• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP MUTU PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP MUTU PANGAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP MUTU PANGAN

Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Mutu pangan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam menghasilkan suatu produk pangan karena berkaitan erat dengan tujuan produsen (perusahaan) maupun kosumen. Menurut Wolff (1986) diacu dalam Bernués et al. (2003), mutu merupakan elemen esensial dalam strategi kompetisi pada sebuah perusahaan. Sementara itu dari segi konsumen, mutu berkaitan dengan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Konsumen cenderung akan memilih produk pangan yang sesuai dengan mutu yang mereka harapkan.

Konsep mutu pangan terus berkembang dari masa ke masa. Konsep mutu pangan tidak unik dan lebih tergantung dari siapa yang mendefinisikannya (Bernués et al. 2003). Menurut Grunert (2005), mutu pangan memiliki dua dimensi, yaitu mutu objektif dan mutu subjektif. Mutu objektif adalah karakteristik fisik yang terdapat dalam produk pangan. Mutu objektif bersifat teknis, sehingga proses dan kontrol mutu dapat diukur dan diverifikasi (Espejel et al. 2007). Mutu subjektif adalah mutu yang dipersepsikan oleh konsumen. Titik tengah dari kedua dimensi tersebut tercapai apabila produsen dapat menerjemahkan karakteristik yang diinginkan oleh konsumen ke dalam karakteristik fisik produk yang dihasilkan.Meskipun demikian, mutu pangan tetap lebih bergantung pada penilaian yang dilakukan konsumen. Mutu pangan tidak melekat pada karakteristik pangan, tetapi lebih berkaitan dengan konsep penerimaan (Issanchou 1996).

Mutu pangan merupakan sebuah nilai yang ditawarkan oleh produk pangan. Menurut Steenkamp (1990) diacu dalam Lazarova (2010), atribut mutu adalah manfaat fungsional atau psikososial yang diberikan oleh produk. Caswell (2000) menyatakan atribut mutu produk secara efektif dapat dianalisis menjadi tiga dimensi, yaitu dimensi intrinsik/ ekstrinsik, dimensi lingkungan informasi, dan dimensi diferensiasi vertikal/ horizontal.Dimensi intrinsik/ekstrinsik merupakan mutu dan persepsi mutu yang disebabkan oleh atribut intrinsik (di dalam produk) dan atribut ekstrinsik (di luar produk). Atribut intrinsik dapat berupa nilai gizi, warna, aroma, penampakan, dan tekstur.Atribut ekstrinsik dapat berupa merek dagang, iklan, promosi, dan nama produsen. Pada dimensi lingkungan informasi, informasi yang ada pada produk dapat bersifat search nature, experience nature, dan

credence nature. Search nature artinya konsumen dapat menilai mutu dengan mengevaluasi produk

sebelum membeli, misalnya dengan mengamati warna dan bentuk. Informasi yang bersifat experience

nature artinya konsumen hanya dapat mengevaluasi mutu produk setelah komsumen tersebut membeli

dan mengkonsumsi produk tersebut, contohnya adalah rasa. Pada informasi yang bersifat credence

nature, konsumen tidak dapat menilai mutu produk meskipun setelah membeli produk dan

mengkonsumsinya, contohnya adalah residu pestisida. Dimensi diferensiasi vertikal/ horizontal mencakup mutu vertikal (konsumen membagi semua mutu pada tingkat yang sama) dan mutu horizontal (konsumen memiliki perbedaan tingkatan mutu).

(2)

B. PENDEKATAN MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

Pandangan terhadap mutu produk pangan sangat beragam pada saat produk pangan tersebut sampai ke tangan konsumen. Konsumen akan menilai dari segi yang berbeda-beda. Menurut Steenkamp (1990) diacu dalam Lazarova (2010), penilaian mutu pangan oleh konsumen bergantung pada persepsi, kebutuhan, dan tujuan yang mereka miliki.Penilaian mutu yang dapat dilakukan adalah dengan memahami mutu yang dirasakan atau diketahui oleh konsumen. Grunert et al. (1996) diacu dalam Bernués et al. (2003) menyatakan bahwa pendekatan persepsi mutu yang dirasakan konsumen merupakan konsep mutu yang didefinisikan oleh konsumen, tetapi tidak mudah untuk diukur. Mutu yang dirasakan oleh konsumen hanya dapat diukur berdasarkan atribut-atribut yang ada dalam produk pangan. Oleh karena itu, pengukuran mutu dilakukan dengan mempelajari hubungan antara atribut-atribut mutu yang ada pada produk pangan dengan persepsi konsumen.

Salah satu pendekatan mutu yang dapat dipakai adalah pendekatan multi-attribute. Pendekatan ini menekankan bahwa mutu merupakan fenomena multi dimensi, yang dapat dijelaskan dengan sekelompok karakteristik atau atribut yang secara subjektif diketahui oleh konsumen (Grunert 1997). Karakter atau atribut ini akan menjadi tolok ukur mutu produk. Menurut Bernués et al. (2003), karakteristik dan atribut produk memiliki makna yang tidak sama. Becker (2000) diacu dalam Bernués et al. (2003) menyatakan bahwa karakteristik produk merupakan fitur produk yang digunakan sebagai indikator teknis untuk mutu dan prinsip pengukurannya dapat dilakukan dengan metode analisis. Atribut produk merupakan fitur pada produk yang memenuhi kebutuhan konsumen.

Konsumen secara langsung dapat mengevaluasi mutu dengan cara mengetahui informasi dari karakteristik mutu produk. Informasi ini sampai kepada konsumen dalam bentuk isyarat mutu (quality

cues). Menurut Steenkamp (1990) diacu dalam Lazarova (2010), isyarat mutu merupakan informasi

yang menurut konsumen berhubungan dengan mutu produk dan dipastikan oleh konsumen melalui indera sebelum mengkonsumsi produk tersebut. Isyarat mutu digunakan untuk mengevaluasi kinerja produk yang berhubungan dengan harapan konsumen. Isyarat mutu dapat berupa intrinsik maupun ekstrinsik (Olson dan Jacoby 1972).

Mutu intrinsik dan ekstrinsik memberikan pertimbangan kepada konsumen dalam mengevaluasi mutu produk. Konsep mutu intrinsik dan ekstrinsik pertama kali dikemukakan oleh Olson pada tahun 1972. Konsep mutu ini kemudian dikembangkan oleh Steenkamp (1990), Grunert (1996), Northen (2000), dan Caswell (2000). Perkembangan mutu intrinsik dan ekstrinsik cenderung berdasarkan proses dan model tertentu yang dianalisis oleh masing-masing peneliti. Namun, pada intinya memiliki tujuan yang sama, melihat karakeristik di dalam produk dan di luar produk.

Mutu intrinsik berbeda dengan mutu ekstrinsik. Menurut Olson dan Jacoby (1972), indikator mutu intrinsik secara aktual berasal dari fisik produk. Mutu ini tidak dapat diganti atau dimanipulasi secara eksperimen tanpa mengubah karakteristik produk tersebut. Perubahan mutu ini dapat dievaluasi dengan melihat perubahan karakter fisik produk, misalnya penurunan mutu pada suatu produk ditandai dengan perubahan rasa dan aroma. Indikator mutu ekstrinsik berhubungan dengan produk, tetapi secara aktual bukan merupakan bagian dari fisik produk. Mutu ekstrinsik cenderung berhubungan dengan usaha untuk meningkatkan daya jual produk. Indikator mutu ekstrinsik ini dapat berupa merek dagang, sertifikasi, sistem pelabelan, dan lain-lain.

1. Pendekatan Olson (1972)

Menurut Olson (1972) diacu dalam Lazarova (2010), proses persepsi mutu terdiri dari dua tahap, yaitu konsumen memilih beberapa isyarat indikator mutu produk dari kumpulan isyarat dan

(3)

kemudian menggabungkan evaluasi yang mereka buat ke dalam penilaian secara keseluruhan (overall) terhadap mutu produk. Pertimbangan yang dilakukan konsumen merupakan hasil kombinasi dari beberapa indikator mutu yang ada pada produk. Olson dan Jacoby menemukan bahwa merek dagang dan komposisi produk merupakan faktor terpenting untuk mengetahui mutu produk (Caswell et al. 2002). Dua karakter tersebut bertolak belakang dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa harga merupakan faktor terpenting dalam menentukan persepsi produk.

Mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dikemukakan Olson dan Jacoby (1972) merupakan pengujian karakteristik yang dipakai konsumen untuk mengetahui mutu produk. Pembedaan mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan Olson dan Jacoby (1972) berdasarkan pada dapat atau tidaknya sifat fisik produk tersebut dimanipulasi. Jika sifat produk berubah ketika isyarat mutu dimanipulasi maka isyarat mutu tersebut adalah intrinsik, tetapi jika sifat fisik produk tidak berubah, isyarat mutu tersebut adalah ekstrinsik (Lazarova 2010). Mutu ekstrinsik dapat digunakan sebagai faktor untuk meningkatkan mutu produk secara keseluruhan ketika mutu instrinsik suatu produk tidak dapat ditingkatkan lebih lanjut. Isyarat mutu ekstrinsik dapat dipengaruhi oleh usaha pemasaran (Caswell et

al. 2002). Usaha pemasaran yang dilakukan dapat berupa promosi, iklan, dan citra perusahaan.

Strategi pemasaran yang efektif juga mampu meningkatkan persepsi konsumen terhadap mutu intrinsik produk. Walaupun demikian, mutu intrinsik memegang peranan yang lebih penting dalam mendeskripsikan mutu produk. Konsumen cenderung lebih memilih isyarat mutu yang bersifat intrinsik (Caswell et al. 2002).

2. Pendekatan Steenkamp (1990)

Mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dikembangkan oleh Steenkamp merupakan perkembangan dari mutu intrinsik dan ekstrinsik yang telah dibuat oleh Olson. Steenkamp menguraikan model berdasarkan perbedaan antara isyarat mutu dan atribut mutu, khususnya perbedaan di antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik, serta perbedaan antara experience quality dan credence quality (Lazarova 2010). Model proses persepsi mutu yang dikembangkan oleh Steenkamp dapat dilihat pada Gambar 1.

(4)

Proses pembentukan persepsi mutu dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu tahap akuisisi dan kategorisasi isyarat mutu, tahap pembentukan kepercayaan terhadap atribut mutu, dan tahap penggabungan kepercayaan terhadap atribut mutu. Pada tahap pertama, kepercayaan terhadap isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik muncul akibat adanya isyarat-isyarat mutu yang ada di lingkungan individu dan memberikan persepsi tersendiri terhadap masing-masing individu. Pada kondisi ini, konsumen mendapatkan isyarat mutu yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Konsumen akan memilih isyarat yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Pada tahap kedua, baik isyarat mutu intrinsik maupun ekstrinsik pada produk pangan dievaluasi berdasarkan experience quality dan

credence quality. Pada tahap ketiga, konsumen menggabungkan atribut mutu yang telah dipilih,

dievalusi, dan dirasakan menjadi persepsi mutu.

Persepsi konsumen dipengaruhi oleh beberapa isyarat mutu yang mereka terima maupun adanya faktor lain. Menurut Lazarova (2010), isyarat mutu tunggal tidak mungkin dapat menjadi indikator yang sempurna pada atribut mutu tertentu. Isyarat mutu yang diterima merupakan kombinasi beberapa isyarat mutu yang ada. Di samping itu, selama proses pembentukan persepsi, konsumen dipengaruhi faktor pribadi dan lingkungan. Faktor tersebut dapat mempengaruhi pertimbangan konsumen dalam menentukan isyarat mutu yang akan diterima.

3. Pendekatan Grunert (1996)

Pendekatan mutu yang dilakukan oleh Grunert merupakan pengembangan dari model Steenkamp (Lazarova 2010). Grunert mengembangkan proses persepsi mutu melalui model Total

Food Quality (TFQ) yang dapat dilihat pada Gambar 2. Model TFQ menjelaskan persepsi mutu

konsumen dilihat dari dua sudut pandang, yaitu situasi sebelum pembelian dan situasi setelah pembelian.

(5)

Menurut Lazarova (2010), model TFQ menjelaskan perbedaan antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik serta antara mutu yang diharapkan (expected quality) dan mutu yang diketahui (perceived

quality). Perceived quality dapat diasumsikan sebagai experience quality. Isyarat mutu (cues) yang

penting sebelum pembelian mencakup biaya, mutu ekstrinsik, dan spesifikasi teknis produk (mutu intrinsik). Isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik akan menghasilkan atribut mutu yang diharapkan (expected quality). Proses akan berlanjut ke tahap pembelian produk pangan apabila memenuhi dua syarat, yaitu dari segi biaya dan mutu yang diharapakan (expected quality). Setelah pembelian, mutu yang diharapkan (expected quality) akan berubah menjadi pengalaman mutu (experience quality) yang akan menentukan pembelian di masa yang akan datang.

4. Pendekatan Northen (2000)

Secara umum, model atribut mutu yang dikembangkan oleh Northen merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai atribut mutu intrinsik. Menurut Bredahl et al. (2001), atribut mutu dibagi menjadi dua atribut utama, yaitu atribut produk dan atribut proses. Atribut produk berkaitan dengan atribut fisik yang terdapat pada produk. Atribut proses merupakan bagian dari proses produksi dan tidak dapat dideteksi saat produk tersebut dikonsumsi. Penggolongan atribut produk berdasarkan pendekatan Northen dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik terletak pada perbedaan experience quality dan credence quality. Isyarat ektrinsik diasumsikan sebagai credence quality (tidak dapat dideteksi oleh konsumen), sedangkan isyarat intrinsik diasumsikan sebagai experience quality (dapat dideteksi konsumen setelah dilakukan konsumsi produk). Atribut proses juga digolongkan sebagai credence quality. Beberapa atribut proses hanya dapat dikomunikasikan melalui indikator ekstrinsik (Bredahl et al. 2001).

Tabel 1. Penggolongan atribut mutu proses dan produk

Atribut Proses

Atribut Produk

Isyarat Ekstrinsik Isyarat Intrinsik

Keamanan Pangan Gizi Sensori Fungsional

Animal welfare Patogen Kadar lemak Rasa Kemudahan

Bioteknologi Residu Kalori Tekstur Umur simpan

Produksi organik Promotor pertumbuhan Serat Tenderness

Ketertelusuran BTP Natrium Juiciness

Pakan Pakan Vitamin

Racun Mineral

Kontaminan fisik

Sumber: Northen (2000) diacu dalam Bredahl et al. (2001)

C. MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK KLASIFIKASI CASWELL

Model proses persepsi konsumen yang dikembangkan oleh Caswell memiliki dasar pembedaan pada dimensi lingkungan informasi (atribut search, experience, dan credence quality). Model ini masih mengacu proses persepsi mutu yang dikembangkan oleh Steenkamp. Caswell menjelaskan kerangka kerja mutu yang menggambarkan proses penerimaan mutu. Kerangka kerja mutu yang dikembangkan oleh Caswell dapat dilihat pada Gambar 3. Mutu yang diharapkan konsumen

(6)

merupakan bentuk dari pengalaman dan pengetahuan mutu yang diperoleh konsumen. Pengalaman tersebut dapat berupa tingkat pendidikan, kesadaran dan pengetahuan tentang mutu, serta risiko mutu yang pernah dirasakan. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lain yang berasal dari lingkungan. Mutu intrinsik dilihat dari lingkungan informasi yang diterima oleh konsumen, baik dalam bentuk atribut search, experience, dan credence quality. Menurut Caswell (2000), atribut intrinsik mencakup karakteristik fisik produk dan ditambah dengan atribut lain yang mendefinisikan mutu produk. Mutu ekstrinsik lebih didukung oleh startegi dan usaha pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Penggolongan atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan oleh Caswell dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Kerangka kerja mutu (Caswell 2000)

Pengalaman sebelumnya: tingkat pendidikan, risiko mutu yang dirasakan, kesadaran mutu, tujuan penggunaan, faktor personal dan situasional

Usaha pemasaran

Indikator

Extrinsic search

Mutu yang diharapkan Atribut Intrinsic search Atribut Intrinsic experience Atribut Intrinsic credence

(7)

Gambar 4. Atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik (Caswell 2000)

Pada awalnya atribut mutu pada produk pangan hanya dibagi menjadi beberapa atribut. Caswell (1998) diacu dalam Lakni dan Mudalige (2009), mengelompokkan atribut mutu utama yang terdiri dari lima bagian, yaitu (1) keamanan pangan, (2) gizi, (3) nilai, (4) kemasan, dan (5) proses.

Atribut keamanan pangan mencakup aspek mikroba patogen, kontaminan fisik, senyawa toksik, dan residu pada produk pangan. Atribut gizi mencakup kadar lemak, kalori, serat, natrium, vitamin, mineral, dan lain-lain. Atribut nilai terdiri dari kemurnian, ukuran, penampakan, kemudahan dalam penyajian, dan rasa. Atribut nilai produk yang tinggi mendukung daya saing produk di pasaran. Atribut nilai tidak berhubungan secara langsung dengan keamanan pangan dan nilai gizi pangan (Lakni dan Mudalige 2009). Atribut kemasan terdiri dari sistem pengemasan, pelabelan, dan informasi yang tercantum dalam label. Informasi pada label merupakan bentuk dari atribut mutu ekstrinsik yang

Atribut Mutu Instrinsik

Atribut Keamanan Pangan Keracunan (patogen) Logam berat dan racun Pestisida dan residu obat Kontaminasi tanah dan air BTP dan pengawet Bahaya fisik

Kerusakan dan botulin Irradiasi dan fumigasi Lain-lain

Atribut Gizi Kalori

Kadar lemak dan kolesterol Garam dan mineral Kadar karbohidrat dan serat Protein

Vitamin Lain-lain Atribut Sensori

Rasa dan keempukan Warna Penampakan Kesegaran Kelembutan Bau/ aroma Lain-lain Atribut Nilai/ Fungsi

Integritas komposisi Ukuran Gaya Preparasi/ kemudahan Bahan kemasan Daya tahan Lain-lain Atribut Proses Kesejahteraan hewan Keaslian proses/ tempat asal Ketertelusuran

Bioteknologi/ biokimia Organik/ dampak lingkungan Keselamatan pekerja Lain-lain

Atribut Mutu Ekstrinsik

Test/ Indikator Pengukuran Sistem manajemen mutu Sertifikasi

Rekaman Pelabelan

Standar mutu minimum Lisensi pekerjaan Lain-lain Isyarat Harga Merek dagang Nama produsen Nama toko Pengemasan Iklan Daerah asal Outlet distribusi Garansi Reputasi

Pengalaman pasca beli Informasi lain

(8)

membantu konsumen untuk menduga mutu dan kinerja produk yang bersifat credence quality. Menurut Caswell (2000), indikator ekstrinsik dapat mengubah atribut intrinsik yang bersifat credence menjadi indikator atau isyarat ekstrinsik search, yang dapat memfasilitasi evaluasi mutu yang dilakukan oleh pembeli maupun penjual. Atribut proses dapat berupa aspek kesejahteraan hewan, bioteknologi, keselamatan kerja, dan dampak lingkungan. Atribut ini tidak berkaitan secara langsung dengan kondisi fisik produk.

D. TAKSONOMI MODEL PERILAKU KONSUMEN

Konsumen memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih produk yang akan dibeli atau dikonsumsi. Pertimbangan tersebut mencakup atribut-atribut mutu yang terdapat pada produk maupun faktor lain yang berkaitan dengan proses pembelian produk. Proses yang dialami konsumen dimulai dari pertimbangan sebelum pembelian sampai efek yang ditimbulkan pasca pembelian ini disebut dengan perilaku konsumen. Perilaku kosumen berhubungan dengan usaha untuk mencari informasi dan mengevaluasi mutu produk agar memperoleh produk yang sesuai dengan kebutuhan.

Model perilaku konsumen dapat dipelajari menggunakan Taxonomy of Consumer Behaviour

Model. Taksonomi ini menggambarkan tahapan yang dilalui konsumen dalam memilih produk,

meliputi tahapan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi, pembelian, dan pasca pembelian. Taksonomi model perilaku konsumen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Taksonomi model perilaku konsumen

No Tahapan Variabel dependen (Xi)

Model (jenis persamaan) yang digunakan

1 Kebutuhan Pembelian (pilihan) Model pilihan biner

Waktu pembelian

2 Pencarian informasi

Kesadaran Model kesadaran individu

Sekumpulan pertimbangan Model pertimbangan Sekumpulan pilihan

Dinamika kepercayaan Model integrasi informasi 3 Evaluasi

Persepsi produk Perceptual mapping (MDS)

Preferensi produk Model attitude

(compensatory/ non-compensatory)

4 Pembelian

Pilihan merek Model pilihan diskret Pilihan tempat pembelian Model hierarkhi Pilihan kuantitas

5 Pasca pembelian

Merek Model kepuasan

Kepuasan/ kejenuhan Model pencarian variasi

Word-of-mouth Model komunikasi

Sumber: Robert dan Lilien (1993)

Perilaku konsumen berawal dari adanya suatu kebutuhan. Konsumen tidak dapat terlepas dari keinginan atau kebutuhan. Kebutuhan ini muncul karena adanya faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor alami yang terjadi pada manusia, misalnya rasa lapar, haus, atau memerlukan sesuatu hal. Ketika faktor internal tersebut sudah melewati ambang batas tertentu, akan menjadi dorongan yang kuat terhadap konsumen untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut. Di

(9)

samping itu, faktor eksternal yang berada di sekitar konsumen (informasi, iklan, keunggulan produk, dan lain-lain) juga dapat memicu munculnya ketertarikan konsumen terhadap suatu hal yang nantinya dapat menjadi suatu kebutuhan. Selanjutnya konsumen terdorong untuk menggali informasi guna mencari jenis produk yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhannya itu.

Kebutuhan manusia dapat bersifat biner. Artinya konsumen bisa saja memiliki sumber daya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Di samping itu, juga terdapat pertimbangan konsumen apakah kebutuhan tersebut benar-benar diperlukan. Di sisi lain, konsumen bisa juga tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Robert dan Lilien (1993) menjelaskan kebutuhan konsumen dapat dibuat model yang terdiri dari nilai utilitas/ value (VBi) dan kesalahan penilaian/ error (ƐBi). Model tersebut dapat dilihat pada Persamaan 1. Nilai dari utilitas produk menggambarkan nilai yang ada pada suatu kebutuhan dibandingkan dengan alternatif yang lain. Kesalahan penilaian (error) merupakan gangguan akibat pemilihan suatu alternatif kebutuhan.

UBi = VBi + ƐBi ……… Persamaan 1

Keterangan : UBi = utilitas yang diharapkan (dibeli) VBi = nilai utilitas yang sebenarnya ƐBi = kesalahan penilaian

Setelah konsumen memutuskan akan membeli produk untuk memenuhi kebutuhan, langkah selanjutnya yang dilakukan konsumen adalah mencari informasi tentang produk. Pencarian informasi ini dimaksudkan untuk memperoleh produk yang memiliki nilai mutu paling tinggi. Pada proses ini konsumen memiliki sekumpulan pertimbangan (consideration set) yang terdiri dari beragam jenis produk. Setelah dilakukan pertimbangan, beberapa jenis produk yang tidak sesuai kriteria akan dieliminasi. Jenis produk yang terpilih selanjutnya akan melalui tahap evaluasi agar dapat mengetahui mutu produk lebih lanjut.

Proses evaluasi terdiri dari dua komponen, yaitu persepsi dan preferensi. Konsumen akan membentuk kepercayaan atau anggapan tentang fitur dari alternatif produk (persepsi). Berdasarkan persepsi tersebut, kemudian konsumen mengambil sikap (attitude) terhadap beberapa produk (Rober dan Lilien 1993). Persepsi konsumen berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan setiap konsumen memililih atribut/ kriteria yang relevan dengan kebutuhannya. Persepsi digunakan konsumen untuk membentuk preferensi produk, yang digunakan untuk menilai produk berdasarkan kombinasi atribut mutu produk. Dalam pengukuran preferensi konsumen, model preferensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu compensatory dan non-compensatory. Pada model compensatory, kelemahan salah satu atribut produk dapat ditutupi dengan kelebihan pada atribut yang lain. Sebaliknya, pada model non-compensatory, kelemahan salah satu atribut tidak dapat ditutupi oleh atribut yang lain. Bass dan Talarzyk (1972) mengemukakan model pembentukan preferensi yang disebut dengan model kepercayaan-kepentingan (Persamaan 2). Model ini menggambarkan sikap (attitude) terhadap merek merupakan fungsi dari kepercayaan terhadap suatu atribut dan tingkat kepentingan dari atribut tersebut.

A = ∑bi Ii ………..………… Persamaan 2 Keterangan : A = sikap (attitude) terhadap produk

bi = kepercayaan (belief) terhadap atribut i Ii = tingkat kepentingan atribut i

(10)

Pada tahap pembelian, konsumen memilih produk yang memiliki beberapa atribut mutu yang relevan dengan kebutuhannya. Produk ini cenderung memiliki nilai atribut mutu yang lebih tinggi dari alternatif produk sejenis. Tahap pembelian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut berupa perubahan faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, harga produk, dan keunggulan dari produk (Robert dan Lilien 1993). Waktu pembelian juga dapat mempengaruhi sikap dalam proses pembelian. Tekanan waktu dapat mempengaruhi secara cepat terhadap proses persepsi dan keputusan pembelian. Menurut Steenkamp (1989) diacu dalam Lazarova (2010), tekanan waktu menyebabkan konsumen lebih sedikit menggunakan isyarat mutu yang tersedia, konsumen lebih banyak mendapatkan informasi negatif, dan konsumen cenderung menggolongkan mutu ke dalam kategori dapat diterima atau tidak dapat diterima.

Tahap pasca beli merupakan evaluasi konsumen terhadap atribut mutu produk setelah dikonsumsi. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis karena menentukan akan atau tidaknya dilakukan pembelian berulang pada jenis dan merek produk yang sama. Hal ini menyangkut bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap atribut mutu produk. Tingkat kepuasan merupakan jarak perbedaan antara mutu yang diharapkan dengan mutu yang dirasakan. Apabila mutu produk yang dirasakan sama atau paling tidak gap negatif yang terbentuk antara mutu yang dirasakan dengan mutu yang diharapkan tidak terlalu besar, maka kemungkinan terjadi pembelian berulang terhadap produk tersebut akan semakin besar. Di samping itu, kepuasan yang dirasakan konsumen juga dapat mendorong informasi positif tentang suatu produk. Dalam hal ini, konsumen akan memberikan rekomendasi produk kepada konsumen lain yang membutuhkan informasi tentang produk tersebut.

E. PRODUK PANGAN KEMASAN

Pangan kemasan merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengolahan sebagian maupun seluruhnya dan selanjutnya dikemas dengan kemasan makanan melalui teknik dan jenis kemasan tertentu. Hasil pengolahan pangan tersebut menghasilkan dua kondisi, yaitu pangan siap makan (ready to eat) dan pangan siap masak (ready to cook). Pangan siap makan merupakan jenis makanan yang siap dikonsumsi tanpa melalui proses pengolahan atau pemasakan lebih lanjut, seperti makanan ringan, minuman, sari buah, acar, dan lain-lain. Pangan siap masak merupakan makanan yang harus diolah atau dimasak terlebih dahulu. Proses pemasakan ini dapat berupa pengolahan pada suhu tinggi maupun dengan penambahan pangan lain atau bahan tambahan pangan.

Pangan kemasan memiliki dua aspek keunggulan, yaitu kemudahan dan daya simpan. Proses pengolahan yang telah dilakukan pada produk pangan sebelum dikemas menyebabkan produk tersebut lebih mudah dalam pengolahan selanjutnya. Untuk mengolah produk pangan tersebut menjadi produk yang siap untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang lebih singkat. Di samping itu dengan adanya pengemasan, produk pangan tersebut memiliki masa simpan yang lebih panjang dan mudah dalam proses distribusi maupun penyimpanan.

Menurut Holdsword dan Simpson (2008), kemasan pangan dapat dibedakan dalam empat material, yaitu logam (kaleng), gelas, plastik rigid, dan retortable pouch. Kemasan logam dalam bentuk kaleng alumunium banyak digunakan pada produk minuman. Di dalam kaleng tersebut dilapisi dengan lacquer untuk mencegah korosi dan kontaminasi pada produk pangan di dalamnya. Botol gelas banyak digunakan pada pangan kemasan dan minuman. Kemasan gelas memiliki kelebihan karena memiliki sedikit interaksi dengan pangan dan sifatnya yang transparan. Kemasan plastik banyak digunakan untuk kemasan pangan siap makan, seperti makanan ringan. Kemasan plastik rigid banyak digunakan karena mudah dibentuk. Retortable pouch umumnya digunakan pada produk

(11)

minuman dan susu. Retortable pouch merupakan kemasan (kantong) yang telah mengalami laminasi dan tahan terhadap proses panas.

F. MI INSTAN

Mi instan merupakan salah satu jenis produk pasta atau ekstrusi. Menurut SNI 01-3551-2000, mi instan dibuat dari adonan terigu, tepung beras, atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya. Definisi tersebut meliputi mi (dari terigu), bihun (dari beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan sagu), dan kwetiau (dari beras dan atau terigu). Mi dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses gelatininsasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lain. Definisi instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Syarat mutu mi instan menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan proses pengeringannya, mi instan dibedakan menjadi dua macam, yaitu mi instan goreng dan mi instan kering. Mi instan goreng (instant fried noodle) dikeringkan dengan cara digoreng dalam minyak, sedangkan mi instan kering (instant dried noodle) dikeringkan dengan udara panas. Menurut Astawan (1999) diacu dalam Wijaya (2010), mi instan goreng mampu menyerap minyak 20% selama penggorengan. Kandungan minyak dalam mi menyebabkan mi instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingan dengan jenis mi yang lain (Dessyana 2010). Namun, mi instan goreng memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami ketengikan. Keunggulan mi instan kering yaitu kadar air yang lebih rendah dan lebih tahan lama atau tidak mudah tengik (Wijaya 2010).

Berdasarkan cara memasaknya, mi instan dibedakan menjadi dua macam. Pertama, mi instan yang dimasak dengan cara direbus langsung dalam air mendidih. Waktu yang diperlukan untuk merebus mi instan adalah 3-5 menit. Kedua, mi instan yang dimasak dengan cara diseduh dengan air panas selama 3-5 menit. Perkembangan mi instan yang diseduh ini menghasilkan beberapa jenis mi instan, seperti mi instan gelas, cup noodle, dan bowl noodle. Mi instan yang diseduh dengan air panas dianggap lebih praktis daripada mi yang direbus. Contoh mi instan yang ada di pasaran (baik yang diseduh maupun yang direbus) dapat dilihat pada Gambar 5.

Bahan baku utama dalam pembuatan mi instan adalah terigu, tepung beras, dan tepung lainnya yang dibentuk adonan dengan bantuan penambahan air. Selain bahan tersebut, dalam pembuatan mi instan juga ditambahkan bahan baku lain. Bahan baku lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan mi instan dapat dilihat pada Tabel 4.

Terigu digunakan sebagai bahan baku mi karena memiliki kandungan gluten yang tinggi sehingga menghasilkan mi yang tidak mudah putus selama proses pencetakan dan pemasakan (Suseno 2010). Terigu yang digunakan adalah jenis hard flour yang memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sekitar 12-13% (Dessyana 2010). Air berfungsi sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, sebagai pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal. Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, dan meningkatkan elastisitas mi. Soda abu (campuran natrium karbonat dan kalium karbonat dengan perbandingan 1:1) berfungsi mempercepat pembentukan gluten, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan kekenyalan. Dalam pembuatan mi juga digunakan bahan pengembang seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) yang dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan. Zat warna juga sering ditambahkan untuk memberikan warna kuning khas pada mi. Zat warna yang sering digunakan pada mi instan adalah tartrazin.

(12)

Tabel 3. Syarat mutu mi instan menurut SNI 01-3551-2000

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan2)

1.1 Tekstur - normal/ dapat diterima

1.2 Aroma - normal/ dapat diterima

1.3 Rasa - normal/ dapat diterima

1.4 Warna - normal/ dapat diterima

2 Benda asing - tidak boleh ada

3 Keutuhan1) % bb min 90

4 Kadar air2)

4.1 Proses penggorengan % bb maks 10,0

4.2 Proses pengeringan % bb maks 14,5

5 Kadar protein2)

5.1 Mi dari terigu % bb min 8,0

5.2 Mi dari bukan terigu % bb min 4,0

6 Bilangan asam1) mg KOH/ g minyak maks 2,0

7 Cemaran logam2)

7.1 Timbal (Pb) mg/ kg maks 2,0

7.2 Raksa (Hg) mg/ kg maks 0,05

8 Arsen (As)2) mg/ kg maks 0,5

9 Cemaran mikroba2)

9.1 Angka lempeng total koloni/ g maks 1,0 x 106

9.2 E. coli APM/ g < 3 9.3 Salmonella - negatif per 25 g

9.4 Kapang koloni/ g maks 1,0 x 103

1) Berlaku untuk keping mi

2) Berlaku untuk keping mi dan bumbunya

CATATAN Persyaratan mutu pada tingakat pedagang eceran

Sumber: BSN (2000)

Proses pembuatan mi instan secara umum terdiri dari pencampuran, pencetakan, pengukusan, pengeringan, dan pengemasan. Proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan adonan yang homogen, dan menarik serat-serat gluten. Pencampuran dilakukan pada suhu dan selang waktu tertentu. Pencetakan bertujuan untuk membentuk lembaran mi dari adonan dan kemudian dibentuk menjadi untaian mi. Mi instan komersial biasanya dicetak dengan ketebalan 1.8– 3.2 mm. Pengukusan dilakukan untuk mematangkan mi. Pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten yang menyebabkan mi bersifat solid dan kenyal. Pengukusan umumnya dilakukan pada suhu 90-100OC. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sehingga meningkatkan umur simpan. Pengeringan dapat dilakukan dengan proses penggorengan atau proses pengeringan dengan udara panas. Menurut Suseno (2010), penggorengan dilakukan pada suhu 140-150OC selama 60-70 detik untuk mi kemasan biasa dan 157-160OC selama 90-120 detik untuk mi

(13)

dalam cup. Tahap terakhir adalah pengemasan. Sebelum mi instan dikemas, dilakukan proses pendinginan terlebih dahulu untuk menurunkan suhu mi setelah pengeringan dan mencegah oksidasi minyak.

Gambar 5. Jenis mi instan (a) mi instan biasa (b) cup noodle (c) mi instan gelas (d) bowl noodle

Tabel 4. Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan mi instan

No Bahan lain yang ditambahkan

1 Pati dan tepung lainnya 2 Garam

3 Hidrokoloid

4 Gula dan turunannya 5 Lemak dan minyak

6 Bahan tambahan pangan yang diizinkan 7 Bahan penyedap rasa dan aroma yang diizinkan 8 Rempah-rempah dan produk olahannya 9 Telur dan produk olahannya

10 Daging ternak, unggas, produk perairan, dan produk olahannya 11 Susu dan produk olahannya

12 Sayur dan produk olahannya 13 Buah dan produk olahannya 14 Vitamin dan mineral

Sumber : BSN (2000)

G. SURVEI ONLINE BERBASIS WEB

Survei merupakan salah satu metode untuk mengumpulkan data atau informasi. Berbeda dengan sensus yang mengambil data dari seluruh populasi, survei hanya menggali informasi atau data yang ada pada suatu populasi. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Hasil survei ini nantinya digeneralisasi dan dapat digunakan untuk menjelaskan suatu pola atau kecenderungan yang terdapat pada populasi tertentu. Survei

(a)

(b)

(14)

mengandalkan jawaban dari responden untuk mempelajari pemikiran individu, perasaan, dan perilaku serta untuk mengamati tren sosial (Schwarz 1999). Survei merupakan sarana yang kurang sempurna untuk mengumpulkan data (Andrews et al. 2003) karena hanya diperlukan sejumlah responden yang digunakan sebagai sampel dari suatu populasi. Oleh karena itu, dalam survei sangat perlu diperhatikan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data seakurat mungkin, sehingga dapat menjelaskan kondisi dari suatu populasi.

Metode yang digunakan dalam melakukan survei terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, survei dilakukan dengan cara wawancara langsung (face to face) atau dengan menggunakan surat. Pada tahun 1970-an, adopsi jaringan telepon menyebabkan wawancara melalui telepon menjadi alternatif dalam melakukan survei. Survei yang dilakukan secara personal (langsung), melalui surat, atau melalui telepon mengeluarkan biaya yang beragam, mencakup waktu, desain kuesioner, fasilitas fisik, dan kecepatan melakukan survei (Evans dan Mathur 2005). Saat ini, perkembangan internet yang sangat pesat menyebabkan survei online dapat dipertimbangkan sebagai metode survei karena memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki metode survei yang lain.

Internet mengalami perkembangan yang cepat sejak ditemukan pada akhir tahun 1960-an, baik dari segi teknologi maupun fungsi. Pengaruh ini juga terlihat dalam penggunaannya sebagai media survei. Selama abad ke duapuluh, terdapat kemajuan besar dalam teknik dan teknologi yang digunakan dalam penelitian survei, mulai dari sampling sistematis sampai dengan peningkatan desain kuesioner dan analisis data dengan komputer (Evans dan Mathur 2005). Menurut Schonlau et al. (2001), teknologi telah merevolusi cara mengelola survei yang ditandai dengan munculnya survei

email pertama pada tahun 1980 dan survei berbasis web pada awal tahun 1990-an. Survei dengan

media email maupun dengan web memiliki cakupan wilayah yang lebih luas daripada survei metode konvensional biasa. Survei tersebut dapat dilakukan lintas negara, sehingga memperoleh sampel yang lebih banyak dan beragam.

Penggunaan internet sebagai media survei dapat diterapkan pada beberapa bidang. Penelitian berbasis survei merupakan pilihan praktis dalam penelitian bidang sosial untuk mengelola kuesioner yang murah dan praktis pada berbagai populasi (Sepulveda 2009). Akhir-akhir ini survei berbasis web digunakan sebagai media untuk memperoleh data bagi suatu perusahaan. Umumnya, survei secara

online diterapkan untuk customer satisfaction survey. Sebagai suatu klausa pengontrolan yang wajib

dalam ISO 9001:2008, customer satisfaction wajib dilakukan oleh semua produsen, baik yang berupa produk maupun jasa. Menurut Grossnickle dan Raskin (2001) diacu dalam Evans dan Mathur (2005), alat-alat survei online dapat memenuhi kebutuhan dari riset pasar profesional. Perusahaan dapat dengan lebih cepat dan murah memperoleh informasi mengenai produk atau jasa yang mereka produksi. Survei ini mempermudah dan mempercepat perusahaan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen.

Banyak website yang menyediakan fasilitas survei online, tentunya dengan biaya yang beragam sesuai dengan fitur yang ditawarkan. Namun, ada pula website yang menyediakan fasilitas survei online secara gratis. Website survei online berbayar umumnya memiliki tampilan bentuk kuesioner yang lebih baik dan menarik, disertai dengan gambar dan animasi. Beberapa website survei

online juga dilengkapi dengan output yang berupa hasil analisis data statistik. Contoh alamat website

(15)

Tabel 5. Alamat website penyedia fasilitas survei online

No Nama Website Alamat Website

1 Freeonlinesurveys.com http://www.freeonlinesurveys.com

2 Survey Monkey http://www.surveymonkey.com/

3 QuestionPro http://www.questionpro.com/

4 Object Planet http://www.objectplanet.com/

5 Surveygizmo http://www.surveygizmo.com/

6 Kwik Survey http://www.kwiksurveys.com/

7 Createsurvey http://www.createsurvey.com/

8 Smart-Survey http://www.smart-survey.co.uk/

9 Question Star http://www.questionstar.com/en-us/

10 Zoomerang http://www.zoomerang.com/online-surveys/

11 Surveygalaxy http://www.surveygalaxy.com/

12 Survs http://www.survs.com/

13 Vanguard Vista http://www.vista-survey.com/default.htm

14 HostedSurvey http://www.hostedsurvey.com/home.html

15 Inquisite http://inquisite.com/

16 Survey Connect http://surveyconnect.com/

17 Survey Gold http://surveygold.com/

18 Surveytracker http://www.surveytracker.com/

19 Survey Writer http://www.surveywriter.com/home/index.html

20 Qualtricks http://www.qualtrics.com/

21 Google https://docs.google.com/

Survei online atau survei berbasis web memiliki beberapa keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan website untuk menulis data secara langsung ke dalam database setelah dilakukan submisi (Goldby et al. 2001). Hal ini dapat mengurangi kesalahan input data manual pada survei konvensional saat pemindahan data pada lembar kertas kuesioner ke dalam database agar dapat dianalisis atau diproses lebih lanjut. Seringkali dalam input data tersebut terjadi kesalahan pengkodean dan sulit untuk dilakukan koreksi, terlebih apabila mempunyai jumlah sampel yang sangat banyak. Dengan kata lain, metode input ke dalam database pada survei online dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.

Kelebihan lain dari survei online adalah waktu pengisian yang lebih fleksibel. Responden dapat mengisi kuesioner kapanpun ketika ada waktu luang. Responden dapat mengambil waktu sebanyak yang mereka butuhkan untuk menjawab kuesioner (Evans dan Mathur 2005). Survei secara online mendukung anonimitas dan dapat menghindari adanya efek penyurvei. Kadang-kadang responden merasa tidak bebas dalam mengisi kuesioner di dekat penyurvei. Menurut Van Selm dan Jankowski (2006) diacu dalam Sepulveda (2009), adanya sifat anonimitas pada survei online memungkinkan responden merasa aman untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat mereka.

Survei secara online memiliki kekurangan yaitu sampel yang digunakan bersifat spesifik terhadap populasi tertentu. Hal ini karena media yang digunakan (komputer dan internet) belum dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Keunggulan utama dan potensi kelemahan dari survei secara online dapat dilihat pada Gambar 6, sedangkan solusi yang mungkin untuk mengatasi potensi kelemahan pada survei online dapat dilihat pada Gambar 7.

(16)

Gambar 6. Keunggulan dan kelemahan survei online (Evans dan Mathur 2005)

Dalam melakukan survei online perlu diperhatikan beberapa hal agar sampel yang digunakan sesuai target survei. Umumnya, survei online dilakukan terhadap responden dari panel yang telah menyetujui ikut bergabung dalam riset pasar (Duffy et al. 2005). Artinya, responden yang digunakan pada survei online bersifat sukarela. Menurut Terhanian (2003) diacu dalam Duffy et al. (2005), terdapat tiga persoalan yang menyangkut sampling pada survei online. Pertama, survei hanya menjangkau responden yang memiliki jaringan internet (online). Kedua, survei hanya menjangkau responden yang benar-benar menyetujui untuk ikut menjadi bagian dari panel. Ketiga, tidak semua responden yang ikut dalam panel memberikan respon terhadap survei. Hal ini berkaitan dengan cara rekruitmen responden yang bersifat volunter (sukarela). Responden memiliki kebebasan untuk menyelesaikan survei secara keseluruhan, memulai mengisi kuesioner tetapi tidak menyelesaikannya, atau mengabaikan survei sama sekali (Evans dan Mathur 2005).

Persepsi sebagai “junk mail” Populasinya hanya

pengguna internet

Pemilihan sampel Pengetahuan internet rendah

Variasi teknologi Instruksi kurang jelas

Impersonal Isu privasi Tingkat respon rendah

Potensi Kelemahan

Atribut Survei Online Jangkauan global

Daya tarik bisnis dan konsumen

Fleksibilitas Efisiensi waktu Inovasi teknologi

Kenyamanan Kemudahan input data Keragaman pertanyaan

Biaya murah Kemudahan follow-up

Sampling terkontrol Sampel besar mudah didapat

Jawaban teratur Jawaban lengkap Kemampuan “Go To” Karakter pengetahuan responden vs non responden

(17)

Gambar 7. Solusi untuk mengurangi kelemahan survei secara online (Evans dan Mathur 2005)

E-mail dengan link kuesioner

Keseimbangan demografi Sampel random Instruksi dan jawaban mudah

Standar warna dan dimensi layar, teknologi pop-up

Pre-test, teknologi pop-up

Respon timbal balik

Batasi kontak, memberikan insentif, teknik survei yang baik

Solusi yang Mungkin

Kuesioner jelas, aturan kuesioner yang mudah

Persepsi sebagai “junk mail” Populasi terbatas Pemilihan sampel Pengetahuan internet rendah

Variasi teknologi

Instruksi kurang jelas

Impersonal

Isu privasi

Tingkat respon rendah Potensi Kelemahan

Gambar

Gambar 1. Model proses persepsi mutu Steenkamp (Lazarova 2010)
Gambar 2. Model Total Food Quality (Grunert 2005)
Gambar 3. Kerangka kerja mutu (Caswell 2000)
Gambar 4. Atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik (Caswell 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai utilitas diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap atribut-atribut suatu produk yang diprediksikan memberikan kepuasan produk tersebut, sehingga berfungsi

Model analisis Kano adalah teori yang digunakan dalam proses pengembangan produk, berkaitan dengan hubungan antara kepuasan pelanggan dengan bagaimana atribut-atribut suatu

Salah satu perhatian dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat terhadap pangan yang berasal dari hewan adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui produk-produk

Sisten jaminan mutu dan keamanan pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan dan atau pengawasan yang dilakukan terhadap proses produksi

Menganalisis kebutuhan konsumen akan mutu produk dan layanan melahi evaluasi penerimaan konsumen (3). Mendapatkan model matematis pengaruh atribut mutu produk dan

• PENTING UTK SIFAT MUTU PRODUK PANGAN: BENTUK

Penerapan Jaminan Mutu Produk Tanaman Pangan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan days saing produk hasil pertanian melalui mekanisme penjaminan mutu dalam bentuk

SYARAT MUTU DAN KEAMANAN PANGAN KERUPUK DI KOTA TANJUNGPINANG SKRIPSI DALAM BIDANG TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana