian apabila celah itu terbuka maka akan menghasilkan bunyi h.

b. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Perkembangan bahsa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan anak normal.karena bahasa sangat dipengaruhi oleh pendengarannya sehingga perkembangan terhambat.

Katryn P. Meadow dalam Edja Sadjaah (1995 ;48) mengungkapkan bahwa perkembangan bahasa anak tunarungu tampak sebagai berikut:

1) Keterbatasan bahasa atau kecakapan bahasa anak dibedakan atas perolehan bahasa dari lingkungan keluarganya, yaitu apakah orang tuanya tuli atau mendengar. Hal ini akan mempengeruhi penggunaan bahasa anak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Apabila lingkungan keluarganya menggunakan isyarat maka bahasa yang digunakan oleh anakpun akan menjadi terbatas hanya pada isyarat, dan sebaliknya jika lingkungan keluarganya menggunakan bicara untuk berkomunikasi maka anak juga akan menggunakan bicara untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2) Kecakapan berbahasa lebih banyak menggunakan bahasa isyarat yang dipelajari melalui kontak dengan teman sebayanya dan akhirnya berkembang menjadi bahasa isyarat formal bagi dirinya secara nyata. Bahasa tulisannya menggunakan kalimat ysng pendek-pendek.

3) Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam menyusun bentuk dan struktur kalimat. Anak tunarungu juga mengalami keterbatasan dalam mengerti tanda-tanda baca, seperti kalimat berita, perintah dan tanya. 4) Kemampuan bahasa tulis, apabila diadakan evaluasi maka kebanyakan dari

anak tidak memiliki pernbendaharaan kata yang cukup untuk kepentingan akademis yang lebih tinggi.

Mufti Salim (1984 : 13) mengungkapkan bahwa piola perkembangan bahasa-bicara anak tunarungu adalah sebagai berikut:

1) Pada awal meraban anak tunarungu tidak mengalami hambatan karena hal ini merupakan kegiatan alami dari pernafasan dan pita suara, barui saat akhir meraban mulai terjadi perbedaan perkembangan. Pada anak normal, meraban merupakan kenikmatan karena anak dapat mendengarkan suara yang dikeluarkannya. Pada anak tunarungu hal tersebut tidak terjadi. Dengan demikian meraban sebagai awal perkembangan bicara terhenti. 2) Pada masa meniru anak tnarungu terbatas pada peniruan visual, yaitu

(14)

3) Perkembangan bahasa bicara selanjutnya pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif, sesuai dengan taraf ketunarunguannya dan kemapuan-kemapuan yang lain.

Myklebust dalam Lani Bunawan dan cecilia (2000:40) mengungkapkan bahwa ”pemerolehan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak normal. Pemerolehan bahasa anak normal berawwal dari adanya pengalaman atau situasi bersama antara bayi dengan ibunya dan orang yang ada di sekitarnya (lingkungan). Aak tidak diajarkan kata-kata kemudian diberitahukan artinya, melainkan melalui pengalamannya ia belajar menghubungkan antara pengalaman dan lambang bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya”.

Proses ini merupakan dasar dari berkembangnya bahasa batini (inner language). Baru setelah itu baru anak memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya, da terbentuklah bahasa reseptif anak. Setelah bahasa reseptif terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai awal kemampuan bahasa ekspresif. Semua kemammpuan ini berkembang melalui pendengaran. Baru setelah anak memasuki usia sekolah, penglihatan berperan dalam dalam perkembangan bahasanya, yaitu melalui kemampuan membaca (bahasa reseptif melalui penglihatan) dan kemampuan menulis (bahasa ekspresif melalui penglihatan)

(15)

tunarungu kemampuan bahasa ekspresif (bicara) pun baru dapat dituntut setelah terjadi perkembangan bahasa reseptif yang berkembang terlebih dahulu, oleh karena itu maka pengalaman atau situasi bersama dengan orang tua (ibunya) merupakan persyaratan pertama untuk pengembaangan bahasa dalam jumlah besar merupakan suatu prasyarat sebelum anak tunarungu dituntut mengekspresikan diri melalui bicara.

c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Kemampuan bahasa dan bicara merupakan hasil proses psiko-fisis (Mahar Mardjono dalam Tarmansyah, 1996:49). ”Aktivitas bahasa dan bicara dimulai dari pross mental, dimana seseorang bermaksud untuk menerima simbol atau menyampaikan suatu konse yang dimiliki melalui modalitas bahasa dan bicara. Adanya keinginan dan konsep merupakan suatu proses psikis. Sedangkan menerima dan mengekspresikan simbol merupakan suatu proses fisik”.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara menurut Tarmansyah dalam Enny Zubaidah(2002:23) adalah sebagai berikut:

1) Kondisi Jasmani Dan Kemampuan Motorik

Seorang anak yang mempunyai kondisi fisik sehat, tentunya akan mempunyai kemampuan gerak yang lincah, dan penuh energi. Sehingga anak akan bergairah dan lincah dalam bergerak, anak memiliki rasa keingintahuan terhadap benda-benda yang ada di sekitarnya. Benda-benda tersebut dapat diasosiasikan menjadi sebuah pengertian, dan pengertian tersebut dilahirkan dalam bentuk bahasa. Anak dengan kondisi fisik normal mempunyai konsep yang lebih lengkap dibanding dengan anak yang kondisi fisiknys terganggu. Sehingga kemampuan bahasa dan bicaranya juga akan berbeda.

2) Kesehatan Umum

Kesehatan umum yang baik menunjang terhadap perkembangan anak, termasuk dalam perkembangan bahasa dan bicara. Anak yang sehat akan mengenal lingkungannya secara utuh, namun anak yang mengalami gangguan kesehatan secara umum tentunya tidak akan diperolehnya.

(16)

lingkungannya. Selain itu mungkin anak yang kesehatannya berkurang baik tersebut menjadi berkurang minatnya untuk ikut aktif dalam melakukan kegiatan, sehingga menyebabkan berkurangnya input yang diperlukan untuk membentuk konsep bahasa dan perbendaharaan pengertian”.

3) Kecerdasan

Kecerdasan pada anak meliputi fungsi mental intelektual, dikemukakan dalam Tarmansyah bahwa anak yang memiliki kategori intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal. Begitu sebaliknya anak yang mempunyai kecerdasan rendah akan terhambat dalam kemampuan berbahasa dan bicaranya. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan atau intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan bahasa dan bicara.

4) Sikap Lingkungan

Proses pemerolehan bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar, kemudian meniru suara yang didengar dari lingkungannya (keluarga, tetangga, sekolah dan lainnya). Proses semacam ini anak tidak akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberikan kesempatan mengungkapkan apa yang pernah didengarnya. Setelah itu berangsur-angsur anak akan mampu mengekspresikan pengalamnnya (dari mendengar, melihat, membaca dan sebagainya) anak mengungkapkan kembali dalam bentuk bahasa lisan

5) Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi seseorang akan berdampak pada hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan berbicara, misalnya pengaruh dari pendidikan, fasilitas di rumah dan di sekolah, pengetahua, pergaulan, makanan dan sebagainya.

Makanan mempengaruhi kesehatan. Makanan bergizi akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan sel otak. Dalam otak inilah semua rangsangan dari luar akan dicerna, yang kemudian melahirkan respon dalam bentuk bahasa. Anak yang perkembangan sel otaknya kurang menguntungkan karena gizi yang kurang baik, tentu akan kurang berdampak positif bagi perkembangan bahasa dan bicaranya. Demikian juga pengaruh dari pendidikan yang tinggi, fasilitas yang memadai, dan pergaulan yang menguntungkan. Semuanya akan menguntungkan. Semuanya akan memberikan pengaruh positif bagi perkembangan bahasa dan bicara.

6) Kedwibahasaan

Kedwibahasaan (bilingualism) adalah kondisi dimana seseorang berada d lingkungan yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Kondisi yang demikian akan dapat mempengaruhi pada perkembangan bahasa dan bicara anak.

7) Neurologis

Faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa bicara meliputi:

(17)

Merupakan sarana untuk mempersiapkan seseorang dalam melakukan kegiatan. Jika tidak respek terhadap sesuatu, berarti tidak akan melakukan sesuatu pula. Ini berarti perkembangan bahasa dan bicara anak tidak mengalami perkembangan sebagaimana mestinya. (b) Fungsi susunan syaraf

Jika susunan syarafnya tidak berfungsi, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan bicara.

(c) Peranan susunan syaraf

Susunan syaraf yang ebrperan terhadap perkembangan bahasa dan bicara ini antara lain yang mensyarafi otot pengunyah, otot wajah dan kepala, otot reflek batuk, otot penelan, otot pernafasan, otot lidah, otot pangkal lidah, dan otot lain yang berada disekitar organ bicara. Dari otot yang mensyarafi orga bicara tersebut berperan maka perkembangan bahasa dan bicaranya baik.

(d) Syaraf yang berhubungan dengan organ bicaranya

Syaraf ini mempunyai peran dalam menghubungkan syaraf otak dengan anterior horn di spinal cord, yaitu syaraf yang mempengaruhi gerakan otot pernafasan yang diperlukan untuk bicara.

Menurut Mohammad Efendi (1993:39-41) faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara adalah berkenaan dengan kondisi internal anak (fisik dan psikis) dan kondisi eksternalanak (lingkungan). Aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Kondisi Fisiologis

Kondisi fisiologis adalah kemampuan dari organ-organ yang terkait dalam menjalankan fungsinya untuk mendukung terhadap kelancaran anak dalam meneliti rugas perkembangan bicara dan abahsanya. Organ-organ tersebut meliputi susunan syaraf (sensomotoris), kondisi organ pendengaran dan organ bicara. Syaraf sensoris berfungsi sebagai koordinator dari pikiran dan organ-organ dengan pola tindakan. Syaraf motoris berfungsi sebagai pengendali terjadinya mekanisme bicara. Organ pendengaran berfungsi sebagai tranmisi rangsang bunyi bahasa yang berasal dari lingkungan sekitar yang selanjutnya diteruskan ke otak, sdangkan organ bicara yang meliputi bibir, gigi, lidah, pita suara, langit-langit, rongga mulut/hidung, kerongkongan, sistem ernafasan merupakan elemen bicara yang berfungsi sebagai pembentukan artikulasi bicara.

2) Kondisi Psiklogis

Faktor psikologis yang mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa anak meliputi: minat, kecerdasan dan minat yang cukup kepada apa yang di lihat serta keinginan untuk berkomunikasi dengan orang disekitarnya, merupakan modal utama bagi anak dalam perolehan bahasa.

(18)

Pada tahun-tahun pertama keberadaan anak memang lebih banyak ada di lingkungan keluarga, oleh karena itu lingkungan keluarga hendaknya mengupayakan penciptaan situasi yang kondusif untuk memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bicara dan bahasa anak. Peran aktif lingkungan keluarga dalam emmberikan stimulan verbal dapat mendorong anak untuk lebih meningkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas bicara dan bahasanya.

d. Kemampuan Bahasa Anak Tunarungu

Anak tunarungu dapat dikatakan terampil atau mampu berbahasa baik apabila anak tersebut telah meguasai:

1) Kemampuan fonologik, yaitu menguasai bunyi-bunyi bahasa yang meliputi segmental dan bunyi supersegmental. Bunyi segmental adalah bunyi yang dapat kita ruas-ruaskan atau kita penggal, sedangkan supersegmental adalah bunyi yang menyertainya.

2) Kemampuan semantik, yatu kemampuan untuk menguasai kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibangun atas ketampilan fonologik sesuai makna yang dikandung.

3) Kemampuan sosial, yaitu menguasai kontak dengan lingkungannya dengan media wicara yang ditandai oleh kemampuan menggunakan tata cara dn sopan santun berbahasa yang meliputi situasi untuk mengatakan sesuatu, pemilihan yang tepat untuk mengatakannya.

(19)

(ketepatan artikulasi anak sesuai dengan kemampuan dan kesehatannya), kelancaran (kesinmbungan ide dan hukum bahasa Indonesia) dan irama.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tuna rungu dengan menggunakan metode oral, dimana metode ini merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu mampu berbicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang sekelilingnya yaitu dengan melibatkan anak tunarungu bucara secara lisan dalam setiap kesempatan. Dengan diberikannya kesemapatan padanya bicara maka secara tidak langsung anak termotivasi membiasakan bicara secara lisan

3. Tinjauan Tentang Metode Oral a. Pengertian Metode

Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada anak didik. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, disamping mengembangkan pribadinya.

Menurut Suryo Subhroto (1997 : 148) menjelaskan bahwa “pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada murid-murid yang merupakan proses pengajaran (proses bealajar mengajar) itu dilakukan oleh guru disekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu. Cara-cara demikianlah yang dimaksud sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah”.

(20)

pendidik (guru) selalu berusaha memilih metode pengajaran yang setepat-tepatnya, yang dipandang lebih efektif dari pada metode-metode lainnya sehingga kecakapan dan pengetahuan yang diberikan oleh guru itu benar-benar menjadi milik murid.

Jadi jelaslah bahwa metode adalah cara, yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Makin tepat metodenya, diharapkan makin efektif pula pencapaian tujuan tersebut. Tetapi khususnya dalam bidang pengajaran disekolah, ada beberapa faktor lain yang ikut berperan dalam menentukan efektifnya metode mengajar, anatara lain adalah faktor guru itu sendiri, faktor anak dan faktor situasi (lingkungan belajar).

Menurut Edja Sajaah & Dardjo Sukarja (1995:145) ”berbagai metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengaplikasikan teknik-teknik berbicara sudah banyak dilaksanakan dengan tujuan keberhasilan dalam pembinaan sehingga anak tunarungu mampu berbicara walaupun ia tuli. Ia mampu mengaplikasikannya dalam proses belajarnya untuk kepentingan omunikasi yang lebih luas ataupun untuk kepentingan kehidupanyya. Bicara pada hakekatnya merupakan wujud berbahasa secara lisan (verbal)”.

b. Metode Oral

(21)

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa anak tunarungu mengalami masa meraban sebagai bagian dari kesseluruhan perkembangan aktifitas motoriknya. Tetapi mereka tidak dapat mengembangkan kemampuan merabanitu melalui eksplorasi sampai menjasi suatu kemampuan bicara.

Menurut pengertian Prof. Ewing dalam buku Ortopedagogik Anak Tunarungu (Andreas Dwidjosumarto, 1995:142) “suara meraban mereka tidak terlalu berbeda dengan anak yang mendengar sampai usia 12 bulan. Setelah usia tersebut, bila anak mendengar mulai mengucapkan kata-kata, sedangkan bayi yang tunarungu akan menjadi bisu. Konsonan yang biasa diucapkan sewaktu merabanakan hilang satu per satu akhirnya huruf vokal akan hilang juga”.

Para ahli menganjurkan adanya deteksi dan bimbingan dini dalam penanganan anak tunarungu. Hal yang terpenting adalah harus ada hubungan yang erat antara pengamatan dengan eksplorasi aktif yang mendasari sebelumnya. Hanya dengan demikian bicara akan menjadi suatu kecakapan yang merupakan bagian integral dalam totalitas kemampuan komunikasi anak.

Dalam bukunya Andreas Dwidjosumarto (1995 : 141) untuk keberhasilan hal tersebut Van Uden menganjurkan menerapkan prinsip Cybernetik (uman balik, yaitu prinsip yang menekankan perlunya suatu pengontrolan diri). Setiap gerak organ bicara yang menimbulkan bunyi, dirasakan dan di amati sehingga hal itu akan memberi umpan balik terhadap gerakannya yang akan menimbulkan bunyi selanjutnya”.

(22)

B. Kerangka Berpikir

Kondisi awal kemampuan pengucapan konsonan bilabial anak tunarungu sebelum guru menggunakan metode oral kemudian dievaluasi hasilnya 7 siswa dari 9 siswa belum tuntas dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) = 65. Banyaknya siswa yang belum tuntas menunjukkan bahwa kemampuan mengucapkan konsonan bilabial masih rendah. Atas dasar kondisi yang belum menggembirakan tersebut, guru atau pengajar harus tanggap dan instropeksi diri untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan melakukan inovasi pembelajaran dengan menggunakan metode oral yang dapat meningkatkan kemampuan mengucapakan konsonan bilabial pada anak tunarungu menjadi lebih baik.

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, hipotesis penelitian ini adalah: ”Melalui Metode Oral ada peningkatan kemampuan pengucapan konsonan bilabial pada anak tunarungu kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang”.

Kemampuan Pengucapan Konsonan Bilabial

Anak Tunarungu Meningkat Menggunakan

Metode Oral Kemampuan Awal

Pengucapan Konsonan Bilabial

(23)

.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Waktu dan Tempat Penelitian i. Tempat Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas ini di laksanakan di SDLB Negeri Kedungsari Magelang, yang dilakukan pada peserta didik Kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang pada semester genap tahun pelajaran 2008/2009.

ii. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) siklus yaitu siklus I dan siklus II yang dilaksanakan pada:

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

MARET APRIL MEI JUNI

NO KEGIATAN 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Penulisan proposal v v v

2 Persetujuan proposal oleh pembimbing

v 3 Perijinaan penulisan

skripsi tingkat prodi, Jurusan, FKIP

v

4 Penulisan Bab I,II,III v v v 5 Persetujuan Bab

I,II,III oleh pembimbing

(24)

6 Perijinan Penelitian v

10 Persetujuan total skripsi oleh pembimbing

v v

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah berupa orang, benda, proses, kegiatan dan tempat (Suharsimi Arikunto, 2005: 89). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SDLB Negeri Kedungsari Magelang tahun pelajaran 2008/2009 Kelas Persiapan yang berjumlah 7 siswa yang belum tuntas. Adapun data siswanya sebagai berikut:

Tabel 2. Data PreTest Siswa Kelas Persiapan SDLB Negeri Kota Magelang

No Subyek Prestasi Ucapan

(25)

5 Fi 50 Belum Tuntas

6 Fj 46 Belum Tuntas

7 Jn 60 Belum Tuntas

Keterangan hasil Pre Test:

i. An memperoleh nilai 53, karena dia hanya dapat mengucap 5 kata dengan cukup jelas yaitu kata mata, bola, topi, pita serta tomat dan 1 kata topi kurang jelas dari sepuluh kata yang diberikan pada saat pre test

ii. Sn memperoleh nilai 55, dia telah dapat mengucapkan kata ubi, hitam, bola dan mata dengan jelas dan dua kata yaitu kata tomat dan atap kurang jelas

iii. Ang mendapat nilai 47, karena Ang dapat mengucapkan 5 kata kurang jelas pada kata mata, bola, pita, ubi, dan tomat

iv. Pt memperoleh nilai 63, dia dapat mengucap 5 kata dengan jelas dan 1 kata kurang jelas

v. Fi memperoleh nilai 5,0, karena dia dapat mengucapkan 5 kata dengan jelas

vi. Fj mendapat nilai 46, karena ia dapat mengucap 5 kata dengan kurang jelas

vii. Jn memperoleh nilai 60, sebab ia dapat mengucapkan 6 kata yaitu mata, tomat, ubi, topi, bola, dan pita.

(26)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru sebagai informan kunci dan siswa sebagai informan serta sumber data yang lain yaitu Kepala Sekolah, buku panduan siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kondisi lapangan SDLB Negeri Kedungsari Magelang yang dijumpai guru sekaligus pendidik.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Menurut Suharsimi Arikunto macam metode pengumpulan data dalam penelitian antara lain: angket, wawancara, pengamatan (observasi), tes dan dokumentasi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: i. Observasi

Metode observasi secara mendalam, untuk mengumpulkan data tentang kegiatan siswa selama proses tindakan. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif.

ii. Dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data identitas siswa dan data yang berkaitan dengan prestasi belajar siswa pada kelas dan semester sebelumnya.

iii. Tes

(27)

pos-tes. Melalui tes tersebut akan diperoleh hasil penilaian yang berupa skor nilai tes. Berdasarkan data hasil penilaian tes akan diketahui sejauh mana kemampuan dalam mengucapkan konsonan bilabial pada anak tunarungu kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang. Hasil penilaian juga dapat digunakan sebagai umpan balik untuk memberikan perlakuan atau intervensi.

E. Validitas Data

Untuk mendapatkan validitas data dalam penelitian ini diperoleh melalui trianggulasi sumber data dan pengumpulan data. Kesuitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam pengucapan konsonan bilabial maka guru membuat tes lisan.

F. Analisis data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis diskriptif : 1) Hasil belajar dianalisis dengan analisis deskriptif komparatif yaitu

membandingkan hasil belajar (nilai tes) antar siklus.

2) Observasi maupun wawancara dengan analisis deskriptif berdasarkan hasil observasi dan refleksi

G. Indikator Kinerja

Peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tunarungu melalui metode oral kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria ketuntasan.

(28)

atau nilai 65, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut terdapat 80% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama dengan 65%.

H. Prosedur Penelitian

Penelitian tindakan kelas (PTK) melalui empat tahapan utama sebagai berikut: (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting), empat tahap kegiatan ini disebut satu siklus pemecahan masalah. Secara visual tahapan pada setiap siklus penelitian tindakan kelas dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini :

PLANNING (Perencanaan)

Gambar 1. Tahapan Siklus Penelitian Tindakan Kelas

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas terdiri dari 2 (dua) siklus yaitu siklus I dan siklus II.

1. Pelaksanaan Siklus I a. Perencanaan ( Planning)

OBSERVING (Pengamatan) REFLECTING

(Refleksi)

(29)

1) Menyiapkan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) 2) Menyiapkan media berupa cermin, tisu dan gambar 3) Menyiapkan rancangan pembelajaran:

a) Guru mengajak anak baris didepan kelas berjajar-jajar sambil menghitung gerak sampai 8 hitungan

b) Tahap kedua anak-anak saling berhadapan berjabat tangan dan menyebut nama sendiri-sendiri.

c) Materi

·Konsonan M

Awal, pada kata Mata

Tengah, pada kata Tomat

Akhir, pada kata Hitam

·Konsonan B

Awal, pada kata Bola

Tengah, pada kata Ubi

Akhir, pada kata Rebab

·Konsonan P

Awal, pada kata Pita

Tengah, pada kata Topi

Akhir, pada kata Atap

4) Melaksanakan tes lisan

(30)

Pelaksanaan tindakan yang dilakukan peneliti untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial bagi siswa Kelas Persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang melalui metode oral. Langkah-langkah pelaksanaannya meliputi:

1) Guru melakukan berdoa bersama dengan dilanjutkan apersepsi yaitu memancing siswa untuk mengungkapkan sesuatu hal yang telah dialami atau dilihat oleh siswa.

2) Mengadakan test lisan untuk mengetahui kondisi awal siswa sebelum diberi tindakan.

3) Guru menginformasikan materi pelajaran yang akan dipelajari siswa yaitu tentang konsonan bilabial berupa huruf m, b dan p yang terletak di awal, tengah dan akhir. Contoh:

· Konsonan M

Awal, pada kata Mata

Tengah, pada kata Tomat

Akhir, pada kata Hitam

· Konsonan B

Awal, pada kata Bola

Tengah, pada kata Ubi

Akhir, pada kata Rebab

· Konsonan P

(31)

Tengah, pada kata Topi

Akhir, pada kata Atap

4) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

5) Guru menjelaskan materi dengan menggunakan metode oral dan media berupa cermin, tisu dan gambar

6) Peserta didik diberi kesempatan untuk mengamati dan menirukan apa yang telah disampaikan oleh guru.

7) Siswa secara individu bergantian untuk mengucapkan konsonan bilabial dengan benar.

8) Guru menuliskan hasil percakapan yang disertai dengan gambar di papan tulis

9) Guru memberikan kesempatan tanya jawab kepada peserta didik 10)Penarikan kesimpulan oleh siswa dan pembahasan hasil oleh guru 11)Melakukan penilaian yang sebenarnya melalui tes untuk mengukur

kondisi akhir siswa setelah diberi tindakan (komponen penilaian yang sebenarnya).

12)Melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi sebagai langkah akhir dari pembelajaran).

c. Pengamatan (Observing)

(32)

alat untuk melakukan pengamatan diri, yaitu mencatat hal-hal yang mungkin terjadi ketika tindakan berlangsung atau mengamati aktivitas siswa dibantu lembar observasi yang telah dipersiapkan.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui apakah metode oral dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa Kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang, maka observasi difokuskan pada keaktifan siswa dan kemampuan siswa dalam mengucapkan konsonan bilabial. Untuk melakukan observasi terhadap situasi kelas pada saat pembelajaran, peneliti meminta bantuan guru pengamat.

Dalam observasi atau pengamatan peneliti menggunakan lembar pengamatan sebagai berikut :

1 Pengucapan konsonan m a. Awal

b. Tengah c. Akhir

2 Pengucapan konsonan b a. Awal

b. Tengah c. Akhir

3 Pengucapan konsonan p a. Awal

(33)

c. Akhir

d. Refleksi (Reflecting)

(34)

2. Pelaksanaan Siklus Kedua a. Perencanaaan Tindakan Siklus II

Perencanaan tindakan pada siklus ke II merupakan revisi rencana tindakan pada siklus I. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari siklus I. Bentuk rencana tindakan ke dua adalah peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa kelas persiapan. Cara yang ditempuh ialah dengan proses pembelajaran dengan menggunakan Metode oral.

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II

Pelaksanaan tindakan II pada hakekatnya sama dengan tindakan I. Perbedaannya terletak pada peningkatan tindakan perbaikan. Inti sasaran tindakan adalah meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial. Target prosentase perubahan yang diharapkan adalah lebih dari 30% menuju kearah yang lebih baik dari siklus I.

c. Pengamatan

Pengamatan pada siklus II terhadap pelaksanaan tindakan siklus II dilakukan secara lebih cermat terhadap proses dan tindakan pada siklus ke II. d. Refleksi

(35)
(36)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian 1. Siklus I

a. Perencanaan

Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pembelajaran 1, tes formatif 1, dan alat-alat pengajaran atau yang mendukung seperti cermin, tisu dan gambar. Selain itu juga dipersiapkan lembar observasi pengolahan belajar aktif untuk guru pengamat. b. Tindakan

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 5 – 14 Mei 2009 di kelas persiapan dengan jumlah 7 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan.

Kegiatan pelaksanaan tindakan kelas pada siklus I adalah sebagai berikut:.

13)Guru melakukan berdoa bersama dengan dilanjutkan apersepsi yaitu memancing siswa untuk mengungkapkan sesuatu hal yang telah dialami atau dilihat oleh siswa.

(37)

15)Guru menginformasikan materi pelajaran yang akan dipelajari siswa yaitu tentang konsonan bilabial berupa huruf m, b dan p yang terletak di awal, tengah dan akhir. Contoh:

· Konsonan M

Awal, pada kata Mata

Tengah, pada kata Tomat

Akhir, pada kata Hitam

· Konsonan B

Awal, pada kata Bola

Tengah, pada kata Ubi

Akhir, pada kata Rebab

· Konsonan P

Awal, pada kata Pita

Tengah, pada kata Topi

Akhir, pada kata Atap

16)Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

17)Guru menjelaskan materi dengan menggunakan metode oral dan media berupa cermin, tisu dan gambar

18)Peserta didik diberi kesempatan untuk mengamati dan menirukan apa yang telah disampaikan oleh guru.

(38)

20)Guru menuliskan hasil percakapan yang disertai dengan gambar di papan tulis

21)Guru memberikan kesempatan tanya jawab kepada peserta didik 22)Penarikan kesimpulan oleh siswa dan pembahasan hasil oleh guru

23)Melakukan penilaian yang sebenarnya melalui tes untuk mengukur kondisi akhir siswa setelah diberi tindakan (komponen penilaian yang sebenarnya). 24)Melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi sebagai langkah akhir dari pembelajaran).

Berikut ini hasil pre test pada siklus I:

Tabel 3. Hasil Pre Test

NO SUBYEK NILAI

1 An 53

2 Sn 55

3 Ang 47

4 Pt 63

5 Fi 50

6 Fj 46

(39)

Keterangan hasil pre test:

i. An memperoleh nilai 53, karena dia hanya dapat mengucap 5 kata dengan cukup jelas yaitu kata mata, bola, topi, pita serta tomat dan 1 kata topi kurang jelas dari sepuluh kata yang diberikan pada saat pre test

ii. Sn memperoleh nilai 55, dia telah dapat mengucapkan kata ubi, hitam, bola dan mata dengan jelas dan dua kata yaitu kata tomat dan atap kurang jelas

iii. Ang mendapat nilai 47, karena Ang dapat mengucapkan 5 kata kurang jelas pada kata mata, bola, pita, ubi, dan tomat

iv. Pt memperoleh nilai 63, dia dapat mengucap 5 kata dengan jelas dan 1 kata kurang jelas

v. Fi memperoleh nilai 50, karena dia dapat mengucapkan 5 kata dengan jelas

vi. Fj mendapat nilai 46, karena ia dapat mengucap 5 kata dengan kurang jelas vii. Jn memperoleh nilai 60, sebab ia dapat mengucapkan 6 kata yaitu mata,

tomat, ubi, topi, bola, dan pita.

(40)

Tabel 4. Hasil Tes Siklus Pertama

NO SUBYEK NILAI

1 An 63

2 Sn 67

3 Ang 58

4 Pt 70

5 Fi 66

6 Fj 53

7 Jn 75

Keterangan hasil pos test siklus I:

1. An memperoleh nilai 63, setelah tindakan pada siklus I dia telah dapat mengucap 7 kata dengan cukup jelas yaitu kata mata, bola, topi, pita serta tomat, hitam dan ubi dari sepuluh kata yang diberikan pada saat pos test 2. Sn memperoleh nilai 67, dia telah dapat mengucapkan 6 kata ubi, hitam,

bola, tomat, atap dan pita dengan jelas dan 1 kata yaitu kata topi dan kurang jelas

3. Ang mendapat nilai 58, karena Ang dapat mengucapkan 5 kata dengan jelas pada kata mata, bola, pita, ubi, dan tomat dan 1 kata kurang jelas yaitu kata topi.

4. Pt memperoleh nilai 70, dia dapat mengucap 7 kata dengan jelas

(41)

6. Fj mendapat nilai 53, karena ia dapat mengucap 5 kata dengan jelas dan satu kata kurang jelas

7. Jn memperoleh nilai 75, sebab ia dapat mengucapkan 7 kata yaitu mata, tomat, ubi, topi, bola, hitam dan pita dan satu kata yaitu atap dengan cukup jelas.

Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus I

NO Uraian Hasil Siklus

1 2 3

Nilai rata-rata tes formatif Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar

6,4 4 57%

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode oral nilai rata-rata prestasi belajar siswa dalam mengucapkan konsonan bilabial adalah 6,4 dan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 57% atau ada 4 siswa dari 7 siswa yang sudah tutas belajar.

(42)

c. Pengamatan

Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar, peneliti sebagai guru sedangkan pengamatan dibantu oleh wali kelas III.

Selama guru dan siswa terlibat dalam pembelajaran dengan menggunakan metode oral di kelas, maka pada saat siswa aktif mengerjakan tugas, guru menyiapkan alat untuk melakukan pengamatan diri yaitu mencatat hal-hal yang mungkin terjadi ketika tindakan berlangsung atau mengamati aktifitas siswa dilembar observasi yang telah dipersiapkan. Hal-hal yang perlu dicermati guru dalam melaksanakan tindakan antara lain:

a. Perhatian siswa ketika menerima perintah guru b. Catatan tugas

c. Keaktifan mengikuti aktifitas pembelajaran d. Tingkat kesalahan

e. Hal-hal yang berpengaruh terhadap tindakan yang diberikan.

Pelaksanaan pada siklus pertama ini, ketika pembelajaran tentang keserasian pengucapan konsonan bilabial berlangsung, tampak beberapa siswa masih terlihat bingung dan termenung mengikuti pembelajaran,. Mereka masih merasa kesulitan untuk mengucapkan konsonan bilabial dengan jelas dan benar. Sehingga perhatian dan aktifitas mereka masih kurang terhadap pembelajaran.

(43)

Tabel 6. Hasil Pengematan Terhadap Aktifitas Siswa Pada Siklus I 1 Pengucapan konsonan m

d. Awal 2 Pengucapan konsonan b

d. Awal 3 Pengucapan konsonan p

d. Awal

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa aktifitas siswa pada siklus I yaitu:

1. Siswa yang dapat mengucapkan konsonan m dengan jelas baik konsonan

m yang terletak di awal, tengah maupun akhir sebesar 2 siswa yaitu Pt dan Jn, adapun yang 3 siswa yaitu Sn, An, Ang tidak jelas pengucapannya dan 2 siswa yaitu Fj dan Fi tidak dapat mengucapkan.

(44)

3. Adapun siswa yang dapat mengucapkan konsonan p dengan jelas baik konsonan p yang terletak di awal, tengah maupun akhir sebesar 3 siswa dan 4 siswa tidak jelas pengucapannya

d. Refleksi

Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan selama berlangsungnya tindakan ditemukan kelemahan-kelemahan yang perlu direncanakan kembali pada siklus berikutnya, yaitu:

1) Guru kurang baik dalam memotivasi siswa

2) Penyampaian tujuan dan materi pembelajaran masih terlalu cepat sehingga daya tangkap siswa berkurang

3) Siswa kurang minat selama pembelajaran berlangsung

4) Beberapa siswa masih ada yang kurang perhatian pada saat dijelaskan materi pelajaran melalui metode oral

5) Dalam mengikuti pembelajaran masih ada beberapa siswa yang belum bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di kelas, kurang percaya diri terhadap teman-teman yang lebih pandai/persaingan di kelas yang sangat ketat, dan kurangnya perhatian guru

6) Ketika guru menjelaskan tentang materi terlalu cepat dan terkesan terburu-buru, sehingga daya tangkap siswa merasa berkurang

Berdasarkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya refisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya antara lain:

(45)

2) Guru perlu menjelaskan pembagian waktu proses menmgucapkan konsonan bilabial

3) Guru perlu menjelaskan materi tahap demi tahap sehingga mudah untuk di ikuti oleh siswa

4) Guru perlu menjelaskan tata cara mengucapkan konsonan bilabial yang benar

5) Pemberian reward bagi anak, sehingga dapat memberikan motivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran

2. Siklus II a. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pembelajaran 2, tes formatif II, dan alat-alat atau media pengajaran yang mendukung. Selain itu juga dipersiapkan lembar observasi pengolahan belajar aktif dan lembar observasi guru dan siswa

b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan

(46)

Tabel 7. Hasil Test Siklus II

NO SUBYEK NILAI Pos-test

1 An 7,0

2 Sn 7,5

3 Ang 6,6

4 Pt 8,5

5 Fi 7,8

6 Fj 6,4

7 Jn 9,0

Keterangan hasil pos test siklus II:

1. An memperoleh nilai 70, setelah tindakan pada siklus II dia telah mampu mengucap 7 kata dengan jelas yaitu kata mata, bola, topi, pita, tomat, hitam dan ubi dari sepuluh kata yang diberikan pada saat pos test siklus II 2. Sn memperoleh nilai 75, dia telah dapat mengucapkan 7 kata ubi, hitam,

bola, tomat, atap dan pita dengan jelas dan 1 kata yaitu kata topi dan cukup jelas

3. Ang mendapat nilai 66, karena Ang dapat mengucapkan 6 kata dengan jelas pada kata mata, bola, pita, ubi, dan tomat dan 1 kata cukup jelas yaitu kata topi.

(47)

5. Fi memperoleh nilai 78, karena dia dapat mengucapkan 7 kata dengan jelas dan 1 kata cukup jelas

6. Fj mendapat nilai 64, karena ia dapat mengucap 6 kata dengan jelas dan satu kata kurang jelas

7. Jn memperoleh nilai 90, sebab ia dapat mengucapkan 9 kata dengan jelas

Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus II

NO Uraian Hasil Siklus

1 2

3

Nilai rata-rata tes formatif Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar

7,5 6 86%

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 7,5 dan dari 7 siswa telah tuntas sebanyak 6 siswa dan 1 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 86% (termasuk kategori tuntas).. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan metode oral sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang diberikan.

c. Pengamatan

(48)

Pelaksanaan pada siklus kedua ini, ketika pembelajaran tentang pengucapan konsonan bilabial berlangsung, siswa sangat antusias mengikuti pembelajaran, mereka sudah dapat melaksanakan pengucapan konsonan bilabial dengan jelas dan benar.. Sehingga perhatian dan aktifitas mereka dapat optimal dalam mengikuti pembelajaran pada siklus ke II ini . Berikut tabel hasil pengamatan pada siklus II.

Tabel 9. Hasil Pengamatan Terhadap Aktifitas Siswa Pada Siklus II NO Indikator Aktifitas 1 Pengucapan konsonan m

a. Awal 2 Pengucapan konsonan b

a. Awal 3 Pengucapan konsonan p

a. Awal

(49)

1. Siswa yang dapat mengucapkan konsonan m dengan jelas baik konsonan

m yang terletak di awal, tengah maupun akhir sebesar 5 siswa, adapun yang 2 siswa tidak jelas pengucapannya.

2. Untuk siswa yang dapat mengucapkan konsonan b dengan jelas baik konsonan b yang terletak di awal, tengah maupun akhir sebesar 7 siswa, 3. Adapun siswa yang dapat mengucapkan konsonan p dengan jelas baik

konsonan p yang terletak di awal, tengah maupun akhir sebesar 6 siswa dan 1 siswa tidak jelas pengucapannya

e) Refleksi

Pada tahap ini akan dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode oral. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar.

2) Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode oral karena mereka sudah memahami dan telah mendapatkan tindakan pada siklus I sehingga siswa sangat perhatian dan aktif dalam mengikuti pembelajaran 3) Kekurangan pada siklus I sudah mengalami perbaikan dan peningkatan

(50)

4) Hasil belajar siswa pada siklus II mencapai ketuntasanyang diharapkan yaitu sebesar 86% atau 6 siswa dari 7 siswa telah tuntas, adapun 1 siswa yang belum tuntas dapat diberikan remidi.

B. Hasil Penelitian 1. Hasil Penelitian Siklus I

Dari hasil pos test yang dilaksanakan pada siklus I menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode oral selama satu putaran untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa kelas persiapan belum mencapai hasil yang maksimal. Dari hasil pengamatan peneliti, faktor penyebab kurang tercapainya hasil seperti yang diharapkan adalah

a. Pada saat pelaksanaan kegiatan belajar siswa masih kurang aktif terhadap apa yang akan dilakukan oleh guru

b. Masih kurangnya perhatian siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode oral

(51)

Tabel 10. Data Rekapitulasi Hasil Penilaian Kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tuna rungu Pre Test dan Test Siklus I

NILAI

NO SUBYEK

Pre Test Test Siklus I

1 An 5,3 6,3

2 Sn 5,5 6,7

3 Ang 4,7 5,8

4 Pt 6,3 7,0

5 Fi 5,0 6,6

6 Fj 4,6 5,3

7 Jn 6,0 7,5

TABEL 11. Analisis Hasil Pre Test

NO NILAI KATEGORI JUMLAH

SISWA

PROSENTASE

1 85 – 100 Sangat Baik - -

2 75 – 84 Baik - -

3 65 – 74 Cukup Baik - -

4 <65 Kurang Baik 7 100 %

(52)

TABEL 12. Analisis Hasil Test Siklus I

NO NILAI KATEGORI JUMLAH PROSENTASE

1 85 – 100 Sangat Baik - -

2 75 – 84 Baik 1 14 %

3 65 – 74 Cukup Baik 3 43 %

4 <65 Kurang Baik 3 43 %

Jumlah 7 100 %

Berdasarkan tabel tersebut diatas terlihat adanya peningkatan skor penilaian kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu kelas persiapan mengalami perkembangan. Secara umum kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu sudah mengalami peningkatan, namun masih perlu adanya perbaikan lebih lanjut. Perkembangan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu antara sebelum dan susudah tindakan pada siklus I dapat dilihat dalam grafik berikut:

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Sgt baik Baik Ckp baik Krg Baik

(53)

Gambar 2. Grafik Perkembangan Hasil Test Antara Sebelum Dan Susudah Tindakan Pada Siklus I

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa hasil belajar siswa sebelum diadakan tindakan adalah sebesar 100 % siswa memperoleh hasil belajar tergolong kategori kurang baik, siswa tergolong kategori cukup baik, baik,dan sangat baik belum ada. Setelah diadakan tindakan, ternyata kemmapuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu mengalami perubahan. Hal ini bisa dilihat dari hasil Post-Test yang menunjukkan bahwa 14 % siswa tergolong baik, berarti ada peningkatan sebesar 14 % dibandingkan dengan

pre-Test, 43 % tergolong kategori cukup baik, berarti ada peningkatan 43 % dibanding dengan hasil pre-Test, dan 43 % siswa tergolong kategori kurang baik, berarti ada penurunan sebesar 57 % dibandingkan dengan pre-Test.

Sementara siswa yang mendapat nilai dalam kategori sagat baik belum ada. Sedangkan ketuntasan belajar klasikal yang diperoleh pada siklus I ini sebesar 57%

Peningkatan skor penilaian kemampuan mengucapkan konsonan bilabial ini terjadi setelah ke tujuh subyek diberi tindakan dengan menggunakan metode oral dalam kegiatan pembelajaran.

2. Hasil Penelitian Siklus II

(54)

Tabel 13. Hasil Test Siklus Kedua

NO SUBYEK NILAI

1 An 7,0

2 Sn 7,5

3 Ang 6,6

4 Pt 8,4

5 Fi 7,8

6 Fj 6,4

7 Jn 9,0

TABEL 14. Analisis Hasil Test Siklus II

NO NILAI KATEGORI JUMLAH PROSENTASE

1 85 – 100 Sangat Baik 1 14 %

2 75 – 84 Baik 3 43 %

3 65 – 74 Cukup Baik 2 29 %

4 <65 Kurang Baik 1 14 %

Jumlah 7 100 %

(55)

ditetapkan. Adapun hasil belajar siswa secara keseluruhan antara siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 15. Data Rekapitulasi Hasil Penilaian Kemampuan mengucapkan konsonan bilabial Anak Tunarungu Pada Siklus I dan Siklus II

NO Subyek Kondisi Awal Siklus I Siklus II

1 An 5,3 6,3 7,0

2 Sn 5,5 6,7 7,5

3 Ang 4,7 5,8 6,6

4 Pt 6,3 7,0 8,4

5 Fi 5,0 6,6 7,8

6 Fj 4,6 5,3 6,4

7 Jn 6,0 7,5 9,0

Tabel 16. Analisis Hasil Test Siklus I dan Siklus II

Siklus I Siklus II NO Nilai Kategori

Jml Prosentase Jml Prosentase

1 85 – 100 Sangat Baik - - 1 14 %

2 75 – 84 Baik 1 14 % 3 43 %

3 65 – 74 Cukup Baik 3 43 % 2 29 %

4 <65 Kurang Baik 3 43 % 1 14 %

(56)

Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya peningkatan skor penilaian kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada 7 subyek. Ini berati bahwa kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu kelas persiapan mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siklus I dan siklus II dapat dilihat dalam grafik berikut:

Gambar 3. Grafik Perkembangan Hasil Test Antara Siklus I dan Siklsu II

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa hasil belajar siswa pada siklus I sebelum diadakan tindakan adalah 43 % siswa memperoleh hasil belajar tergolong kategori kurang baik, 43 % siswa tergolong kategori cukup baik, 14 % siswa tergolong kategori baik,sedangkan yang tergolong sangat baik belum ada. Setelah diadakan tindakan pada siklus II, ternyata kemmapuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat dari hasil Test siklus II yang menunjukkan bahwa 14 % siswa tergolong sangat baik baik, berarti ada peningkatan

Sgt baik Baik Ckp baik Krg Baik

(57)

sebesar 14 % dibandingkan dengan Test siklus I, 43 % tergolong kategori baik, berarti ada peningkatan 29 % dibanding dengan hasil Test siklus I, dan 29 % siswa tergolong kategori cukup baik, berarti ada penurunan sebesar 14 % dibandingkan dengan Test siklus I . Sementara siswa yang mendapat nilai dalam kategori kurang baik ada 14%, berarti ada penurunan 29% dibandingkan test siklus I. Sedangkan ketuntasan belajar klasikal yang diperoleh pada siklus II ini sebesar 86%.

C. Pembahasan .

(58)
(59)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Kemampuan mengucapkan konsonan bilabial siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dapat ditingkatkan melalui metode oral. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan dalam mengucapkan konsonan bilabial oleh siswa dalam pembelajaran.

Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama dua siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan meode oral memiliki dampak positif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam mengucapkan konsonan bilabial, Hal ini terlihat dalam setiap siklus yaitu ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus I (57%) dan siklus II (86%), dengan batas minimal ketuntasan secara klasikal sebesar 85%.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia terutama tentang pengucapan konsonan bilabial lebih efektif dan memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Guru

(60)

b. Mengevaluasi strategi dan metode yang sudah diterapkan sehingga akan menghasilkan hasil belajar yang optimsl

2. Bagi siswa

d. Berlatih untuk kreatif berfikir dalam menerima pembelajaran tentang pengucapan konsonan bilabial

e. Termotivasi untuk memanfatkan fasilitas yang telah disediakan oleh sekolah

3. Bagi sekolah

a. Hendaknya memberikan fasilitas pada guru dalam pengembangan atau penerapan startegi atau metode dlam pembelajaran

(61)

Daftar Pustaka

Andreas Dwidjosumarto, (1995), Ortopedagogik Anak Tunarugu, Jakarta, Depdikbud

Arikunto, Suharsimi, (2002), Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bina Aksara

Arikunto, Suharsimi, (1996), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara

Arikunto, Suharsimi, (1997), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,, Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas, (2007), Undang-Undang Tentang Kependidikan, Jakarta

Edja Sadjaah & Darjo Sukarjo (1995), Bina Bicara, Persepsi Bunyi dan Irama, Jakarta: Depdikbud

Hadi, Sutrisno, (1978 ), Metodologi Research II, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Lani Bumawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Jakarta: Yayasan Santi Rama

Mardiati Busono, (1983), Pendidikan Anak Tunarungu, Yogyakarta: P3T IKIP

Mufti Salim, (1984), Pendidikan Anak Tunarungu, Jakarta: Depdikbud Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996), Ortopedagogik Anak

Tunarugu, Jakarta: Depdikbud.

Sugiono, (1999), Metode Penelitian dan Administrasi, Bandung: Alffa Bata.

(62)

Lembar Hasil Pengematan Terhadap Aktifitas Siswa Pada Siklus I NO Indikator Aktifitas

Siswa

Jelas Tidak Jelas

Tidak Dapat Mengucap 1 Pengucapan konsonan m

g. Awal h. Tengah i. Akhir

2 Pengucapan konsonan b g. Awal

h. Tengah i. Akhir

3 Pengucapan konsonan p g. Awal

h. Tengah i. Akhir

Mengetahui Guru Pengamat

(63)

Lembar Hasil Pengematan Terhadap Aktifitas Siswa Pada Siklus II NO Indikator Aktifitas

Siswa

Jelas Tidak Jelas

Tidak Dapat Mengucap 1 Pengucapan konsonan m

j. Awal k. Tengah l. Akhir

2 Pengucapan konsonan b j. Awal

k. Tengah l. Akhir

3 Pengucapan konsonan p j. Awal

k. Tengah l. Akhir

Mengetahui Guru Pengamat

Gambar

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Tabel 2. Data PreTest Siswa Kelas Persiapan SDLB Negeri Kota
Tabel 3. Hasil  Pre Test
Tabel 4. Hasil  Tes  Siklus Pertama
+7

Referensi

Dokumen terkait

kemampuan komunikasi siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa. mampu untuk

Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan bahasa lisan anak kelompok B

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan kemampuan menulis teks negosiasi dengan metode group investigation

1. Menganalisis pemanfaatan metode pembelajaran tipe CIRC dalam meningkatkan kemampuan menemukan masalah utama berita siswa kelas VIIIA SMP N 2 Sidoharjo. Menganalisis

Menggunakan metode pembelajaran Active Debate, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan bertanya dan menjawab siswa, karena dalam suasana pembelajaran siswa dapat

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan metode SAS dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I MIS

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan metode Complete Sentence dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran

Berdasarkan data kemampuan komunikasi awal siswa kelas D IV di SLB-B YRTRW Surakarta menunjukkan bahwa dari empat siswa diperoleh nilai rata-rata 56,25. Nilai