BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh
Habitat dan sebaran Sargasssun di Indonesia pada umumnya tumbuh di perairan yang terlindung maupun berombak besar pada habitat batu. Pengaruh alam yang banyak menentukan sebarannya adalah jenis substrat, cahaya matahari, kadar garam dan lain-lain. Substrat dasar tempat melekatnya adalah berupa batu karang, batu, lumpur, pasir, kulit kerang dan kayu. Penyebaran spesies ini banyak terdapat di perairan Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Kep.Seribu, Sulawesi dan Aru (Indriani dan Sumarsih, 2001)
2.1.2 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan Sargassum menurut Puslit Oseanografi LIPI adalah: Divisi : Phaeophyta
Subdivisi : Phaeophyceae Kelas : Fucales Bangsa : Sargassaceae Marga : Sargassum
Jenis : Sargassum polycystum C.Agardh 2.1.3 Morfologi tumbuhan
Talus berbentuk silindris, holdfast membentuk cakram kecil, “batang” pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun di bagian ujungnya. “Daun” kecil, lonjong, ujungnya rata dan runcing, tepi daun bergerigi dan urat daun tidak
begitu jelas, gelembung udara atau vesikel bulat telur, duduk pada percabangan (Atmadja, 1996)
2.1.4 Kandungan kimia
Menurut skrining fitokimia yang telah di lakukan Yanti Aryani (2004) rumput laut jenis Sargassum mengandung steroid/triterpenoid. Rumput laut ini juga mengandung protein, vitamin C, fenol dan memproduksi beberapa jenis senyawa sekunder seperti florotanin, steroid dan sterol (Keusgen, 1997).
2.1.5 Manfaat rumput laut Sargassum
Sargassum diketahui sebagai sember penghasil alginat yang di gunakan sebagai bahan pembuat cangkang kapsul, emulsifier dan stabilizer. Di bidang kosmetik, kandungan koloid alginatnya di gunakan sebagai bahan pembuat sabun, shampo dan cat rambut. Sedangkan di bidang perikanan, keberadaan Sargassum membantu meningkatkan produksi udang windu, sehingga rumput laut jenis Sargassum ini di gunakan sebagai model budidaya ganda dengan udang windu. Adanya rumput laut jenis Sargassum di sekitar tambak udang windu dapat mengurangi jumlah bakteri patogen sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya penyakit yang menyerang udang windu (Izzati, 2007)
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia dari simplisia nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut (Ditjen POM, 2000). Tujuannya ialah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat yang tidak berfaedah agar lebih mudah dipergunakan dan disimpan (Syamsuni, 2006).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan simplisia nabati atau hewani dengan cara yang sesuai diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1979).
2.2.2 Metode ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstaksi : 1. Cara Dingin
a. Maserasi,
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Maserasi kinetik di lakukan dengan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah di lakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna, umumnya di lakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) yang terus menerus sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap pengembangan bahan dan maserasi antara di lakukan dengan maserasi serbuk menggunakan cairan penyari sekurang-kurangnya 3 jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan yang mudah mengembang.
2. Cara Panas a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relativ konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relativ konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperature 40-50oC.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).
2.3 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk tujuan membunuh atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada suatu objek atau spesimen.
2.4 Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1987).
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri di pengaruhi oleh: a. Temperatur
Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap mikroorganisme mempunyai temperatur optimum yaitu temperatur di mana terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal. Temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein sedangkan temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan terhenti. Berdasarkan batas temperatur dibagi atas tiga golongan:
- psikrofil, tumbuh pada temperatur -5 sampai 30oC dengan optimum 10 sampai 20oC.
- mesofil, tumbuh pada temperatur 10 sampai 45oC dengan optimum 20 sampai 40oC.
- termofil, tumbuh pada termperatur 25 sampai 80oC dengan optimum 50 sampai 60oC (Pratiwi, 2008).
b. pH
pH optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun ada beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan yang sangat asam atau alkali (Pelczar dan Chan, 2006).
c. Tekanan osmosis
Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media.
Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis) (Pratiwi, 2008, Lay, 1996).
d. Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen di kenal mikroorganisme di bagi menjadi 5 golongan yaitu:
- Anaerob obligat, hidup tanpa oksigen, oksigen toksik terhadap golongan ini.
- Anaerob aerotoleran, tidak mati dengan adanya oksigen.
- Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa oksigen.
- Aerob obligat, tumbuh subur bila ada oksigen dalam jumlah besar. - Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik dalam tekanan oksigen yang
rendah (Pratiwi, 2008). e. Nutrisi
Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak) dan mikroelemen (trace element yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit) (Pratiwi, 2008).
2.4.1 Morfologi bakteri
Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat di bagi atas tiga golongan (Dwidjoseputro, 1987), yaitu :
A. Golongan basil
Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil.
B. Bentuk kokus
Golongan kokus merupakan bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang bergandeng-gandengan panjang serupa tali leher, disebut streptokokus, ada yang berbergandeng-gandengan dua-dua, disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat, disebut tetrakokus, kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.
C. Golongan spiril
Golongan spiril merupakan bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.
Jenis bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus.
a. Bakteri Escherichia coli
Sistematika bakteri Escherichia coli menurut Bergey edisi ke-7 (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut :
Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia
Species : Escherichia coli
Escherichia coli disebut juga Bacterium coli, merupakan bakteri gram negatif, aerob atau anaerob fakultatif, panjang 1-4 µm, lebar 0,4-1,7 µm, berbentuk batang, tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 370C tetapi dapat tumbuh pada suhu 8-400C, membentuk koloni yang bundar, cembung, halus dan dengan tepi rata. Eschericia coli biasanya terdapat dalam saluran cerna sebagai flora normal. Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada diluar usus atau dilokasi lain dimana flora normal jarang terdapat (Jawetz, 2001).
b. Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika bakteri Staphylococcus aureus menurut Bergey edisi ke-7 (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut :
Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerobfakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 µm, tidak membentuk spora dan tifak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-250C. koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001).
2.4.2 Fase pertumbuhan bakteri
Bakteri mengalami pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase menurut (Pratiwi, 2008; Dwidjoseputro, 1994) yaitu:
1. Fase lag
Pada saat dipindahkan ke media yang baru, bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan.
2. Fase log
Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.
3. Fase tetap
Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain
tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap.
4. Fase kematian
Pada fase ini, sel bakteri akan mati lebih cepat daripada terbentuknya sel baru. Laju kematian mengalami percepatan yang eksponensial (Lee, J, 1983).
Gambar 2.1. Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri
2.4.3 Media pertumbuhan bakteri
Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: a. Berdasarkan asalnya, media dibagi atas:
1) Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.
2) Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, BW, 1994).
b. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: 1) Media selektif
Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. 2) Media diferensial
Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar.
3) Media diperkaya
Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit (Irianto, K, 2006).
c. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, K, 2006): 1) Media padat/ solid
2) Media semi solid 3) Media cair
2.4.4 Metode isolasi biakan bakteri a) Cara gores
Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.
b) Cara sebar
Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat. c) Cara tuang
Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, RY et al, 1982).
2.4.5 Pengukuran aktifitas antimikroba
Penentuan kepekaan bakteria patogen terhadap antimikroba pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz et al, 2001).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram
dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al, 2001).
c. Metode turbidimetri
Ke dalam tabung reaksi ditambahkan 1 ml larutan abtibiotik dan 9 ml inokulum. Diinkubasikan pada suhu 30oC selama 3-4 jam. Serapan diukur dengan sperktrofotometer pada 530 nm. Kadar antibiotik ditentukan berdasarkan perbandingan serapannya terhadap serapan standar (Wattimena, 1991).