Dari Redaksi 1
Suara Anda 2
Laporan Utama
Air Minum Masih Jadi Impian 3
Filosofi Air Minum Dorong Perbaikan PDAM 7
Sekilas Kondisi Air Minum dan Sanitasi Indonesia 8
Menilik MDGs Air Minum 10
Peringkat Cakupan Layanan Air Minum Per Kabupaten/Kota Tahun 2002 11 Wawasan
Batam: Air Mengalir Lewat Kios 13
Air di Australia dan Pembangunan Berkelanjutan 15
Sekali Lagi tentang Privatisasi 17
Penanganan Kebocoran di PDAM Makassar 20
Strategi Peningkatan Kesadaran Masyarakat 21
Teropong
The Real Air Minum 24
Dirut PDAM Kota Bogor: Bisa Dikembangkan Lebih Luas 25
Reportase
Pedagang Air, Antara Dibutuhkan dan Disayangkan 26
Wawancara
Ketua Umum Perpamsi: Perlu Badan Pengelola Air 28
Info Buku 31
Info Situs 32
Info CD 33
Seputar WASPOLA
Perbaikan Draft Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga 34 Fasilitasi Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Daerah 35 Seputar AMPL
Hari Monitoring Air Sedunia 37
Menangani Kebocoran Perlu Komitmen 38
Seminar Hari Habitat Dunia 2004 39
Lokakarya NAP Air Minum, Air Limbah, dan Persampahan 39
Pemaparan Konsep CLTS 40
Lokakarya Nasional Sumber Air Domestik 41
Diseminasi Petunjuk Teknis Pembangunan Prasarana dan Sarana Kawasan Agropolitan dan Penyehatan Lingkungan Permukiman di Wilayah Barat 41
Konsolidasi Interim Proyek WSLIC 2 42
Sosialisai Manual Pengelolaan Sarana AMPL Tingkat Desa 43
Handwashing: Soap Saves Lives! 43
Kunjungan Monitoring WSLIC 2 ke Kab. Belitung 44
Seminar Nasional Sosialisasi UU No. 8 Tahun 2004 45
SANIMAS Balong Asri, Mojokerto Terawat 46
Pertemuan Tim Koordinasi Propinsi dan Kabupaten Proyek WSLIC 2 46
Peresmian Proyek WSLIC 2 di Kab. Kediri 47
Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi Proyek Pro Air 47
Lokakarya Penyempurnaan Proposal Program Pembangunan Sanitasi Indonesia 48 Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja WASPOLA Tahun 2005 48 Kunjungan
WSLIC 2 Ubah Desa Pakel Jadi Desa Sehat 49
Pustaka AMPL 50
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Diterbitkan oleh: Kelompok Kerja Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan
Penasihat/Pelindung: Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan
Perdesaan, DEPKIMPRASWIL
Penanggung Jawab: Direktur Permukiman dan Perumahan,
BAPPENAS
Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES
Direktur Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur, DEPKIMPRASWIL Direktur Bina Sumber Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI
Pemimpin Redaksi: Oswar Mungkasa
Dewan Redaksi: Hartoyo, Johan Susmono, Indar Parawansa, Poedjastanto
Redaktur Pelaksana: Maraita Listyasari, Rewang Budiyana,
Rheidda Pramudhy, Joko Wartono, Essy Asiah, Mujiyanto
Desain/Ilustrasi: Rudi Kosasih
Produksi: Machrudin
Sirkulasi/Distribusi: Anggie Rifki
Alamat Redaksi:
Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp. (021) 31904113
e-mail: [email protected] [email protected] [email protected]
Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan penyehatan
P
embaca, Percikkembali menya-pa Anda. Dua bulan rasanya begi-tu lama. Kami berharap edisi ini akan mengobati rasa rindu Anda.Kalau edisi sebelumnya, Percik mengangkat isu sampah, kali ini kami membahas air minum. Mengapa? Karena ini masalah yang sangat penting. Air minum adalah kebutuhan dasar manusia. Bahkan posisinya tidak bisa digantikan dengan yang lain. Apakah kita sudah menyadari hal ini? Sayangnya perhatian terhadap air minum belum seperti yang diharapkan.
Hampir semua daerah di Indonesia sudah memiliki Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), tapi hampir semua juga tidak memberikan layanan sebagaimana nama yang disandangnya yakni perusa-haan yang menghasilkan air minum. Yang terjadi, PDAM baru melayani kon-sumennya dengan air bersih.
Tentu ini sebuah tantangan baru bagi PDAM. Mengingat sebagian besar PDAM masih menanggung beban utang. Jumlahnya pun cukup besar. Sebagian yang lain masih berkutat dengan per-soalan inefisiensi dan mismanajemen. Di sisi lain, tuntutan terhadap pelayanan yang optimal tak bisa dibendung lagi apalagi Indonesia telah menyepakati komitmen yang dicanangkan oleh pemimpin dunia pada Johannesburg Summit 2002 sebagai manifestasi dari
Millennium Development Goals (MDGs).
Di sana dinyatakan bahwa pada tahun 2015, separuh dari penduduk dunia yang saat ini belum mendapatkan akses ter-hadap air minum (safe drinking water) harus telah mendapatkan akses tersebut. Selanjutnya pada tahun 2025, seluruh penduduk dunia harus telah menda-patkan akses terhadap air minum.
Tentu untuk mencapai hal itu harus terjadi perubahan paradigma dari air bersih menjadi air minum. Perubahan filosofi inilah, yang menurut Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas, Basah Hernowo, akan memberikan
dampak yang signifikan tidak hanya bagi PDAM tetapi juga kepada masyarakat pelanggan air minum.
Lalu bagaimana dengan PDAM sendiri untuk memenuhi tuntutan itu, Percikmengadakan wawancara dengan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Ridwan Syahputra Musagani. Berbagai hal menyangkut PDAM terungkap darinya, termasuk gagasannya agar air minum bisa memperoleh subsidi sebagai-mana bahan bakar.
Tak kalah menariknya, pengalaman PDAM Tirta Pakuan, Kota Bogor, yang telah berhasil mengembangkan layanan air minum dalam arti sebenarnya. Air produknya telah memenuhi kualitas yang ditetapkan untuk diminum. Hanya saja memang masih dalam skala kecil. Ken-dati begitu, ini adalah cikal bakal untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang
terus berkembang saat ini.
Pembaca, rubrik wawasan kali ini mungkin tak seperti biasanya. Ada satu tulisan yang cukup panjang mengenai Strategi Peningkatan Kesadaran Masya-rakat. Isinya cukup menarik berkaitan dengan bagaimana menggerakkan kesa-daran masyarakat dari berbagai sudut pandang dan oleh berbagai kalangan ter-hadap konservasi air.
Perlu kami informasikan, kegiatan Kelompok Kerja AMPL cukup banyak dan kami tampung di rubrik Seputar AMPL. Informasi lainnya, lomba penulisan ten-tang penyelenggaran air minum dan penyehatan lingkungan telah memasuki tahap penilaian. Pada November ini pemenang akan diumumkan.
Akhirnya kami berharap Percikakan terus menjadi salah satu referensi Anda di bidang air minum dan penyehatan lingkungan. Wassalam.
A R I R E D A K S I
D
Segenap Redaksi Majalah Percik mengucapkan
Selamat Idul Fitri 1425 H
“Mohon Maaf Lahir dan Batin”
Ingin Dapat Percik
Sebelumnya saya memperkenalkan diri, nama saya Kesit Kanigoro. Saya be-kerja di sebuah NGO (World Vision International) di Jakarta. Saya mengeta-hui majalah ini dari teman yang meng-ikuti pertemuan dengan beberapa lemba-ga sekitar bulan September lalu. Ketika saya membaca isinya ternyata bagus sekali dan amat membantu saya untuk menambah wawasan saya tentang sani-tasi. Saya kebetulan baru mendapatkan tugas untuk menangani hal ini, jadi saya harus belajar banyak tentang sanitasi dan air minum.
Untuk itu saya perlu informasi ba-gaimana mendapatkan majalah ini. Saya sudah mencoba akses ke internet me-mang ada dalam situs AMPL, tapi saya kesulitan untuk men-download-nya. Di manakah saya bisa mendapatkan cetakan majalah ini atau CD-nya. Atas bantuan-nya kami ucapkan terima kasih.
Kesit Kanigoro
Jakarta
Percik bisa didapatkan di kantor Pokja AMPL atau sekretariat redaksi
Percikdi Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Ja-karta Pusat, setiap hari kerja. Anda bisa datang langsung atau menghubungi kami melalui telepon.(Redaksi)
Ingin Dapat CD dan Buku
Dalam rangka pengembangan Per-pustakaan Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang untuk peningkatan wawasan para mahasiswa bersama ini kami memo-hon kepada bapak/ibu Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Ling-kungan untuk dapat mengirimkan kepa-da kami beberapa CD kepa-dan buku sebagai berikut:
1. Reducing Energy Cost ini Munici-pal Water Supplay Operations
2.Water Supply and Sanitation for Small Towns and Multivillage Schemes,
Proceeding International Conference.
3. Pedoman Pengelolaan Persampah-an PerkotaPersampah-an bagi PelaksPersampah-ana, Depar-temen Permukiman dan Prasarana Wila-yah, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003.
4. Pedoman Pengelolaan Persam-pahan Perkotaan bagi Eksekutif dan Legislatif Pemerintah Kota/Kabupaten, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Tata Per-kotaan dan Tata Perdesaan, 2003
5. Pedoman Penyusunan Standar Pe-layanan Bidang Air Minum, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003.
6. Pedoman Penanggulangan Limbah Cair Domestik, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003.
Atas bantuan, kerja sama serta perha-tian Bapak/Ibu demi kepentingan maha-siswa kami atas nama jurusan, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Ir. Syafrudin CES, MT.
NIP. 131 764 877 Jurusan Teknik Lingkungan An. Dekan Fakultas Teknik UNDIP Semarang
Kami akan membantu sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan CD atau buku yang ada. (Redaksi)
Tema yang Aktual
Terima kasih kami ucapkan atas kiriman Percik edisi Juni ke kantor kami, sebagai media pertukaran informasi bidang AMPL. Kami nilai isi media terse-but sudah cukup variatif, dari laporan utama, wawasan, reportase, dan rubrik-rubrik lain. Untuk penyempurnaan, kami menyarankan agar pada penerbitan-pe-nerbitan selanjutnya, tema yang diangkat merujuk pada isu-isu yang akan atau sedang menjadi persoalan kita bersama seperti kekeringan saat ini dan mungkin masalah banjir lagi pada bulan-bulan mendatang, dikaitkan dengan pengelo-laan AMPL pada keadaan tersebut.
Bapeda Subang
Terima kasih atas sarannya. Kami akan berusaha terus memperbaiki isi majalah Percik.Berbagai masukan da-ri para stakeholder, bagi kami sangat berharga demi kemajuan majalah ini. Bahkan kami amat senang jika para sta-keholder di seantero Nusantara bisa menuliskan hal-hal aktual yang terjadi di wilayahnya masing-masing, terma-suk berbagai pengalaman menyangkut AMPL, untuk kemudian kami muat di Percik.(Redaksi)
U A R A A N D A
S
A
ir adalah kehidupan. Kali-mat itu begitu dalam mak-nanya, tapi sebagian besar orang/pengambil keputusan (pe-merintah) tidak menyadarinya. Buktinya, air minum belum masuk dalam daftar kebutuhan pokok manusia. Yang umum disebut sebagai kebutuhan pokok adalah makanan, pakaian, dan perumah-an. Lebih spesifik lagi, khalayak sering menyebut sembako (sembi-lan bahan pokok) sebagai kebu-tuhan dasar yang harus dipenuhi. Terus di mana posisi air minum?Padahal kalau kita mau ber-pikir sejenak, betapa air mi-num/bersih peranannya tak bisa tergantikan. Kalau kita tak mem-punyai beras, kita bisa makan singkong atau jagung atau lainnya. Tak punya minyak goreng, kita bisa memasak tanpa minyak go-reng. Tapi kalau tidak ada air, apa yang bisa kita lakukan dengan sembako yang ada? Jadi barang teronggok yang tak berguna.
Memang saat ini kita bisa men-jumpai air di mana-mana. Tapi apakah air itu memenuhi syarat secara kualitas untuk diminum/dimasak? Nanti dulu. Jika kita sembarangan menggu-nakan air, alih-alih bisa sehat, justru sebaliknya bisa mendatangkan penyakit. Dr. John Snow, epidemologis, pada tahun 1855 menemukan bahwa penyakit kolera menyebar bersama air yang rusak. Ada keterkaitan erat antara sumber air mi-num yang tercemar dan berjangkitnya wabah kolera di Inggris saat itu. Pada tahun 1880-an, Louis Pasteur mengem-bangkan teorithe germ theory of disease
yang menjelaskan penularan penyakit dari mikroba melalui media air. Studi
Bank Dunia (1992) mengungkapkan bahwa penyakit diare yang berasal dari air yang tidak layak minum telah menye-babkan kemaitan lebih dari 3 juta pen-duduk per tahun, jumlah terbesarnya anak-anak. Ini semua menunjukkan beta-pa pentingnya air minum bagi kesehatan dan kehidupan. Air minum adalah kebu-tuhan dasar manusia.
Usaha untuk memenuhi kebutuhan air minum di Indonesia termasuk meme-nuhi target MDGs tidak terlepas dari kip-rah Perusahaan Daekip-rah Air Minum (PDAM). Bahkan untuk daerah perko-taan, PDAM merupakan tulang punggung
pelayanan air minum. Untuk itu, laporan utama kali ini akan ba-nyak menyoroti kinerja PDAM.
Latar Belakang Pendirian PDAM
Keberadaan PDAM merupa-kan cerminan pelaksanaan pasal 5 ayat 4 UU No. 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang berbunyi "Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di daerah yang bersangkutan di-usahakan oleh perusahaan dae-rah yang modalnya untuk selu-ruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan".
Jumlah PDAM
Berdasar data terakhir yang tertera dalam dokumen Per-pamsi Direktori 2000, maka jumlah PDAM telah mencapai 290 perusahaan. Selain itu, saat ini tercatat 6 perusahaan swasta yang telah beroperasi, yaitu PT Palyja dan PT. Thames Water Jaya yang mendapatkan konsesi dari PAM Jaya; PT. Tirta Artha Mulia di Bali yang merupakan patungan swasta de-ngan PDAM Kabupaten Badung mem-berikan pelayanan di kawasan Nusa Dua Bali; PT. Aditia Tirta Batam, perusahaan patungan swasta Indonesia dengan Biwater dari Inggris, mendapatkan kon-sesi untuk melayani seluruh pulau Batam dari PT. Otorita Batam; PT. Dream di Ambon, merupakan perusahaan pa-tungan antara PDAM Ambon dengan perusahaan DRENTE dari Belanda untuk melayani sebagian wilayah kota Ambon.
A P O R A N U T A M A
Air Minum
Masih Jadi Impian
L
Cakupan Pelayanan PDAM
Pelayanan air minum di kawasan perkotaan umumnya ditangani oleh PDAM, berbeda dengan kawasan perde-saan yang lebih banyak ditangani oleh organisasi masyarakat setempat yang beragam bentuknya. Tak heran tingkat pelayanan air minum PDAM di perdesaan hanya mencapai sekitar 5 persen, semen-tara di perkotaan telah menjangkau 51,7 persen (BPS, 2000). Jumlah penduduk yang terlayani sebesar 56,6 juta jiwa, de-ngan jumlah sambude-ngan rumah sebanyak 4,748 juta unit dan hidran umum sebanyak 85.700 unit.
Walaupun demikian, baru sekitar 20,3 persen PDAM yang cakupan pelayanannya di atas 25 persen, semen-tara hanya 8,6 persen cakupan pelayanan di atas 50 persen, selebihnya sekitar 79,7 persen baru melayani dibawah 25 persen.
Masalah dan Kendala
Kontribusi pelayanan air minum PDAM tidak dapat dipungkiri cukup sig-nifikan, walaupun sebenarnya kualitas air yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan masih sering PDAM diplesetkan sebagai Perusahaan Daerah Air Mandi.
Usaha PDAM untuk meningkatkan
kualitas air yang dihasilkan banyak ter-kendala oleh ketersediaan sumber air baku, baik kuantitas maupun kualitas. Walaupun ketersediaan air Indonesia mencakup sekitar 6 persen persediaan air dunia atau sekitar 21 persen persediaan air Asia Pasifik (KLH, 2003), namun dari tahun ke tahun kelangkaan air makin mengemuka. Secara nasional, ketersedi-aan air masih mencukupi, tetapi jika dirinci per wilayah maka akan terlihat bahwa wilayah Jawa-Bali dan Nusa
Teng-gara mengalami defisit ketersediaan air terutama di musim kemarau.
Kecenderungan konsumsi air mening-kat tajam sementara ketersediaan air ba-ku yang memadai semakin terbatas. Semakin langkanya air baku salah satu-nya disebabkan oleh pengelolaan air lim-bah yang tidak terkendali disamping kurangnya usaha konservasi sumber air. Berdasar data Departemen Pekerjaan Umum, sekitar 56,15 persen KK mem-buang langsung limbahnya ke sungai. Sementara sungai merupakan sumber air baku PDAM. Lebih dari 60 persen kapa-sitas produksi mempergunakan sungai sebagai air bakunya. Penggunaan sungai sebagai sumber air baku bahkan menca-pai 95 persen di Kalimantan. Sumber air tanah hanya dipergunakan oleh sekitar 35 persen PDAM kecil.
Tingkat kehilangan air secara nasional mencapai 32,18 persen, yang sangat bervariasi diantara PDAM yang ada. Sebagai misal, PDAM Medan yang hanya 20 persen dibanding PAM DKI Jaya yang mencapai 44 persen. Tingkat kehilangan air yang masih sedemikian besar sangat mengurangi penerimaan dari PDAM. Akibat selanjutnya kemampuan perusa-haan untuk berkembang menjadi sema-kin terbatas.
Tinjauan PDAM berdasar jumlah pelanggan menunjukkan masih banyak PDAM yang beroperasi dibawah skala ekonomi yang memadai (sekitar 10.000 pelanggan). Hanya 14 PDAM dengan jumlah pelanggan diatas 50.000, semen-tara tercatat sekitar 168 PDAM dengan
A P O R A N U T A M A
L
PDAM
dengan air siap minum
Berdasar data terakhir, di Indonesia paling tidak terdapat 4 PDAM yang telah memproduksi air siap minum yaitu PDAM Buleleng, PDAM Kota Malang, PDAM Medan, dan PDAM Kota Bogor.
Namun cakupan pelayanannya masih sangat terbatas.
A
ir Minum (drinking water) ada-lah air yang melalui proses peng-olahan atau tanpa proses pengpeng-olahan memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. (Keputusan Menkes No. 907 Tahun 2002)Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya meme-nuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak Pe-ngertian air bersih dalam terminologi akademis adalah air yang dihasilkan dari rekayasa terhadap air kotor yang berasal dari tubuh manusia dan bi-natang serta berasal dari suatu ke-giatan ekonomi agar layak disalurkan kembali sebagai air permukaan.
jumlah pelanggan masing-masing di-bawah 10.000 pelanggan. Kondisi jumlah pelanggan yang demikian kecilnya tidak memungkinkan bagi PDAM yang ber-sangkutan untuk beroperasi secara efisien. Dapat dipastikan bahwa pemerin-tah daerah setiap pemerin-tahun harus memberi subsidi yang besar pada PDAM tersebut.
Berdasar kondisi keuangan PDAM, maka (i) hanya 18 persen PDAM memiliki profitabilitas positif; (ii) 22 persen PDAM mempunyai ekuitas negatif; (iii) 44 persen PDAM tarifnya lebih kecil dari biaya operasi dan pemeliharaan; (iv) hanya 10 persen PDAM dengan kondisi keuangan sehat. Hutang PDAM sendiri secara keseluruhan telah menembus angka paling tidak Rp. 5 Triliun, dengan jumlah hutang pokok sebesar Rp. 3 Triliun. Hanya sekitar 89 PDAM yang bebas dari hutang.
Prinsip yang mengedepankan air mi-num sebagai kebutuhan dasar manusia menjadikan PDAM dibebani tugas sosial oleh pemerintah daerah. Akibatnya tarif ditetapkan lebih banyak mempertim-bangkan faktor sosial dan politik diban-ding pertimbangan teknis dan keuangan. Pemasukan menjadi negatif karena harga jual menjadi lebih rendah dari biaya pro-duksi, sehingga tarif yang ada tidak per-nah mencerminkan prinsip cost recovery
(pemulihan biaya).
Di satu pihak tarif yang ditetapkan tidak dapat menutupi ongkos produksi, namun usulan kenaikan tarif selalu men-dapat tantangan baik dari masyarakat maupun legislatif. Sepertinya penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidak-mengertian masyarakat maupun legislatif saja. Hal ini dapat dijelaskan dari (i) rata-rata pengeluaran masyarakat untuk air minum masih rendah sekitar 2 persen; (ii) konsumsi air minum yang merupakan kebutuhan dasar menjadikan tidak sensi-tif terhadap perubahan tarif.
Dapat disimpulkan kondisi PDAM yang masih memprihatinkan disebabkan oleh beberapa hal yaitu (i) campur tangan
birokrasi dan politisi dalam pengelolaan PDAM; (ii) peraturan perundang-un-dangan yang tidak sesuai lagi; (iii) makin sulitnya mendapatkan dan makin mahal-nya biaya pengolahan air baku; (iv) jum-lah pelanggan yang tidak mencapai skala usaha yang ekonomis; (v) masih tingginya tingkat kebocoran; (vi) tarif air yang tidak dapat menutup biaya produksi; (vii) kurangnya sosialisasi pada pelanggan dan legislatif tentang struktur tarif yang
seharusnya; (viii) kemampuan teknis dan manajerial yang masih rendah.
Akumulasi kendala dan masalah yang ada menjadikan usaha PDAM memberi pelayanan yang baik pada masyarakat menjadi terkendala. Jangan lagi ber-mimpi untuk mendapatkan layanan beru-pa produk air siap minum.
Kebijakan ke Depan
Menentukan kebijakan air minum tidaklah mudah. Mengapa? Karena sektor ini melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Dan sebagaimana diketahui, ego sektoral begitu kental da-lam struktur pemerintahan di Indonesia.
Pada saat ini kebijakan nasional Pembangunan Air Minum Berbasis Lem-baga yang merupakan payung kebijakan pengelolaan PDAM masih dalam taraf penyelesaian bahkan menjadi salah satu bagian dari program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu.
Namun dalam buku Infrastruktur Indonesia yang diluncurkan Bappenas tahun 2003, dapat ditemui beberapa kebijakan yang relevan yaitu (i) perlu ada penataan kembali (deregulasi) peraturan
A P O R A N U T A M A
L
Pada saat ini kebijakan
nasional Pembangunan
Air Minum Berbasis
Lembaga yang merupakan
payung kebijakan
pengelolaan PDAM masih
dalam taraf penyelesaian
bahkan menjadi salah
satu bagian dari
program 100 hari
Kabinet Indonesia Bersatu.
perundang-undangan di bidang air mi-num. Dalam hal ini perlu ada upaya per-baikan peraturan perundang-undangan baik yang terkait dengan aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan, kerja sama dengan swasta atau masyarakat, standar kesehatan air minum dan tarif. Selain itu perlu ada peningkatan partisipasi dunia usaha dan masyarakat dalam pemba-ngunan dan pengelolaan air minum melalui penciptaan iklim usaha yang kon-dusif; (ii) tak kalah pentingnya adalah peningkatan perlindungan sumber air dan kualitas lingkungan. Perlindungan sumber air baku perlu melibatkan lintas sektoral dan wilayah administrasi de-ngan membentukwater board authority
yang beranggotakan pihak-pihak berke-pentingan. Langkah ini harus didukung oleh program konservasi alam, lingkung-an hidup, dlingkung-an sumber daya air agar kehandalan ketersediaan air baku bisa dipertahankan. Di sisi pemakaian, pe-ngelolaan dan penggunaan air baku harus berprinsip pada optimasi dan efisiensi
yang berbasis pada watershed; (iii) secara khusus tentang restrukturisasi pengelo-laan PDAM maka perlu dilakukan pe-ngelompokan (regrouping) institusi-ins-titusi yang membangun dan mengelola air minum dalam satu wadah institusi regional. Fungsi regulator dan operator harus dipisahkan secara tegas agar PDAM bisa profesional dalam bekerja dan terbe-bas dari intervensi politik dan birokrasi. Mengenai tarif, perlu ada restrukturisasi berdasarkan prinsip pengembalian biaya investasi dan operasi (cost recovery),
penyetaraan sosial (social equity), keber-lanjutan pelayanan air minum, pember-lakuan biaya konservasi sumber air ( con-servation cost) dan mempertimbangkan air sebagai benda ekonomi. Di samping itu, efisiensi perlu dilakukan terhadap pengelolaan PDAM melalui penurunan kebocoran teknis dan administratif. Menyangkut investasi, perlu dipikirkan untuk mengembangkan alternatif pembi-ayaan bagi pembangunan dan pengelo-laan air minum melalui penerbitan
municipal bonds yang dijamin oleh pemerintah daerah atau melalui pen-jualan sebagian saham PDAM kepada masyarakat dan swasta; (iv) kebijakan lainnya yakni reformasi dan peningkatan penyediaan dan pembangunan air minum melalui pengembangan pola pembiayaan bersama (cost sharing) antartingkatan pemerintah; (v) yang tak boleh keting-galan adalah penyusunan rencana tindak dan rencana investasi di bidang air minum untuk mencapai sasaran pela-yanan air minum bagi 50 persen pen-duduk Indonesia yang saat ini belum mempunyai akses terhadap air minum sesuai target. MDGs.
Melihat kendala yang demikian banyak, maka mampukah PDAM mewu-judkan mimpi kita untuk mendapatkan air minum dalam pengertian yang sebe-narnya. Sepertinya untuk sementara air minum masih jadi impian kita semua. Atau dengan bahasa gaulnya "air siap minum…mimpi kali ye?"…..
(OM dan MJ)
A P O R A N U T A M A
L
M
enurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, sungai Cisadane, Ciliwung, Cileungsi, Citarum, dan Cimanuk telahterce-mar bakteri coli pada tingkat yang sudah sangatt mengkhawatirkan. Air sungai tersebut sudah tidak layak lagi jadi sumber air minum.
Sumber: Kompas, 8 Juli 2003
Sungai Besar di Jawa Barat Tidak Layak
sebagai Bahan Baku Air Minum
A
ir minum termasuk kebutuhan dasar manusia. Dan ini sudah ada sejak jaman Belanda dulu. Namun ketika kita memasuki Pelita I dan II, saat kita sedang gencar membangun sarana dan prasarana air minum, pan-dangan terhadap air minum ini bergeser karena kita terlalu mementingkan fi-siknya. Benar, secara fisik kita mampu mencapai target yang diharapkan, tapi secara manajemen kita tidak mampu mempertahankan kualitas air sebagai air minum. Saat itulah terjadi switchdari air minum menjadi air bersih. Padahal kalau kita lihat ke belakang, sebenarnya perbe-daan costing-nya antara air bersih dan air minum itu tidak terlalu signifikan. Be-danya mungkin hanya pada manajemen, bagaimana menjaga kualitas air minum hingga sampai ke pengguna (user), misal-nya menjaga tekanan dan tak ada kebo-coran.Sebenarnya dengan filosofi air minum ini semua dituntut well performancebaik PDAM-nya termasuk penggunanya. Mi-salnya kalau ada kenaikan tarif, ya me-mang harganya harus sebesar itu. Ban-dingkan dengan sekarang dengan kondisi 'bersih', kadang-kadang isinya cacing, kotoran dan sebagainya, maka orang akan malas untuk menerima kenaikan tarif karena mutu airnya rendah. Coba kalau kualitasnya bisa dibandingkan de-ngan air kemasan yang mahal itu, orang tak akan sulit menerima kenaikan tarif. Oleh karena itu, yang perlu ditekankan bahwa kualitas air itu menjadi tujuan akhir dari pelayanan air minum.
Kalau kita bandingkan dengan Ame-rika, yang dimaksud dengan clean water
di sana adalah air dari satu produk yang wajar masuk ke badan air. Jadi air itu tak boleh ada polutan lagi. Sedangkan air minum (safe drinking water) adalah kandungan kontaminan maksimum yang
diperbolehkan ada di air untuk tetap menjaga manusia aman/sehat. Jadi yang satu masuk ke badan air, yang satu masuk ke badan manusia.
Dengan standar yang jelas PDAM tidak bisa main-main lagi. Kebocoran yang sekarang masih 35 persen mau tidak mau harus ditekan karena masyarakat akan menuntut. ''Ini Anda jual kepada saya air minum, kok tidak bisa diminum''. Dengan adanya pengawasan dari penggu-na, PDAM akan memiliki kinerja yang baik. Kalau sekarang kan tidak ada yang
counter.
Jadi perubahan filosofi ini sangat penting. Mengapa? Karena sekarang kita menghadapi masalah dilema manajemen di PDAM. Menko yang lama sudah me-ngeluarkan strategi penyehatan PDAM, tidak jalan karena demikian banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Tapi kalau sekarang kita tembak bahwa PDAM harus melayani pengguna dengan kualitas air minum, pasti semua akan
care (peduli). Dengan seperti ini PDAM akan evaluasi misalnya pipanya banyak yang bocor, administrasi tidak beres sehingga akan bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk melakukan pem-binaan. Apakah misalnya pemerintah pusat bisa memfasilitasi untuk menda-patkan budget atau memperbaiki sistem-nya.
Dari situ pemerintah pusat juga bisa menuntut PDAM agar memiliki perfor-mancedan manajemen yang baik. Peme-rintah juga akan berbicara dengan pemi-liknya yaitu pemerintah daerah. Oleh karena itu, ini sebenarnya salah satu upaya kita untuk memecahkan masalah pelayanan air minum kepada masyarakat yang dilakukan oleh PDAM. (MJ)
A P O R A N U T A M A
Basah Hernowo,
Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas
''Filosofi Air Minum Dorong
Perbaikan PDAM''
L
L
aporan Pembangunan Manusia Tahun 2004 yang dikeluarkan bersama oleh Bappenas, BPS dan UNDP mengetengahkan beberapa fakta menarik terkait dengan air minum dan sanitasi. Dengan mengutip data BPS yang terdapat dalam buku tersebut, maka kon-disi air minum dan sanitasi di setiap ka-bupaten/kota dan propinsi dapat diper-bandingkan.Tujuan yang ditetapkan dalam MDG telah menjadi kesepakatan bersama. Sa-lah satunya menyangkut air minum dan sanitasi dasar yaitu target 10 yang menya-takan bahwa separuh dari proporsi pen-duduk yang belum mendapatkan akses terhadap air minum dan sanitasi harus telah dapat terpenuhi pada tahun 2015. Sebagaimana kita maklumi bahwa target air minum Indonesia pada tahun 2015 suai dengan MDG adalah 70 persen, se-mentara target sanitasi 63,5 persen.
Namun yang kurang disadari bahwa target tersebut berskala nasional yang ar-tinya merupakan angka rata-rata nasio-nal, sementara pengelolaan air minum dan sanitasi telah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Seharusnya perhatian lebih diarahkan pada kondisi air minum dan sanitasi di kabupa-ten/kota. Sebagai ilustrasi, walaupun In-donesia memenuhi target tersebut tetapi jika dilihat lebih rinci lagi maka akan di-temukan masih banyaknya kabupa-ten/kota dengan kondisi air minum dan sanitasi yang jauh dari memadai.
Secara teoritis maupun empiris ter-nyata peningkatan kualitas dan keterse-diaan air minum dan sanitasi dapat me-ningkatkan kesejahteraan penduduk yang berarti juga mengurangi tingkat ke-miskinan. Tulisan ini mencoba memberi gambaran kondisi pelayanan air minum dan sanitasi dikaitkan dengan tingkat ke-miskinan di kabupaten/kota.
Tentunya metode yang dipergunakan
sangat sederhana tapi paling tidak dapat menggambarkan kondisi daerah. Metode yang dipergunakan adalah dengan meng-klasifikasikan kondisi kabupaten/kota maupun propinsi dalam empat kuadran seperti yang tertera di atas.
Berdasar pada pengklasifikasian ter-sebut, maka dapat ditetapkan urutan oritas penanganan yaitu prioritas I, pri-oritas II, pripri-oritas III, dan pripri-oritas IV. Daerah yang perlu untuk mendapatkan perhatian serius dalam penanganan air minum dan sanitasi adalah daerah de-ngan prioritas I.
Berdasarkan pada pengklasifikasian di atas, maka secara umum dapat di-hasilkan beberapa prioritas penanganan baik untuk air minum, sanitasi maupun gabungan air minum dan sanitasi di pro-pinsi maupun kabupaten/kota.
Terdapat 13 propinsi yang perlu
men-dapat perhatian serius terkait dengan kondisi air minum dan sanitasi tetapi yang prioritas utama hanya delapan yaitu NAD, Sumsel, Bengkulu, NTB, NTT, Sulteng, Gorontalo dan Papua. Sementara terdapat empat propinsi yang kondisi air mi-numnya perlu segera dibenahi tetapi prio-ritas utama perlu diberikan pada Propinsi Lampung. Kondisi sanitasi yang mempri-hatinkan terdapat pada 6 propinsi dengan prioritas utama pada empat propinsi yaitu Jateng, Jatim, Sultra, dan Maluku.
Propinsi yang tidak termasuk dalam prioritas utama dalam penanganan air minum dan sanitasi mencapai delapan propinsi. Sementara yang tidak menjadi prioritas utama dalam penanganan air minum adalah Sumbar, Jateng, Jatim. Selain itu, penanganan sanitasi di Lampung, Riau, Jambi dan Jabar belum perlu menjadi prioritas utama.
A P O R A N U T A M A
Sekilas Kondisi Air Minum
dan Sanitasi Indonesia
L
Kondisi air minum/
sanitasi di bawah
rata-rata Indonesia
Tingkat kemiskinan
di atas rata-rata
Indonesia
PRIORITAS I
Kondisi air minum/
sanitasi di atas
rata-rata Indonesia
Tingkat kemiskinan
di atas rata-rata
Indonesia
PRIORITAS III
Kondisi air minum/
sanitasi di bawah
rata-rata Indonesia
Tingkat kemiskinan
di bawah rata-rata
Indonesia
PRIORITAS II
Kondisi air minum/
sanitasi di atas
rata-rata Indonesia
Tingkat kemiskinan
di bawah rata-rata
Indonesia
PRIORITAS IV
T
ingkat Kemiskinan Di at
as rat
a-rat
a
T
ingkat Kemiskinan Di bawah rat
a-rat
a
Kondisi air minum/sanitasi di atas rata-rata Kondisi air minum/sanitasi
Lebih rinci lagi, kondisi kabupaten dan kota juga dapat diklasifikasikan de-ngan menggunakan metode ini. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Berdasar tabel di atas, terlihat bahwa kabupaten/kota yang perlu mendapat perhatian relatif berimbang dengan kabu-paten/kota yang relatif baik kondisi air minum dan sanitasinya. Secara umum, kabupaten/kota yang perlu mendapat pri-oritas utama dalam penanganan air minum dan sanitasi adalah sebanyak 87 kabupaten/kota. Sementara kabupaten/-kota yang perlu mendapat prioritas utama
dalam penanganan air minum saja sebanyak 28 kabupaten/kota, dan penanganan sani-tasi saja sebanyak 26 kabupaten/ kota.
Tentunya pemeringkatan menurut prioritas seperti yang dilakukan di atas tidak perlu diterjemahkan secara harfiah dalam arti bahwa ketika daerah tidak masuk dalam prioritas utama maka dae-rah tersebut tidak perlu melakukan pem-bangunan di sektor air minum dan sani-tasi. Gambaran di atas hanya ingin
mem-beri ilustrasi lebih rinci tentang kondisi air minum dan sanitasi Indonesia dan tidak hanya pada skala rata-rata nasional sehingga akan terlihat betapa kondisi kita sangat beragam. Diharapkan ini akan memberi masukan bagi langkah penca-paian target MDG di masa depan.
Hasil selengkapnya dari kondisi air minum dan sanitasi per kabupaten/kota dapat diakses pada situs AMPL www.ampl.or.id (OM)
A P O R A N U T A M A
L
PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM PROPINSI
Lampung
Sumbar, Malut Riau, Jambi, Jabar Lampung
PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI PROPINSI
NAD, Sumsel,
PRIORITAS PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI KABUPATEN/KOTA
PRIORITAS I II III IV Air Minum dan Sanitasi 87 37 27 79 Air Minum 28 40 31 15 Sanitasi 26 15 18 40 Total 141 92 76 134
Sumber: Indonesia Human Development Report 2004
Keterangan:
* = Propinsi yang mengalami pemekaran ** = Propinsi baru hasil pemekaran
*** = propinsi berubah nama
DKI Jakarta
Rumah Tangga yang Mempunyai Akses Sanitasi per Propinsi Tahun 2002
Mengapa MDGs penting?
MDGs merupakan kesepakatan pe-mimpin dunia untuk bersama-sama me-nanggulangi masalah yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang di du-nia seperti kemiskinan, buta huruf, kela-paran, tingginya angka kematian bayi, ke-kurangan pendidikan, keke-kurangan air mi-num dan sanitasi, serta degradasi ling-kungan.
Masalah tersebut tak dapat terselesai-kan tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari seluruh negara di dunia. Kesadaran ini yang mendasari dideklarasikannya MDGs yang diharapkan dapat menjadi alat pemersatu seluruh negara di dunia dalam memerangi masalah mendasar manusia.
Tujuan dan Target Air Minum dalam MDGs
Dari 8 tujuan dan 18 target MDGs, maka air minum bersama sanitasi terkait langsung dengan Tujuan 7 yaitu Pengelola-an LingkungPengelola-an Hidup yPengelola-ang BerkelPengelola-anjutPengelola-an dan Target 10 yakni mengurangi separuh, pada tahun 2015, dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air mi-num dan sanitasi dasar.
Indikator apa yang dipergunakan dalam menghitung pencapaian ki-nerja target MDGs?
Setiap negara diberi keluwesan untuk menentukan sendiri indikator yang diper-gunakan dalam mencapai target yang dite-tapkan. Di Indonesia sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen Indonesia:
Progress Report on the ‘Millenium Deve-lopment Goals'yang diluncurkan Februari 2004, maka indikator yang dipergunakan adalah proporsi penduduk yang mempu-nyai akses terhadap sumber air yang memadai.
Terdapat dua kondisi yang dianggap masuk dalam kategori sumber air yang memadai yaitu (i) air perpipaan; (ii) sum-ber air terlindungi yang sum-berjarak paling sedikit 10 meter dari lokasi pengumpulan tinja (cubluk, septic tank dan sejenisnya). Sehingga sumber air yang memadai
terma-suk air perpipaan, air pompa, air dari su-mur terlindungi atau sumber air terlin-dungi atau air hujan.
Bagaimana Cara menghitung target MDG?
Pertama kali perlu disepakati jumlah proporsi penduduk yang mempunyai akses kepada sumber air yang memadai pada tahun 1990, yaitu sekitar 40 persen. Kemudian proporsi penduduk selebihnya yaitu 60 persen merupakan proporsi pen-duduk yang belum mempunyai akses ter-hadap sumber air yang memadai. Sehing-ga pada tahun 2015, proporsi penduduk yang harus mendapat akses adalah sebesar 30 persen (setengah dari 60 persen). Ber-arti penduduk yang punya akses 40 persen (1990) ditambahkan dengan tambahan proporsi penduduk yang harus mempu-nyai akses sebesar 30 persen (2015), se-hingga keseluruhan proporsi penduduk yang harus mempunyai akses pada tahun 2015 menjadi 70 persen. Sebenarnya cara menghitungnya sederhana.
Bagaimana Kondisi kita dalam men-capai tujuan pembangunan mileni-um (MDGs) pada tahun 2015?
Secara nasional pada saat ini (2002) sekitar 50 persen penduduk mempunyai akses kepada sumber air yang memadai. Masih dibutuhkan tambahan sekitar 20 persen penduduk yang perlu disediakan akses pada tahun 2015.
Berdasar perkiraan kasar, sebagaima-na tercantum dalam buku Infrastruktur Indonesia (Bappenas), maka kebutuhan investasi per tahun untuk mencapai target tersebut adalah sekitar 4-5 Triliun. Semen-tara ketersediaan dana setiap tahun hanya mencapai sekitar 600 M sampai 1 Triliun. Dibutuhkan sumber dana lain untuk me-menuhi kebutuhan tersebut seperti dana kontribusi masyarakat, swasta, hibah dan pinjaman luar negeri.
Namun yang perlu lebih mendapat perhatian adalah bahwa sebenarnya tang-gungjawab pengelolaan air minum telah diserahkan ke pemerintah daerah sesuai dengan amanat undang-undang yang ada. Sehingga untuk mencapai target MDGs, keterlibatan pemerintah daerah menjadi keniscayaan.
Jika menyimak lebih jauh kondisi cakupan pelayanan air minum di masing-masing kabupaten/kota, maka akan dida-pati masih banyak daerah yang cakupan pelayanannya masih jauh tertinggal. Misalnya masih terdapat sekitar 45 kabu-paten/kota dengan cakupan pelayanan dibawah 35 persen.
Ketika secara nasional kita dapat mencapai target 70 persen pada tahun 2015, maka bagaimana dengan kemung-kinan masih banyaknya kabupaten/kota yang masih tertinggal. Sebaiknya penca-paian target 70 persen tersebut sejauh mungkin juga memperhatikan kondisi dari masing-masing kabupaten/kota. Sehingga pada tahun 2015, ketika target tersebut tercapai secara nasional maka sekaligus juga jumlah kabupaten/kota yang masih tertinggal sudah jauh berkurang. Ini sesuai dengan semangat kebersamaan dari MDGs. (OM)
A P O R A N U T A M A
Menilik MDGs Air Minum
L
T
anpa disadari terjadi beberapakesalahka-prahan dalam menyikapi MDGs, diantara-nya (i) MDGs diterjemahkan hadiantara-nya sekedar se-kumpulan target yang harus dipenuhi. Sebe-narnya target yang ditetapkan dalam MDGs harus dipandang sebagai suatu cara untuk menggalang kesepakatan diantara seluruh pemimpin dunia untuk menyelesaikan per-masalahan mendasar negara berkembang. Disini yang dipentingkan adalah semangatnya. Bagaimana agar permasalahan yang ada men-jadi perhatian kita semua. Kebersamaan menja-di kuncinya; (ii) Target air minum dan sanitasi dasar dalam MDGs menggunakan proporsi dan
sama sekali tidak mencantumkan angka
abso-lut. Hal ini untuk menghindari perdebatan
ten-tang perkiraan penduduk pada tahun 2015; (iii) Tahun yang dipergunakan sebagai tahun dasar
adalah tahun 1990. Dokumen National Action
PlanAir Bersih masih menggunakan tahun
da-sar 2000; (iv) Definisi air minum bukanlah defi-nisi sebagaimana yang tercantum dalam Kepu-tusan Menkes No. 907 Tahun 2002, tetapi seti-ap negara diberi keleluasaan untuk mendefinisi-kan secara lebih luwes. Seperti yang dijelasmendefinisi-kan sebelumnya, semangat kebersamaan
menyele-saikan masalah lebih dikedepankan. (OM)
A P O R A N U T A M A
L
Peringkat Cakupan Layanan Air Minum Per Kabupaten/Kota Tahun 2002
No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) 121 Lampung Tengah 59.3 122 Kota Probolinggo 59.3 123 Kota Gorontalo 59.3 124 Kendal 59.0 125 Madiun 58.9 126 Tuban 58.9 127 Purworejo 58.6 128 Luwu 58.6 129 Kota Mojokerto 58.4 130 Mojokerto 58.2 131 Gowa 58.2 132 Nias 58.0 133 Pesisir Selatan 58.0 134 Bungo 58.0 135 Jombang 57.8 136 Bantul 57.7 137 Sleman 57.6 138 Kota Kediri 57.6 139 Sumedang 57.4 140 Probolinggo 57.1 141 Tapin 56.9 142 Pasir 56.8 143 Muna 56.8 144 Kota Yogyakarta 56.7 145 Banggai 56.5 146 Tana Toraja 56.5 147 Halmahera Pusat 56.5 148 Bengkayang 56.4 149 Kota Bekasi 56.1 150 Deli Serdang 56.0 151 Bolaang Mongondow 56.0 152 Pangkajene Kepulauan 55.8 153 Bengkulu Utara 55.7 154 Kota Banjar Baru 55.7 155 Jakarta Timur 55.4 156 Kota Mataram 55.4 157 Alor 55.2 158 Kota Binjai 54.9 159 Boyolali 54.3 160 Dompu 54.3 161 Cilacap 54.0 162 Sumbawa 54.0 163 Pandeglang 53.9 164 Kota Depok 53.8 165 Lampung Selatan 53.5 166 Kota Bogor 53.5 167 Jember 53.5 168 Buton 53.5 169 Enrekang 53.3 170 Pinrang 53.1 171 Ende 53.0 172 Poso 52.9 173 Tenggamus 52.8 174 Maluku Tenggara Barat 52.6 175 Aceh Tengah 52.4 176 Sanghite Talaud 52.4 177 Sinjai 52.1 178 Labuhan Batu 52.0 179 Maros 52.0 180 Simeuleu 51.8 No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % )
61 Karanganyar 68,6 62 Tabanan 68,5 63 Ngawi 68,2 64 Langkat 68,1 65 Kota Sabang 67,7 66 Nganjuk 67,6 67 Kota Bandung 67,3 68 Timur Tengah Utara 66,9 69 Ponorogo 66,7 70 Kota Denpasar 66,7 71 Lamongan 66,6 72 Kota Bandar Lampung 66,1 73 Gunung Kidul 66,0 74 Kota Padang 65,9 75 Lampung Timur 65,8 76 Muaro Jambi 65,6 77 Karangasem 65,6 78 Tabalong 65,6 79 Kota Pangkalpinang 65,3 80 Kota Surakarta 65,3 81 Lumajang 65,3 82 Kota Sukabumi 65,0 83 Tulungagung 64,8 84 Magelang 64,7 85 Kota Pare-Pare 64,6 86 Gresik 64,1 87 Malang 63,6 88 Pacitan 63,4 89 Kendari 63,4 90 Bekasi 63,1 91 Kupang 63,1 92 Pamekasan 62,9 93 Kota Cilegon 62,6 94 Minahasa 62,4 95 Aceh Tenggara 62,3 96 Banggai Kepulauan 62,1 97 Solok 62,0 98 Wonogiri 62,0 99 Temanggung 61,8 100 Kota Malang 61,8 101 Lima Puluh Kota 61,6 102 Bangli 61,6 103 Maluku Tengah 61,6 104 Trenggalek 61,5 105 Asahan 61,3 106 Karo 61,3 107 Kerinci 61,3 108 Jembrana 60,7 109 Pasaman 60,5 110 Sragen 60,4 111 Purwakarta 60,3 112 Bengkulu 60,2 113 Rejang Lebong 60,1 114 Blitar 60,1 115 Sukoharjo 60,0 116 Tanah Datar 59,9 117 Kediri 59,9 118 Sumenep 59,8 119 Banyumas 59,5 120 Siak 59,3 No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % )
A P O R A N U T A M A
L
No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % ) 301 Kota Dumai 32,6 302 Aceh Selatan 32,4 303 Aceh Barat 32,4 304 Serang 31,7 305 Way Kanan 30,9 306 Ketapang 30,7 307 Bulungan 30,6 308 Mimika 30,6 309 Aceh Besar 30,5 310 Toba Samosir 30,1 311 Jeneponto 29,6 312 Bengkalis 29,2 313 Aceh Singkil 29,1 314 Puncak Jaya 29,1 315 Tapanuli Selatan 28,5 316 Mandailing Natal 28,1 317 Lampung Barat 27,9 318 Rokan Hulu 27,8 319 Barito Kuala 27,4 320 Kapuas 26,9 321 Tanjung Jabung Barat 26,8 322 Kutai Barat 26,0 323 Boalemo 25,9 324 Biak Numfor 25,2 325 Sintang 24,7 326 Barito Utara 23,6 327 Sanggau 22,1 328 Merauke 21,1 329 Kapuas Hulu 19,6 330 Landak 19,4 331 Selayar 19,2 332 Kota Pontianak 14,5 333 Sambas 13,5 334 Manokwari 13,3 335 Kepulauan Mentawai 11,8 336 Yapen Maropen 10,4 337 Malinau 9,1 338 Pontianak 7,7 339 Nabire 7,6 340 Indragiri Hilir 4,3 341 Tanjung Jabung Timur 1,1 INDONESIA 55,2 No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % )
241 Kotawaringin Barat 43,4 242 Bulukumba 43,2 243 Cirebon 43,0 244 Toli-Toli 43,0 245 Paniai 42,9 246 Polewali Mamasa 42,8 247 Indramayu 42,5 248 Sorong 42,2 249 Soralangun 42,1 250 Cianjur 42,1 251 Padang Pariaman 42,0 252 Bondowoso 42,0 253 Mamuju 42,0 254 Lombok Timur 41,9 255 Berau 41,9 256 Jakarta Selatan 41,8 257 Situbondo 41,8 258 Subang 41,7 259 Sumba Barat 41,3 260 Lahat 41,1 261 Musi Banyuasin 41,0 262 Dairi 40,8 263 Garut 40,8 264 Pekalongan 40,8 265 Hulu Sungai Tengah 40,7 266 Natuna 40,4 267 Manggarai 40,3 268 Buoi 40,3 269 Batang 40,2 270 Kota Palangkaraya 40,2 271 Tapanuli Tengah 40,1 272 Kuningan 40,0 273 Buru 39,8 274 Jayapura 39,7 275 Aceh Timur 39,4 276 Kepulauan Riau 39,4 277 Maluku Utara 39,3 278 Sawah Lunto / Sijunjung 39,0 279 Kuantan Sengingi 38,9 280 Rokan Hilir 38,8 281 Bandung 38,8 282 Banjar 38,8 283 Muara Enim (Liot) 38,6 284 Barru 38,6 285 Jayawijaya 38,4 286 Indragiri Hulu 38,3 287 Timur Tengah Selatan 38,1 288 Ogan Komering Hilir 37,7 289 Donggala 37,7 290 Kota Tarakan 36,5 291 Tasikmalaya 36,4 292 Gorontalo 36,2 293 Kota Palu 36,0 294 Bantaeng 35,9 295 Kotawaringin Timur 35,7 296 Takalar 35,1 297 Nunukan 35,0 298 Lebak 34,8 299 Karawang 34,6 300 Barito Selatan 32,8 No. Kabupaten/Kota Cakupan ( % )
181 Demak 51,8 182 Tebo 51,3 183 Kota Metro 51,3 184 Majalengka 51,2 185 Pidie 50,9 186 Wajo 50,6 187 Klaten 50,5 188 Simalungun 50,3 189 Banjarnegara 50,3 190 Kolaka 50,3 191 Bima 50,2 192 Kutai 50,2 193 Kutai Timur 50,2 194 Sindenreng Rappang 50,1 195 Kampar 49,9 196 Tulang Bawang 49,9 197 Sukabumi 49,9 198 Tanah Laut 49,9 199 Bangka 49,6 200 Pemalang 49,6 201 Kota Tebing Tinggi 49,4 202 Lampung Utara 49,3 203 Kudus 49,3 204 Lombok Tengah 49,3 205 Merangin 49,0 206 Brebes 48,7 207 Bojonegoro 48,5 208 Tangerang 48,5 209 Hulu Sungai Utara 48,4 210 Maluku Tenggara 48,4 211 Morowali 48,3 212 Kota Pekalongan 47,9 213 Tapanuli Utara 47,7 214 Pelalawan 47,7 215 Luwu Utara 47,7 216 Hulu Sungai Selatan 47,5 217 Pasuruan 47,3 218 Banyuwangi 47,2 219 Agam 47,0 220 Tegal 46,8 221 Sikka 46,5 222 Fak Fak 46,5 223 Belitung 46,3 224 Lembata 46,3 225 Flores Timur 46,3 226 Bone 46,1 227 Kebumen 45,9 228 Bireuen 45,6 229 Kota Tangerang 45,2 230 Ciamis 44,9 231 Ogan Komering Ulu 44,8 232 Kota Blitar 44,8 233 Lombok Barat 44,6 234 Musi Rawas 44,1 235 Bogor 44,1 236 Majene 44,1 237 Bengkulu Selatan 43,9 238 Kota Pekan Baru 43,8 239 Karimun 43,6 240 Belu 43,6
Sumber:
D
i Batam, urusan air bukan urus-an gampurus-ang. Pulau di sebelah timur Sumatera ini tak cukup punya sumber air tawar alami. Tak ada sungai yang bisa dijadikan sumber air ta-war dan air tanah untuk memenuhi kebu-tuhan 600 ribu penduduknya.Kondisi alam seperti itulah yang men-dorong Otorita Batam untuk membuat enam situ buatan untuk menadah air hu-jan. Air hujan itu lalu diolah untuk me-menuhi kebutuhan air warga Batam. Air danau itu diolah PT. Adhya Tirta Batam (ATB) menjadi air baku untuk air minum. Sejak 1995, perusahaan ini memiliki kon-sensi pengelolaan air minum selama 25 tahun. PT. ATB yang merupakan per-kongsian antara perusahaan asing dari Inggris, Cascal, dan perusahaan lokal, Bangun Cipta Kontraktor serta Syabata Cemerlang mengalirkan air ke rumah-rumah penduduk.
Namun tak semua penduduk menda-pat jatah air. Peraturan setemmenda-pat mela-rang ATB mengalirkan air ke rumah-ru-mah yang ada di kawasan ilegal yang dikenal dengan sebutan ruli alias rumah liar. Persoalanpun muncul. Pasalnya tak kurang dari 80 ribu warga yang menem-pati ruli sama-sama membutuhkan air seperti warga yang lain. Sebenarnya pen-duduk ruli berusaha mendapatkan air lewat penampungan air hujan serta mem-beli air dari lori (truk penjual air). Sayangnya kualitas air yang mereka beli tak bisa digunakan untuk minum. Karena kebanyakan lori mendapatkan air dari selokan. Akibatnya, munculah aksi-aksi pencurian air. Warga kawasan ruli, ke-mudian membuat sambungan-sambung-an liar ataupun merusak pipa untuk men-dapatkan air.
Aksi ini cukup merugikan ATB, kare-na jumlah air yang hilang (non revenue water/NRW) bisa mencapai lebih dari 30 persen. Ongkos produksi air tak bisa ditutupi oleh pembayaran langganan air
gara-gara air yang hilang. Sementara itu, aksi pencurian ini juga potensial meru-gikan para pelanggan. Bayangkan kalau seandainya, ongkos produksi yang hilang itu harus dibebankan ke pelanggan. Se-lain itu, kualitas dan tekanan air yang sampai ke rumah pelanggan pun menu-run karena kebocoran pipa.
Pengawasan terhadap jaringan pipa air bersih pun tak gampang dilakukan. Luasnya jaringan pipa yang mencakup seluruh Pulau Batam mempersulit penga-wasan. Usaha-usaha pengawasan ternya-ta ternya-tak mengurangi jumlah air yang hilang. Seperti permainan kucing-kucingan. Ke-bocoran pipa di satu titik dapat diatasi, muncul kebocoran di titik lain.
Menyikapi hal ini, ATB bersama de-ngan Otorita Batam mencoba mencari jalan keluar. Kepentingan bisnis untuk mengurangi NRW bukan satu-satunya pertimbangan. Ikut dipertimbangkan juga kebutuhan air bersih warga ruli. Meski mereka tinggal di daerah illegal, mereka juga ikut menyumbang pertum-buhan ekonomi di Batam. Mereka yang kebanyakan bekerja sebagai buruh, sat-pam, tukang ojek ternyata punya penda-patan dan daya beli yang cukup tinggi.
Pendapatan rata-rata penduduk ruli berkisar antara Rp. 600 ribu rupiah hing-ga Rp 1,5 juta.
ATB dan Otorita pun harus memeras otak. Di satu sisi dia harus bisa melayani kebutuhan air warga ruli -- karena me-mang hanya inilah cara jitu memberantas aksi pencurian air-- di sisi lain ada per-aturan yang melarang buat mengalirkan air ke kawasan ruli. Akhirnya, ATB dan Otoritas Batam memutuskan memba-ngun kios-kios air di dekat kawasan ruli. Untuk tahap pertama dibuat delapan kios air. Kios-kios ini diserahkan kepada pihak tertentu untuk dikelola. Tentu saja tak sembarangan pihak bisa mengelola. Setidaknya ada dua syarat untuk bisa mengelola kios air. Pertama, institusinya harus berbadan hukum, seperti koperasi atau CV, sehingga institusi itu bisa jadi pelanggan legal ATB. Kedua, pengelola ini harus mendapat dukungan dari pen-duduk ruli sekitarnya. Orang-orang yang mengelolanya pun ditunjuk oleh warga ruli. Tujuannya untuk mengurangi kon-flik di masa datang serta memastikan bahwa penduduk ruli membeli air dari kios itu.
Kios air yang dibuat dari kontainer
A W A S A N
BATAM: Air Mengalir Lewat Kios
W
Oleh: Tri Dewi Virgiyanti *)
bekas ini dihubungkan ke jaringan air bersih ATB. Kios ini dilengkapi meteran air serta keran pengatur. Kios ini juga bersifat portable, mudah dipindahkan ke tempat lain jika diperlukan.
Antara pengelola dan ATB dibuatlah perjanjiperjanjian yang mengikat an-tara kedua belah pihak. Isinya anan-tara lain pihak pengelola harus memelihara kios air dan melakukan pembayaran ke ATB. Pihak pengelola juga yang mengatur pendistribusian air ke penduduk setem-pat. Hanya warga sekitar yang mendaftar yang dapat membeli air dari kios. Tujuannya untuk menghindari penjualan air ke penjual komersial seperti lori.
Berkaitan soal harga, kios-kios air itu dikenakan tarif terendah oleh ATB. Namun, pihak pengelola berhak menjual air di atas harga dari ATB. Meskipun begi-tu, pihak kios tak bisa memasang tarif semena-mena. Pasalnya harga air yang dijual harus disepakati antara pengelola dan warga. Sayangnya karena yang men-jadi patokan harga adalah harga air lori yang memang mahal, maka harga air yang dijual dari kios ini cukup tinggi jika dibandingkan harga air dari ATB. Kondisi demikian memungkinkan pendistribu-sian keuntungan yang agak tidak berim-bang, karena pengelola bisa mendapatkan keuntungan yang cukup tinggi dari pen-jualan air ini. Omset penpen-jualan mereka per bulan berkisar antara 9-25 juta rupi-ah. Harga air dari ATB hanya Rp. 3.000 per meter kubik. Setelah dijual kepada penduduk, harga bisa mencapai Rp. 12.500-Rp. 25.000 per meter kubik. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk air berkisar antara Rp. 150 ribu-Rp. 250 ribu per bulan.
Oleh karena itu, pengadaan kios air ini masih perlu kajian lebih mendalam, apakah benar-benar menguntungkan bagi ATB maupun masyarakat, baik masya-rakat ruli atau masyamasya-rakat pelanggan ATB lainnya. Karena seiring dengan pemba-ngunan kios air ini juga bermunculan protes dari masyarakat pelanggan air ATB
yang merasa dirugikan dengan adanya kios air ini. Terutama soal tarif terendah yang dikenakan pada kios air. Selain itu muncul juga tudingan bahwa keberadaan kios air malah mengukuhkan keberadaan ruli di Batam yang selama ini memang sulit diberantas.
Meski demikian, warga kawasan ruli umumnya menyambut baik keberadaan kios-kios air itu. Warga senang karena bisa dapat air bersih yang mudah dan lebih murah. Selain itu kesehatan serta
kenyamanan hidup para penghuni ruli pun meningkat. Keluhan penyakit kulit serta penyakit pencernaan kini jauh berkurang.
Tentu saja masih banyak hal yang perlu terus dipantau dalam pelaksanaan kios air agar di kemudian hari keberadaan kios air ini secara kontinu dan berkelan-jutan bisa memberikan akses air bersih yang layak bagi seluruh warga dan peker-jaan rumah pihak otorita untuk membe-rantas ruli dapat dicapai.
Mungkin keberadaan kios air dan keuntungan yang diperoleh dari pen-jualan air ini dapat mulai dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat ruli untuk tinggal secara legal dan me-ningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Jika memang kios air ini nantinya terbuk-ti sukses, daerah perkotaan lain di In-donesia yang mengalami hal yang sama dalam memberikan akses air kepada pen-duduk ilegalnya atau daerah kumuh dapat belajar dari Batam.
*)
Staf Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, dan anggota Pokja AMPL
A W A S A N
W
Pengadaan kios air ini
masih perlu kajian lebih
mendalam, apakah
benar-benar
mengun-tungkan bagi ATB
maupun masyarakat,
baik masyarakat ruli
atau masyarakat
pelanggan ATB lainnya.
A
ir merupakan topik pembicaraan yang tak pernah lekang dimakan waktu. Ini karena air merupakan kebutuhan vital setiap orang yang tak bisa tergantikan. Tiap-tiap negara memi-liki pengalaman dalam pengelolaan air. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Salah satu negara yang dianggap cukup berhasil dalam pengelolaan air adalah Australia, negara tetangga kita.Ada sejumlah perbedaan dalam pe-ngelolaan air minum antara Australia dan Indonesia. Pertama dalam distribusi air minum. Seperti juga di negara-negara maju lain, mendapatkan air minum di Australia sangatlah mudah. Fasilitas air minum domestik dapat dipastikan beru-pa potable water, atau air yang bisa lang-sung diminum dari kran. Begitu pula fasilitas-fasilitas umum seperti di taman, sekolah, kantor dan tempat-tempat umum lainnya tidak akan lepas dari kemudahan untuk mendapatkan air minum. Kran-kran umum yang tersebar, semuanya bisa digunakan untuk minum. Hal inilah yang menjadi sebab utama, orang-orang di sana termasuk turis dan pelajar internasional selalu membawa botol minuman ke manapun pergi. Botol-botol minuman inilah yang kemudian bisa diisi ulang dari kran-kran umum tersebut.
Dilihat dari segi lingkungan, tentu ini sangat baik karena dengan demikian makin sedikit botol minuman yang akan dibuang ke lingkungan. Ini berarti pula berkurangnya beban untuk mengolah buangan padat yang biasa dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah daerah setempat. Sedangkan dilihat dari sudut pandang customer, ini berarti adanya penghematan yang signifikan untuk membeli air minum. Seperti yang telah dimaklumi bersama, biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli air minum tidaklah kecil. Bahkan, bisa dikatakan
untuk volume yang sama, harga air minum lebih mahal dari bensin.
Walaupun demikian, tentu saja tidak dipungkiri bahwa pembangunan instalasi pengolahan air minum, jaringan dis-tribusi dan pemeliharaan untuk terca-painya potable waterdi Indonesia mem-butuhkan dana yang besar. Memang, sepertinya bangsa kita masih harus bermimpi panjang hingga terealisasinya air langsung minum dari kran. Dana terbesar yang harus dialokasikan tentu-nya pada jaringan distribusi perpipaan dan pemeliharaan, karena sebetulnya untuk instalasi pengolahan hampir semua PDAM dan perusahaan air minum di Indonesia telah memenuhi standar baku mutu air minum yang ditetapkan Depkes maupun WHO. Contoh paling dekat, pernah satu waktu salah satu pro-gram televisi Indonesia menampilkan profil perusahaan air minum di Pulau Batam, PT. Adhya Tirta Batam. Diperli-hatkan dalam acara tersebut, beberapa karyawan meminum air dari kran hasil instalasi pengolahan air minum. Namun, dapat dipastikan tidak ada seorang pun yang berani meminum air dari kran ru-mahnya, terutama rumah yang berlokasi jauh dari tempat pengolahan air minum. Sebab, makin jauh lokasi rumah berarti pula makin besar kemungkinan air mi-num yang sampai ke kran rumah telah melalui jaringan pipa yang lebih panjang, dimana kualitas pipa banyak berkarat.
Perbedaan signifikan kedua adalah adanya water restriction, pada saat-saat tertentu di hampir seluruh wilayah Aus-tralia. Ketika menghadapi musim kema-rau yang panjang, ditandai dengan menu-runnya muka air waduk sebagai sumber utama air bersih, pemerintah nasional dan daerah memberlakukan pembatasan
penggunaan air. Pembatasan ini sifatnya mengikat dan ditunjang oleh berbagai instrumen pendukung yang dapat dian-dalkan. Instrumen pendukung yang dimaksud salah satunya ialah upaya con-trolling dan penegakan hukum. Sebagai contoh, salah satu bentuk water restric-tionyakni larangan penggunaan air dari kran untuk mencuci mobil dan menyiram pekarangan di siang hari. Ketika peratur-an ini ditetapkperatur-an, pada saat yperatur-ang ber-samaan diterjunkan pula petugas yang mengontrol penggunaan air di siang hari. Jika saja ditemukan ada pelanggaran, petugas tidak segan-segan memberikan denda kepada yang bersangkutan di tem-pat kejadian sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak dikenal adanya istilah 'kompromi' atau tawar menawar ketika pelanggaran terjadi. Begitu pula dengan media, ketika water restriction ditetap-kan, media televisi, radio, surat kabar dan media-media cetak lainnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas. Tidak ada alasan bagi pelanggar untuk me-ngatakan tidak tahu aturan yang sedang berlaku. Pada tahap tertentu, kesadaran akan pentingnya fungsi air di kalangan masyarakat, pemerintah dan aktor lain-nya di Australia sudah tinggi, terutama jika pembandingnya Indonesia. Lalu apa yang menjadi dasar tindak kesadaran ini? Penulis mengamati, yang menjadi dasar munculnya kesadaran akan pen-tingnya sumber air ini adalah konsep sus-tainable development, pembangunan berkelanjutan. Pemerintah federal Aus-tralia menjabarkan konsep pembangun-an berkelpembangun-anjutpembangun-an ini dalam lima pilar atau lima prinsip. Prinsip pertama dike-nal dengan nama precautionary princi-ple. Prinsip ini menekankan, jika suatu kegiatan diduga akan berdampak ling-kungan, maka harus dilakukan upaya-upaya segera untuk mencegah timbulnya dampak tersebut tanpa harus menunggu
A W A S A N
Air di Australia dan
Pembangunan Berkelanjutan
W
adanya kepastian ilmiah atau scientific certainty. Dalam pengelolaan air misal-nya, jika diketahui bahwa sumber air utama adalah waduk dan kondisi waduk semakin menurun, maka salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah de-ngan water restriction terhadap kegiat-an-kegiatan yang banyak menggunakan air. Hal ini perlu dilakukan sekalipun be-lum ada penelitian khusus yang menje-laskan hubungan langsung antara menyi-ram pekarangan dengan turunnya muka air waduk.
Prinsip kedua ialah intragenerational equity, atau dengan kata lain kesetaraan intragenerasi. Maksudnya perlu sekali ditanamkan kesadaran bahwa selain kita pribadi yang membutuhkan air misalnya, ada sekitar 6 milyar manusia lain yang juga membutuhkan air. Jika perilaku menghambur-hamburkan air untuk ke-pentingan yang sekunder bahkan tersier dibiarkan, jelas akan mempengaruhi ketersediaan air untuk 6 milyar manusia lain tersebut. Penanaman kesadaran dan empati terhadap sesama akan sangat mempengaruhi seseorang dalam meman-faatkan air minum.
Prinsip ketiga ialah intergenerational equity, atau bisa disebut dengan kese-taraan antargenerasi. Telah sering disebut dalam konferensi, seminar dan diskusi ilmiah bahwa paradigma lingkungan yang harus ditanamkan: lingkungan itu bukan-lah warisan dari nenek moyang namun merupakan titipan dari anak cucu, ge-nerasi mendatang. Dalam penggunaaan air, tidaklah dibenarkan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini saja, tapi pula harus diperhatikan bagaimana nasib ge-nerasi mendatang. Dalam konsep pemba-ngunan berkelanjutan, generasi men-datang harus mendapatkan sumber daya alam yang minimal sama dengan yang diperoleh generasi mendatang. Tidaklah merupakan tindakan yang bijaksana jika mewariskan kondisi lingkungan yang lebih buruk dari sekarang.
Keempat, prinsip biodiversity
conser-vation, konservasi keanekaragaman ha-yati. Berkenaan dengan pengelolaan sum-ber air, perlu diingat pula bahwa air tidak hanya dibutuhkan spesies bernama ma-nusia, namun pada saat bersamaan juga merupakan unsur vital bagi kelangsungan hidup flora dan fauna.
Prinsip terakhir ialah environmental economic internalization, internalisasi nilai-nilai ekonomi lingkungan. Selama ini banyak sekali kasus dimana ketika kita membeli suatu produk, dampak lingkung-an ylingkung-ang disebabklingkung-an oleh aktivitas produk-si barang tersebut tidak diperhitungkan dalam harga barang. Misalnya, ketika kita membeli sebuah kendaraan, polusi yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut tidak
termasuk dalam harga mobil. Harga mobil hanya ditentukan oleh suku cadang, tenaga ahli, tenaga mekanik dan marketing serta variable-variabel lain, namun tidak memperhitungkan variabel dampak lingkungan. Contoh lain, ketika kita membeli air minum kemasan botol, harga air tidak menghitung kerusakan pada sumber air, tidak pula memperhi-tungkan flora dan fauna yang terganggu dengan adanya pengambilan sumber air tersebut.
Nah, dengan prinsip-prinsip yang di-susun oleh berbagai elemen masyarakat dan juga diterapkan secara sistematis dengan pengawasan yang ketat sejauh ini telah memberikan dampak yang sig-nifikan bagi peningkatan kualitas ling-kungan di Australia. Bagaimana dengan Indonesia?
*) Penulis adalah lulusan
Environmental Management Program, University of New South Wales, Australia. Saat ini tercatat sebagai dosen tetap di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional, Bandung.
A W A S A N
W
Dalam penggunaaan air,
tidaklah dibenarkan untuk
memenuhi kebutuhan
generasi saat ini saja, tapi
harus diperhatikan nasib
generasi mendatang.
D
alam literatur awal ekonomi pem-bangunan, ekonom melihat ne-gara sebagai pelaku yang baik dan pemersatu, dengan tujuan tindakannya selalu bersifat sosial. Pemerintah dipandang mempunyai kemampuan mendapatkan informasi dan dilengkapi dengan penge-tahuan dan instrumen kebijakan yang memadai, dapat mencampuri pasar untuk membenahi kegagalan pasar dan mening-katkan pertumbuhan ekonomi.Pandangan tersebut dinodai oleh ke-nyataan bahwa campur tangan pemerin-tah (baik di negara maju maupun negara berkembang) sering malah berakibat bu-ruk. Tentu saja, kegagalan pemerintah pada kebanyakan kasus menunjukkan ha-sil yang lebih buruk dari kegagalan pasar. Hal ini menjadikan campur tangan pe-merintah khususnya dalam bentuk ba-nyaknya Badan Usaha Milik Negara/Da-erah (BUMN/D) pada berbagai bidang usaha kemudian dianggap berdampak negatip bagi perekonomian nasional. Kondisi ini kemudian menyuburkan pan-dangan agar pemerintah mengurangi campur tangannya dalam perekonomian melalui BUMN/D. Akhirnya privatisasi BUMN/D dilihat sebagai salah satu cara yang efektif mengurangi campur tangan tersebut. Walaupun kemudian ternyata alasan privatisasi tidak melulu karena adanya campur tangan pemerintah. Namun pada akhirnya privatisasi telah menjadi suatu gejala yang umum dima-napun di dunia saat ini.
Walaupun demikian perlu disadari bahwa privatisasi tidak selamanya lebih baik. Privatisasi bukan Panacea (obat bagi semua penyakit). Banyak bukti empiris yang menunjukkan itu. Sehingga sebenarnya pilihan privatisasi atau tidak terpulang kembali kepada tujuan dari pendirian sebuah perusahaan yang me-layani kepentingan publik. Sepanjang pi-lihan tersebut baik untuk publik maka menjadi tidak relevan lagi dikotomi swas-ta aswas-tau pemerinswas-tah.
Namun pertanyaan yang lebih valid
adalah pada saat kapan privatisasi
me-nunjukkan kinerja yang lebih baik, dan bagaimana menciptakan kondisi terse-but, serta prasyarat apa saja yang harus terpenuhi. Tulisan ini berusaha mema-parkan jawaban dari pertanyaan tersebut dari berbagai sumber, yang dimulai de-ngan memberi pemahaman tentang pri-vatisasi, baik definisi, manfaat, kendala, pengalaman negara lain, dan prasyarat keberhasilan privatisasi. Versi lengkap dari tulisan ini dapat dilihat pada
newsletter AMPL edisi 26 Nopember 2004 atau di situs AMPL www.ampl.or.id
Beberapa Bukti Empiris tentang Ki-nerja BUMN
Riset oleh Savas (1974, 1977) dan Ste-vens (1978) di Amerika Serikat, Hamer di Jerman, Hartley dan Huby di Inggris me-nunjukkan hasil yang sama bahwa biaya produksi sektor publik lebih besar, ber-kisar rata-rata 20-40 persen dari sektor swasta. Di Inggris, biaya sektor publik lebih besar 30 persen, di Amerika Serikat lebih besar 40 persen, di Jerman mendekati angka 50 persen. Ketiga pe-nelitian tersebut bermuara pada kesim-pulan bahwa efsiensi sektor swasta lebih baik dari sektor publik (Pirie, 1988).
Ayub dan Hegstad dalam majalah
Research ObserverVolume 2 No. 1 Janu-ari 1987 melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan besar yang bukan perusahaan AS. Hasil penelitian menun-jukkan bahwa tidak satupun perusahaan pemerintah yang menunjukkan kinerja lebih baik dari perusahaan swasta ( Si-marmata, 1991). Perusahaan Boardman
dan Vining yang melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan terbesar yang berada di luar AS dan bukan monopolis, menunjukkan kesimpulan yang sama swasta lebih unggul dari BUMN dilihat dari segi laba dan efisiensi.
Bagaimana di sektor air minum dan sanitasi?
Pada studi yang membandingkan
ki-nerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien (Estache, 1999).
Di negara maju, dengan asumsi bahwa perusahaan pemerintah relatif lebih efisien maka diharapkan keterli-batan swasta menjadi kurang signifikan. Namun, kenyataan menunjukkan seba-liknya. Ahli ekonomi Trent University meneliti 3 studi di AS sejak tahun 1970an.
Studi pertamaterhadap 112 penyedia air menunjukkan bahwa produktifitas per-usahaan pemerintah hanya 60 persen dari perusahaan swasta. Ketika sebuah perusahaan pemerintah menjadi perusa-haan swasta, output per pegawai me-ningkat 25 persen, dan sebaliknya ketika perusahaan swasta menjadi perusahaan publik maka output per pegawai menu-run 40 persen. Studi keduaterhadap 143 penyedia air minum, ditemukan bahwa biaya lebih besar 15 persen pada perusa-haan pemerintah. Studi ketiga menun-jukkan bahwa perusahaan pemerintah lebih mahal 20 persen (Brubaker, 2001).
The Reason Foundation telah beru-langkali menemukan perusahaan swasta di AS lebih efisien dari perusahaan pemerintah. Sebuah studi tahun 1992 menyimpulkan bahwa pelayanan yang dipihak ketigakan dapat mengurangi biaya operasi sampai 50 persen. Salah satu contohnya adalah pengolahan air limbah di New Orleans dan New York. Selain itu, dalam suatu studi yang mem-bandingkan kinerja 10 perusahaan pemerintah negara bagian California de-ngan tiga perusahaan swasta terbesar di California, The Reason Foundation me-nemukan bahwa biaya operasi rata-rata setiap sambungan per tahun perusahaan swasta lebih rendah, perusahaan peme-rintah menggunakan pegawai lebih banyak, dan menghabiskan tiga kali lebih banyak biaya operasi untuk gaji. Se-lanjutnya, perusahaan pemerintah meng-habiskan dua kali lipat biaya pemeli-haraan untuk menghasilkan jumlah pro-duksi yang sama (Brubaker, 2001)
A W A S A N
Sekali Lagi tentang Privatisasi
W
Oleh: Oswar Mungkasa*)
Bukti di atas pada kenyataannya tidak dengan otomatis mengarah pada kesim-pulan sektor swasta lebih efisien dari sek-tor publik. Beberapa hasil penelitian empiris membuktikan sebaliknya. Misal-nya penelitian oleh Caus dan Christensen (1980) membandingkan perusahaan KA Canadian National (BUMN) dan Cana-dian Pacific (swasta). Kinerja Efisiensi Produksi (Productive Efficiency Perfor-mance) dari kedua perusahaan tersebut tidak berbeda secara signifikan.
Hasil studi literatur Siahaan (2000) yang dikemukakan dalam disertasinya menunjukkan bahwa kesimpulan BUMN mempunyai tingkat biaya yang lebih ting-gi dibanding swasta masih sangat kabur, karena perbandingan dilakukan antara BUMN monopoli dan swasta yang ber-saing mendapatkan proyek (Stevens 1978, Savas 1974, 1977, dan Ahebrand 1973). Karenanya beberapa peneliti (Meyer 1975, Pescutrice dan Trapani, 1980 dalam bidang listrik; Teeples dan Glyer, 1987 dalam bidang penyediaan air) memban-dingkan antara BUMN dan swasta yang sama-sama monopolis, dan hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan biaya antara keduanya sangat kecil bahkan kadang terbalik. Namun yang kurang dicermati bahwa BUMN tersebut diban-dingkan dengan swasta monopolis yang mengalami regulasi (misal penentuan harga), sehingga implikasi 'property rights' (kepemilikan) terhadap swasta tersebut sama kaburnya.
Alkinsen dan Halvosen (1986) meng-hitung 'cost efficiency' (efisiensi biaya) untuk sampel 30 monopolis BUMN dan 123 monopolis swasta yang bergerak dalam pembangkitan listrik, menun-jukkan tidak terdapat perbedaan sig-nifikan kecuali bahwa tingkat biaya kedu-anya lebih tinggi dari seharusnya.
Dalam sektor air minum pun berlaku hal yang sama. Perbandingan antara perusahaan air minum milik pemerintah di Swedia dan swasta di Inggris untuk ukuran perusahaan yang sama
menun-jukkan bahwa biaya penyedia air minum swasta lebih besar. Kontrak manajemen di Puerto Rico, Trinidad, dan Budapest menunjukkan bahwa keterlibatan swasta tidak membawa perubahan berarti (PSI,
2000). Di Perancis, perbandingan antara perusahaan yang dikelola swasta dan pemerintah menunjukkan bahwa perusa-haan swasta menerapkan tarif yang 13 persen lebih tinggi (Hall, 2001).
Pada survei menyeluruh terhadap 24 studi yang membandingkan kinerja perusahaan swasta dan publik dalam bidang infrastruktur 30 tahun terakhir, ternyata separuh dari studi menunjukkan bahwa kinerja perusahaan swasta secara nyata lebih baik dari perusahaan publik, tujuh studi tidak menunjukkan perbe-daan yang nyata, tetapi terdapat lima studi yang menyatakan perusahaan pub-lik lebih baik dari perusahaan swasta (Shirley, 2000).
Hal yang menarik lainnya, bahwa perusahaan 'mixed-enterprise' (kerja-sama dengan BUMN) ternyata tidak lebih unggul terhadap BUMN. Namun peneli-tian Jones (1992) di Malaysia membantah hal tersebut. BUMN yang diprivatisasi secara parsial tidak kalah dengan BUMN yang diprivatisasi total. Jika mendasari pada kepemilikan, maka hasil penelitian Vikers dan Yarrow (1988), Boardman dan Vinning (1989) menyatakan bahwa pe-ngaruh kepemilikan badan usaha bukan merupakan hal yang dominan diban-dingkan dengan pengaruh keadaan kom-petisi dan regulasi yang harus dihadapi perusahaan (Siahaan, 2000).
Sementara disertasi Siahaan (2000) tentang efisiensi teknik BUMN di Indonesia menunjukkan bahwa (i) BUMN kurang efisien dibanding swasta; (ii) BUMN skala usaha besar dan bergerak pada pasar domestik relatif kurang efisien dibanding swasta dengan karakteristik yang sama; (iii) perbedaan efisiensi pada BUMN dan swasta dengan skala usaha kecil tidak signifikan.
Berdasar beberapa hasil survei
per-bandingan kinerja perusahaan swasta dan BUMN serta dampak privatisasi BUMN pada berbagai negara, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa (i) kinerja perusa-haan swasta bisa lebih efisien dari BUMN dan sebaliknya; (ii) perubahan pemerin-tahan tidak berdampak pada kinerja perusahaan (swasta dan BUMN); (iii) pri-vatisasi dapat meningkatkan pertum-buhan produktifitas tenaga kerja dan total faktor, dan sebaliknya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan; (iv) perubahan kepemilikan berdampak kecil; (v) BUMN dengan pasar kompetitif lebih baik kiner-janya (Pollitt, 1999)
Beberapa kesimpulan penelitian di atas mengarahkan kita pada kenyataan bahwa (i) efisiensi bukan hanya didomi-nasi sektor swasta saja, namun secara keseluruhan efisiensi perusahaan swasta masih lebih baik dari perusahaan peme-rintah; (ii) sulit untuk melakukan per-bandingan antara BUMN dan swasta karena keduanya tidak berada pada 'play-ing field' yang setara; (iii) kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada, terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku.
Definisi
Pada awalnya privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari publik ke sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian atau seluruhnya, yang berarti mengurangi peran pemerin-tah dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan asset (Savas, 1987).
Berjalannya waktu membuat privati-sasi tidak selalu dikaitkan dengan pen-jualan. Konsepnya telah diperluas men-cakup perubahan struktural yang lebih luas yaitu mencakup satu atau lebih kom-binasi dari pengalihan peranan pemerin-tah pada swasta dalam hal pemilikan, pembiayaan, pelaksanaan produksi,