BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kejahatan pencucian uang atau dalam bahasa Inggris disebut money
laundering merupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat seiring
dengan peradaban manusia. Dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan pencucian
uang sedemikian besar dan luas, sehingga menjadikannya sebagai salah satu
tantangan internasional.1
Sifat dasar tindak pidana pencucian uang itu sendiri secara umum adalah
berupaya memperoleh keuntungan keuangan dari tindak pidana yang
dilakukannya. Sementara, pelaku tindak pidana berupaya untuk menjadi sosok
yang baik dan tidak ada seorangpun yang diharapkannya beranggapan bahwa
dirinya telah melakukan tindak pidana. Untuk itulah, pelaku tindak pidana akan
selalu melakukan berbagai upaya agar keuntungan ataupun dana yang diperoleh
dari hasil tindak pidana dapat dinyatakan berasal dari aktivitas yang legal.2 Tindak
pidana pencucian uang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, tidak hanya
melalui sistem keuangan, investasi lansung tetapi juga disembunyikan dalam
bentuk harta benda seperti properti, kendaraan, perhiasan dan lain sebagainya.3
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor
perbankan dewasa ini, banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan
pencucian uang mengingat sektor inilah yang banyak menawarkan jasa instrumen
Pasar Modal, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2010, hal.3.
3Ibid.,
dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, dana
hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan
memanfaatkan faktor rahasia bank yang pada umumnya dijunjung tinggi oleh
perbankan.4
Kegiatan money laundering hampir selalu melibatkan perbankan karena
adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang
bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada
umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui
batas negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung
tinggi oleh perbankan. Perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang oleh bank
pada dasarnya merupakan penyimpangan dari tradisi memegang teguh rahasia
bank. Terdapat suatu prinsip yang berlaku secara universal yang menyatakan
larangan kepada bankir untuk memberikan informasi tentang nasabahnya kepada
pihak ketiga termasuk kepada otoritas yang berwenang, kecuali dimungkinkan
oleh undang-undang yang berlaku.5
Cara pencucian uang yang dilakukan dengan melewatkan uang yang
diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit adalah
guna menyulitkan pihak berwenang untuk mengetahui asal-usul uang tersebut.
Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling
4
Muammar Zia Nasution, “Analisis Yuridis Peran Dan Tanggung Jawab PPATK Sebagai Intelligence Unit Dalam Sistem Perbankan Indonesia, dalam Jurnal Hukum Ekonomi”, Vol.1, No.2, 2013, hal.2.
5
Erdiansah, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bentuk Peranan Bank
Dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Pada PT Bank
disukai karena kerumitannya dan daya jangkauanya menembus batas-batas
yuridiksi. Kerumitan inilah yang merupakan kekhususan dari tindak pidana
pencucian uang yang kemudian dimanfaatkan para pelaku guna melakukan tahap
proses pencucian uang.
Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin
kompleks, melintasi batas yuridiksi, menggunakan modus yang semakin variatif,
memanfaatkan lembaga keuangan di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah keberbagai sektor. Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari
berbagai pihak untuk melakukan pengenalan, pencegahan, dan pemberantasan
terhadap tindak pidana pencucian uang.6
Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan
pencucian uang disuatu negara, antara lain:7 Globalisasi sistem keuangan,
kemajuan di bidang teknologi, ketentuan rahasia bank yang sangat ketat,
penggunaan nama samaran atau anonim, penggunaan electonic money ( e-money),
praktik pencucian uang secara layering, berlakunya ketentuan hukum terkait
kerahasiaan hubungan antara lawyer dan akuntan dengan kliennya
masing-masing, serta pemerintah di suatu negara kurang bersungguh-sungguh untuk
memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan.
Selain itu, tindakan pencucian uang juga sangat berdampak negatif secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian suatu negara. Adapun
dampak-dampak negatif pencucian uang ialah:8
1. Menghambat sektor swasta yang sah
6
Juni Sjafrein Jahja, Melawan Money Laundering, Jakarta : Visimedia, 2012, hal.14.
7Ibid.,
hal. 70.
2. Menghemat integritas pasar-pasar keuangan
3. Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi
4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi
5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak
6. Merusak reputasi negara
7. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi
Berbagai dampak tersebutlah yang membuat negara-negara di dunia dan
organisasi internasional sangat memperhatikan upaya pencegahan dan
pemberantasan kejahatan ini. Upaya memberantas pencucian uang, pada awalnya
dilakukan secara bilateral diantara negara yang menjadi tempat asal dana
kejahatan dengan negara yang diduga menjadi tempat pencucian uang. Dalam
perkembangannya, pemberantasan pencucian uang secara bilateral dirasakan tidak
memadai dan efektif, sehingga perlu diperluas ke tingkat multilateral.
Kerja sama multilateral dimaksudkan untuk mempersempit dan membuka
blog spot wilayah-wilayah anti pencucian uang dimana pun di dunia ini. Pada saat
ini, pencucian uang atau money laundering, sudah merupakan fenomena dunia
dan tantangan internasional. Semua negara sepakat, bahwa pencucian uang
merupakan suatu tidak kejahatan yang harus dihadapi dan diberantas melalui
kerjasama antar negara.9
Secara yuridis untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang di
Indonesia diawali dengan diundangkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002,
yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang
tindak pidana pencucian uang dan kemudian diubah dengan undang-undang
nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
9
Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU).10 Bersamaan dengan disahkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002 pada tanggal 17 April 2002
telah dibentuk suatu lembaga yang dimaksudkan sebagai upaya Indonesia ikut
serta bersama dengan negara-negara lain dalam memberantas kejahatan lintas
negara yang terorganisir seperti terorisme dan pencucian uang, lembaga yang
dimaksud ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya
disebut PPATK).11
PPATK adalah lembaga yang independen yang dalam melaksanakan
tugasnya yaitu dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Dalam menjaga ke independenannya, ketentuan mengenai PPATK dalam
hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang melarang setiap orang untuk melakukan segala
bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Di sisi
lain, PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan
dari pihak manapun.12 Penanggulangan tindak pidana pencucian uang, merupakan
tugas yang berat bagi PPATK, terutama untuk medeteksi terjadinya tindak pidana
pencucian uang, dan tindak pidana lanjutannya. Sehingga pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan mekanisme yang
sistematis dan kompherensif, yang mencangkup pendeteksian dan proses hukum.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti,2004, hal.153.
11
Yusup Saprudin,Op.Cit., hal.54.
12
Tugas pokok PPATK adalah membantu aparatur penegak hukum dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dengan cara
menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap
laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Laporan tersebut dianilisis oleh
PPATK, pihak pelapor yang dimaksud adalah Penyedia Jasa Keuangan
(selanjutnya disebut PJK) baik itu PJK bank maupun PJK non-bank, PPATK
berkewajiban untuk membuat pedoman bagi PJK dalam mendeteksi perilaku
pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan yang
mencurigakan.13
Tujuan pedoman tersebut adalah untuk memberikan gambaran umum
mengenai anti money laundering yang dapat digunakan sebagai acuan bagi setiap
PJK termasuk PJK bank untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang.
Selain itu juga untuk memberikan pemahaman yang sama kepada setiap penyedia
jasa keuangan atau pihak yang yang terkait dalam penanganan tindak pidana
pencucian uang.14
Banyaknya kesulitan yang dialami PJK dalam mendeteksi ketidakwajaran
transaksi keuangan pengguna jasa atau nasabah membuat PPATK perlu
menetapkan suatu aturan yang berkenaan dengan identifikasi terhadap transaksi
keuangan mencurigakan bagi PJK sehingga PJK mempunyai pedoman dalam
mengidentifikasi transaksi yang berindikasi transaksi keuangan mencurigakan.
Sehubungan dengan hal tersebut PPATK telah mengeluarkan peraturan mengenai
pedoman tersebut yaitu Keputusan Kepala PPATK Nomor:
13
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung : BooksTerrace & Library, 2008, hal.471.
14Ibid.,
2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan. Pedoman ini dikeluarkan dalam
rangka memberikan pemahaman dan acuan bagi setiap PJK termasuk PJK Bank
tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan
dengan tepat.15 Namun, peraturan tersebut dianggap tidak sesuai lagi dengan
standar internasional yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF)
dan belum mencangkup perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010, khususnya dengan bertambahnya pihak pelapor baru. Dengan
demikian PPATK memandang perlu untuk menyempurnakan peraturan pedoman
mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK yang
mengakomodir perubahan ketentuan dan perkembangan tipologi pencucian uang.
Peraturan yang telah dibuat oleh PPATK sebagai upaya penyempurnaan
pedoman tersebut ialah Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014
tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa
Keuangan dalam artian peraturan ini berlaku bagi PJK secara keseluruhan baik
untuk PJK bank maupun PJK non-bank. Dengan adanya peraturan tersebut
dimaksudkan agar PJK dapat memberikan laporan transaksi keuangan
mencurigakan yang lebih berkualitas kepada PPATK.16 Sehingga akan
15
Ibid.,hal.504.
13
mempermudah PPATK dalam menjalankan tugasnya yaitu untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang.
Hal inilah yang mendorong Penulis untuk membahas tentang “Identifikasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai
Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang‟‟.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang menurut undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ?
2. Bagaimana identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia
jasa keuangan bank ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Setiap karya ilmiah memiliki tujuan, yang akan diperoleh berdasarkan
suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan
skripsi ini adalah antara lain :
1. Untuk mengetahui mengenai upaya yang dilakukan dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
2. Untuk mengetahui secara garis besar mengenai identifikasi transaksi
3. Untuk mengetahui tata cara identifikasi transaksi keuangan
mencurigakan bagi PJK khususnya PJK Bank sesuai dengan peraturan
yang dikeluarkan oleh PPATK.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta untuk
menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan untuk
memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta menambah khasanah tentang
identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh PJK Bank berdasarkan UU
TPPU dan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh PPATK sebagai upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pada khususnya.
Sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa
serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana
pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan
oleh PPATK dengan membuat peraturan tentang identifikasi transaksi keuangan
mencurigakan bagi PJK bank pada khususnya.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat mengenai pentingnya
identifikasi transaksi keuangan mencurigakan, sehingga diharapkan dapat
memberantas tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan pemberian
informasi tentang adanya transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi
tindak pidana pencucian uang kepada PPATK.
2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat
meningkatkan profesionalisme kerjanya dalam upaya membantu PPATK
dalam memberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
pencucian uang.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi dengan judul “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh
Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan
karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari
perpustakaan, maupun media elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh
karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum
sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht.17 Dalam KUHPid ( Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ) tidak diberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana
17
atau strafbaarfeit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan
pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah
tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam
undang-undang, antara lain dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ).18
Menurut Moeljatno, pengertian hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk:19
1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
2. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 (dua) pandangan yang berbeda
dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama,
Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan
orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini
adalah Moeljatno.20
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan
diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal.1.
20
perbuatannya (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan
kejahatan).21
Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan
antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri
orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah
Simon.22
Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.Alasan
dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:23
1. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh Undang- Undang.
3. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan
melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Suatu perbuatan dapat dikatan sebagai suatu perbuatan pidana tentunya ada
unsur-unsur dari suatu yang dikatakan tindak pidana telah dilakukan oleh yang
bersangkutan. Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut.
a. Unsur Objektif
21
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal.7.
22
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.75.
23
Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si
pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : (1) Sifat melanggar hukum, (2) Kualitas
dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam kejahatan
jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sabagai akibat.24
b. Unsur Subjektif
Unsur subjektif ialah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku,
atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :25
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan ( dolus atau culpa).
2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,
yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan
pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas (principle of legality),
yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih
dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP).
Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena sine previa legi
24
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers, 2102, hal.50.
25Ibid.,
poenalli (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum
pidana terlebih dahulu).26
2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Tidak ada defenisi yang seragam dan komprehensif meneganai pencucian
uang atau money laundering. Masing-masing negara memiliki defenisi mengenai
pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan menurut hukum negara yang
bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan
pengusaha dan perusahaan, dan negara-negara maju mempunyai defenisi sendiri
mengenai pencucian uang berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda,
tetapi semua negara sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat
penting untuk melawan tindak pidana yang bekenaan dengan tindak pidana
pencucian uang.27 Terdapat beberapa pengertian tentang pencucian uang (money
laundering), namun secara umum pengertian atau defenisi tersebut tidak jauh
berbeda satu sama lain. Departemen Perpajakan Amerika Serikat ( tahun 1960)
mendefenisikan bahwa:
Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang, yang secara akal sehat dipercayai berasal dari tindak pidana, yang dialihkan, ditukarkan, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi ataupun mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut.
Tujuan dari proses pencucian uang adalah membuat dana yang berasal dari
atau diasosiasikan dengan kegiatan yang tidak jelas menjadi sah.28 Pencucian
uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan
26
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal.2.
27
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Op.Cit., hal.10.
28
bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal,
dengan demikian asal uang itu pun tertutupi.29
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah Money Laundering diartikan :
Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drung transaction, and other illegal sources into legitimate
channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering
is a federal crime.
Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang adalah
penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan uang
yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang
illegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat
diketahui/dilacak.30
Tidak jauh berbeda dengan pengertian itu, Sarah N.Welling
mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh
seseorang menyembunnyikan keberadaan, sumber ilegal atau aplikasi ilegal dari
pendapatan dan kemudian menyamarkan pendapatan itu menjadi sah. Sarah N.
Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan,
menyembunyikan uang-uang ileegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan
muncul kembali sebagai uang yang sah.31
Berdasarkan pengertian money laundering yang terdapat di dalam Black’s
Law Dictionary diatas, secara umum yang menjadi unsur-unsur tindak pidana
pencucian uang adalah sebagai berikut :32
29
Philips Darwin, Money Laundering- Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2002,hal.9.
30Black’s Law Dictionary
dalam Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit., hal. 4.
31
Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Log.Cit.
32Black’s Law Dictionary
a. Adanya uang (dana) yang merupakan hasil yang illegal.
b. Uang haram tersebut diproses dengan cara-cara tertentu melalui
kelembagaan yang legal (sah).
c. Dengan maksud menghilangkan jejak, sehingga sumber asal uang tersebut
tidak dapat atau sulit diketahui dan dilacak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan perundang-undangan tersebut, dan telah disempurnakan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, menyebutkan bahwa tindak
pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana dengan ketentuan dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5
undang-undang ini. Hal-hal yang tergolong dan dimasukkan sebagai hasil tindak pidana
pencucian uang dapat ditemukan dalam pasal 2 ayat (1) yang dikenal sebagai
tindak pidana asal.33 Dari beberapa defenisi dan penjelasan mengenai tindak
pidana pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang
adalah: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh
seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari
tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul harta tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan
penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara lain dan terutama memasukkan
33Ibid.,
uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat
dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.34
3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan
Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau
kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih. Sedangkan Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau
menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang
atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.35
Undang-undang tindak pidana pencucian uang menggunakan istilah
“Transaksi Keuangan Mencurigakan”, istilah “mencurigakan” memiliki konotasi
bahwa transaksi keuangan tersebut seolah-olah sudah pasti terkait dengan tindak
pidana sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaporan transaksi
keuangan mencurigakan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan istilah transaksi
keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan dan
tidak wajar dan selalu terkait dengan tindak pidana tertentu.
Istilah “transaksi keuangan mencurigakan” atau suspicious transaction
dalam terminologi anti pencucian uang digunakan pertama kali oleh the Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam the Forty
Recomendations tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam
prakteknya setiap negara dapat menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang
digunakan tidak hanya „transaksi keuangan mencurigakan”, tetapi juga dengan
istilah lainnya seperti “transaksi yag menyimpang dari kebiasaan” atau unsual
transaction.36 Berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh PPATK, mendefenisikan bahwa transaksi keuangan mencurigakan (selanjutnya di singkat
dengan TKM), adalah:37
a. Transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
b. Transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Pengertian transaksi keuangan mencurigakan dalam undang-undang nomor
8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang adalah :38
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Penggguna Jasa yang bersangkutan:
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana ; atau,
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk diaporkan oleh Pihak
Pelapor karea melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri baku, karena
hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen
keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari transaksi
36
Bismar Nasution, Op.Cit., hal 506
37
Pasal 1 ayat (6), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuagan Nomor PER-04/1.02/PPATK/03/2014.
38
keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:39
a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas
b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau
dilakukan secara berulang-ulang diluar kewajaran
c. Diluar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.
Apabila diperlukan PJK dapat melakukan klarifikasi atau meminta
dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan
transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaaan lebih dominan pada transaksi itu
sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi.
4. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa
dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan, termasuk tapi
tidak terbatas pada bank tetapi juga lembaga non-bank. PJK termasuk sebagai
pihak pelapor yaitu pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK
apabila terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 butir 5 memberikan
defenisi tentang PJK, yaitu :40
Namun yang menjadi tumpuan dalam penulisan skripsi ini ialah PJK yang
bergerak dalam sistem keuangan bank. Bank merupakan suatu bentuk usaha yang
memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana sehingga sangat
strategis digunakan sebagai sarana pencucian uang. Pada Pasal 1 angka 2 UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kerdit dan/atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka menerapkan taraf hidup rakyat banyak.41
Sedangkan berdasarkan SK Menteri Republik Indonesia Nomor 792 tahun
1990 pengertian bank adalah suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan
melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna
untuk membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang
kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat
yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.42
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dapat dilakukan apabila penyedia jasa keuangan melaksanakan kewajibannya
dalam melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan. Laporan disampaikan
kepada PPATK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan sesuai UU
TPPU yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Laporan yang disampaikan oleh PJK termasuk PJK Bank kepada PPATK
akan menjadi bahan analisis bagi PPATK dan hasil analisis tersebutlah yang
41
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
42
kemudian akan menentukan apakah laporan tersebut akan diserahkan kepada
penyidik untuk ditindak lanjuti atau tidak. Sehingga, PJK adalah pihak yang
paling berperan sebagai unjung tombak dalam melacak transaksi keuangan
mencurigakan.43
F. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini
dipergunakan suatu cara atau metode yaitu :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat
dipertanggung jawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau
penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normativ merupakan penelitian
yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat
berupa pendapat para sarjana.44
2. Bahan Hukum
Sebagaimana umumnya, penelitian normativ dilakukan dengan penelitian
pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau
data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
43Ibid.,
hal.262.
45
undangan yang diurut berdasarkan hirarki,45seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPATK yakni:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
4. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor:
PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan,
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
Bagi Bank Umum.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.46 Dalam hal
penulisan sikripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku
teks tentang Pencucian Uang (money laundering), Tindak Pidana Pencucian Uang
46
Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, Surabaya : Bayumedia, 2008, hal.282.
47Ibid.,
(TPPU),tentang Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan tentang Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.47 Misalnya
kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya yang
relevan dengan skripsi ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan
erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus
relevan dan mutakhir.48
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research),
yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan
seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis Bahan Hukum
Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis
secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan
untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang
diperlukan dan akan diuraikan secara komprehensif untuk menjawab berbagai
permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini.
47Ibid
48
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan masing-masing terdiri
dari beberapa sub-sub bab. Adapun susunannya adalah :
BAB I : Bab ini berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang
mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah
yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman
mengenai istilah-istilah tersebut, metode penelitian dan terakhir
diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II: Bab ini berisikan tentang Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Undang-Undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam Bab ini penulis mencoba menguraikan secara
keseluruhan yang dalam garis besarnya dituangkan dalam 4 (empat)
sub, yaitu : Sejarah Terjadinya Pencucian Uang, Objek dan Tahapan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Alasan Memberantas Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).
BAB III: Bab ini berisikan tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank. Dalam Bab ini
Penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan, yang dalam garis
Transaksi Keuangan Mencurigakan, Peranan Penyedia Jasa Keuangan
Bank, Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah, Tujuan Penerapan Prinsip
Mengenali Nasabah Kepada Penyedia Jasa Keuangan, Tata Cara
Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa
Keuangan Bank, Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada
PPATK oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank.