• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ambarawa Menuju Revolusi

4.1.1 Kedatangan Sekutu di Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia diprokalamasikan, Indonesia memasuki fase baru dalam perkembangan sejarah Indonesia. Fase ini disebut fase Perang Kemerdekaan atau Revolusi Indonesia, ialah perang untuk mengelakkan diri dari pemerasan dan penindasan negara lain (Tan Malaka, 1964:18). Pada fase ini terjadi pertempuran besar antara segenap rakyat Indonesia melawan sebuah imperialisme Sekutu yang diboncengin NICA (Nederlandsch Indische Civil Administration) yang hendak menguasai Indonesia kembali. NICA dibentuk dibentuk di Australia, dan dirancang sebagai bagian dari tentara Sekutu yang ditugaskan untuk menduduki wilayah Indonesia. Pihak Sekutu dan NICA sudah melakukan suatu perjanjian untuk bekerja sama. Perjanjian itu tertuang dalam Civil Affair Agrement 24 Agustus 1945, pada pasal 4 dijelaskan dimana tentara Sekutu akan menyerahkan pemerintahan sipil kepada pemerintahan Hindia Belanda kembali, bila tugasnya telah selesai (T.B Simatupang, 1954:53). NICA juga akan menjalankan pemerintahan sipilnya dengan diawasi panglima besar Sekutu Inggris. Dilain itu, Inggris juga berjanji untuk selepas mungkin menyerahkan pemerintahan sipil kepada Belanda dan secepatnya membentuk alat-alat administrasi dan kehakiman Hindia Belanda agar dengan segera pemimpin-pemimpin Belanda memerintah kembali (Nasution, 1977:6). Pada masa ini Indonesia mengalami pergolakan, segenap rakyat Indonesia berbondong-bondong bertempur untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Meletus banyak pertempuran di daerah-daerah Indonesia karena perlawanan rakyat terhadap Sekutu dan NICA. Setelah dilepaskannya bom fatman di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan bom Littleboy pada 9 Agustus 1945 di kota Nagasaki, akhirnya

(2)

11 Jepang benarbenar mengalami kekalaha dalam Perang Dunia ke II di front pasifik, menganggapi hal tesebut akhirnya Jepang mengakui kekalahannya pada 14 Agustus 1945 dan melakukan kapitulasi terhadap pasukan Amerika pada 15 Agustus 1945. Berdasarkan Konferensi Postdam yang dilakukan oleh pasukan pasukan Sekutu bersamaan dengan Rusia, pada 1 Juli hingga Agustus, salah satu dari keputusan tersebut adalah perjanjian Postdam yang salah satunya mengembalikan wilayah jajahanya kembali kepada pemilikinya. Dalam konteks ini Indonesia, yang kala itu dikuasai Jepang akhirnya mau tidak mau harus kembali kepada pihak Belanda, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dilakukan secara terang-terangan sebab, Indonesia telah merdeka.

Pasukan Sekutu pertamakali mendarat di Indonesia pada 29 September 1945 dibawah pasukan AFNEI (Allianced Force

Netherlands East Indies) pimpinan Letnan Philip Cristison. Laksamana

Lord Louis Mountbatten, Panglima SEAC (South East Asia

Command/Komando Sekutu di Asia Tenggara) melalui siaran Radio

Singapura, menjelaskan bahwa AFNEI mendarat di Asia Tenggara dengan tujuan:

1. melindungi dan mengungsikan tawanan Perang (Prisoners of War) kita beserta tawanan sipil.

2. Melucuti senjata dan mengembalikan tentara Jepang

3. Menjaga keamanan dan ketentraman agara kedua maksud tersebut dapat diterima sebaik-baiknya. (Disjarahdam VI, 1979:25).

Pada tanggal 1 Oktober 1945 Jenderal Sir Philip Christison mengumumkan tugas kewajibanya di Indonesia antara lain:

1. melindungi dan menjalankan pemindahan tawanan perang dan orang-orang interniran, tugas ini diselengarakan oleh suatu badan bernama RAPWI (Rehabilitation Allied Prisoners of War), yang di Indonesia bertugas pada tahun 1945 sampai tahun 1946 dengan bantuan pemerintahan Indonesia

(3)

12 2. melucuti tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke negerinya

(Disjarahad, 1974:4).

Dalam melakukan tugasnya di Indonesia, pasukan Sekutu bekerja sama dengan pemerintahan Indonesia. Meskipun Indonesia membantu pasukan Sekutu dalam menjalankan tugasnya, Rakyat Indonesia tetap curiga bahwa kedatangan Sekutu hendak menguasai Indonesia kembali. Insiden pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945 juga menjadi salah satu bukti kecurigaan rakyat Indonesia. Hal itu terbukti benar pihak Sekutu telah melakukan suatu penyelewengan yang akhrinya membuat rakyat Indonesia Marah, perilaku sewenang-wenang Sekutu di daerah Surabaya telah membakar amarah pemuda Surabaya untuk melawan Sekutu sehinggga terjadi sebuah Pertempuran Palagan di Surabaya.

4.1.2 Ambarawa Pasca Proklamasi

Ambarawa merupakan kota strategis sejak masa kolonialisme di Indonesia. Kota Ambarawa terletak di dataran tinggi, sehingga banyak bukit dan pegunungan yang melingkupinya. Adapun letak geografis Ambarawa di sebelah Selatan ke arah Barat yaitu Gunung Weru, Kendil, Butak, Blabag, Kukusan, Gedeg, Tugu, Kantong, Srabi, Gugon, Kendalisodo, Condong, Prawitosari, Jonggol. Sedang di sebelah Utara berdiri kokoh Gunung Ungaran, sebelah timur terdapat rangkaian pegununggan Ngrawan, Ipik dan Rong. Di sebelah Tenggara terbentang sebuah rawa luas yaitu Rawa Pening. (Disjarahdam, 2014: 5-6).

Ambarawa juga mudah menghubungkan Kota Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Terdapat Stasiun Willem I yang berperan penting dalam transportasi pada kota-kota tersebut. Serta adanya Benteng Willem I yang membuat Ambarawa hendak dikuasai Pasukan Sekutu untuk pertahanan. Berita Proklamasi tersiar hingga di Ambarawa melalui siaran radio di kantor wedana Ambarawa, dengan disusul perintah Bung Karno untuk mendirikan badan BKR, maka warga Ambarawa serentak membentuk BKR di Ambarawa. belum lama

(4)

13 terbentuk BKR berita mengenai kedatangan Sekutu di Magelang telah tersiar sehingga mau tidak mau pasukan BKR di Ambarawa turut serta dalam mempertahankan Ambarawa (Wawancara Bapak Sumarto, 15 Oktober 2019).

4.2 Sejarah Tentara Rakyat Mataram (TRM)

4.2.1 Soetardjo Reksokario (Bung Tardjo) dan PRI Mataram

Pembentukan Tentara Rakyat Mataram (TRM) tidak bisa dilepaskan dari peran Soetardjo Reksokario atau Bung Tardjo dalam memimpin PRI Mataram (Pemberontakan Rakyat Indonesia Mataram) sering juga disebut sebagai BPRI Mataram (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia). Soetardjo Reksokario atau Bung Tardjo lahir pada 31 Agustus 1922 di Yogyakarta, ia merupakan salah satu anak dari enam bersaudara. Ayahnya R.B Reksokario berasal dari Ponorogo sedang Ibunnya R.Ng,Ngadilah berasal dari Yogyakarta. Ketika Bung Tardjo Kecil ayahnya bekerja sebagai assistan Colecteur atau pemungut pajak opium (candu) pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (Affandi, 1997:69).

Masa kecil Bung Tardjo dihabiskan di Bali, sejak R.B Reksokario dipindah tugas di Denpasar. Ia ditugaskan di Denpasar ketika monopoli penjualan candu diperluas ke luar jawa tahun 1920. Keluarga R.B Reksokarioa terbilang memiliki kondisi sosial-ekonomi yang cukup baik, hal ini terlukis dalam sebuah foto keluarga R.B Reksokario dikelilingin pembantu rumah tangga asal Bali. Sewaktu kecil Soetardjo hobi menunggangi kuda serta bermain layang-layang, ia juga seringkali mengikuti upacara Galungan serrta upaca Nyepi umat Hindu di Bali meski beragama Islam. Pengaruh lingkugan Hindu-Bali perlahan membentuk pribadi Soetardjo, ia juga mengambil falsafah hidup Orang Bali yang takut akan hukum karma,dimana siapa yang berbuat buruk akan menuai malapetakan dan siapa yang berbuat baik akan memperoleh pahala. Sekalipun begitu Soetardjo merupakan seorang Muslim yang taat, karakternya juga diilhami dari keikhlasan

(5)

14 dalam ajaran Islam. Kedua unsur tersebut kelak membentuk wataknya yang memperjuangkan sesuatu tanpa pamrih (Affandi, 1997:70-71).

Soetardjo kecil menempuh pendidikan di HIS (Hollandsch

Inlandische School) di Denpasar. Usai itu kembali ke Yogyakarta dan

melanjutkan pendidikannya di Boverbouw PNS (Particuliere Neutral

School), semacam sekolah lanjutan bagian pertama di Bintara Kulon.

Pada 1940, Ia melanjutkan sekolahnya di MEBI (Machineen

Bouwkundig Instituut) sebuah sekolah teknik peremsinan di

Lempuyangan Yogyakarta. Disela sekolahnya tersebut sejak sekitar tahun 1936 Soetardjo Muda juga bekerja pada MAVRO (Mataramsche Verenging voor Radio Omroep) sebuah radio swasta lokal di Yogyakarta (Affandi, 1997:73-74). Radio MAVRO ini didirikan pada Febuari 1934 dibawah naungan Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai pelindung, dan diketuai oleh GP Hangabehi. Radio ini mendapat dukungan dari para bangsawan tertentu di Yogyakarta serta para intelektual nasionalis. Tujuan didirikannya radio ini adalah untuk menanamkan rasa cinta kasih akan Indonesia dengan menonjolkan budaya bangsa (Affandi, 1997:77). Semasa menjadi penyiar radio Soetarjdo juga mengetahui segala perkembangan yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Ia mengetahui ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, Bung Tardjo juga mengetahui ketika Jepang melakukan Invasi ke Manchuria yang membuat terjadinya perang antara Jepang-Cina.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, segala sekolahan berbahasa Belanda ditutup oleh Jepang, segala hal yang berhubungan dengan Belanda atapun Sekutu dilarang mulai dari bahasa, buku, hingga koran.Tak luput MEBI dimana tempat Soetardjo bersekolah. Dengan begitu Soetradjo terpaksa berhenti sekolah dan kembali ke Bali, tempat dulu ia dan orang tuanya menetap. Sewaktu di Bali Soetardjo tetap rajin mengikuti perkembangan pergerakan bangsa melalui radio. Ia juga mengetahui tentang propaganda Jepang seperti

(6)

15 gerakan 3A, PUTERA, Jawa Hokokkai, dan Cuo Sangi In. Pada awalnya Soetardjo kurang setuju akan keputusan para pemimpin Indonesia untuk berkerja sama dengan Jepang, namun pada akhirnya ia menyadari bahwa kerja sama tersebut dilakukan demi kepentingan jangka panjang dan memiliki maksud untuk menguasai Indonesia. Pada tahun 1944, Soetardjo memutuskan untuk kembali ke Jawa, tujuannya untuk melihat-lihat bagimana perkembangan di Pulau Jawa. Perjalanan antara Banyuwangi hingga Semarang, dilihatnya sebuah keadaan yang semakin memburuk dalam masa keadaan Jepang. Banyak pendudukan yang dijumpai mengenakan celana karung goni dan makan siput (Affandi, 1997: 92).

Dengan Berbekal menjadi penyiar radio sebelumya, Soetardjo mengadu nasib di Semarang dan mendaftarkan diri Pada Hosyoku, sebuah radio milik Jepang. Di Semarang ini Soetradjo berjumpa dengan Soeharto atau sering dipanggil Mas Harto atasanya di Semarang, darinya Soetardjo memperoleh banyak ilmu dan pengalaman. Keduanya sering berdiskusi tentang pergerakan Indonesia. Mas Harto juga bercerita tentang pengalamannya mengikuti latihan pemimpin radio di Jakarta yang diselenggarakan oleh Barisan Propaganda Jepang. Hal tersebut katanya, hanya sebuah siasat dari Chaerul Saleh dan Sukarni, pemipin barisan untuk mengumpulkan tokoh-tokoh media massa seluruh Jawa. Dalam pelatihan tersebut diselipakan suatu ceramah dimana setiap pemuda harus bersiap-siap melakukan perjuangan kelak, yaitu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pesan ini disampaikan secara hati-hati karena takut masih ada pemuda yang menjadi antek-antek Jepang. Selepas pulang dari pendidikan terebut, dibentukalah Angkatan pemuda Indonesia (API) (Affandi, 1997:94-95). Soetardjo tertarik akan hal tersebut dan bertanya-tanya kapan pemuda Yogyakarta akan ikut berjuang. Dengan begitu Mas Harto menyarakan agar Soetardjo kembali ke Yogyakarta dan

(7)

16 membentuk badan perjuangan. Keduannya kemudian mengatur langkah agar, Soetardjo dapat dipindahkan Hosoyoku Cabang Yogyakarta. Dengan begitu kiprah Soetardjo dimulai dan menjadi seorang Bung Tardjo yang senantiasa membakar semangat pemuda layaknya Bung Tomo dari Surabaya.

4.2.2 Latar Belakang Berdirinya TRM

Pada 5 Oktober 1945 sudah diumukannnya maklumat tentang pembentukan TKR untuk keamanan Rakyat, akan tetapi semangat rakyat bergelora juga mendorong membentuk kesatuan kemiliteran atau sebuah laskar rakyat untuk membantu TKR dalam memperkuat keamanan negara dan membantu TKR menghadapi Sekutu dan NICA. Pembentukan laskar ini sekaligus untuk menampung semangat rakyat yang sedang bergelora, ingin ikut secara fisik membela dan mempertahankan negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu (Affandi, 37:1997).

Pembentukan kelaskaran di Yogyakarta dilatar belakangi oleh adanya pendidikan organisasi semi militer pada Masa Jepang seperti PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), Seinendan (Gerakan Pemuda), Peta (Pembela tanah Air), Heiho beserta organisasi lainnya. Organisasi tersebut setidaknya telah memberikan suatu dasar kemiliteran kepada rakyat sehingga menjadi bekal saat membentuk badan kelaskaran maupun bergabung dalam kesatuan laskar. Pembentukan kelaskaran didukung pula dengan adanya amanat dari pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Maklumat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 12 Oktober 1945, menghimbau agar segenap rakyat untuk turut serta dalam menunaikan kemanan dan ketentraman negara, lalu pada 20 Oktober 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan Yogyakarta) mengumumkan tentang adanya laskar rakyat secara menyeluruh. Pengumuman ini disusul kemudian dengan Maklumat Daerah Yogyakarta No. 5 tanggal 26 Oktober 1945, yang

(8)

17 berisikan tentang pembentukan laskar rakyat sebagai pembantu TKR dalam melaksanakan keamanan umum (Affandi, 1997:38).

Dengan adanya maklumat tersebut, para pemuda termobilisasi dan mendaftarkan diri pada badan kelaskaran di Yogyakarta. Maklumat tentang laskar rakyat kian mudah diterima rakyat setelah dikabarkan dalam Koran Kedaulatan Rakyat, sebuah media massa koran di Yogyakarta kala itu. Dalam koran Kedaulatan Rakyat edisi November 1945 dicantumkan tentang maklumat No.5 Tentang pembentukan Laskar Rakyat. Pokok-pokok pendirian Laskar rakyat juga dikabarkan dalam Koran itu dengan isi sebagai berikut:

1. Anggota markas laskar rakyat terdiri dari badan-badan perjuangan yang ada.

2. Pengurusnya sebagai terdiri dari badan-badan yang punya laskar.

3. Tidak ada badan kelaskaran di luar TKR selain laskar rakyat dan markasnya.

4. Tetap menjadi suatu organisasi dari rakyat (Bukan institusi pemerintahan) tetepi meminta perlindungan dan pengakuan dari Dewan Pekerja Komite Nasional Indonesia (Koran Kedaullatan Rakyat, November 1945).

Pada 12 Oktober 1945, Bung Tardjo, Soejitno, Soendjoto, Salim, dan para pemuda lainnya membentuk PRI Mataram. laskar ini merupakan cikal bakal dari Tentara Rakyat Mataram (TRM). PRI Mataram ini secara administratif tidak memiliki hubungan dengan BPRI pimpinann Bung Tomo di Surabaya, meski sebelumnya telah terjadi perudingan bersama Bung Tomo (Affandi, 40:1997). PRI Mataram dibentuk oleh Bung Tardjo Soejitno, Soendjoto, Salim, dan Turmudji di Rumah Haji Zein pada jalan Suryobrantan 2 Yogyakarta, tempat ini juga menjadi markas dari laskar PRI Mataram.

Bung Tardjo yang sebelumnya bekerja sebagai penyiar radio di MAVRO (Mataramsche Verenging voor Radio Omroep) seringkali

(9)

18 membakar semangat para pemuda laskar dan para pemuda Yogyakarta melalui pidato-pidatonya yang menggelegar. Pada siaran pertama, Bung Tardjo mengajak penduduk Yogyakarta untuk bergabung, “kawan-kawan yang mempunyai semangat pemberontak supaya menyediakan tenaganya dengan jalan mendaftarkan diri di Jalan Suryabrantan 24 dengan alamat Haji Zein. Pada alamat tersebut dapat pula mengajukan diri yang hendak membantu dengan sepenuh tenaga, kebatinan, dan lain-lain kepada cabang PRI Mataram”. Seruan Bung Tardjo kepada para pemuda yang tengah digelorakan oleh api revolusi berhasil menggerakkan ribuan orang untuk mendaftarkan diri sebagai anggota PRI-Mataram. Rumah milik Haji Zein di Suryabrantan nomor 24 yang juga sebuah toko roti sampai tidak mampu menampung massa yang membeludak sehingga dipindahkanlah tempat pendataran beserta markas Laskar PRI Mataram di Gondomanan nomor 13. (Winardi 2017:93)

Badan keorganisasian PRI Mataram juga dibentuk untuk menyempurnakan organisasi kelaskaran, pembentukan keorganisasian PRI Mataram adalah sebagai berikut:

Ketua : Bung Tardjo Administrasi : Soejitno Persenjataan : Soendjoto Intelejen : Salim

Ketika terjadi Pertempuran Di Magelang, PRI Mataram turut serta dalam pertempuran tersebut untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia. Pada tanggal 29 Oktober 1945 PRI Mataram berangkat ke Magelang denga naik kereta api dari stasiun Tugu dan Lempuyangan Lor. Selain itu, adapula yang berangkat menggunakan truk ataupun kendaraan lain. Mereka berangkat ke Magelang dengan semangat tinggi. Senjata yang dibawa bermacam-ragam, sebgaian besar merupakan rampasan dari Osa Butai (Markas Butai) Kota Baru (Affandi 1997:42).

(10)

19 Bergabungya PRI Mataram dalam pertempuran Magelang semakin memperkuat kekuatan TKR di Magelang. PRI Mataram membantu Divisi IX/Istimewa Yogyakarta dalam melakukan pengepungan Sekutu di Kota Magelang. Sebelumnya setelah berhasil membantu pasukan TKR dalam pertemupran Magelang, akhrnya pasukan PRI Mataram ikut melakukan pengejaran dan Singgah di Desa Bedono, beberapa kilometer dari Ambarawa. Di desa tersebut muncul pula, pasukan laskar PRIP (Pasukan Rakyat Indonesia Putri) dibawah pimpinan Widyawati Sugardo. PRIP Mataram akhrinya menggabungkan diri dengan PRI Mataram di Bedono. PRIP Mataram ini bukan hanya membantu dalam urusan dapur umum dan PMI bagi pasukan Republik.

Hal tersebut ternyata ditentang oleh beberapa pimpiman PRI Mataram garis Belakang di Yogyakarta, Seperti Sundjoto, dan Salim. Mereka beranggapan bahwa bergabungya PRIP dalam Pertempuran hanya akan mencemarkan nama baik PRI Mataram.. Bung Tardjo tidak setuju akan pendapat para Pemimpin lain PRI Mataram. Ia lebih beranggapan bahwa bergabungya PRIP dalam pertempuran malah semakin membangkitkan rasa Segan dan Hormat kepada wanita (Affandi, 199:40).

Adanya perbedaan pendapat diantara para pemimpin PRI Mataram diatas membuat perselisihan antara Bung Tadjo, Sundjoto dan Salim. Perselisihan tidak hanya dilatar belakangi oleh masalah PRIP tersebut namun juga, adanya perpecahan pasukan dalam PRI karena pengejaran pasukan Sekutu dari Magelang-Ambarawa. Pertentangan pendapat dimana Salim dan Soendjoto lebih memilih menghalau pasukannya mundur ke Yogyakarta, sedang Bung Tardjo tetap menghendaki melanjutkan pengejaran ke Ambarawa hingga titik darah penghabisan. Sebab hal ini akhirnya Bung Tardjo memilih untuk memisahkan diri dari PRI dan membentuk pasukan sendiri dengan nama Tentara Rakyat Mataram atau TRM (Hidayati 1999:6).

(11)

20 Bung Tardjo mengabungkan PRIP dalam kesatuan TRM, meski begitu tugas PRIP tidak terbatas hanya untuk pasukan TRM saja melainkan kepada seluruh pasukan Indonesia meliputi TKR dan badan perjuangan lainnya. Bantuan Logistik dari TRM diapatkan dari Habib Oemar seorang pedagang dari Yogyakarta yang seringkali mengirim perbekalan kepada pasukan TRM di front pertempuran.

TRM terdiri dari 8 kelompok pasukan. Badan keorganisasian TRM adalah sebagai berikut:

Komandan : Bung Tardjo

Pembantu : Habib Oemar, Sutrisno, Sutrino kecil (Putra Sutrisno) Administrasi: S.Kertopati, Siswanto Indrohadi. Sujitno

Sarwoko,Supangat. Susunan Kelompok Pasukan Pasukan 6 : Komandan Supani

Pasukan 8 : Komandan Dawami Zakaria Pasukan 9 : Komandan Dirjo Sumanto Pasukan 11 : Komandan Purwito Pasukan 20 : Komandan Sutrisno Pasukan 22 : Komandan Sarwaka Pasukan 30 : Komandan Purwaka Pasukan 40 : Komandan Hadi

Pasukan tersebut diberi nama berdasarkan jumlah pasukan yang ada, seperti kelompok Hadi yang memiliki jumlah anggota 40 orang lalu diberi nama Pasukan 40. Begitu juga dengan pasukan lainnya. Dilain itu, pasukan biasannya menamai ada pasukan yang menamai kelompoknya lagi sekalipun masih berada dalam lingkup TRM. Semisal Pasukan 22 yang memiliki nama Pasukan Alap-alap (Affandi, 1997:141). Secara keseluruhan anggotaa TRM berjumlah setingkat satu Batalyon dan seragamnya menggunakan biru tua (Affandi, 1997:48-49). Dengan badan kelaskaran tersebut TRM ikutserta dalam

(12)

21 awal pertempuran Revolusi Indonesia guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

4.2.3 Pasukan Rakyat Indonesia Putri (PRIP)

Laskar PRIP atau Pasukan Rakyat Indonesia Putri merupakan laskar rakyat yang wanita yang berdiri di Yogyakarta. Laskar ini dipimpin oleh Widyawati Sugardo seorang, putri dari Sugardo Purbowakotjo. PRIP terbentuk karena geliat revolusi yang telah menjalar di Yogyakarta, dengan semangat kemerdekaan akhirnya mendorong Widyawati membentuk PRIP.

PRIP terdiri dari banyak lapisan masyarakat bukan hanya dari golongan intelektual terpelajar. Sedang untuk mereka yang masih terpelajar, tugas mereka dibagi menjadi 2 minggu di garis depan dan satu minggu kembali ke Yogyakarta untuk kembali mengikuti pelajaran. Barisan Putri memiliki dua macam tugas di front pertempuran yaitu Palang Merah dan Dapur Umum. Kedua tugas tersebut masih dibagi mennjadi dua kelompok yang bergantian setelah sehari satu malam, untuk beristirahat di asrama. Jadi selain memiliki sekolahan barisan Putri juga memilliki Asrama putri yang menjadi markas (Kesaksian Suharti Suyono, dalam Affandi, 1997:226). Untuk bahan makanan PRIP didapatkan dari sumbangan warga, semisal sayuran diambild ari kebun-kebun warga sekitar. Khusus untuk pasukan PRI Mataram, segala bekal dan kebutuhan logistik dipenuhi oleh Habib Oemar, seorang anggota PRI Mataram keturuan Arab, yang merupakan seorang pengusaha di Yogyakarta.

Keorganisasiaan TRM Putri adalah sebagai berikut: Pimpinan : Widyawati Sugardo Wakil Pimpinan : Atas Asih

Bagian Dapur : Supadmi

Bagian Palang Merah : Umi Yatimah dan Kristiningsih Bagian asrama : Maria Datau

(13)

22 Dalam melaksanakan tugasnya PRIP bukan hanya terkhusus pada laskar PRI Mataram ataupun TRM sendiri, melainkan kepada segenap pasukan perjuangan yang entah laskar rakyat lainnya atapun pasukkan TKR yang ada dalam front pertempuran.

4.3 Jalanya Pertempuran Ambarawa 4.3.1 Kedatangan Sekutu di Semarang

Pada tanggal 19 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Bethell tiba di Semarang dengan satu brigade. Pasukan Sekutu ini terdiri dari satu kompi Infatri Yon 2 Kumon, Satu Yon//Gurkha Rifless, dua kompi cadangan dan satu Kompi Tank Pavo sebagai pasukan Senba (Senjata Bantuan)(Disharjad, 204:67). Sebelumnya, di Semarang telah terjadi pertempuran antara para pemuda Semarang dengan tentara Jepang di Markas Kido Butai di Jl. Pandanaran Semarang. Pertempuran ini disebut sebagai Pertempuran 5 Hari di Semarang yang ketika itu perhatiannya sedang terpusat menghadapi tentara Jepang, tidak memperhatikan pendaratan tentara asing tersebut (Moehkardi, 2008:102).

Sesuai dengan jalan yang ditentukan pemerintahan Indoneisa, Mr. Wongsonegoro, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Semarang menyambut kedatangan Sekutu dan akan bekerja sama dengan Sekutu dalam melaksanakan tugasnya. Menaggapi hal itu, Mr.Wongsonegoro memberikan akses kepada pasukan Sekutu untuk pergi ke Ambarawa beserta Magelang untuk melakukan tugasnnya dalam mengurusi tahanan perang atau interniran Jepang.dengan begitu Pasukan Sekutu mengirimkan pasukannya menuju Magelang dibawah pimpinan Brigadir Bethell untuk melaksanakan tugasnya di Magelang hingga Ambarawa.

4.3.2 Meletusnya Pertempuran Magelang

Dengan dalih akan membebaskan para interniran Perang di Magelang, ternyata Sekutu malah mempersenjatai para interniran Jepang dan melakukan perlakuan semena-semena terhadap rakyat di

(14)

23 sekitar Magelang. Hal tersebut tentu saja membuat para rakyat sekitar Magelang marah dan melakukan perlawanan. Pasukan Sekutu tiba di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945, selanjutnya mereka langsung menduduki tempat-tempat penting di Utara Magelang seperti kompleks

Kader School (kini Resimen Induk Kodam VII Diponegoro), Hotel

Nitaka (kini Komtarres Polri 96 Kedu), Gedung Susteran dan Kompleks perumahan “Jenderalan” di Sekitar taman Badaan pada kompleks ini pula pasukan Sekutu menjadikan markas di Magelang (Moehkardi, 2008:105).

Kedatangan Sekutu di Magelang dicurigai sebagai upaya Belanda membonceng Sekutu untuk menguasai Indonesia lagi. Secara kemiliteran kekuatan pasukan Indonesia tidak berimbang dengan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Bethell. Waktu itu di Magelang Tentara keamanan Rakyat (TKR) masih dalam proses pembentukan, akan tetapi di Magelang sudah terbentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan berbagai badan perjuangan kelaskaran sepeti, Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), Laskar Hisbullah, Laskar Rakyat Mataram dan lain-lain (Nasution, 122, 131-132).

Persenjataan Pejuang saat itu perbandingannya 5:1, artinya dari 5 prajurit, yang membawa senjata api hanya 1 orang, prajurit lainnya bersenjata tajam. Apalagi dengan Laskar rakyat, persenjataan mereka lebih minim lagi. Dalam kasus ini benar-benar terjadi pada satu Pasukan pejuang yang beraggotakan ratusan orang, yang menyadang senjata hanya sang komandan, itupun hanya sepucuk pistol, sedang lainnya hanya bersenjata tajam, khususnya bambu runcing (Nasution: 1966, 83-84). Pasukan-pasukan Indonesia ini sering juga disebut sebagai pasukan pejuang.

Insiden yang mengawali pertempuran terjadi pada 28 Oktober 1945, ketika satu pasukan Gurka dari Pasukan Sekutu bertindak provokatif, menggeledah rumah-rumah penduduk. Dalam penggeledahan yang dilakukan pasukan Gurka di desa Ngentak mereka telah menembak dan

(15)

24 melukai dua orang pemuda Indonesia (Soedarsono, 1961:33-34). Suasana kota Magelang menjadi tegang dan meletus pertempuran besar antara Pasukan pejuang dengan Pasukan Sekutu. Baku tembak terjadi antara Pasukan pejuang dengan Pasukan Sekutu di Magelang. Pasukan pejuang dengan gigih melakukan perlawanan dengan Pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu juga bertahan dengan gigih, memukul mundur setiap serbuan Pasukan pejuang dengan tembakan senjata otomatis dan tembakan mortir (Soedarsono, 1961:344). Pada akhirnya hal tersebut tidak mengendurkan semangat para Pasukan Pejuang untuk terus melakukan perlawanan kepada Pasukan Sekutu. Kedudukan pasukan Sekutu di Magelang semakin sulit karena terkepung dan terputus jalur komunikasi dan logistik dengan pasukan Sekutu di Semarang, sedang pasukan Induk di Semarang juga sedang menghadapi serangan serupa dari Pemuda (Moehkardi, 2008:111).

Keadaan Pasukan Sekutu yang semakin terjepit akhrinya meminta Presiden Soekarno untuk datang ke Semarang dan Magelang guna mengumumkan perintah gencatan senjata (Moehkardi, 2008:11). Hal serupa juga dilakukan pada akhir Pertempuran 10 November di Surabaya. Akhirnya gencatan senjata terjadi antara Pasukan Sekutu dengan pihak Indonesia. Gencatan senjata tersebut rupanya hanya sebuah siasat dari Sekutu untuk memerkuat kekuatannya di Magelang. Dari Semarang Pasukan Sekutu mengirimkan kesatuan-kesatuan tempur dan meriam-meriam sebagai bala bantuan di Magelang. Hal itu diketahui oleh pihak Indonesia, dengan begitu perlawanan tetap dilakukan oleh kesatuan-kesatuan TKR untuk memotong bala bantuan yang ditujukan kepada Pasukan Sekutu di Magelang. Perlawanan tersebut memberikan suatu tekanan kepada Sekutu yang lama kelamaan keadaan tersebut tidak dapat dipertahankan (Affandi, 1997:43). Akhirnya Pasukan Sekutu mundur ke arah Ambarawa untuk menyelesaikan kembali tugasnya di Indonesia.

(16)

25 4.3.3 Sekutu Mundur ke Ambarawa

Usai pertempuran Magelang berakhir, Pasukan Sekutu mundur ke Ambarawa. Esok hari pada 20 November 1945 pasukan Sekutu Mundur dengan tergesa-gesa. Pasukan Sekutu beserta pasukan NICA yang memboncenginya mundur dari Magelang ke Ambarawa menggunakan 26 truk, 3 truk diantaranya berisikan tentara Jepang yeng merupakan tawanannya. Dengan diiringi tank, kendaraan tersebut diperlengkap pula dengan persenjataan lainya seperti mortir dan senapan otomatis sepeti Machine Gun. Sepanjang jalan Pasukan Sekutu dengan pasukan NICA yang memboncenginya melakukan teror bersenjata serta intimidasi kepada rakyat, bahkan bendera merah putih yang berkibar di gedung-gedung diganti dengan bendera Belanda. Pihak Sekutu juga mempersenjatai tawanan interniran atau tawanan Jepang yang dibawanya, mereka bergerak dengan leluasa serta bersikap demonstratif menembaki rakyat (Disharjad, 2014:83).

Kondisi tersebut membuat pemerintah dan para pejuang protes terhadap Pimpinan Sekutu yang mengingkari janjinya, Pemerintah RI di Magelang, Mr Suyudi mengirimkan nota kepada pimpinan pasukan Sekutu, akan tetapi hal tersebut justru dibalas dengan penambahan kekuatan pasukan dan persenjataan di beberap daerah yaitu di Bawen, Ambarawa, Bayubiru, dan sekitarnya. Pasukan Sekutu akhirnya memiliki kekuatan satu batalyon yang setara dengan 200 hingga 300 orang. (Disharjad, 2014:84). Pengejaran terhadap Pasukan Sekutu dilakukan oleh pasukan TKR beserta badan kelaskaran agar wilayah Ambarawa tidak jatuh ditangan Sekutu. Formasi pengejaran pasukan TKR terhadap Sekutu tersusun sebagai berikut:

1. Divisi IX/Yogyakarta dibawah pimpinan Kolonel Sudarsono 2. Divisi X/Solo dibawah pimpinan Kolonel Sutarto

3. Divisi IV/Salatiga dibawah pimpinan G.P.H Djatikusumo 4. Badan-badan perjuangan kelaskaran rakyat

(17)

26 Empat badan tersebut mengambil posisi di sebelah kanan (timur atau Utara) rel kereta api Magelang-Ambarawa. satuan TKR dari Divisi V Purwokerto dan badan-badan kelaskaran lainya menempati sebelah kiri rel kereta api. Komando Operasi dipercayakan kepada Komandan Resimen Divisi V yang bergantian dijabat oleh Letkol Gatot Subroto dan Letkol Sutirto Disharjad, 2014:85).

Pada 20 November 1945 pula, terjadi sebuah insiden air di daerah Ngampon, Ambarawa. insiden itu bermula ketika pasukan Gurka, berhenti di depan gereja Jago yang sebelumnya menjadi Camp Interniran nomor 6, atau camp tawanan perang nomor 6. Beberapa saat kemudian tentara Gurka keluar dari camp tersebut bersama dua orang wanita Belanda, mereka berjalan menuju jalan yang berada di kanan camp dan diteruskan ke kiri menyusuri jalan sungai kecil yang berad di tepi Camp Interniran atau Camp Tawanan (Sekarang SMP PL Ambarawa). Pasukan Gurka berhenti dan bertanya kepada wanita Belanda yang bersamanya, mengapa aliran air menuju ke camp tidak mengalir, keduanya menjelaskan bahwa aliran tersebut memang disumbat sementara oleh petani untuk dialirkan ke lokasi sawah yang sedang digarapnya. Hal tersebut membuat pasukan Gurka terkejut dan dianggapnya tidak sopan. Menanggapi hal tersebut pasukan Gurka menembakan tiga peluru ke udara untuk mengusir para petani yang beristirahat di dekat sawahnya. Hal ini memicu adanya tembak-menembak antara pasukan Gurka dan TKR yang semakin meluas dan menjadi salah satu faktor terjadinya Pertempuran di Ambarawa (Dishardjad, 2014:256-258).

Dilain telah meletus pertempuran kecil di Ambarawa, Pasukan Sekutu yang melakukan Pemunduran dari Magelang tetap bergerak dan melakukan teror yang benar-benar membuat rakyat geram.

Ketika pemunduran Sekutu sampai di Pingit, beberapa kilomenter dari Ambarawa, teror dan kekerasan dilakukan terhadap penduduk. Penganiayaan dan pembakaran rumah-rumah penduduk juga dilakukan

(18)

27 oleh Pasukan Sekutu. Dalam proses Mundurnya Sekutu dari Magelang ke Ambarawa, Pasukan Sekutu juga meninggalkan satuan pasukan untuk menghambat pengejaran Pasukan TKR, salah satunya di Pingit ini. Pasukan penghambat Sekutu di Pingit berhasil menghentikan gerak pasukan gabungan pengejaran TKR yang terdiri dari AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) pimpinan Sastrodihardjo beserta pasukan gabungan dari Suruh, Surakarta, dan Ambarawa (Disharjad, 2014: 85-86).

Pada 22 November 1945 Pasukan Imam Androgi dari Resimen I Divisi V Purwokerto tiba di Pingit dan hendak melakukan serangan fajar, akan tetapi Pasukan Sekutu telah meniggalkan Pingit dan pergi ke Ambarawa. dengan begitu Pasukan Imam Androgi melanjutkan pengejaran sekutu, ketika sampai di Desa Tempuran (kini di wilayah Kabupaten Semarang antara desa Bedono dan Jambu). Terjadi kontak bersenjata dengan Pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu tidak mampu membendung serangan dari pasukan Imam Androgi yang merupakan satuan Pemukul dari Divisi V Purwokerto, akhirnya mundur ke arah Ambarawa. Pasukan Imam Androgi semakin diperkuat oleh satuan TKR Cilacap Pimpinan Mayor Sugeng Tirtosewojo, Kompi Sarwo Edhie Wibowo dari Batalyon Magelang, dua kompi dari Batalyon Sarjono dan Kompi Widodo dari Batlyon Suharto yang keduanya berasal dari Divisi IX/Yogyakarta. Pasukan ini juga diperkuat oleh Pasukan PRI Mataram pimpinan Bung Tardjo (Disharjad, 2014:92).

Pagi hari pada 23 November 1945, pukul 05.00 pasukan yang berada di Tempuran melanjutkan pengejaran terhadap Pasukan Sekutu. Gerakan ini dilakukan untuk mengejar Pasukan Sekutu yang berada di Ambarawa. Batalyon Imam Androgi bergerak melalu jalan raya ke desa Sumber. Batalyon Sugeng Tirtosewojo dan pasukan TRM melakukan pengejaran melalui Sisi sebrang kiri jalan besar menuju ke desa Sumber. Pasukan-pasukan lainnya juga melanjutkan pengejaran terhadap Sekutu di Ambarawa (Vidya Krida, 2006:17).

(19)

28 Serangan TKR dan badan perjuangan kelaskaran Republik Indonesia bersama-sama melakukan serangan terhadap Pasukan Sekutu di Makam belanda, makam ini merupakan pusat Sekutu dan menjadi garis terluar Ambarawa, makam ini terletak di Jalan Margoagung, Ambarawa. di tempat ini terjadi pertempuran, dalam upaya memukul pasukan TKR dan badan kelaskaran, Pasukan Sekutu mengerahkan bantuan pesawat. Pasukan TKR tetap bertahan dari serangan Pesawat Pasukan Sekutu, bahkan berhasil menyusup masuk dan mendesak pertahanan Pasukan Sekutu dari Makam Belanda. Akhirnya Makam belanda tersebut berhasil di kuasai oleh pasukan TKR, dan membuat kedudukan Sekutu di Komplek gereja Jago beberapa Kilometer dari Makam terancam. Pasukan Sekutu kembali mengerahkan dua pesawat pembom dan tiga pesawat pemburu untuk menghancurkan pasukan TKR yang hendak menyerbu Komplek Gereja. Dikerahkan pula kendaraan lapis baja untuk memadamkan pertempuran. Pasukan TKR tetap mencoba menggempur Pasukan Sekutu yang berada di Komplek Gereja, akan tetapi Pasukan TKR tidak mampu menghadapinya sehingga pasukan TKR mundur ke desa Kelurahan untuk menghindari serangan udara Sekutu dan mencegah jatuhnya banyak korban.

Pada 26 November 1945 terjadi serah terima jabatan Sektor di gedung Sekolah Dasar desa Tempuran. Serah terima terjadi dari Mayor Imam Androgi kepada Letkol Isdiman. Letkol Isdiman merupakan orang kepercayaan Kolonel Sudirman yang dikirim untuk mengkoordinasi pasukan Divisi V Purwokerto. Ketika serah terima berlangsung, pesawat Sekutu melintas dan melihat sebuah mobil terparkir tidak jauh dari gedung sekolah. Serentak pesawat melakukan serangan. Mereka yang berada di dalam gedung berhamburan mencari perlindungan. Penyerangan tersebut mengakibatkan Letkol Isdiman dan beberapa masyarakat berguguran (Disharjad, 2014:100). Serangan ini memberikan pukulan telak bagi Pihak TKR, akibat hal tersebut Letnan

(20)

29 Gatot Subroto menggantikan Letkol Isdiman, dalam menjadi komando penyerangan.

4.3.4 Pertempuran Ambarawa

Sebelumnya sudah berkobar pertempuran pertama usai terjadinya insiden air di Ngampon. Secara berangsur-angsur kekuatan Sekutu di Ambarawa semakin berkembang, mendekati dua Batalyon, Jenderal Bethell telah mengerahkan sepertiga kekuatannya untuk mempertahankan Ambarawa. Kegiatan Sekutu senantiasa melakukan patroli dengan cermat dengan menggunakan tank dan kendaraan lapis baja (Disharjad, 2014:120). Dilihat dari kegiatan Sekutu yang mengonsentrasikan kekuatan di Ambarawa, nampaknya Sekutu akan mempersiapkan suatu pertahanan kota, Ambarawa akan dijadikan medan Pertempuran (Disharjad, 2014:127). Gugurnya Letkol Isdiman, tidak merontokkan semangat para Pasukan Indonesia untuk tetap melakukan perlawanan terhadap Sekutu di Ambarawa, akan tetapi hal tersebut memberikan sebuah pukulan besar bagi Jenderal Sudirman, sebab itu ia ikut turun dalam pertempuran Ambarawa.

Setelah pasukan Sekutu terkonsentrasi di Ambarawa, dibawah komando Sudirman pasukan Indonesia merencanakan serangan pengepungan Ambarawa. Kehadiran Sudirman dalam front pertempuran memberikan suatu “nafas segar bagi pasukan republik Indonesia, hal ini juga menjadi suatu titik balik yang akan menentukan jalan pertempuran Ambarawa (Maskur Sumodihardjo, 1974:205). Meskipun segala operasi pengepungan berada dibawah Komando Sudirman, terbentuk pula MPP (Markas Pimpinan Pertempuran), tugas dari MPP berfungsi sebagai pimpinan komando kendali, sedang soal-soal taktis dan teknis diatur oleh induk masing-masing sektor. Tugas utama MPP adalah mengkoordinasikan seluruh pasukan TKR yang sedang mengepung Sekutu di Ambarawa. MPP dikomandani oleh Kolonel Holan Iskandar yang dibantu Kolonel dr.Praktinyo dan Kapten

(21)

30 Abimanyu. Markas MPP terletak di Jalan Jenderalan (Kantor Karesidenan-Jalan Sultan Agung, Magelang) (Disharjad, 2014:141).

Susunan pasukan TKR yang akan melakukan penyerangan pada Kota ambarawa adalah sebagai berikut:

1. TKR Divisi V Purwokerto, dari TKR ini terdapat dua resimen dari TKR lain yang bergabung memberikan 10 kekuatan batalyon, ialah resimen Magelang dan Purwokerto.

A. Resimen Magelang

1. Batalyon Mayor Suryo Sumpeno 2. Batalyon Mayor A.Yani

3. Batalyon Mayor Kusen

4. Batalyon Mayor Suwito Haryoko 5. Batalyon Mayor Wagiman B. Resimen Purwokerto

1. Batalyon Imam Androgi 2. Batalyon Sugeng Tirtosewojo 3. Batalyon Suyono

4. Batalyon Wais 5. Batalyon Dirwan

2. TKR Divisi IX Yogyakarta, pada TKR ini juga dikerahkan 2 resimen pasukan yakni: A. Resimen I 1. Batalyon Soeharto 2. Batalyon Sarjono 3. Batalyon Sukandar 4. Batalyon Ismullah B. Resimen II 1. Batalyon Ngatijo

2. Batalyon Pranolo Reksosamodro

(22)

31 3. TKR Divisi X Surakarta mengerahkan resimen gabungan dari pimpinan Letkol Kumodirjo dan Letkol Suadi Suromiharjo serta Batalyon Sunitiyono. Sedang TKR Divisi IV Salatiga mengerahkan empat Batalyon daintaranya:

1. Batalyon Sutarno 2. Batalyon D. Ashari 3. Batalyon Sumarto 4. Batalyon Rokhardi

Pada tiap—tiap pasukan TKR dari berbagai divisi tersebut masih didukung dengan oleh perjuangan kelaskaran dari kota sekitar yang ikut rencana pengepungan dan penyerangan terhadap Kota Ambarawa seperti TRM dibawah pimpinan Bung Tardjo, Pesindo, BPRI (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia), AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), dan lain-lain (Disharjad, 2014;137-138).

Pengepungan terhadap Sekutu di Ambarawa dilakukan dari semua sektor yang menuju Ambarawa. Pada 5 Desember 1945 Banyubiru telah berhasil diduduki oleh pasukan TKR. Jatuhnya Banyubiru langsung tersiar di seluruh front Ambarawa, sehingga semangat para pasukan Indonesia kembali bangkit, dan berlomba-lomba untuk merebut kembali Kota Ambarawa (Nasution, 1977:349). Pada 9 Desember tersiar berita bahwa lapangan Kalibanteng Semarang berhasil diduduki oleh pasukan TKR. Menanggapi hal tersebut Sudirman memutuskan taktis dan strategis untuk merebut Ambarawa. Pada tanggal 11 Desember di sebuah rumah carik desa kelurahan Ambarawa, para komandan sektor dan komandan kelaskaran berkumpul, mendengarkan intruksi penyerangan dari Sudirman. Hasil dari perudingan adalah penggunaan strategi Supit Urang, dimana serangan yang akan dilakukan ialah serangan cepat dan serentak disegala sektor dan pada detik yang sama. Komando penyerangan dipegang oleh komandan-komandan sektor TKR, sedang pasukan-pasukan dari

(23)

32 badan perjuangan kelaskaran berada dibarisan belakang. Serangan akan dilakukan pagi hari pada 12 Desember 1945 jam 04.30 (Disharjad, 2014: 161-162).

Menejelang pukul 04.30 semua pasukan TKR dan badan-badan kelaskaran siap di sektor masing masing. Letusan tembakan yang menjadi tanda isyarat penyerangan menggema tepat. Pasukan mulai menyerbu ke Ambarawa. Satu jam setengah dari awal penyerbuan, pasukan TKR berhasil menghimpit dan mengepung musuh didalam kota Ambarawa. Sekutu menempati Benteng Willem I sebagai markas utama, pos-pos lain Sekutu di Ambarawa becokol di kamp-kamp interniran yang berada di Ambarawa seperti di Camp No. 6 atau sekarang Gereja Jago, Camp No. 7 Sekolah Mulo, Kamp No. 8 Militer Zeiken Heis, Camp No. 9 Tangsi Militer Batalyon KNIL Ambarawa, dan Kamp No. 10 di Hotel Van Rheeden, pada camp No. 10 ini pula tempat Sekutu mengomandoi serangan. Sekutu mulai terdesak dan hanya tinggal satu jalan keluar, yaitu melalui jalan besar Ambarawa-Semarang. Pendobrakan dilakukan oleh pasukan-pasukan pemukul yang terdiri atas pasukan dari Divisi V Purwokerto, Pasukan Divisi IX Yogyakarta dan barisan kelaskaran dari Yogyakarta dan Magelang dari arah selatan dan barat ke timur menuju Semarang. Bersamaan dengan itu, gerakan penjepitan juga dilakukan dari lambung kanan dan di lambung kiri. Pasukan lambung kanan terdiri atas pasukan Divisi IV Salatiga, Pasukan Divisi X Surakarta, disertai Badan perjuangan kelaskaran daerah tersebut. dari lambung kiri tediri atas TKR Ambarawa dibantu dengan Divisi V Purwokerto beserta badan kelaskaran Ambarawa. Sebagimana Supit Urang sedang menjepit mangsanya yang ujungnya bertemu bagian luar Kota Semarang (Disharjad, 2014: 175-176). Sekutu tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Indonesia yang menjepitnya dari segala sektor, meski begitu perlawanan

(24)

33 tersebut tidak berarti dan secara perlahan mereka bergerak mundur ke arah Semarang.

Pada tanggal 13 Desember pertempuran semakin sengit terjadi. Pasukan Sekutu terus terkepung dari berbagai penjuru tanpa ada kesemptan untuk beristirahat, dengan begitu pertahanan Sekutu semakin melemah. Pasukan TKR dan para badan kelaskaran melakukan serangan terhadap Sekutu di gereja dan Sekolahan yang dijadikan Markas Sekutu (Sekarang menjadi gereja Jago beserta Kompleks Sekolahan Pangudi Luhur Ambarawa). Secara serentak Sekutu diserang hingga pada tanggal 14 Desember 1945 pasukan Sekutu melarikan diri dan begabung dengan pasukan induk yang bermarkas di Hotel Van Rheeden dan benteng Willem I (Sekarang Lapas kelas II beserta wisata Benteng Willem I. Pasukan Indonesia tetap mengejar dan menerobos benteng pertahanan Sekutu). Perlahan pasukan Indonesia bergerak menduduki tempat-tempat penting.

Selanjutnya pasukan Indonesia mengarahkan serangan gabungan terakhir terhadap kedudukan tentara Sekutu di Benteng Willem I. pasukan Sekutu mulai melemah sejak dilakukannya perlawanan pasukan Indonesia mulai dari Pertempuran 3 hari di Magelang, serta pengejaran Pasukan Indonesia saat pemunduran Sekutu dari Magelang ke Ambarawa. Hal ini benar-benar membuat kedudukan Sekutu di Ambarawa melemah (Disharjad, 2014:183). Benteng Willem I mendapat serangan gencar dari Pasukan Indonesia, dengan susah payah Sekutu mempertahankan serangan kedudukannya. Semangat pasukan Indonesia semakin berkobar usai keberhasilan memukul mundur Sekutu sebelumnya. Dengan begitu akhirnya Kolonel Eduard dan Kolonel Pugh memutuskan untuk mundur dari Benteng Wilem dan lari ke arah Semarang (Disharjad, 2014:184).

Pada tanggal 15 Desember 1945 benteng Willem I berhasil dikuasai oleh pasukan Indonesia. Dengan jatuhnya Benteng Willem I sebagai pusat pertahanan Sekutu yang paling akhir di Ambarawa,

(25)

34 maka terbukalah penguasaan kota Ambarawa oleh pasukan Indonesia. Bendera merah putih dikibarkan diatas Benteng Willem I untuk memberikan suatu tanda dimana pertempuran telah dimenangkan pasukan Indonesia.

Peta Pertempuran Ambarawa 22 November 1945-15 Desember 1945 (Disbintalad, 2007:47).

4.4 Peranan TRM Dalam Pertempuran 4.4.1 Pergerakan Pasukan TRM

Pasukan TRM bukan hanya berperan dalam Pertempuran Ambarawa yang menjadi sebuah kemenangan besar pada awal periode Revolusi Indonesia. Sejak masih bernama PRI Mataram dibawah komando Bung Tardjo, laskar ini telah memberikan suatu sumbangan yang berperan dalam gerak perjuangan rakyat Indonesia. Setelah PRI Mataram terbentuk dan meletus pertempuran di Magelang, itulah awal PRI Mataram dibawah pimpinan Bung Tardjo mengikuti pertempuran.

(26)

35 Berbondong-bondong pasukan PRI Mataram menuju ke Magelang menaiki Kereta Api dari Stasiun Lempuyangan Lor dan Stasiun Tugu Serta menaiki truk-truk yang menuju ke Magelang. Pasukan PRI Mataram turun di Stasiun Metroyudan, dari situ mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai stasiun Pasar di dekat Pasar Rejowinangun, dari posisi tersebut Pasukan PRI Mataram menuju alun-alun Kota lewat Bayeman. Di Magelang pasukan PRI Mataram langsung bergabung bersama pasukan BKR Magelang beserta badan kelaskaran yang ada di Magelang, sasaran pertama dalam pertempuran adalah sekitar kompleks Susteran dan Hotel Niitaka dimana markas utama Sekutu berada.

Sembari Bertempur Pasukan PRI Mataram senantiasa membawa sebuah perangkat radio agar tetap mengudarakan siaran. Sebuah pertempuran berkobar, pasukan Sekutu tetap digempur pasukan perjuangan beserta PRI Mataram yang tergabung didalamnya. Pada malam harinya, penduduk Magelang mendengarkan sebuah pidato yang menggelora dari Bung Tardjo, “pertempuran inipun sekali tanpa garansi, tetap harus dilakukan penuh dengan semangat!” ucap Bung Tardjo dalam pidatonya. Pidato-pidato Bung Tardjo yang menggelora benar-benar menguatkan semangat para penduduk Magelang terutama para pasukan perjuangan yang mengepung Sekutu (Affandi, 1997:107-108).

Saat pertempuran di Magelang berkobar, dan pasukan Sekutu terdesak, akhirnya perundingan gencatan senjata dilakukan antara Sekutu dan Indonesia. Dalam perundingan ini TKR diwakili oleh Letjen Urip Sumohardjo, pihak Sekutu diwakili oleh Kolonel Edward dan Brigjed Bethell, sedang dari barisan kelaskaran diwakili oleh Bung Tardjo (Affandi, 1997:43). Bung Tardjo memang pribadi yang kuat dan tangguh, dengan kepiawainnya ia berhasil mewakili persatuan kelaskaran dalam perudingan tersebut. perundingan tersebut menghasilkan sebuah gencatan senjata antara pihak Indonesia dengan

(27)

36 pihak Sekutu di Magelang, akah tetapi pada akhirnya Sekutu melanggar hal tersebut dan malah tetap menghimpun pasukan di Magelang.

Perudingan tersebut memang gagal akan tetapi Bung Tardjo bersama pasukannya melaksanakan pengejaran Sekutu yang mundur ke Ambarawa. Sore hari sekitar pukul empat, Pasukan Bung Tardjo berkupul di Stasiun Wates, Magelang Kota, disana bertambah para pemuda kelaskaran yang juga berasal dari Yogyakarta. Melalui stasiun tersebut pasukan PRI Mataram menaiki kereta hingga ke Gemawang. Mulai dari Gemawang inilah pasukan PRI Mataram melakukan perjalanan menuju ke Ambarawa (Affandi, 1997:133). Pada 22 November 1945, pasukan TKR singgah di desa Tempuran dan bersatu denang pasukan TKR Divisi V Purwokerto dibawah pimpinan Mayor Imam Androngi. Di desa Tempuran tersebut terjadi sebuah kontak senjata antara pasukan Gabungan Mayor Imam Androgi dengan pasukan Sekutu yang singgah disana. Pasukan PRI Mataram membantu pengusiran Sekutu dari Tempuran. Selain itu pasukan PRI Mataram juga berperan sebagai pengintai dari kesatuan TKR Mayor Imam Androngi. Pertempuran di Tempuran terjadi, pasukan Sekutu yang berhasil dipukul mundur akhirnya melarikan diri dari desa Tempuran dan menuju ke Ambarawa. Pasukan Purwokerto sangat simpatik terhadap perjuangan PRI Mataram atau lebih disebut TRM, sekalipun belum resmi menggunakan nama tersebut, menjanjikan memberikan sebuah bantuan senjata kepada mereka untuk perjuangan yang akan datang (Affandi, 1998:139).

Pasukan PRI Mataram mengejar hingga sampai Ngampin akan tetapi mereka dihujani oleh tembakan Pasukan Sekutu yang berada di Gereja Jago Ambarawa. dengan begitu Pasukan Bung Tardjo Mundur ke Bedono dan mengatur strategi. Sewaktu di Bedono, Bung tardjo memutuskan garis terdepan Ambarawa merupakan Ngampin. Di Bedono bergabung pasukan PRIP Putri pimpinan Widyawati Sugardo. Pasukan PRIP ini memiliki tugas sebagai PMI dan mengurusi dapur

(28)

37 umum. Sewaktu Kolonel Sudirman mengonsolidasi tiap pasukan TKR dan badan kelaskaran untuk melakukan serangan serentak terhadap Ambarawa. pasukan PRI Mataram mengikuti arah tersebut dan melakukan serangan lambung dari Bedono. Secara serentak serangan gabungan TKR dan badan kelaskaran terhadap Kota Ambarawa semakin memojokkan Pasukan Sekutu. Serangan lambung dari Bedono yang dilakukan oleh PRI Mataram berhasil mendesak pasukan Sekutu yang bermarkas di Gereja Jago untuk mundur ke Benteng Willem I. Pasukan PRI Mataram tetep melakukan sebuah serangan yang menekan pasukan Sekutu hingga mundur ke arah Benteng Willem I Ambarawa yang menjadi basis utama pasukan Sekutu.

Pagi hari ketika pasukan PRI Mataram berhasil memasuki benteng Ambarawa, kota terebut masih sepi Pasukan PRI Mataram yang pertama kali tiba dalam benteng tersebut. pasukan Sekutu meninggalkan Benteng dengan tergesa-gesa sehingga terdapat banyak kebutuhan logistik dan persenjataan yang ditinggalkan begitu saja tanpa sempat dibawa Sekutu yang mundur ke Semarang. setelah kejadian tersebut akhrinya bendera merah putih dikibarkan dan menandai kemenangan Pertempuran di Ambarawa. pasukan PRI Mataram memberikan sebuah peran yang amat besar pasalnya dengan mengisi lambung dari strategi Supit Urang yang dikomandokan oleh Kolonel Sudirman, pasukan PRI berjuangan dengan gigih, sehingga berhasil mencapai Benteng Willem I pertama kali. Hal itu benar-benar menunjukan sebuah peran yang signifikan terhadap Pertempuran di Ambarawa. Setelah pertempuran Ambarawa Usai, akhirnya Pasukan PRI Mataram Bung Tardjo kembali ke Yogyakarta, sebab sudah terlalu lama berada di front. Sekembalinya di Yogyakarta ternyata konflik antara pemimpin PRI Mataram kian meruncing, sebagian pemimpin menghendaki adanya penggabungan pasukan PRI Mataram dengan pasukan laskar BPRI pimpinan Bung Tomo di Surabaya. Bung Tardjo tidak menyetujui hal tersebut, dan tetap bersikeras menggabungkan

(29)

38 pasukan PRIP dalam kesatuan pasukannya. Sebab itu akhirnya Bung Tardjo mendirikan pasukan Tentara Rakyat Mataram atau TRM dan memindahkan markas di bekas sekolahan Triyoso di Bintaran Lor. Usai pasukan TRM resmi terbentuk, mereka kembali dalam front pertempuran di Ungaran hingga Srondol untuk mengusir pasukan Sekutu yang ternyata masih bercokol disana.

4.4.2 Persenjataan

Secara umum persenjataan dari badan kelaskaran sangatlah minim, bahkan pasukan TKR bentukan negara juga mengalami krisi persennjataan. Sudah disinggung diatas dimana perbandingan senjata Pasukan Indonesia dengan pasukan Sekutu adalah 1:5, pasukan Indonesia lebih berbekal banyak keberanian dan rasa kecintaan akan merdeka. Akan tetapi Pasukan TRM sendiri memiliki persenjataan yang terbilang lumayan sebagai Badan kelaskaran. Sebagai badan kelaskaran banyak anggota TRM sudah membawa senjata. Diantaranya Pistol, Kareben, Mitraliur (senapan otomatis), bayonet, granat, bambu runcing (Affandi, 1997:48).

Persenjataan TRM atau dahulu PRI Mataram kebanyakan merupakan bekas dari tentara Jepang. Yang diperoleh dari rampasan usai penyerangan markas Osa Buttai di Kota Baru, dan pengambilan dari Markas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Maguwo. Jadi sebelum PRI Mataram terbentuk terjadi suatu pertempuran di Kota Gede antara pemuda Republik dengan Pasukan Jepang di Yogyakarta. Setelah pengepungan yang dilakukan oleh Para pemuda Yogyakarta pada markas Osa Butai di kota Baru akhirnya pasukan Jepang menyerah, dengan tersebut persenjataan milik pasukan Jepang akhirnya dikuasai oleh pemuda Republik.

Dibawah ini merupakan senjata-senjata yang dipakai TRM dan badan kelaskaran beserta pasukan TKR semasa perang di Ambarawa.

(30)

39 1. Pistol Mauser

Pistol Mauser C96 merupakan sebuah pistol yang secara khusus dipakai oleh Bung Tardjo. Dengan memegangi cemethi ditangan kirinya beserta dengan keris terselip di pinggangnya, Bung Tardjo tampak gagah dan angker (Affandi, 1998:135). Dalam sebuah relief pada tugu Gelora Mataram 45, sebuah tugu penghormatan untuk TRM. Digambarkan Bung Tardjo menggenggam pistol Mauser C96 tersebut.

2. Senapan Sten kaliber 9MM

Senapan Sten merupakan senjata buatan Inggris yang digunakan pada Perang Dunia ke II. Senjata ini memiliki peluru berdiameter 9MM, senjata ini digunakan oleh pasukan Indonesia yang didapatnya dari hasil rampasan pasukan Jepang yang sebelumnya dirampas dari pasukan Belanda.

3. Senapan Arisaka

Senapan Arisaka merupakan senapan buatan Jepang yang digunakan pada Perang Dunia Ke II. Senapan ini menggunakan peluru berdiameter 58MM. Senapan ini juga digunakan pasukan Indonesia juga badan-badan kelaskaran.

4. BREN Gun MK II

BREN Gun merupakan senjata bertipe Ligtht Machine Gun (LMB) atau senjata otomatis ringan. Senjata ini buatan Inggris dan juga digunakan pada Perang Dunia ke II.

5. Bambu Runcing, Golok, Keris

Ketiga senjata ini merupakan senjata tradisional yang masih digunakan dalam pertempuran pada awal Revolusi Indonesia tahun 1945.

4.4.3 Strategi Pertempuran

Sewaktu Pertempuran Ambarawa terjadi pasukan TRM tergabung dalam kesatuan penyerangan dimana mereka mengikuti strategi Supit Urang yang dikomando oleh Kolonel Sudirman. Dalam penyerangan

(31)

40 tersebut Pasukan TRM bersama pasukan TKR pimpinan M. Sarbini, melakukan serangan melambung didaerah Bedono dan melakukaa penyerangan dari Barat Ambarawa.

Dilain itu pasukan TRM juga memiliki strategi yang benar-benar unik dan berbeda dari pasukan geriliya lainnya. Pasukan TRM seringkali membentuk kelompok-kelompok kecil untuk melakukan penyerangan. Kelompok tersebut tidak harus dari satu kesatuannya. Usai penyerangan telah berhasil, kelompok biasanya kembali pada kesatuan pasukannya atapun tetap berada dalam kelompok tersebut. Strategi ini digunakan dalam sebuah pengintaian dan penyusupan di wilayah-wilayah musuh, seperti ketika pasukan TRM menjadi pasukan Sekko atau pengintai saat bergabung dengan pasukan Divisi V Purwokerto, dibawah pimpinan Imam Androngi di desa Tempuran. Strategi ini juga diterapkan ketika pasukan TRM bermarkas di Bedono, untuk mengintai pergerakan Sekutu yang bercokol di Gereja Jago. Strategi ini juga banyak digunakan ketika pasukan TRM berperang di Front Srondol hingga Semarang.

4.4.4 Peran PRIP

Dilain berperannya TRM dari Bung Tardjo, pasukan PRIP yang dipimpin oleh Widyawati Sugardo juga memberikan peran penting dalam pertempuran Ambarawa. Pasukan PRIP berperan sebagai Pasukan Palang Merah bagi pasukan perjuangan di Ambarawa. setelah bergabung dengan pasukan PRI Mataram di desa Bedono, Pasukan PRIP Juga mengikuti penyerangan terhadap Kota Ambarawa bakan saat pengejaran pasukan Sekutu di Semarang. Dalam tugas Dapur Umum pasukan PRIP memasak Nuk atau nasi yang dibungkus dengan daun jati lalu dikirimkan pada pagi hari sebelum pukul 7, siang pukul 11, dan sore pukul 17, dalam pengiriman tersebut mendapatkan pengawalan dari pasukan TRM (Kesaksian Atas Asih dalam Affandi, 1997:232). Tugas dari PRIP juga mengurus jenazah dari pasukan TKR tidak terbatas pada pasukan TRM. Widyawati menegaskan bahwa ia

(32)

41 bersama pasukan PRIP tidak akan mundur sebelum membawa jenazah pasukan Indonesia yang telah berjuang hingga titik darah penghabisan (Koran Kedaulatan Rakyat, Desember 1945). Hal ini menunjukan bagimana sebuah semangat juang dari pasukan PRIP dalam keikut sertaannya dalam ront pertempuran, kendati sering dipandang sebelah mata, akan tetapi pasukan PRIP benar-benar memberikan sumbangsih yang besar terhadap pertempuran yang berlangsung.

4.4.5 Akhir Peran

Perjuangan pasukan TRM tidak berhenti ketika Ambarawa telah berhasil direbut oleh pasukan perjuangan Indonesia. Pasukan Sekutu yang hendak mundur ke Semarang masih bercokol di Srondol dan melakukan kekejaman serta teror terhadap rakyat disana. Pasukan PRI Mataram memang kembali ke Yogyakarta dan saat itu resmi dideklrasikan TRM yang berpisah dari PRI Mataram sebab alasan diatas. Tidak lama-lama di Yogyakarta pasukan TRM dibawah pimpinan Bung Tardjo berangkat kembali ke front pertempuran di Ungaran hingga Srondol. Pasukan TRM mendirikan basis di Pudak Payung dan menjadikan Srondol menjadi garis depan. Perjuangan pasukan TRM dalam Front Pudak Payung benar-benar menunjukan sebuah perjuangan gigih dan berani, bahkan tidak sedikit anggota TRM yang menjadi korban sebab meriam-meriam yang ditembakan oleh pasukan Sekutu.

Perjuangan TRM dalam front Ambarawa benar-benar diakui dan menarik perhatian para pemimpin pasukan Divisi IX Yogyakarta. Pada akhirnya, para pemimpin pasukan divisi IX Yogyakarta berkeinginan menggabungkan TRM dalam pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI). Menanggapi hal tesebut panglima Divisi IX Yogyakarta Mayor Soedarsono bertemu dengan Bung Tardjo dan mengajak TRM bergabung dalam Divisi IX. Hal tersebut diterima oleh Bung Tardjo dengan baik. Akhirnya pada 15 Maret 1946 dilakukan upacara pelanitkan TRM menjadi Batalyon XXII Istimewa,

(33)

42 Resimen II Divisi IX. Upacara dilaksanakan di lapangan sebelah timur Benteng Vredenburg dan dihadiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, R. Soedarsono Panglima Divisi IX Yogyakarta, wakil dari Sultan Hamengkubuwono IX, wakil dari Pakualaman VIII dan perwira tinggi Markas Besar Tentara (MBT) (Affandi, 1997:49-50). Bung Tardjo juga ditunjuk sebagai pemimpin dari Batalyon XXII Istimewa tersebut.

Pada tanggal 10 Juli 1946 Batalyon Istimewa XXII dirubah namanya menjadi Mobile Batalyon I Resimen XX Divisi III/Diponegoro. Meski begitu Bung Tardjo tetap menjadi komandan dari pasukan tersebut. pasukan akhirnya resmi menjadi pasukan regular dalam kesatuan Tentara Republik Indonesia (TRI). Saat TRM menjadi pasukan Mobile Batalyon I Resimen XX Divisi III/Diponegoro, para anggota lebih sering menyebut sebagai pasukan TRM, pasukan ini juga masih terlbat dalam front pertempuran di Ciranji Jawa Barat bersama Pasukan Divisi Siliwangi. Pada akhirnya ketika Kabinet Hatta melaksanakan Rekontruksi Rasionalisasi (Rera) pada 1948, diputuskan untuk penghematan, memerangi inflasi dan untuk menyederhanakan serta menertibkan organisasi angkatan perang. Hal tersebut dilakukan agar angkatan perang menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengna tuntutan perjuangan (Affandi, 1997:51-52). Sebab hal tersebut Mobile Batalyon I akhirnya dibubarkan dan para anggotanya dilebur dalam TNI dan di kesatuan lain TNI lainnya. Banyak pula yang kembali pada pekerjaan semula atau melanjutkan sekolah. Dengan begitu sepak terjang pasukan TRM berakhir setelah mengikuti banyak perjuangan dalam front pertempuran.

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya dari hasil kajian karakteristik hidrometeorologi tersebut di beberapa wilayah memberikan bukti bahwa ada dinamika yang signifikan untuk periode terkahir ini,

Dengan pengetahuan tersebut pemilik pasar swalayan dapat mengatur penempatan barangnya atau merancang kampanye pemasaran dengan memakai kupon diskon untuk kombinasi

Kebutuhan system pencahayaan alami (matahari) dan buatan pada suatu ruangan harus di pertimbangkan karena berkaitan erat dengan kegiatan yang di

37 DAK Bidang Kesehatan Pelayanan Kesehatan Dasar -Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas/ Puskesmas Pembantu dan Jaringannya Lokasi Kegiatan :

Pengaruh Pendekatan Kontekstual (CTL) Terhadap Pemahaman Konsep Matematis Siswa. Jurnal Didaktik Matematika. Minat, Nilai Karakter, dan Peningkatan Hasil Belajar Siswa

35 Akuntansi Pemerintahan Nur Hidayat Fatwa Arif, SE., M.Si.. Ihsan Said Ahmad,

Menghasilan karya ilmiah berjudul ”Pengembangan Tes Formatif untuk mata Kuliah Akuntansi Manajemen Jurusan Pendidikan Akuntansi FIS UNYdimuat dalam jurnal Pendidikan Akuntansi

Calon penerima KUR adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang produktif, anggota keluarga dari karyawan/karyawati yang berpenghasilan tetap, TKI yang purna dari bekerja di