• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Biofisik

5.1.1 Karakteristik Fisik Lokasi Penelitian

Pantai Jamursba Medi dan Wermon terletak di sebelah utara semenanjung Kepala Burung Papua. Jamursba Medi terletak dengan posisi geografis (00 2‟– 00 22‟ S dan 1320 25‟–1320 39‟ E), dengan panjang pantai 18 km, yang terdiri dari

tiga pantai yaitu pantai Wembrak, pantai Baturumah, dan pantai Warmemedi. Pantai peneluran lainnya adalah Wermon (00 41‟– 00 43‟ S dan 1320 80‟–1320 86‟ E) dengan panjang pantai 6 km. Jarak pantai Wermon dari pantai Jamurba Medi adalah 30 km. Kedua pantai ini secara administrasi termasuk Distrik Abun Kabupaten Tambrauw. Pantai Jamursba Medi diapit oleh dua kampung yaitu kampung Saubeba dan Warmandi, sedangkan Wermon berada tepat disebelah barat dari kampung Wau-Weyaf. Pantai Jamursba Medi dan Wermon dibentuk oleh tebing-tebing, bebatuan, sungai dan muara. Pantai Jamursba Medi dan Wermon sangat dipengaruhi oleh pola angin dan arus musiman yang membentuk proses erosi dan akresi. Selain angin dan arus musiman, pengaruh dari Samudra Pasifik sangat dominan terhadap perubahan pantai di pesisir Tambrauw.

Pantai Jamursba Medi memiliki bentuk topografi yang cenderung datar yaitu 0.93% sampai 1.23% dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 200 m dan jarak perairan dan daratan 50 m (Gambar 17). Masukan air tawar diperoleh

(2)

80

dari sungai Wembrak dan sungai Warmamedi dengan debit yang rendah pada musim kemarau dan tinggi pada musim hujan.

Pantai Wermon memiliki topografi yang lebih landai yaitu 14% dengan jarak pantai kearah laut pada surut terendah ±100 m dan jarak perairan kedaratan 20 m (Gambar 18). Masukan air tawar ke perairan berasal dari sungai Wermon yang mengalir sepanjang tahun dan memiliki debit air yang besar. Perairan kepala burung cenderung dalam dengan kisaran 2000 - 4000 m jika dilihat dari batimetri (Gambar 19). Kondisi ini menyebabkan kedua pantai ini sangat rentan terhadap pengaruh fisik oseanografi yang mempengaruhi topografi pantai yang selalui berubah ubah sepanjang tahun

Gambar 19. Batimetri pesisir utara Kepala Burung menunjukkan kisaran kedalaman 1000 m sampai 9500 m.

(3)

81

5.1.2 Arah dan Kecepatan Angin

Nontji (1986) menyatakan angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus permukaan. Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin musim (monsun). Perairan utara kepala burung Papua sangat dipengaruhi angin monsun baik barat maupun timur. Angin monsun timur (Juni-Juli-Agustus) 2010 angin berhembus dari arah timur laut menuju keselatan dengan kekuatan melemah dengan rata rata adalah 6.6m/detik (BMG Sorong 2012). Monsun barat (Desember-Januari-Februari) 2011/2012 berhembus ketika musim panas di Belahan Bumi Utara (BBU) atau asia summer season yang ditandai dengan musim peneluran di Wermon. Angin berhembus dari selatan akan mengarah ke timur dengan kekuatan 6.6 m/detik (BMG Sorong 2012).

5.2 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing 5.2.1 Biologi, Distribusi, Migrasi dan Karakteristik

Penyu belimbing adalah salah satu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia dan saat ini mengalami penurunan populasi akibat tingginya angka kematian induk dewasa maupun tukik dan telur yang gagal menetas. Taksonomi dari penyu belimbing adalah

Klass : Reptilia Ordo : Testudines Family : Dermochelidae

Spesies : Dermochelys coriacea (Vrandelli 1761)

Penyu belimbing merupakan monospesies dari genus dermochelidae yang terdistribusi pada daerah tropis maupun sub tropis (Bahler et al. 1996). Studi lain menyatakan bahwa genetik dari populasi peneluran Penyu Belimbing menyebar dalam skala global (Dutton et al. 1999, 2002). Penyu belimbing yang melakukan peneluran di Pantai Jamursba Medi dan Wermon dan beberapa pantai di Indonesia termasuk dalam populasi di Pasifik Barat termasuk populasi PNG dan Kepulauan Salomon. Penyu belimbing yang bertelur di Indonesia memiliki bentuk morfologi yang sama dengan populasi di lokasi lainnya. Perbedaan hanya terdapat pada bagian ekor dimana penyu jantan memiliki ekor yang relatif lebih besar dan panjang dibandingkan induk betina (Pritchard 1971). Berat rata rata penyu

(4)

82

belimbing adalah 300 - 600 kg bahkan ada yang bisa mencapai 1 ton, dengan panjang karapas berkisar antara 160 - 180 cm.

5.2.2 Ekologi dan Reproduksi

Penyu tergolong kedalam kelompok reptil, dan secara fisiologis memiliki ketergantungan terhadap faktor lingkungan. Ketergantungan terhadap lingkungan mempengaruhi semua fase hidup dari penyu mulai dari fase perkawinan, peneluran, sukses penetasan telur sampai fase pertumbuhan (Ackerman 1997). Faktor lingkungan yang memiliki keterkaitan nyata adalah suhu sebagai penentu seksualitas dari tukik (Mrosovsky 1996 in Ackerman 1997). Penyu belimbing memiliki masa hidup panjang dan melalui beberapa fase atau siklus hidup yang sulit. Penyu yang berumur muda sekitar 20 - 50 tahun akan mengawali dengan proses pemijahan kemudian melakukan fase migrasi untuk prose perkawinan dengan penyu jantan. Setelah kawin, penyu akan kembali ke daerah peneluran dan kawin dengan waktu yang dibutuhkan adalah 2 tahun.

Penyu belimbing memiliki laju reproduksi tinggi ditunjukan dengan jumlah telur yang dihasilkan oleh satu induk penyu betina selama musim peneluran (Tabel 19). Estimasi dalam satu musim peneluran induk bisa memiliki periode bertelur 3 - 4 kali, maka rata rata telur yang dihasilkan oleh satu induk dalam 1 musim peneluran rata-rata berkisar antara 231 – 360 butir. Kondisi ini berbanding terbalik dengan persentasi penetasan dan jumlah tukik yang berhasil hidup hingga mencapai dewasa. Sebagaimana diketahui bahwa penyu belimbing memiliki laju rekruitmen yang rendah meskipun laju reproduksinya tinggi. Hal ini tentunya berdampak terhadap jumlah populasi muda yang dihasilkan. Secara ekologis penyu memiliki karakteristik habitat sebagaimana ditampilkan pada Tabel 19.

Tabel 19. Karakteristik habitat peneluran penyu belimbing Rata-rata

Stdv (kisaran) Produksi Telur

Ekologi Habitat Peneluran Tipe Habitat Suhu Pasir (C) Potensial Air (Kpad) Tekstur pasir (μm) Rata-rata Kedalaman sarang (cm) 77.04±16.79 (41-116)

Pasir 25-34 - Partikel halus

<500μm-500μm)

(5)

83

Sukses penetasan telur penyu belimbing pada sarang insitu di Jamursba Medi dan Wermon mengalami penurunan setiap musimnya. Penurunan populasi tukik terindikasikan dengan rendah persentasi sukses penetasan pada plot pengamatan dikedua pantai (Tabel 20). Penurunan sukses penetasan pada musim 2005/06 dan 2006/07 menyebabkan dilakukannya relokasi terhadap sarang yang berada dibawah batas pasang terendah. Pemilihan sarang disebabkan adanya abrasi sarang yang terjadi pada sarang yang letaknya dibawah batas pasang terendah karena mengalami abrasi akibat ombak pasang surut sehingga gagal menetas. Relokasi tersebut berhasil karena persentasi sukses penetasan mencapai 50% (Tapilatu et al. 2007)

Tabel 20. Persentasi sukses penetasan telur penyu belimbing pada pantai Jamursba Medi dan Wermon.

Tahun

Sarang insitu Plot Sarang insitu luar plot Sarang doom Jamursba Medi (%) Wermon Jamursba Medi Wermon Jamursba Medi Wer mon Rata (sd) Kisaran (n) Rata (sd) Kisaran (n) Rata (sd) Kisaran (n) Rata (sd) Kisaran (n) Rata (sd) Kisaran (n) Rata (sd) Kisar an (n) 2005-2006 25.5±32 0–85 (48) 47.1±23.6 3.8–100 (52) - - - - 2006-2007 - - - - 2007-2008 40.7± 6.6 0–98.8 (112) - - - - - 2008-2009 - - - - 2009-2010 44.47± 9.35 0–98.9 (52) 11.95±22.68 0–57.44 (8) 46.08±15.03 0-96.88 (70) 43.24±16.74 0-87.21 (15) 42.94±18.7 1 0-93.41 (6) - 2010-2011 - 57.55±8.98 51.22-63.89 (2) 67.65±33 35–96.43 (10) 73.23±25.07 20.21-97.33 (24) 78.51±18.1 44.2-3.5 (5) 69.39 ±17.8 0 44.2-93.1 (6) 2011-2012 - - - - 5.2.3 Migrasi

Penyu belimbing ditemukan diseluruh perairan di dunia karena memiliki pergerakan luas mencakup perairan nasional sampai perairan regional antara negara dan samudra. Pergerakan ini menyebabkan sulitnya perlindungan dan pendeteksian populasi genetik terhadap spesies tersebut (Dutton and Squires

(6)

84

2008). Penelitian genetik tentang populasi penyu belimbing oleh Dutton et al. (1999, 2007) menemukan ada tiga populasi berbeda yaitu (1) populasi di Pasifik Timur yang melakukan persarangan di pantai Meksiko dan Costarica, (2) populasi di Pasifik Barat yang melakukan peneluran di Papua Barat Indonesia (PBI), PNG, Kepulauan Salomon dan Vanuatu dan (3) populasi di Malaysia. Dari ketiga populasi ini yang mengalami penurunan paling drastis adalah populasi di Pasifik Barat dan Malaysia. Indikasi utama penurunan populasi disebabkan oleh aktivitas sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung seperti ekploitasi telur dan daging serta pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar (komersil) (Chan and Liew 1996).

Pola pergerakan penyu saat ini sudah diketahui dengan adanya pemansangan transmiter untuk melacak arah migrasi. Sebagaimana diketahui musim peneluran di Pasifik Timur berlangsung pada musim dingin (winter) dari bulan desember sampai maret, dengan pergerakan setelah bertelur (postnesting) dari lokasi peneluran di Meksiko dan Costarica menuju perairan pelagik dibagian timur Pasifik Selatan (Eckert dan Sarti 1997 in Benson et al 2007). Populasi di Pasifik Barat terjadi sepanjang tahun baik musim panas dibelahan bumi utara (July-Agustus) dan musim panas dibelahan bumi selatan (Desember-Februari) dengan membentuk beragam metapopulasi yang tersebar dan melakukan peneluran dibeberapa pantai dan pulau di Pasifik Barat. Hasil analisis genetik dan studi telemetri menunjukkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat mengunjungi beberapa perairan bagian timur dan tengah di Utara Pasifik, perairan bagian barat di Selatan Pasifik, Laut Cina Selatan dan Laut Jepang (Dutton et al. 2000, 2007).

Pemantauan satelit telemetri juga menunjukkan bahwa penyu belimbing selesai bertelur akan melakukan pergerakan yang terkonsentrasi pada perairan dekat dengan pantai peneluran. Penyu belimbing yang melakukan peneluran di Papua Barat Indonesia (PBI) (boreal summer) akan melakukan pergerakan menuju ke barat laut semenanjung Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat dengan menempuh jarak 170 – 315 km dari lokasi peneluran (Benson et al. 2011). Selanjutnya pada musim austral summer melakukan pergerakan menuju perairan timur laut semenanjung Kepala Burung dan Teluk Cendrawasih dengan jarak yang ditempuh 120 - 300 km dari pantai peneluran (Gambar 20). Berbeda dengan

(7)

85

penyu belimbing yang melakukan peneluran di PNG hanya melakukan pergerakan ke Teluk Huon dengan jarak tempuh 140 - 300 km dari pantai peneluran. Sementara untuk penyu belimbing yang bertelur di Kepulauan Salomon (SI) terkonsentrasi di Kepulauan Santa Isabel dan Kepulauan Malaita dengan jarak yang ditempuh 200 - 400 km dari pantai peneluran (Gambar 20).

Migrasi populasi penyu belimbing Jamursba Medi dan Wermon terbagi menjadi dua pola berbeda berdasarkan musim peneluran. Penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer, diketahui yang dipasangkan trasmiter sebanyak tiga puluh tujuh individu (Gambar 20) melakukan pergerakan awalnya kearah timur laut menuju utara Pasifik. Selanjutnya dari dua puluh tiga individu, enam belas individu mencapai perairan dingin di Utara Pasifik sementara enam individu lainnya menuju ke Region Kuroshio Extention. Lima individu melakukan pergerakan melalui Trans Pasifik antara Pasifik Barat dan Pantai Barat Amerika utara. Ada tujuh individu yang memiliki jalur yang pendek dan bergerak menuju ke utara Pasifik (Benson et al. 2011)

Pola kedua yang paling sering ditemukan (N=13 individu) terlihat melakukan migrasi ke arah barat Laut Cina Selatan berdekatan dengan Borneo Malaysia dan Kepulauan Palau Filipina. Migrasi ke Laut Cina Selatan biasanya melewati perairan Laut Sulawesih dan Sulu meskipun ada dua individu yang melalui Selat Luzon antara Taiwan dan Filipina, sementara satu individu menuju ke laut Jepang (Benson et al. 2011).

Perbedaan pola migrasi menyebabkan perbedaan musim peneluran pada populasi Pasifik Barat sehingga membentuk sub populasi atau yang dikenal metapopulasi. Metapopulasi yang tergambar pada populasi penyu belimbing adalah adanya perbedaan musim peneluran yang terjadi di PNG, Kepulauan Salomon dan Papua Indonesia. Metapopulasi adalah sejumlah populasi yang membentuk suatu mosaik yang dinamis dan saling berhubungan melalui peristiwa migrasi maupun penyebaran pasif (Primark et al. 2007).

(8)

Gambar 20. Pola migrasi 126 ekor penyu belimbing pada periode internesting (Benson at al. 2011). Tanda lingkaran : batasan area migrasi, tanda kotak: batasan saat transit, merah: boreal summer, biru: austral summer. PBI : Papua Indonesia, PNG, SI (Salomon Island), CCA (Central California) (Benson et al. 2011)

(9)

5.2.4 Trend Populasi di Jamursba Medi dan Wermon

Kecenderungan populasi penyu belimbing berdasarkan hasil pemantauan dibeberapa negara mengalami penurunan populasi termasuk di Pantai Jamursba Medi dan Wermon (Gambar 21 dan 22). Perhitungan populasi penyu belimbing mengacu pada tiga perumusan yang dipublikasikan oleh Dutton et al (2007), Sarti

et al.(1996) dan Tapilatu et al in prep.

Pemantauan yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah sarang penyu dipantai Jamursba Medi mulai tahun 1993 sebanyak 14.420 sarang menurun sampai 1534 sarang pada tahun 2011 (Gambar 21). Sementara untuk Wermon yang dimulai pada tahun 2003 sebanyak 2504 sarang menurun menjadi 1292 pada tahun 2011 (Gambar 22). Banyak spekulasi penyebab penurunan populasi yaitu faktor eksternal dari luar kawasan dan faktor internal dari dalam kawasan konservasi.

Penurunan populasi disebabkan oleh faktor alami maupun faktor manusia yang terjadi di lingkungan darat maupun di lingkungan laut. Sebagai contoh kehilangan habitat bertelur, perusakan sarang oleh predator, perubahan iklim global yang mempengaruhi sukses penetasan telur penyu (Hitipeuw et al. 2007). Ancaman di lingkungan laut seperti perburuan induk penyu dan tingginya tangkapan sampingan (bycatch), pencemaran dimana penyu laut mengkonsumsi berbagai sampah seperti kantong plastik tal balls dan balon serta pengaruh lainnya. Ancaman lain yang beresiko tinggi dan berdampak kematian pada penyu adalah perikanan skala besar dengan alat tangkap seperti pukat harimau (trawl), perikanan tuna dengan alat tangkap rawai, perikanan hiu, sampai perikanan skala kecil atau perikanan tradisional.

(10)

2011 2009 2007 2005 2003 2001 1999 1997 1995 1985 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Ju m la h Pe ny u Be lim bi ng Dutton et al 2005 Sarti et al 1996 Pit-tag 2003-2011 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 700 600 500 400 300 200 Ju m la h Pe ny u Be lim bi ng Dutton et al 2005 Sarti et al 1996 Pit-tag 2003-2011 Variable

Gambar 21. Populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi 1984-2011 (Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep).

Gambar 22. Populasi penyu belimbing di Pantai Wermon 2003-2011 (Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep)

(11)

5.2.5 Status Konservasi

Wibowo (2007) menyatakan status konservasi suatu spesies merupakan indikator penting dalam menentukan kelangsungan hidup spesies pada saat ini hingga dimasa datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang peningkatan maupun penurunan pertumbuhan populasi disepanjang waktu, tingkat keberhasilan kawin dan berbagai ancaman yang mempengaruhi populasi spesies tersebut.

IUCN (2003) in Wibowo (2007), menginventarisasi status konservasi seluruh tumbuhan dan hewan melalui pembentukan IUCN Red List of Threatened Spesies tahun 1963 salah satunya adalah penyu belimbing. IUCN Red List merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan spesies dan sub spesies. Status konservasi penyu belimbing adalah status terancam yang dikeluarkan oleh The World Conservation Union (Ballie dan Grommbrigde 1996 in Wibowo 2007). IUCN dalam daftar buku merah memberikan status kepada penyu belimbing adalah terancam kritis (Critical endangered), sementara dalam Convention on International Trade in Endangered Spesies Wild Fauna and Flora (CITES) penyu belimbing termasuk dalam Apendix I; Born Convention juga mendaftarkan penyu belimbing kedalam Apendix I, II (Hykle 1999 in Wibowo 2007). Secara jelas pengklasifikasian status penyu belimbing terlihat pada Tabel 21.

5.2.6 Ancaman Kepunahan Populasi

Keseluruhan isu tentang perubahan lingkungan saat ini mengarah pada kepunahan spesies (Wilson 1980). Pendapat sama menyatakan kehidupan suatu spesies akan berubah dalam kurun waktu tertentu karena adanya perubahan sehingga adaptasi diperlukan untuk bertahan terhadap perubahan (Harding 1998 in Wibowo 2007). Tetapi ketika perubahan besar dan berlangsung dalam rentang waktu singkat maka spesies tidak mampu beradaptasi terhadap proses reproduksi dan pada akhirnya mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies hewan dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah.

(12)

Tabel 21. Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing

Konvensi Status Uraian

IUCN (Keterancaman

ekologi)

Critical Endangred

Spesies yang berpeluang tinggi untuk punah dalam waktu dekat

CITES (keterancaman perdagangan)

Apendix I jenis yang terancam punah, peredaran komersil dilarang.

CMS atau Bonn

Convention (Keterancaman berdasarkan sifat migrasi)

Apendix I dan II Jenis terancam punah (I) Jenis belum terancam punah namun status konservasinya kurang baik sehingga membutuhkan perjanjian internasional bagi konservasi dan pengelolaannya, serta jenis lain dengan status konservasinya dapat terbantu secara signifikan apabila

dilakukan kerjasama

internasional melalui suatu perjanjian (II)

Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah diketahui dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru kedalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya dimana manusia adalah ancaman utama yang memberi tekanan sepanjang hidup penyu dari telur hingga penyu dewasa. Ancaman lain terhadap kehidupan populasi penyu adalah perubahan lingkungan dan iklim yang berlangsung secara global dan berdampak pada penurunan habitat dan ekosistem.

Ancaman terhadap penurunan populasi penyu belimbing baik populasi dewasa maupun juvenil di Jamursba Medi dan Wermon disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu pasir, penurunan habitat persarangan, predasi telur, perburuan individu dewasa, pengambilan telur dan perikanan komersil (Hitipeuw

et al. 2007). Faktor predasi terhadap telur oleh predator seperti babi hutan, anjing,

biawak dan kepiting menjadi penyebab gagalnya sukses penetasan pada sarang-sarang alami selain faktor suhu pasir yang ekstrim dan pengambilan telur oleh masyarakat. Stark (1993) menyatakan predasi sarang penyu belimbing di pantai Jamursba Medi yang dilakukan anjing sebanyak 181 sarang dari 1300 sarang atau sekitar 14% pada bulan Juli sampai september 1993. Selanjutnya Tapilatu et al.

(13)

(2007) menyatakan laju predasi sarang mencapai 29.3% dalam periode waktu satu bulan (juni-juli) dengan jumlah sarang terpredasi sebanyak 29 sarang di pantai Wembrak Jamursba Medi. Observasi lain menunjukkan adanya aktivitas predasi yang ekstensif oleh babi hutan dan anjing dari bulan september sampai oktober di pantai Warmamedi.

Abrasi pantai peneluran teridentifikasi menjadi salah satu ancaman penurunan habitat persarangan di pantai peneluran. Pantai Jamursba Medi dan Wermon mengalami abrasi dan akresi musiman setiap musim monsun barat laut. Monsun barat laut ditandai dengan gelombang tinggi menyebabkan sarang-sarang dirusak ombak sampai terlihat telur di pantai. Kondisi ini biasanya ditemukan pada bulan Agustus sampai Oktober (Tapilatu et al. 2007). Pola pantai akan berbeda ketika musim teduh. Kondisi ini terlihat sekitar bulan April dimana terjadi penambahan pasir dari laut yang ditandai dengan peningkatan induk yang bertelur dipantai. Indikator lain penyebab terjadi abrasi dan akresi pada pantai peneluran adalah aktivitas penebangan dan pembuatan jalan penghubung antar kota dan kampung. Aktivitas penebangan untuk tujuan pembangunan basecamp menyebabkan adanya pembukaan lahan di hulu sungai dan berdampak adanya banjir dan erosi. Aliran runoff menyebabkan banyaknya kayu terdampar di pantai peneluran dan menghalagi induk penyu yang akan melakukan peneluran. Putrawijaya (2000) in Hitipeuw et al. (2007) menyatakan bahwa aktivitas penebangan kayu dan transportasi pengangkutan di sungai menyebabkan erosi pada habitat peneluran di Jamursba Medi yang hanya berjarak 5 km dari lokasi penebangan. Aktivitas pembukaan lahan sebagai penghubung jalan antar kampung menyebabkan adanya fragmentasi habitat dan penurunan ekosistem daratan yang juga mempengaruhi ekosistem pantai dan laut.

Ancaman lainnya adalah pengambilan telur penyu oleh masyarakat. Pengambilan telur secara luas dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada daerah yang berdekatan dengan pantai peneluran (Kinch et al. 2009). Pengambilan telur termasuk salah satu ancaman penurunan populasi juvenil penyu (tukik). Kebiasaan ini dilakukan dalam kurun waktu yang lama sebelum penyu dilindungi sehingga menurun sampai saat ini dan berdampak kepada penurunan jumlah individu baru penyu (recruitmen).

(14)

Perburuan individu dewasa oleh masyarakat terklasifikasi sebagai pemanfaatan langsung sumberdaya penyu yang beresiko signifikan mempengaruhi populasi. Aktivitas ini terjadi hampir disemua negara (Thorbjarnarson et al. 2000

in Champbell 1996) seperti Amerika Serikat meliputi Florida, Georgia, Lousiana,

Mississippi, North California, Texas dan Virginia), Pesisir Atlantik, Ecuador, Peru, Madagaskar, Seychelles, Indis, Srilanka, Jepang, dan Indonesia. Perburuan di Indonesia dalam skala besar terjadi di kepulauan Kei Maluku (Suarez dan Starbird 1996) karena keterkaitan adat istiadat terhadap perburuan menyebabkan tidak adanya larangan. Lawalata et al (2006) menyatakan bahwa tingkat perburuan masyarakat Kei terbilang tinggi mencapai 78% dengan jumlah penyu belimbing yang tertangkap berkisar antara 1-10 ekor dalam periode Juni-Oktober 2006. Lebih lanjut, terlihat adanya peningkatan jumlah tangkapan Penyu Belimbing periode tahun 2007-2009 yaitu sekitar 82 ekor pada musim 2006/2007, jumlah tangkapan menurun menjadi 16 ekor pada musim 2007/2008, dan pada musim 2008/2009 sekitar 48 ekor yang tertangkap oleh masyarakat Kei (WWF 2008). Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman perburuan sangat signifikan mempengaruhi penurunan populasi Penyu Belimbing dewasa.

Ancaman lain terhadap penurunan populasi penyu belimbing yaitu tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan yang terklasifikasi sebagai pemanfaatan tidak langsung. Perikanan komersil dalam skala besar seperti tuna dan udang telah menjadi ancaman terbesar bagi penyu karena tingginya tangkapan sampingan. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan tuna dan udang berpotensi menyebabkan penurunan populasi penyu belimbing terutama pada fase bermigrasi baik di peraiaran samudra maupun di perairan Indonesia. Meskipun sejauh ini, belum ada data dan informasi yang akurat tentang tertangkapnya penyu akibat perikanan di Indonesia, akan tetapi data tentang tertangkapnya penyu sebagai tangkap sampingan dari kegiatan rawai tuna telah dilaporkan dibeberapa perairan di kawasan lain seperti di laut Mediterania sekitar 20.000 ekor penyu tertangkap tuna rawai tuna setiap tahunnya, di Vietnam sekitar 4.000 ekor penyu per tahun dan di Australia sekitar 400 ekor penyu per tahun (Zainudin et al. 2006)

(15)

5.2.7 Perdagangan dan Pemanfaatan

ProFauna (2005) in Wibowo (2007) melaporkan bahwa eksploitasi penyu belimbing di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian bagian tubuhnya dijumpai di Pulau Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan dienam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), Pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), Pantai Pangandaran (Jawa Barat), Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat), dan Pantai Samas (Yogyakarta).

Konsumsi terhadap penyu belimbing terjadi di Kepulauan Kei Maluku terjadi dalam skala besar yang ditandai tingginya jumlah tangkapan individu dewasa permusim (WWF 2007). Tujuan perburuan masyarakat Kei bervariasi mulai dari konsumsi keluarga sampai perayaan hari besar keagamaan dan adat. Lawalata et al. (2004) mengestimasi bahwa dalam 1 tahun (musim 2003/2004) masyarakat menangkap sebanyak 29 ekor penyu belimbing dengan jumlah jantan 9 ekor dan 20 ekor betina untuk dikonsumsi oleh masyarakat dari 7 kampung di Kepulauan Kei seperti ditampilkan pada Gambar 21.

Ekploitasi oleh masyarakat terhadap induk dan daging di perairan Kei disebabkan kondisi ekonomi keluarga, keterbatasan pengetahuan masyarakat, rendahnya Gambar 23. Estimasi penangkapan penyu belimbing di perairan Kepulaun Kei

Maluku Tenggara (Lawalata et al. 2004) Somlain Ohoiderto m Madwaar Ohoidetut u UR Warnal Ohoira D.coriacea 4 6 4 12 1 1 1 0 2 4 6 8 10 12 14 Ju m la h P e n y u B e li m b in g (e k or / ta h u n )

(16)

kontrol dan pengawasan yang diberikan oleh pemerintah dan lembaga konsevasi pada daerah tersebut. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan dari tetua adat bahwa Penyu Belimbing adalah

 Hewan suci dari leluhur masyarakat Kei  Pengikat kekeluargaan masyarakat Kei

 Karapas menggambarkan tujuh bagian menunjukan tujuh suku inti masyarakat Kei

 Distribusi Penyu Belimbing diperairan Kei menjadi hak untuk pemanfaatan secara tradisional

Eksplotasi terhadap telur dan daging juga terjadi di perairan utara Papua mulai dari pesisir Sausapor sampai Manokwari dengan frekuensi yang relatif kecil jika dibandingkan dengan masyarakat Kei. Ini disebabkan daging penyu belimbing memiliki rasa yang tidak lezat, dibandingkan dengan Penyu Hijau. Ukuran body yang relatif besar menjadi kendala dalam menangkap, tetapi tidak menutup kemungkinan penyu belimbing tetap ditangkap apabila tidak ada hasil laut lainnya untuk dikonsumsi. Daging penyu belimbing tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diperjualbelikan untuk peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Survei dipasar tradisional Manokwari ditemukan daging penyu belimbing dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp. 25.000,- sampai Rp. 40.000,- per tumpukan daging atau sekitar 1 kg. Selain daging, telur juga bernilai ekonomis dan banyak dibeli untuk dikonsumsi. Di pasar Sausapor telur penyu belimbing diperjualbelikan dengan harga Rp. 10.000,- per 10 butir.

5.2.8 Pengawasan dan Regulasi

Program konservasi penyu di Indonesia mengacu pada dua pendekatan yaitu konservasi spesies dan konservasi habitat. Konservasi spesies bertujuan menghindari kepunahan ekologi. Pendekatan spesies mengarah pada perlindungan semua jenis penyu, melarang pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan bersifat komersil, meningkatkan pengelolaan populasi baik secara insitu melalui recovery (seperti penangkaran dan relokasi). Indonesia menetapkan penyu belimbing menjadi salah satu satwa yang dilindungi baik secara nasional maupun global. UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya telah mengatur pengelolaan dan perlindungan terhadap jenis satwa dan sanksinya.

(17)

Berdasarkan PP No.7 tahun 1990 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa dimana semua jenis penyu di Indonesia termasuk bagian-bagiannya ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi (Dahuri 2003). Penetapan semua perangkat hukum ini dikarenakan tingginya eksploitasi telur dan daging yang berdampak pada penurunan populasi induk dewasa dan juvenil yang tersedia di alam.

Pendekatan habitat bertujuan melindungi habitat baik habitat peneluran, habitat makan dan habitat migrasi. Perlindungan habitat peneluran diarahkan pada penetapan status kawasan sehingga memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Perlindungan habitat yang telah dilakukan adalah penetapan suakamargasatwa Jamursba Medi dan sekitarnya serta Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Tambrauw Papua Barat. Berbagai peraturan untuk melindungi penyu laut telah disepakati dan sampai saat ini tercatat sembilan peraturan untuk konservasi penyu laut. Beberapa regulasi tentang perlindungan penyu ditampilkan pada Tabel 22.

Tabel 22. Regulasi konservasi penyu laut di Indonesia

Regulasi/Kebijakan Tahun Keterangan

Keputusan Presiden No.43 1997 Ratifikasi konvesi internasional Trade In Endangared Of Wild Flora dan Fauna (CITES)

Kepmen Pertanian No.327 1978 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi (paus, lumba-lumba, penyu) Kepmen Pertanian No.716 1980 Penentuan berbagai jenis satwa liar yang

dilindungi (paus, lumba-lumba, penyu hijau, penyu tempayan, penyu belimbing) UU No.4 1992 Peraturan dasar pengelolaan lingkungan

hidup

Keputusan Presiden No.26 1986 Ratifikasi perjanjian ASEAN tentang konservasi sumberdaya alam

Keputusan Presiden No.32 1990 Konservasi Sumberdaya hayati dan ekosistemnya

UU No.5 1994 Ratifikasi konvensi biodiversitas Peraturan Pemerintah No.7 1999 Perlindungan semua jenis penyu

Pengawasan internasional menetapkan bahwa semua jenis Penyu telah dikategorikan sebagai satwa langka dan dilindungi dalam Red Data Book IUCN, Apendix I CITES (Tabel 21) dimana penyu merupakan jenis satwa terancam punah sehingga dilarang diperjualbelikan dan pengaturan perdagangannya harus berdasarkan prosedur CITES. Berdasarkan sifat migrasi, Penyu Belimbing juga

(18)

termasuk dalam Apendix I dan II daftar CMS karena status populasi yang terancam.

5.2.9 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing

Perdagangan internasional jenis flora dan fauna diatur melalui suatu konveksi internasional yang disebut dengan Convention on Internasional Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora menjamin keberlanjutan populasi

flora dan fauna di habitat alam. Indonesia meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 14 tahun 1978 artinya Indonesia mengikuti aturan dalam konveksi tersebut secara efektif. Salah satu isi dari konveksi terkait dengan perdagangan satwa yang masuk dalam daftar Appendix I yaitu artikel IV yang menyatakan bahwa pengambilan dan perdagangan internasional terhadap suatu spesies tidak akan merusak populasi di alam atau dengan istilah non detrimental

finding.

Panduan pelaksanaan non detrimental finding dikompilasi oleh Rosser and Haywood (2002) in Oktoviani et al. (2008) . Pelaksanaan non detrimental finding di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan (Scientific authority) CITES. Komponen utama non detrimental

finding dalam menelaah suatu spesies yang ditangkap dari alam berdasarkan sifat

biologis, status nasional, pengelolaan penangkapan, kontrol penangkapan, pemantauan penangkapan, insentif dan keuntungan penangkapan serta perlindungan dari penangkapan (Prijono 2005 in Oktoviani et al. 2008). Baik buruk pelaksanaan non detrimental finding untuk suatu spesies digambarkan dalam radar yang menghubungkan nilai nilai dari unsur non detrimental finding. Radar plot yang semakin menjauhi titik pusat menggambarkan pelaksanaan non

detrimental finding yang buruk. Penerapan non detrimental finding pada penyu

belimbing dilakukan dengan menganalisis 25 unsur dimana hasil penilaian penyu belimbing dijelaskan seperti pada Gambar 24.

Pertimbangan sebagai landasan dalam penilaian untuk 25 unsur non

detrimental finding mengacu pada hasil penelitian terdahulu sampai dengan saat

ini. Penilaian NDF dijabarkan secara detail berdasarkan sistem ranking dengan mengacu pada lima penilaian utama yaitu aspek biologi penyu belimbing, aspek status populasi, aspek perdagangan dan pemanfaatan, aspek pengawasan dan

(19)

peraturan. Aspek biologis dan karakteristik terlihat bahwa siklus hidup penyu belimbing memiliki rentang waktu yang panjang dengan reproduksi tinggi sebanding dengan laju mortalitas tinggi. Waktu yang dibutuhkan penyu mencapai usia muda sampai pada matang kelamin adalah 20 tahun. Penyu belimbing memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan seperti kemampuan renang dan menyelam untuk menjangkau perairan dalam dan perairan dangkal. Distribusi selama bertelur di Jamursba Medi dan Wermon diketahui meliputi pesisir Utara Papua dengan distribusi habitat di pantai Utara Papua, Taman Nasional Teluk Cendrawasih Wasior, Kepulauan Rajampat dan Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki areal migrasi yang relatif luas sampai mencapai perairan Monterbay California. Interaksi antara penyu belimbing dengan manusia bukanlah hubungan mutualisme melainkan hubungan komensalisme karena manusia berperan sebagai predator.

Aspek status populasi menunjukkan bahwa ancaman penurunan populasi adalah degradasi habitat peneluran, perubahan iklim yang mempengaruhi persentasi sukses penetasan, ekploitasi telur dan daging, perikanan komersil yang menyebabkan banyaknya tangkapan sampingan. Tingginya tangkapan sampingan disebabkan penggunaan alat tangkap dari perikanan skala besar yang biasanya tidak selektif sehingga beresiko tertangkapnya penyu belimbing. Dampak dari tangkapan dan pemanfaatan tradisional adalah penurunan populasi spesies dewasa yang mengarah pada kepunahan. Rencana pengelolaan yang sudah dilakukan adalah perlindungan habitat dengan penetapan status kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi dan penetapan KKLD Abun. Adanya penetapan status kawasan mengakomodir penelitian tentang populasi penyu belimbing oleh pemerintah (BBKSDA dan DKP) bahkan lembaga konservasi internasional seperti WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua, NOAA Fisheries dan Yayasan Alam Lestari Indonesia. Tujuan pengelolaan mengarah pada perlindungan spesies dan perlindungan habitat. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan peningkatan proporsi populasi penyu belimbing dialam yang saat ini mengalami penurunan. Untuk meningkatkan proporsi populasi maka diperlukan metode pemantauan terhadap ancaman utama seperti penangkapan baik penangkapan langsung maupun penangkapan tidak langsung. Pengaruh internal dari masyarakat

(20)

digambarkan adanya konflik baik hak ulayat pada habitat peneluran dan konflik pemanfaatan sumberdaya penyu. Lembaga pengelola yang berperan mengelola kawasan merupakan tanggungjawab semua stakehoder seperti masyarakat, pemerintah pusat (BKSDA) dan pemerintah daerah (DKP) dan lembaga konservasi internasional yang bersepakat untuk melakukan kolaborasi program dengan cakupan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Hasil analisis radar plot dalam penilaian non detrimental finding pada Gambar 24 memperlihatkan bahwa daerah yang berwarna menjauhi titik pusat menunjukan pemanfaatan terhadap penyu belimbing tidak mengarah pada jaminan terhadap kelestarian populasi di alam. Kondisi ini semakin kritis mengingat siklus hidup penyu belimbing dengan tingkat reproduksi tinggi, mortalitas tinggi dan masa hidup yang panjang menyebabkan rendahnya jumlah individu dewasa yang bisa mencapai umur dewasa. Selain biologi, status dari penyu belimbing yang termasuk dalam critical endangared yang tidak didukung oleh unsur lain menyebabkan perlu ada penanganan secara kontinue.

Gambar 24. Penilaian non detrimental finding status pemanfaatan penyu belimbing di Tambrauw Papua Barat.

(21)

5.3 Keadaan Sosial Antropogenik 5.3.1 Analisis Responden

Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing. Jumlah responden dari enam kampung adalah 185 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 41 KK untuk kategori pengambil telur, 53 KK untuk kategori konsumsi telur, 38 KK untuk penangkap penyu dan 53 KK untuk konsumsi daging penyu belimbing. Responden kunci pengambil kebijakan terambil 5 orang yang berasal dari instansi teknis lingkup pemerintah Kabupaten Tambrauw. Responden kunci terdiri atas Kepala Bidang Perikanan dan Kelautan Tambrauw, Kepala Distrik Sausapor, Kepala Distrik Abun, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Tambrauw dan Kepala BKSDA II Papua Barat.

Gambar 25. Hasil analisis responden di pesisir KKLD Abun Tambrauw (b).Usia

(a). Tingkat pendidikan

(22)

Berdasarkan hasil analisis kuesioner terhadap 185 responden diketahui karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, usia, jenis pekerjaan dan asal daerah seperti terlihat pada Gambar 25. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing di pantai Jamursba Medi dan Wemon adalah 37% untuk Sekolah Dasar (SD), diikuti SMA sebesar 34%, SMP sebesar 19% dan paling rendah Perguruang Tinggi (PT) seperti D3 dan D2 sebesar 10%. Selanjutnya berdasarkan tingkat usia, sejumlah responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing memiliki kisaran usia dari 20 - 35 tahun sebesar 52%, diikuti 30 - 50 tahun sebesar 36 - 50 tahun, sebesar 18% berusia 51 - 65 tahun, >65 tahun sebesar 5% dan yang terendah adalah >15 tahun sebesar 4%. Berdasarkan jenis pekerjaan, responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing bermatapencaharian petani atau nelayan sebesar 82%, PNS sebesar 9% dan pedagang sebesar 9%. Selanjutnya berdasarkan asal daerah responden diketahui persentase terbesar adalah berasal dari suku Abun 30%, diikuti suku Meyah-Kebar sebesar 26%, suku Biak sebesar 22%, sementara suku Serui dan pendatang memiliki nilai persentase yang sama yaitu 11%.

5.3.2 Responden Pengambil Telur

Pengumpul telur dari pantai peneluran didominasi oleh kaum lelaki yang merupakan penduduk yang mendiami pesisir utara Papua terdiri dari suku Abun, suku Meyah-Kebar, suku Biak dan suku Serui serta beberapa suku pendatang. Hasil survei terlihat bahwa jumlah responden pengambil telur tertinggi yaitu pada frekuesni 1-2 sarang dengan persentase 68%, diikuti 13% untuk frekuensi 3 - 4 sarang ditiap musim. Secara jelas jumlah pengambilan telur tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Jumlah responden pengambil telur Penyu Belimbing berdasakan jumlah

sarang per satu periode musim peneluran. No Jumlah Sarang

(musim)

Jumlah responden Persentase (%)

1 1-2 28 68.29

2 3-4 13 31.71

3 5-6 0 -

4 >7 0 -

Jumlah 41 100.00

(23)

Pengambilan telur penyu belimbing telah dilakukan sejak lama (10-15 tahun terakhir) dan aktivitas ini menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat yang berdekatan dengan pantai peneluran. Dari 41 responden pengambil telur, berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 17 orang responden diantaranya tamatan SD, 9 orang tamatan SMP, 12 orang tamatan SMA dan 3 orang tamatan D2. Usia responden terlihat bahwa 16 responden berusia 20-35 tahun, 14 responden berusia 36-50 tahun, 9 responden berusia 51-65 tahun dan >65 tahun sebanyak 2 responden. Responden kelompok pendidikan pada tingkat SD sampai Perguruan tinggi mendominasi untuk pengambilan sarang telur pada frekuensi 1-2 dan 3-4 sarang. Pada frekuensi pengambilan 1-2 sarang pada tingkat SD sebanyak 11 responden, diikuti SMA sebanyak 8 responden, SMP sebanyak 7 responden dan terendah pada tingkat perguruan tinggi sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang terlihat bahwa responden yang berpendidikan SD masih mendominasi sebanyak 6 responden, SMA sebanyak 4 responden, SMP sebanyak 2 responden dan Perguruan tinggi sebanyak 1 responden. Responden kelompok usia menunjukkan usia 20-35 tahun mendominasi frekuensi

Pengambilan telur 1-2 sarang sebanyak 10 responden, 36-50 tahun sebanyak 9 responden, 51-65 tahun sebanyak 5 responden dan >65 tahun sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang juga didominasi oleh usia 20-35 tahun sebanyak 6 responden, 30-50 tahun sebanyak 5 responden dan 51-65 tahun sebanyak 4 responden.

Gambar 26. Laju pengambilan telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT).

Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(1-2 sarang), 2(3-4sarang),3(5-6 sarang),4(>7sarang)

y = 0.0696x + 1.1905 R² = 0.0255 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 1 2 3 4 5 Fr e k ue ns i P e ng a m bi la n T e lur (s a r a ng ) Kelompok Pendidikan KP Linear (KP) y = -0.0174x + 1.3991 R² = 0.0012 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 1 2 3 4 5 Fr e k u e n s i P e n g a m b il a n T e lu r (S a r a n g ) Kelompok Usia KU Linear (KU)

(24)

Gambar 26 terlihat dua trend atau kecenderungan berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan menggambarkan kecenderungan peningkatan pada frekuensi pengambilan telur yang terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya peningkatan kecenderungan pengambilan telur sejalan dengan tingginya pendidikan masyarakat menjelaskan bahwa tingkat pendidikan masyarakat tidak memberikan perubahan perilaku masyarakat untuk tidak memanfaatkan telur. Kondisi ini disebabkan karena pengambilan telur merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga setinggi apapun tingkat pendidikan masyarakat tidak mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memanfaatakan sumberdaya.

Kelompok usia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dimana semakin tua usia maka semakin rendah frekuensi pengambilan telur yang terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya penurunan pengambilan telur sejalan dengan usia dimana semakin tua (umur tidak produktif) maka semakin kurang tenaga sehingga aktivitas seperti pengambilan telur akan jarang dilakukan. Sebaliknya pada pelaku yang berusia muda (umur produkti 20 - 35 tahun) melakukan pengambilan telur pada frekuensi tinggi dengan jumlah sarang yang banyak. Ini disebabkan, pada umur produktif dengan status sosial yang sudah berumahtangga mengharuskan tambahan tanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Faktor lain menyatakan bahwa pola hidup masyarakat Papua yang bersifat extended family artinya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam skala besar mengharuskan lelaki dewasa umur produktif memiliki beban kerja cenderung besar dibanding lelaki berusia tua.

Hasil analisis regresi berganda variabel pendidikan dan usia secara simultan menunjukkan hasil nilai F adalah 6,40 dengan signifikasi 0,004 atau lebih besar dari 0,001 (1%) yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan usia tidak berpengaruh terhadap perilaku pengambilan telur. Hasil R2=25% menunjukkan variabel bebas pendidikan dan usia tidak memiliki keeratan hubungan dengan variabel pengambil telur. 25% variasi perilaku pengambilan telur dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia, sementara 21.3% dipengaruhi variabel lainnya. Berdasarkan uji parsial melalui analisis regresi diperoleh model pendidikan (X1) menunjukkan koefisien sebesar 0,4155 terhadap perilaku

(25)

pengambilan telur dengan signifikansi 0,004. Hal ini menjelaskan bahwa secara signifikan (0,004) model pendidikan mempengaruhi perilaku pengambil telur dan bernilai negatif, dimana semakin tinggi tingkatan pendidikan akan menurunkan frekuensi pengambilan telur sebesar 0,4155 sarang begitupun sebaliknya. Selanjutnya untuk variabel dari model usia pada selang kepercayaan 0,047 menunjukkan bahwa secara signifikan usia mempengaruhi perilaku pengambilan telur dan bernilai negatif dimana semakin tinggi tingkatan usia akan menurunkan frekuensi pengambilan telur.

Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari pengambil telur yang menunjukkan adanya kenormalan data yang berupa garis lurus linear maka penyebaran data secara normal terpenuhi dan model ini layak untuk memperkirakan hubungan pengambilan telur berdasarkan variabel pendidikan dan usia. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menjelaskan pola hubungan pengambil telur terhadap pendidikan dan usia mebentuk pola acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu dan menyebar diatas maupun dibawah angka pada angka 0 pada sumbu Y sehingga model ini dikatakan tepat atau dapat dipakai untuk menilai perilaku pengambilan telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia.

5.3.3 Responden Konsumen Telur

Masyarakat yang mendiami pesisir utara KKLD Abun adalah pelaku konsumen telur penyu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi konsumsi terbesar oleh masyarakat adalah 30.19% dengan frekuensi konsumsi 0 - 20 butir dan 55 - 100 butir, diikuti 16% untuk frekuensi konsumsi 110 - 200 butir dan 13.12% untuk frekuensi 25 - 50 butir. Secara jelas persentase konsumsi telur ditampilkan pada Tabel 24.

Tabel 24. Jumlah responden konsumsi telur penyu belimbing berdasarkan jumlah telur per satu periode musim peneluran.

No Jumlah telur (butir/kk/musim)

Jumlah responden Persentase (%)

1 0-20 16 30.19

2 25-50 7 13.12

3 55-100 16 30.19

4 110-200 14 26.42

Jumlah 53 100.00

(26)

Masyarakat pesisir KKLD Abun menjadikan telur sebagai alah satu makanan alternatif pengganti ikan dan daging. Kebiasaan konsumsi telur telah dilakukan sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun. Laju konsumsi telur oleh masyarakat terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 22 responden berpendidikan SD, SMP 9 responden, 12 responden berpendidikan SMA dan 10 responden setingkat perguruan tinggi. Berdasarkan usia terlihat bawa 25 responden berusia 20 - 35 tahun, 13 responden berusia 36 - 50 tahun, 7 responden berusia 51-65 tahun dan 1 responden berusia >65 tahun.

Survei pada Gambar 27 menyatakan laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan yaitu tingkatan SD mendominasi sebanyak 8 responden untuk frekuensi 110 - 200 butir, 6 responden untuk frekuensi 1 - 20 butir dan 2 responden untuk frekuensi 25 - 50 butir. Kelompok responden setingkat SMA sebanyak 5 responden untuk frekuensi 55 - 100 telur, 4 responden mengkonsumsi 1 - 20 butir dan 3 responden mengkonsumsi 25 - 100 butir. Kelompok responden setingkat SMP sebanyak 4 responden untuk konsumsi 1 - 20 telur, 3 responden untuk konsumsi 50 - 100 butir dan 1 responden masing-masing untuk 25 -50 butir dan 110 - 200 butir. Selanjutnya kelompok usia didominasi oleh usia muda 20 - 35 tahun pada frekuensi 50 - 100 butir sebanyak 9 responden, frekuensi 1 - 20 butir sebanyak 7 responden, frekuensi 110 - 200 butir sebanyak 6 responden dan frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 3 responden. Pada usia 36 - 50 tahun dengan frekuensi 51 - 100 butir sebanyak 6 responden, frekuensi 110 - 200 sebanyak 4 responden, frekuensi 1 - 20 sebanyak 3 responden. Usia 51 - 65 tahun pada frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 5 responden dan usia >65 tahun pada frekuensi 55 - 100 sebanyak 1 responden. Secara rinci laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia terdeskripsikan pada Gambar 27.

Gambar 27 menunjukkan trend atau kecenderungan yang sama terhadap kelompok pendidikan maupun kelompok usia. Trend pada kelompok pendidikan menunjukkan setiap tingkatan pendidikan memiliki peluang dan dominasi yang sama dalam mengkonsumsi telur pada frekuensi 1(1 - 20 butir) sampai frekuensi 4(110 - 200 butir). Rendahnya hubungan antara tingkat pendidikan dan usia terhadap perilaku konsumsi telur disebabkan karena konsumsi telur merupakan

(27)

salah satu kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan protein tubuh tetapi juga telur merupakan salah satu makanan alternatif pengganti daging dan ikan sebagaimana dijelaskan pada variabel sebelumnya. Selain itu pola masyarakat pesisir Papua yang bersifat subsitem yang memiliki nilai memanfaatkan semua sumberdaya yang disediakan alam, karena tidak memiliki kemampuan memproduski makanan. Tidak adanya kemampuan memproduksi makanan menyebabkan laju pemanfaatan akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan sehingga berdampak pada penurunan sumberdaya.

Hasil analisis simultan (uji F) adalah sebesar 0.14 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia konsumsi telur oleh masyarakat pesisir Tambrauw tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur dengan signifikansi atau selang kepercayaan 0.869. Model pendidikan dan usia hanya mempengaruhi perilaku konsumsi dengan variasi sebesar 0.6%. Berdasarkan (uji T) terlihat bahwa model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur. Model pendidikan dengan selang kepercayaan 0.668 menunjukkan bahwa perilaku konsumsi telur oleh masyarakat tidak dipengaruhi oleh model pendidikan. Variabel usia pada selang kepercayaan 0.727 juga menjelaskan bahwa perilaku konsumsi tidak dipengaruhi oleh usia. Kedua variabel ini menegaskan bahwa

Gambar 27. Laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(0-20butir), 2(25-50butir), 3(55-100butir), 4(110-200butir).

(28)

setinggi tingkatan pendidikan ataupun usia, perilaku konsumsi telur tetap dilakukan karena aktivitas ini sudah merupakan kebiasaan masyarakat setempat.

Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari konsumsi telur yang menunjukkan adanya kenormalan data terlihat pada score -50 pada sumbu X dan 50 pada sumbu Y untuk membetuk garis linear sehingga perlu dilakukan normalitas data karena beberapa data tidak terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menggambarkan adanya hubungan konsumsi telur terhadap pendidikan dan usia dimana terbentuknya pola acak yang terdistribusi diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y. Hal ini mengindikasikan bahwa model ini tepat atau dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan perilaku konsumsi telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia. 5.3.4 Responden Penangkap

Responden penangkap penyu belimbing merupakan masyarakat yang mendiami pesisir utara Papua. Seluruh responden yang melakukan aktivitas penangkapan adalah lelaki dewasa sebanyak 38 responden. Hasil menunjukkan bahwa persentase pengambilan terbanyak sebesar 57.89% pada frekuensi 1 - 2 ekor/KK/kampung/musim, diikuti 31.58% pada frekuensi 3 - 4 ekor, sebesar 7.89% pada frekuensi 7 - 8 ekor. Secara jelas persentase penangkapan ditampilkan pada Tabel 25.

Tabel 25. Jumlah responden penangkap Penyu Belimbing berdasakan jumlah individu per satu periode musim.

No Jumlah penyu (musim)

Jumlah responden Persentase (%)

1 1-2 22 57.89

2 3.4 12 31.58

3 5-6 3 7.89

4 7-8 1 2.63

Jumlah 38 100.00

Sumber : Data Primer (2012)

Responden penangkap penyu belimbing terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 19 responden setingkat SD, 8 responden adalah SMP, 10 responden adalah SMA dan 1 responden setingkat PT. Berdasarkan usia diketahui usia 20 - 35 tahun sebanyak 22 responden, usia 36 - 50 tahun sebanyak 14 responden, usia 51 - 65 tahun sebanyak 5 responden dan 5 responden berusia >65 tahun.

(29)

Gambar 28 menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan penyu belimbing tertinggi dilakukan oleh responden berpendidikan SD untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 10 responden, 5 responden untuk frekuensi tangkapan 3 - 4 ekor, 3 responden untuk frekuensi tangkapan 5 - 6 ekor dan 1 responden untuk frekuensi tangkapan >7ekor. Responden yang berpendidikan SMP untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor dan 3 - 4 ekor sebanyak 4 responden, selanjutnya responden yang setingkat SMA untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 7 responden, 3 responden untuk frekuensi tangkapa 3 - 4 ekor. Untuk tingkat PT terlihat hanya 1 responden pada frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor.

Kelompok usia terlihat bahwa usia muda mendominasi dalam aktivitas tangkapan pada semua frekuensi tangkapan. Hasil menunjukkan bahwa usia 20-35 pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 15 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 6 responden, frekuensi tangkapan 7-8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia 36 - 50 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 10 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia yang lebih tua yaitu 51 - 65 tahun terlihat mengalami penurunan dimana pada frekuensi 1 - 3 ekor hanya 4 responden, 1 responden pada frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor. Hal sama juga ditunjukkan pada usia >65 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 2 responden.

Gambar 28. Laju tangkapan penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT).

Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(1-2 ekor), 2(3-4 ekor),3(5-6 sarang),4(7-8 ekor)

y = -0.1987x + 1.9463 R² = 0.0741 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 1 2 3 4 5 F r e k ue ns i T a ng k a pa n (e k or ) Kelompok Pendidikan KP Linear (KP)

(30)

Gambar 28 menggambarkan dua trend berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan memperlihatkan trend penurunan penangkapan pada tingkatan pendidikan yang sudah tinggi seperti perguruan tinggi. Responden dengan tingkatan pendidikan rendah mendominasi dalam penangkapan penyu belimbing dikarenakan keahlian dan kemampuan intelektual yang rendah sehingga tidak ada pilihan alternatif matapencaharian. Responden berpendidikan tinggi cenderung lebih rendah menangkap karena adanya alternatif mata pencaharian lain dengan keuntungan tinggi dibandingkan dengan responden yang rata-rata tingkatan pendidikan SD sampai SMA. Kelompok usia memperlihatkan trend penurunan pada usia muda dibandingkan usia tua. Adanya perbedaan dimana usia tua lebih disebabkan pengalaman menangkap. Responden yang berusia tua cenderung memiliki pengalaman dalam hal daerah penangkapan, alat tangkap yang dipakai sampai teknik teknik penangkapan.

Uji simultan (Uji F) sebesar 0,35 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan signifikansi mencapai 0,710. 1.9% variasi perilaku tangkapan penyu dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0% dipengaruhi oleh variasi variabel lain. Secara parsial model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat. Model pendidikan tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,436 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi tangkapan sebesar 0,2191 ekor/musim, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,969 tidak mempengaruhi perilaku tangkapan dan bernilai negatif yang artinya semakin meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin rendah perilaku tangkapan sebesar 0,0105 ekor.

Plot uji normalitas (Lampiran 8) pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore (-2) pada sumbu X dan (10) pada sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk beberapa pola.

(31)

5.3.5 Responden Konsumsi Daging

Konsumsi daging menjadi salah satu tujuan yang ingin diketahui dalam penelitian ini. Konsumsi daging yang digambarkan dalam penelitian ini memiliki nilai tertinggi pada frekuensi 1 - 3 kg sebesar 60.39%, diikuti 4 - 6 kg sebesar 32.08%, dan frekuensi konsumsi 7 - 8 kg mencapai 7.55%. Secara jelas persentase konsumsi daging ditampilkan dalam Tabel 26.

Tabel 26. Jumlah responden konsumsi Penyu Belimbing berdasakan jumlah kilogram yang dikonsumsi per musim.

No Jumlah telur (musim)

Jumlah responden Persentase

(%) 1 1-3 32 60.39 2 4-6 17 32.08 3 7-8 4 7.55 4 9-11 0 - Jumlah 53 100.00

Sumber : Data Primer (2012)

Total responden konsumsi daging adalah 52 (KK) yang diketahui berdasarkan tingkat pendidikan yaitu 21 KK tamatan SD, 9 tamatan SMP, 17 tamatan SMA dan sarjana 6 orang. Sementara untuk usia sebanyak 22 responden berusia 20 - 35 tahun, 14 responden berusia 35 - 50 tahun, 5 responden berusia 51 - 65 tahun dan >6 tahun sebanyak 5 responden.

Hasil menunjukkan bahwa kelompok pendidikan setingkat SD mendominasi konsumsi daging pada frekuensi 1 - 3 kg sampai 7 - 8 kg mencapai 21 responden, responden setingkat SMP sebanyak 9 responden, responden setingkat SMA sebanyak 17 responden dan setingkat Perguruan tinggi sebanyak 13 responden. Selanjutnya kelompok usia memperlihatkan konsumsi daging didominasi oleh usia muda 20 - 35 tahun sebanyak 15 responden untuk frekuensi konsumsi 1 - 3 kg, 6 responden untuk frekuensi konsumsi 4 - 6 kg, dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya usia 31 - 50 tahun pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg sebanyak 10 responden, 3 responden untuk frekuensi konsumsi 4 - 6 kg dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya pada usia 51 - 65 tahun sebanyak 4 dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 1 - 3 kg dan 4 - 6 kg. Sementara pada usia >65 tahun sebanyak 3 dan 2 responden pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg dan 7 - 8 kg.

(32)

Gambar 29 menjelaskan trend kelompok pendidikan menunjukkan responden setingkat SD sampai SMA mendominasi konsumsi daging dan cenderung menurun pada responden dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi. Kelompok usia memperlihatkan trend peningkatan pada usia tua dimana konsumsi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini disebabkan kebiasaan konsumsi yang terbawa sampai saat ini menyebabkan responden yang berusia tua lebih menyukai daging penyu dibandingkan responden yang berusia muda yang lebih selektif dalam memilih makanan untuk dikonsumsi.

Uji varian (Uji F) sebesar 2,73 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan signifikansi mencapai 0,075. Variasi sebesar 9,9% dari perilaku konsumsi daging dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0,62% dipengaruhi oleh variasi variabel lain. Analisis parsial model pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku konsumsi daging. Model pendidikan mempengaruhi perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,030 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi konsumsi sebesar 0.6263 kg, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,117 tidak mempengaruhi perilaku konsumsi dan bernilai positif yang artinya semakin Gambar 29. Laju konsumsi daging penyu belimbing berdasarkan tingkat

pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65),4(>65). Frekuensi konsumsi daging 1(1-3 kg), 2(4-6 kg),3(7-8 kg),4(9-11 kg)

(33)

meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin tinggi perilaku konsumsi daging sebesar 0,0105 kg.

Plot uji normalitas (Lampiran 8) pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore (-2) pada sumbu X dan (20) pada sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk tidak membentuk pola.

5.4 Indeks Kerentanan Populasi Penyu Belimbing

Indeks kerentanan yang dikonstruksikan dalam penelitian ini terdiri dari model statis untuk indeks kerentanan populasi Penyu Belimbing. Model statis adalah indeks untuk menghitung kerentanan saat ini.

5.4.1 Penentuan Bobot Variabel Kerentanan

Variabel kerentanan untuk tiap dimensi kerentanan memiliki peranan atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indek kerentanan populasi. Kaitannya dengan signifikansi suatu variabel, Rao et al. (2008) dan Daukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan variabel lainnya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memberikan besaran bobot pada tiap variabel seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, menggunakan persamaan linier dan menggunakan matriks perbandingan seperti yang dikemukakan oleh Villa and Mcleod (2002) in Tahir (2010). Dalam penelitian ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan matriks karena dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap variabel dari kerentanan populasi.

Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan 1/3 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks yaitu n(n-1)/2 karena matriks reciprocal dan elemen diagonalnya sama dengan 1.

(34)

Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Urutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif ditampilkan pada Tabel 27

Tabel 27. Bobot variabel kerentanan populasi

Variabel Bobot

Dimensi keterpaparan

Variasi suhu pasir VSP 0,35

Kenaikan muka laut x kemiringan pantai (SLR) x KP 0,18

Monsun M 0,18 Laju Predasi LP 0,12 Pengambilan Telur PT 0,09 Tangkapan Masyarakat TM 0,09 Dimensi kepekaan Suhu pasir SP 0,34 Teksture pasir TP 0,17 Kedalaman sarang KS 0,17 Konsumsi telur KT 0,11 Konsumsi daging KD 0,09 Tangkapan sampingan BC 0,09

Dimensi kapasitas adaptif

Sarang relokasi SR 0,41 Perlindungan habitat PH 0,21 Pengetahuan masyarakat PM 0,14 Potensi konflik PK 0,14 Peranan Pemerintah PP 0,10 5.4.2 Sistem Lingkungan

5.4.2.1 Suhu dan Variasi Suhu Pasir

Suhu pasir menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan penetasan telur selama masa inkubasi. Tabel 28 menunjukkan rata rata suhu pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berfluktuasi dengan kisaran 27.31 0C sampai 30.83 0C tahun 2009. Berbeda dengan suhu pasir tahun 2010 yang cenderung konstan dengan kisaran 28.42 0C sampai 29.78 0C. Adanya perbedaan suhu pasir pada kedua pantai peneluran dan tahun yang berbeda disebabkan frekuensi curah hujan dan kemarau yang tidak menentu sepanjang

(35)

tahun sehingga mempengaruhi fluktuasi suhu udara suhu pasir. Selain pengaruh iklim, tipe pasir dan kedalaman sarang juga mempengaruhi fluktuasi suhu pasir. Secara jelasnya suhu pasir di pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon ditampilkan pada Tabel 28.

Tabel 28. Suhu Pasir pada plot pengamatan di Pantai Jamursba Medi dan Wermon 2009/2010 Jamurba Medi (April-Oktober) dan Wermon (November-Maret)

Pantai Peneluran 2009 2010

Rata±SD (min-max) (0C) Rata±SD (min-max) (0C) Jamursba Medi

Wembrak 30.44±1.22(24.54-34.57) 29.78±1.10(26.60-33.75)

Baturumah 30.83±1.68(24.47-33.56) 29.94±1.12(26.08-32.89)

Warmamedi 29.36±1.22(24.43-33.82) 28.42±0.78(26.06-33.00)

Wermon 27.31±1.60(24.41-33.34) 29.79±0.75(26.08-33.96)

Sumber : Data primer 2012

Nilai minimum pada Tabel 28 terlihat peningkatan suhu pasir dari 24 0C menjadi 26 0C pada tahun 2009/2010. Adanya peningkatan suhu pasir ini dipengaruhi oleh peningkatan suhu global. Sebagaimana diketahui bahwa suhu global di tahun 2010 meningkat signifikan dan oleh BMG menyatakan bahwa tahun 2010 merupakan tahun dengan suhu udara terpanas. Hal yang sama juga disampaikan Trendberth et al. (2007) in Poloczanska et al. (2009) menyatakan rata-rata suhu global meningkat sekitar 0.74 0C dalam 100 tahun terakhir menjadi lebih hangat. Peningkatan suhu secara global ini mempengaruhi fluktuasi suhu pasir (Gambar 30) yang diprediksi mempengaruhi perkembangan embrio penyu bahkan proses sukses penetasan telur dan ratio seks dari tukik yang dihasilkan (Hansen et al. 2006; IPCC 2007 in Poloczanska et al. 2009 ).

Gambar 30 menunjukkan variasi suhu pasir sangat berfluktuasi dan cenderung mengalami perubahan pada plot pengamatan. Suhu pasir dengan fluktuasi yang besar terlihat di pantai Baturumah dengan kisaran 22 - 34 0C. Besarnya fluktuasi suhu pasir plot dipengaruhi lingkungan plot pengamatan dan tersebut dan proporsi pasir yang berukuran sedang mencapai 24.14% lebih banyak dibandingkan ketiga pantai lainnya. Novitawati et al. (2003) menyatakan bahwa komposisi dan diameter butiran pasir berpengaruh terhadap kepadatan pasir dan porositas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pasir menyimpan air dan menahan laju penguapan sehingga akan mempengaruhi perubahan suhu pasir dan

(36)

suhu sarang. Suhu pasir plot ditiga pantai lainnya cenderung meningkat seperti Wembrak, Warmamedi dan Wermon berkisar antara 25 - 34 0C tetapi tidak ada perbedaan signifikan dibandingkan dengan suhu pasir plot di pantai Baturumah.

Variasi suhu pasir perbulan mempengaruhi periode inkubasi telur dalam sarang dan seksualitas tukik yang dihasilkan. Gambar 31 menyajikan variasi suhu pasir perbulan pada empat pantai selama musim peneluran. Hasil ini menjelaskan distribusi suhu pasir perbulan pada pantai Jamursba Medi dan Wermon. Variasi suhu perbulan ditiga pantai di Jamursba Medi terlihat menyebar merata dengan rata rata 28 - 29 0C tetapi menurun ketika memasuki bulan Oktober. Hal ini disebabkan pada bulan Oktober, frekuensi curah hujan cenderung tinggi terutama di Kabupaten Sorong dan sekitarnya termasuk pesisir Tambrauw. BMG (2012) menyatakan intensitas curah hujan pada bulan oktober adalah 342.8 dengan jumlah hari hujan adalah 23 hari.

Variasi suhu pasir perbulan dipantai Wermon seperti Gambar 31 terlihat konstan yang berkisar antara 27 - 31 0C. Variasi suhu pasir perbulan di Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan variasi yang berkisar antara 26 - 33 0C yang hampir sama dengan variasi suhu pasir penyu pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan periode inkubasi maka suhu pasir dikedua pantai ini sesuai dengan suhu

Wn 6 Wn 5 `Wn 4 Wn 3 Wn 2 Wn 1 Wi 4 Wi 3 Wi 2 Wi 1 b Wi 1 Wk 6 Wk 5 Wk 4 Wk 3 Wk 2 Wk 1 Br3b Br3 Br2 Br1 34 32 30 28 26 24 22 S u h u P as ir ( 0 C )

Plot pengamatan Baturumah (BR), Wembrak (Wk), Warmamedi (Wi) dan Wermon (Wn) Gambar 30. Variasi suhu pasir di plot pengamatan Pantai Baturumah (21

April–2 Oktober 2010 ), Wembrak (22 April–1 Oktober 2010), Warmamedi (23 April-3Oktober 2010) dan Wermon (11 November 2010-31 Maret 2011).

Gambar

Gambar  19.  Batimetri  pesisir  utara  Kepala  Burung  menunjukkan  kisaran  kedalaman 1000 m sampai 9500 m.
Gambar 21. Populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi 1984-2011  (Hitipeuw et al
Gambar 24. Penilaian non detrimental finding status pemanfaatan penyu belimbing  di Tambrauw Papua Barat
Gambar  25. Hasil analisis responden di pesisir KKLD Abun Tambrauw (b).Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Premis I : “Jika Cecep lulus ujian maka saya diajak ke Bandung.” Premis II : “Jika saya diajak ke Bandung maka saya pergi ke Lembang.” Kesimpulan yang sah dari premis-premis

Dan kami memilih desain karena kami ingin membuat suatu logo perusahaan di Jakarta, perusahaan tersebut bergerak di bidang animasi yang cukup terkenal, Karsacipta merupakan

Kombinasi pra-perlakuan jamur dan gelombang mikro menyebabkan terjadinya kehilangan berat pada sampel (Gambar 4.1), dengan kehilangan berat pada inokulum 10% lebih

Pada toolbar dari Oracle VM VirtualBox Manager, klik tombol Settings, untuk mengatur lokasi file ISO instalasi Mikrotik RouterOS yang digunakan untuk instalasi, dan

Jadi persepsi masyarakat merupakan cara pandang atas pengalaman yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri terhadap suatu objek tertentu (dalam hal ini kegiatan

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Evaluasi Sistem

Abstrak: Pelatihan Penulisan Kreatif Terstruktur di MA Raudhatusshibyan NW Belencong ini bertujuan untuk: 1) mengakrabkan peserta didik dengan budaya literasi; 2)

Penelitian ini mengkaji kekerabatan kosakata bahasa Jawa dengan bahasa Bali; kajian linguistik historis komparatif. Hal ini merujuk pada lokasi persebaran kedua