• Tidak ada hasil yang ditemukan

Singgih Prihadi Prodi Pendidikan Geografi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Singgih Prihadi Prodi Pendidikan Geografi FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRACT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGUATAN KETRAMPILAN ABAD 21 MELALUI PEMBELAJARAN

MITIGASI BENCANA BANJIR

(Studi Kasus: Pembelajaran Non Formal Anak-anak Bantaran Bengawan Solo

di Desa Nusupan)

Singgih Prihadi

Prodi Pendidikan Geografi

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail : zienov@yahoo.com

ABSTRACT

Penelitian ini dilakukan dengan dilatarbelakangi adanya keunikan perilaku anak-anak bantaran Bengawan Solo yang memiliki kemampuan spasial secara alami dalam mitigasi bencana banjir. Anak-anak begitu tenang menghadapi bencana banjir. Anak-anak di Desa Nusupan Surakarta memiliki naluri untuk menyelamatkan diri ketika banjir terjadi, bahkan mereka mengenal tanda-tanda akan terjadi banjir. Peneliti tertarik untuk mengetahui kemampuan spasial alami mereka melalui membaca peta sehingga mampu untuk berpikir kritis, mengkomunikasikan, kreativitas, dan kolaborasi dalam mitigasi bencana.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dimana peneliti terjun langsung berinteraksi dengan anak-anak Desa Nusupan, kemudian dilakukan diskusi dan survey lokasi rawan banjir, dimana anak-anak secara berkelompok dibekali peta desa mereka tanpa diajari cara membacanya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak di Desa Nusupan. Sampel penelitian adalah anak-anak usia sekolah kelas 4, 5, 6 SD dan 1 SMP. Validitas data yang digunakan adalah peer debreefing dan external auditor. Analisis data yang digunakan menggunakan model Spradley dimana dalam penelitian ini tidak terlepas dari keseluruhan proses pengamatan deskriptif, pengamatan terfokus, dan diakhiri dengan analisis holistik objek yang diteliti.

Hasil penelitian diketahui bahwa 1) Anak-anak bantaran Bengawan Solo di Desa Nusupan memilik kemampuan spasial yang baik meskipun mereka belum belajar membaca peta mitigasi bencana; 2) Anak-anak bantaran Bengawan Solo di Desa Nusupan memiliki kemampuan 4C (Critical Thinking, Creative, Communication, Colaboration) yang baik setelah dilakukan pembelajaran non formal dan ini sangat mendukung kemampuan ketrampilan Abad 21 yang diprogramkan di sekolah formal.

Kata kunci: Pembelajaran, Spasial Ability, Mitigasi Bencana, Ketrampilan Abad 21

PENDAHULUAN

Setiap musim penghujan, ketika curah hujan tinggi sudah menjadi langganan bagi warga masyarakat di Desa Nusupan untuk mewaspadai bencana banjir. Desa Nusupan diapit oleh 2 sungai yaitu Bengawan Solo dan Premulung (Kali Kecing). Bengawan Solo yang terletak di sebelah timur Desa Nusupan ketika terjadi hujan deras lebih dari 3 jam sudah pasti debit airnya bartambah tinggi sehingga merendam permukiman warga. Terlebih lagi ketika Sungai Premulung (Kali Kecing) yang terletak di sebelah utara Desa Nusupan dan Sungai Samin

(2)

2

yang terletak di sebalh timur Bengawan Solo meluap maka akan memperparah banjir di permukiman warga Nusupan. Bahkan ketika musim hujan, setiap 2 minggu sekali sudah pasti banjir. Ketika debit air Bengawan Solo tinggi, maka air Sungai Premulung tidak dapat masuk Bengawan Solo, sehingga air meluap di desa-desa bantaran sungai, salah satunya Desa Nusupan. Kondisi semakin parah jika debit air semakin tinggi yang menyebabkan semua akses jalan menuju Desa Nusupan yang hanya ada 2 jalan yaitu Joyotakan Solo dan Plalan Sukoharjo terputus, sehingga satu-satunya cara harus menggunakan perahu. Di Desa Nusupan terdapat 4 RT yang menjadi langganan terkena banjir, yaitu RT 01= 28 KK, RT 02= 12 KK, RT 03= 15 KK, dan yang paling banyak adalah RT 04= 60 KK (hasil FGD, 2017).

Fenomena unik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kecakapan spasial anak-anak di Desa Nusupan dalam mitigasi bencana begitu baik, sehingga peneliti tertarik mengangkat permasalahan ini karena jika anak-anak di desa tersebut dibimbing dengan tepat maka akan mendukung dan menguatkan ketrampilan belajar Abad 21 yang meliputi berpikir kritis, mengkomunikasikan, kreativitas, dan kolaborasi dalam mitigasi bencana. Di sekolah formal, pembelajaran sudah dituntut untuk menerapkan kemampuan 4C (Critical Thinking, Communiaction, Creativity, Collaboration). Hal ini dapat terwujud cepat tidak hanya tuntutan pada kinerja guru dalam mengubah metode mengajar, tetapi juga peran dan tanggunhjawab pendidik non formal dalam membiasakan anak-anak menerapkan 4C dalam keseharian. Kecakapan spasial anak-anak di Desa Nusupan menjadi contoh nyata bagaimana pendidikan non formal memiliki peran yang begitu besar dalam membelajarkan kepada anak untuk terampil 4C. Keunikan yang ditemukan pada anak-anak ketika peneliti survey ke lokasi Desa Nusupan, bahwa kecakapan spasial yang dimiliki anak-anak adalah masih alami, bukan melalui sebuah pelatihan atau pembelajaran dalam mitigasi bencana.

Pengetahuan yang berkaitan dengan mitigasi bencana sangat besar peranannya untuk meminimalisir korban bencana alam. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui integrasi pada pembelajaran formal dan non formal baik dari tingkat dasar sampai menengah atas. Pembelajaran mitigasi bencana baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal perlu dilakukan dengan tepat. Anak-anak perlu dibekali mengenai tingkatan bahaya bencana alam supaya kelak tidak mudah panik jika terjadi suatu bencana alam. Pembelajaran mitigasi bencana di pendidikan non formal atau di masyarakat bertujuan untuk memberi informasi pada anak tentang pengetahuan yang benar mengenai bencana, memberi pemahaman tentang perlindungan secara sistematis, dan membekali anak melalui practical training bagaimana melindungi dirinya dan bagaimana mereka bisa merespons bencana tersebut secara tepat dan cepat. Peserta didik tidak hanya dihadapkan penjelasan gambar-gambar dan tulisan saja, mereka harus dihadapkan dengan pembelajaran keseharian sehingga mudah memahami mitigasi bencana alam, khususnya banjir.

Keller (2006:6) menjelaskan bahwa tingkatan bahaya bencana alam ada tiga tingkat yaitu hazard jika proses bencana sekedar menjadi ancaman umat manusia seperti bencana gempa, banjir, tanah longsor, erupsi gunungapi, badai namun tidak atau belum menimbulkan korban; dissaster jika sudah memakan banyak korban jiwa dan harta; serta catastrophe jika mengakibatkan hancur leburnya bangunan dan sumber kehidupan serta banyaknya korban manusia meliputi wilayah luas. Indonesia merupakan negara yang memiliki resiko bencana alam cukup tinggi. Secara umum proses penanggulangan bencana dapat diuraikan menjadi tiga yaitu: 1) sebelum bencana, berupa pencegahan (prevention), penjinakan (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness); 2) selama bencana, berupa tahap awal, tahap darurat (response), konsolidasi, tahap akhir, rehabilitasi; dan 3) sesudah bencana, berupa rekonstruksi, pembangunan (development). Pada penelitian ini lebih ditekankan pada kesiapsiagaan (preparedness) dalam kehidupan sehari-hari yang mendukung ketrampilan belajar Abad 21. Lebih lanjut lagi Halder (2012:1) menjelaskan bahwa penerapan pendidikan berbasis mitigasi bencana alam dapat menjadi kunci untuk menjawab berbagai permasalahan-permasalahan lingkungan hidup secara global. Pendidikan berbasis lingkungan dan mitigasi bencana alam sudah mulai menyebar ke berbagai bentuk pembelajaran, baik formal maupun non formal. Dalam usaha mempermudah proses pembelajaran berbasis mitigasi bencana alam perlu kolaborasi pemanfaatan berbagai

(3)

3

informasi, salah satunya adalah informasi geospasial. Folger (2009:60) mengatakan bahwa informasi geospasial adalah data yang merefensi kepada tempat (pasangan koordinat geografi) yang dapat dikumpulkan dan ditampilkan dalam waktu berlangsung. Data geospasial yang digunakan pada mitigasi bencana alam dapat berupa pemetaan daerah yang rawan terhadap bencana.

Berdasarkan “21stCentury Partnership Learning Framework”, terdapat beberapa kompetensi dan/atau keahlian yang harus dimiliki oleh SDM abad 21, yaitu: 1) Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical-thinking and problem-solving skills). Kemampuan ini menuntut berfikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah; 2) Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (communication and collaboration skills). Kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi harus dilakukan secara efektif dengan berbagai pihak; 3) kemampuan mencipta dan membaharui (creativity and innovation skills). Pada kemampuan ini anak harus mengembangkan kreativitas yang dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif; 4) Literasi teknologi informasi dan komunikasi (information and ommunications technology literacy). Pada kemampuan ini anak harus memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitas sehari-hari; 5) Kemampuan belajar kontekstual (contextual learning skills). Ketrampilan ini menuntut anak menjalani aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan pribadi; 6) Kemampuan informasi dan literasi media (information and media literacy skills). Kemampuan ini menuntut anak memahami dan menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan dan melaksanakan aktivitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak. Pembelajaran mitigasi bencana mengedepankan kemampuan spatial ability pada setiap aktivitasnya. Menurut National Research Council (2006) dalam (http://www.serc.carleton.edu/research_on_learning/synthesis/spatial.) berpikir spasial adalah cara berpikir yang digunakan untuk mencari arti dalam suatu bentuk, ukuran, lokasi, arah atau jalan, dari objek, fenomena atau gejala, atau posisi relatif di ruang dari berbagai objek, proses atau gejala. Sinton dalam Kolvoord (2009:4) menjelaskan bahwa kecakapan spasial adalah suatu kemampuan untuk memvisualisasikan dan menginterpretasikan lokasi, jarak, arah, hubungan, gerakan dan perubahan antar ruang. Kecakapan spasial dapat diartikan seperangkat penting kompetensi untuk memeriksa atau menguji dunia di sekitar kita. Kecakapan-kecakapan tersebut memungkinkan seseorang untuk memvisualisasikan dan menganalisis hubungan spasial antara objek, seperti lokasi, jarak, arah, bentuk, dan pola. Setiap isu atau peristiwa dapat dilihat secara spasial salah satunya adalah bencana banjir. Jika kita ingin mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan analisis sebaiknya kita menuangkan ke dalam kurikulum kita dengan konten dan aktifitas yang mendukung pengembangan kecakapan berpikir spasial.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Nusupan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan keruangan. Nilai kepercayaan suatu penelitian terletak pada hasil penelitian yang diperoleh secara valid dan reliabel. Hal ini sangat bergantung pada kualitas data yang diperoleh dari sumber data yang tepat melalui pengungkapan instrumen yang berkualitas. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah yang melakukan penelitian itu sendiri, yaitu peneliti. Peneliti bertindak sebagai key instrument karena dalam penelitian ini, peneliti secara mendalam mengamati dan berdiskusi dengan masyarakat yang dalam hal ini difokuskan pada anak-anak. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak di Desa Nusupan. Sampel penelitian adalah anak-anak usia sekolah kelas 4, 5, 6 SD dan 1 SMP. Setiap karakter anak di lokasi penelitian diamati secara seksama terutama dalam pemahaman mitigasi bencana banjir. Langkah awal yang dilakukan adalah Focus Group Discussion

(4)

4

(FGD) dengan pemuda-pemudi Karang Taruna Desa Nusupan yang akan membantu menjadi pendamping dalam kegiatan pengenalan peta dan survey lapangan. FGD pertama dilakukan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan pemuda karang taruna terkait pembelajaran mitigasi bencana yang akan diberikan kepada anak-anak. FGD kedua dilakukan untuk menggali kemampuan awal pemuda-pemudi karang taruna terkait penggunaan peta mitigasi bencana banjir. FGD ketiga dilakukan untuk menentukan jumlah anak-anak yang akan terlibat dalam kegiatan pembelajaran mitigasi bencana. Dari hasil kegiatan FGD peneliti menyusun instrumen berupa pertanyaan sederhana terkait bencana banjir untuk anak-anak serta membuat peta mitigasi bencana banjir Desa Nusupan yang digunakan anak-anak dalam delineasi dan survey lapangan. Dari instrumen itu didapat data tentang kemampuan berpikir kritis, komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi.

Sebelum dilakukan survey lapangan, anak-anak mendapat pembelajaran sebanyak 2 pertemuan untuk pembekalan awal. Jumlah subjek penelitian ini adalah 40 anak dari berbagai umur sekolah SD kelas 4, 5, 6 dan SMP kelas 1 yang berasal dari empat RT yang berbeda, dimana dari empat RT ini ketika terjadi banjir memiliki tingkatan ketinggian genangan air yang berbeda. Pada kegiatan survey lapangan, anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri atas 6-7 anak. Setiap kelompok didampingi 1 orang pemuda karang taruna dan 1 orang asisten peneliti. Validitas data yang digunakan adalah peer debreefing dan external auditor. Melalui peer debreefing, peneliti berdiskusi dengan tim terkait data yang sudah dianalisis untuk mencocokkan kebenaran data mengingat kegiatan survey lapangan tiap kelompok dibagi di 4 RT yang letaknya terpisah-pisah dan tidak mungkin dikontrol langsung seorang peneliti. Analisis data tiap kelompok dilaporkan oleh asisten peneliti yang mendampingi kelompok. Data yang dilaporkan adalah kemampuan bepikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi anak-anak dalam membaca peta mitigasi bencana banjir. Setelah semua data tiap kelompok sudah direkap dan dideskripsikan, dilanjutkan kegiatan external auditor yaitu diskusi dengan masyarakat desa dalam hal ini diwakili oleh Ketua RT dan RW serta pemuda karang taruna untuk kroscek kebenaran data. Analisis data yang digunakan menggunakan model Spradley dimana dalam penelitian ini tidak terlepas dari keseluruhan proses pengamatan deskriptif, pengamatan terfokus, dan diakhiri dengan analisis holistik objek yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang telah dilakukan di Desa Nusupan banyak memberikan informasi-informasi penting dalam hal kecakapan spasial yang bersifat alami. Dikatakan demikian karena pada umumnya yang bersifat alami adalah kecerdasan spasial, artinya tanpa diberikan pelatihan atau pembelajaran sebelumnya, pada hakikatnya setiap manusia lahir sudah memiliki kecerdasan spasial. Yang membedakan hanya tingkatan potensi pada setiap diri manusia. Lain hal pada kecakapan spasial, pada umumnya dimiliki seseorang ketika orang tersebut terlebih dahulu mempelajarinya, baik secara otodidak maupun melalui bimbingan. Yang ditemukan pada anak-anak di Desa Nusupan ini adalah kecakapan spasial yang alami. Anak-anak mampu membaca peta dan delineasi peta yang sebelumnya belum pernah diajarkan kepada mereka. Kecakapan berpikir spasial dapat ditingkatkan sedini mungkin dengan belajar dengan mengamati benda-benda dalam berbagai bentuk, menikmati gambar-gambar peta dan foto udara, menyusun atau menggabungkan bentuk-bentuk bangun tertentu dengan menghasilkan bentuk bangun yang baru. Kecakapan berpikir spasial potensial dimiliki oleh anak-anak, maka sangat penting dikembangkan dalam pendidikan formal maupun non formal. Masyarakat juga memiliki peran penting untuk mengajarkan anak tentang penguasaan kecakapan spasial dan di pendidikan formal kecakapan ini sangat relevan dengan ketrampilan belajar abad 21. Anak-anak harus dapat memberi tanda posisi di mana mereka masing-masing. Berada dalam gambar yang telah mereka buat. Kemudian

(5)

5

ajak anak-anak mendiskusikan persamaan dan perbedaan bayangan pada gambar yang mereka buat, pertanyan ini membawa anak-anak dalam dimensi ruang dan waktu. Kecakapan berpikir spasial sangat penting bagi anak-anak terutama dalam mitigasi bencana, karena dengan kecakapan berpikir keruangan (spasial) yang baik akan membantu siswa dalam mempresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nyata seperti data posisi, koordinat, ruang atau spasial.

Pengalaman-pengalaman yang ditemui anak-anak di Desa Nusupan terkait mitigasi bencana banjir, dapat memberikan penguatan ketrampilan belajar Abad 21 yaitu :

1. Kemampuan Berpikir Kritis

Peneliti menemukan jawaban-jawaban unik dari anak-anak Desa Nusupan terkait bencana banjir, antara lain ketika anak-anak ditanya tentang tanda-tanda akan terjadi banjir, jawabannya adalah : 1) Semakin banyak suara katak di sungai; dan 2) Banyak sampah ringan yang terlihat hanyut dari arah hulu. Ini adalah jawaban yang bersifat analisis dari anak-anak yang mereka dapatkan dari pengalaman yang mereka alami. Selain itu ketika ditanya apa yang dilakukan anak-anak dalam menyelamatkan diri jika terjadi banjir di rumah, jawabannya adalah : 1) menyimpan tas dan alat tulis di atas lemari (anak-anak menganggap alat tulis sekolah adalah barang yang penting); 2) berlari ke tanggul dan ke rumah Pak Sekdes serta ke masjid karena tiga tempat tersebut letaknya tinggi dibanding tempat lain di Desa Nusupan. Artinya bahwa jawaban anak-anak tersebut menunjukkan tingkatan berpikir level dua yaitu berpikir kritis. Anak-anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi dari pengalaman yang mereka alami.

2. Kreativitas

Dalam hal ketrampilan berpikir kreatif, anak-anak di Desa Nusupan sudah dapat menunjukkan kemampuannya untuk menentukan arah evakuasi mitigasi bencana banjir di desanya. Peneliti menyiapkan foto udara yang meliput wilayah Desa Nusupan, ketika ada perintah kepada anak-anak untuk membuat garis jalur evakuasi dari foto udara yang mereka dapatkan secara berkelompok, anak-anak mampu menyelesaikan tugas tersebut. Dari total 60 anak diketahui sebanyak 66,67 % mampu menentukan arah evakuasi dengan menggambarkan dengan spidol di foto udara tersebut ke arah yang lebih tinggi. Selain itu, ketika peneliti meminta mendelineasi tempat-tempat yang paling aman dan tempat-tempat yang paling bahaya ketika terjadi bencana banjir pada objek yang terdapat di foto udara, dari total 60 anak, diketahui sebanyak 58,34 % mampu membuat garis batas pada wilayah-wilayah yang dianggap aman dan bahaya ketika terjadi banjir pada sebuah foto udara.

3. Kemampuan Komunikasi

Dalam kegiatan lanjutan setelah menentukan arah evakuasi melalui membaca foto udara dan peta mitigasi bencana banjir, anak-anak diminta melakukan survey lapangan. Lokasi ditentukan terlebih dahulu dengan memberi tanda pada saat membaca peta mitigasi bencana, kemudian dilanjutkan survey lapangan. Lokasi yang diberi tanda dan disurvey adalah lokasi berbahaya dan lokasi aman ketika terjadi bencana banjir. Di setiap lokasi yang disurvey, anak-anak Desa Nusupan diberi tugas untuk membaca peta, memberikan informasi secara lisan, dan merekamnya dalam bentuk video. Melalui kegiatan ini, dapat diketahui kemampuan komunikasi anak-anak di Desa Nusupan menyampaikan berita tentang mitigasi bencana banjir secara lisan. Dari total 60 anak diketahui sebanyak 25 % saja yang mampu berkomunikasi dengan baik, dan rata-rata yang sudah usia sekolah kelas 6 SD dan 1 SMP. Yang lainnya masih malu-malu ketika diminta menyampaikan informasi secara lisan dan berhadapan dengan kamera, bahkan tidak sedikit juga yang menggunakan bahasa jawa dalam menyampaikannya.

4. Kemampuan Kolaborasi

Kemampuan kolaborasi anak-anak di Desa Nusupan terlihat ketika mereka survey lapangan. Kegiatan survey dilakukan secara kelompok. Dalam satu kelompok, anak-anak diminta membagi tugas sebagai ketua, pembawa berita, kameramen, dan anggota. Mereka dituntut untuk kerjasama dengan baik dalam melaksanakan tugasnya. Dari 10

(6)

6

kelompok yang terbentuk, pada umumnya kemampuan kerjasama tim nya sudah baik, karena susunan anggota kelompok yang heterogen dalam usia dan jenis kelamin.

Kegiatan pembelajaran non formal ini begitu efektif memberikan penguatan pada anak-anak, khususnya ketika di pendidikan formal, mereka dituntut memiliki ketrampilan belajar Abad 21 yang dikenal dengan 4C (Critical Thinking, Creative, Communication, Colaboration). Ketrampilan tersebut tidak akan mudah dikuasai anak-anak jika hanya mengandalkan pembelajaran dari guru di sekolah, sehingga harus dikenalkan dan dibiasakan pada anak dalam keseharian.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Anak-anak bantaran Bengawan Solo di Desa Nusupan memiliki kemampuan spasial yang baik meskipun mereka belum belajar membaca peta mitigasi bencana. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka dalam membaca peta, delineasi foto udara, dan menentukan arah evakuasi ketika terjadi bencana banjir. Anak-anak bantaran Bengawan Solo di Desa Nusupan memiliki kemampuan 4C (Critical Thinking, Creative, Communication, Colaboration) yang baik setelah dilakukan pembelajaran non formal dan ini sangat mendukung kemampuan ketrampilan Abad 21 yang diprogramkan di sekolah formal. Hal ini dibuktikan dari total 60 anak diketahui sebanyak 66,67 % mampu menentukan arah evakuasi dengan menggambarkan dengan spidol di foto udara tersebut ke arah yang lebih tinggi. Selain itu, ketika peneliti meminta mendelineasi tempat-tempat yang paling aman dan tempat-tempat yang paling bahaya ketika terjadi bencana banjir pada objek yang terdapat di foto udara, dari total 60 anak, diketahui sebanyak 58,34 % mampu membuat garis batas pada wilayah-wilayah yang dianggap aman dan bahaya ketika terjadi banjir pada sebuah foto udara. Dari total 60 anak diketahui sebanyak 25 % mampu berkomunikasi dengan baik, dan rata-rata yang sudah usia sekolah kelas 6 SD dan 1 SMP.

Saran

Anak harus dibelajarkan untuk bisa berpikir kritis, komunikatif, kreatif, dan berkolaborasi dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, anak perlu didorong untuk bisa berinteraksi baik dengan orang lain. Dalam mengerjakan suatu proyek, anak perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.

Dalam upaya mempersiapkan anak menjadi warga negara yang bertanggung jawab, masyarakat dan sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi anak untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana anak dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Anak dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program mitigasi bencana yang ada di masyarakat, seperti: program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Borg, Walter & Gall. 1989. Educational Research. New York & London

Folger. 2009. Geospatial Information and Geographic Information System (GIS): Current Issues and Future Challenges. Washington DC: Congressional Research Service

(7)

7

Halder, Somenath. 2012. An Appraisal of Environmental in Higher School Education System. International Journal of Environmental Sciences Vol 2, No 4, ISSN 0976-4402. Kaliachak College

Jennifer Nichols (2013). 4 Essential of 21st Century Learning

Joyce, Bruce, Weil. 1986. Models of Teaching. New York: Pearson Education Keller, Edward. 2006. Natural Hazards. London: Pearson Prentice Hall

Schrand, Tom. 2008. Tapping Into Active Learning and Multiple Intellegences with Interactive Multimedia : A Low Threshold Classroom Approach. Electronical Journal. Vol. 56, Iss. 2; pg. 78, 7 pgs. www.proquest.uni.com/pqdweb

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa setuju dengan pernyataan menggunakan pelaksanaan aturan sekolah membuat saya memanajemen diri untuk lebih disiplin dalam

BANGKA BELITUNG 15 UNIT BANTEN 8 UNIT JAWA BARAT 15 UNIT JAWA TENGAH 28 UNIT JAWA TIMUR 68 UNIT NTB 2 UNIT KALIMANTAN BARAT 4 UNIT KALIMANTAN TENGAH 1 UNIT KALIMANTAN TIMUR 7

Penyusunan Peraturan Gubernur dan Surat Keputusan Gubernur, dari 300 Pergub/SK yang ditargetkan, realisasi capain tahun 2016 sejumlah 548 Peraturan Gubernur

Berkaitan dengan hal tersebut maka solusi masalah diatas adalah dengan membuat video promosi candi prambanan dengan menrapkan teknik motion graphic sehinga

Pengembangan media pembelajaran berbasis android pada pembelajaran EFI mendapatkan penilaian dari ahli media, ahli materi, uji coba kelompok kecil, dan uji coba

karenanya berbagai strategi pemberdayaan permodalan petani telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian diantaranya melalui penyaluran dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada

Berdasarkan aliran daya setiap cabang saluran dari sistem kelistrikan yang ditinjau, dapat diketahui rugi–rugi daya yang terjadi selama operasi untuk keadaan beban tertentu

Berdasarkan analisis data tabel 1, dapat diketahui bahwa sikap masyarakat Kelurahan Kembangsari dalam menghadapi bencana kebakaran sebanyak 83 orang atau 38%