Pasar Seni Rupa
Indonesia
-
Ringkasan Singkat
Christine Toelle 2016
cghtoelle@gmail.com
ㅡ
Pengantar
Perihal pasar sendiri secara umum dipahami sebagai sebuah kondisi lingkungan, fisik mau pun non-fisik tempat terjadinya proses jual beli. Sedangkan medan seni rupa kita dipahami mampu untuk ada dan berjalan hingga kini oleh pemberdayaan seniman yang ada di Indonesia sendiri. Tidak terlepas di dalamnya sebuah jejaring yang diciptakan dari tiga unsur utama, yakni produsen - distributor - konsumen. Sedari dahulu, sesungguhnya kondisi pasar atau transaksi ini sudah ada, namun bentuknya saja yang tidak selalu sama.
ㅡ
Dalam buku Seni Lukis Indonesia Baru karya Sanento Yuliman, beliau memaparkan pelbagai kondisi yang ada di Indonesia berdasarkan beberapa pembagian bagan waktu, dengan pembahasan khusus dalam ranah seni rupa "modern" Indonesia, tanpa menyepelekan namun tidak mengikutsertakan seni rupa Bali yang tentunya memiliki wacana pemaknaannya tersendiri. Melalui tulisan ini, beliau menceritakan bahwa Indonesia mengenal seni rupa yang "kebarat-baratan" ini masuk ke Indonesia mulai dari pelukis Eropa yang berkunjung dan memilih untuk berkarya disini di akhir abad ke-19, lalu Raden Patah sebagai satu-satunya pelukis ternama Indonesia pada masanya, menghasilkan karya dengan selera yang memang disukai orang Belanda.
Hal ini terus berlanjut hingga awal abad ke-20, dimana mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang pelukis terus melanjutkan kekaryaan mereka dalam bidangan gaya Mooi Indie
atau sebagai warisan gaya-gaya narturalis Barat bawaan Belanda. Memberikan 'hiburan' bagi saudagar-saudagar kaya Belanda yang tidak memberi interest seperti apa pun kepada lukisan-lukisan
portrait seperti saudara bangsawan mereka di negeri asal, dimana
Berkembang dari masa itu, almarhum Sanento Yuliman melanjutkan paparan ceritanya pada masa 1940 hingga 1960-an yang dihuni oleh gerakan-gerakan seni rupa dinamis yang mengedepankan perkembangan estetika di Indonesia. Sebagaimana nilai modernisme tentang kebaruan, keaslian, dan kreativitas ini dianut oleh mayoritas pelukis pada masa itu, dan sebagaimana mereka terus membentuk gerakan serta manifesto yang mampu membawa seni lukis Indonesia ke arah pembaruan, kebanyakan dari mereka tetap tidak mampu melepaskan diri dari gaya-gaya politik kerakyatan, atau impresi-impresi kejiwaan. Dalam masa ini, pelukis bukan hanya erat dengan isu dan kehangatan politik, namun juga hidup dari pemeran-pemeran politik. Mereka menjadi pemasok besar dari kebutuhan para politikus, angkatan tentara, dan pemeran-pemeran pemerintahan lainnya.
Dalam sisi lain, kondisi penaksiran atau perkembangan pasar dari pelukis Indonesia juga menjadi pusat perhatian yang tidak kalah menarik, dimulai dari praktik pasar yang memperlihatkan penjualan tinggi dari karya-karya seniman senior yang booming
di pasar Internasional dengan harga fantastis. Salah satunya dapat dilihat dari fenomena bersamaan bienial Gwangju yang prestise dengan terjualnya karya Hendra Gunawan di balai lelang Cristie's Singapura seharga dua ratus delapan belas tujuh ratus lima puluh ribu dolar singapura atau setara dengan satu miliar tiga ratus juta rupiah. Dalam beberapa kesempatan pun ditemui bahwa kolektor Indonesia seringkali menjadi penyumbang terbesar bagi lelang karya seniman Indonesia terdahulu di sejumlah lelang berskala Indonesia.
Pernah pun Balai Lelang Christie's dan Sotheby's Singapura ditaksir mendapati omset sebesar 1,5 milar singapur dolar per tahun dan hampir setengah dari omset tersebut merupakan "sumbangan" dari kolektor-kolektor Indonesia. Kondisi ini tentu berbalik seratus delapan puluh derajat dari kondisi seniman Indonesia awal abad 20 yang hidup seadanya dikarenakan keputusan mereka untuk hidup sebagai seorang pelaku seni. Pada awal perkembangan seni rupa Indonesia sendiri S.Sudjojono menyampaikan dalam Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang tahun 2000, bahwa bilamana dahulu adanya, pelukis dihadapkan dengan kenyataan bahwa objek yang mereka lukis haruslah bersinggungan dengan rupa gunung, pohon kelapa, dan sawah sebagai trimurtinya bilamana ingin terjual dan mendapat uang untuk makan dan selamat dari tuberkolosis. Berbeda dengan paradigma pasar kita kini yang memperlihatkan pekerjaan seniman ternama yang mampu menghidupi keturunan anak cucunya kedepan.
Namun, membaca kondisi secara sekilas dari kondisi masa kini, penulis meyakini adanya pembauran antara kedua jalur yang tadinya dianggap berbeda, wacana seni rupa penulis yakini sudah mulai merambah dan masuk mengendalikan pasar, walaupun tidak begitu kuat dan mungkin banyak terjadi distorsi di dalamnya.
Contoh dari perambahan wacana dalam praktik pasar ini mungkin dapat dilihat dari kemunculan-kemunculan kurator sebagai ladang pekerjaan yang dahulu dikenal "baru", namun kini mulai dianggap lazim. Kurator terkadang berperan bukan hanya sebagai pelaksana kelancaran pameran, namun juga sebagai penulis, sebagai "penjual" dari seuah karya. Ibaratkan seorang sales man
dari produk kecantikan, pekerjaannya ialah meyakini keberadaan sebuah karya dalam ketertarikan pembeli atau investor -yang dalam hal ini berupa penyumbang usaha-usaha komisi bagi tambahan jajan bagi seniman-.
Ladang pekerjaan ini mungkin dalam buku Art: Histories,
Theories, and Exceptions karya Adam Geczy di segmen
pembahasan "Money" dijelaskan sebagai pekerjaan dari seorang
connoisseur.Sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh para ahli atau
pengamat seni rupa yang pada akhirnya menjadi penasihat dalam diskusi-diskusi non-formal dengan para kolektor, pandangan mereka sebagai praktisi diyakini menjadi pandangan profesional yang mampu menebak liabilitas dari future investmentdari sang kolektor, atau mungkin kolekdol. Secara non-formal pun mulai bermunculan mendampingi atau menyekaligusi kurator, pelaku-pelaku art-dealing. Art-dealer sebagai mata pencaharian yang memang memasang garis sejajar antara medan wacana dengan pasar seni rupa.
Namun hingga sekarang memang, perkembangan segala ladang pencaharian untuk membantu kelancaran proses jual beli karya seni ini banyak berkecimpung dalam bentukan-bentukan galeri mau pun biro usaha seni rupa. Bentukan-bentukan ini ditunjang juga oleh perkembangan Indonesia dalam menyelenggarakan art
fairs di lingkup nasional, walau pun memang sayangnya belum
diatasnamakan art fairs yang dipelopori oleh tanah air kita sendiri, beberapa di antaranya adalah perpanjangan tangan dari acara tahunan Singapur, seperti Bazaar Art dan Art Stage.
menarik bagi para kolektor, menghasilkan uang bagi seniman mau pun ladang tersebut.
Melihat kondisi ini, penulis tetap tidak meninggalkan kecenderungan pola yang terus ada. Kolektor, sebagai penyumbang terbesar bagi keterusan hidup sang seniman, walau pun sudah membuka diri pada wacana estetika, pada penilaian praktisi seni dan mau mencoba mengerti kondisi yang ada di luar pasar, tetaplah mereka hanya memberikan investasi berdasarkan logika yang akan ada dalam pasar mana pun. Logika ini dibentuk dari kesadaran bahwa sebaik apa pun karya tersebut, kolektor akan tetap mengikuti kecenderungan terbesar yang ada dalam pasar, memilih karya yang nilai jualnya akan tetap baik dalam investasi sekian tahun kedepan, dan tidak lain tidak bukan karya tersebut pastilah mewujudkan diri dalam kanvas atau rupa
painting.
Berbeda dari keberadaan karya di bienial-bienial Internasional yang melepaskan batasan atau resistensi kesenian pada seniman, yang memberikan wadah perkembangan internasional bagi seniman-seniman instalasi,new media art, sound art, lighting art,
dan bentuk media lain yang dalam pasar dianggap 'kurang lazim'. Hal ini mungkin baru dapat dilihat dalam koleksi-koleksi museum dan galeri, namun bukan koleksi pribadi.
Demikian penulis paparkan kondisi secara permukaan dari pasar medan seni rupa Indonesia, mungkin kedepannya perkembangan koleksi secara media dan terbukanya pintu bagi kolektor-kolektor "nyeleneh" yang menerima keberadaan seni serupa instalasi bisa bermunculan, namun keberadaan tersebut masih menjadi sebuah angan, terutama bagi seniman-seniman media baru yang hidup masih dari pembiayaan residensi dari satu negara ke negara lain dan bukan dari pembiayaan hasil jual karya mereka.
ㅡ
Sumber
Geczy, Adam. 2010. Art: Histories, Theories, and Exceptions.
Australia: Berg Publishers.
Wicaksono, Adi. 2002. Identitas dan Budaya Massa: Paradigma
dan Pasar. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru sebuah
pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.