THE PROFILE OF TEACHER’S UNDERSTANDING ON STUDENT’S MATHEMATICS ABILITY BASED ON TEACHER’S TEACHING
EXPERIENCE AT SMPN 1 GANTARANGKEKE Hari Aningrawati Bahri1), Alimuddin2)
1SMP Negeri 1 Gantarangkeke, Bulukumba
2Prodi Pendidikan Matematika PPs Universitas Negeri Makassar
ABSTRACT
The objectives of the research were discover the profile of the teachers understanding by revealing the depth of students’ knowledge based on misconception and precondition knowledge in solving the questions.
The research was descriptive with qualitative approach. The researcher was the main instrument guided by mathematics ability diagnostic test, format of teachers written analysis result, and interview guidance which were valid. The data of the research was collected through test; then, the test was analyzed by the teachers in writing and verified through interview. The subjects of the research were teachers and student, namely one student of class IXB at SMPN 1 Gantarangkeke and two teachers with qualification of one novice teacher and one senior teacher. The results of the research showed that: (1) in identifying the student’s misconception, the novice teacher’s perspective and senior teacher’s perspective were similar. They thought that procedure mistake was also the student’s misconception, the teachers did not differentiate the student’s mistake whether its procedural or misconception; (2) the understanding of novice teacher and senior teacher on the students precondition knowledge of the subject understood that the mistake done by the student did not remember precondition material in solving the problem; (3) the understanding of senior teacher on the students precondition knowledge was the subject understood that the mistake done by the student was due to the student did not remember precondition material in solving the problem; the follow up plan for novice teacher referred to instrumental or procedural understanding, the divergent learning was centered in one way, the PCK component of novice teacher did not develop equally between the students knowledge identification and follow up plan; (5) the follow up plan for senior teacher did not only notice the student’s conceptual knowledge, but also how to build the student’s skill in solving the question based on the right procedure, able to demonstrate the connection in learning between the knowledge on student and pedagogic knowledge
Key Words : Teacher Knowledge, Student Knowledge, teacher experience.
PENDAHULUAN
Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusia berkualitas. Pendidikan juga bertujuan untuk menghasilkan insan-insan yang cerdas, kreatif, terampil, bertanggung jawab, produktif dan berbudi pekerti yang luhur. Hal tersebut hanya dapat dicapai manakala ditunjang oleh usaha dan kerja keras sedini mungkin.
Guru yang profesional adalah guru yang mempunyai sejumlah kompetensi yang dapat menunjang tugasnya yang meliputi kompetensi pendagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial maupun kompetensi pribadi. Dari kompetensi tersebut guru dapat menciptakan suasana dalam belajar menjadi nyaman dan optimal sehingga menumbuhkan persepsi siswa yang positif. Guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang
mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran dan sebagai sumber daya manusia yang memiliki peran sangat strategis yang dapat menentukan keberhasilan program pendidikan. Guru merupakan unsur penting yang sangat dekat hubungannya dengan anak didik dalam pelaksanaan pendidikan dan interaksi sehari-hari di sekolah.
Seorang guru harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang materi yang diajarkan dan juga pemahaman konsep yang kuat tentang suatu topik dan hubungan dengan topik lainnya. Mempunyai pengetahuan materi subjek (matematika) yang kuat adalah sangat penting untuk seorang guru, tetapi tidak cukup untuk mengajar yang efektif (Ball dan Bass, 2000). Berdasarkan Kahan et
al. dalam (Turnuklu dan Yesilder, 2007), para peneliti secara berkelanjutan
menyimpulkan bahwa siswa akan mau belajar lebih tentang matematika jika guru mengetahui tentang matematika, namun pengetahuan tentang materi (matematika) tidak cukup untuk mengajar matematika dengan baik.
Menurut Shulman dalam (Turnuklu dan Yesilder, 2007) pengetahuan konten matematika dan pengetahuan pedagogik bagian terintegrasi dari instruksi matematika yang efektif. Untuk membangun konsep matematika dalam pikiran siswa, pengetahuan pedagogik sama diperlukannya dengan pengetahuan konten matematika. Cara guru dalam menghubungan materi-materi (apa yang mereka ketahui tentang apa yang mereka ajarkan) dengan pengetahuan pedagogik (pengetahuan tentang apa yang mereka ketahui tentang cara mengajar) dan bagaimana suatu pengetahuan materi dapat menjadi suatu bagian dari proses berpikir pedagogik dilihat sebagai suatu bagian yang diintegrasikan dalam pengetahuan pedagogik.
Pemahaman materi pelajaran yang oleh Shulman dalam (Turnuklu dan Yesilder, 2007) disebut sebagai pengetahuan pedagogik perlu dikuasai dengan baik, terkait penyajian materi kepada peserta didik perlu dikemas sedemikian rupa sesuai dengan metode pembelajaran yang sesuai dengan memperhatikan bagaimana seharusnya siswa belajar, sejauh mana guru mengetahui konsepsi awal siswa terhadap materi pelajaran, penguasaan dan kesalahan konsep, serta strategi pemecahan masalah untuk mata pelajaran tersebut.
Seorang guru yang kuat pengetahuan materinya, namun lemah pengetahuan pedagogiknya akan mengakibatkan siswa sulit menerima materi yang disampaikan oleh guru. Sebaliknya apabila pengetahuan materi guru lemah, pengetahuan pedagogik kuat akan terjadi ketidaksesuaian antar materi yang disampaikan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan demikian pengetahuan matematika dan pedagogik harus dimiliki oleh seorang guru matematika.
Salah satu bentuk perhatian terhadap prestasi belajar matematika adalah dengan dilakukan berbagai studi ilmiah yang bertujuan mengevaluasi keberhasilan pembelajaran matematika sekolah. Sejalan dengan hasil TIMSS, hasil tes Programme for International Student Assesment (PISA) 2003 dan 2006 yang dikoordinir oleh Organization for Economic Co-operation and Development
relatif lemah dalam menyelesaikan soal-soal non rutin, lemah dalam mengidentifikasi hubungan antar konsep, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal fakta dan prosedur (Ismaimuza, 2010). Ini mengindikasikan bahwa siswa Indonesia menunjukkan karakteristik berpikir yang bervariasi. Dalam kasus di atas, siswa cenderung mahir dalam melakukan sejumlah operasi untuk menentukan hasil akhir, namun lemah dalam membuat interaksi antar konsep yang ada dalam konten permasalahan.
Salah satu kajian yang menarik untuk dicermati adalah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Regina Panasuk dari University of Massachusetts Lowell (2010), yang melaporkan tentang beragamnya karakteristik berpikir siswa dalam memecahkan masalah pada materi aljabar. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa siswa memiliki karakteristik berpikir yang bervariasi dalam memahami bentuk-bentuk aljabar melalui representasi yang berbeda. Dalam penelitian ini diambil 9 orang siswa untuk diwawancarai yang terdiri dari 4 orang siswa dengan kategori kemampuan tinggi dan 5 orang siswa dengan kategori kemampuan rendah. Siswa yang berkemampuan rendah cenderung menggunakan metode mencoba-coba untuk menyelesaikan masalah. Hal ini menjelaskan bahwa cara berpikir aljabar siswa belum beralih dari tahap ikonik ke tahap simbolik. Dua dari lima orang yang ada, mampu menemukan solusi yang tepat untuk persamaan yang disajikan dalam simbol-simbol dan kata-kata dengan menggunakan manipulasi numerik atau simbol-simbol aljabar, namun hal ini masih terasa sulit bagi mereka. Dr. Regina panasuk lebih jauh menegaskan bahwa siswa dengan tingkat berpikir seperti ini menunjukkan bahwa karakteristik berpikir mereka masih berada pada tahap prosedural, namun belum didukung oleh pemahaman konseptual yang benar.
Pengetahuan pedagogik bisa sama untuk beberapa guru dan berbeda untuk guru lainnya. Oleh karena itu, banyak peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan pedagogik merupakan pengetahuan yang dikembangkan guru sepanjang waktu, melalui pengalaman, bagaimana mengajarkan suatu materi dalam berbagai cara dan representasi agar siswa berhasil dalam belajarnya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan pula oleh Van Driel dkk. (2002), bahwa pengetahuan keahlian ini diperoleh dari pendidikan sebelumnya, latar belakang personal guru, konteks mengajar, dan melalui pengalaman mengajar.
Menurut Daryanto (2009), guru yang efektif dalam mengajar adalah guru yang memiliki pengalaman mengajar. Guru yang berpengalaman cenderung tahu lebih baik apa aktivitas dan praktik mengajar yang harus dipakai saat mengajarkan konsep-konsep tertentu, dan juga lebih mampu mengindividualisir pelajaran agar sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.. Sejalan dengan itu, Harvey dalam (Ellisa, S. & Aryani, 2013) berpendapat, bahwa guru berpengalaman mempunyai sikap-sikap positif terhadap mengajar dibandingkan guru pemula dalam penelitiannya menemukan bahwa guru-guru pemula kurang menunjukkan kesadaran tentang miskonsepsi yang dialami siswa.
Pengalaman mengajar dalam penelitian ini didasarkan pada masa kerja seorang guru yang dibagi menjadi dua jenis guru yaitu guru pemula dengan masa kerja kurang dari atau sama dengan 8 tahun dan guru Pembina dengan masa kerja
lebih dari 8 tahun. Hal ini sejalan dengan Lehrer dan Frankel (1992) menegaskan, bahwa kinerja guru ditentukan oleh masa kerja (pengalaman mengajar).
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan fokus mengkaji komponen pemahaman guru terkait pengetahuan tentang kandungan/ isi pedagogik guru matematika terintegrasi dengan pengetahuan tentang pemikiran siswa dan mengeksplorasi bagaimana pengetahuan ini digunakan oleh guru untuk memahami dan mengembangkan pemikiran matematika siswa, berdasarkan komponen pengetahuan konten pedagogik menurut Shulman yaitu Pengetahuan siswa atau Knowledge Of Students (KS).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan tentang pemahaman guru terkait komponen Pedagogical
Content Knowledge (PCK) yaitu Knowledge Of Student (KS) atau Pengetahuan
Siswa, terkait bagaimana guru mengidentifikasi dan mengatasi miskonsepsi dan mengidentifikasi pengetahuan prasyarat siswa. Pengetahuan siswa yang dimaksud adalah pengetahuan matematika siswa dalam menyelesaikan soal pada materi menyederhanakan bentuk aljabar, pertidaksamaan linear satu variabel, persamaan linear dua variabel dan kesebangunan.
Fokus utama peneltian ini adalah mengenai profil pemahaman guru terhadap pengetahuan matematika siswa ditinjau dari pengalaman mengajar guru. Pada penelitian ini, pengetahuan matematika siswa berdasarkan aspek
Pedagogical Content knowledge (PCK) yang dikemukakan oleh Shulman.
Aspek-aspek tersebut yaitu bagaimana guru mengidentifikasi dan mengatasi miskonsepsi dan pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan soal. Untuk mengetahui miskonsepsi siswa mengacu pada indikator pemahaman konsep yaitu; (1) Kurang tepat atau tidak mampu menyatakan ulang sebuah konsep, (2) Kurang tepat atau tidak mampu dalam mengklasifikasikan objek matematika berdasarkan sifatnya (3) Kurang tepat atau tidak mampu memberikan contoh dan bukan contoh konsep (4) Kurang tepat atau tidak mampu menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (5) Kurang tepat atau tidak mampu menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu, (6) Kurang tepat atau tidak mampu mengaplikasikan konsep pada pemecahan masalah. Sedangkan untuk aspek pengetahuan prasyarat siswa berdasarkan kemampuan siswa dalam (1) Mengingat bahan pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya, (2) Mampu untuk menghubungkan ide atau pelajaran baru dengan ide – ide atau pelajaran yang telah dipelajari terlebih dahulu.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas IXB SMP Negeri 1 Gantarangkeke pada semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pemahaman guru terhadap pengetahuan siswa, maka pemilihan subjek dilakukan berdasarkan sifat konsistensi data yang diperoleh dari hasil identifikasi secara tertulis dan melalui wawancara terhadap subjek.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah adalah peneliti sendiri, karena peneliti bertugas sebagai perencana, pelaksana, pengamat, pengumpul data, penganalisis data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Peneliti sebagai
informasi lain dari yang lain (temuan-temuan yang menarik), yang tidak direncanakan sebelumnya, yang tidak terduga terlebih dahulu atau yang tidak lazim terjadi. Pada penelitian ini juga digunakan instrumen pendukung lainnya yaitu: (1) tes diagnostic kemampuan matematika siswa, (2) pedoman penilaian pengetahuan siswa (3) format analisis hasil tes siswa dan (4) pedoman wawancara.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Guru pemula dan guru Pembina berpandangan bahwa kesalahan siswa dalam mengaplikasikan sifat-sifat serta dalam menerapkan algoritma adalah termasuk miskonsepsi. Hal ini mengindikasikan bahwa guru pemula dan guru Pembina dalam menganalisis miskonsepsi siswa memiliki pandangan yang sama bahwa kesalahan prosedur yaitu kesalahan penerapan algoritma juga merupakan miskonsepsi. Sementara menurut Kastolan dalam (Sahriah, 2012) miskonsepsi atau kesalahan konsep adalah kesalahan yang dilakukan siswa dalam menafsirkan istilah, konsep, dan prinsip. Atau salah dalam menggunakan istilah, konsep, dan prinsip. Young dan O’shea (Kusaeri, 2012) membedakan antara miskonsepsi dengan bentuk kesalahan lain, seperti kesalahan dan algoritma. Kesalahan merupakan jawaban salah dari suatu masalah yang diberikan, bisa karena ceroboh, lupa atau belum pernah diberikan materi yang diujikan. Sementara kesalahan algoritma merupakan ketidaksempurnaan langkah sehingga menghasilkan jawaban salah. Miskonsepsi merupakan pemahaman anak yang salah sehingga menyebabkan kesalahan yang sistematis. L.S. Cox dalam (Setiawan, 2015) mengemukakan miskonsepsi ditinjau dari sifatnya dikelompokkan menjadi 4 bagian yaitu: (1) miskonsepsi yang sistematis (systematic error), yaitu kesalahan yang terjadi jika siswa membuat kesalahan dengan pola yang sama pada sekurang-kurangnya tiga dari lima soal yang diberikan; (2) miskonsepsi yang random (random error) adalah kesalahan yang terjadi jika siswa membuat kesalahan dengan pola yang berbeda pada sekurang-kurangnya tiga soal dari lima soal yang diberikan ; (3) miskonsepsi yang diakibatkan dari kecerobohan adalah kesalahan yang terjadi jika siswa hanya membuat dua kesalahan dari lima soal yang diberikan; (4) miskonsepsi yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu tipe di atas, misalnya lembar data yang tidak lengkap.
Sementara dalam mengidentifikasi pengetahuan prasyarat siswa, guru pemula menyebutkan bahwa siswa lupa tentang materi pelajarannya seperti rumus-rumus dan pengertian materi, sehingga siswa tidak dapat mengaitkan pengetahuannya tentang rumus-rumus yang ada untuk memecahkan masalah. Penggunaan kata “tidak mengingat” atau “lupa” menandakan bahwa guru tidak memahami kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah. Guru tampaknya meyakini bahwa belajar hanya terdiri dari mengetahui atau tidak mengetahui; yaitu mengingat atau melupakan (Shuhua An, dkk. 2004). Guru pembina menjelaskan bahwa siswa tidak dapat mengaitkan pengetahuannya tentang balok untuk menyelesaikan masalah terkait pertidaksamaan linear satu variabel. Guru yang menyebutkan bahwa “siswa tidak memahami” menunjukkan bukti bahwa mengetahui pemikiran siswa dalam menyelesaikan soal tentang pertidaksamaan linear satu variabel. Memahami juga berarti bahwa siswa dapat
menginternalisasi suatu konsep dan menggunakannya dalam situasi yang berbeda (Shuhua An, dkk, 2004).
Dari hasil identifikasi terhadap miskonsepsi dan pengetahuan prasyarat siswa, guru pemula mengemukakan rencana tindak lanjut yaitu menekankan bagaimana agar siswa memahami konsep materi prasyarat, tetapi masih tetap berfokus pada keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal. Guru pemula cenderung memperhatikan bagaimana membangun kecakapan siswa dalam mengerjakan soal dengan memperbanyak latihan-latihan mengerjakan soal berdasarkan prosedur yang benar dengan berdasarkan contoh-contoh soal yang diberikan oleh guru dan memprioritaskan pada hasil akhir
Guru pemula menuntut siswa untuk menghafalkan dan lebih banyak latihan mengerjakan soal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ball (1988), bahwa guru baru lebih banyak bergantung pada rumus dan kaidah yang dihafalkan tanpa mengarahkan siswa untuk memahami konsep.
Guru pemula mengidentifikasi bahwa kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal tentang pertidaksamaan disebabkan miskonsepsi siswa dan kurangnya pengetahuan prasyarat siswa, namun dalam rencana tindak lanjut yang dijelaskan, tidak mengarahkan siswa untuk lebih memahami konsep tetapi Guru pemula lebih fokus pada keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal berdasarkan prosedur yang tepat, juga kurang fleksibel dalam memilih metode pembelajaran dengan hanya menggunakan metode konvensional.
Ketika diberikan contoh kesalahan siswa dan menanyakan bagaimana mengatasinya, Guru pemula cenderung mengulang bagaimana melaksanakan prosedur atau menjelaskan bagaimana menerapkan aturan atau fakta matematika untuk menyelesaikan soal tersebut. Artinya, tanggapan mereka sebagian besar tergolong ke dalam kategori "mendiagnosa beberapa kesulitan atau miskonsepsi yang mungkin dengan benar" dan " mengatasinya dengan memberitahukan aturan dan prosedur untuk menyelesaikan soal yang diberikan dengan benar." Guru pemula memiliki rangkaian strategi pengajaran yang terbatas untuk membantu siswa memahami konsep matematika. Meskipun, dalam beberapa kasus, guru pemula menjelaskan bahwa dalam dalam membimbing siswa untuk membantu menilai pemahaman mereka sendiri dan menyadari kesalahan mereka, subjek lebih cenderung untuk mengajarkan secara langsung langkah menyelesaikan soal yang diberikan berdasarkan aturan atau rumus secara abstrak daripada menggunakan berbagai alat bantu visual seperti tabel, skema, gambar, alat pergara untuk membantu siswa menyelesaikan soal. Selain itu, ketika mereka menjelaskan penyelesaian dari soal yang diberikan mereka jarang menyebutkan alasan yang mendasari prosedur tersebut. Dari penjelasan diatas, guru pemula dapat mengidentifikasi miskonsepsi dan pengetahuan prasyarat siswa tetapi dalam merencanakan pengajaran sebagai rencana tindak lanjut, subjek tidak memperhatikan penyebab kesalahan dan kebutuhan siswa. subjek hanya mengacu pada buku pegangan dan rencana pembelajaran yang berbasis kurikulum dalam pembelajaran dikelas. Hal ini sejalan dengan pendapat Kulm & Wu (2004) menyatakan bahwa guru pemula cenderung beraksi berdasarkan aturan atau ketentuan dan pedoman yang telah ditetapkan oleh orang-orang yang memiliki
otoritas, sementara guru ahli mendasarkan pada keputusan mereka sendiri ketika membuat perencanaan berdasarkan karakteristik siswa.
Guru pembina tidak hanya berpatokan pada satu metode saja, tetapi bermacam-macam cara untuk menanamkan konsep kepada siswa. hal ini sejalan dengan pendapat Lubinski dalam (Zawawi, 2009) menegaskan bahwa perancangan dan pelaksanaan pembelajaran banyak dipengaruhi oleh pengetahuan kontent pedagogi yang dimiliki oleh guru. Guru-guru yang mengacu pada pembelajaran berbasis kognitif dan mempunyai pengetahua konten pedagogi yang tinggi lebih memberi perhatian kepada penyelesaian masalah dan akan (a) melibatkan berbagai soal cerita, (b) mendengarkan penjelasan siswa dengan teliti, (c) menggalakkkan interaksi antar siswa, (d) berusaha membuat penjelasan yang ringkas dan padat mengikuti kebutuhan siswa, (e) menyediakan berbagai contoh kontekstual untuk membantu siswa dalam memahami konsep dan menyelesaikan masalah, (f) kurang bergantung pada buku teks sebagai panduan utama untuk mengajar.
Shulman (1986) menyebutkan bahwa landasan berpikir untuk mengajar tidak cukup hanya memahami konten materi tetapi juga tentang cara mengajar. Guru harus mempunyai pengetahuan mengenai peserta didik, kurikulum, strategi instruksional, assessment sehingga dapat melakukan transformasi pengetahuan. Faktor yang tidak dapat diabaikan adalah tentang pengalaman kerja guru, yang selanjutnya disebut dengan pengalaman mengajar. Semakin lama pengalaman mengajar seorang guru maka semakin matang kepribadiannya dalam menjalankan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya (Winkel, 2012).
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa guru pembina dapat memberikan solusi dengan rencana tindak lanjut berdasarkan kesalahan siswa yang telah diidentifikasi. Menurut Shulman (1986) dalam (Zawawi, 2009), guru yang memiliki pengetahuan konten pedagogik yang baik akan menyampaikan isi pembelajaran dengan menggunakan analogi, contoh konkrit, penjelasan dan demosntrasi yang efektif, disamping dapat mengidentifikasi kesulitan dan miskonsepsi siswa berkaitan dengan materi pelajaran tersebut. hal yang sama juga dijelaskan oleh Wallace dalam (Zawawi, 2009) bahwa guru matematika yang berpengalaman telah menunjukkan pengaitan dalam pembelajaran antara pengetahuan tentang siswa dengan pengetahuan pedagogi. Guru yang memiliki pengetahuan pedagogi yang kuat mampu memilih strategi, tugas, contoh, representasi, dan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa, mengetahui konsep-konsep matematika apa yang sulit untuk dipahami siswa, konsep yang biasanya terjadi miskonsepsi bagi siswa, kemungkinan sumber kesalahan siswa, dan bagaimana untuk mengatasi kesulitan dan miskonsepsi siswa (An, Kulm, & Wu, 2004). Konsep PCK sangatlah beragam, tetapi para peneliti pendidikan telah sepakat bahwa PCK merupakan pengetahuan pengalaman dan keahlian yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman di kelas (Baxter & Lederman, 1999) dan PCK merupakan kumpulan yang terintegrasi, konsep, kepercayaan dan nilai yang dikembangkan oleh guru pada situasi mengajar (Loughran, Mullhall, 2004). Dengan demikian preservis atau guru pemula cenderung memiliki PCK yang minim dibandingkan dengan guru yang berpengalaman NRC dalam (Zawawi, 2009)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman mengajar guru sangat berpengaruh terhadap pengetahuan guru terhadap siswa. Guru matematika yang berpengalaman telah menunjukkan pengaitan dalam pembelajaran antara pengetahuan tentang siswa dengan pengetahuan pedagogi. Guru yang memiliki pengetahuan pedagogi yang kuat mampu memilih strategi, tugas, contoh, representasi, dan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa, mengetahui konsep-konsep matematika apa yang sulit untuk dipahami siswa, konsep yang biasanya terjadi miskonsepsi bagi siswa, kemungkinan sumber kesalahan siswa, dan bagaimana untuk mengatasi kesulitan dan miskonsepsi siswa. Komponen PCK guru pemula belum berkembang secara seimbang, guru pemula dapat mengidentifikasi kesulitan-kesulitan dan miskonsepsi siswa tetapi masih mengemukakan langkah-langkah pembelajaran secara procedural yang berpusatkan pada guru. Dengan demikian guru pemula cenderung memiliki PCK yang minim dibandingkan dengan guru yang berpengalaman.
Saran
Peneliti merekomendasikan agar guru-guru melakukan analisis terhadap kecenderungan kebutuhan setiap siswa terhadap pembelajaran, kesalahan-kesalahan siswa karena dari hasil analisis tersebut, guru dapat mengevaluasi kualitas pembelajarannya dan dapat merencanakan solusi untuk perbaikan kesalahan siswa, sehingga mampu memberikan stimulus pengajaran yang sesuai serta untuk peningkatan kualitas pembelajaran kedepannya. Bagi sekolah diharapkan mampu mengetahui dan memberikan perhatian terhadap setiap guru-guru, baik untuk guru pemula dan untuk guru Pembina terutama dalam hal pengembangan PCK guru. Untuk penelitian yang relevan, berkaca dari penelitian ini agar melakukan penelitian kembali dengan jumlah subjek yang lebih banyak yang dapat mewakili guru pemula dan guru Pembina, perlu dilakukan verivikasi dengan: 1) menambahkan karakteristik sifat guru yang berbeda, seperti guru yang cenderung lebih aktif atau guru yag cenderung lebih kalem, 2) mengaitkan lebih spesifik guru pemula dan guru pembina dari latar belakang perguruan tinggi negeri dan swasta.
DAFTAR PUSTAKA
An, S. Kulm, G. Wu, Z. 2004. The Pedagogical Content Knowledge of Middle School, Mathematics Teachers in China and the U.S. Journal of
Mathematics Teacher Education – Springer Journals .
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd =10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi_uqrG19zMAhUJtI8KHUSsDT EQFghfMAk&url=https%3A%2F%2Fwww.deepdyve.com%2Flp%2Fsp ringer-journals%2Fthe-pedagogical-content-knowledge-of-middle-school-mathematics-VVOITL3kLi&usg= AFQjCNEsQKEPGCMaSIp
Ball, D.L. & Bass, H. 2000. Interweaving Content and Pedagogy in Teaching and
Learning to Teach: Knowing and Using Mathematics. In J. Boaler (Ed),
Multiple Perspective on the Teaching and Learning of Mathematics (pp.
83-104). Westport, CT: Ablex.
(http://www-personal.umich.edu/~dball/chapters/BallBassInterweavingContent.pdf. Diakses September 2015).
Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran. Surabaya: Cerdas Pustaka. Ellisa, S., Wrastari, T.,Aryani. 2013. Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi
Ditinjau dari Faktor Pembentukan Sikap. Jurnal Psikologi
Perkembangan dan Pendidikan Vol. 2, N0. 01, Februari 2013.
(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd
=10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjF-I-xzdzMAhUGLo8KHQWTBvMQFghSMAk&url=http%3A%2F%2Fjour nal.uny.ac.id%2Findex.php%2Fjppm%2Farticle%2Fview%2F6325&usg =AFQjCNGfIvc_XnBeKR7r_0XJn5C_HsYhoQ&bvm=bv.122129774,d. c2I. Diakses September 2015).
Kusaeri. 2012. Pengembangan Tes Diagnostik dengan Menggunakan Model DINA untuk Mendapatkan Informasi Salah Konsepsi dalam Aljabar.
Disertasi, Tidak Dipublikasikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Lehrer, R., Frangke, M. L. 1992. Applying Personal Construct Psychonology to the Study of Teacher’ Knowledge of Fractions. Journal for Research in
Mathematics education. 23 (3), 223-241. (https://books.google.co.id/books?id=wsklBAAAQBAJ&pg=PA82&lpg =PA82&dq=Applying+Personal+Construct+Psychology+to+the+Study+ of+Teacher%E2%80%99+Knowledge+of+Fractions&source=bl&ots=th u4PbZbFO&sig=qV8sTPJeuk5P2-Ksi3yua6JFBdA&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjgtrj00NzMAhUGuY8K HS5ECpEQ6AEIMjAD. Diakses September 2015).
Loughran, J., Berry, A., & Mullhall, P. (2006). Understanding and developing
science teachers’ pedagogical content knowledge. Rotterdam, The
Netherlands: Sense Publishers.
NCTM. 2000. Principles and Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Regina M. Panasuk & Matthew L. Beyranevand. 2010. Algebra Student’s Ability
to Recognize Multiple Representations and Achievment.Massachusetts
Lowell University
Sahriah, Siti. 2012. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika Materi Operasi Pecahan Bentuk Aljabar Kelas VIII SMP Negeri 2 Malang. (http://jurnal-online. um.ac.id/data/artikel /artikel9EEC8FEB3F87AC825C375098E45CB689.pdf. Diakses April 2016).
Shulman, L. S. 1986. Those who understand: Knowledge growth in teaching.
Educational Resercher, 15(2).
(http://www.fisica.uniud.it/URDF/masterDidSciUD/materiali/pdf/Shulm an_1986.pdf. Diakses September 2015).
Turnuklu, E.B. & Yesildere, S. 2007. The Pedagogical Content Knowledege in Mathematics: Pre Service Primary Mathematics Teacher’s Perspective in
Turkey. Journal IUMPST. Vol 1. 1-13.
(http://www.k-12prep.math.ttu.edu/journal/1.contentknowledge/yesildere01/article.pdf. Diakses September 2015).
Van Driel, J.H., & Berry, A. 2012. Teacher Professional Development Focusing
on Pedagogical Content Knowledge. Educational Researcher, 41, 26 –
28.
WS, Winkel. 2012. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo
Zawawi, T. Mustapha, R. Razak, H, A. 2009. Pengetahuan Pedagogi Isi
Kandungan Guru Matematik bagi Tajuk Pecahan: Kajian Kes di Sekolah
Rendah (Pedagogical Content Knowledge of Mathematic Teachers on Fraction: A case Study at Primary School). Jurnal Pendidikan Malaysia 34(1) (2009): 131-153. https://www. researchgate. net/publication/ 260286390_Pengetahuan_Pedagogi_Isi_Kandungan_Guru_Matematik_b agi_Tajuk_Pecahan_Kajian_Kes_di_Sekolah_Rendah_Pedagogical_Cont ent_Knowledge_of_Mathematic_Teachers_on_Fraction_A_Case_Study_ at_Primary_Schools. Diakses Maret 2016).