• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVERGENSI PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE OLEH MASRUKHIN H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONVERGENSI PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE OLEH MASRUKHIN H"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH MASRUKHIN

H14052576

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

RINGKASAN

MASRUKHIN. Konvergensi Pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa

Barat Periode 2000-2007 (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mendorong GNP per Kapita atau pendapatan masyarakat naik dalam periode waktu panjang (Todaro,1996). Pembangunan dilakukan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun perbedaaan karakteristik dan keragaman yang tinggi yang meliputi SDA, SDM, letak geografis dan lain-lain berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di suatu daerah. Pada awal pembangunan semua wilayah mempunyai pola pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangannya cenderung untuk terus naik, namun setelah beberapa tahun berjalan, ternyata muncul ketimpangan pendapatan antarwilayah karena kemampuan menciptakan pertumbuhan ekonomi masing-masing sangat bervariasi. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah (BPS, 2008).

Daerah dengan PDRB per kapita (dengan Migas) tertinggi pada tahun 2007 adalah Kabupaten Bekasi yang mencapai Rp. 20.661.020,00 sedangkan daerah dengan PDRB per kapita terendah adalah kabupaten sukabumi Rp. 3.252.344,00. Lebarnya jarak tersebut menunjukkan bagaimana kondisi perbedaan hasil-hasil pertumbuhan secara riil yang berhasil dicapai oleh masing-masing daerah. Pendapatan masyarakat di daerah terkaya hampir tujuh kali lipat dari pendapatan daerah termiskin di Jawa Barat.

Barro dan Sala-i-Martin (1992) menyatakan bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita cenderung berhubungan terbalik dengan PDB per kapita awal. Dengan asumsi bahwa preferensi masyarakat dan teknologi yang sama berlaku di semua negara, negara miskin cenderung tumbuh lebih cepat daripada negara-negara kaya. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, provinsi-provinsi dengan PDRB per kapita tinggi cenderung tumbuh lebih lambat daripada provinsi-provinsi dengan PDRB per kapita rendah.

Tingkat konvergensi kondisional yang terjadi pada tahun 2000-2007, dapat dilihat dari koefisien regresinya. Jika nilai koefisien lebih kecil dari nol, maka pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Barat cenderung konvergen. Berdasarkan hasil estimasi, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar – 0.933 < 0 hal ini berarti pendapatan antarkabupaten/kota cenderung konvergen (makin merata) atau daerah miskin tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Sedangkan untuk variabel jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja koefisien regresinya -2.025 < 0 menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas cenderung konvergen dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDRB per kapita. Daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya karena tingkat investasi marjinal daerah miskin lebih tinggi daripada daerah kaya sehingga tingkat pertambahan hasil investasi yang dihasilkan lebih tinggi daripada daerah kaya.

(3)

persentase penduduk yang tamat SMA dan dipengaruhi secara negatif oleh pangsa sektor pertanian terhadap PDRB,

(4)

KONVERGENSI PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE 2000-2007

Oleh MASRUKHIN

H14052576

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(5)

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Muhammad Firdaus, Ph.D. NIP. 19730105 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2009 Masrukhin

(7)

Maesaroh. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 02 Pegagan Cirebon dari tahun 1993-1999. Pada tahun 1999 sampai tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Plumbon Cirebon. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Cisarua Bandung dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun kedua kuliah, penulis diterima di Mayor Departemen Ilmu Ekonomi dan Minor Pengembangan Usaha Agribisnis Departemen Agribisinis IPB

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai pengurus HIPOTESA periode 2006/2007 dan ketua divperiode 2007/2008, ketua unit kegiatan mahasiswa Panahan IPB periode 2007-2008, dan anggota Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC). Penulis juga aktif mengikuti berbagai lomba seperti Juara II lomba karya tulis mahasiswa tingkat nasional HIPOTEX R di IPB tahun 2007, finalis LKTM nasional di Universits Atmajaya tahun 2008, finalis LKTM nasional di UNDIP Semarang tahun 2008, dan pendanaan program kreativitas mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan tahun 2008. Penulis juga pernah mengisi artikel di kolom mahasiswa harian Seputar Indonesia pada tahun 2008.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Konvergensi Pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Barat Periode 2000-2007. Ketertarikan penulis pada topik tersebut diilhami oleh perbedaan potensi SDA, SDM, sosial, budaya dan lain-lainnya yang berdampak pada perbedaan pencapaian pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Perbedaan tersebut lambat laun menyebabkan ketimpangan dalam tingkat pendapatan masyarakatnya. Skripsi ini juga diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Bapak Muhammad Firdaus yang telah sabar dan tidak pernah bosan dalam

memberikan bimbingan, ilmu, dan kritik kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Manuntun Parulian Hutagaol selaku Penguji Utama dan Bapak Muhammad Findi selaku Penguji Komisi Pendidikan atas saran dan kritik yang diberikan terhadap skripsi ini sehingga melengkapi kekurangan yang ada pada karya tulis ini.

3. Ibunda dan Ayahanda (Alm) tercinta dengan segenap kasih sayang dan perhatian yang tulusnya selama ini

4. Kakak-kakak penulis yang sangat perhatian dan terus memotivasi serta membantu baik materil maupun non materiil

5. Teman-teman satu atap di Wisma Clinica Kencana selama tiga tahun (Harry, Muning dan Chandra).

6. Teman-teman bimbingan skripsi dalam penyusunan skripsi Bayu, Awi dan Fahdy

7. Fitra Mailendra, Maryam Ardanila yang berkenan untuk berbagi ilmu dan

sharing terkait model penelitian. Triyanto dan Zaenal F atas pinjaman

(9)

beserta para dosen pembina yang memberikan saran dan wejangan selama hidup kuliah.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga penulis tidak dapat mengucapkannya satu persatu, hanya ucapan terima kasih yang tulus untuk semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2009

Masrukhin H14104121

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 12

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi... 12

2.2. Konsep Konvergensi ... 17

2.2.1 Konvergensi β dan α ... 19

2.2.1.1Konvergensi Mutlak (Absolute Convergence) ... 21

2.2.1.2 Konvergensi Bersyarat (Conditional Convergence)... 22

2.3. Produk Domestik Regional Bruto... 24

2.4. Pertumbuhan Penduduk... 26

2.5. Analisis Panel Data ... 27

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 33

2.7. Kerangka Pemikiran Operasional ... 41

III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 44

3.3. Metode Analisis Data... 45

3.3.1. Metode Analisis Regresi dan Panel Data... 45

(11)

4.1. Keadaan Ekonomi... 53

4.1.1. Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Barat... 54

4.2. Kependudukan dan Ketenagakerjaan... 55

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1. Perkembangan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa Barat... 58

5.2. Analisis Konvergensi Kondisional... 60

5.2.1 Analisis Konvergensi Mutlak (Absolut) ... 60

2.2.1 Analisis Konvergensi Bersyarat (kondisional)... 61

5.3 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRB di Jawa Barat... 75

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

6.1 Kesimpulan... 76

6.2 Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1.1 Plot LPE dan PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2007 Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (Dengan Migas)... Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Konvergensi………..…. Tabel 4.1. PDRB Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Periode

2002-2006……… Tabel 5.1. Hasil Estimasi Konvergensi Absolut ...

Tabel 5.2. Hasil Uji Hausman Konvergensi Absolut... Tabel 5.2. Hasil Estimasi Konvergensi Kondisional... Tabel 5.3. Hasil Uji Hausman Konvergensi Kondisional... Tabel 5.5. Hasil Uji Hausman Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju

Pertumbuhan PDRB………... Tabel 5.6. Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan

PDRB dengan Pendekatan Efek Tetap dengan Pembobotan dan

White Cross Section ………

6 39 59 60 63 64 72 73

(13)

(termasuk Migas)... Gambar 1.2 Perkembangan PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat

Periode 2000-2007 Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (termasuk Migas)... Gambar 2.1 Kemajuan teknologi dan Model Pertumbuhan Solow... Gambar 2.2 Alur Kerangka Pemikiran Operasional…..……….. Gambar 5.1 PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat Periode 2000-2007

Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (termasuk Migas)... 3

4 16 43 59

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konvergensi Kondisional Fixed Effect with Cross section weights dan

White Heteroskedasticity………..

2. Hasil Uji Hausman Konvergensi Kondisional………. 3.Pendekatan Fixed Effect Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB... 4. Pendekatan Random Effect Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB….. 5. Hasil Uji Hausman……….. 6. Pendekatan Fixed Effect Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB

dengan Cross Section Weight dan White Heteroskedasticity……….. 75 76 77 78 79 80 81

(15)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mendorong GNP per kapita atau pendapatan masyarakat naik dalam periode waktu yang panjang (Todaro, 1996). Kebijakan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada. Namun hasil pembangunan masih belum dapat dirasakan secara merata dan masih terdapat kesenjangan antardaerah.

Perbedaaan karakteristik dan keragaman yang tinggi antardaerah meliputi sumberdaya alam, ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumberdaya manusia, letak geografis serta sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lainnya, berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Sehingga ada daerah yang mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya serta dapat menimbulkan adanya ketimpangan pendapatan antarwilayah.

Pada awal pembangunan semua wilayah mempunyai pola pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangannya cenderung untuk terus naik, namun setelah beberapa tahun berjalan, ternyata muncul ketimpangan pendapatan antarwilayah karena kemampuan menciptakan pertumbuhan ekonomi masing-masing yang tidak seragam atau sangat bervariasi. Perkembangan hasil pembangunan yang telah dicapai di Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan GDP per kapita antarprovinsi (Tambunan, 2003). Pulau Jawa

(16)

2

mendominasi aktivitas ekonomi Indonesia, karena dari wilayah-wilayah di Indonesia SDM di Jawa baik dalam jumlah maupun mutu dianggap lebih baik dari wilayah-wilayah lainnya. Proses pembangunan masa orde baru yang bersifat sentralistik dimana semua kebijakan pembangunan diatur oleh pusat juga memberi andil yang cukup besar terhadaap terjadinya ketimpangan di Indonesia. Dampak dari ketimpangan tersebut membuat beberapa daerah merasa diberlakukan tidak adil.

Proses pembangunan di Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Pulau Jawa diindikasikan terjadi ketimpangan-ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota yang kemudian dijadikan salah satu alasan untuk tuntutan memekarkan diri untuk membentuk daerah otonom yang baru seperti halnya Provinsi Banten yang akhirnya berdiri pada tahun 2000. Lalu menyusul lagi tuntutan masyarakat di wilayah III Cirebon (meliputi Kab.Indramayu, Kab.Cirebon, Kab.Majalengka, Kab Kuningan, dan Kota Cirebon) yang juga menuntut untuk memisahkan diri dari provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data tahun 2007, memang mayoritas PDRB per kapita di wilayah tersebut (kecuali kota Cirebon) berada di bawah rata-rata PDRB per kapita kabupaten dan kota di provinsi Jawa Barat.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kesejahteraan penduduk antardaerah walaupun tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kesejahteraan rakyat karena ada daerah yang yang PDRB per kapita-nya besar tetapi kebanyakan masyarakatnya masih dalam keadaaan miskin. Daerah-daerah yang kaya akan

(17)

sumberdaya dapat menghasilkan PDRB yang lebih besar, namun hasilnya belum tentu menetes ke bawah, sehingga masyarakat miskin tidak dapat merasakan kekayaan yang dimiliki contohnya Kab Indramayu PDRB per kapita dengan migas mencapai Rp. 20,59 juta pada tahun 2007, namun apabila dihitung tanpa migas menjadi Rp. 7,45 juta (BPS,2008).

Sumber : BPS Jawa Barat, (diolah), 2008

Gambar 1.1. Perkembangan PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat Periode

2000-2007 Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (termasuk Migas)

Berdasarkan Gambar 1.1, terdapat tiga daerah yang PDRB per kapitanya jauh meninggalkan daerah lainnya yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Khusus Kabupaten Indramayu, tingginya PDRB per kapita tidak menunjukkkan kondisi riil di lapangan karena besarnya PDRB per kapita tersebut disumbangkan soleh kekayaan migas yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, sehingga pada tahun 2003 dan selanjutnya mengalami penurunan cukup signifikan jika dilihat nilainya berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000. Daerah dengan PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2007

(18)

4

adalah Kabupaten Bekasi yang mencapai Rp. 20.661.002,00 sedangkan daerah dengan PDRB per kapita terendah adalah kabupaten sukabumi Rp. 3.368.828,00. Lebarnya jarak tersebut menunjukkan bagaimana kondisi perbedaan hasil-hasil pertumbuhan secara riil yang berhasil dicapai oleh masing-masing daerah. Pendapatan masyarakat di daerah terkaya hampir tujuh kali lipat dari pendapatan daerah termiskin di Jawa Barat

Sumber : BPS, (diolah), 2008

Gambar 1.2. Perkembangan PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat Periode

2000-2007 atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Termasuk Migas) Kecenderungan secara keseluruhan, semua kabupaten/kota di Jawa Barat mengalami kenaikan PDRB per kapita walapun sangat beragam tingkat pertumbuhan ekonominya. PDRB Kota Bandung mencapai Rp. 10.879.278,00 sedangkan Kabupaten Sukabumi hanya Rp. 3.252.344,00 sehingga perbedaannya mencapai tiga kali lipat antardaerah miskin dengan daerah kaya.

Apabila dicermati dari nilai pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku termasuk migas menurut kabupaten/kota di Jawa Barat, Kabupaten Bekasi pada

(19)

tahun 2007 menghasilkan PDRB per kapita terbesar yaitu sebesar Rp. 32,84 juta. Sedangkan PDRB per kapita yang paling rendah terdapat di Kabupaten Kuningan yaitu hanya Rp. 5,85 juta diikuti Kabupaten Cirebon dan Sukabumi masing-masing Rp. 6,05 juta dan Rp. 6,11 juta. Artinya PDRB per kapita kabupaten terkaya, besarnya hampir enam kali lipat daripada PDRB kabupaten termiskin di Jawa Barat. PDRB per kapita Kabupaten Indramayu dengan migas mencapai Rp. 20,59 juta, namun apabila dikeluarkan migasnya PDRB per kapita-nya hanya sebesar Rp. 7,45 juta (BPS Jawa Barat, 2008).

1.2. Rumusan Permasalahan

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2007 menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat sangat bervariasi. Perbedaan potensi antardaerah yang dimiliki baik potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia maupun infrastruktur yang ada menyebabkan kesenjangan antar daerah juga semakin besar, baik kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, PDRB per kapita, pendapatan asli daerah dan lain-lain. Kesenjangan non ekonomi lainnya seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, birokrasi dan jasa-jasa lainnya juga masih membayangi proses pembangunan di Jawa Barat

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) sebagai salah satu tolok ukur kemajuan pembangunan yang dicapai suatu daerah juga dapat menunjukkan sejauh mana daerah tersebut dapat memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang

(20)

6

dimiliki untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya yang nantinya mendukung proses percepatan pembangunan yang akan berdampak pula terhadap kenaikan pendapatan masyarakatnya sesuai dengan tinggi rendahnya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diperoleh masing-masing daerah.

Tabel 1.1. Plot LPE dan PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota Tahun 2007 Atas

Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Dengan Migas)

Kab Bekasi, Kota Cirebon, Kab Indramayu, Kab Purwakarta, Kab

Karawang,Kota Bekasi Kota Bandung

Kota Bogor, Kab Bogor, Kab Cianjur, Kab Sukabumi, Kab Garut, Kab

Tasikmalaya, Kab Ciamis, Kab Kuningan, Kab Cirebon, Kab Majalengka, Kab Sumedang, Kab

Subang dan Kota Sukabumi

Kab Bandung

Sumber: BPS Jawa Barat, (diolah), 2008

Hasil plot posisi kabupaten/kota secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.1 yang menggambarkan perbandingan LPE dan PDRB per kapita kabupaten/kota degan memasukkan pengaruh minyak dan gas bumi. Kuadran (daerah) I mengandung arti bahwa kabupaten/kota yang berada di daerah ini memiliki LPE yang lebih tinggi dan PDRB per kapita lebih besar dari angka provinsi. Bila diasumsikan terdapat pemerataan pendapatan, maka masyarakat di

L P E

PDRB per Kapita Jawa Barat =Rp. 6,60 Juta/Tahun

J A B A R 5.49 % III II I IV

(21)

kabupaten/kota yang berada di kuadran ini relatif paling sejahtera dibandingkan yang berada pada kuadran lainnya. Kuadran II menunjukkan kabupaten/ kota yang memiliki PDRB per kapita lebih besar, namun LPE-nya lebih rendah dibandingkan dengan angka provinsi. Masyarakat kabupaten/kota pada kuadran II relatif lebih sejahtera, namun pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota lainnya.

Kuadran yang menunjukkan keterbelakangan pertumbuhan ekonomi juga rendahnya tingkat kesejahteraan penduduknya dibandingkan daerah lainnya di Jawa Barat adalah Kuadran III. Kuadran yang terakhir (IV) ditempati oleh kabupaten/kota yang tingkat kesejahteraan penduduknya lebih rendah dibandingkan angka provinsi, namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih pesat.

Kuadran I hanya terdapat satu kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di atas Jawa barat (berada pada kuadran I) yaitu Kota Bandung. Posisi pada kuadran I tersebut merupakan posisi ideal, sebab kondisi ini menggambarkan bahwa kinerja perekonomian dan kemakmuran masyarakat di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan relatif lebih makmur dibandingkan kabupaten/kota lainnya secara makro

Selanjutnya pada kuadran II terdapat 5 kabupaten/kota yaitu Kab Bekasi, Kota Cirebon, Kab Indramayu, Kab Purwakarta, Kab Karawang, dan Kota Bekasi. Posisi pada kuadran ini menggambarkan tingkat kemakmuran yang sudah berada di atas rata-rata namun kinerja perekonomiannya pada tahun 2007 masih relatif rendah, dibandingkan dengan daerah lainnya. Sebaliknya. kondisi pada kuadran

(22)

8

III menunjukkan tingkat kemakmuran dan kinerja ekonomi yang relatif rendah dibandingkan kabupaten/ kota pada umumnya. Daerah-daerah yang berada pada kuadran III pada tahun ini terdiri dari 14 kabupaten/kota yaitu: Kota Bogor, Kab Bogor, Kab Cianjur, Kab Sukabumi, Kab Garut, Kab Tasikmalaya, Kab Ciamis, Kab Kuningan, Kab Cirebon, Kab Majalengka, Kab Sumedang, Kab Subang dan Kota Sukabumi

Untuk kuadran IV yang menggambarkan tingkat kemakmuran penduduk yang masih rendah dibandingkan dengan rata-rata provinsi, namun kinerja perekonomiannya cukup pesat, ditempati oleh Kabupaten Bandung.

Berdasarkan plot tersebut tampak bahwa mayoritas kabupaten/kota berada di kuaran III yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan ekonomi juga rendahnya tingkat kesejahteraan penduduknya dibandingkan daerah lainnya mengindikasikan bahwa telah terjadi ketimpangan di wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat. Kecenderungan bahwa makin meningkatnya ketimpangan pendapatan juga ditunjukkan dengan makin meningkatnya Indeks Williamson di Jawa Barat. Pada tahun 1996 Indeks Williamson hanya berkisar di 0.4090 namun pada Tahun 2000 nilainya meningkat drastis menjadi 0,5826 dan pada tahun 2006 Indeks Williamson di Jawa Barat sudah mencapai 0,6923. Artinya sepanjang tahun 1996-2006 ketimpangan pendapatan di Jawa Barat semakin tinggi dan mengindikasikan bahwa hasil-hasil pembangunan tidak dapat dinikmati secara merata oleh semua daerah di Jawa Barat (Septina, 2008).

Ketimpangan tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya arus urbanisasi menuju daerah-daerah yagn lebih makmur seperti Kota Bandung,

(23)

Kabupaten Bekasi, Kota Cirebon, Kota Bekasi. Daerah – daerah tersebut memiliki daya tarik bagi para pendatang dari wilayah sekitarnya untuk mencari pekerjaan dan tempat berusaha yang lambat laun akan menyebabkan makin meningkatnya beban sosial seperti pengangguran, daya dukung kota semakin berat dan munculnya masalah-masalh sosial lainnya dengan semakin banyaknya para pendatang dari luar daerah.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya suatu ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Jawa Barat yang salah satu indikatornya adalah perbedaan PDRB per kapita yang menggambarkan pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Perbedaan pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dapat menyebabkan suatu wilayah mengalami kecenderungan pertumbuhan yang semakin timpang (divergen) namun ketimpangan tersebut dapat berkurang jika daerah yang memiliki tingkat PDRB per kapita yang rendah (daerah miskin) mampu tumbuh lebih cepat daripada daerah yang PDRB per kapitanya tinggi (daerah kaya), sehingga suatu saat tingkat kemamuran yang diindikasikan oleh PDRB akan cenderung semakin seragam (konvergen) sehingga gap kemakmuran antar daerah semakin kecil.

Untuk mengetahui apakah tingkat pendapatan masyrakat kabupaten/kota a di Provinsi Jawa Barat periode 2000-2007 menunjukkan kecenderungan untuk semakin seragam (konvergen) atau justu semakin timpang (divergen) maka perlu dianalsiis lebih lanjut dengan melihat apakah konvergensi terjadi di Jawa Barat selama periode penelitian. Jika terjadi konvergensi dimana daerah miskin dapat tumbuh lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan, maka dapat dilihat pula apakah

(24)

10

konvergensi itu terjadi tanpa syarat (konvergensi absolut) atau konvergensi tersebut membutuhkan variabel lain yang mempengaruhinya agar konvergensi dapat terjadi di Jawa Barat.

Dalam menganalisis konvergensi, data yang digunakan adalah data PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota yang diperoleh dari turunan data PDRB daerah tersebut. Untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal, ditunjukkan dengan besarnya peningkatan PDRB per kapita maka perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap PDRB di masing-masing daerah selama periode penelitian. Dengan mengetahui faktor-faktor yang signifikan memngaruhi PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat diharapkan dapat membantu daerah miskin dalam mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang optimal dengan mendorong faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap PDRB sehingga dapat tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya dan mampu mengejar ketertinggalan.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis laju konvergensi pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Barat periode 2000-2007 agar dapat diketahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat.

2. Mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PDRB kabupaten/kotadi Jawa Barat periode 2000-2007 sehingga dapat diketahui

(25)

faktor-faktor yang dapat didorong untuk membantu meningkatkan PDRB terutama bagi daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang konvergensi pendapatan antardaerah di provinsi Jawa Barat pada periode analisis sehingga bisa dijadikan salah satu pertimbangan dalam fokus pembangunan daerah Jawa Barat saat ini.

2. Sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi peneliti, mahasiswa dan dosen yang berminat dengan penelitian tentang konvergensi pendapatan antardaerah.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Analisis penelitian konvergensi pendapatan kabupaten/kota di Jawa Barat hanya fokus pada upaya untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah yang dilihat berdasarkan variabel-variabel yang telah ditentukan terhadap laju konvergensi yang ada.

2. Analisis pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi PDRB kabuaten/kota di Jawa Barat menggunakan data-data yang terdiri dari: PDRB, jumlah penduduk, pendapatan asli daerah (PAD), PDRB per pekerja, pengeluaran pembangunan pemerintah kabupaten/kota, jumlah penduduk di atas 10 tahun yang bekerja, persentase penduduk yang tamat SMA, pangsa sektor pertanian, pangsa sektor industri pengolahan dan pangsa sektor perdagangan, hotel dan restoran.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Dalam teori pertumbuhan basis ekspor, pertumbuhan suatu daerah tergantung

pada pertumbuhan industri-industri ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat

eksternal bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan

regional. Sektor-sektor perekonomian suatu daerah dikelompokkan menjadi sektor

basis dan non basis. Prediksi-prediksi dari hipotesa basis ekspor berbeda dari prediksi

model lainnya. Pertama, bertambah luasnya basis ekspor suatu darah akan cenderung

menaikkan tingkat pertumbuhan. Kedua, teori basis ekspor ini tidak mencakup

tingkat pertumbuhan keseimbangan; ketiga, teori ini sama sekali tidak

mempersoalkan apakah tingkat pertumbuhan regional cenderung untuk konvergen

atau divergen.

Terdapat tiga kekuatan potensial yang penting dalam konvergensi. Pertama,

adanya kemungkinan arus faktor yang bersifat menyeimbangkan seperti yang

diprediksikan oleh model Neoklasik. Dimana tenaga kerja akan berpindah dari

daerah-daerah berupah rendah ke daerah-daerah berupah tinggi dan jika upah serta

produk marjinal dari modal mempunyai korelasi terbalik, modal akan mengalir

menurut arah sebaliknya. Sehingga, daerah-daerah upah rendah pun cenderung untuk

tumbuh lebih cepat. Sumber utama kedua yang menimbulkan konvergensi, alokasi

sumber daya di dalam lingkungan daerah-daerah yang bersangkutan dari sektor upah

(27)

rendah (contoh: sektor pertanian) ke sektor produktivitas yang tinggi, upah tinggi,

sehingga meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Ketiga, ciri-ciri kematangan

dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi dapat melambatkan

kenaikan pendapatan per kapita di masa mendatang. Teori ini menyatakan bahwa

faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan

langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan

industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan

bahan baku untuk di ekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan

peluang kerja. Model ini berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis

industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas

ekonomi (Richardson, 1991)

Teori pertumbuhan Neo klasik dirintis oleh Solow (1970) dari Amerika

Serikat dan Swan (1956) dari Australia. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam

banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan. Menurut teori ini,

pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor

produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulsi modal) dan tingkat kemajuan

teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik

sehingga produktivitas per kapita meningkat. Dalam model tersebut masalah

teknologi dinggap fungsi dari waktu oleh karena itu fungsi produksinya berbentuk Yi

= f

i

(K,L,t). Apabila tiap daerah dimisalkan menghasilkan output yang homogen dan

fungsi produksi yang identik maka di daerah yang memilki K atau L yang tinggi

terdapat upah riil yang tinggi dan MPK yang rendah dan adapun daerah yang K atau

(28)

14

L yang rendah terdapat upah riil yang rendah dan MPK yang tinggi maka berakibat

pada modal yang mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya

rendah dan sebaliknya tenaga kerja kan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke

daerah yang upahnya tinggi sehingga mekanisme di atas pada akhirnya menciptakan

balas jasa faktor-faktor produksi di semua daerah yang sama, dengan demikian

perekonomian regional atau pendapatan per kapita regional akan mengalami proses

konvergensi (makin sama).

Teori pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan dalam

persediaan modal dan angkatan kerja serta kemajuan teknologi berinteraksi dalam

perekonomian dan pengaruhnya terhadap output total barang dan jasa. Model ini

mengasumsikan hubungan yang tidak berubah secara output barang dan jasa. Tetapi

model ini dapat dimodifikasi, yang memungkinkan peningkatan dalam kemampuan

masyarakat untuk berproduksi. Untuk memasukkan kemajuan teknologi, kita harus

kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja L ke

output total Y. Jadi, fungsi produksi itu adalah :

Y = f (K,L) ... (1)

Selanjutnya fungsi produksi kita modifikasi sebagai berikut :

Y = f (K, L x E) ... (2)

Dimana E adalah variabel baru (dan abstrak) yang disebut efisiensi tenaga

kerja. Efisiensi tenaga kerja berarti mencerminkan pengetahun masyarakat tentang

metode-metode produksi: ketika teknologi mengalami kemajuan, efisiensi

meningkat. Efisiensi tenaga kerja juga meningkat ketika ada pengembangan dalam

(29)

kesehatan, pendidikan, atau keahlian angkatan kerja. L x E mengukur jumlah para

pekerja efektif.

Fungsi produksi yang baru ini menyatakan bahwa output total Y bergantung

pada jumlah unit modal K dan jumlah pekerja efektif, L x E. Peningkatan dalam

efisiensi tenaga kerja E, sebagai dampaknya peningkatan dalam angkatan kerja L.

Asumsi sederhana tentang kemajuan teknologi adalah kemajuan teknologi yang

menyebabkan efisiensi tenaga kerja tumbuh pada tingkat konstan g. Bentuk kemajuan

teknologi disebut pengoptimalan tenaga kerja dan g disebut tingkat kemajuan

teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja. Karena angkatan kerja L tumbuh pada

tingkat n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, jumlah

pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n + g (Mankiw, 2000).

Analisis tentang perekonomian dengan mengkaji pertumbuhan populasi,

persamaannya adalah :

Δk = sf (k) – (δ + n + g)k ... (3)

Dimana Δks sama dengan investasi sf (k) dikurangi investasi pulang pokok (δ

+ n + g)k. Investasi pulang pokok meliputi 3 kaidah, yaitu: menjaga k tetap konstan,

δk dibutuhkan untuk mengganti modal yang disusutkan, nk dibutuhkan memberikan

modal bagi pekerja baru, dan gk dibutuhkan untuk memberi modal bagi pekerja

efektif baru yang diciptakan kemajuan teknologi.

(30)

16

Dampak kemajuan teknologi menunjukkan empat variabel kunci dalam

kondisi mapan dengan kemajuan teknologi. Dimana k adalah konstan dalam kondisi

mapan, y = f (k), output per pekerja efektif juga konstan. Tingkat efisiensi setiap

pekerja aktual tumbuh pada tingkat g, output per pekerja juga tumbuh pada tingkat g,

sehingga output total tumbuh pada tingkatan n + g.

Kemajuan teknologi dan model pertumbuhan Solow melihat kemajuan

teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g memengaruhi model

pertumbuhan Solow dalam jumlah sama dengan pertumbuhan populasi pada tingkat

n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah mdal per pekerja efektif. Kenaikan dalam

jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung mengurangi k. Dalam

kondisi mapan investasis sf (k) benar-benar menghilangkan penurunan dalam k yang

terkait dengan penyusutan, pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi.

Investasi sf (k)

Gambar 2.1. Kemajuan teknologi dan Model Pertumbuhan Solow

Investasi pulang pokok

(δ + n + g)k

Modal per pekerja, k

k

*

(kondisi mapan)

Sumber : Mankiw, 2000

Investasi

Pulang

Pokok

(31)

Dengan adanya kemajuan teknologi, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi

dapat mengarah ke pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per pekerja.

Sebaliknya, tingkat tabungan yang tinggi mengarah ke ke tingkat pertumbuhan tinggi

hanya jika kondisi mapan di capai. Sekali perekonomian berada pada kondisi mapan,

tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat kemajuan

teknologi. Mengacu pada model solow, hanya kemajuan teknologi bisa menjelaskan

peningkatan standar kehidupan berkelanjutan (Mankiw, 2000)

2.2. Konsep Konvergensi

Teori konvergensi didasarkan pada dua hipotesis berbeda namun saling

terkait. Pertama, hipotesis mengejar ketertinggalan dari Abramovitz dalam Sari

(2007) yang jika digunakan di dalam konteks pertumbuhan ekonomi regional di

Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut. Provinsi-provinsi dengan tingkat

produktivitas (TFP) rendah memiliki potensi besar mencapai laju pertumbuhan tinggi.

Akan tetapi, potensi pertumbuhan yang tinggi akan melemah jika tingkat

produktivitas tersebut mendekati tingkat produktivitas dari provinsi-psrovinsi lain

yang menjadi patokannya. Hal ini mengindikasikan terjadinya suatu proses mengejar

ketertinggalan. Menurut Saldanha (2003), proses mengejar ketertinggalan juga bisa

terjadi bila varian relatif di sekitar rata-rata produktivitas makin turun dari waktu

kewaktu karena terjadinya pertumbuhan lebih cepat di wilayah-wilayah yang tadinya

tertinggal.

(32)

18

Hipotesis kedua adalah dari Barro dan Sala-i-Martin (1992) bahwa laju

pertumbuhan PDB per kapita cenderung berhubungan terbalik dengan PDB per kapita

awal. Dengan asumsi bahwa preferensi masyarakat dan teknologi yang sama berlaku

di semua negara, negara-negara miskin cenderung tumbuh lebih cepat daripada

negara-negara kaya. Jadi, dalam konteks pertumbuhan ekonomi regional,

provinsi-provinsi dengan PDRB per kapita tinggi cenderung tumbuh lebih lambat daripada

provinsi-provinsi dengan PDRB per kapita rendah. Akan tetapi, hipotesis ini

didasarkan pada penelitian mereka di negara-negara dengan sistem perekonomian

tertutup dengan memakai model pertumbuhan ekonomi neoklasik.

Studi empiris menunjukkan bahwa meskipun perekonomian miskin tumbuh

lebih cepat dibanding perekonomian kaya, ketimpangan pada awal persaingan justru

meningkat. Hal ini disebabkan ketimpangan perekonomian daerah kaya lebih rendah,

namun secara relatif nilai perubahan tersebut masih terlalu besar dibandingkan

perubahan perekonomian daerah miskin.

Wibisono (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi regional

didekati dengan hipotesa konvergensi, yang terbagi atas dua hal yaitu

Konvergensi absolut berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik dan Konvergensi

kondisional yang berdasarkan pada teori pertumbuhan endogenous. Kedua

hipotesa konvergensi di atas termasuk dalam analisis dinamis

Selain itu, terdapat dua pendekatan utama dalam studi tentang konvergensi

regional, antara lain :

(33)

1) Analisis konvergensi regional yang ditentukan dari pokok penelitian utama di

tingkat internasional. Analisis jenis ini umumnya menggunakan regesi cross section

antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat awal pendapatan pendapatan per

kapita (Barro and Sala i martin 1991.1992,1995)

2) Pendekatan analisis disparitas pendapatan per kapita. Kesenjangan regional

dipelajari secara independen dari teori pertumbuhan (JG Williamsonn 1965) dimana

ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dngan proses pembangunan

nsional. Williamson memprediksikan bahwa disparitas pendapatan regional akan

memudar (konvergen) setelah melalui tiga fase dari tahap awal pembangunan hingga

tahap kematangan.

2.2.1. Konvergensi α dan β

Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah

kecenderungan perekonomian-prekonomian daerah miskin tumbuh lebih cepat

dibanding perekonomian-perekonomian daerah kaya, dengan demikian diharapkan

perekonomian daerah miskin akan mengejar ketertinggalan dan ketimpangan

perekonomian antardaerah akan menurun.

Terdapat dua konsep konvergensi dalam perekonomian yaitu konvergensi β

yang terdiri dari konvergensi mutlak dan bersyarat serta konvergensi α. Terjadinya

proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh lebih cepat tidak serta

merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan regional per kapita. Artinya

konvergensi β tidak selalu identik dengan konvergensi α. Meskipun secara tidak

(34)

20

identik tetapi secara empiris konvergensi β akan terverifikasi ketika konvergensi α

juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya kedua konsep di atas dapat dilaksanakan

bergantian. konvergensi α akan terjadi antarbeberapa negara ketika negara-negara

tersebut mempunyai dispersi pendapatan per kapita yang cenderung menurun lebih

cepat.

Salah satu kelebihan utama dari konvergensi β adalah analisisnya bersifat

dinamis karena jika pengamatan jangka pendek tidak mampu memberi jawaban

tentang dampak dari kebijakan publik maka kita tidak dapat melihat dampak tersebut

dalam kecenderungan jangka panjang. Dengan analisis konvergensi β, dapat

diketahui seberapa besar kecepatan konvergensi yang terjadi secara pasti. Jika

konvergensinya cepat, maka fokusnya adalah perilaku steady-state karena

sebagaimana telah diketahui bahwa mayoritas perekonomian berada pada posisi

steady state-nya. Jika konvergensi tidak cepat berarti posisi perkeonomian masih

berada jauh dari posisi steady state-nya maka fokusnya adalah pada pengalaman

pertumbuhan yang dialami perekonomian dalam dinamika transisional tersebut.

Konvergensi α atau konvergensi absolut diukur dengan koefeisien tingkat

awal PDRB per kapita jika laju pertumbuhan PDRB per kapita diregresi (dalam log)

diregresi terhadap tinglat awal per kapita. Jika koefisien tersebut negatif dan

signifikan secara statistic maka dikatakan konvergensi α telah terjadi dengan

implikasi dalam konteks Indonesia,provinsi-provinsi dengan tingkat awal PDRB per

kapita yang rendah cenderung mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi

yang tingkat awal PDRB per kapitanya tinggi.

(35)

Konvergensi β atau konvergensi bersyarat (kondisional) adalah koefisien

tingkat awal PDRB per kapita bila laju pertumbuhan PDRB per kapita di regresi

terhadap tingkat awal PDRB per kapita tiha variable bebas sebagai control seperti

kondisi awal anggaran belanja pemerintah, angka harapan idup, dan tingkat

partisispasi SMP per kapita (tingkat pendidikan), Konvergensi β mensyaratkan

factor-faktor awal yang harus dipenuhi agar konvergensi itu terjadi.

Saldanha (2003) menyatakan bahwa pada saat konvergensi-α terjadi maka

konvergensi-β juga terjadi. Namun tidak sebaliknya: konvergensi-α tidak selalu

terjadi apabila konvergensi-β terjadi

2.2.1.1 Konvergensi Mutlak (Absolute Convergence)

Model standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat

pertumbuhan tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara

pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami pertumbuhan

ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung konvergen secara mutlak.

Proses konvergen seperti ini disebut dengan konvergensi mutlak (Absolute

Convergence). Oleh karena kenyataannya bahwa antardaerah mempunyai

karakteristik perekonomian yang beragam mengakibatkan dugaan proses

konvergensi mutlak dinilai menjadi lemah sehingga konvergensi mutlak umumnya

diikuti oleh konvergensi bersyarat (Conditional convergence).

Untuk melihat konsep konvergensi absolut tersebut, dapat menggunakan

persamaan sebagai berikut (Fitria, 2007) :

(36)

22

Ln

      1 , , t i t i y y

= a + b Ln

yi,t1

+ e

it...

(4)

Keterangan :

Ln

      1 , , t i t i y y

= Pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun pada tahun akhir t

yi,t1

= PDRB per kapita awal (rupiah)

y

i

= PDRB per kapita tahun akhir t (rupiah)

a

= Kosntanta

b

= Koefisien regresi

Hipotesis konvergensi mutlak tidak selalu ada dengan keluarnya hubungan

negatif antara pendapatan dengan tingkat pertumbuhan. Adakalanya hubungan

tersebut tidak muncul namun ada ketika variabel–variabel lain yang dianggap

berpengaruh seperti pendidikan, kesuburan dan kesehatan yang diikutsertakan dalam

proses regresi. Kecenderungan konvergensi yang timbul dengan syarat keadaan

variabel-variabel tersebut disebut konvergensi bersyarat. Konvergensi bersyarat

merupakan alternatif konvergensi apabila negara/daerah-daerah yang diteliti tidak

memiliki heterogenitas parameter yang memungkinkan setiap daerah memiliki posisi

steady state.

2.2.2. Konvergensi Kondisional (Conditional Convergence)

Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang dilakukan dengan melihat

perilaku dan karakteristik antarnegara atau antardaerah dalam suatu negara.

(37)

Perbedaan antarnegara adalah terbukti dan eksis. Wibisono (2003) menyatakan

dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional maka akan mendapatkan

manfaat yang lebih besar, yaitu dapat mengetahui faktor-faktor penentu apa saja yang

memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dalam jangka panjang, dengan

cara memasukkan variabel-variabel terpilih yang dianggap memengaruhi tingkat

pertumbuhan ekonomi regional ke dalam persamaan. Konvergensi dikatakan

kondisional apabila tingkat pertumbuhan lebih tinggi pada provinsi yang memiliki

level pendapatan yang lebih rendah.

Model Barro menambahkan model-model pertumbuhan yang ada dengan

variabel lain yaitu : pertumbuhan penduduk (rates of population growth), kemajuan

teknologi (technological progress) dan penyusutan (depreciation) atau ditulis n +g +

δ, tingkat tabungan dan investasi (rates of saving and investment in physical capital

and human capital) σk dan σh

Untuk melihat konsep konvergensi kondisional tersebut, dapat menggunakan

persamaan sebagai berikut (Fitria, 2007):

Ln

      1 , , t i t i y y

= a + b

0

Ln

yi,t1

+ b

1

Ln X

1 it

+e

it ...

(5)

Keterangan:

Ln

      1 , , t i t i y y

= Pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun pada tahun akhir t

yi,t1

= PDRB per kapita awal daerah ke i (rupiah)

(38)

24

X

1it

= Variabel yang memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi

regional dalam jangka panjang

a

= Kosntanta

b

= Koefisien regresi

e

it

= error term

2.3.

Produk Domestik Regional Bruto

PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang

dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang

dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah (BPS,

2008). Secara kuantitatif PDRB merupakan nilai barang dan jasa, oleh karena itu

PDRB dihitung atas dasar harga berlaku (at current price) dan PDRB atas dasar

harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk

melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan

digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil. Data PDRB dapat dihitung

dengan tiga pendekatan, yaitu:

1.

Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh

seluruh unit usaha/ekonomi dalam suatu daerah/wilayah pada suatu periode tertentu

(biasanya satu tahun). Unit-unit ekonomi tersebut dalam analisis ini dikelompokkan

menjadi 9 lapangan usaha yaitu: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3.

Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan,

(39)

Hotel, dan Restoran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Real Estat, dan

Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.

2.

Pendekatan Pengeluaran

Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB merupakan jumlah semua

komponen permintaan akhir di suatu daerah/wilayah dalam jangka waktu tertentu

(biasanya satu tahun). Komponen permintaan akhir meliputi: pengeluaran konsumsi

rumah tangga, pengeluaran konsumsi lembaga swasta nirlaba, pengeluaran konsumsi

pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan inventori/stok, dan

ekspor neto. Ekspor neto adalah ekspor dikurangi impor.

3.

Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah/wilayah pada jangka

waktu tertentu (biasanya satu tahun). Komponen balas jasa faktor produksi yang

dimaksud adalah: upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan;

semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam

definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan barang modal tetap dan pajak tak

langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). Jumlah semua komponen

pendapatan ini per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu

PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).

(40)

26

2.4 Pertumbuhan Penduduk

Penduduk berfungsi ganda dalam perekonomian. Namun pada

literatur-literatur kuno pada umumnya memandang penduduk sebagai penghambat

pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi

dinilai hanya menambah beban pembangunan. Artinya, jumlah penduduk yang besar

memperkecil pendapatan per kapita dan menimbulkan masalah ketenagakerjaan,

sedangkan dalam literatur-literatur modern, penduduk justru dipandang sebagai

pemacu pembangunan. Berlangsungnya kegiatan produksi adalah berkat adanya

orang yang membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan. Peningkatan

konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha produktif dapat berkembang sehingga

berpengaruh pula terhadap perekonomian secara keseluruhan (Dumairy, 1996).

Menurut Ricardo dalam dalam Jhingan (2004), pertumbuhan penduduk pada

suatu saat akan mengakibatkan keadaan yang yang disebut stationary state, yaitu

suatu saat dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Setelah itu

perekonomian akan terus menurun samapai dengan tingkat yang lebih rendah dimana

upah buruh sangat minimal, hanya cukup untuk hidup (subsistence level). Ricardo

melihat pertumbuhan penduiduk dan kemerosotan pertumbuhan modal sebagai akibat

bekerjanya prinsip The Law of Diminshing Return sebagai pengahalang pertumbuhan

ekonomi. Sebaliknya, teori Neoklasik menganggap penduduk memberikan

sumbangan yang sangat positif terhadap pembangunan, terutama karena:

(41)

2. Perbaikan dalam kemahiran dan mutunya dapat menciptakan berbagai akibat

yang positif pada pembangunan

3. Penduduk menyediakan pengusaha yang inovatif yang akan menjadi unsur

penting dalammencipatkan pembentukan modal

Maltus dalam Todaro (2003), merumuskan sebuah konsep tentang

pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminsihing returns). Maltus

menggambarkan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu

negara akan meningkat sangat cepat pada deret ukur kecuali jika terjadi suatu

benacana misalnya kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya proses

pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang

jumlahnya tetap yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut

deret hitung.

Pertumbuhan pengadaaan pangan yang tidak dapat mengimbangi kecepatan

pertambahan penduduk, maka pendapatan per kapita cenderung terus mengalami

penurunan sampai sedemikian rendahnya sehingga segenap populasi harus bertahan

pada kondisi sedikit di atas tingkat subsisten.

2.5

Analisis Panel Data

Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan

gabungan antara data cross section dan data time series (Gujarati, 1978). Data cross

section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu,

(42)

28

melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan

data time series atau cross section.

Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel antara lain:

1.

Dapat mengendalikan heterogenitas individu atau unit cross section.

2.

Dapat memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas

diantara variabel, memperbesar derajat bebas dan lebih efisien.

3.

Dapat diandalkan untuk mengidentifikasi dan mengukur efekyang tidak dapat

dideteksi dalam model data cross section maupun time series.

4.

Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioural

models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section

maupun time series.

5.

Dapat diandalkan untuk studi dynamic of adjustment.

Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode,

yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed

effect) dan pendekatan efek random (random effect).

1.

Metode Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)

Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah

dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa, yang diterapkan dalam data yang

berbentuk pool. Misalkan dalam persemaan berikut ini :

Y

it

= α + x

jit

β

j +

ε

it...

(5)

(43)

dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode

waktunya. Dengan mengasumsi komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil

biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross

section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai

berikut:

Y

i1

= α + x

jit

β

j

+ ε

i1

... (6)

untuk i = 1,2,….,N

yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama.

Begitu juga sebaliknya, akan dapat diperoleh persamaan deret waktu (time series)

sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan

parameter α dan β yang konstan dan efisien, dapat diperoleh dalam bentuk regresi

yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.

2.

Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa adalah

adanya asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan, baik

antardaerah maupun antarwaktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara

umum sering dilakukan dengan memasukkan variabel boneka (dummy variabel)

untuk memungkinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik

lintas unit cross section maupun antarwaktu. Pendekatan dengan memasukkan

variabel boneka ini dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least

Square Dummy Variabel atau disebut juga Covariance Model.

(44)

30

y

it

= α

i

+ x

jit

β

j + 2 n i aiDi

+ ε

it...

(7)

dimana :

y

it

= variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i

α

i

= intersep yang berubah-ubah antarcross section unit

x

jit

= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

β

j

= parameter untuk variabel ke j

e

it

= komponen error di waktu t untuk unit cross section i

Dengan menggunakan pendekatan ini, akan terjadi degree of freedom

sebesar

NT N K 

. Keputusan memasukkan variabel boneka ini harus didasarkan

pada pertimbangan statistik. Hal tersebut disebabkan, dengan melakukan penambahan

variabel boneka akan dapat mengurangi jumlah degree of freedom yang pada

akhirnya akan memengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi.

Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini didekati dengan

menggunakan statistik F yang berusaha memperbandingkan antara nilai jumlah

kuadrat error dari proses pendugaan dengan metode kuadrat terkecil dan efek tetap

yang telah memasukkan variabel boneka. Secara umum dirumuskan sebagai berikut :

FN T 2,NT N T 

=

1

 

2

 

2 / 1 / ESS ESS NT ESS NT N K    

... (8)

dimana ESS

1

dan ESS

2

adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan metode

kuadrat kecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F mengikuti distribusi F

dengan derajat bebas NT-1 dan NT-N-K. Nilai statistik F uji inilah yang kemudian

(45)

diperbandingkan dengan nilai statistik F tabel yang akan menentukan pilihan model

yang akan digunakan.

Pada pendekatan fixed effect, estimasi dapat dilakukan dengan tanpa

pembobot (no weighted) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) dan dengan

pembobot (cross section weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan

dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antarunit cross

section (Gujarati, 2003).

3.

Model Efek Acak (Random Effect)

Penambahan variabel boneka pada model efek tetap dapat mengurangi

banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan

mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam

model data panel dikenal pendekatan ketiga yaitu model efek acak (random effect).

Dalam model efek acak, parameter-parameter yang berbeda antardaerah maupun

antarwaktu dimasukkan ke dalam error. Karena hal inilah, model efek acak juga

disebut model komponen error (error component model). Bentuk model acak

dijelaskan pada persamaan berikut ini :

Y

it

= α + x

jit

β

j +

ε

it

...(9)

   

it

u

i

v

t

w

it

...(10)

dimana u

i

~ N(0, δ

u2

)

= komponen cross section error

v

t

~ N(0, δ

v2

)

= komponen time series error

w

it

~ N(0, δ

w2

) = komponen error kombinasi

(46)

32

dalam persamaan tersebut diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling

berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.

Dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat

pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan

pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi

akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap atau pun acak

ditentukan dengan menggunakan Uji Hausman.

Namun disamping dengan menggunakan tes stasistika (uji Hausman), terdapat

beberapa pertimbangan untuk memilih apakah akan menggunakan pendekatan efek

tetap atau pendekatan efek acak. Apabila diasumsikan bahwa ε

i

dan variabel bebas X

berkorelasi, maka pendekatan efek tetap lebih cocok untuk dipilih. Sebaliknya,

apabila ε

i

dan variabel bebas X tidak berkorelasi, maka pendekatan efek acak yang

lebih baik untuk dipilih. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan acuan untuk

memilih antara pendekatan efek tetap atau pendekatan efek acak adalah:

1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross

section) kecil, maka hasil pendekatan efek tetap dan pendekatan efek acak

tidak jauh berbeda sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk

dihitung yaitu pendekatan efek tetap

2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda

jauh. Sehingga apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam

penelitian diambil secara acak (random) maka pendekatan efek acak harus

digunakan. Sebaliknya apabila diyakini bahwa unit cross section yang dipilih

(47)

dalam penelitian tidak diambil secara acak, maka harus meggunakan

pendekatan efek tetap.

3. Apabila komponen error individual (ε

i

) berkorelasi dengan variabel bebas X

maka parameter yang diperoleh dengan pendekatan efek acak akan bias

sementara parameter yang diperoleh dengan pendekatan efek tetap tidak bias

4. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari pendekatan

efek acak dapat terpenuhi, maka pendekatan efek acak lebih efisien

dibandingkan pendekatan efek tetap.

2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hairiry Hadi dan Roy Mirazzudin (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan

ekonomi untuk wilayah Jawa Barat adalah perekonomian Jawa Barat tumbuh sebesar

7,55 % selama periode penelitian (1987-1997). Berdasarkan hasil regresi absolut,

hanya menghasilkan kecepatan konvergensi sebesar 0,002 % sehingga secara

keseluruhan konvergensi yang terjadi di Jawa Barat sangat lambat dan daerah miskin

hanya tumbuh sedikit lebih tinggi dari daerah kaya namun perbedaannya tidak

signifikan.

Wiyati, Ratna Budi (2004) menganalisis terjadinya konvergensi pembangunan

antardaerah di Provinsi Jawa Tengah pada periode 1993-2000, dengan

variabel-variabel independen yang terdiri dari PDRB per kapita, jumlah penduduk, jumlah

penduduk yang tamat pendidikan SLTA, tingkat partisipasi angkatan kerja, proporsi

belanja non makanan dari pendapatan per kapita masyarakat, pendapatan asli daerah,

(48)

34

pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, bantuan presiden dan sumbangan

daerah otonom dan variabel dependen pertumbuhan ekonomi daerah per kapita.

Hasil regresi panel data menunjukan bahwa variabel-variabel independen

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen di Provinsi Jawa Tengah

sedangkan pada Daerah Tingkat II ada variasi signifikansi variabel independen

terhadap variabel dependen. Sedangkan hasil regresi terhadap konvergensi absolut

menunjukan arah negatif, yang mengindikasikan bahwa daerah miskin cenderung

tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah yang lebih kaya. sementara kecepatan

konvergensi absolutnya untuk periode 1993-2000 adalah 0,1711% per tahun,

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal

untuk periode 1993-2000 adalah sekitar 403 tahun.

Selain itu, hasil regresi konvergensi kondisional menunjukan bahwa variabel

initial per capita income bernilai negatif, berarti untuk Daerah Tingkat II di Provinsi

Jawa Tengah pada periode 1993-2000 tidak menunjukan kecenderungan divergensi

tetapi menunjukan gejala konvergensi. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu 403 tahun

untuk menutup setengah kesenjangan awal, maka kini jika kondisi berbagai variabel

penjelas dalam periode observasi berlanjut, hanya dibutuhkan waktu 22 tahun untuk

menutup setengah kesenjangan tersebut.

Perkembangan pertumbuhan PDRB di Kawasan Indonesia Timur (KTI)

mengalami konvergensi pada Tahun 1993,1996, dan 1998. Nilai koefisien regresi

yang didapat secara berturut-turut adalah sebagai berikut 0,0324 ; 0,0658 ; dan

0,0926. Pada tahun 1996 tingkat konvergensi mengalami peningkatan jika

(49)

dibandingkan tahun 1993, sedangkan tahun 1998 mengalami penurunan dari tahun

1996. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah

berpengaruh pada perekonomian di KTI (Sari, 2007).

Saldanha (2003) dalam penelitiannya untuk periode antara 1971-1994

Saldanha menggunakan tiga ukuran konvergensi yaitu konvergensi-s, konvergensi-a,

dan konvergensi-b, serta lima variabel yakni tingkat PDRB per kapita (atau PDB per

kapita menurut provinsi) pada periode awal, pertumbuhan PDRB per kapita, anggaran

belanja pemerintah per kapita, tingkat partisispasi sekolah menengah pertama (SMP)

per kapita dan angka harapan hidup. Konvergensi-s diindikasikan oleh penurunan

deviasi standar dari PDRB per kapita. Jika deviasi standar dari PDRB per kapita turun

dari waktu ke waktu, maka konvergensi-s telah terjadi dan implikasinya adalah

perbedaaan PDRB per kapita antara provinsi telah mengecil.

Konvergensi-s diukur oleh koefisien tingkat awal PDRB per kapita, jika laju

pertumbuhan PDRB per kapita (dalam log) di regresi terhadap tingkat awal PDRB

per kapita. Jika koefisien tersebut negatif dan signifikan secara statistik maka

dikatakan konvergensi–a telah terjadi dengan implikasi provinsi-provinsi dengan

tingkat awal PDRB per kapita yang rendah cenderung mengejar ketertinggalannya

dari provinsi-provinsi yang tingkat awal PDRB per kapitanya tinggi. Untuk

menghitung konvergensi a, Saldanha memakai persamaan sebagai berikut :

Gambar

Gambar 1.1. Perkembangan PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat Periode  2000-2007 Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 (termasuk Migas)
Gambar 1.2. Perkembangan PDRB per Kapita Kab/Kota di Jawa Barat Periode  2000-2007 atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Termasuk Migas)
Tabel 1.1. Plot  LPE  dan  PDRB  Per  Kapita  Kabupaten/Kota  Tahun  2007 Atas  Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Dengan Migas)
Gambar 2.1. Kemajuan teknologi dan Model Pertumbuhan SolowInvestasi pulang pokok(δ + n + g)k
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PRC-0022 Dewi &amp; Candra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta S1 Laporan Kerja Praktek Pembangunan Wilayah Di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Instruksi Bupati Bantul tentang Penertiban Bangunan Atau Tempat Usaha Pada Ruas-Ruas Jalan

TAN-0039 Riana estriani Universitas Gadjah Mada Yogyakarta S1 Pengaruh Penyuluhan Melalui Media Cetak Terhadap Motivasi Dalam Penerapan Inovasi Ayam Kampung Unggul Badan

bahwa dengan semakin meluasnya bentuk-bentuk penyakit masyarakat di Kabupaten Bantul, maka perlu mendapatkan perhatian yang serius dari

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Jalan Slamet Riyadi 236 Surakarta..

Perusahaan Manufaktur dengan memiliki 55 sampel dan menggunakan analisis regresi linear sederhana sebagai alat analisis menyimpulkan bahwa pengungkapan CSR

[r]