• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Farmasi Industri.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manajemen Farmasi Industri.pdf"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

CPOB

Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi dewasa ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB yang bersifat dinamis memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan atau teknologi dalam bidang farmasi. Demikian pula perkembangan penerapan CPOB di Indonesia. Terkait dengan telah ditanda-tanganinya Harmonisasi Pasar ASEAN 2008 oleh ke-11 pemimpin negara ASEAN, di mana kesehatan/produk farmasi, merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam harmonisasi pasar ASEAN. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan industri farmasi nasional, Badan POM Republik Indonesia selaku regulator industri farmasi nasional, telah mencanangkan penerapan CPOB edisi tahun 2006 (CPOB Terkini) bagi industri farmasi di Indonesia mulai 1 Januari 2007 dengan surat keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.053.0027 tahun 2006.

Dalam Pedoman CPOB edisi tahun 2006, acuan yang digunakan antara lain WHO Technical Report Series yaitu TRS 902/2002 Aneks 6, TRS 908/2003 Aneks 4, TRS 929/2005 Aneks 2,3,4, TRS 937/2006 Aneks 2,4 GMP for Medical Products PIC/S 2006, dan lain-lain.

Apabila dilihat dari perjalanan sejarah penerapan CPOB di Indonesia, maka penerapan CPOB Terkini, merupakan CPOB edisi ke-3, sejak diberlakukannya penerapan CPOB bagi industri farmasi di Indonesia tahun 1989. Berbeda dengan CPOB edisi 1988 maupun 2001 yang dikenal sekarang, c-GMP atau CPOB Terkini (2006) lebih menekankan pada sistem atau manajemen (management/system) pada setiap kegiatan di industri serta konsistensi industri farmasi yang bersangkutan dalam melaksanakan berbagai peraturan dan persyaratan tersebut. Hal-hal baru yang diatur dalam CPOB Terkini antara lain adalah Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System/QMS), Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS), terutama untuk produk-produk steril serta persyaratan Air Untuk Produksi (water system).

Berikut adalah aspek-aspek yang diatur dalam CPOB 2006 : 1. Sistem Mutu,

2. Personalia

(2)

4. Peralatan,

5. Sanitasi dan Higiene, 6. Produksi,

7. Pengawasan Mutu,

8. Inspeksi Diri dan Audit Mutu,

9. Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian, 10. Dokumentasi,

11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak, 12. Kualifikasi dan Validasi

Di samping itu, terdapat 7 (tujuh) anex (supplement), yaitu : 1. Pembuatan Produk Steril,

2. Pembuatan Produk Biologi, 3. Pembuatan Gas Medisinal,

4. Pembuatan Inhalasi Dosis Terukur Bertekanan (Aerosol), 5. Pembuatan Produk Darah,

6. Pembuatan Obat Investigasi Untuk Uji Klinik, dan 7. Sistem Komputerisasi.

Penerapan CPOB Terkini (CPOB: 2006) merupakan upaya pemerintah (Badan POM) untuk meningkatkan mutu produk farmasi/obat secara terus-menerus serta memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap masyarakat. Di samping itu, penerapan CPOB: 2006 ini juga bertujuan, antara lain:

(1) meningkatkan kemampuan industri farmasi Indonesia sesuai dengan standar internasional agar lebih kompetitif baik secara domestik maupun untuk pasar ekspor,

(2) mendorong industri farmasi Indonesia agar lebih efisien dan fokus dalam pelaksanaan produksi obat, termasuk pemilihan fasilitas produksi yang paling layak untuk dikembangkan, sehingga produk obat industri farmasi Indonesia mampu menembus pasar dunia karena khasiat dan mutu obat lebih terjamin,

(3) peningkatan company image dan volume pasar,

(4) menghindari produk yang tidak memenuhi syarat dan pemborosan biaya, (5) menghindari resiko regulasi serta

(6) lebih menjamin waktu pemasaran.

Diharapkan dengan penerapan CPOB yang terbaru ini industri farmasi di Indonesia akan siap menghadapi globalisasi pasar farmasi yang sudah di depan mata.

Namun demikian, hal yang patut diwaspadai adalah adanya fakta bahwa di negara lain, seperti Singapura dan Malaysia, yang sudah menerapkan c-GMP, banyak industri farmasi lokal yang gulung tikar. Di Singapura, seperti disinyalir oleh Anthony Ch. Sunarjo, MBA (Ketua Umum GP Farmasi Indonesia), hampir seluruh industri farmasi lokalnya mati, sedangkan di Malaysia 50% gulung tikar

(3)

(Republika, 13 Juni 2006). Memang, penerapan c-GMP ini membutuhkan biaya investasi yang sangat besar (menurut Anthony Ch. Sunarjo sekitar Rp. 30 Milyar). Untuk itu beberapa opsi ditawarkan untuk dapat mengatasi kendala ini, antara lain adalah :

1. Contract Manufacturing, artinya industri farmasi, terutama yang kecil dan menengah memproduksi obat dengan cara ―menitipkannya‖ di industri lain yang sudah memenuhi syarat 2. Merger (penggabungan) beberapa industri farmasi kecil dan menengah

3. Focusing, artinya industri farmasi melakukan pilihan secara terbatas produk-produk apa saja yang bisa diproduksi, sehingga sumber daya dan dana yang tersedia dikonsentrasikan pada sediaan tertentu saja (tidak semua item produk diproduksi)

Tentu saja semua langkah dan strategi tersebut di atas perlu dipersiapkan dengan matang, baik oleh industri farmasi sendiri maupun oleh pemerintah, dalam hal ini Badan POM selaku regulator industri farmasi di Indonesia, agar penerapan c-GMP bagi industri farmasi di Indonesia ini tidak membawa dampak yang buruk bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia, khususnya bagi industri farmasi skala kecil dan menengah. Karena bagaimanapun, keberadaan industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

CPOB 2001 vs CPOB 2006 (1)

Berikut adalah beberapa perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 Format dan Struktural Pedoman CPOB

CPOB: 2001

(4)
(5)

1. Bab 1. Quality Management (Manajemen Mutu) CPOB: 2001

Tidak diatur CPOB : 2006

Diatur, dengan rincian sebagai berikut : a. Konsep Mutu

 Manajemen bertanggung jawab agar obat dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaan, memenuhi persyaratan dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya, karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.  Manajemen membuat ―Kebijakan Mutu‖ perusahaan dan ―Manajemen Mutu‖ yang

didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. b. Kebijakan Mutu

(6)

 Konsep keterkaitan antara Manajemen Mutu – Pemastian Mutu – CPOB – Pengawasan Mutu :

c. Pemastian Mutu (Quality Assurance)

 Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal, baik secara tersendiri maupun kolektif, yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan  Pemastian Mutu (QA) mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain, seperti desain

dan pengembangan produk, Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practices (GCP), Good Laborary Practices (GCP) dan Good Distribution Practices (GDP).

Quality Management System (Sistem Manajemen Mutu) d. Pengkajian Mutu Produk

 Tujuan: membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi; untuk melihat trend dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses.

 Pengkajian Mutu Produk dilakukan secara berkala, setiap 1 tahun sekali disebut Pengkajian Produk Tahunan (PPT)

(7)

Organisasi, Kualifikasi dan Tanggung Jawab CPOB: 2001

Tidak ada Penanggung Jawab Penjaminan Mutu (QA = Quality Assurance)

CPOB: 2006

Penyesuaian struktur organisasi menurut Sistem Mutu Penanggung Jawab Produksi

Penanggung Jawab Pengawasan Mutu Penanggung Jawab Pemastian Mutu (lihat di halaman Personalia)

(8)

a. Persyaratan Kelas Kebersihan CPOB 2001

(9)

b. Kaskade (Perbedaan) Tekanan Udara CPOB 2001

Tidak diatur secara spesifik

Non beta-laktam : Ruang Produksi Liquid/Semi Solid (tidak berdebu) > Koridor > Ruang Produksi Solid (berdebu) > Udara luar (black area)

Beta-laktam : Ruang produksi (solid) < Koridor < Udara Luar (black area) CPOB 2006

Prinsip : Clean koridor

(10)

c. Ruang Penimbangan CPOB 2001

Tidak diatur secara khusus CPOB 2006

Penimbangan bahan dilakukan di area terpisah yang didesain khusus untuk kegiatan tersebut.

4. Bab 4. Peralatan Desain dan Konstruksi CPOB 2001

Peralatan harus dikualifikasi (KI, KO, dan KK) sebelum digunakan Persyaratan :

(11)

CPOB 2006

Kualifikasi diatur dalam bab tersendiri Persyaratan :

(12)

Pemasangan dan penempatan

5. Bab 5. Sanitasi dan Higiene

Secara umum, untuk bab 5 ini tidak banyak perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006, kecuali beberapa hal misalnya tentang ―Label Bersih‖ (sedikit beda), dan persyaratan fasilitas sanitasi (locker, tempat sepatu, wastafel, dan lain-lain).

CPOB: 2001 Personalia Bangunan Peralatan

Validasi dan Keandalan Prosedur

Label ―Bersih‖ CPOB: 2001 CPOB: 2006

Higiene Perorangan

Sanitasi Bangunan dan Fasilitas Pembersihan dan Sanitasi Peralatan

(13)

Label ―Bersih‖ CPOB: 2006 6. Bab 6. Produksi

a. Umum

Pada bab ini terdapat banyak sekali perbedaan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006. Perbedaan utama di antaranya adalah dihilangkannya klausul tentang ―Produk Steril‖, di mana pada CPOB: 2006 di buat dalam bab tersendiri (Anneks 1 ―Pembuatan Produk Steril‖) sehingga jauh lebih lengkap. Perbedaan lain yang utama adalah perubahan beberapa ―Glosarium‖ (pengertian istilah), di antaranya :

Bahan Awal terbatas pada bahan baku aktif dan bahan baku pembantu (pada CPOB: 2001, bahan awal adalah bahan baku aktif, bahan penolong dan bahan pengemas)

Bahan pengemas dipisahkan dari bahan cetak (etiket dan leaflet) Istilah ―contoh‖ diganti dengan ―sampel―

Istilah ―Obat Jadi‖ diganti dengan ―Produk Jadi―

Perbedaan lain, ―Validasi Proses‖, pada CPOB: 2006 dibuat Bab tersendiri (Bab 12. Kualifikasi dan Validasi). Di samping itu, pada CPOB: 2006 juga di atur tentang ―Penggunaan Fasilitas Bersama‖ dengan produk ―Non Obat‖, misal kosmetika, produk komplemen (food supplement/complimentary products), dan obat tradisional non simplisia, harus mendapat persetujuan dari Otoritas Pengawas Obat (Badan POM).

b. Bahan Awal CPOB: 2001

Tidak ada ketentuan mengenai ―Daftar Pemasok Yang Disetujui‖ dan ―Nama Pemasok‖ Persyaratan suhu ruangan penyimpanan :

(14)

Label status bahan awal, untuk zat berkhasiat harus tiap wadah. Sedangkan untuk wadah bahan awal lain, direkatkan paling sedikit satu label pada wadah terbawah dari tumpukan wadah yang tersimpan di atas satu palet.

Kalibrasi timbangan, tidak ada ketentuan lembaga yang melakukan kalibrasi

Bahan awal yang ―Ditolak‖, di simpan di tempat khusus (tidak ada ketentuan harus terkunci).

CPOB : 2006

Harus dibuat ―Daftar Pemasok yang disetujui‖ dan ―Nama Pemasok‖ yang dicantumkan dalam ―Spesifikasi Bahan‖

Persyaratan suhu ruangan penyimpanan :

Label status bahan awal, tiap wadah bahan awal harus ada status.

Kalibrasi timbangan, dibagi menjadi 2 macam, yaitu kalibrasi internal dan kalibrasi eksternal. Kalibrasi internal dilakukan rutin tiap 6 bulan dengan menggunakan batu timbang standar terkalibrasi. Kalibrasi eksternal hanya boleh dilakukan oleh laboratorium kalibrasi terakreditasi (memiliki sertifikat KAN), pemasok/perusahaan lain yang terakreditasi atau oleh Badan Metrologi untuk memenuhi legalitas oleh pemerintah. Bahan Awal yang ―Ditolak‖ harus tersimpan ditempa khusus yang terkunci.

(15)

CPOB: 2001

Tidak ada persyaratan ruang khusus untuk menyimpan bahan yang sudah ditimbang atau dihitung (Staging Area)

CPOB: 2006

Sesudah ditimbang atau dihitung, semua bahan untuk tiap bets disimpan dalam satu kelompok dalam ruang khusus (Staging Area) dan diberi penandaan yang jelas (lihat Bab 3. Bangunan dan Fasilitas)

d. Pengolahan CPOB: 2001

Tidak ada ketentuan pemantauan suhu dan kelembaban udara, sebelum dilakukan proses pengolahan.

Persyaratan ―Air Untuk Produksi‖ :

Tidak ada ketentuan mengenai jenis pelumas mesin yang digunakan.

Tidak ada ketentuan khusus mengenai ―Batas Waktu‖ dan ―Kondisi Penyimpanan‖ Produk-Dalam-Proses (produk antara sebelum dilakukan pengemasan primer).

Proses pengolahan produk steril

(16)

Sebelum dilakukan proses pengolahan, dilakukan pemantauan suhu dan kelembaban ruangan produksi.

Persyaratan ―Air untuk Produksi‖

Pelumas mesin yang digunakan harus ―food grade‖.

―Batas Waktu‖ dan ―Kondisi Penyimpanan‖ Produk-Dalam-Proses, harus ditetapkan agar produk tidak mengalami penurunan mutu selama penyimpanan sebelum dilakukan proses selanjutnya.

Pembuatan Produk Steril diatur dalam Bab tersendiri (Anneks 1). e. Bahan Pengemas

CPOB: 2001

Dimasukkan dalam ―Bahan Awal‖ CPOB: 2006

(17)

Bahan Pengemas dibedakan Bahan Pengemas Primer, Bahan Pengemas Cetak (leaflet dan etiket), dan Bahan Cetak Lain.

Bahan Pengemas Cetak harus disimpan dengan kondisi pengamanan memadai (terkunci) dan orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk.

Kodifikasi (pemberian kode nomor bets) dilakukan di ruangan terpisah dan hanya bahan cetak tertentu saja yang boleh diletakkan di tempat kodifikasi pada saat yang sama.

7. Bab 7. Pengawasan Mutu

Salah satu perubahan pokok dalam CPOB 2006, bila dibandingkan dengan CPOB 2001 adalah Bab mengenai Pengawasan Mutu. Perubahan fundamental tersebut di antaranya adalah mengenai adanya Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (dalam CPOB 2001 tidak ada), metode pengambilan sampel, dan program stabilitas. Untuk Validasi Metode Analisa, pada CPOB 2006 dibahas dalam bab tersendiri (Bab 12. Kualifikasi dan Validasi). Hal lain yang berbeda adalah Bagian QC hanya berhak untuk meluluskan/menolak Bahan Awal, Bahan Pengemas, Produk Antara dan Produk Ruahan, sedangkan untuk Produk Jadi yang berhal meluluskan atau menolak adalah Bagian QA (Quality Assurance). Pada CPOB 2006 ini juga dikenal istilah Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (CBPMB), yang mengacu pada GLP (Good Laboratory Practices). Aspek-aspek dalam CBPMB adalah Bangunan dan fasilitas, Personil, Peralatan, Pereaksi dan Media Perbenihan, Baku Pembanding, Spesifikasi dan Prosedur Pengujian, serta Catatan Analisis.

Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik (CBPMB) a. Bangunan dan Fasilitas

CPOB : 2001

Persyaratan untuk ruang Pengambilan Sampel, Ruang Pengujian Mikrobiologi tidak di atur secara spesifik

Bangunan Laboratorium pengujian untuk hewan boleh dalam satu bangunan (gedung) dengan syarat menggunakan sistem pengendalian udara terpisah dan dilengkapi dengan ruang penyangga.

Suhu ruangan Laboratorium: 24 – 28 derajat C, Kelembaban Nisbi (RH : 60 – 80 %) CPOB : 2006

Persyaratan Ruang Pengujian Mikrobiologi dan Ruang Pengambilan Sampel di atur lebih spesifik.

(18)

Bangunan Laboratorium Pengujian Hewan HARUS TERPISAH dengan sistem pengendalian udara yang terpisah dan dilengkapi ruang antara sebagai ruang penyangga. Suhu ruangan Laboratorium : Max. 28 derajat Celcius, Kelembaban Nisbi: Maksimum 80%.

b. Personil

Hampir sama, hanya saja pada CPOB: 2006, dijelaskan mengenai Uraian Tugas masing-masing Kepala Seksi.

Harus ada personil pengganti apabila pejabat yang bersangkutan berhalangan. c. Peralatan

CPOB: 2001

Tidak ada ketentuan lokasi Protap untuk mengoperasikan tiap instrumen atau peralatan Tidak ada persyaratan Kualifikasi/Validasi peralatan, instrumen atau perangkat lunak terkait

Syarat kalibrasi alat tidak jelas dan spesifik CPOB: 2006

Protap (Prosedur Tetap) untuk pengoperasian tiap instrumen dan peralatan tersedia dan DILETAKKAN Di DEKAT instrumen atau peralatan yang bersangkutan

Peralatan, instrumen dan perangkat lunak (software) terkait HARUS dikualifikasi/divalidasi, dirawat dan dikalibrasi dalam selang waktu yang telah ditetapkan serta didokumentasikan.

Tanggal kalibrasi, perawatan dan kalibrasi ulang HARUS sesuai dengan jadwal dan tertera dengan jelas pada peralatan ybs.

d. Pereaksi dan Media Perbenihan CPOB: 2001 = CPOB: 2006

(19)

e. Baku Pembanding CPOB : 2001

Tidak dijelaskan secara rinci prosedur pembuatan Baku Pembanding (primer, sekunder, maupun kerja)

Tidak ada persyaratan pencantuman tanggal penerimaan dan pertama kali wadah dibuka pada tiap wadah bahan yang digunakan.

CPOB: 2006

Baku Pembanding terdiri dari Baku Pembanding Primer, Baku Pembanding Sekunder dan Baku Kerja.

Baku Kerja dapat dibuat dari bahan aktif yang telah dibakukan terhadap Baku Pembanding Primer atau Baku Pembanding Sekunder, minimal dilakukan 6 x pengulangan dengan RSD < 2%.

Tanggal penerimaan dan pertama kali wadah dibuka HARUS dicantumkan pada tiap wadah bahan yang digunakan.

f. Pengambilan Sampel CPOB: 2001

Pola pengambilan contoh Bahan Baku (bahan baku aktif dan bahan tambahan) dan Bahan Pengemas

Uji Identitas: Contoh diambil dari tiap wadah, tidak ada aturan tentang validasi yang menjamin tidak ada wadah dengan penandaan yang salah.

Diatur mengenai jumlah contoh yang harus diambil.

Kegiatan pengambilan contoh dapat dilakukan di Ruang Kelas IV dengan memanfaatkan teknik udara laminar.

Tidak ada aturan khusus mengenai validasi pembersihan alat pengambil sampel dan batas waktu penyimpanan.

CPOB: 2006

Pola pengambilan sampel Bahan Awal (bahan baku aktif dan bahan tambahan) dan Bahan Pengemas, dilakukan menurut pola sebagai berikut:

(20)

Uji Identitas : Sistem pengambilan sampel dari sebagian jumlah wadah yang diterima secara proporsional diperbolehkan apabila telah dilakukan validasi yang menjamin tidak ada wadah dengan penandaan yang salah.

Kegiatan pengambilan sampel harus dilakukan di dalam Ruang Pengambilan Sampel (Ruang Sampling) yang setara dengan kelas kebersihan jenis produk yang diproduksi dan dilengkapi dengan dust extractor dan LAF (Laminar Air Flow).

Harus dilakukan Validasi Pembersihan Alat Pengambil Sampel dan alat yang sudah dibersihkan diberi batas waktu penyimpanan.

g. Persyaratan Pengujian CPOB: 2001

Tidak ada aturan mengenai pengurangan parameter pengujian Bahan Awal (Bahan Baku Aktif dan Bahan Baku Penolong).

Tidak ada aturan mengenai batas waktu pengujian (lama penyimpanan) Produk Antara/Produk Ruahan.

Tidak ada aturan mengenai pengurangan pengujian produk jadi yang telah disetujui pada saat pemberian izin edar.

CPOB: 2006

Parameter pengujian tertentu untuk Bahan Awal dapat dikurangi bila tren seluruh parameter yang diuji telah memenuhi syarat tertentu.

Batas waktu pengujian (lama waktu penyimpanan) Produk Antara/Produk Ruahan harus ditetapkan dan divalidasi

Parameter pengujian untuk produk jadi yang telah disetujui pada saat pemberian izin edar dapat dikurangi bila tren seluruh parameter yang diuji telah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain: Proses Pembuatan sudah divalidsi, uji stabilitas memenuhi syarat dan tersedia data validsi retrospektif atau peninjauan produk tahunan.

(21)

h. Studi Stabilitas CPOB: 2001

Kriteria pengujian: ICH Guideline (ICH QIA)

Tidak ada aturan mengenai jenis perubahan yang memerlukan uji stabilitas Tidak ada aturan yang spesifik mengenai studi stabilitas produk yang beredar. CPOB: 2006

Kriteria pengujian : ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product dan Guideline resmi lain, misalnya ICH.

Beberapa perubahan, harus dilakukan uji stabilitas :

Studi Stabilitas produk yang beredar, dibedakan antara lain: Uji stabilitas untuk produk yang beredar dengan didukung data Pengkajian Produk Tahunan (Annual Product Review), kondisi penyimpanan sampel sesuai dengan yang disyaratkan (on going stability), Follow Up Study(FUS), In-use stability dan study survaillence.

(22)

8. BAB 8. INSPEKSI DIRI DAN AUDIT MUTU a. Aspek Untuk Inspeksi Diri

b. Tingkat Kekritisan CPOB: 2001

(23)

c. Audit Mutu CPOB: 2001

Tidak diatur CPOB: 2006

Audit Mutu digunakan untuk melengkapi program Inspeksi Diri

Audit Mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari Sistem Manajemen Mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu.

Audit Mutu dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan.

d. AUDIT DAN PERSETUJUAN PEMASOK CPOB: 2001

Diatur dalam Bab 7. Pengawasan Mutu CPOB: 2006

Harus dibuat Prosedur Tetap (Protap). Merupakan tanggung jawab Bagian Pemastian Mutu (QA).

Dibuat Daftar Pemasok Yang Disetujui (Approved Supplier) dan ditinjau ulang secara berkala.

Dilakukan evaluasi sebelum pemasok disetujui. Kemampuan pemasok memenuhi standar CPOB.

9. BAB 9. PENANGANAN KELUHAN TERHADAP PRODUK, PENARIKAN KEMBALI PRODUK DAN PRODUK KEMBALIAN

CPOB : 2001

Penanggung jawab tidak diatur

Tidak definisi mengenai Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian CPOB: 2006

Penanggung jawab : Kepala Bagian Pemastian Mutu Definis: Lihat halaman Bab 9.

10. BAB 10. DOKUMENTASI

Tidak ada perbedaan signifikan antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 11. BAB 11. PEMBUATAN DAN ANALISIS BERDASARKAN KONTRAK

(24)

12. BAB 12. KUALIFIKASI DAN VALIDASI CPOB: 2001

Tersebar dalam beberapa Bab. CPOB : 2006

Keterangan lengkap lihat Validasi

13. ANNEKS 1. PEMBUATAN PRODUK STERIL

Beikut adalah beberapa perbedaan pembuatan produk steril, antara CPOB: 2001 dengan CPOB: 2006 (lainnya pelajari sendiri yach .. ).

(25)

Beda CPOB denga n ISO 9000

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), menurut definisi dari Badan POM Republik Indonesia (Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, Badan POM RI, 2006) adalah seluruh aspek dalam praktek yang ditetapkan yang secara kolektif menghasilkan produk akhir atau layanan yang secara konsisten memenuhi spesifikasi yang sesuai serta mengikuti peraturan nasional dan internasional. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Men.Kes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi, dan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.053.0027 tahun 2006 tentang Penerapan CPOB edisi tahun 2006, maka setiap industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB. Sertifikat CPOB merupakan bukti bahwa industri farmasi tersebut memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk proses produksi obat. Sertifikat CPOB ini diberikan kepada industri farmasi sebagai syarat untuk mendapatkan izin edar dari obat (produk) yang dibuatnya dan diberikan untuk masing-masing bentuk sediaan obat, yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas obat (dalam hal ini – di Indonesia – adalah Badan POM RI) . Jadi, CPOB merupakan persyaratan mutlak yang diwajibkan oleh pemerintah (Badan POM) bagi industri farmasi untuk bisa memproduksi obat.

CPOB berlaku secara nasional. Masing-masing negara memiliki aturan dan persyaratan yang berbeda-beda, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di masing-masing negara. Jadi, misalnya Amerika Serikat menetapkan aturan dan persyaratan CPOB/GMP yang ditetapkan oleh US FDA (United State Food and Drug Administration), Australia oleh TGA (Therapeutic Goods Administration), China oleh SFDA (State Food and Drug Administration), dan sebagainya. Jadi, jika produk dari negara kita hendak di ekspor ke Australia, maka industri farmasi kita harus memenuhi syarat CPOB-nya Australia (TGA compliance), kalau mau kita ekspor ke Amerika Serikat, maka industri farmasi kita harus memenuhi persyaratan GMP-nya Amerika Serikat (FDA approved), dan sebagainya. Di samping masing-masing negara membuat suatu aturan/persyaratan untuk negara yang bersangkutan, ada juga suatu organisasi independen yang anggotanya terdiri dari badan pemerintah beberapa negara yang bertanggung jawab terhadap pengawasan pembuatan obat, yaitu PIC/S (Pharmaceutical Inspection Co-operation/Scheme). Malaysia dan Singapura adalah 2 negara di kawasan ASEAN yang telah menjadi anggota PIC/S. Sehingga sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh otoritas pengawasan obat di Malaysia atau Singapura, “diakui” oleh negara-negara lain yang tergabung dalam PIC/S. Artinya, jika industri farmasi dari Malaysia atau Singapura hendak meng-ekspor produknya ke negara-negara anggota PIC/S lainnya, maka tidak perlu lagi di-audit oleh otoritas pengawasan obat dari negara tujuan.

ISO 9000

ISO-9000 adalah suatu standar internasional untuk sistem menajemen kualitas yang dikeluarkan oleh International Organization for Standarization (ISO) di Geneva, Swiss sebagai standar sistem

(26)

manajemen mutu yang diakui secara internasional. ISO 9000 menetapkan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen kualitas yang bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi akan memberikan produk (barang dan/atau jasa) memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat merupakan kebutuhan spesifik dari pelanggan, dimana organisasi yang dikontrak itu bertanggung jawab untuk menjamin kualitas dari produk-produk tertentu, atau merupakan kebutuhan dari pasar tertentu, sebagaimana ditentukan oleh organisasi yang bersangkutan. ISO 9000 pertama kali dikeluarkan pada tahun 1987 oleh The International Organization for Standarization Technical Committee (ISO/TC) 176. ISO/TC inilah yang bertanggung jawab untuk standar-standar sistem manajemen mutu. ISO/TC 176 menetapkan siklus peninjauan ulang setiap lima tahun, guna menjamin bahwa standar-standar ISO 9000 akan menjadi up to date dan relevan untuk organisasi. Revisi terhadap standar ISO 9000 telah dilakukan pada tahun 1994 dan tahun 2000. ISO 9000 yang terbaru (edisi terakhir) adalah ISO 9000 versi tahun 2008.

ISO-9000 bukan merupakan standar produk, karena tidak menyatakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu poduk. ISO-9000 hanya merupakan standar sistem manajemen mutu. Jadi apabila suatu perusahaan telah memperoleh sertifikat ISO-9000, maka BUKAN PRODUK-nya yang berstandar internasional, melainkan SISTEM MANAJEMEN MUTU-nya yang berstandar internasional. Meskipun demikian, diharapkan bahwa produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang telah memperoleh sertifikat 9000 juga akan berkualitas baik. Sekali lagi dikatakan bahwa ISO-9000 adalah bukan merupakan suatu persyaratan produk tersebut bisa dipasarkan, tetapi lebih ke arah untuk memberikan kepuasan/tuntutan konsumen. Ini sedikit agak berbeda dengan GMP (CPOB) yang merupakan persyaratan mutlak (keharusan) yang diwajibkan oleh pemerintah bagi industri farmasi untuk bisa memproduksi obat. Disamping itu, ISO-9000 berfokus pada Sistem Mutu yang ditentukan oleh manajemen, sedangkan GMP (CPOB) berfokus pada kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan (misalnya Farmakope).

Perbedaan CPOB vs ISO

Qualit y Mana gement S yst em

Industri farmasi bertujuan untuk menghasilkan obat yang harus memenuhi persyaratan khasiat (efficacy), keamanan (safety) dan mutu (quality) dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Salah satu kriteria penting dari produk industri farmasi ialah diterimanya kriteria

(27)

persyaratan kualitas obat. Karena menyangkut soal nyawa manusia maka industri farmasi dan produk industri farmasi diatur secara ketat, baik oleh industri farmasi itu sendiri maupun oleh pemerintah (dalam hal ini Badan POM sebagai regulator industri farmasi di Indonesia). Sebagaimana industri dan produk industri farmasi di negara-negara lain, industri farmasi farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Dalam pedoman pelaksanaan CPOB disebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi mutu produk antara lain adalah (1) kualitas dari bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan, (2) proses pembuatan dan pengawasan mutu, (3) bangunan dan peralatan, serta (4) personalia yang terlibat dalam pembuatan obat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan terhadap jaminan khasiat, keamanan dan kualitas produk, maka ―konsep pengawasan mutu‖ yang saat ini masih banyak digunakan di industri farmasi, menjadi sangat tidak memadai lagi. Konsep pengawasan mutu (quality control concept) didasarkan pada konsep ―defect detection‖, artinya bagaimana suatu sistem pengawasan tersebut dapat mendeteksi terjadinya suatu kesalahan/penyimpangan yang telah terjadi. Dengan kata lain, sistem ini hanya bisa mendeteksi kesalahan yang ―sudah‖ terjadi. Tentu saja, di tengah arus globalisasi saat ini, konsep yang demikian sudah sangat tidak memadai lagi, apalagi untuk bisa memberikan jaminan terhadap khasiat, keamanan dan mutu suatu produk. Jaminan terhadap khasiat, keamanan dan mutu produk industri farmasi tersebut hanya bisa dilakukan jika terdapat sistem yang secara proaktif ―mencegah‖ sebelum terjadinya kesalahan dan/atau penyimpangan dalam proses pembuatan obat tersebut. Konsep ini disebut dengan ―Konsep Penjaminan Mutu‖ (Quality Assurance).

Secara sederhana, Konsep ―Penjaminan Mutu‖ dapat diilustrasikan sebagai berikut: ada sebuah industri farmasi memiliki 5 buah mesin tablet dengan kapasitas masing-masing 1.000.000 tablet perhari. Jadi industri farmasi tersebut dalam sehari memproduksi 5 juta tablet, dalam seminggu dihasilkan 25 juta tablet (5 x 5 juta), sebulan = 100 juta tablet, setahun 12 x 100 juta = 1,2 milyar tablet. Pertanyaannya adalah apakah ke-1,2 milyar tablet tersebut SEMUA-nya dapat dijamin kualitasnya? Berapa persenkah dari 1,2 milyar tablet tadi yang boleh tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan? Tentu saja jawabannya adalah 0% (NOL PERSEN) alias tidak boleh ada SATU tablet-pun yang tidak memenuhi syarat. Konsep ini yang disebut dengan Zero Defect Concept.

Nah, konsep ini tidak mungkin berjalan kalau masih menggunakan konsep ―Pengawasan Mutu‖ karena konsep ini hanya ―mencari‖ kesalahan. Penjaminan hanya bisa dilaksanakan jika ada sistem yang mengatur seluruh komponen (unsur) dalam industri farmasi tadi agar tujuan mutu dapat tercapai. Sistem inilah yang sering disebut dengan Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System).

(28)

Quality Management System (QMS) adalah sistem yang mengatur atau mengelola SELURUH komponen atau sumber daya yang ada di dalam industri farmasi agar tujuan mutu, yaitu jaminan terhadap khasiat, keamanan dan kualitas produk dapat tercapai. Agar QMS ini dapat berjalan, maka harus ada ―departemen khusus ‖ yang mengawasi pelaksanaan QMS. Departemen ini bertindak sebagai ―polisi‖ yang mandiri untuk memantau keseluruhan proses pembuatan obat mulai dari konsep desain di R&D hingga obat tersebut berada di tangan konsumen. QMS mencakup atau memiliki ruang lingkup, antara lain :

(1) Sistem Mutu (Quality System), (2) Personalia,

(3) Sanitasi dan Higiene,

(4) Inspeksi Diri dan Audit Mutu, (5) Sistem Dokumentasi Perusahaan, (6) Program Kualifikasi dan Validasi,

(7) Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk serta Produk Kembalian. Sebagai penanggung jawab dan pengawas pelaksanaan QMS adalah Departemen QA.

Contoh pelaksanaan QMS sehari-hari di industri farmasi diilustrasikan sebagai berikut, kita ambil contoh kasus ―Pengadaan Bahan Baku‖ :

1. Bahan baku digunakan untuk memproduksi obat jadi. Agar bisa dihasilkan obat jadi sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah kualitas dari bahan baku yang digunakan, harus sesuai dengan spesifikasi bahan bahan baku yang telah ditetapkan. Departemen yang ber-hak menentukan spesifikasi bahan baku yang digunakan adalah Departemen R&D, karena departemen inilah yang tahu secara persis spesifikasi bahan baku, misalnya kadar airnya, ukuran partikelnya, atau sifat-sifat amorfnya, dan lain-lain. Tugas Departemen QA adalah (1) menyetujui spesifikasi yang telah dibuat oleh Departemen R&D tersebut, agar spesifikasi yang dibuat oleh Departemen R&D tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan, seperti Farmakope, aturan CPOB dan

(29)

sebagainya. (2) Memastikan bahwa SELURUH bahan baku yang digunakan oleh industri farmasi tersebut HARUS SESUAI dengan spesifikasi yang telah dibuat, dengan cara membuat aturan atau Sistem Pelulusan Bahan Awal. Jadi, hanya bahan awal/baku yang sesuai dengan spesifikasi yang boleh diterima dan digunakan untuk proses produksi oleh industri farmasi tersebut.

2. Pembelian bahan baku. dilakukan oleh Departemen Pembelian (Purcashing). Prosedur/tata cara pembelian dibuat oleh departemen yang bersangkutan, yaitu Departemen Purcashing. Tugas Departemen QA adalah (1). Menyetujui prosedur pembelian tersebut (Protap harus disetujui oleh Departemen QA) (2). Memastikan bahwa Departemen Purcashing hanya membeli bahan baku/awal sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan membeli bahan baku/awal tersebut dari suplier yang telah disetujui oleh Departemen QA (approved supplier). (3) Untuk memastikan Depatemen Purcashing melakukan hal tersebut, maka Departemen QA melakukan audit internal (inspeksi diri) dan audit external. Audit internal dilakukan untuk mengetahui apakah Departemen Purcashing telah melakukan sistem/aturan yang telah dibuat, sedangkan audit eksternal dibuat untuk mengetahui kondisi supplier yang memasok bahan awal/baku. 3. Setelah bahan awal/baku datang, yang menerima bahan tersebut adalah Departemen/bagian

Gudang. Prosedur atau tata cara penanganan bahan di gudang, yang paling tahu tentunya adalah departemen/bagian yang bersangsangkutan. Sehingga yang membuat Protap tentang penanganan bahan di gudang adalah departemen/bagian gudang. Tugas QA adalah (1) menyetujui protap tersebut, (2) memastikan apakah protap tersebut dijalankan, dengan cara melakukan audit internal.

4. Yang berkewajiban untuk melakukan pemeriksaaan bahan awal/baku tersebut adalah Departemen QC, karena departemen inilah yang ―memiliki‖ laboratorium pengujian. Untuk dapat melakukan pengujian, maka Departemen QC membuat Prosedur Tetap Cara Pengujian Bahan. Tugas Departemen QA adalah (1). Menyetujui Protap pengujian tersebut, (2). Memastikan bahwa protap pengujian tersebut akan senantiasa menghasilkan hasil pengujian yang konsisten. Untuk menguji cara pengujian tersebut Departemen QA melakukan Validasi Metode Analisa.

5. Demikian seterusnya. Jadi Departemen QA membuat suatu sistem/aturan yang mengatur tentang sistem/aturan di seluruh departemen/bagian yang ada dalam industri farmasi tersebut.

Demikian sekilas gambaran pelaksanaan Quality Management System di industri farmasi. Jadi, dengan bahasa yang sederhana Quality Management System (QMS) adalah ATURAN YANG MENGATUR ATURAN. Aturan dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Agar aturan tersebut tidak dilanggar, maka harus ada ―polisi‖ yang mengawasi pelaksanaan aturan tersebut. Agar dapat mengawasi pelaksanaan aturan tersebut, maka si pengawas – yaitu Departemen QA – HARUS diberi KEWENANGAN oleh Direksi perusahaan, yang harus termaktub dalam Kebijakan Mutu perusahaan dan harus ditanda tangani oleh pimpinan tertinggi perusahaan sebagai bukti komitmen perusahaan tersebut atas jaminan khasiat, keamanan dan kualitas produk yang dihasilkannya.

(30)

Manajemen Mutu Prinsip

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif

Manajemen bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tersebut dengan membuat suatu ―Kebijakan Mutu‖

Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu dan diterapkan secara benar.

Contoh ―Quality Policy‖ suatu industri farmasi

Unsur dasar dari Manajemen Mutu adalah : Adanya infrastruktur atau sistem mutu Pemastian Mutu (Quality Assurance) Hubungan antara QA – CPOB – QC

CPOB merupakan bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu sesuai dengan tujuan penggunanaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk

CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu

Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan.

(31)

Pengkajian Mutu Produk

Persona lia Prinsip

Sumber daya manusia memegang peranan sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu

Industri farmasi harus memiliki personil yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai

Industri farmasi harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Beberapa model struktur organisasi di industri farmasi, antara lain :

(32)

Model A

Model B

Model C

Model D (yang paling sesuai dengan cGMP)

Personil Kunci

Personil kunci mencakup :

Kepala Bagian Produksi (Manager Produksi) Kepala Bagian Pengawasan Mutu (QC Manager) Kepala Bagian Penjaminan Mutu (QA Manager)

Kualifikasi, tugas dan tanggung jawab masing-masing personil kunci adalah sebagai berikut : Penanggung Jawab Produksi/Manager Produksi

Kualifikasi :

Harus seorang Apoteker terdaftar (registered pharmacist)

memiliki pengalaman praktis minimal 5 tahun bekerja di bagian produksi obat

Memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat

Menguasai CPOB

Menguasai bahasa Inggris dengan baik

(33)

Tugas Utama :

Bertanggung jawab atas pelaksanaan pembuatan obat agar obat yang dibuat memenuhi spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan dan dibuat sesuai dengan peraturan CPOB dalam batas dan biaya yang telah ditetapkan

Penanggung Jawab Pengawasan Mutu/Manager QC Kualifikasi :

Harus seorang saintis dalam IPA (diutamakan seorang Apoteker)

Pengalaman praktis minimal 5 tahun dalam laboratorium analisis kimiawi, pengujian mikrobiologi dan bahan pengemas

Memiliki pengalaman dalam menyiapkan peralatan laboratorium dan menggunakan metode ter-mutakhir

Memiliki kemampuan dalam menyiapkan metode analisa

Memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam CPOB, In Process Control (IPC) dan pengujian stabilitas

Menguasai bahasa Inggris dengan baik

Memiliki ketrampilan kepemimpinan yang tersertifikasi Tugas Utama :

Meluluskan atau menolak bahan awal, bahan pengemas dan produk ruahan menurut spesifikasi yang telah ditetapkan

Penanggung Jawab Penjaminan Mutu/Manager QA Kualifikasi :

Harus seorang Apoteker Terdaftar (registered pharmacist)

Memiliki pengalaman minimal 5 tahun bekerja di industri farmasi

Memiliki pengalaman dan pengetahuan dibidang pembuatan obat serta pengujian fisis dan analisa kimia

Memiliki pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obay dan laboratorium terkini

Memiliki pengetahuan mengenai CPOB baik nasional maupun internasional Menguasai bahasa Inggris dengan baik

Memiliki ketrampilan kepemimpinan yang tersertifikasi Tugas Utama :

Memantau kinerja sistem mutu dan prosedur serta menilai efektifitasnya dan mendorong perbaikan

Melakukan penilaian terhadap keluhan teknik farmasi dan mengambil keputusan serta tindakan atas hasil penilaian, bila perlu bekerja sama dengan pihak lain

Memastikan penyelenggaraan Program Validasi

(34)

Melakukan pelulusan atau penolakan akhir/obat jadi PELATIHAN

Seluruh Personil yang oleh karena tugasnya harus berada di area Produksi, Gudang dan Laboratorium HARUS mendapat pelatihan

Program & materi Pelatihan disiapkan oleh masing-masing Kepala Bagian dan dikoordinasikan oleh QA Manager

Program Pelatihan mencakup : Materi umum, CPOB Dasar (mikrobiologi dan higiene perorangan), CPOB Spesifik (terutama untuk yg bekerja di bagian produksi steril), Pemahaman semua PROTAP, Metode Analisa, dan prosedur lain serta pengetahuan mengenai sifat bahan/produk, cara pengolahan dan pengemasan

Harus dibuat ―Catatan Pelatihan‖ untuk setiap karyawan

Sanitasi dan Higiene Prinsip

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi harus diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk

Definisi :

Sanitasi adalah Pengendalian higiene terhadap proses produksi, termasuk bangunan, peralatan dan penanganan bahan Sanitasi menitik beratkan pada Bangunan & Peralatan

Higiene Perorangan : –Kewajiban tiap personil mengamati peraturan mengenai kesehatan kerja, ppemeliharaan dan perlindungan kesehatan personil, ppengawasan higiene terhadap proses pembuatan obat yang harus diterapkan oleh personil.

Higiene  menitik beratkan pada Personnel

(35)

Pelaksanaan Sanitasi dan Higiene di suatu industri farmasi

Inspeksi Dir i da n Audit Mutu PRINSIP

Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu dari industri farmasi yang bersangkutan memenuhi ketentuan CPOB.

Program inspeksi diri harus dirancang untuk dapat mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan

Inspeksi diri harus dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan

Inspeksi diri harus dilakukan secara rutin

Harus ada Prosedur Tetap (PROTAP) dan catatan yang terdokumentasi dengan baik serta dibuat program tindak lanjut yang efektif

Hal-hal yang di-inspeksi antara lain : 1. Personalia

2. Bangunan termasuk fasilitas untuk personil 3. Perawatan bangunan dan peralatan

4. Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi 5. Peralatan

6. Pengolahan dan In Process Control (IPC) 7. Pengawasan mutu

8. Dokumentasi 9. Sanitasi dan higiene

10. Program validasi (dan re-validasi), kalibrasi alat atau sistem pengukuran 11. Prosedur penarikan kembali obat jadi dan penanganan keluhan

(36)

12. Pengawasan label

13. Hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindak lanjut/tindakan perbaiakan Tim Inspeksi Diri

Dibentuk oleh Manajemen perusahaan terdiri dari minimal 3 orang yang kompeten dan berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan memahami CPOB

Diketuai oleh QA Manager Audit Mutu

Meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagaian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk peningkatan mutu

Dilaksanakan oleh AUDITOR dari luar perusahaan atau oleh tim khusus yang dibentuk oleh Manajemen

Tingkat Kekritisan dan Tindak lanjut

Dokumentasi

Sistem Dokumentasi dalam industri farmasi merupakan bagian dari sistem informasi manajemen yang meliputi antara lain :

1. Prosedur tetap (Standard Operating Procedure/SOP). 2. Spesifikasi (bahan baku, pengemas, produk jadi).

3. Catatan Pengolahan Batch/Catatan pengemasan Batch (batch processing records). 4. Identifikasi (kode/penomoran protap, peralatan, batch).

5. Penandaan (status ruangan, mesin, label bahan baku, karantina,rejected). 6. Protokol dan Laporan Qualifikasi/Validasi.

7. Dokumen registrasi.

(37)

Sistem dokumentasi merupakan hal yang sangat penting dalam industri farmasi untuk memastikan bahwa setiap petugas (karyawan) mendapat instruksi yang jelas dan rinci mengenai bidang tugas yang harus dilaksanakannya sehingga memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul apabila hanya mengandalkan instruksi lisan. Selain itu, dengan sistem dokumentasi yang baik juga akan memungkinkan ketelusuran kembali proses produksi yang telah dilakukan apabila terdapat kesalahan selama produk tersebut dipasarkan. Sistem dokumentasi produk (misalnya Catatan Pengolahan atau Pengemasan bets/batch record) harus menggambarkan riwayat lengkap dari setiap batch atau lot suatu produk sehingga memungkinkan penyelidikan serta penelusuran terhadap batch ataulot yang bersangkutan.

Dokumen Pembuatan Obat

Dokumen pembuatan obat dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya, sebagai berikut : 1. Spesifikasi

a. Spesifikasi bahan baku. b. Spesifikasi bahan pengemas.

c. Spesifikasi produk antara, produk ruahan dan obat jadi. 2. Dokumen Produksi

a. Dokumen produksi induk . b. Prosedur pengolahan induk. c. Prosedur pengemasan induk. d. Catatan pengolahan bets. e. Catatan pengemasan bets. 3. Dokumen Pengawasan Mutu

a. Prosedur pengambilan contoh untuk pengujian. b. Metode pengujian.

c. Catatan pengambilan contoh.

d. Catatan analisis dan laporan hasil pengujian. 4. Dokumen penyimpanan dan distribusi

a. Kartu persediaan.

b. Catatan distribusi obat jadi.

5. Dokumen pemeliharaan, pembersihan dan pemantauan kondisi ruangan dan peralatan a. Prosedur dan catatan pemeliharaan dan pembersihan peralatan.

b. Prosedur dan catatan pembersihan daerah produksi. c. Prosedur dan catatan pembasmian hama.

d. Prosedur dan catatan pemantauan kualitas ruangan produksi.

6. Dokumen penanganan keluhan, obat kembalian dan penarikan obat jadi. 7. Prosedur dan catatan inspeksi diri.

(38)
(39)
(40)

Pena ngana n Keluhan T erhadap Produk …. PRINSIP

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan Protap

Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran

Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta beresiko terhadap kesehatan

Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, kedaluarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan

Lokasi da n Banguna n

BANGUNAN INDUSTRI FARMASI Pemilihan Lokasi

Dalam memilih lokasi bangunan industri farmasi harus diperhatikan beberapa aspek, diantaranya adalah apakah ada sumber pencemaran yang berasal dari lingkungan di sekitarnya serta potensi pencemaran oleh industri terhadap lingkungan di sekitarnya. Bangunan industri farmasi harus didirikan di daerah yang tidak ada sumber pencemaran, misalnya bekas timbunan sampah, bahan kimia dan lain-lain. Sumber pencemaran lainnya adalah debu jalan, debu industri lain dan partikel pestisida. Apabila oleh karena adanya perubahan struktur tanah atau perencanaan kota maka perlu dilakukan langkah pencegahan yang sesuai, agar pencemaran tersebut tidak mempengaruhi kualitas produk yang dibuat. Untuk itu, bangunan industri farmasi harus memiliki perlindungan yang memadai terhadap :

(41)

1. Cuaca, misalnya dengan memberikan cat tahan cuaca pada tembok, memasang alat penyerap kelembaban udara secara pendinginan atau secara penyerapan oleh bahan kimia yang hygroskopis.

2. Banjir, misalnya letak bangunan dibuat cukup tinggi terhadap permukaan air banjir atau dibuat saluran air secara tepat guna.

3. Rembesan Air melalui tanah, misalnya dengan membuat pondasi bangunan yang tahan terhadap rembesan air sesuai dengan teknik bangunan yang berlaku.

4. Serangga dan Binatang pengerat, misalnya pemberian saringan udara pada saluran pengendali udara, pemasangan kawat kasa dan/atau tirai plastik, serta adanya program pengendalian hama (pest control) yang teratur, efektif dan terdokumentasi.

Ukuran, Tata ruang dan Konstruksi

Bangunan untuk pembuatan obat harus memiliki ukuran, rancang bangun, dan konstruksi bangunan/ruangan yang sesuai dengan Rencana Induk Perbaikan/Pembangunan (RIP) yang disetujui oleh Badan POM serta memadai dan sesuai dengan aktifitas industri agar memudahkan pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan desain dan tata ruang (lay out) bangunan industri farmasi, antara lain :

1. Kesesuaian dengan kegiatan lain (non farmasi), yang mungkin dilakukan dalam sarana yang sama atau dalam sarana yang berdampingan.

2. Tata ruang harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan kegiatan produksi dilakukan secara efektif dan efisien, mengikuti urutan tahap produksi dan menurut kelas kebersihan yang disyaratkan (principle of flow of process).

3. Luasnya ruang kerja harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan penempatan peralatan dan bahan secara teratur dan logis serta memungkinkan terlaksananya kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi dan pengawasan yang efektif maupun untuk mencegah kesesakan dan ketidakteraturan.

4. Harus terdapat koridor sebagai tempat lalu lintas umum bagi karyawan atau barang/bahan yang dapat dicapai dari setiap ruang produksi tanpa harus melalui ruangan produksi lain. Untuk mencegah daerah produksi digunakan sebagai tempat penyimpanan, harus disediakan ruang khusus untuk menyimpan produk dalam proses (ruang produk antara atau produk ruahan).

5. Terdapat pemisahan jalan (pintu) masuk bagi karyawan dengan bahan/barang yang dapat menyebabkan resiko pencemaran silang.

(42)

Lay Out Ruang Produksi Non -Steril

(43)

Lay-out Ruang Produksi Non-Aseptis

Untuk pengolahan produk yang mengandung bahan yang beracun, bahansitotoksik dan senyawa immunosupresif, harus disediakan fasilitas tersendiri untuk masing-masing produk, dengan sistem penyaringan udara khusus (efisiensi minimum 98%). Sedangkan untuk sediaan beta laktam (turunan penisillin) harus terpisah secara fisik dengan bangunan non beta laktam.

Untuk mengindari resiko terjadinya pencemaran silang antar produk, berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai persyaratan bangunan industri farmasi, antara lain :

1. Permukaan bagian dalam ruangan (dinding, lantai dan langit-langit) harus kedap air, tidak terdapat sambungan atau retakan yang dapat menyebabkan pelepasan atau pengumpulan partikel, tidak merupakan media pertumbuhan mikroba, mudah dibersihkan serta tahan terhadap metode pembersihan, bahan pembersih dandesinfectant yang digunakan berulang kali dengan memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur dan sifat elektrostatik.

2. Untuk daerah pengolahan dan pengemasan harus dihindari pemakaian bahan dari kayu (atau diberi cat epoxy/enamel).

3. Pipa saluran udara dipasang di atas langit-langit atau dikoridor untuk menghindari penumpukan debu.

4. Lampu penerangan harus dipasang rata dengan langit-langit dan diberi lapisan untuk mencegah kebocoran udara.

Ruang Produksi Sediaan Steril

Daerah pengolahan produk steril harus dipisahkan dari daerah produksi lain serta dirancang dan dibangun secara khusus. Ruangan harus bebas debu, dialiri udara yang melewati saringan bakteri. Saringan tersebut harus diperiksa (di-verifikasi) pada saat pemasangan serta dilakukan pemeriksaan secara berkala.

(44)

Tekanan udara di dalam ruang pengolahan produk steril harus lebih tinggi dibanding dengan ruang sebelahnya yang dibuktikan dengan perbedaan tekanan yang ditunjukkan oleh alat magnehelic (lihat gambar) dan dicatat secara teratur. Pembuatan produk steril memerlukan 3 (tiga) kualitas ruangan yang berbeda, yaitu :

1. Ruang ganti pakaian

2. Ruang bersih, yaitu ruang persiapan komponen dan pembuatan larutan serta ruang untuk produk yang akan disterilisasi akhir, dan

3. Ruang steril, digunakan untuk kegiatan steril

Air Handling Syst em (AHU)

SISTEM TATA UDARA (Air Handling System/AHS)

Salah satu faktor yang menentukan kualitas obat adalah kondisi lingkungan tempat di mana produk tersebut dibuat/diproduksi. Kondisi lingkungan yang kritis terhadap kualitas produk, antara lain adalah :

1. Cahaya, 2. Suhu,

3. Kelembabab relatif (RH), 4. Kontaminasi Mikroba, dan 5. Kontaminasi partikel.

Sebagai upaya untuk mengendalikan kondisi lingkungan tersebut, maka setiap industri farmasi diwajibkan untuk memiliki Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS). Seluruh regulatory code (WHO TRS 902/2002; WHO TRS 908/2003 dan PIC/S 2006) mensyaratkan Sistem Tata Udara (Air Handling System/AHS) harus dikendalikan dan dikualifikasi. AHS sering juga disebut dengan HVAC (Heating, Ventilating and Air Conditioning). Sistem Tata Udara tidak hanya mengontrol suhu ruangan (seperti halnya AC konvensional) melainkan juga kelembaban, tingkat kebersihan (sesuai dengan kelas ruangan yang dipersyaratkan), tekanan udara, dan sebagainya. Sistem tata udara yang digunakan tergantung dari jenis produk yang dibuat dan tingkat kelas ruang yang digunakan, misalnya ruang produksi sterile, beta-laktam, non sterile,sefalosporine dan sebagainya.

Baik dalam CPOB (2001) maupun CPOB Terkini (cGMP), penentuan kelas ditentukan oleh parameter-parameter sebagai berikut:

1. Jumlah partikel di udara lingkungan,

2. Jumlah mikroba di udara lingkungan dan permukaan obyek, 3. Jumlah pergantian udara (air change),

4. Kecepatan alir udara (air flow), pola aliran udara , 5. Filter (jenis dan posisi),

6. Perbedaan tekanan antar ruang, dan

(45)

Beberapa hal baru yang diatur dalam CPOB Terkini (CPOB: 2006) dibanding dengan CPOB yang lama (2001) antara lain adalah :

Jumlah partikel pada kondisi at rest (kondisi statis) dan in operation(kondisi dinamis). Batasan kontaminasi mikro (CFU= Colli Form Unit) untuk monitoring udara ruang bersih. Preparasi dan pengisian aseptik berada diruang kelas A (IA) dengan latar belakang ruang kelas B (IB), sedangkan pada CPOB (2001) preparasi dan pengisian aseptik di ruang kelas A (IA) dengan latar belakang ruang kelas C (II).

Larangan penggunaan flter dari asbes.

Monitoring bioburden (frekuensi dan metode) pada produk, air dan lingkungan di kelas bersih. Dalam CPOB: 2001, persyaratan standar lingkungan produksi dibedakan sebagai berikut:

Ruang Kelas I (White Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 100/ft3.

Ruang Kelas II (Clean Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 10.000/ft3.

Ruang Kelas III (Grey Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm maksimum 100.000/ft3.

Ruang Kelas IV (Black Area): jumlah partikel (non patogen) ukuran ≥ Ø 0,5 µm > 100.000/ft3 (dengan ventilasi udara memadai).

Sementara dalam CPOB Terkini (cGMP), persyaratan standar lingkungan produksi adalah sebagai berikut :

(46)
(47)

Air Handling Unit (AHU)

Sesuai dengan fungsinya, AHU merupakan seperangkat alat yang dapat mengontrol suhu, kelembaban, tekanan udara, tingkat kebersihan (jumlah partikel/mikroba), pola aliran udara, jumlah pergantian udara dan sebagainya, di ruang produksi sesuai dengan persyaratan ruangan yang telah ditentukan. Unit/sistem yang mengatur tata udara ini disebut AHU (Air Handling Unit). Di sebut ―unit‖, karena AHU terdiri dari beberapa alat yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.

Pada dasarnya AHU terdiri dari :

1. Cooling coil. Cooling coil (sering pula disebut dengan istilah evaporator) berfungsi untuk mengontrol suhu (temperature/t) dan kelembaban relatif (Relative Humidity/RH) udara yang akan didistribusikan ke ruangan produksi. Hal ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan output udara, sesuai dengan spesifikasi ruangan yang telah ditetapkan. Proses pendinginan udara sendiri dilakukan dengan mengalirkan udara yang berasal dari campuran udara balik (return air) dan udara luar (fresh air) melalui kisi-kisi (coil) evaporator yang bersuhu rendah. Proses tersebut menyebabkan terjadinya kontak antara udara dan permukaan kisi evaporator yang akan menghasilkan udara dengan suhu yang lebih rendah. Proses ini juga akan menyebabkan kalor yang berada dalam uap air yang yang terdapat di dalam udara ikut berpindah ke kisi evaporator, sehingga uap air akan mengalami kondensasi. Hal ini menyebabkan kelembaban udara yang keluar dari evaporator juga akan berkurang. Evaporator harus dirancang sedemikian rupa sehingga kisi-kisinya memiliki luas permukaan kontak yang luas, sehingga proses penyerapan panas dari udara di dalam evaporator dapat berlangsung dengan efektif.

2. Static Pressure Fan (blower). Blower adalah bagian dari AHU yang berfungsi untuk menggerakkan udara di sepanjang sistem distribusi udara yang terhubung dengannya. Blower yang digunakan dalam AHU berupa blower radial yang memiliki kisi-kisi penggerak udara yang terhubung dengan motor penggerak blower. Motor ini berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi gerak. Energi gerak inilah yang kemudian disalurkan ke kisi-kisi penggerak udara hingga kemudian dapat menggerakkan udara. Blower ini dapat di atur agar selalu menghasilkan frekuensi perputaran yang tetap, hingga akan selalu menghasilkan output udara dengan debit yang tetap. Dengan adanyadebit udara yang tetap tersebut maka tekanan dan pola aliraran udara yang masuk ke dalam ruang produksi dapat dikontrol.

3. Filter. Filter merupakan bagian dari AHU yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol jumlah partikel dan mikroorganisme (partikel asing) yang mengkontaminasi udara yang masuk ke dalam ruang produksi. Filter, biasanya ditempatkan di dalam rumah filter(filter house) yang didesain sedemikian rupa agar mudah untuk dibersihkan dan/atau diganti. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemasangan filter ini adalah penempatan posisi filter harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat ―memaksa‖ seluruh udara yang akan didistribusikan tersebut melewati filter terlebih dahulu. Filteryang digunakan untuk AHU dibagi menjadi beberapa

(48)

jenis/tipe, tergantung efisiensinya, yaitu (a) pre-filter (efisiensi penyaringan: 35%); (b) medium filter (efisiensi penyaringan: 95%); dan (c) High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter (efisiensi penyaringan: 99,997%). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemasangan filter ini adalah posisi penempatan filter harus diatur berdasarkan jenis dan efisiensi penyaringan filter yang akan menentukan kualitas udara yang dihasilkan.

4. Ducting. Ducting adalah bagian dari AHU yang berfungsi sebagai saluran tertutup tempat mengalirnya udara. Secara umum, ductingmerupakan sebuah sistem saluran udara tertutup yang menghubungkan blower dengan ruangan produksi, yang terdiri dari saluran udara yang masuk (ducting supply) dan saluran udara yang keluar dari ruangan produksi dan masuk kembali ke AHU (ducting return). Ducting harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendistribusikan udara ke seluruh ruangan produksi yang membutuhkan, dengan hambatan udara yang sekecil mungkin. Desainducting yang tidak tepat akan mengakibatkan hambatan udara yang besar sehingga akan menyebabkan inefisiensi energi yang cukup besar. Ducting juga harus didesain agar memiliki insulator di sekeliling permukaannya, yang berfungsi untuk menahan penetrasi panas dari udara luar yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu di dalam ducting.

5. Dumper. Dumper adalah bagian dari ducting AHU yang berfungsi untuk mengatur jumlah (debit) udara yang dipindahkan ke dalam ruangan produksi. Besar kecilnya debit udara yang dipindahkan dapat diatur sesuai dengan pengaturan tertentu pada dumper. Hal ini amat berguna terutama untuk mengatur besarnya debit udara yang sesuai dengan ukuran ruangan yang akan menerima distribusi udara tersebut.

Sistem Kerja AHU untuk Ruang “Grey Area”

Supply udara yang akan disalurkan ke dalam ruang produksi berasal dari 2 (dua) sumber, yaitu (1) berasal dari udara yang disirkulasi kembali (sebanyak 80%) , dan (2) berasal dari udara bebas (sebanyak 20%). Supply udara tersebut kemudian melewati filter yang terdapat di dalam filter house, yang terdiri dari pre-filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 35% danmedium filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 95%. Selanjutnya,supply udara ini melewati cooling coil (evaporator) yang akan menurunkan suhu (t) dan kelembaban relatif (RH) udara. Kemudian udara di pompa dengan menggunakan static pressure fan (blower) ke dalam ruang produksi melaluiducting (saluran udara). Jumlah udara yang masuk ke dalam ruang produksi diatur dengan menggunakan volume dumper. Selanjutnya udara disirkulasi kembali ke AHU, demikian seterusnya.

(49)

Untuk supply udara di ruang steril, pada prinsipnya sama dengan supply udara untuk ruang grey area, hanya saja selain menggunakan pre-filter danmedium filter juga harus melewati HEPA filter yang memiliki efisiensi penyaringan sebesar 99,997%.

Water Syst em

Air Untuk Produksi (Water System)

Air merupakan salah satu aspek kritis (vital) dalam pelaksanaan c-GMP. Hal tersebut disebabkan karena air merupakan bahan baku dalam jumlah besar, terutama untuk produk sirup, obat suntik cair, cairan infus, dan lain-lain. Bila tercemar, beresiko sangat fatal bagi pemakai (pasien).

Kualitas air yang digunakan untuk produksi, tergantung dari persyaratan air yang digunakan produk yang dibuat, misalnya air murni atau air untuk injeksi. Berikut adalah standar air yang digunakan untuk produksi sesuai dengan persyaratan CPOB Terkini (CPOB: 2006)

(50)

Dengan persyaratan air untuk produksi (water for pharmaceutical use/WFU) terbaru ini, maka pembuatan aqudemineralisata (purified water) dengan alat de-ionisasi (ion removal) saja, seperti pada gambar 2-14, tidaklah memadai. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: (1) tidak dapat mencapai persyaratanconductivity < 1 µS/cm karena daya ikat resin terhadap ion (+) dan (-) terbatas dan cepat menjadi jenuh, (2) tidak dapat mencapai persyaratan micro-account < 100 cfu karena proses penukaran ion bukan merupakan proses sucihama/sterilisasi yang dapat membunuh bakteri, (3) tidak dapat mencapai persyaratan TOC (Total Organic Carbon) karena kandungan gas CO2 dalam air masih tinggi dan tidak direduksi melalui proses penukaran ion.

(51)

skema deionisasi dengan ion exchange yang sudah tidak sesuai cGMP

Berikut adalah gambaran pembuatan aquademineralisata (purified water)dan water for injection (WFI) sebagaimana diatur dalam CPOB Terkini.

skema pembuatan aquademineralisata sesuai dengan cGMP

Mekanisme kerja Purified Water System

Purified water system merupakan sistem pengolahan air yang dapat menghilangkan berbagai cemaran (ion, bahan organik, partikel, mikroba dan gas) yang terdapat di dalam air yang akan digunakan untuk produksi. Air (raw water) pengolahan air dapat diperoleh dari air PDAM (city water), Shallow well(sumur dangkal) dengan kedalaman 10-20 m, atau berasal dari Deep well(sumur dalam) dengan kedalaman 80-150 m. Variasi mutu dari pasokan air mentah (raw water) yang memenuhi syarat ditentukan dari target mutu air yang akan dihasilkan. Demikian pula mutu air menentukan peralatan yang diperlukan untuk pengolahan air tersebut. Purified water system terdiri

(52)

dari: Multimedia filter, Carbon filter, Water softener, Heat Exchanger (HE), Micro filter, Ultra filtration(R.O = Reverse Osmosis), dan Electro De-Ionization (EDI).

Multimedia filter. Multimedia filter berfungsi untuk menghilangkan lumpur, endapan dan partikel-partikel yang terdapat pada raw water. Multimedia filterterdiri dari beberapa filter dengan porositas 6-12 mm; 2,4 – 4,8 mm; 1,2-2,4 mm; dan 0,6-1,2 mm. Filter-filter ini tersusun dalam satu vessel (tabung) dengan bagian bawah tabung diberikan gravel atau pasir sebagai alas vessel (sehingga sering juga disebut dengan sand filter).

Active Carbon filter. Carbon aktif adalah karbon yang telah diaktifkan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi atau karbon dioksida (CO2) yang berasal dari bahan yang memiliki daya adsorbsi yang sangat tinggi. Biasanya digunakan dalam bentuk granular (butiran). Active carbon berfungsi sebagai pre-treatment sebelum proses de-ionisasi untuk menghilangkan chlorine, chloramine,benzene, pestisida, bahan-bahan organik, warna, bau dan rasa dalam air.

Water Softener Filter. Water softener filter berisi resin anionik yang berfungsi untuk menghilangkan dan/atau menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion Ca++ dan Mg++ yang menyebabkan tingginya tingkat kesadahan air.

Reverse Osmosis. Reverse osmosis merupakan teknik pembuatan air murni (purified water) yang dapat menurunkn hingga 95% Total Dissolve Solids(TDS) di dalam air. Reverse osmosis terdiri dari lapisan filter yang sangat halus (hingga 0,0001 mikron)

EDI (Elektonic De-Ionization). EDI merupakan perkembangan dari Ion Exchange system dimana sebagai pengikat ion (+) dan (-) dipakai juga elektroda disamping resin. Elektroda ini dihubungkan dengan arus listrik searah sehingga proses pemurnian air dapat berlangsung terus menerus tanpa perlu regenerasi. Setelah melewati EDI, selanjutnya purified water yang dihasilkan ditampung dalam tanki penampungan (storage tank) yang dilengkapi dengan CIP (cleaning in place) dan looping system dan siap didistribusikan ke ruang produksi.

Looping system. CPOB Terkini (CPOB: 2006) mensyaratkan bahwa air yang digunakan untuk proses produksi harus disirkulasi selama 24 jam. Untuk itu, dalam Purified Water System harus dilengkapi dengan looping systemsehingga dapat memungkinkan air tersebut disirkulasi selama 24 jam. Pada sistem ini harus dilengkapi dengan TOC (Total Organic Carbon) monitor untuk memantau jumlah senyawa karbon yang terdapat di dalam air. Senyawa-senyawa karbon tersebut dapat berasal dari bangkai kuman (bakteri) yang mati pada saat proses pengolahan air ini.

Water for Injection (WFI)

Pengolahan air untuk injeksi (Water For Injection/WFI) berasal dari purified water system, yang selanjutnya dilakukan destilasi (penyulingan) dengan terlebih dahulu melewati lampu UV untuk membunuh bakteri. Sesuai dengan persyaratan CPOB yang terbaru, proses destilasi menggunakan 6 (enam) kolom destilasi, artinya air yang digunakan untuk produk-produk steril tersebut mengalami 6 kali proses destilasi. Dengan unit ini diperoleh air untuk injeksi yang memenuhi persyaratan Water

Gambar

Gambar di atas  menunjukkan bahwa ROP dilakukan apabila persediaan cukup untuk memenuhi  kebutuhan selama tenggang waktu (lead time)
Diagram  piramid  JIT  sebagai  puncak  hasil  pelaksanaan  keseluruhan  program  Operasiona  Excellence

Referensi

Dokumen terkait

pengawasan mutu sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik dalam industri farmasi.. Oleh karena itu, para calon apoteker perlu mengenal dan

pengawasan mutu sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik dalam industri farmasi.. Oleh karena itu, para calon apoteker perlu mengenal dan

1) Secara umum kulit ikan tuna yang merupakan limbah non ekonomis dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pembuatan gelatain yang berstandar mutu industri farmasi,

Dari data tersebut, disimpulkan bahwa senyawa alum yang diperoleh dari bahan baku aluminium foil limbah blister dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan industri farmasi. Hubungan

Bahan baku yang diimpor merupakan bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri dan bahan baku yang sudah diproduksi di dalam negeri tetapi spesifikasi untuk kebutuhan industri

ara Pembuatan !bat yang &#34;aik  adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjamin mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi

Berikut contoh perhitungan dari matriks keputusan ternormalisasi dari sub kriteria porsentase bahan baku material yang mempunyai kualitas sesuai dengan spesifikasi

INDUSTRI FARMASI SELURUH