• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperkenalkan Paradigma Seni Rupa Konte (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memperkenalkan Paradigma Seni Rupa Konte (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Memperkenalkan Paradigma Seni Rupa Kontemporer melalui Pendidikan Seni Rupa Hariyanto

Universitas Negeri Malang hariyantosiswowihardjo@yahoo.co.id

Pendidikan Seni Rupa di Indonesia yang diberlakukan di sekolah umum baik

pendidikan dasar maupun menengah pada saat ini masih menggunakan dua kurikulum yaitu KTSP dan Kurikulum 2013. Praktek pendidikan seni rupa di sekolah umum maupun di pendidikan tinggi belum sejajar dengan praktek seni rupa di medan sosial seni rupa baik tingkat nasional maupun internasional. Seni rupa kontemporer sudah menjadi arus utama dalam medan sosial seni rupa Indonesia. Praktek seni rupa kontemporer di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi dua arus utama yaitu seni rupa kontemporer yang berorientasi pengembangan wacana dan seni rupa kontemporer yang berorientasi pasar.

Prinsip pembelajaran seni budaya bersifat rekreatif untuk membentuk pribadi peserta didik yang harmonis. Mata pelajaran Seni Budaya memiliki sifat multilingual,

multidimensional, dan multikultural. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam seni budaya (Kemendikbud, 2016). Berdasarkan prinsip dan sifat dari pembelajaran seni budaya

khususnya seni rupa maka pendidikan seni rupa memiliki tanggungjawab untuk mengajak peserta didik untuk mengembangkan sifat multikultural melalui kegiatan apresiasi maupun kreasi. Kekayaan dan keragaman budaya Indonesia menjadi modal yang besar untuk membangun sikap demokratis, toleran, saling menghargai, kerjasama, dan gotong-royong. Kegiatan seni rupa di sekolah bisa difokuskan untuk mengembangkan sikap-sikap positif tersebut.

Para pendidik seni rupa di sekolah memiliki peran yang strategis dalam

(2)

Prinsip seni rupa modern yang mengedepankan orisinalitas, kebaruan, dan keunikan pribadi yang mendorong sikap individualis sudah tidak relevan lagi untuk dikembangkan sebagai prinsip dasar kreativitas. Dengan membanjirnya arus informasi dalam bentuk audio visual maka bentuk-bentuk visual keseharian tidak bisa dihindari dari kehidupan masyarakat informasi. Budaya visual menjadi realitas keseharian masyarakat Indonesia sehingga

masyarakat tidak sempat mendalami makna budaya visual yang menjadi unsur penting dalam budaya kontemporer. Seni rupa kontemporer menjadikan budaya visual sebagai sumber atau referensi dalam produksi gagasan, selain itu seni rupa kontemporer juga bisa menerima unsur budaya tradisi sebagai referensi dalam produksi gagasan.

Prinsip-prinsip dan teori-teori yang mendasari praktek seni rupa kontemporer masih belum banyak dilakukan oleh para guru seni rupa Indonesia. Para guru melaksanakan pembelajaran seni rupa sesuai penafsiran mereka terhadap kurikulum yang berlaku (2013/2016) lebih secara tersurat daripada secara tersirat. Jika hanya mengandalkan

kurikulum yang tersurat saja maka dalam kurikulum 2013 revisi 2016 tidak ditemukan istilah seni rupa kontemporer. Kegiatan pembelajaran seni rupa di sekolah seharusnya tidak semata hanya menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku, tetapi juga harus menyesuaikan dengan perkembangan seni rupa yang terjadi di masyarakat.

Para peserta didik dengan mudah menemukan sendiri informasi perkembangan seni rupa kontemporer melalui smartphone mereka. Oleh karena itu para guru perlu mengimbangi pengetahuan peserta didik dengan melakukan berbagai kegiatan seni rupa yang dapat

menampung keingintahuan peserta didik khususnya dalam hal perkembangan seni rupa kontemporere. Kegiatan seni rupa yang dikembangkan guru bisa menjadi filter agar peserta didik tidak mudah terpengaruh oleh kebebasan informasi yang tidak bisa dibendung.

Pengaruh budaya global tidak mudah untuk dihindari karena masyarakat Indonesia tidak dibatasi dalam menerima informasi yang bersifat global. Globalisasi telah membawa nilai-nilai baru yang belum tentu baik bagi perkembangan jiwa peserta didik. Tanpa harus melawan budaya global maka para guru seni rupa perlu terus mengenalkan dan

mengembangkan budaya lokal sebagai salah satu cara untuk mengimbangi budaya global. Para guru dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk mempelajari dan menyebarluaskan seni rupa lokal. Karakter peserta didik demokratis dan toleran yang ingin dicapai oleh

(3)

Makalah ini membahas paradigma seni rupa kontemporer, konteks sosial budaya global, pengenalan budaya visual, membangun karakter peserta didik melalui praktek seni rupa kontemporer.

Paradigma Seni Rupa Kontemporer

Istilah paradigma banyak digunakan dalam bidang sains, namun sekarang bidang-bidang lain seperti ilmu humaniora juga menggunakan istilah ini. Kata paradigma biasa diartikan sebagai cara pandang atau kerangka berpikir terhadap sesuatu. Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif) (Vardiansyah, 2008). Istilah paradigma kemudian populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya dalam buku The Structure of Scientific Revolutions (1945). Thomas Kuhn mendefinisikan paradigma saintifik sebagai apa yang dapat diamati dan diteliti dengan cermat; sejenis pertanyaan yang diharapkan dijawab dan digali untuk jawaban-jawaban dalam hubungan terhadap subjek; bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu dapat distrukturkan dan bagaimana hasil dari investigasi saintifik itu akan diinterpretasikan (Wikipedia, 2015). Menurut Arthur C. Danto, modernisme sering disebut dengan Era Manifesto adalah paradigma baru yang menggantikan era sebelumnya yang menganut paradigma mimesis. Modernisme merupakan era terakhir di dalam sejarah seni rupa, sedangkan saat ini sejarah seni rupa telah berakhir (Danto, 1997:29-30).

Paradigma dapat digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi dalam sejarah seni rupa modern. Sedikitnya terdapat lima paradigma estetik dalam sejarah senirupa modern Indonesia. Pertama ‘paradigma romantisme eksotis Mooi Indie’, kedua ‘paradigma estetik faham kontekstualisme kerakyatan’ (masa Persagi hingga Lekra), ketiga ‘paradigma estetik humanisme universal’ (paruh kedua 1960-an hingga 1980-an), keempat ‘paradigma estetik kontekstualisme pluralistis’ (sejak 1974), dan kelima ‘paradigma Sintesis Baru’ yaitu kecenderungan sejak pergantian abad lalu (Burhan, 2007).

(4)

Victor Burgin mendeskripsikan Konseptualisme sebagai suatu perlawanan terhadap modernisme (Burgin,1992:911-916). Kaum konseptualis dengan sengaja berusaha menempatkan seni rupa melampaui batas-batas dan definisi, untuk lepas dari sejarah seni rupa dan kritisisme formalis kelas menengah yang menghambat. Konseptualisme menjadi terminologi yang memayungi dan menyatukan berbagai praktik seni rupa yang sulit diklasifikasikan seperti performance art dan seni rupa bumi ( Witcombe,2010).

Kritik terhadap modernisme juga datang dari perupa feminis seperti Lucy Lippard yang menolak slogan ‘seni untuk seni’ yang menekankan pada optik atau kontrol yang dominan dari sistem galeri atas akses mereka terhadap seni rupa. Dalam buku berjudul Six Years: The Dematerialization of the Art Object, Lippard mengemukakan kronologi sejarah seni rupa tahun 1966-1972, ketika banyak perupa mencari alternatif dari seni lukis dan seni patung dan mengembangkan mode baru seperti seni rupa : konseptual, antiform, bumi, proses, tubuh dan seni rupa pertunjukan (Gablik, 1988:20-35).

Posmodernisme menolak narasi besar modernisme dari arah artistik, menghilangkan batas-batas antara bentuk-bentuk seni rupa tinggi dan rendah, menghancurkan konvensi-konvensi genre dengan pelanggaran, kolase dan fragmentasi. Seni rupa posmodern berpendapat bahwa semua pendirian adalah tidak stabil dan mendua, dan karena itu ironi, parodi dan humor adalah posisi tunggal yang tidak dapat dihancurkan oleh kritik dan revisi. ‘Pluralisme dan perbedaan’ adalah hal-hal penting lain yang ditegaskan ( Woods,1989:323).

Piliang (2003, 231-237) menyatakan bahwa posmodernisme adalah sebuah wacana yang dibangun oleh pluralitas ideologi, yang di dalamnya berbagai keyakinan dan kepercayaan hidup dalam ruang dan waktu yang sama. Pluralitas ini terfragmentasi menjadi dua yaitu pluralisme dan relativisme. Menurut Suzi Gablik istilah posmodernisme memiliki kesamaan arti dengan istilah pluralisme. Kedua istilah itu menunjuk pada hilangnya keyakinan dalam sebuah arus-utama stilistik, seolah-olah seluruh sejarah gaya tiba-tiba mengalami kemandekan. Pluralisme menghapuskan kontrol, dan memberi kesan bahwa apapun diperbolehkan.(Gablik, 1988:73).

(5)

Linda Hutcheon, melalui parodi ataupun bentuk reproduksi lain, konsep orisinal sebagai sesuatu yang langka, tunggal dan berharga dipertanyakan kembali (Hutcheon, 2004:147-148) Globalisasi Budaya

Salah satu akibat dari globalisasi ekonomi dan globalisasi informasi adalah berkembangnya globalisasi budaya. Globalisasi budaya dapat menimbulkan konflik budaya atau konflik peradaban seperti yang dikawatirkan oleh Samuel Hutington. McDonalisasi merupakan bentuk nyata dari budaya global yang telah menyebar ke seluruh dunia. Esis McDonalisasi adalah versi saat ini dari gagasan homogenisasi masyarakat sejagat melalui dampak korporasi multinasional (Pieterse, 2009: 43-64).

Globalisasi budaya yang berkembang melalui berbagai media global dan korporasi multinasional telah melahirkan hibridasi budaya. Beberapa kajian yang telah melakukan pendekatan terhadap hibriditas sebagai hasil ikutan dari dinamika transkultural antara tradisi dan modernitas, kadang-kadang dikonsepsikan sebagai lokal dan global (Kraidy, 2002:316-339). Pada saat ini banyak perhatian sedang diarahkan pada kajian budaya visual dari media massa dan periklanan yang dialami para peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kebangkitan budaya populer kontemporer, anak-anak dan para pemuda dihadapkan pada pesan-pesan komersial yang dibuat melalui seni untuk menhasilkan dampak yang maksimal (Day, 2009:125-140).

Konteks sosial-budaya amat penting dalam kegiatan produksi maupun apresiasi seni rupa. Tanpa konteks, karya seni rupa hanyalah susunan material yang tidak memiliki makna apa-apa. Globalisasi budaya yang ditandai dengan berlimpahnya citraan visual melalui media elektronik telah menjadi realitas sehari-hari yang takterhindarkan. Konteks budaya global menjadi hal yang bisa dijadikan pertimbangan dalam kegiatan produksi dan apresiasi seni rupa di sekolah.

Budaya Visual sebagai Bahan Ajar

(6)

termasuk isu-isu mengenai kekuatan representasi, formasi identitas budaya, fungsi produksi kreatif, makna narasi visual, refleksi kritis pada penyebaran teknologi, dan pentingnya hubungan interdisipliner.

Pendidikan seni rupa di banyak negara Barat telah mulai berubah dari Discipline-Based Art Education ke Visual Culture Art Education. Struktur kurikuler dari DBAE terdiri dari empat disiplin yaitu : sejarah seni rupa, kritik seni, estetika, dan produksi seni. Konteks historis, sosial, budaya dan isi dari citra/artefak akan memiliki keunggulan lebih dari kualitas bentuk. Perubahan tekanan ini tidak akan meniadakan relevansi kualitas bentuk dari citra dengan cara apapun, tetapi akan menata ulang citra itu sebagai wahana untuk pemahaman terhadap makna dan karya nilai seni rupa dalam konteks lebih luas dan historis.

Budaya visual telah menjadi budaya keseharian masyarakat global yang tidak bisa dihindari kehadirannya, budaya sifatnya massal dan penyebarannya melalui media elektronik dengan cepat dan secara global. Gambar atau objek/artefak memiliki kekuatannya sendiri yang tidak disadari oleh para pengamat atau penggunanya. Pengaruh kuat dari budaya visual sangat meresahkan para orangtua dan pendidik. Seni rupa sebagai bagian dari budaya visual memiliki kekuatan untuk mengimbangi kekuatan budaya visual.

Para pendidik seni rupa sudah waktunya untuk menengok ke budaya visual dan segera menjadikannya sebagai bahan untuk pembelajaran seni rupa di sekolah. Gambar dan objek/artefak budaya visual lebih akrab dengan kehidupan peserta didik sehingga lebih menyenangkan bagi peserta didik. Budaya visual amat kaya ragam sehingga akan menjadi sumber gagasan dan kreativitas bagi peserta didik untuk memproduksi karya seni rupa yang bermakna.

Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Praktek Seni Rupa Kontemporer

Prinsip-prinsip seperti demokratis, toleran, kesetaraan, keadilan, menghormati hak asasi manusia dan sebagainya yang terdapat dalam seni rupa kontemporer dapat digunakan oleh para pendidik seni rupa untuk membangun karakter peserta didik. Dalam praktek seni rupa kontemporer tidak dituntut prinsip seperti orisinalitas, kebaruan, dan keunikan pribadi seperti dalam seni rupa modern. Strategi apropriasi, penggunaan benda siap pakai (readymade), pencampuran media biasa dilakukan oleh perupa kontemporer. Strategi dan teknik itu bisa digunakan untuk menghasilkan parodi, pastiche, camp dan sebagainya.

(7)

bisa juga menggunakan media baru seperti smartphone dan komputer untuk menghasilkan seni multimedia dengan menggunakan aplikasi-aplikasi atau software yang mudah dipelajari.

Sesuai dengan pendirian postmodern, pendidikan seni kontemporer menyoroti

konsep, ide dan hubungan antara karya seni di satu sisi, dan sosial, masalah budaya dan politik di sisi lain (Hardy, 2006). Seni rupa kontemporer lebih mengutamakan makna atau pesan yang terkandung di balik bentuk visual dibandingkan aspek estetikanya yang formalistik. Setiap objek atau bentuk visual memiliki maknanya sendiri. Citraan, objek, atau artefak bisa menjadi tanda atau simbol untuk mengungkapkan gagasan yang dipikirkan oleh peserta didik. Gagasan-gagasan yang dipikirkan oleh peserta didik tentang sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan sosial-politik dapat diungkapkan melalui objek, benda atau bentuk visual yang berasal dari budaya visual sehari-hari.

Benda-benda, objek-objek, atau citraan-citraan sehari-hari yang dihasilkan oleh industri kapitalisme global dapat menjadi referensi bagi peserta didik untuk menyampaikan pesan-pesan kritis agar dapat menjadi bahan wacana bagi teman-temannya. Para peserta didik juga bisa memanfaatkan kamera digital atau handphone untuk membuat seni video. Untuk membangun karakter saling mengenal budaya lain bisa dilakukan dengan meminjam unsur budaya etnik tertentu sebagai bahan untuk menghasilkan karya seni rupa. Karya seni rupa kontemporer bisa dikerjakan secara kolektif atau kolaboratif sehingga menjadikan para peserta didik dapat belajar bekerjasama.

Para peserta didik perempuan bisa membuat karya seni rupa yang materialnya diambil dari benda-benda atau objek-objek yang ada di sekitar kehidupan perempuan. Melalui objek dan citraan yang bersumber dari dunia perempuan (feminitas) dapat dihasilkan karya-karya seni rupa yang bisa digunakan untuk mewacanakan isu-isu kesetaraan jender. Melalui bahasa visual perempuan para peserta didik perempuan bisa menyuarakan ketidakadilan jender, atau mengkritisi dominasi patriarki.

(8)

Simpulan

Paradigma seni rupa kontemporer yang pluralis telah menggantikan paradigma seni rupa modern yang universal. Paradigma kontekstualisme pluralis ini mengagungkan prinsip keberagaman dalam praktek seni rupa kontemporer. Keberagaman bisa dilihat dari berbagai gaya, teknik, dan cara pengungkapan yang dilakukan oleh para perupa.

Konteks budaya global telah melahirkan budaya visual yang dapat dikembangkan menjadi bahan ajar seni rupa bagi peserta didik. Budaya visual bisa menjadi material berkarya maupun sebagai sumber pewacanaan. Pendidikan seni rupa dapat membangun karakter demokratis, toleran, kesetaraan, penghargaan HAM, keadilan dan sebagainya pada peserta didik. Melalui praktek berkarya seni rupa kontemporer, para peserta didik dapat diajarkan sikap kritis dalam menyikapi perkembangan budaya global yang semakin kuat pengaruhnya.

Daftar Rujukan

Burgin, Victor “Socialist Formalism” dalam Harrison, Charles ,dan Wood, Paul ,eds, Art in Theory 1900-1990: An Anthology of Chnging Ideas, Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell, 1992

Burhan, Agus 2007. “Paradigma Estetik Seni Rupa Modern Indonesia Dalam Perspektif Sejarah” http://galeri-nasional.or.id

Danto, Arthur C. 1997. After the End of Art, Contemporary Art and the Pale of History, Princeton, New Jersey, Princeton University Press.

Day, Michael, 2009. “Contemporary Art and Student Learning” International Journal of Art Education, 7.1

Freedman, Kerry & Stuhr, Patricia, 2004, “Curriculum Change for 21st Century: Visual Culture in Art Education” dalam Eisner, E. W. & Day, M. , 2004, Hanbook of Research and Policy in Art Education, Mahwah: Lawrence Erbaum Asscociates

Gablik, Suzi, 1988. Has Modernism Failed?, New York : Thames and Hudson.

Hardy, Tom, 2006. Art Education in a Postmodern World, Bristol UK: Intellect Ltd.

Harrison, Charles, “Modernism”, dan Richard Shift ,ed, Critical Terms for Art History, Chicago: The University dalam Robert S. Nelson of Chicago Press, 2003

(9)

Kemendikbud, 2016. Silabus Mata Pelajaran Seni Budaya SMA/SMK/MA/MAK, Jakarta. Kraidy, M.M, 2002. “Hybridity in Cultural Globalization” Jurnal Communication Theory,

12(3)

Pieterse, Jan Nederveen, 2009, Globalization and Culture: Global Mélange, Plymouth UK: Rowman & Littlefield Publishers

Piliang,Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Yogyakarta:Jalasutra

UNESCO, 2006. Road Map for Art Education: Building Creative Capasities for 21st Century

Vardiansyah, Dani Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta : Indeks, 2008.

Wikipedia, 2015. Paradigm

Witcombe, Christoper L.C.E, 2010. Modernism, online http://arthistoryresources.net/modernism/politics.html

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan Rencana Secara Kolaboratif terhadap Kepatuhan Rumah Sakit Umum GMIM Bethesda Kota Tomohon dalam Penempatan Tenaga Kesehatan Sesuai Standar Komisi

 I was not in my room last night.  We were not hungry for dinner yesterday. The last form of simple past in irregular verb is interrogative form, here is the formula..

Keterangan : Orang tersebut diatas adalah benar-benar penduduk Desa Ringinsari Kecamatan Kandat Kabupaten Kediri, orang tua dari anak yang bernama YASMIN FIQX NISA yang kuliah

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adhim (2013) tentang pengembangan media animasi interaktif daur biogeokimia menunjukkan bahwa media tersebut sangat layak untuk

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa praktik pemasakan air oleh penjamah makanan sebelum dikonsumsi untuk minum bukan merupakan faktor

terhadap Efektifitas Pengendalian Anggaran Pemeritah Daerah Kota Dumai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, diantaranya: 1) Bidang Teoritis

Dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Diklat