• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ECPAT USA, Statistics(daring), < diakses 22 Juni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ECPAT USA, Statistics(daring), < diakses 22 Juni"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan wanita dan anak-anak dengan tujuan eksploitasi seks komersial merupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat di dunia. The Declaration and

Agenda for Action against Commercial Sexual Exploitation of Children mendefiniskan

eksploitasi seks komersial pada anak sebagai berikut:1

“A fundamental violation of children’s rights. It comprises sexual abuse by the

adult and remuneration in cash or kind to the child or a third person or persons. The child is treated as a sexual object and as a commercial object. The commercial sexual exploitation of children constitutes a form of coercion and violence against children, and amounts to forced labour and a contemporary form of slavery”

Eksploitasi seks komersial merupakan bentuk yang paling umum dari perdagangan manusia, dimana diperkirakan jumlahnya mencapai 79% dari total kasus perdagangan manusia yang ada.2 Salah satu negara yang cukup kontributif terhadap tingginya angka perdagangan manusia, dalam hal ini yang mencakup berbagai bentuk eksploitasi seks komersial pada anak adalah Jepang.

Jepang merupakan salah satu negara tujuan, sumber, dan lokasi transit bagi wanita, pria, dan anak-anak yang menjadi korban perdagangan seks di dunia. Dalam laporan resmi dari pemerintah Amerika Serikat yaitu Trafficking in Persons Report

2014, Jepang masuk ke dalam negara Tier 2 dimana hal ini berarti negara tersebut

belum memenuhi standar minimal angka perdagangan manusia.3 Dalam hal ini subjek dalam perdagangan seks tidak hanya warga negara luar Jepang, namun juga terjadi pada warga negaranya sendiri terutama perempuan dan anak-anak. The World Justice

Project memperkirakan bahwa terdapat 54.000 orang perempuan dan anak-anak yang

bekerja dalam 73 milyar industri seks yang ada di Jepang.

1 ECPAT International, Questions & Answers about the Commercial Sexual Exploitation of Children, Saladaeng

Printing Co.Ltd., 2008, p.5.

2 ECPAT USA, Statistics(daring), <http://www.ecpatusa.org/statistics/>, diakses 22 Juni 2016.

3 United Nations Office on Drugs and Crime, Global Report on Trafficking in Persons 2014, New York, 2014, p.

(2)

2 Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan eksploitasi seks komersial pada anak dapat terus berlangsung di Jepang, diantaranya yaitu karena tidak adanya batasan dalam pengaksesan internet serta ketiadaan pengawasan oleh orang tua. Anak-anak menjadi rentan untuk dieksploitasi dengan tujuan seksual melalui berbagai macam media daring yang ada. Disamping itu, adanya penerimaan sosial serta kurangnya larangan secara hukum mengenai prostitusi, seks di luar pernikahan, tingginya pendapatan dan kuatnya budaya seks semakin memperkuat kemungkinan bagi anak-anak untuk menjadi korban eksploitasi seks komersial.4

Kondisi ini dibuktikan dengan fakta-fakta yang ada mengenai keberlangsungan eksploitasi seks komersial di Jepang sejak era 90an hingga saat ini. Pada tahun 1995-1996 muncul istilah “Enjo Kosai” atau “compensated dating” yang menyeruak di media Jepang. Istilah ini melekat pada anak perempuan di bawah umur (siswi sekolah menengah) yang diajak berhubungan seksual oleh lelaki yang biasanya usianya lebih tua untuk kemudian mendapatkan imbalan yang diinginkannya, termasuk makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan lain sebagainya.5 Kemudian pada tahun 2001 dilaporkan bahwa kasus “deai kei site” yaitu sebuah situs yang digunakan untuk menemukan pasangan kencan meningkat tiga kali lipat dari setahun sebelumnya.6 Pada tahun 2013, dilaporkan juga bahwa terdapat 6400 korban pelecehan seksual anak-anak, termasuk 1644 diantaranya kasus pornografi dan 709 kasus prostitusi anak.7 Sementara itu, baru-baru ini publik kembali dikejutkan dengan maraknya pemberitaan mengenai

“Joshi Kosei Osanpo” (JK) atau “high school girl walking date”. JK merupakan

berbagai macam aktivitas komersial dimana seorang gadis dengan seragam sekolah menawarkan berbagai macam jasa seperti pijat, teman berjalan-jalan, berfoto dan semacamnya kepada para pria dengan imbalan berupa uang ataupun hadiah lain.8

Dengan kondisi demikian, Jepang sebenarnya tidak tinggal diam. Sejak tahun 1996 Jepang turut terlibat dalam World Congress Against Commercial Sexual

4 ECPAT International, Executive Summary: Japan, p.1.

5 ECPAT International, The Commercial Sexual Exploitation of Children in East and Southeast Asia:

Development, progress, challenges, and recommended strategies for civil society, November 2014, p.15.

6 T.Wakabayashi, ‘Enjokosai in Japan: Rethinking the Dual Image of Prostitutes in Japanese and American Law’,

UCLA Women’s Law Journal, Vol. 13, No. 1, 2003, p.41.

7C.Makino.,Japan Criticized for Ignoring Child Sex Abuse, Exploitation, We.News(daring), January 19 2016,

<http://womensenews.org/2016/01/japan-criticized-for-ignoring-child-sex-abuse-exploitation/> diakses pada 30 Mei 2016.

8 Human Rights Council, Report of the Special Rapporteur on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child

(3)

3

Exploitation of Children (CSEC) yang diinisiasi oleh ECPAT International (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes).

Dengan berdasar kepada United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC), kongres ini telah berlangsung sebanyak tiga kali, yang pertama yaitu pada tahun 1996 di Swedia, 2001 di Jepang, dan 2008 di Brazil. Sebagai salah satu negara yang juga meratifikasi CRC, selama menjadi peserta kongres ini kemudian Jepang juga mengadopsi instrumen-instrumen internasional lain yang berkaitan dengan hak anak, serta mengadopsi kerangka-kerangka hukum yang diaplikasikan pada level nasional. Dalam hal ini, Jepang mengadopsi The Act on Punishment of Activities Relating to

Child Prostitution and Child Pornography, and the Protection of Children yang secara

spesifik menangani perihal kriminalisasi prostitusi anak. Disamping itu, pada tahun-tahun berikutnya Jepang juga berkoordinasi dengan pihak-pihak lokal seperti kepolisian setempat serta pihak-pihak internasional.9

Namun berdasarkan pemaparan diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus eksploitasi seks komersial pada anak di Jepang masih marak terjadi dan terkesan mendapatkan pembiaran baik dari pemerintah ataupun masyarakat setempat. Tentunya hal ini menjadi sangat kontras dengan keterlibatan Jepang dalam World Congress

against CSEC, dimana selama partisipasinya sejak tahun 1996 hingga 2008 Jepang

terhitung sebagai salah satu negara yang paling aktif, bahkan sempat menjadi tuan rumah dari kongres ini. Melalui skripsi ini penulis akan melihat bagaimana upaya

World Congress Against CSEC dalam memengaruhi kebijakan Jepang terhadap

pemberantasan eksploitasi seks komersial pada anak. Peran kongres tersebut akan menjadi sorotan tersendiri mengingat banyaknya upaya yang dilakukan masih belum maksimal.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children memengaruhi kebijakan Jepang dalam upaya pemberantasan eksploitasi seks komersial pada anak?

9 ECPAT International, Global Monitoring Report on the Status Against Commercial Sexual Exploitation of

(4)

4

C. Landasan Konseptual

United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC)

World Congress against CSEC merupakan kongres yang berdasar kepada

CRC. Jepang menandatangani konvensi ini pada tahun 1990, yang diikuti dengan ratifikasi pada tahun 1994. Pada konvensi ini disebutkan bahwa anak merupakan setiap manusia di bawah usia 18 tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku kedewasaan pada anak dicapai lebih awal. Konvensi ini ini berfokus pada tiga area dalam kaitannya dengan eksploitasi seks komersial pada anak, yaitu prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak dengan tujuan eksploitasi seks. Berkaitan dengan hal tersebut, pasal-pasal yang perlu diperhatikan adalah:

Pasal 19

1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran, atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.

2. Tindakan- tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan, perlakuan, dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak yang digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan. Pasal 32 (ayat 1)

1. Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya.

Pasal 34

Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan-tujuan ini, maka Negara-negara

(5)

5 Pihak harus terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral, dan multilateral yang tepat untuk mencegah :

a. Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual yang melanggar hukum.

b. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lainnya yang melanggar hukum.

c. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografis.

Pasal 35

Para negara Pihak harus mengambil semua langkah nasional, bilateral, dan multilateral yang tepat, untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.

Berdasarkan konvensi tersebut kemudian Jepang mengadaptasi kerangka-kerangka hukum baik di level internasional maupun nasional sebagai upaya untuk menekan angka eksploitasi seksual komesial pada anak. Penerapan hukum di tingkat nasional yang secara spesifik menangani kriminalisasi prostitusi anak ialah The Act

on Punishment of Activities Relating to Child Prostitution and Child Pornography, and the Protection of Children. Pada kerangka hukum ini, suatu kegiatan disebut

prostitusi anak yaitu ketika : “persetubuhan dengan anak, yang ditindaklanjuti dengan adanya perjanjian untuk memberikan hadiah atau timbal balik kepada: 1)anak tersebut; 2)siapapun yang menjadi perantara hubungan;3)orang tua atau siapapun yang mendapatkan hak sebagai wali asuh si anak ataupun memiliki kuasa atas anak tersebut.10 Melalui konsep ini, akan dilihat bagaimana norma-norma hukum yang ada kemudian diimplementasikan berdasarkan cakupannya, dan bagaimana peran dari

World Congress Against CSEC dalam hal tersebut.

D. Argumentasi Utama

Eksploitasi seks komersial pada anak di Jepang yang berlangsung secara berkelanjutan serta keterlibatan Jepang dalam World Congress Against CSEC memberikan dorongan bagi Jepang untuk mengubah kebijakannya dalam penanganan isu tersebut. Pasca keterlibatannya dalam kongres tersebut, Jepang secara perlahan

10 IMPOWR.org , Current Legal Framework: Prostitution in Japan, IMPOWR.org(daring), 2013-07-03,

(6)

6 mulai berbenah diri untuk memberantas eskploitasi seks komersial pada anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengadopsian instrumen-instrumen internasional yang mendukung implementasi CRC, serta kebijakan-kebijakan di tingkat nasional yang diadopsi dari kerangka hukum internasional yang ada.

Namun meskipun demikian, fakta mengatakan bahwa angka kasus eksploitasi seks komersial pada anak masih terjadi dan bahkan terus mengalami perkembangan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa World Congress Against CSEC memang telah memberikan implikasi terhadap kebijakan Jepang dalam upaya pemberantasan eksploitasi seks komersial pada anak. Namun kongres tersebut belum bisa sepenuhnya berpengaruh terhadap upaya pemberantasan secara signifikan karena hukum yang berlaku belum mampu untuk menindak berbagai macam bentuk eksploitasi seks komersial yang ada, disamping kepiawaian para pelaku dalam mengelabui hukum-hukum yang berlaku.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif dengan sumber utama pustaka literatur. Data yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah dalam skripsi ini adalah literatur buku, jurnal, laporan resmi pemerintah dan organisasi, serta artikel-artikel dari internet. Skripsi ini akan memaparkan bagaimana kongres memengaruhi kebijakan Jepang dalam upaya memberantas eksploitasi seks komersial pada anak yang terwujud dalam kerangka-kerangka hukum yang diimplementasikan oleh Pemerintah Jepang. Melalui hal tersebut, akan dilihat apa saja perubahan kebijakan Jepang selama terlibat dalam World

Congress Against CSEC, yang berhasil memberikan dorongan bagi Jepang untuk

bertindak sebagi upaya pemberantasan eksploitasi seks komersial pada anak.

F. Sistematika Penulisan

Penulis akan menyajikan penelitian ini ke dalam empat bab, yang terdiri dari Pendahuluan, Pembahasan, Analisis, dan Kesimpulan.

BAB I

Bagian pendahuluan berisi mengenai latar belakang dari permasalahan yang diangkat, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

(7)

7 BAB II

Bagian pembahasan akan berisi penjelasan mengenai eksploitasi seks komersial pada anak secara umum dan praktiknya yang berlangsung di Jepang, serta keterlibatan Jepang dalam World Congress against CSEC.

BAB III

Dalam analisis penulis akan menggunakan landasan konseptual CRC. Dalam hal ini penulis akan melihat bagaimana World Congress against CSEC yang diselengarakan memengaruhi Jepang untuk mengubah kebijakannya terhadap upaya pemberantasan eksploitasi seks komersial pada anak, yang terwujud dalam implementasi kebijakan dan tindakan yang berdasar kepada CRC.

BAB IV

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf d, terdiri atas :.. a. Ketentuan umum peraturan zonasi

Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Dearah dan Retribusi Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Dearah

Style berdasarkan komposisi yang simetris pada bangunan, karakter visual rumah Dinas Bakorwil juga dibentuk oleh adanya elemen- elemen visual yang terdiri dari

Oleh karena itu RKPD dan Renja SKPD berfungsi menjabarkan rencana strategis kedalam rencana tahunan dengan memuat arah kebijakan pembangunan, prioritas

Menggambarkan hal-hal seperti kebebasan dalam representasi diri di dunia virtual, hubungan yang terjalin antar pengguna media sosial, dan kekhawatiran akan

kerja baik pulih dengan merujuk Manual Penyelenggaraan yang berkaitan. c) Laksanakan kerja baik pulih apabila menerima alatganti atau bahan/peralatan. d)

Lampiran III.. Surat khabar membawa pelbagai kebaikan. Komputer membawa kebaikan kapada pelajar. Kelas Tambahan memainkan peranan penting dalam memperoleh keputusan

……… 08 17 Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam 08 17 25 KONSERVASI 08 17 25 07 Kegiatan Peningkatan Konservasi Daerah Tangkapan air dan sumber air 08 17