• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. seksual tertarik terhadap sesama jenisnya (Barley, 1996; Carroll, 2005; Knox,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. seksual tertarik terhadap sesama jenisnya (Barley, 1996; Carroll, 2005; Knox,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Homoseksual adalah laki-laki dan perempuan yang secara emosional dan seksual tertarik terhadap sesama jenisnya (Barley, 1996; Carroll, 2005; Knox, 1984). Homoseksual terdiri dari gay dan lesbian. Gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki. Lesbian adalah perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan (Masters, Johnson, Kolodny, 1992).

Homoseksualitas bukan hal yang asing dalam kehidupan kita. Homoseksualitas telah ada sejak zaman dahulu kala dan telah tercatat sejak zaman Yunani kuno. Akan tetapi pandangan terhadap homoseksualitas beragam seiring dengan perkembangan zaman (Carroll, 2005; Oetomo, 2003). Dalam peradaban budaya Eropa dan Amerika pandangan terhadap kaum homoseksual lebih dapat diterima. Meski demikian, sikap masyarakat terhadap homoseksualitas tetap membuahkan pendapat dan pandangan yang sedemikian negatifnya, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah melegalkan pernikahan kaum homoseksual, pertentangan terhadap kaum homoseksual tetap kuat (Barker, 2001; Carroll, 2005).

Pada tahun 1973, American Psychiatric Ascociation (APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental (mental disorder) dari Diagnostic Statistical Manual (DSM) (Barley, 1996; Carroll, 2005; Oetomo, 2003). Meski demikian, pencabutan homoseksual sebagai gangguan mental tidak menghentikan

(2)

pertentangan yang timbul di masyarakat luas. Homoseksualitas tetap menjadi perdebatan di sepanjang sejarah di seluruh belahan dunia (Brown, 2005; Rofes, 2008; Parker, Roff, Klemmack, Koenig, Baker, & Allman, 2003; Wolkomir, 2006).

Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik kaum gay maupun lesbian membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan adanya anggapan dan harapan dari masyarakat bahwa laki-laki harus menikah dan memberikan anak kepada istri dan keluarga (Oetomo, 2003). Selain itu keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002).

Sikap masyarakat yang sedemikian negatif membuahkan beragam perlakuan yang menyakitkan bagi kaum gay (D’Augelly, 2000; King & McKeown, 2003; Sanua, 1999: Silenzio, 2000; Terence, Bruce, & Georg, 2003). Perlakuan yang diterima oleh kaum gay mulai dari kecaman terhadap kaum gay bahwa mereka harus dibuang dari lingkungan sosial, dilecehkan, dihina, dilabel sebagai orang yang memiliki karakteristik yang negatif, ditolak, diasingkan, dianggap sebagai orang yang “sakit”, dan sumber penyakit terutama penyakit seksual menular seperti HIV (Dohrenwed, 2000; Fernadez, 2009; Warner, McKeown, Griffin, Johnson, Ramsay, Cort & King, 2004; Knox, 1984).

Selain itu kaum gay sering mendapat stigma, diolok-olok, diejek, dan diprasangka hanya karena orientasi seksual mereka (Bybee, Sullivan, Zielonka &

(3)

Moes, 2009; Carles, Gon, Alto, & Jose, 2003; Fish, 2007). Kaum gay sering mendapat siksaan dan kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Pada beberapa kasus kaum gay dianiya, dibantai bahkan dibunuh (Chang, Skinner, & Boehmer, 2001; Jones & Hill, 2005).

Pernyataan di atas terbukti dari hasil penelitian Departement of Health’s Sexual Orientation and Gender Identity Advisory Group’s Work Programme (2008), mengatakan bahwa dari 548 kaum gay yang menjadi subjek penelitian mereka, diidentifikasi bahwa 24% mengalami serangan fisik, 68% mengalami serangan verbal, 28% dilecehkan, dan 54% didiskriminasikan dalam kehidupan sosial karena orientasi seksual mereka. Selain itu, penelitian D’Augelli (2000) terhadap 1285 kaum gay ditemukan bahwa 75% dari kaum gay tersebut mengalami ejekan verbal, 27% mengalami kekerasan fisik, 22% diintimidasi, 28% mengalami pelecehan dari teman-teman mereka, dan 25% dipermalukan. Berdasarkan hasil penelitian Herek (dalam Jones & Hill, 2005) yang dilakukan pada 165 mahasiswa di universitas Yale, menemukan bahwa 42% dari kaum gay mengalami siksaan fisik, 27% didiskriminasikan, dan 54% diasingkan dari kelompok mereka.

Perlakuan yang demikian tidak hanya didapatkan dari masyarakat sosial, akan tetapi yang paling menyakitkan adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orangtua, saudara, teman sebaya dan sahabat mereka (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002). Kaum gay memiliki dukungan yang sangat rendah dari keluarga dan teman-teman mereka karena orientasi seksual mereka. Mereka dihujat, diisolasi, dianggap sebagai kutukan Tuhan dan

(4)

“dibuang” dari keluarga mereka (Bates, 2005; Cochran & Susan, 2001; Coker, 2008; Commonwealth of Australia, 2008; Dohrenwed, 2000; Greene, 2003).

Menurut Lewis (2001), perlakuan yang demikian menjadi sumber stress (stressor) bagi kaum gay sehingga mereka mengalami psychological distress yang tinggi. Psychological distress yang tinggi yang dialami oleh kaum gay mengakibatkan mereka memiliki tingkat kesehatan mental yang rendah (Garner, 2008; Jones & Hill, 2002). Menurut D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) memberikan ciri-ciri orang yang sehat mentalnya adalah (1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.

Rendahnya tingkat kesehatan mental yang dimiliki oleh kaum gay dapat dapat diidentifikasi dari beragam masalah psikologis yang mereka alami seperti gangguan kecemasan (anxiety disorder), depresi, gangguan mood (mood disorder), serangan panik (panic attack), dan memiliki ide dan usaha untuk melakukan bunuh diri (Boysen., Vogel., Madon., Stephanie & Wester, 2003; Brown, 2005; Meyer, 2003). Penjelasan di atas diperkuat oleh hasil penelitian King (2003), yakni dari 277 subjek penelitiannya yang merupakan kaum gay ditemukan 44% memiliki gangguan kecemasan (anxiety disorder), 25% gangguan

(5)

mood (mood disorder), 35% mengalami depresi, 34 % tidak memiliki harapan (hopelessness), dan 63% memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri dan menyakiti diri sendiri (self harm).

Hasil yang serupa yang ditemukan oleh Bybee, Sullivan, Zielonka, Erich, dan Moes (2009), bahwa dari 881 kaum gay di California yang menjadi subjek penelitiannya, sekitar 26% mengalami depresi, 54% mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), 48% memiliki ide dan usaha untuk melakukan tindakan bunuh diri, 25% marah pada diri sendiri, 36% memiliki perasaan malu pada diri sendiri, 54% mengalami ketidakstabilan emosional, 65% memiliki harga diri yang rendah, dan 23% memiliki rasa bersalah yang berlebihan pada diri mereka.

Warner, dkk (2004) menambahkan bahwa dari 1825 gay yang menjadi subjek penelitiannya sekitar 43% mengalami gangguan mental dan 31% mencoba melakukan usaha bunuh diri. Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa kaum gay juga memiliki harga diri yang negatif, merasa malu dengan diri sendiri, memiliki gangguan emosional, ketidakstabilan emosional, dan tidak responsif secara emosional, hal ini bermuara kepada rendahnya tingkat kesehatan mental mereka.

Selain itu menurut Bagley & Temblay (2000), bahwa kaum gay memiliki kecenderungan 4,5 kali lebih besar dari kaum heteroseksual untuk melakukan percobaan bunuh diri. Hasil penelitian survey yang dilakukan oleh Gay and Lesbian Centre (2000) terhadap 478 di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa

(6)

lebih dari 54% dari subjek penelitiannya pernah melakukan percobaan bunuh diri dan sekitar 67% memiliki ide untuk melakukan tindakan bunuh diri.

National Alliance on Mental Illness (NAMI) (2009) juga menambahkan bahwa kaum gay memiliki tingkat gangguan kesehatan mental yang tinggi seperti gangguan kecemasan menyeluruh (generalized anxiety disorder), serangan panik (panic attack) dan gangguan kepribadian (personality disorder). Kitts (2005), berpendapat bahwa kaum gay memiliki perasaan tidak berharga, takut dengan masa depannya, tidak puas dengan dirinya, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri dan jijik terhadap diri sendiri. Menurut Jones dan Hill (2005), hal ini disebabkan karena kaum gay tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa karena dan tidak dapat mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya sebagai gay karena pertentangan yang kuat yang mereka dapatkan dari masyarakat.

Karena penolakan masyarakat yang sedemikian negatif, maka terkadang kaum gay berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran dengan perempuan. Akan tetapi, justru hal ini menjadi sumber yang dapat memperburuk kesehatan mental mereka, kerena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati kehidupan dan keadaan diri mereka (Gilbert, 2008; Haque, 2004; Johnson & Johnson, 2002; Siker, 2009).

Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa yang paling meyakitkan bagi kaum gay adalah ketika mereka mendapat penolakan dari orang tua, keluarga, dan teman-teman mereka sehingga kaum gay sering merasa kesepian, merasa terisolasi dan merasa terasing (Griffith & Hebl, 2002; Balsam & Beauchaine, 2005; Arenofsky, 2000; Atri & Shama, 2006). Pengisolasian diri

(7)

yang dilakukan oleh kaum gay juga menjadikan mereka merasa berbeda dengan teman-teman sebayanya dan merasa bahwa mereka tidak merupakan anggota suatu masyarakat atau komunitas tertentu, sehingga kaum gay memiliki perasaan komunitas (sense of community) yang rendah. Andeson (dalam Jones & Hill, 2005) mengatakan bahwa perasaan memiliki komunitas dengan orang lain adalah hal yang vital dalam perkembangan mental yang sehat bagi seseorang. Perasaan terisolasi ini dapat menghancurkan atau menurunkan harga diri dan konsep diri yang negatif, sehingga kaum gay memiliki kesehatan mental yang rendah (Higgins, 2006; Jorm, 2002; Meyer, 2003; Russer & Joyner, 2001).

Institut Hetrick-Martin (dalam Jones & Hill, 2005) mengestimasi bahwa 25% remaja diusir oleh orang tua mereka dari rumah setelah mengetahui bahwa anak mereka adalah gay, itulah sebabnya mengapa banyak kaum gay menjadi tunawisma. Di Los Angeles, sekitar 18% dari tunawisma adalah kaum gay, lesbian, dan biseksual (Robins, 2001). Sementara menurut Allen (2009), bahwa memahami kesehatan mental kaum gay tidak terlepas dari pemahaman kita akan pemisahan kaum gay dari struktur sosial (keluarga dan teman sebaya), norma dan institusi.

Kehidupan gay dalam lingkungan keluarga penting dalam melihat kesehatan mentalnya. Namun pada kenyataannya kaum gay yang membeberkan dirinya sebagai gay kepada orang tua dan teman-teman cenderung menerima perlakuan yang buruk (L.A. Gay & Lesbian Center, 2000). Sekitar 46% dari mereka kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari mereka mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah

(8)

setelah mereka membeberkan orientasi seksual mereka sebagai gay (D’Augelli, 2000).

Penerimaan orang tua dan teman-teman sebaya akan orientasi seksual kaum gay adalah hal yang penting dalam perkembangan kesehatan mental mereka (Cramer & Roach, 1998; Paul, Catania, Pollack, Moskowitz, Canchola, Mills, Binson, & Stall, 2002). Namun sayangnya lebih dari 42% dari orangtua kaum gay menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anak mereka setelah mereka memberitahukan kepada orang tua mereka orientasi seksual mereka (Jorm, Rodgers, & Christensen, 2002; NAMI, 2009).

Pace (2005) yang selanjutnya diklarifikasi oleh Gay and Lesbian Equality Network (GLEN) (2009) mengatakan bahwa kaum gay yang diterima oleh orang tuanya dan teman-temannya memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik daripada kaum gay yang ditolak oleh orang tua dan teman-teman mereka. Menurut D’Augelli (dalam Jones & Hill, 2005) hubungan antara orangtua dan anak, dimana orang tua yang menolak anak mereka karena orientasi seksual mereka menjadi sumber stres besar bagi kaum gay yang bermuara pada rendahnya kesehatan mental mereka.

Kondisi yang demikian mendorong kaum gay bergabung atau melakukan suatu perkumpulan dalam sebuah komunitas gay dan lesbian, supaya mereka mendapat dukungan emosional dan penerimaan dari orang lain. Meski komunitas yang mereka miliki dapat menerima mereka apa adanya dan mereka berkumpul dalam suatu komunitas yang kohesif, namun menurut Bancroft (2002) kondisi yang demikian tidak dapat menyelesaikan perasaan terisolasi mereka. Justru

(9)

tindakan itu mengakibatkan kaum gay semakin merasa terpisah (terisolasi), merasa berbeda dengan lingkungan sosial dan teman-teman mereka yang lain, dan merasa rendah diri terhadap kaum heteroseksual (Warner, 2004).

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum kaum gay memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah daripada kaum heteroseksual (King, McKeown, Waner, Ramsay, Johnson, Cort, Wright, Blizard, & Davidson, 2003). Grene (2003) juga mengetengahkan bahwa kaum gay memiliki gangguan psikologis yang lebih tinggi daripada kaum heteroseksual. Senada dengan pernyataan di atas, NAMI (2009) mengatakan bahwa kondisi orientasi homoseksual merupakan faktor risiko menderita gangguan mental dan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang rendah. Allen (2009) juga menambahkan bahwa kaum gay 2,5 kali lebih besar daripada kaum gay heterosekual untuk mengalami gangguan mental (mental disorder) dan orientasi seksual berkorelasi positif dengan psikopatologi (NHS, Department of Health, 2008).

Rendahnya tingkat kesehatan mental yang diindikasikan oleh depresi, gangguan kecemasan, gangguan mood, rendah diri, emosi yang negatif, perasaan tidak berharga, ketidakstabilan emosional, merasa malu dengan diri sendiri, dan ketidakpuasan dalam hidup menuntut kaum gay melakukan usaha untuk mengurangi ketegangan psikologis tersebut. Saroglou (2003) mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari perlindungan diri dari psychological distress yang mereka alami. Adapun bentuk mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi kondisi psychological distress

(10)

yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius (Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou, & Kazis, 2003; McQeeney, 2009; Meyer, 2003).

Perilaku religius menuntun kaum gay untuk semakin menghayati religiusitas mereka dan dapat mengambil makna dari kondisi homoseksualitas mereka sehingga dapat melindungi mereka dari gangguan depresi, gangguan kecemasan (anxiety disorder), dan dengan sukses dapat mengatasi konflik emosional yang mereka hadapi (Heiler, 2000; Jones, 2009; Pajevic, Sinavovic, & Hasanovic, 2005; Pieper & Uden, 2006).

Perilaku religius yang dimiliki oleh gay mengarahkan mereka untuk mampu mengatasi masalah psychological distress yang mereka alami, sehingga kehidupan mereka lebih bahagia, memberikan harapan bahwa hidup mereka berharga, memiliki harga diri yang positif, merasa nyaman dengan dirinya, dapat menerima kelemahan dirinya, optimis akan kehidupannya, bebas dari rasa cemas, rasa bersalah, tingkat depresi yang rendah dan tingkat stres yang rendah. Sementara menurut Almeida, dkk (2006) bahwa perilaku religius dapat membantu mengatasi frustrasi, rasa rendah diri (inferior), kemarahan pada diri sendiri, perasaan terisolasi, mengurangi ketegangan psikologis, menghilangkan perasaan bersalah terhadap diri sendiri, menstabilkan emosi, meningkatkan pemahaman diri, dan dapat membantu mengatasi stress. Dengan demikian, perilaku religius berfungsi memperbaiki kesehatan mental mereka (Almeida, dkk, 2006; Barbara, 2004; Stark., Iannaccone., & Finke., 2000; Wolkomir, 2006)

McQueeney (2009) melakukan penelitian kualitatif terhadap 25 orang gay dan lesbian di Amerika Serikat dan kesimpulannya adalah para kaum gay dan

(11)

lesbian ini justru semakin meningkatkan perilaku religius mereka seperti menghadiri ibadah di gereja, penelaahan Alkitab (Bible studies), persekutuan yang suci (holy unions), berdoa dan mengikuti ritual-ritual keagamaan. Perilaku religius yang mereka miliki mengarahkan mereka untuk dapat mengambil makna dari kondisi homoseksual mereka sehingga mereka menjadi lebih bahagia, percaya diri dan menerima keadaan diri mereka sendiri serta dapat mengambil makna dari perlakuan masyarakat yang negatif terhadap mereka (McQueeney, 2009).

Loewenthal (2009) berpendapat bahwa perilaku religius dapat merubah kognitif seseorang untuk lebih konstruktif sehingga dapat mengatasi konflik psikologis yang mereka alami. Sebagai hasilnya adalah mereka merasa lebih bahagia dan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik. Kesimpulannya adalah perilaku religius dapat meningkatkan atau memperbaiki kesehatan mental seseorang (Bergin, Allen, Masters, Kevin, Richards, 1987; Craigie, Greenwold, Larson, Sherrill, Larson, Lyons, Thielman, 1992)

Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah psychological distress yang mereka alami adalah dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan beragama dan menghindari diri untuk berperilaku religius (Wolkomir, 2006). Dengan demikian, kaum gay menghindari melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak berperilaku religius (Barbara, 2005; Wolkomir, 2006).

Secara umum Ellison (2008) mengatakan bahwa individu yang jauh dari kehidupan beragama seperti jarangnya melakukan ritual agama dan ajaran agama

(12)

merupakan faktor risiko untuk mengalami gangguan mental. Kondisi yang demikian semakin menjadikan seseorang tidak memiliki arah dan orientasi hidup yang jelas, dan cenderung memiliki konstruksi kognitif yang negatif (Francis, 2008). Individu yang menjauhkan diri dari perilaku religius tidak dapat mengambil makna dan nilai dari kehidupan dan penderitan yang mereka alami (Pieper & Uden, 2006).

Mitchel dan Weatherly (2004) berpendapat bahwa individu yang menjauhkan diri dari ajaran agama seperti jarang berdoa dan beribadah akan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mengalami depresi, gangguan kecemasan (anxiety disorder), rendah diri, dilema dalam menghadapi kehidupannya, dan menimbulkan perasaan bersalah. Kondisi yang demikian akan semakin memperburuk kesehatan mental individu tersebut (Pajevic, Sinavovic, & Hasanovic, 2005).

Selain itu, MacDonald (2008) berpendapat bahwa individu yang tidak berperilaku religius memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami konflik dalam dirinya, mengalami ketegangan psikologis, merasa gagal dalam hidupnya, merasa tidak bahagia, dan tidak puas dengan kehidupannya. Kondisi yang seperti ini akan memperburuk tingkat kesehatan mental mereka (Bertrand, & Choulamany, 2002; Fredrickson, 2005).

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000 terhadap 1760 subjek penelitiannya, menyimpulkan bahwa orang yang berperilaku religius memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi daripada orang yang tidak berperilaku religius. Individu yang berperilaku religius memiliki harga diri

(13)

yang positif, pengalaman hidup yang lebih bahagia, kondisi emosi yang positif, dan tingkat distress yang rendah. Sementara individu yang tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi berdoa yang jarang mengalami kecemasan yang lebih tinggi, harga diri yang negatif, kondisi affect yang negatif dan menilai hidup mereka secara negatif (Argyle, 2000).

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku religius dapat memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mental seseorang dan individu yang tidak berperilaku religius memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah dan memiliki gangguan mental. Notosoedirjo dan Latipun (2005) mengatakan bahwa kesehatan mental individu dipengaruhi oleh budaya dimana seseorang tersebut tinggal. Indonesia adalah masyarakat yang memiliki nilai budaya yang kental dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya timur sehingga kaum gay di Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat, hal ini terjadi karena budaya Indonesia sangat menolak homoseksualitas dan hanya mengakui hubungan heteroseksual.

Selain itu, kaum gay di Indonesia tidak berani mengungkapkan orientasi seksual mereka sehingga mereka tidak menemukan lingkungan yang dapat menerima keberadaan mereka (Boellstorf, 2005). Budaya Indonesia yang kental dengan penekanan nilai religius menuntut kaum gay di Indonesia untuk tetap memeluk agama sehingga kondisi kesehatan mental pada gay di Indonesia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh konteks budaya yang dalam hal ini nilai-nilai religius (Boellstorf, 2005).

(14)

Oetomo (2003) juga menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bersikap lebih negatif terhadap kaum gay daripada masyarakat Eropa dan Amerika, sehingga kaum gay di Indonesia lebih banyak mendapat penolakan, lebih terstigma, lebih banyak mendapat tekanan sosial, kecaman, mendapat banyak pelecehan, diharamkan dan dikutuk (Oetomo, 2003).

Dari dua fenomena tersebut yakni konteks budaya Indonesia yang menekankan nilai-nilai religius serta respon masyarakat Indonesia mendasari peneliti untuk meneliti bagaimana perbedaan kesehatan mental pada gay di Indonesia khususnya di kota Medan dilihat dari perilaku religius mereka. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti “Perbedaan Kesehatan Mental pada gay Ditinjau dari Perilaku Religius”.

B. RUMUSAN MASALAH

Secara terperinci, rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan melalui pertanyaan:

1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kesehatan mental pada gay di kota Medan ditinjau dari perilaku religius?

2. Bagaimana signifikansi pengaruh atau efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay di kota Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius.

(15)

Data yang diperoleh nantinya akan digunakan dan diolah untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan dalam bidang psikologi klinis, khususnya mengenai perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi berupa data mengenai kondisi kesehatan mental pada gay bagi praktisi kesehatan mental (psikolog dan psikiater), pekerja sosial, organisasi LSM, akademisi dan pihak-pihak tertentu.

b. Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat memprovokasi para akademisi lainnya untuk lebih lanjut meneliti kesehatan mental pada gay dalam skala yang lebih luas.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah: Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori

(16)

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan kesehatan mental dan perilaku religius.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus karena skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan, Kompensasi, Corporate Governance terhadap Manajemen Laba (Studi

Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan mengkaji; (1) tingkat kelayakan isi Buku Sekolah Elektronik (BSE) Penjasorkes SD Kelas 4 yang

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Berdasarkan dari hasil penelitian bulan Oktober 2019, maka disimpulkan efisiensi kerja alat optimum untuk alat gali muat adalah 73,0 %, alat angkut 68 % dan produktivitas

Kolom pertama dan kedua merupakan hasil perkalian dari dua bilangan dengan hasil seperti pada baris pertama pada tiap tabel. Bilangan yang terbesar adalah 8. Jadi banyaknya maksimal

1) Character, merupakan keadaan watak/sifat, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Ini dapat dilihat dengan meneliti riwayat hidup nasabah, reputasi

Menimbang, bahwa oleh karena pada waktu putusan perkara Nomor : 122/Pdt.G/2014/PN.Cbi dibacakan dipersidangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong pada

Sampaikan kepada peserta bahwa mereka akan berpartisipasi dalam kegiatan satu komputer yang terakhir dalam portofolio ini – kegiatan yang sangat berpusat pada siswa,