• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN KOMPOSISI TUBUH SAPI POTONG LOKAL YANG DIBERI RANSUM BERBASIS HIJAUAN TINGGI DENGAN METODE UREA SPACE SKRIPSI HOTNITA JULIANTI PURBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN KOMPOSISI TUBUH SAPI POTONG LOKAL YANG DIBERI RANSUM BERBASIS HIJAUAN TINGGI DENGAN METODE UREA SPACE SKRIPSI HOTNITA JULIANTI PURBA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN KOMPOSISI TUBUH SAPI POTONG LOKAL

YANG DIBERI RANSUM BERBASIS HIJAUAN TINGGI

DENGAN METODE UREA SPACE

SKRIPSI

HOTNITA JULIANTI PURBA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

HOTNITA JULIANTI PURBA. D14086014. 2010. Pendugaan Komposisi Tubuh

Sapi Potong Lokal yang Diberi Ransum Berbasis Hijauan Tinggi dengan Metode Urea Space. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S.

Produktivitas sapi potong lokal di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini disebabkan rendahnya kualitas pakan yang diberikan oleh peternak dan kurangnya perencanaan terhadap target produksi. Ransum berbasis hijauan tinggi merupakan komponen pakan utama sapi lokal (rakyat). Komponen pakan yang diberikan sangat mempengaruhi komposisi kimiawi tubuh ternak. Komposisi kimiawi yang ada di dalam tubuh ternak terdiri dari air, lemak, protein, dan abu. Beberapa komposisi tubuh tersebut akan berubah sesuai dengan perubahan faktor fisiologis dan kemampuan pertumbuhan ternak.

Informasi komposisi tubuh ternak akan memberikan banyak manfaat baik bagi peternak, peneliti, maupun industri. Pendugaan komposisi tubuh ternak yang dilakukan dalam kondisi masih hidup akan memberi keuntungan yaitu dapat menentukan waktu yang tepat untuk melakukan pemotongan ternak. Selain itu, komposisi tubuh menjadi faktor penting dalam menentukan manajemen pemberian pakan yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi komposisi tubuh sapi potong lokal yang diberi ransum berbasis hijauan tinggi dengan metode urea space (US). Teknik pendugaan yang sudah dicobakan sebelumnya oleh para peneliti adalah dengan menggunakan bahan kimia urea yang diinjeksikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah. Teknik ini dikenal dengan metode urea space. Metode ini mudah dilakukan dengan biaya yang relatif murah, tidak mengganggu metabolisme di dalam tubuh dan tanpa harus memotong ternak.

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan di Laboratorium Lapang, Fakultas Peternakan, menggunakan 18 ekor sapi jantan Peranakan Ongole (PO) dengan rataan bobot badan 234±27,59 kg dan berumur 1,5-1,8 tahun. Ransum diberikan dengan rasio hijauan dan konsentrat 70:30 pada keseluruhan ternak. Pada akhir pengamatan, sapi diinjeksi larutan urea 20% sebanyak 0,65 ml/kg bobot metabolisnya. Peubah yang diamati adalah air, lemak, dan protein tubuh. Rancangan penelitian yang digunakan adalah korelasi dan regresi linear sederhana. Peubah air tubuh (%) dikorelasikan dengan lemak tubuh, dan protein tubuh (%), dan peubah lemak tubuh dikorelasikan dengan protein tubuh. Total lemak dan protein tubuh (kg) dikorelasikan dengan bobot badan (kg). Air tubuh (AT) dapat digunakan sebagai penduga lemak tubuh (YLT) dan protein tubuh (YPT) sapi PO.

Hasil komposisi tubuh berupa air, lemak, dan protein tubuh pada sapi potong lokal yang diberi ransum berbasis hijauan tinggi dengan metode pendekatan US berturut-turut 60,47%, 14,44%, dan 15,90%. Hubungan linear antara air tubuh dengan lemak dan protein tubuh, protein dengan lemak tubuh, bobot badan dengan total protein dan lemak tubuh berturut-turut mengikuti persamaan sebagai berikut: YLT (%) = 139,8 - 2,073 AT dengan r = -0,997; YPT (%) = -21,52 + 0,6187 AT dengan r = 0,991; YLT (%) = 65,40 - 3,206 PT dengan r = -0,987; YTLT (kg) =

(3)

-0,00929 + 0,144 BB dengan r = 1; dan YTPT (kg) = -0,00834+ 0,159 BB dengan r = 1. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ransum berbasis hijauan tinggi pada sapi potong lokal mempengaruhi komposisi tubuh dengan adanya korelasi yang kuat antara total lemak tubuh dengan bobot badan. Ada hubungan yang erat antara protein tubuh dengan lemak tubuh, semakin tinggi protein tubuh maka lemak tubuh menurun.

(4)

ABSTRACT

Estimation of Body Composition of Local Beef Cattle Fed High Forage-Based Ration Using Urea Space Method

Purba, H.J., P.H. Siagian, and D.A. Astuti

The body composition of livestock provides several information benefits for stockman, researchers, and industries. The prediction of body composition of living livestock give an advantage to determine the right time of slaughtering the cattle an plays an important factor in determining the feeding management to meet the requirement of the cattle. This study purposed to evaluate the body composition of the local beef cattle fed high forage-based rations through the method of urea space (US). The technique of prediction has been previously tested by researchers that applied the chemical substance such as urea into the body through the blood vessels. This technique is widely known as urea space method. This method is quite simply as it is done with relatively low cost and does not interfere with metabolism in the body and without slaughtering the animal. This current research was conducted for one month using 18 bulls of Ongole Cross Breed with the average body weight of 234±27.59 kg and age 1.5 to 1.8 years old. The given ration followed the ratio of 70:30 for forage and concentrate, respectively. At the end of the observation, bulls were injected with a solution of 20% urea which is equal to 0.65 ml/kg metabolic body weight. The variables observed were percentage of water, fat, and protein of the body. The total of body fat and protein (kg) correlated with the body weight (kg). The body water (BW) can be used to estimate the body fat (YBF) and body protein (YBP) of the bulls. The estimation of body composition (such as body water, fat and protein) of local beef cattle fed high forage-based ration by US method resulted in 60.47%, 14.44% and 15.90%, respectively. The equations between body water (%BW), body fat (%BF), and body protein (%BP) were: YBF = 139.8 – 2.073 BW (r = -0.997); YBP = -21.52 + 0,6187 BW (r = 0.991) and YBF = 65.40 – 3.206 BP (r = -0.987). In addition, the equations between empty body weight (EBW), total body fat (TBF) and total body protein (TBP) were: YTBF = -0.00929 + 0.144 EBW (r = 1); YTBP = -0.00834 + 0.159 EBW (r = 1). As conclusion, there was a close relation between percentage of body protein and body fat to body water as well as body fat to body protein.

(5)

PENDUGAAN KOMPOSISI TUBUH SAPI POTONG LOKAL

YANG DIBERI RANSUM BERBASIS HIJAUAN TINGGI

DENGAN METODE UREA SPACE

HOTNITA JULIANTI PURBA D14086014

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(6)

Judul : Pendugaan Komposisi Tubuh Sapi Potong Lokal yang Diberi Ransum Berbasis Hijauan Tinggi dengan Metode Urea Space

Nama : Hotnita Julianti Purba NIM : D14086014

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S.) (Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S.) NIP: 19460825 197711 1 001 NIP: 19611005 198503 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak J. Purba dan Ibu R. Saragih. Pendidikan Penulis diawali dari tingkat dasar pada tahun 1993 di Sekolah Mardi Yuana Depok, lanjutan tingkat pertama pada tahun 1999 di Sekolah Putra Bangsa Depok, dan menengah atas pada tahun 2002 di PSKD 7 Depok.

Pada tahun 2005 Penulis berkesempatan mengikuti pendidikan Diploma di Institut Pertanian Bogor melalui jalur reguler, jurusan Teknologi dan Manajemen Ternak. Penulis melanjutkan studi pada tahun 2008 dibidang yang sama, jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di bidang Komisi Pelayanan Siswa (KPS). Tahun 2007 Penulis berkesempatan mengajar di SMK PGRI 3 sebagai guru bantu pelajaran pendidikan Agama. Penulis mengikuti program magang di PT. Greenfields Indonesia, Malang pada tahun 2008.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cinta kasihNya yang selalu dicurahkan sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi, seminar, penelitian, dan penyusunan skripsi tepat waktu. Skripsi ini berjudul “Pendugaan Komposisi Tubuh Sapi Potong Lokal yang Diberi Ransum Berbasis Hijauan Tinggi dengan Metode Urea Space”, yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana peternakan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripisi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai komposisi tubuh (air, lemak, dan protein) sapi potong lokal yang diberi ransum berbasis hijauan tinggi. Metode pengukuran komposisi tubuh dengan menggunakan bahan kimia urea merupakan salah satu metode yang tepat dan dapat digunakan selama ternak masih hidup. Pengetahuan komposisi tubuh ternak dapat memberi informasi untuk menentukan waktu pemotongan ternak yang tepat, dan dapat dijadikan faktor penting dalam manajemen pemberian pakan.

Penulis berharap karya kecil ini bermanfaat secara umum dalam dunia peternakan, dan khususnya dalam upaya peningkatan produktivitas sapi potong lokal sebagai penghasil daging yang kompetitif di Indonesia.

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Sapi Potong ... 3 Komposisi Tubuh ... 4 Air ... 7 Lemak ... 8 Protein ... 9

Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh ... 11

Komposisi Tubuh Ternak dengan Metode Urea Space ... 13

MATERI DAN METODE ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Ternak dan Kandang ... 16

Bahan dan Peralatan ... 16

Ransum ... 16

Prosedur ... 17

Pemeliharaan ... 17

Pengambilan Darah ... 17

Pengukuran dengan Metode Urea Space ... 18

Pengukuran Komposisi Tubuh ... 19

Rancangan ... 20

Peubah ... 20

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Keadaan Umum Penelitian ... 21

Komposisi Tubuh ... 22

Hubungan Persen Air Tubuh dengan Lemak Tubuh ... 25

Hubungan Persen Air Tubuh dengan Protein Tubuh ... 28

Hubungan Lemak Tubuh dengan Protein Tubuh ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran... 32

UCAPAN TERIMA KASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Tubuh Sapi ... 6

2. Hasil Analisis Proksimat Bahan ... 17

3. Hasil Pengukuran Komposisi Tubuh dengan Metode Urea Space ... 22

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Sapi Peranakan Ongole ... 4

2. Korelasi Air Tubuh dengan Lemak Tubuh ... 26

3. Korelasi Bobot Badan dengan Total Lemak Tubuh ... 27

4. Korelasi Air Tubuh dengan Protein Tubuh ... 28

5. Korelasi Bobot Badan dengan Total Protein Tubuh ... 29

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar Sidik Ragam Air Tubuh vs. Lemak Tubuh ... 39

2. Daftar Sidik Ragam Air Tubuh vs. Protein Tubuh ... 39

3. Daftar Sidik Ragam Lemak Tubuh vs. Protein Tubuh ... 39

4. Daftar Sidik Ragam Bobot Badan vs. Lemak Tubuh ... 39

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produktivitas ternak lokal terutama sapi Peranakan Ongole (PO) di Indonesia masih sangat rendah (Purnomoadi et al., 2007), sehingga membuat peternak-peternak rakyat sebagian besar kurang makmur. Hal ini disebabkan kualitas pakan yang diberikan masih kurang baik dan tidak adanya perencanaan berupa target produksi di kalangan peternak sehingga produktivitas menjadi lambat dan produksi kurang efisien. Produktivitas yang lambat ini disebabkan oleh minimnya wawasan peternak mengenai kualitas pakan yang baik. Menurut Stiir dan Horne (2001), komponen pakan utama sapi rakyat adalah hijauan. Dengan mengandalkan hijauan pada lahan kosong atau pinggir jalan, peternak memberi makan sapinya dengan menggunakan sistem potong angkut (cut and carry).

Sebesar 60% aspek pakan merupakan salah satu dari faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak sapi. Produktivitas ternak sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 70% dan 30% faktor genetik. Dilihat dari faktor fisiologi ternak, produktivitas sapi juga dipengaruhi oleh umur dan kemampuan pertumbuhan sapi, yang kemudian akan menyebabkan perubahan terhadap komposisi utama kimiawi tubuh ternak seperti air, lemak, dan protein tubuh. Menurut Sutardi (1980), sebagian besar tubuh ternak dewasa mengandung 50%-60% air tubuh. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Frandson (1996) bahwa kandungan air pada sapi menurun dari 95% pada embrio menjadi 40%-60% pada umur dewasa. Menurut Sutardi (1980) kadar air mempunyai hubungan negatif terhadap kadar lemak. Parakkasi (1999) menyatakan kadar lemak tubuh berkisar antara 5%-40%. Lemak dan protein tubuh berperan penting dalam pertumbuhan ternak. Kandungan protein tubuh sapi jantan berkisar antara 12,4%-20,6% (Berg dan Butterfield, 1976). Secara umum, kebutuhan protein akan meningkat sejalan dengan umur pada ternak yang sedang tumbuh menuju dewasa.

Pemahaman tentang komposisi tubuh ternak akan memberikan banyak manfaat. Pendugaan komposisi tubuh ternak semasa hidup dapat digunakan untuk menentukan waktu yang tepat melakukan pemotongan ternak, agar hasil yang diperoleh maksimal. Selain itu dalam pemanfaatannya, komposisi tubuh dapat menjadi faktor penting dalam menentukan manajemen pakan yang disesuaikan

(15)

2 dengan kebutuhan masing-masing ternak. Teknik pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu teknik pemotongan dan teknik pendugaan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat didapat dari teknik pemotongan. Cara ini mudah dilakukan pada hewan laboratorium, namun akan membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan biaya jika diaplikasikan pada hewan atau ternak besar. Pengukuran dengan teknik pendugaan dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan perunut.

Beberapa bahan kimia yang digunakan sebagai perunut sudah dikembangkan untuk menilai komposisi tubuh seperti urea untuk metode urea space, tritium untuk

water space, antipirin untuk antipyrine space, amino antipirin untuk NAAP (n-acetyl-4 amino-antypirine) dan deuterium (D2O) untuk deuterium space tanpa mengganggu kehidupan hewannya (Bartle et al., 1983; Rule et al., 1986). Adapun ruang urea (urea space) merupakan perunut (tracer) yang lebih dianjurkan dalam menilai komposisi tubuh (Bartle et al., 1987) karena lebih aman dan murah. Prinsip urea sebagai perunut bersifat seperti air yang dapat masuk keseluruh sel tubuh sehingga jumlah urea yang beredar dalam tubuh sama dengan jumlah air tubuh.

Urea merupakan bahan kimia sebagai perunut yang sesuai untuk menilai atau memperkirakan komposisi tubuh dan sudah dinyatakan serupa dengan deuterium

oxide sebagaimana perunut yang digunakan untuk menilai komposisi tubuh pada

manusia (San Pietro dan Rittenberg, 1953). Teknik pengenceran urea ini dapat diaplikasikan untuk studi penelitian dan industri yang memiliki tujuan untuk mengukur komposisi tubuh selama pertumbuhan ternak. Komposisi tubuh sapi lokal yang diberi ransum berbasis hijauan tinggi belum diketahui. Sejalan dengan hal ini metode urea space diharapkan dapat memberi gambaran mengenai komposisi tubuh sapi lokal yang diberi ransum berbasis hijauan tinggi tanpa memotong ternaknya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komposisi tubuh ternak sapi potong lokal di Indonesia yang diberi ransum hijauan tinggi dengan pendekatan pengukuran menggunakan metode urea space (ruang urea) serta melihat keeratan hubungan antara air tubuh terhadap lemak, dan protein tubuh.

(16)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Potong

Sapi tipe potong adalah sapi-sapi yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi daging dengan cepat, pembentukan karkas baik dengan komposisi perbandingan protein dan lemak seimbang hingga umur tertentu. Sapi-sapi yang termasuk dalam tipe sapi potong diantaranya: Sapi Brahman, Ongole, Sumba Ongole (SO), Hereford, Shorthon, Brangus, Aberdeen Angus, Santa Gertrudis, Droughtmaster, Australian Commercial Cross (ACC), Sahiwal Cross, Limousin, Simmental, dan Peranakan Ongole (PO). Sapi Brahman, Ongole, SO, dan PO merupakan sapi potong spesies Bos indicus yang mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan panas. Selebihnya tergolong ke dalam spesies Bos taurus yang mampu berkembangbiak di daerah sub tropis. Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu, masing-masing mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan).

Sapi-sapi lokal saat ini yang dijadikan sebagai sumber daging adalah Sapi Bali, Ongole, PO, dan Sapi Madura yang banyak terdapat di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi. Selain itu Sapi Aceh juga banyak diekspor ke Malaysia (Jacoeb dan Munandar, 1991). Dari populasi sapi potong yang ada, dan penyebarannya dianggap merata masing-masing adalah: Sapi Bali, PO, Madura, dan Sapi Brahman. Berat badan Sapi Bali mencapai 300-400 kg, dan persentase karkasnya 56,9%. Sapi Madura banyak digunakan untuk lomba pacuan yang dikenal dengan karapan sapi, dengan rataan bobot jantan 300 kg dan betina 250 kg. Keistimewaan sapi lokal adalah tidak terlalu selektif terhadap pakan yang diberikan, jenis pakan (rumput dan pakan tambahan) apapun akan dimakannya, termasuk pakan yang jelek sekalipun. Sapi potong ini juga lebih kebal terhadap gigitan caplak dan nyamuk serta tahan panas (Djarijah, 1996).

Salah satu sapi lokal yang ada di Indonesia adalah sapi PO (Gambar 1) yang merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Ongole dengan sapi lokal di pulau Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara grading up (Nugroho, 2008). Ciri khas sapi ini berpunuk, bergelambir besar, dan berleher pendek, kulit disekeliling

(17)

4 mata, bulu mata, moncong, kuku, dan bulu cambuk pada ujung ekor berwarna hitam, kepala pendek dengan profil melengkung dan mata besar dengan sorot yang tenang, tanduk pendek pada pejantan, sedangkan pada betina berukuran lebih panjang serta memiliki telinga yang panjang dan menggantung (Nugroho, 2008). Sapi PO adalah salah satu sapi tipe kerja yang baik, tahan dalam kondisi yang buruk, dengan kemampuan adaptasi tinggi terhadap lingkungan tropis. Sapi lokal ini banyak dipelihara oleh peternak rakyat karena dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai makanannya dan penghasil tenaga bagi peternak selain itu limbahnya dapat digunakan sebagai penyubur tanaman. Rataan pertambahan bobot badan harian sapi PO umur 1,5-2 tahun yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat dengan rasio 30:70 adalah 770 g/e/h (Ngadiyono dan Baliarti, 2001). Persentase karkasnya mencapai 45%-55% dari bobot badan.

Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole

Komposisi Tubuh

Tubuh hewan dibangun dari zat-zat makanannya. Komponen penyusun utama kimiawi tubuh terdiri dari air, lemak, protein, dan mineral (abu). Rasio masing-masing komponen tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya jenis ternak, bobot badan, umur, jenis kelamin, dan status nutrisi. Komposisi tubuh dapat mengindikasikan kemampuan ternak dalam merespon nutrien yang dikonsumsinya. Selain itu, komposisi tubuh juga merupakan cerminan dari makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut Pond et al. (2005), komposisi tubuh sapi dewasa terdiri atas 60% air, 20% lemak, dan 16% protein tubuh. Sementara peneliti lain menyatakan komposisi tubuh sapi dewasa terdiri atas 40%-80% air, 50% lemak, dan 12%-20% protein (Berg dan Butterfield, 1976). Dilihat dari persentase komposisi tubuh tersebut, nutrien berperan penting dalam memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan tubuh. Sementara menurut Riis (1983), total protein tubuh ternak dewasa

(18)

5 mencapai 15%-18% dari berat tubuh. Riis (1983) juga menganalisis karkas babi, sapi, domba dan ayam yang menunjukkan bahwa konsentrasi protein pada karkas bebas lemak sebesar 21% dan nilainya bervariasi tergantung ukuran karkasnya.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan komposisi tubuh dan juga sangat menentukan pertumbuhan adalah status nutrisi. Nutrisi didapatkan dari bahan pakan yang dikonsumsi oleh sapi. Kualitas pakan yang baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, akan mempercepat pertumbuhan seekor ternak. Sebagian besar bahan pakan pada ternak ruminansia berasal dari bahan makanan nabati, walaupun bahan makanan hewani cukup banyak macamnya, tetapi jumlah dan jenisnya tidak sebanyak bahan makanan nabati. Bahan makanan tersebut dibutuhkan sapi sebagai energi untuk hidup pokok dan produksi. Energi didapat dari zat-zat makanan yang dikonsumsinya. Sumber energi utama untuk sapi adalah serat kasar yang dipenuhi dari hijauan sebanyak 80% dari seluruh makanannya. Kandungan serat kasar banyak terdapat dalam bahan pakan nabati seperti hijauan dan jenis kacang-kacangan (leguminosa).

Di saluran pencernaan ruminansia, pakan berupa serat kasar yang masuk ke dalam rumen akan difermentasi oleh mikroba yang terdapat di dalamnya. Hasil dari fermentasi tersebut adalah asam asetat, propionat, dan butirat. Ketiga asam ini disebut dengan volatile fatty acids (VFA) yang digunakan sebagai sumber energi bagi tubuh. Sebagian besar VFA tersebut langsung diserap oleh dinding rumen, abomasum, dan masuk usus halus lalu diserap masuk ke dalam peredaran darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Selain itu, fermentasi dalam rumen juga menghasilkan gas metan, karbondioksida, dan panas untuk tubuh (Perry et al., 2003). Makanan yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan lebih banyak asam asetat yang akan dimanfaatkan oleh tubuh sebagai lemak susu bagi ternak perah, sementara asam propionat lebih banyak dihasilkan dari makanan yang mengandung biji-bijian (konsentrat tinggi) yang akan ditransfer ke jaringan otot dan adiposa (Pond et al., 2005). Komponen utama pakan sapi lokal adalah hijauan (Reksohadiprodjo, 1987; Stiir dan Horne, 2001) yang akan menghasilkan asam asetat dalam jumlah banyak. Pada sapi pedaging asam asetat digunakan sebagai sumber energi berupa glikogen.

Mikroorganisme dalam rumen tidak hanya mengubah serat kasar menjadi VFA, bakteri dan protozoa juga berperan memecahkan protein pakan. Protein pakan

(19)

6 yang didegradasi menjadi peptida dan dikatabolisme menjadi asam amino, amonia, asam lemak, dan CO2. Asam-asam amino akan masuk ke dalam peredaran darah dan terus diedarkan ke seluruh bagian tubuh dan jaringan yang membutuhkan (Anggorodi, 1994). Pencernaan makanan dalam rumen juga dibantu oleh enzim-enzim seperti, protease, selulase, dan lipase di dalam usus. Lemak umumnya tidak banyak dikonsumsi oleh ternak ruminansia, karena kandungannya yang rendah pada hijauan seperti rumput. Beberapa lemak tidak didegradasi oleh mikroorganisme, hanya saja saat kandungannya di dalam pakan rendah, mikroorganisme akan merubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak tak jenuh yang umumnya dihasilkan dari hijauan akan dirubah oleh mikroorganisme menjadi asam lemak jenuh. Kedua asam ini bersama-sama disintesis sebagai lemak susu dan lemak tubuh (Pond et al., 2005). Komposisi tubuh kosong ternak sapi menurut Maynard dan Loosli (1979) tertera pada Tabel 1.

Tabel. 1 Komposisi Tubuh Sapi

Status Air (%) Protein (%) Lemak (%)

Anak sapi saat lahir 74 19 3

Anak sapi gemuk 68 18 10

Sapi jantan kebiri, kurus 64 19 12

Sapi jantan kebiri, gemuk 43 13 41

Sumber: Maynard dan Loosli (1979)

Tabel 1 dapat menjelaskan bahwa sebagian besar tubuh ternak terdiri dari air, hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1994). Pernyataan ini dapat memberi petunjuk tentang pentingnya peranan air dalam memelihara kelangsungan hidup dan proses produksi. Kebutuhan air untuk ternak selalu diperhatikan, bahkan harus diberikan ad libitum. Status fisiologis dari ternak akan mempengaruhi kebutuhan air minum. Seekor sapi laktasi pertama rata-rata membutuhkan tambahan air minum sebanyak 4-5 liter untuk menghasilkan setiap liter air susu. Jika air bersih tersedia setiap saat, seekor sapi laktasi dapat minum setidaknya 20 kali dalam sehari (Sutardi, 1980). Manfaat air bagi sapi potong sangat penting untuk membantu mengedarkan zat-zat makanan yang penting bagi tubuh.

(20)

7

Air

Air merupakan nutrien yang paling esensial bagi makhluk hidup, karena sekitar 75% dari jaringan-jaringan yang bebas lemak disusun oleh air (Tillman et al., 1991). Anggorodi (1994) juga menambahkan lebih dari 50% komposisi tubuh terdiri dari air. Air masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman, lalu diekskresikan melalui keringat, pernafasan, feses, dan urin (Church et al., 1971). Menurut Pilliang dan Djojosoebagio (2006) dan Parakkasi (1999) air memiliki beberapa fungsi, diantaranya: 1) pengatur temperatur tubuh; 2) pelarut zat-zat makanan yang ada dalam tubuh, 3) mengedarkan zat-zat makanan, dan 4) mengatur fungsi osmosis dalam sel.

Air yang digunakan oleh ternak berasal dari air minum, air dalam bahan makanan, dan air metabolik (Parakkasi, 1999). Air dari bahan makanan sangat bervariasi sekitar 5%-80%. Hijauan segar (rumput dan leguminosa) memiliki kadar air kurang lebih 75%-90%. Sementara kadar air yang dimiliki konsentrat berkisar 12%-25%. Church et al. (1971) menyatakan bahwa variasi kadar air tubuh dipengaruhi oleh umur dan lemak tubuh. Hanya saja komposisinya relatif tetap pada beberapa spesies ternak (sapi, domba, babi, ayam, dan ikan).

Selain umur dan lemak tubuh, kandungan air tubuh juga dipengaruhi oleh bobot badan, luas permukaan tubuh, konsumsi bahan kering, dan temperatur lingkungan. Konsumsi air akan meningkat bila konsumsi bahan kering meningkat. Air lebih banyak dibutuhkan untuk memetabolisme zat-zat makanan di dalam tubuh yang masuk melalui makanan. Salah satunya adalah protein, semakin banyak protein yang dikonsumsi, maka konsumsi air semakin meningkat. Begitu juga dengan temperatur lingkungan yang berubah menyebabkan konsumsi bahan kering menurun, sementara konsumsi air akan terus meningkat (Parakkasi, 1999).

Proporsi air tubuh pada ternak tersebar di dalam sel (intraseluler) sebanyak 40% dan 17%-30% berada di luar sel (ekstraseluler) yang terdiri atas 6% plasma darah, cairan limfa, sinovial, dan cerebrospinal. Sisanya kurang lebih 30% air terdapat di saluran pencernaan dan ginjal (Church et al., 1971). Banyaknya air yang tersebar di seluruh tubuh memacu ternak mengonsumsi air minum. Jika kebutuhan air minum tidak terpenuhi (dibatasi), ternak langsung memberikan respon dengan cepat, menunjukkan tingkah laku yang gelisah, menjilati tempat minum, dan

(21)

8 sebagainya (Phillips, 2002). Pembatasan air akan mengurangi feed intake, terutama dalam kondisi lingkungan yang panas. Menurut Tillman et al. (1991), kebutuhan air pada sapi potong yang sedang tumbuh sekitar 4,7 liter/kg bahan kering (BK) yang dikonsumsi. Sapi dewasa membutuhkan 3-6 liter air untuk satu kg bahan kering (Soegiri et al., 1981). Sementara untuk sapi yang sedang bunting membutuhkan 7,1 liter/kg BK dan sapi yang sedang menyusui membutuhkan 4-5 liter air untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan.

Kadar air tubuh erat hubungannya dengan umur. Kadar air tubuh menurun dengan bertambahnya umur. Kadar air pada embrio sapi kurang lebih 95%, sedangkan setelah dilahirkan kadar airnya turun menjadi 75%-80%. Pada anakan sapi umur lima bulan turun menjadi 66%-77% dan akhirnya menjadi 50%-60% pada saat dewasa (Sutardi, 1980). Semakin tua maka kadar air semakin menurun, sedangkan kadar lemak cenderung meningkat. Ternak yang lebih muda akan lebih mampu menggunakan zat-zat makanan yang diperolehnya untuk membangun tubuhnya. Sedangkan hewan yang lebih tua, energi di dalam tubuh akan digunakan sebagai hidup pokok, selebihnya akan menjadi lemak tubuh. Hal lain yang diperlihatkan pada Tabel 1 adalah kadar air mempunyai hubungan yang negatif dengan kadar lemak baik pada ternak yang sedang tumbuh maupun dewasa. Jika hewan bertambah kadar lemaknya maka kadar airnya berkurang. Sesuai pendapat Pond et al. (2005) bahwa penentu komposisi tubuh ternak yaitu konsentrasi air dan lemak memiliki hubungan berbanding terbalik. Tillman et al. (1991) menyatakan jika komposisi salah satunya meningkat maka akan terjadi penurunan pada salah satu atau dua komposisi lainnya.

Lemak

Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air, melainkan larut dalam senyawa organik lainnya. Lemak yang terdapat dalam bahan makanan akan dicerna oleh tubuh dan dirubah menjadi energi. Dari satu gram lemak dapat menghasilkan 9,45 kilokalori, hal ini dapat dikatakan lemak merupakan penyumbang energi terbesar dari zat makanan lainnya. Komposisi lemak tubuh pada spesies berlambung sederhana sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsinya (Church, 1991). Lemak yang dikonsumsi hewan ruminansia tergolong sedikit, disebabkan kadarnya di dalam pakan hijauan terbatas. Pada saat kandungan lemak dalam ransum yang dikonsumsi sedikit, mikroorganisme dalam

(22)

9 rumen akan menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol (Pond et al., 2005).

Ternak yang mengkonsumsi ransum dengan kadar lemak tinggi (±10%) akan membentuk lemak tubuh secara normal. Jika ternak mengkonsumsi minyak/lemak dari berbagai sumber seperti bungkil kacang tanah, biji matahari, atau ikan, akan menghasilkan lemak tak jenuh dalam tubuh dalam jumlah sedikit. Sapi-sapi yang menghasilkan karkas lean (tak berlemak) cenderung memanfaatkan seluruh energi untuk hidup pokok (Parakkasi, 1999). Penambahan lemak sebanyak 5%-7% dalam ransum tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme tetapi langsung dicerna di dalam usus dengan bantuan enzim lipase (Pond et al., 2005).

Adanya perubahan pakan yang diberikan akan mempengaruhi komposisi lemak tubuh pada ruminansia, hal ini disebabkan efek dari mikroorganisme rumen terhadap bahan pakan. Lemak dalam bahan pakan akan dirubah menjadi asam lemak yang sebagian akan digunakan menjadi lemak karkas dan lemak susu. Hasil perombakan berupa gliserol akan diedarkan ke hati dan digunakan sebagai glukosa. Selain itu fungsi lemak bagi tubuh menurut Pond et al. (2005) adalah 1) menyediakan energi untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi; 2) penyedia asam lemak esensial; 3) transport vitamin yang larut dalam lemak ke jaringan yang membutuhkan dan 4) penyusun membran sel.

Kelebihan lemak dalam tubuh akan disimpan sebagai cadangan lemak yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika tubuh memerlukan energi. Sekitar 50% lemak terdapat di bawah kulit (jaringan lemak), sisanya tersebar di seluruh organ tubuh, ginjal (jumlah terbanyak), membran usus, dan urat daging. Lemak cadangan tidak hanya dibentuk dari lemak yang dikonsumsi, tetapi juga dari karbohidrat dan protein yang berlebih di dalam tubuh.

Protein

Protein adalah senyawa organik yang ada dalam tubuh organisme hidup dan merupakan nutrien yang paling tinggi konsentrasinya di dalam jaringan daging ternak. Untuk kelangsungan hidup dan tujuan-tujuan produktif, sel dalam jaringan tubuh ternak harus mensintesis protein. Menurut Anggorodi (1994), beberapa fungsi protein dalam tubuh diantaranya: 1) pertumbuhan jaringan-jaringan baru; 2) memperbaiki jaringan yang rusak; 3) sebagai antibodi yang berfungsi untuk

(23)

10 mencegah terjadinya infeksi; 4) perkursor enzim-enzim esensial dalam tubuh, dan 5) mengatur keseimbangan air tubuh.

Sebagian besar kandungan protein tubuh terdapat dalam urat daging, tulang rawan, jaringan ikat, kulit, rambut, wol, bulu, kuku, dan tanduk (Pond et al., 2005). Menurut Burke (1980), protein tubuh tersebar 20% pada tulang, 50% pada otot, 5% dalam darah, dan sisanya terdapat pada kulit, organ, dan jaringan lemak. Total protein tubuh pada ternak dewasa menurut Riis (1983) sekitar 15%-18% dari total bobot badan. Protein tubuh pada sapi didapatkan dari pakan yang dikonsumsinya. Beberapa bahan pakan sumber protein yang berasal dari hijauan seperti, leguminosa, hay, dan silase dapat diberikan ke ternak. Bahan pakan tambahan seperti konsentrat juga perlu diberikan seperti bungkil kedelai, bungkil biji kapuk, tepung ikan, gandum, dan tepung jagung. Tinggi rendahnya kualitas protein dalam bahan pakan tergantung dari kandungan asam aminonya. Seekor ternak ruminansia memperoleh protein (asam amino) dari dua sumber utama, yaitu protein mikroba dan protein pakan. Kadar protein pada konsentrat umumnya lebih tinggi daripada hijauan.

Protein pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi oleh mikroba (bakteri, protozoa, fungi). Bakteri ini memiliki enzim protease yang berfungsi merubah protein pakan menjadi peptida. Peptida dikatabolisasi menjadi asam-asam amino yang diedarkan melalui usus halus dan berfungsi sebagai komponen pembentuk jaringan tubuh ternak (Anggorodi, 1994). Beberapa asam amino digunakan oleh mikroba untuk mensintesis protein selnya menjadi protein mikroba dan amonia. Protein ini tidak digunakan untuk sintesis jaringan tubuh. Protein mikroba juga dapat disintesis dari bahan pakan yang mengandung nitrogen bukan protein. Protein mikroba yang dihasilkan di dalam rumen merupakan komponen utama protein yang ada di usus halus (Beever, 1993).

Menurut Damry (2008) sapi membutuhkan asam amino dalam jumlah yang bervariasi. Kebutuhan asam amino tertinggi adalah untuk pertumbuhan awal pada pedet sapi potong yang disapih dini, umur kebuntingan tiga bulan terakhir, dan pada saat laktasi. Sementara kebutuhan asam amino relatif rendah pada pedet akhir pertumbuhan dan pada ternak dewasa untuk keperluan hidup pokok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Orskov (1970), ternak yang sedang dalam pertumbuhan cepat, sedang bunting tua, atau yang sedang produksi air susu adalah kelompok ternak yang

(24)

11 membutuhkan asam amino dalam jumlah yang tinggi, dan protein mikroba saja tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Selain dari status fisiologis ternak, hal lain yang dapat mempengaruhi komposisi protein tubuh adalah umur, pakan (konsumsi bahan kering), dan bobot badan. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa kebutuhan protein sapi potong semakin meningkat seiring dengan meningkatnya bobot badan. Artinya, semakin besar bobot badan suatu ternak, semakin besar pula kebutuhan protein pada tahap pertumbuhan. Protein dalam ransum akan digunakan sepenuhnya oleh tubuh ternak untuk mencukupi kebutuhan pokok dan produksi. Kelebihan protein tidak akan disimpan dalam bentuk asam amino, melainkan digunakan sebagai energi atau sebagai cadangan lemak dan karbohidrat.

Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh

Terdapat dua teknik yang dikenal dalam mengukur komposisi tubuh yaitu teknik pemotongan dan pendugaan. Teknik pemotongan merupakan cara yang terbaik untuk mengetahui komposisi tubuh dengan menganalisis karkas dan komponen lain di dalamnya. Hanya saja ada beberapa kerugian yang didapatkan dari pengukuran komposisi tubuh dengan metode pemotongan yaitu membutuhkan biaya tinggi, tenaga, dan waktu yang cukup besar jika dilakukan pada ternak-ternak besar. Beberapa peneliti (Preston dan Kock, 1973; Bartle et al., 1983; Hammond et al., 1990; Purnomoadi et al., 2006; dan Fransisca, 2009) sudah menerapkan cara yang tepat dan dapat dilakukan untuk mengetahui komposisi tubuh sapi pedaging tanpa memotong ternaknya, yaitu dengan teknik pendugaan. Teknik pendugaan ini menggunakan beberapa bahan kimia sebagai perunut. Penggunaan perunut memberikan hasil yang lebih akurat dalam menduga komposisi tubuh. Hal ini didasarkan oleh prinsip hubungan yang konstan antara air dengan komponen tubuh lainnya. Menurut Sutardi (1980), bahan kimia yang dapat digunakan sebagai perunut atau indikator dalam penentuan kadar air tubuh harus memenuhi persyaratan berikut : 1) Bahan tersebut harus larut dalam air segera setelah disuntikkan, diharapkan

dapat menyebar ke dalam tubuh secara merata.

2) Bahan tersebut dalam tubuh tidak dimetabolisasikan sehingga penyusutan kadarnya tidak disebabkan oleh faktor lain selain oleh ekskresinya dari dalam tubuh.

(25)

12 3) Tidak berupa racun bagi tubuh.

4) Dapat dianalisis dengan mudah dan bahan tersebut bukan merupakan komponen tubuh.

Bahan lain yang dapat digunakan untuk pengukuran kadar air tubuh, yaitu :

antypirine, N-acetyl-4 asam amino antypirine, deuterium, dan tritium. Bahan

pengencer sudah umum dikembangkan untuk mengukur komposisi tubuh secara in

vivo oleh beberapa peneliti. Tritium merupakan salah satu radioisotop yang banyak

dipakai dalam penelitian ilmu nutrisi, namun radioisotop ini tergolong ke dalam pemancar partikel beta negatif berenergi lemah, sehingga memiliki kelemahan yaitu efisiensi pencacahannya atau absorbansinya sering rendah sehingga tidak tercatat. Manfaat tritium sebagai perunut dalam penentuan kadar air tubuh umumnya dianggap sangat terbatas.

Sementara untuk larutan antipirin pernah dicobakan ke dalam darah seseorang untuk menduga kadar air tubuhnya. Hanya saja banyak keragaman yang ditimbulkan, sehingga memerlukan banyak hewan percobaan untuk mengatasi keragaman tersebut. Selain antipirin, pengukuran komposisi tubuh juga dapat menggunakan

n-acetyl-4 amino-antypirine (NAAP). Beberapa kelebihan dari NAAP adalah proses

analisisnya lebih murah daripada antipirin. Penggunaan NAAP tidak membentuk ikatan protein plasma dan metabolismenya lambat (Sutardi, 1980). Adapun kekurangan dari bahan kimia ini adalah tidak terdapatnya kandungan NAAP di dalam cairan rumen ataupun plasma darah, sehingga untuk mengukur komposisi tubuh sulit dilakukan (Whiting et al., 1960).

Bahan kimia lainnya adalah deuterium oxide (D2O) yang merupakan isotop stabil, bentuknya seperti air sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Cara memasukkannya ke dalam tubuh juga mudah yaitu dapat diberikan melalui air minum (Sutardi,1980). Pengukurannya dari uap air yang dikondensasikan dari gas ekspirasi. Teknik ini pernah dilakukan oleh Byers (1979) dengan menginjeksikan D2O ke dalam tubuh. Hasilnya tidak jauh berbeda dari teknik pemotongan, hanya saja alat pendeteksi masih sangat mahal, dan kurang relevan jika diaplikasikan oleh peternak maupun industri.

Pengukuran air tubuh dengan menggunakan D2O merupakan dasar dari beberapa metode yang pernah diterapkan sebelumnya secara tidak langsung dan

(26)

13 dapat menilai komposisi tubuh, karena air adalah komponen terbesar pada tubuh bebas lemak dan ada beberapa indikator yang dapat mengukur air tubuh. Beberapa perlakuan yang terdahulu menggunakan air untuk menilai komposisi tubuh ditinjau oleh Sheibaita (1977) dan Sheng dan Huggins (1979). Dalam menilai komposisi tubuh dengan menggunakan total air tubuh terbatas disebabkan adanya variasi dalam jumlah air yang terdapat dalam sistem pencernaan, khususnya pada ruminansia yang pakannya berbeda-beda. Bartle et al. (1987) menyimpulkan bahwa pendugaan komposisi tubuh yang lebih mudah dan akurat untuk ternak ruminansia pada tahap pertumbuhan dan penggemukan adalah dengan menggunakan urea.

Komposisi Tubuh Ternak dengan Metode Urea Space

Preston dan Kock (1973), Kock dan Preston (1979), Meissner et al. (1980), dan Hammond et al. (1984) melakukan penelitian terhadap sapi pejantan dengan menggunakan metode urea space (ruang urea) untuk memprediksi air tubuhnya. Hasilnya adalah mereka menyatakan bahwa teknik pengenceran urea mampu memprediksi air tubuh pada sapi pejantan. Teknik pengukuran dengan metode urea

space juga dilakukan oleh Astuti dan Sastradipradja (1998) pada Domba Priangan,

Chiba et al. (1990) pada babi, dan Nonaka et al. (2006) pada kerbau air. Seperti yang kita ketahui bahwa urea merupakan bahan yang tidak mahal dan tekniknya dalam menganalisis plasma urea N tergolong mudah. Urea dapat menunjukkan bahwa bahan kimianya sesuai untuk digunakan sebagai perunut dalam mengestimasi komposisi tubuh dan sudah ditemukan adanya kecocokan terhadap deuterium oxide yang digunakan sebagai perunut dalam menentukan air tubuh pada sapi pejantan dan kebiri (Trenkle, 1986). Teknik pengenceran urea ini dapat diaplikasikan untuk studi penelitian dan industri untuk mengukur komposisi tubuh selama pertumbuhan ternak. Perubahan dalam pengukuran komposisi tubuh dengan menggunakan analisis kimia secara langsung sudah dilakukan secara ekstensif dalam penelitian dengan aspek yang luas terhadap pertumbuhan hewan besar dan kecil (Trenkle, 1986). Metode urea space sangat diperlukan untuk menentukan komposisi tubuh sehingga dapat memberi informasi terhadap proses pertumbuhan ternak. Pengenceran bahan kimia urea yang diinjeksikan secara langsung pada tubuh sangat tepat dilakukan untuk hewan kecil dan beberapa hewan besar. Secara tidak langsung metode ini memberikan keakurasian, ketepatan, dan mudah diaplikasikan terhadap ternak

(27)

14 dengan harga yang relatif murah serta tidak mengganggu metabolisme hewan percobaan (Trenkle, 1986).

Preston dan Kock (1973) melaporkan bahwa urea dapat digunakan sebagai indikator untuk air tubuh. Metode ini mengeluarkan biaya yang relatif murah dan mudah dalam melakukan pengukuran. Selanjutnya Preston dan Kock (1973) menyatakan bahwa pengenceran urea yang disuntikan ke dalam intravena berhubungan terhadap air tubuh sapi perah berdasarkan bobot jenis karkasnya. Prosedur dalam menyuntikan urea (130 mg/kg bobot hidup) ke dalam vena jugularis dilakukan selama dua menit. Sampel darah sebelumnya diambil dari vena jugularis, kemudian diinjeksi dengan larutan urea dan setelah 12 menit urea beredar dalam tubuh, darah diambil lagi melalui vena jugularis. Ruang urea dihitung dari rasio urea yang disuntikkan dikurangi dengan konsentrasi urea plasma dari dua sampel darah yang diambil sebelumnya, kemudian dibagi dengan hasil kali konsentrasi urea plasma dengan bobot badan (kg) sesuai dengan persamaan Bartle et al. (1983).

Penelitian selanjutnya dilakukan pada sapi potong oleh Kock dan Preston (1979) yang menghubungkan ruang urea pada lemak karkas atau secara analisis kimia dilakukan terhadap bagian tulang rusuk ke-8 dan ke-10. Jones et al. (1982) menemukan bahwa metode ruang urea yang ditentukan oleh Kock dan Preston (1979) memiliki hasil yang tidak jauh berbeda dalam memprediksi karkas yang tidak berlemak dan berlemak dari domba, sapi potong, atau sapi perah. Meissner (1976), Meissner et al. (1980), dan Hammond et al. (1984) membandingkan metode ruang urea dengan pengukuran air tubuh secara langsung pada domba, sapi jantan dan sapi kebiri berturut-turut. Penelitian menemukan hubungan antara air tubuh terhadap ruang urea pada 10 atau 12 menit setelah menyuntikan urea. Kock dan Preston (1979) mengestimasi komposisi tubuh pada sapi pedaging dengan waktu yang berbeda antara 6, 9, 12, 15, dan 18 menit. Terlihat adanya peningkatan dari menit ke-6 hingga 12, setelah itu mengalami penurunan nilai air tubuh dari menit 15 dan 18, dan waktu yang terbaik didapatkan pada menit ke-12 (Kock dan Preston, 1979). Pengukuran pada menit ke-12 mengindikasikan urea space memiliki koefisien korelasi yang tinggi terhadap beberapa bagian karkas yang diukur menggunakan sampel plasma.

(28)

15 San Pietro dan Rittenberg (1953) memberikan definisi bahwa ruang urea merupakan cairan yang dibutuhkan untuk menentukan larutan nitrogen urea total dalam tubuh yang konsentrasinya menyamai konsentrasi darah. Diasumsikan bahwa metode US sangat relatif terhadap air tubuh, kemudian pengukuran dengan metode US dapat digunakan sebagai peneliti untuk mengestimasikan komposisi tubuh pada sapi (Kock dan Preston, 1979). Melalui air tubuh, dapat diharapkan adanya hubungan positif yang cukup kuat dengan jaringan tubuh yang tidak berlemak dan berbanding terbalik dengan lemak tubuh (Jones et al., 1982). Proses pengenceran urea pada ternak ruminansia memerlukan sampel darah awal (U0), setelah itu dilakukan pemasukan larutan urea ke dalam pembuluh vena pada ternak perlakuan dan biarkan beberapa waktu untuk menyeimbangkan larutan urea tersebut dengan air di dalam tubuh ternak. Sampel darah yang kedua, akan diambil dari kateter setelah waktu penyeimbangan sekitar 12 menit (U12) dari waktu awal. Sampel darah pertama dan kedua akan dianalisis untuk mengukur kadar urea nitrogennya. Waktu pengambilan darah yang kedua dapat mempengaruhi nilai dari komposisi tubuh.

(29)

16

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian in vivo dilaksanakan di Laboratorium Lapang, Kandang A dan analisis urea dilaksanakan di Laboratorium Biokimia, Mikrobiologi dan Fisiologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini berlangsung sejak bulan April hingga Juni 2010.

Materi Ternak dan Kandang

Ternak yang digunakan sebanyak 18 ekor sapi PO jantan dengan rataan bobot badan 234±27,59 kg dan umur 1,5-1,8 tahun yang ditandai dengan pergantian gigi seri pertama. Sapi diperoleh dari peternakan yang berada di daerah Cijeruk, Bogor. Kandang penelitian yang digunakan adalah kandang individu beralaskan semen dengan kemiringan 10 derajat dan sekat terbuat dari besi untuk membatasi antara seekor sapi dengan sapi lainnya. Kandang berukuran 2 x 1,5 m per ekor dilengkapi dengan tempat pakan dan minum yang permanen.

Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran urea space antara lain larutan urea 20%, NaCl fisiologis 0,95%, dan Kit Urea DiaSys (Diagnostic System International) untuk analisis urea. Untuk peralatan yang digunakan dalam pengukuran urea space antara lain syringe volume 50 dan 10 ml, tabung vakum berheparin volume 10 ml, sentrifus, eppendorf volume 2 ml, mikropipet, dan vortex

mixer. Analisis kandungan urea dalam plasma setelah direaksikan dengan senyawa

enzim urease dalam Kit kemudian dihomogenkan menggunakan vortex mixer dan dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 578 nm.

Ransum

Ransum yang diberikan selama pemeliharaan berupa konsentrat dan hijauan dengan rasio 30%:70%. Ransum yang disusun sesuai dengan Nutrient Requirements

of Ruminants in Developing Countries (Kearl,1982) yaitu mencapai nilai konsumsi

(30)

17 bungkil kedelai, bungkil kelapa, onggok, pollard, dedak, tetes, urea, CaCO3 (kalsium karbonat), NaCl (garam), dan premix. Sedangkan hijauan yang digunakan adalah rumput lapang. Hasil analisis rumput lapang dan konsentrat yang diberikan diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Bahan

Nutrien Bahan

Rumput Lapang Konsentrat

---%BK--- Bahan Kering 22,00 86,59 Abu 11,11 8,23 Protein Kasar 10,12 11,64 Lemak Kasar 0,45 4,56 Serat Kasar 40,42 8,16

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB (2010)

Prosedur Pemeliharaan

Sapi penelitian diadaptasikan terlebih dahulu dengan lingkungan dan diberi ransum hijauan tinggi selama lima hari. Penimbangan sapi dilakukan pada awal pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan pada pukul 06.30-07.30, 12.00-12.30, dan 16.00-17.00 WIB. Setiap hari sapi diberi hijauan sebanyak tiga kali, sedangkan untuk konsentrat diberikan sebanyak dua kali. Air minum diberikan ad libitum. Pergantian air minum dan pemberian konsentrat dilakukan pada pagi hari saat kandang dan tempat pakan dibersihkan. Sapi dimandikan terlebih dahulu, lalu diberikan hijauan. Total waktu pengamatan adalah tiga minggu. Kandang setiap hari dibersihkan, baik tempat pakan maupun tempat minum, kotoran dibuang ke tempat penampungan dan sapi dimandikan agar terjaga bersih setiap hari. Sumber air berasal dari tempat penampungan (tower) yang ada di sekitar kandang. Sapi yang digunakan adalah sapi jantan Peranakan Ongole (PO), hal ini dilakukan agar hasil yang diberikan tidak terlalu dipengaruhi oleh adanya perubahan hormon reproduksi. Bobot badan tertinggi dan terendah masing-masing 270,5 dan 170 kg.

Pengambilan Darah

Sebelum pengambilan darah, sapi tidak diberi makan (dipuasakan) kurang lebih 12 jam. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya metabolisme makanan

(31)

18 pada saat pengukuran. Darah diambil dengan syringe melalui vena jugularis (daerah leher) lalu dimasukkan ke dalam tabung vakum yang berheparin. Pengambilan darah dilakukan dua kali, pertama pada saat sebelum injeksi urea (kondisi normal dalam tubuh) dan setelah tubuh diinjeksi larutan urea. Semua sampel disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan plasma darah. Plasma diambil dengan mikropipet lalu dimasukkan ke dalam eppendorf, dan sampel siap untuk dianalisis.

Pengukuran dengan Metode Urea Space

Larutan urea 20% didapatkan dari urea kristal yang dilarutkan dengan NaCl fisiologis 0,95%. Cairan NaCl fisiologis yang digunakan sebagai pelarut disesuaikan dengan cairan di dalam tubuh sapi. Sebelum melakukan pengukuran, sapi terlebih dahulu ditimbang untuk menentukan jumlah urea yang akan disuntikkan. Banyaknya urea yang diinjeksi ke dalam tubuh sapi ditentukan oleh bobot badan metabolis sapi, yaitu 0,65 ml/kg BB0,75 (Preston dan Kock, 1973). Pengambilan darah yang pertama dilakukan pada menit ke-0 (U0) saat urea belum diinjeksikan dan menit ke-18 (U18) setelah urea diinjeksikan atau urea sudah berada dalam tubuh. Banyaknya darah yang diambil untuk setiap pengambilan adalah ±10 ml. Larutan urea langsung diinjeksikan pada pembuluh darah yang sama secara perlahan-lahan selama satu menit agar tidak mengganggu proses yang sedang berlangsung di dalam tubuh (asidosis). Urea dibiarkan beredar selama 18 menit di dalam tubuh, kemudian darah diambil lagi untuk menentukan konsentrasi urea darah setelah 18 menit (U18).

Semua sampel darah dibawa ke laboratorium dan siap dianalisis. Pengukuran urea dilakukan dengan metode Berthelot berdasarkan prinsip uji enzimatis kalorimetrik. Bahan yang digunakan adalah reagen 1 (R1), reagen 2 (R2), enzim (ENZ), dan cairan standar (STD). Kandungan bahan R1 yaitu 120 mmol/L phosphate

buffer (pH 7), 60 mmol/L sodium salicylate, 5 mmol/L sodium nitroprusside, dan 1

mmol/L EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid). Reagen dua (R2) mengandung 120 mmol/L phosphate buffer (pH<13) dan 10 mmol/L sodium

hypochlorite serta untuk enzim mengandung >500 kU/L urease. Kandungan larutan

standar (STD) terdiri dari 80 mg/dl urea, 37,28 mg/dl euquivalent to BUN, dan 0,095% sodium azide.

(32)

19 Absorbansi sampel

Absorbansi standar

N urea yang diinjeksi (mg) Plasma urea x BB (kg) x 10

Pengukuran diawali dengan persiapan R2 dan urea STD yang siap pakai. Reagen enzim adalah mencampurkan ENZ dengan larutan R1 pada rasio 1:100 (v/v). Pengambilan cairan dilakukan dengan menggunakan mikropipet. Larutan yang terbentuk dihomogenkan dengan vortex mixer. Selanjutnya menyiapkan satu buah tabung untuk Blanko, satu buah tabung untuk STD, dan tabung sejumlah sampel yang akan dianalisis. Pada tabung Blanko dimasukkan reagen ENZ sebanyak 1000 µL, pada tabung STD diberi 10 µL larutan STD dan 1000 µL reagen ENZ, dan pada tabung sampel berisi plasma darah masing-masing 10 µL dan 1000 µL reagen ENZ. Masing-masing tabung dihomogenkan selama 10 detik lalu diinkubasi pada suhu 20-25 oC selama 20 menit.

Larutan yang sudah diinkubasi, masing-masing tabung ditambahkan dengan 1000 µL R2. Kemudian larutan dihomogenkan kembali dengan vortex mixer selama 10 detik dan diinkubasi pada suhu 20-25 oC selama 10 menit. Nilai absorbansi dibaca melalui alat spektrofotometer pada panjang gelombang 578 nm dalam waktu tidak lebih dari 60 menit setelah proses pencampuran enzim. Penghitungan konsentrasi urea dengan rumus:

Konsentrasi urea (mg/dl) = x konsentrasi standar

Besarnya konsentrasi standar urea = 80 mg/dl.

Perubahan konsentrasi urea digunakan sebagai perubahan plasma urea. Perhitungan urea space (US) oleh Bartle et al. (1983):

US (%) =

Pengukuran Komposisi Tubuh

Setelah didapatkan nilai US dari setiap sampel darah, maka air tubuh (AT), protein tubuh (PT), dan lemak tubuh (LT) dimasukkan ke dalam persamaan Purnomoadi (2006) sebagai berikut:

AT (%) = 0,1008 US(kg) + 60,473 PT (%) = 0,0598 US(kg) + 15,896 LT (%) = -0,2031 US(kg) + 14,443

Perhitungan total komposisi tubuh yang meliputi total lemak tubuh (TLT) dan total protein tubuh (TPT) dengan persamaan sebagai berikut:

TLT (kg) = LT (%) x BB (kg) TPT (kg) = PT (%) x BB (kg).

(33)

20 Setelah mendapatkan data komposisi tubuh sapi tersebut, maka nilainya akan diregresikan secara linear untuk melihat keeratan hubungan antara air, lemak, dan protein tubuh.

Rancangan Peubah

Peubah yang diamati yaitu komposisi tubuh yang meliputi air tubuh (AT), lemak tubuh (LT), dan protein tubuh (PT).

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Korelasi dan Regresi Linear. Berdasarkan Steel dan Torrie (1993) model matematika persamaan korelasi tersebut adalah sebagai berikut:

Keterangan:

r = Koefisien korelasi n = Jumlah populasi

Xi = Peubah bebas (air tubuh)

Yi = Peubah tak bebas (lemak dan protein tubuh)

Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan diuji menggunakan korelasi sederhana. Analisa deskriptif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi tubuh sapi PO dengan ransum berbasis hijauan tinggi. Analisis koefisien korelasi linear atau korelasi sederhana digunakan untuk mengetahui hubungan antara air tubuh dengan lemak tubuh dan air tubuh dengan protein tubuh. Untuk mengetahui hubungan regresi antara air tubuh dan komposisi tubuh lainnya, dilakukan analisis regresi. Keeratan hubungan komposisi tubuh tersebut dinyatakan dengan persamaan regresi linear sederhana berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Y = a + bX

Keterangan:

Y = Peubah tak bebas (lemak dan protein tubuh)

X = Hubungan fungsional penentu Y (air tubuh atau bobot badan) a = Populasi intersep

b = Kemiringan garis yang melalui nilai tengah populasi Y n∑XiYi – (∑Xi)(∑Yi)

√n∑Xi2 – (∑Xi)2. √n∑Yi2 – (∑Yi)2 r =

(34)

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Sapi yang dipelihara selama penelitian berasal dari peternakan di daerah Cijeruk, Bogor. Tipe kandang pemeliharaan merupakan tipe individu dengan atap model monitor. Lokasi penelitian tepatnya berada di Bogor. Luas bangunan kandang 400 m2 dengan tinggi kandang ± 7 meter yang dilengkapi dengan kantor dan gudang penyimpanan bahan pakan. Jumlah kandang individu sebanyak 24 untuk sapi dewasa dan 12 untuk pedet. Ukuran kandang untuk pedet 1 x 1 m2. Di sekitar kandang ditanami beberapa jenis rumput gajah dan jagung. Suhu kandang berfluktuasi, maksimal mencapai 32 0C pada siang hari sedangkan suhu minimum mencapai 20 0

C. Ransum yang diberikan berdasarkan pada budidaya sapi potong berskala kecil, dengan imbangan rumput lebih banyak daripada konsentrat. Sapi penelitian diberikan rumput dan konsentrat dengan rasio 70:30. Total bahan kering ransum yang diberikan pada sapi penelitian yaitu sebesar 2,9% dari bobot badan. Kebutuhan bahan kering pada sapi jantan dengan bobot badan 200 kg dan pertambahan bobot badan 750 gram adalah 2,7% (Kearl, 1982).

Keragaman bobot badan sapi penelitian terjadi disebabkan oleh kemampuan sapi dalam memetabolisasi makanan. Adaptasi pakan dilakukan pada awal pemeliharaan dengan pemberian hijauan yang tinggi. Respon sapi terhadap hijauan tinggi cukup baik, dilihat dari kemampuan adaptasinya terhadap pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jacob dan Munandar (1991), sapi potong lokal tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk, salah satunya adalah pemberian pakan dengan komposisi hijauan yang tinggi, hanya saja untuk meningkatkan produktivitas sapi lokal diperlukan tambahan konsentrat.

Rumput lapang yang diberikan berasal dari rumput yang ada di sekitar tempat penelitian. Rumput tersebut didapatkan dengan cara cut and carry. Rumput yang diarit dibawa ke kandang lalu dilayukan sehari sebelum diberikan ke ternak. Rumput yang diberikan terlebih dahulu ditimbang, lalu diletakkan di depan tempat pakan. Begitu juga dengan konsentrat, sebelum diberikan ke ternak, ditimbang lalu dimasukkan ke dalam plastik. Rataan konsumsi bahan segar harian sapi selama pemeliharaan sebanyak 19 kg hijauan dan 2,3 kg konsentrat atau setara dengan 6,18 kg konsumsi bahan kering. Total konsumsi bahan kering tersebut terdiri dari 1,34

(35)

22 kg/ek/hr konsumsi protein kasar, 0,31 kg/ek/hr konsumsi lemak kasar, dan 3,00 kg/ek/hr konsumsi serat kasar.

Komposisi Tubuh

Penggunaan metode Urea Space dalam menduga komposisi tubuh sapi lokal dengan ransum berbasis hijauan tinggi menghasilkan rataan kandungan air, lemak, dan protein tubuh berturut-turut 60,47%, 15,90%, dan 14,44% (Tabel 3). Total komposisi tubuh sebanyak 90,81% dari seluruh tubuh. Sisanya berupa mineral, sebagian kecil vitamin, dan karbohidrat serta komponen lainnya yang ada di dalam tubuh, seperti feses, urine, dan benda asing lainnya yang terdapat di dalam saluran pencernaan. Komposisi tubuh yang dimiliki oleh ternak dewasa berkisar 60% air tubuh, 20% lemak tubuh, dan 16% protein tubuh (Pond et al., 2005). Sedangkan menurut Anggorodi (1994), persentase kadar air tubuh akan menurun bila dibandingkan dengan umur hewan pada permulaan kehidupan. Variasi umur tertentu terutama disebabkan oleh keadaan gizi makanan. Ternak yang terlalu gemuk mempunyai kandungan 42% air tubuh dan 41% lemak, dibandingkan dengan ternak yang kurus dengan kandungan 57% air dan 18% lemak tubuh (Tillman et al., 1991). Persentase lemak pada umumnya akan bertambah seiring bertambahnya umur, dan sangat berubah-ubah tergantung dari kadar bahan makanan yang dikonsumsi. Hasil komposisi tubuh sapi penelitian yang diukur dengan menggunakan metode urea

space diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Komposisi Tubuh dengan Metode Urea Space

Parameter Rataan Standar Deviasi

Urea Space (ml) 38,87 3,48646

Air Tubuh (%) 60,47 0,00022

Lemak Tubuh (%) 14,44 0,00013

Protein Tubuh (%) 15,90 0,00044

Pengukuran komposisi tubuh sapi potong lokal PO dengan rataan bobot badan 189 kg yang diberi pakan hijauan dan konsentrat (50:50) menghasilkan 50,5% air, 30,5% lemak, dan 12,5% protein tubuh (Fransisca, 2009). Sementara itu, sapi lokal dengan rataan bobot badan 297 kg yang diberi pakan jerami terfermentasi ad

(36)

23 kandungan 46,92%-47,06% air, 12,16%-12,26% protein, dan 35,39%-36,81% lemak tubuh (Mulyadi et al., 2009). Penelitian komposisi tubuh sapi pejantan PO juga dilakukan oleh Purnomoadi et al. (2008). Menurut peneliti ini, komposisi tubuh dengan rataan bobot badan 133,5-228 kg dan diberi pakan berupa hijauan rumput gajah ad libitum dengan 2% konsentrat dari bobot badan menghasilkan sekitar 51,22% air, 30,38% lemak, dan 21,54% protein tubuh. Hasil pengukuran komposisi tubuh ternak menunjukkan sebagian besar terdiri dari air, hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980).

Metode urea space yang pertama diaplikasikan adalah pada ternak pedaging golongan B. taurus. Hasil menunjukkan bahwa kandungan lemak dan protein lebih tinggi daripada sapi lokal yang tergolong B. indicus. Komposisi tubuh dari sapi persilangan Hereford x Angus adalah 54,7% air tubuh dan 25,1% lemak tubuh (Bartle et al., 1987). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan bangsa Angus yang mengandung 53,5% air, 26,0% lemak, dan 16,5% protein tubuh (Hammond et al., 1988). Hasil persilangan bangsa sapi Hereford x Sussex lepas sapih diketahui mengandung komposisi tubuh lebih tinggi yaitu sebesar 61,8 % air, 19,8% lemak, dan 17,4% protein tubuh (Kock dan Preston, 1979). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980) bahwa umur ternak mempengaruhi komposisi air tubuhnya. Selain pada sapi pedaging, pengukuran dengan metode US ini juga dilakukan pada sapi perah pejantan, sapi potong lokal, dan beberapa hewan lainnya, seperti domba, babi, kerbau, dan monyet. Komposisi air tubuh sapi perah pejantan (Holstein steer) lebih tinggi daripada sapi pedaging, yaitu 66,1% air, 10,1% lemak, dan 5,1% protein tubuh (Hammond et al., 1990). Hal ini sesuai dengan pernyataan Bond et al. (1972) bahwa produksi lemak sapi daging paling tinggi dan sapi tipe perah paling rendah. Pembentukan lemak tubuh dalam sapi pedaging diperoleh dari pakan konsentrat yang diberikan dalam jumlah banyak. Menurut McDonald et al. (2002), konsentrat dalam tubuh akan didegradasi oleh mikroorganisme dan menghasilkan asam lemak propionat yang digunakan sebagai sumber energi dalam bentuk glukosa. Asam lemak propionat merupakan prekursor pembentukan glukosa dalam tubuh melalui jalur glukoneogenesis. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi tubuh selain umur dan bobot badan adalah bangsa, pakan, jenis kelamin, dan waktu pengukuran.

(37)

24 Bangsa sapi yang berbeda-beda akan memiliki respon yang berbeda pula dalam memetabolisme makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya gen yang mempengaruhi tubuh dalam merespon zat makanan. Contohnya, pada sapi-sapi Eropa (sub tropis) tergolong sapi kelas berat berbeda dengan sapi Asia (tropis). Komposisi tubuh sapi jantan Simmental dengan pakan konsentrat untuk penggemukan memiliki 59,4% kadar air, 22,4% lemak, dan 17,2% protein tubuh (Kock dan Preston, 1979). Komposisi lipid di dalam darah atau jumlah kolesterol dalam serum sapi dari berbagai bangsa memiliki interaksi genetik yang berbeda, hal ini dapat mempengaruhi proses penyimpanan lemak tubuh (Pond et al., 2005).

Komposisi ransum yang diberikan dapat mempengaruhi komposisi tubuh. Ransum yang mengandung energi tinggi akan disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak. Kemampuan tubuh dalam menyimpan glikogen adalah terbatas, sehingga sisanya akan disimpan dalam bentuk lemak. Begitu juga dengan lemak dan protein. Protein yang berlebih akan digunakan sebagai energi atau diubah menjadi lemak (Anggorodi, 1994). Kandungan lemak dan protein dalam ransum secara otomatis akan mempengaruhi komposisi tubuh. Kandungan lemak dalam tubuh yang tinggi akan mempengaruhi kandungan lemak karkas. Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak dan proteinnya. Protein yang tercerna akan diserap oleh usus dan sebagian dibawa oleh darah menuju jaringan tubuh yang memerlukan.

Dilihat dari komposisi nutrisi (Tabel 2) dengan pemberian konsentrat (30%) dan hijauan (70%) pada sapi penelitian, mengkontribusi 1,34 kg konsumsi protein kasar per ekor per hari. Jumlah protein pakan yang diberikan menghasilkan 15,90% protein tubuh. Sumber protein didapatkan dari bungkil kedelai dan urea. Keseluruhan protein dimanfaatkan oleh tubuh sapi penelitian sebagai pembentuk jaringan tubuh. Kontribusi konsumsi lemak kasar sebesar 0,31 kg perekor perhari menghasilkan 14,44% lemak tubuh. Sumber lemak tubuh berasal dari bahan pakan seperti bungkil kelapa, onggok, pollard dan dedak yang merupakan prekursor lemak tubuh. Kandungan nutrisi ransum mempengaruhi komposisi tubuh sapi penelitian.

Komposisi tubuh sapi keturunan Hereford x Angus memiliki kandungan 25,1% lemak tubuh dengan susunan ransum 63% jagung halus, 10% gandum, 17% silase jagung, 5% alfalfa, dan 5% suplemen lainnya (Bartle et al., 1987). Sementara, lemak tubuh sapi bangsa Angus memiliki kandungan 26% lemak dengan susunan

(38)

25 ransum 25% alfalfa dan 75% jagung giling, dengan sedikit suplemen kacang kedelai (Rule et al., 1986). Dapat dikatakan bahwa bangsa Angus dengan pakan berenergi tinggi memiliki kandungan lemak tubuh yang lebih tinggi daripada sapi keturunan hasil persilangan Angus dengan Hereford. Sapi lokal PO yang diberi ransum dengan kadar 15% protein dari bahan kering memiliki kandungan 27% lemak tubuh (Purnomoadi et al., 2008).

Waktu pengukuran juga sangat menentukan nilai dari kandungan urea dalam tubuh yang akan dijadikan dasar dalam menilai komposisi tubuh. Pada percobaan Kock dan Preston (1979) pada menit ke-6, 9, 12, 15, dan 18 menghasilkan air tubuh berturut-turut 62%, 68%, 76%, 72%, dan 68%. Selanjutnya Kock dan Preston (1979) menyimpulkan bahwa menit ke-12 merupakan waktu terbaik dalam menilai komposisi tubuh, karena US memiliki koefisien korelasi sangat erat terhadap lemak pada rusuk dan berat karkas yang diukur dari sampel plasma setelah diinjeksi urea. Pada penelitian ini, pengambilan darah yang kedua dilakukan pada menit ke-18, hal ini dilakukan karena adanya kesulitan dalam penanganan sapi tersebut.

Hubungan Persen Air Tubuh dengan Lemak Tubuh

Lemak tubuh adalah komponen dengan kadar paling bervariasi dibanding komponen lainnya. Rataan kadar air tubuh sapi lokal hasil penelitian adalah 60,47% dan kadar lemak 14,44%, hal ini mengindikasikan bahwa sapi penelitian belum mengalami perlemakan tubuh karena pengaruh umur yang masih muda (tahap pertumbuhan). Hasil penelitian dengan analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air tubuh dapat menduga lemak tubuh. Pada Tabel 4 dapat dilihat adanya hubungan sangat erat antara persentase air tubuh (AT) dengan persentase lemak tubuh (YLT) yang memiliki korelasi negatif (P<0,01). Keeratan hubungan ini dinyatakan dalam persamaan regresi linear adalah YLT = 139,8 - 2,073 AT dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,997. Nilai negatif pada koefisien korelasi dari persamaan AT terhadap LT mengartikan bahwa semakin meningkat air tubuh akan menurunkan lemak tubuh (Gambar 2). Berdasarkan keeratan hubungan ini, maka air tubuh dapat dijadikan sebagai penduga lemak tubuh. Koefisien korelasi dan regresi Sapi PO yang diukur dengan Urea Space tertera pada Tabel 4.

(39)

26 Tabel 4. Koefisien Korelasi dan Regresi Sapi PO yang Diukur dengan US

Koefisien Nilai

Korelasi Persamaan Regresi Koefisien Determinasi (R)

LT terhadap AT -0,997** YLT = 139,8-2,073 AT 99,3

PT terhadap AT 0,991** YPT = -21,52+0,6187 AT 98,1

LT terhadap PT -0,987** YLT = 65,4-3,206 PT 97,2

TLT terhadap BB 1** YTLT = -0,00929+0,144 BB 100

TPT terhadap BB 1** YTPT = -0,00834+0,159 BB 100

Keterangan : LT = Lemak Tubuh (%) PT = Protein Tubuh (%) AT = Air Tubuh (%)

TLT = Total Lemak Tubuh (kg) TPT = Total Protein Tubuh (kg) BB = Bobot Badan (kg)

Gambar 2. Korelasi Air Tubuh dengan Lemak Tubuh

Sementara itu kenaikan total lemak tubuh (kg) sapi penelitian sangat nyata berpola linear (P<0,01; r = 1) seiring dengan meningkatnya bobot badan sapi (BB) dengan persamaan YTLT = -0,00929 + 0,144 BB (Gambar 3). Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin meningkatnya bobot badan akan meningkatkan total lemak tubuh. Berdasarkan keeratan hubungan ini maka bobot badan dapat dijadikan sebagai penduga lemak tubuh. Hubungan korelasi bobot badan terhadap total lemak tubuh ditunjukkan pada Gambar 3.

Air Tubuh (%) YLT= 139,8-2,073 AT; r = -0,997 60.4740 60.4735 60.4730 60.4725 60.4720 14.446 14.445 14.444 14.443 14.442 14.441 14.440 Le mak Tubuh ( % )

Gambar

Gambar 2. Korelasi Air Tubuh dengan Lemak Tubuh

Referensi

Dokumen terkait

Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2002. Pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pelaksanaan pengelolaan sampah pasar oleh dinas pengelolan pasar dalam upaya

Apakah Petugas Guest Relations Officer mampu menjalin kerjasama yang baik dalam menangani tamu VIP/ VVIP.. Apakah Petugas Guest Relations Officer mampu menjalin kerjasama

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dengan parameter kesamaan umur pohon 15 tahun, hasil waktu tempuh iris alat sadap karet semi mekanis dengan 6 mata

Ayah dan ibu saya, sujud kupersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayah dan Ibu yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang, nasehat,

Surat perama kali turun di Madinah dan surat terpanjang dalam Al-Qur`an mempunyai 286 ayat atau 6121 kata, dinamakan al- Baqarah berkaitan cerita seekor.. sapi pada

Uji akurasi pemetaan menggunakan metode perhitungan SE, AccMin, dan AccMax dilakukan pada metode yang melebihi batas hipotesis diterima, yaitu pada persamaan nilai CWC dengan

Dari gambar hasil mikrografi menyimpulkan bahwa proses pembuatan ulir Clamp U dilakukan dengan proses Thread Rolling dan menyimpulkan bahwa proses terjadinya kegagalan terjadi

Pandangan inferior terhadap wanita, atau kesalah pahaman terhadap asal penciptaan wanita dari tulang rusuk pria berkonotasi bahwa wanita diciptakan dari dalam