• Tidak ada hasil yang ditemukan

MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER

AND THE CHAMBER OF SECRETS

Mohamad Ikhwan Rosyidi

Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Semarang e-mail: mirosyidi@mail.unnes.ac.id

Abstrak: Tujuan dalam penelitian ini adalah deskripsi deskripsi analisis bagaimana

misteri dan kekelaman pendidikan di dalam novel Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan deskripsi analisis bagaimana misteri dan kekelaman pendidikan ini membentuk nilai karakter bagi anak secara kultural yang terefleksi dalam novel novel Harry Potter and

the Chamber of Secrets.. Metode yang diguanakan adalah deskriptif kualitatif dengan

menerapkan pendekatan struktur sastra formulaik yang dikemukakan Cawelti. Hasil dari penelitian ini adalah kedua hal, misteri dan kekelaman pendidikan, merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS. Kedua, karakter membeda-bedakan dan berburuk sangka yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik.

Kata kunci: misteri, kekelaman pendidikan, formula, karakter

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter menjadi tujuan dalam proses pendidikan di Indonesia. Anak didik diharapkan setelah menempuh proses pendidikan mampu menerapkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan individualnya maupun dalam kehidupan sosialnya. Penerapan pendidikan karakter ini membutuhkan media, salah satunya melalui nilai-nilai dalam karya sastra. Implikasi dari hal tersebut adalah anak diharapkan rajin untuk membaca karya sastra.

Hal yang menjadi paradoks dalam hal ini adalah temuan dari UNESCO. Organisasi dunia ini mengungkapkan

bahwa pada tahun 2011 diungkapkan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Angka menunjukkan bahwa dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi (Yasir Mukhtar, http://yasirmukhtar. tumblr.com). Dengan demikian, minat baca masyarakat Indonesia cukup rendah. Rendahnya minat baca masyarakat ini ini dimungkinkan akan menjadi gambaran persepsional bagi anak-anak bahwa kegiatan membaca tidak mendapatkan dukungan secara aktif oleh orang dewasa. Implikasi lainnya adalah ketika minat baca masyarakat rendah, pengenalan dan pemahaman nilai kehidupan sulit untuk ditanamkan.

(2)

Permasalahan mengenai minat baca ini menjadi sebuah “PR” bagi akademisi dan praktisi pendidikan. Mereka akan berupaya untuk menggiatkan anak untuk membaca. Upaya ini tidak lepas dari kebijakan yang dibuat dalam institusi pendidikan tersebut. Tidak sedikit upaya itu menimbulkan bentuk kemisterian tersendiri (Audifak, 2005). Kemisterian ini menjadi upaya positif bagi anak untuk mencari tahu (Muljadi, 2005). Keingintahuan menjadi salah satu tujuan yang dicapai dalam penanaman nilai karakter bagi anak. Mereka akan menggerakkan simpul saraf otak untuk membongkar hal-hal yang menjadi sebuah kerahasiaan. Dengan kata lain, kemisterian dibutuhkan anak untuk memicu kemampuan berpikir dan mengembangkan daya nalar mereka sekaligus membentuk karakter mereka.

Di sisi lain, kemisterian memberikan imaji kekelaman atmosfer bagi institusi tersebut. Kerahasiaan dan jejak-jejak misterius membentuk dampak kengerian dalam proses pendidikan. Anak-anak akan merasakan dengan sendirinya imaji-imaji kelam tersebut dalam menjalani proses pendidikan tersebut. Ketakutan menjadi efek dari kekelaman tersebut. Secara tidak sadari, ketakutan itu akan membentuk nilai karakter yang berlawanan dengan kemisterian tersebut (bdk Bohlin, 2005). Dengan demikian, ada beberapa paradoks yang muncul dalam hal ini, yakni: pertama, paradoks antara penanaman karakter dan rendahnya minat baca; kedua, paradoks antara kemisterian dan kekelaman pendidikan; ketiga, paradoks yang dihasilkan dari paradoks yang kedua, yakni paradoks antara keingintahuan dan ketakutan. Paradoks-paradoks inilah yang menjadi kajian untuk dianalisis dalam penelitian ini.

Hal-hal yang berkaitan dengan kemisterian dan kekelaman ini muncul dalam novel The Adventures of Sherlock

Holmes, The Chronicles of Narnia, dan Harry Potter. Ketiga novel tersebut mengusung

cerita dengan basis pengungkapan misteri melalui bentuk petualangan. Namun demikian, novel The Adventures of Sherlock

Holmes lebih menekankan pengungkapan

misteri dengan latar berbagai kehidupan dan novel The Chronicles of Narnia (Lewis, 2005) mengungkapkan misteri di dunia rekaan Narnia, yang digambarkan dengan latar hutan, sedangkan novel Harry Potter menggambarkan pengungkapan misteri di dunia sekolah sihir. Berdasarkan deskripsi di atas, peneliti akan memilih novel

Harry Potter sebagai objek kajian dalam

penelitian ini.

Novel Harry Potter yang terdiri atas tujuh volume ini merupakan serial dari satu jalinan cerita pengungkapan kejahatan di dalam dunia sihir, yang direpresentasikan melalui fenomena di sekolah sihir Hogwarts. Setiap volume di dalam novel ini mengungkapkan permasalahan yang berbeda-beda sesuai dengan judul novel tersebut, misalnya, pada seri pertama judul novel tersebut adalah Harry Potter

and the Sorcerer’s Stone, jalinan cerita

pada novel ini mengungkapkan misteri batu Sorcerer yang diinginkan oleh Voldemort untuk menyambung hidupnya dari kematian. Kemisterian di sini muncul dalam pengungkapan apa, mengapa, dan dalam rangka apa batu tersebut diinginkan. Pada seri kedua, novel ini berjudul Harry

Potter and the Chamber of Secrets. Pada

novel ini, jalinan cerita bermuara pada pengungkapan misteri kamar rahasia yang ada di dalam sekolah dan kelamnya penyimpanan rahasia yang, salah satunya, menimbulkan efek ketakutan bagi para

(3)

siswa di sekolah. Efek ini menimbulkan karakter yang secara tidak sengaja tertanan dalam persepsi para siswa.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti meneliti bagaimanakah gambaran kemisterian dan kekelaman yang terjadi di dalam novel tersebut dalam pencangkokan nilai karakter para siswa melalui pendekatan formulaik sastra yang diungkapkan olah Cawelti (1976).

Uraian latar belakang di atas mengindikasikan beberapa pertanyaan yang termanifestasikan dalam bentuk permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, Permasalahan yang diteliti antara lain: (1) bagaimanakah misteri dan kekelaman pendidikan di dalam novel

Harry Potter and the Chamber of Secrets?

(2) bagaimanakah misteri dan kekelaman pendidikan ini membentuk nilai karakter bagi anak secara kultural yang terefleksi dalam novel novel Harry Potter and the

Chamber of Secrets?

Dengan mendasarkan pada uraian objek material, objek formal, dan tujuan penelitian, maka dipaparkan teori Cawelti (1976) yang tertuang di dalam bukunya yang berjudul Adventure, Mystery, and Romance:

Formula Stories as Art and Popular Culture.

Teori Cawelti (1976) menyuguhkan konsep

formula. Berdasarkan konsep formula

yang dikemukakan Cawelti, novel Harry Potter ini peneliti asumsikan sebagai novel formula.

Frase formula sastra (literary formula), menurut Cawelti (1976:5), adalah sebuah struktur naratif atau konvensi-konvensi dramtik yang digunakan dalam banyak karya individual. Ia menambahkan bahwa dua kegunaan istilah formula yang direlasikan dengan konsepsi yang akan ia buat kemudian. Kegunaan pertama

sebuah formula adalah secara sederhana menandakan sebuah cara konvensional dalam memerlakukan beberapa hal yang spesifik. Hal yang spesifik merujuk pada pola-pola konvensi spesifik suatu budaya dan periode tertentu dan tidak berarti sama di luar konteks kekhususannya. Kegunaan kedua adalah bahwa istilah formula merujuk pada tipe plot yang lebih besar. Artinya, formula merujuk pada tipe-tipe plot yang mereperesentasikan tipe-tipe cerita yang, jika tidak universal dalam pesonanya, menjadi populer dalam budaya uang berbeda dan dalam waktu yang berbeda. Tipe-tipe plot inilah yang kemudian para sarjana menyebutnya arketipe atau pola-pola yang memesona dalam budaya-budaya yang berbeda. Dengan demikian, foemula merupakan cara di mana tema-tema dan stereotipe-stereotipe budaya yang spesifik menjadi bentukan dalam pola-pola dasar (arketipe) cerita yang lebih universal.

Sebuah formula, menurut Cawelti (1976:6-7), adalah sebuah kombinasi atau sintesis sejumlah konvensi-konvensi budaya khusus dengan bentuk atau pola dasar cerita yang lebih universal. Konsep sebuah formula merupakan sebuah alat generalisasi karakteristik kelompok-kelompok besar karya-karya individual dari kombinasi tertentu material-material budaya dan pola-pola cerita arketipeal. Hal ini berguna terutama sebagai alat pembuatan kesimpulan historis dan kultural tentang fantasi-fantasi kolektif yang terbagi oleh kelompok-kelompok besar dan pengeidentifikasian perbedaan-perbedaan dalam fantasi-fantasi dari satu budaya atau periode ke budaya atau periode lain.

(4)

Sastra formula (formula literature), menurut Cawelti (1976:8-10), is a kind

of literary art. Oleh sebab itu, sastra

formula dapat dianalisis dan dikaji seperti any other kind of literature. Dua aspek sentral struktur formulaik yang terpatri dalam pikiran artistik sastra formula adalah strandardisasi esensial dan relasi primernya terhadap kebutuhan-kebutuhan pelarian (escape) dan relaksasi (relaxation). Konvensi-konvensi standar membangun sebuah latar umum (common ground) antara penulis dan audiens. Struktur konvensional yang terbangun baik secara partikular penting bagi penciptaan sastra formula dan merefleksi ketertarikan audiens, pencipta, dan distributor. Karena kenikmatan dan keefektifan karya formulaik bergantung pada intensifikasi pengalaman formulaiknya, formula menciptakan dunianya sendiri di mana repetisi akan menjadi kebiasaannya. Sastra formulaik merupakan mesin untuk pengalaman-pengalaman pelarian dan relaksasi karena sastra ini membelajarkan bagaimana mengalami dunia imajiner tanpa membandingkannya dengan pengalaman pembaca sendiri. Setiap formula memiliki seperangkat batasan sendiri yang menentukan jenis apa elemen-elemen yang baru dan unik memungkinkan tanpa menegangkan formula pada titik uraian (breaking point).

Karakteristik sastra formulaik lain adalah, menurut Cawelti (1976:13), pengaruh dominan tujuan-tujuan pelarian dan hiburan. Tipe-tipe formulaik ini digunakan sebagai alat pelarian sementara dari frustasi kehidupan. Cerita-cerita semacam ini didefinisikan sebagai subsastra (karena dioposisikan dengan sastra), hiburan (karena dioposisikan dengan sastra serius), karya populer

(karena dioposisikan dengan karya agung), budaya terbelakang (karena dioposisikan dengan budaya maju), atau dalam istilah oposisi merendahkan lainnya.

Kaitannya dengan persoalan bagaimana aspek-aspek sastra formulaik membentuk kesenimanan pelarian (artistry of escape), Cawelti (1976:14-15) mengemukakan bahwa karya-karya formulaik menekankan jenis-jenis kegembiraan dan kepuasan yang intens dan yang dioposisikan pada analisis yang kompleks dan ambigu tokoh dan motivasi yang mengarakterisasi sastra mimetik. Sebuah pelarian merupakan hal yang menopang dirinya sendiri dalam waktu lama dan sampai pada beberapa pandangan penyelesaian dan pemenuhan dalam dirinya sendiri. Kekerasan juga memainkan peran dalam struktur formulaik karena kapasitasnya untuk menggerakkan perasaan intens yang mengeluarkan diri pembaca.

Formula, menurut Cawelti (1976:20), merupakan produk budaya dan pada gilirannya memiliki pengaruh pada budaya karena formula menjadi cara konvensional merepresentasikan dan merelasikan imaji-imaji, simbol-simbol, tema-tema, dan mitos-mitos tertentu. Proses yang formula kembangkan, ubah, dan memberikan jalan untuk formula lain merupakan sejenis evolusi kultural dengan penyelamatan melalui seleksi audiens. Sebuah formula merupakan semacam pola. Ketika pembaca sukses mendefinisikan formula, pembaca telah mengisolasi setidaknya satu basis popularitas sejumlah karya, Ketika menjadi formula yang berhasil, sebuah pola cerita secara jelas memiliki ketertarikan dan makna khusus bagi banyak orang dalam budaya.

(5)

Formula, menurut Cawelti (1976:38-39), bersifat lebih konvensional dan terorientasi pada beberapa bentuk pelarian (escapism), penciptaan suatu dunia imajiner di mana tokoh-tokoh fiksi yang memerintahkan ketertarikan dan fokus pembaca melebihi bantasan dan frustasi yang pembaca biasa alami. Sastra formula tidak seluruhnya nonmimetik. Sebuah fantasi moral sangat luar biasa pada titik bahwa fantasi moral tidak dapat menggerakkan penggantungan sementara ketidakpercayaan tidak akan menyajikan fungsi pelarian. Pada titik ini, formula diikat pada budaya dan audiens tertentu karena ini merupakan perilaku kelompok-kelompok tertentu yang menentukan garis batas elementer kredibilitas untuk tujuan pelarian. Fantasi moral dapat dibedakan dari bentuk fantasi fisik atau material yang lebih mimetik di mana penulis membayangkan satu dunia yang secara material berbeda dari realitas biasa, di mana tokoh-tokoh dan situasi yang mereka hadapi masih dipandu oleh kebenaran umum pengalaman manusia. Analisis fantasi moral yang mendasari beberapa tipe formulaik besar menyediakan basis untuk sebuah tipologi struktur formulaik. Cawelti mengemukakan lima fantasi moral, yakni: petualangan (adventure), romansa (romance), misteri (mystery), melodrama, dan mahluk atau keadaan asing (alien

beings or states).

Fantasi sentral cerita petualangan, menurut Cawelti (1976:39-41), adalah pahlawannya, baik individu maupun kelompok, dalam mengatasi halangan dan bahaya, dan memenuhi beberapa misi moral yang penting. Fokus ketertarikan utama cerita petualangan adalah tokoh pahlawan dan sifat halangan yang harus diatasi. Fantasi moral dasar yang teimplisit

dalam cerita ini adalah kemenangannya atas kematian, walaupun ada semua macam cabang kemenangan bergantung pada materi kultural tertentu yang digunakan. Karakteristik khusus pahlawan bergantung pada motif dan tema kultural yang dibentuk dalam formula petualangan tertentu. Ada dua cara umum pahlawan dikarakterisasi, yakni sebagai superhero dengan kekuatan dan kemampuan taktertandingi, dan sebagai ‘bagian dari kita’, figur yang ditandai, setidaknya pada awal cerita, dengan kemampuan dan perilaku cacat yang mungkin dibagi oleh pembaca. Di luar dua pola petualangan umum superhero dan hero biasa, formula petualangan khusus dapat dikategorisasi dalam istilah lokasi dan sifat petualangan

hero. Hal ini nampaknya untuk bertukar

dari satu budaya ke budaya lain, mungkin dalam relasi aktivitas bahwa periode-periode dan budaya-budaya yang berbeda dilihat sebagai bentukan sebuah kombinasi bahaya, makna, dan ketertarikan. Situasi petualangan yang nampaknya terlalu jauh dalam kerangka waktu dan ruang cenderung mengeluarkan katalog baru formula-formula petualangan atau untuk memasuki area lain budaya tertentu.

Ekuivalen dengan cerita petualangan, romansa, menurut Cawelti (1976:41-42), memiliki protagonis perempuan, yang menyarankan hubungan dasar antara seks dan dua tipe cerita ini yang berbeda. Pendefinisian karakteristik romansa bukan karena lakonnya perempuan, melainkan pengorganisasian aksinya adalah perkembangan hubungan cinta, biasanya antara laki-laki dan perempuan. Romansa sering berisi elemen petualangan, tetapi bahaya berfungsi sebagai alat tantangan dan kemudian menyemen hubungan cinta. Fantasi moral dalam romansa

(6)

adalah kemenangan kepermanenan cinta, mengatasi semua halangan dan kesulitan. Plot formulaik favorit cerita ini adalah gadis miskin yang jatuh cinta pada beberapa lelaki kaya dan terhormat, yang disebut formula Cinderella. Atau, ada formula Pamela, di mana pahlawan perempuan mengatasi ancaman hasrat yang tak berarti untuk membangun hubungan cinta yang seutuhnya. Formula yang lebih kontemporer adalah wanita karir yang menolak cinta karena kekayaan atau ketenaran, hanya untuk menemukan bahwa hanya cintalah yang sangat memuaskan hati.

Prinsip fundamental dalam cerita misteri, menurut Cawelti (1976:42-44), adalah investigasi dan penemuan rahasia yang tersembunyi, penemuan yang biasanya menggiring beberapa keuntungan untuk tokoh dengan yang pembaca identifikasi. Dalam formula misteri, masalah selalu memiliki solusi yang rasional dan diinginkan, karena hal ini merupakan dasar fantasi moral yang terekspresikan dalam pola dasar formulaik. Misteri dapat memperhebat dan memperumit kemenangan cerita terhadap halangan atau terhadap perkembangan cinta yang sukses dengan meningkatkan ketegangan dan keraguan ketertarikan selanjutnya pada resolusi akhir. Misteri membagi banyak karakteristik dengan cerita mahluk atau keadaan imajiner. Maka, istilah tersebut sering diterapkan pada cerita hantu, pada cerita kepemilikan setan, atau kegilaan. Misteri mahluk atau keadaan imajiner tidak dapat dipecahkan. Sebagai gantinya, protagonis manusia mengadaptasi dirinya sendiri menjadi mahkluk asing, contohnya, dengan belajar bagaimana mengontrolnya. Ada cerita-cerita hantu di mana mahkluk asing

menghasilkan sebuah trik atau tipuan dengan jelmaan misterius yang diberikan oleh penjelasan rasional. Inilah yang kemudian menjadi formula misteri.

Mengutip pendapat Poe tentang cerita detektif klasik, Cawelti (1976:80-105) mengemukakan bahwa formula cerita detektif klasik dapat dideskripsikan sebagai sebuah cara konvensional pendefinisian dan pengembangan jenis partikular situasi, sebuah pola tindakan dan pengembangan situasi tersebut, sebuah kelompok karakter-karakter (tokoh) dan relasi-relasi di antara mereka, dan sebuah latar atau tipe latar yang tepat bagi tokoh dan tindakannya. Ada empat aspek formula cerita detektif klasik, yaitu: (1) formula pertama adalah situasi. Cerita detektif klasik memulai ceritanya dengan sebuah kejahatan yang takterselesaikan ke arah penguraian misteri. Ada dua tipe kejahatan dalam sastra detektif, yakni: pembunuhan dan kejahatan. Kemunculan dua elemen di atas disebabkan oleh pemaknaan kejahatan-kejahatan tersebut sebanding dengan gambaran parade mistifikasi dan penelusuran yang cerita detektif gerakkan; (2) formula kedua adalah pola tindakan (patterns of action). Karena formula cerita detektif berpusat pada investigasi detektif dan solusi kejahatan, maka Cawelti memberikan enam fase pola ini: (a) pengenalan detektif; (b) kejahatan dan kunci; (c) investigasi; (d) pengungkapan solusi; (e) penjelasan solusi; (f) kesudahan (akhir); (3) formula ketiga adalah karakter (tokoh) dan hubungan-hubungannya. Cerita detektif klasik membutuhkan empat peran: (a) si korban; (b) si kriminal; (c) si detektif; (d) mereka yang diancam oleh kejahatan tetapi tidak mampu menyelesaikannya; (4) formula keempat adalah latar. Latar dalam cerita detektif

(7)

klasik biasanya berada di: ruang terkunci di tengah-tengah kota, rumah desa yang terisolasi di tengah-tengah area terbuka (moor) yang aneh dan menakutkan, tembok persegi kampus, atau villa sendirian di pinggiran kota.Sastra formula mempunyai struktur formulaik sentral yakni standardisasi esensial dan relasi pada kebutuhan pelarian dan relaksasi. Akan tetapi, struktur konvensional yang terbangun secara partikular penting bagi penciptaan sastra formula dan merefleksi ketertarikan audiens, pencipta, dan distributor. Audiens menemukan kepuasaan dan jaminan emosional dasar dalam sebuah bentuk yang biasa dikenal. Lagipula, pengalaman masa lalu audiens dengan sebuah formula memberikan pandangan apa yang diharapkan dalam contoh-contoh individual baru, demikian pula meningkatkan kapasitasnya untuk memahami dan menikmati detail-detail sebuah karya (Cawelti, 1976:8-9). Dengan demikian, kehadiran audiens dalam proses penciptaan sastra formula tidak dapat dikesampingkan begitu saja, terlebih dalam kaitannya dengan pengalaman masa lalu pembacanya.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. penelitian ini menyajikan hasil analisis berupa sebuah deskripsi (lihat Moleong, 2001;Endraswara, 2004).Sifat penelitian ini adalah kepustakaan murni dengan data utama teks Harry Potter and the Chamber

of Secrets (bdk Chamamah-Soeratno,

1994). Sumber-sumber informasi (buku, makalah, artikel, dan hasil penelitian) yang memiliki relevansi dengan topik penelitian di atas dimanfaatkan untuk mempertajam hasil kajian dalam penelitian ini (lihat

Fiske,1989; Lukens, 2003). Setelah data didapatkan, dikumpulkan, dan diklasifikasikan, peneliti akan menganalisis data tersebut yang akan disesuaikan dengan rumusan masalah. Analsis data dilakukan dengan menerapkan pendekatan sastra formula (Caewlti, 1976). Langkah-langkah tersebut akan dilakukan sebagai berikut: mendeskripsikan formula situasi yang ada di dalam novel Harry Potter

and the Chamber of Secrets;Menjelaskan

formula pola tindakan yang ada di dalam novel tersebut;Memaparkan formula penokohan dalam novel tersebut dan hubungan-hubungannya satu sama lain;Mengungkapkan formula latar dalam novel tersebut;Merelasikan semua formula di atas sebagai entitas dalam bentuk oposisi biner;Menyimpulkan relasi-relasi sebagai misteri dan kekelaman pendidikan sebagai bentuk pengembangan karakter anak dalam novel tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAAN

Misteri dalam Novel Harry Potter and the Chamber of Secrets

Novel ini memulai cerita pada situasi ketika tokoh Dobby datang menemui Harry Potter. Dia menyampaikan sebuah informasi rahasia kepada Harry Potter. Hal ini digambarkan dalam novel Rowling(1999:16). Kutipan ini memberikan gambaran bahwa ada rahasia besar yang tidak diketahuinya dan tidak bisa disampaikan kepada Harry. Rahasia ini akan direalisasikan ketika Harry sekolah di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Perencanaan sebuah rahasia yang tidak diinformasikan, namun tidak disampaikan secara detil isi dari rahasia tersebut menimbulkan kemisterian tersendiri. Dobby sudah mengetahui ini berbulan-bulan. Hal ini mengindikasikan

(8)

bahwa rencana ini direalisasikan untuk mencelakakan Harry. Dengan demikian, ada oposisi biner dimunculkan dalam kutipan ini yang dimuarakan pada kemisterian, yakni oposisi antara sebuah rahasia yang disampaikan kepada objek yang dicelakakan dan isi rahasia yang tidak dapat diinformasikan secara detil. Akibatnya, hal ini memunculkan keingintahuan. Akan tetapi, hal ini dibenturkan pada informasi yang tidak bisa disampaikan oleh Dobby. Aktualisasi dari oposisi keingintahuan dan informasi terbatas ini adalah prediksi atau tanda kehati-hatian bagi Harry Potter.

Realisasi tanda predisksional yang diberikan Dobby kepada Harry dilakukan kembali. Namun demikian, Harry tidak atau belum menyadari bahwa itu bentuk realisasi selanjutnya yang dilakukan oleh Dobby (Rowling, 1998:68). Hal di atas mengindikasikan bahwa usaha untuk bisa bersekolah pun dihambat oleh Dobby. Ketidakbisaan Harry dan Ron menembus pintu merupakan bentuk realisasi peletakkan Harry dalam kebahayaan. Oposisi yang dimunculkan dalam hal ini adalah kelancaran menuju ke sekeloh dan

penghambatan yang dilakukan Dobby kepada Harry dan Ron agar tidak menuju ke Hogwarts. Kutipan di atas menandakan kembali kemisterian yang disituasikan di dalam dunia pendidikan sihir di Hogwarts.

Situasi kemisterian muncul kembali ketika muncul suara-suara aneh yang hanya didengar oleh Harry (Rowling, 1999:120). Suara yang hanya dididengar oleh Harry mengindikasikan bahwa dia menjadi satu-satunya target yang diburu oleh seseorang. Dalam situasi ini, Harry tidak mengetahui bahwa dia menjadi target. Dia hanya bisa menangkap suara yang samar dan Profesor Lockhart pun tidak mendengarnya. Kemisterian ini kembali dimunculkan dalam bentuk oposisi antara mendengar suara dan tidak mendengar suara. Oposisi dilanjutkan bahwa yang mendengar suara adalah Harry, dan yang tidak mendengar suara adalah Lockhart. Hal ini menimbulkan oposisi keingintahuan dan kemasabodohan terhadap sebuah fenomena. Jika digambarkan dalam bentuk diagram, oposisi-oposisi tersebut diilustrasikan sebagai berikut:

Diagram di atas memberikan gambaran bahwa oposisi kemisterian dapat dimunculkan dari oposisi-oposisi biner tersebut. Oposisi yang memunculkan kemisterian kembali terjadi ketika Harry mendengar suara yang aneh, yang melanjutkan kata-kata yang sebelumnya (Rowling, 1999:137).

Mendengar suara Harry Potter Keingintahuan

Kemisterian Tidak mendengar

suara ProfessorLockhart Kemasabodohan

Suara itu kembali terdengar dengan pilihan kata yang lain (Rowling, 1999:138). Karakteristik yang dimunculkan dari suara-suara tersebut relatif berkelanjutan. Tujuan yang dituju dalam suara itu adalah keinginan untuk membunuh seseorang. Suara pertama, ketika Harry bersama Lockhart, berisi undangan bagi target yang dibunuh untuk mendatangi

(9)

sumber suara. Suara kedua, ketika Harry bersama dengan Ron dan Hermione, berisi ungkapan kelaparan yang berujung pada keinginan untuk membunuh. Isi suara kedua melanjutkan dari suara pertama. Dilanjutkan lagi, suara ketiga menyampaikan bahwa si pembuat suara mencium bau darah. Yang menjadi kemisterian di sini adalah keinginan membunuh sesorang yang orang itu tidak jelas siapa atau masih dirahasiakan agar pembunuhan ini bersifat lebih alamiah tanpa rekayasa. Kedua, kelaparan yang diungkapkan oleh suara itu apakah kelaparan dalam hal ini adalah kelaparan yang berarti ia ingin makan ataukah kelaparan sebagai hasrat terpendam untuk membunuh. Ketiga, ketika suara itu mengungkapkan bahwa ia mencium bau darah, bau darah di sini berarti darah yang dikucurkan setelah ia membunuh, darah yang dikonsumsi sebagai pengganti lapar setelah ia membunuh, ataukah darah sebagai garis genetika yang ingin dilenyapkan.

Kemisterian ini dipertegas dengan munculnya tulisan di dinding sekolah (Rowling, 1999:138).Tulisan ini membuka misteri baru, yakni adanya kamar rahasia. Kamar rahasia menjadi sebuah teka-teki misteri yang banyak diingintahui oleh warga Hogwarts. Keingintahuan itu direalisasikan dengan mencari info mengenai kamar tersebut di seksi terlarang perpustakaan, bahkan menanyakan kepada guru mata pelajaran Sejarah Sihir, Professor Binns. Kamar tersebut dijelaskan dari versi kesejarahan (Rowling, 1999:150-1). Hal ini mendeskripsikan bagaimana sejarah kamar itu dibuat, mengapa, dan dalam rangka apa dibuat. Dalam sejarah pembuatannya, Slytherin ingin memurnikan dunia sihir dari garis

keturunan yang bukan Darah-Murni seorang penyihir. Hal ini berasosiasi dengan pernyataan yang dikeluarga suara misterius di atas. Kata “darah” di sini berasosiasi dengan usaha permurnian darah penyihir. Dengan kata lain, suara di atas menargetkan anak-anak Hogwarts yang bukan dari keturunan penyihir.

Usaha mengilangkan bukan keturunan penyihir merupakan usaha memilih target orang yang keturunan manusia bukan penyihir, atau Muggle. Mereka diincar untuk dihilangkan oleh semacam mahkluk yang menghuni kamar rahasia tersebut. Hal ini diperkuat dalam kutipan di atas yang mengungkapkan adanya monster di dalam kamar tersebut. Monster tersebut menjadi sebuah rahasia yang tidak ingin diungkapkan di sekolah Hogwarts. Para guru, misalnya Professor Binns, berusaha terus merahasiakan hal tersebut. Realisasi dari penghilangan bukan keturunan penyihir ini diketahui ketiga beberapa murid Hogwarts diserang oleh mahkluk rahasia tersebut (Rowling, 1999:257).Serangan-serangan dalam kutipan di atas, sebagai usaha penghilangan bukan darah murni penyihir, merupakan muara dari sebuah hal yang membahayakan yang telah direncanakan sebelumnya dan disampaikan penandanya oleh Dobby kepada Harry. Secara struktural, dengan kata lain, misteri yang dimunculkan dalam novel ini mengindasikan oposisi-oposisi mulai dari oposisi antara pihak yang ingin mencelakakan Harry dan Dobby yang ingin membantu menyelamatkan Harry. Usaha yang dilakukan Dobby melahirkan rasa keingintahuan Harry. Usaha Dobby tidak pernah berhenti untuk membuat Harry tidak menuju sekolah Hogwarts karena hal itu sangat membahayakan, menurut Dobby. Ketidakmampuan Harry

(10)

Pihak yang ingin mencelakakan Harry Harry dan Ron mengendarai mobil Pihak ini membuat suara-suara misteri Penyihir darah murni Dibiarkan/ Dilindungi Misteri dalam HPCS Pihak yang membantu menyelamatkan Harry Harry dan Ron tidak bisa

menembus pintu stasiun Harry menangkap penanda dari suara itu Penyihir bukan darah murni Diserang dan Ron menembus palang pintu stasiun

melahirkan oposisi antara Harry dan Dobby. Untuk menembus oposisi itu, Harry dan Ron memilih tetap berangkat menuju ke sekolah dengan mengendarai mobil. Ketika Harry dan Ron tiba di sekolah, Harry dihadapkan pada misteri kemunculan suara-suara yang menginginkan untuk membunuh seseorang. Suara-suara

tersebut melahirkan oposisi antara penyhir darah murni dan penyihir bukan darah murni. Pembedaan ini berakhir pada serangan-serangan untuk memusnahkan penyhir dari bukan darah murni. Hal-hal inilah, pada akhirnya, menjadi penanda dan petanda akhir dari kemisterian dalam novel HPCS.

Kekelaman Pendidikan dalam Novel

Harry Potter and the Chamber of Secrets Lahirnya misteri-misteri yang ada di dalam novel ini melahirkan adanya suasana kelam dalam sekolah Hogwarts. Misteri memancing keingintahuan, di satu sisi, ia menciptakan atmosfer kelam dalam proses pendidikan, di sisi lain. Kekelaman ini terefleksi dalam kejadian-kejadian di sekolah Hogwarts. Kekelaman yang pertama terjadi ketika Hogwarts menerima guru yang lebih melembagakan kebanggaan diri dibandingkan dengan kedewasaan dalam menghadapi permasalahan dan kedalaman ilmu yang diajarkannya. Keberadaan di sekolah tersebut kurang memberi kontribusi dalam pengembangan keprbadian siswa dan sekolah itu sendiri (Rowling, 1999:294).

Kecerobohan menerima guru berbuah pada kemunculan kekelaman yang lain. Ia mengajarkan pelajaran duel, yang bermuara pada perpecahan antarsiswa. Perpecahan ini menjadi pemicu lahirnya pembedaan antara darah murni dan bukan darah lumpur. Pembedaan ini mulai dan telah dilembagakan oleh siswa dari Asrama Slytherin. Siswa di asrama ini, merasa kelahiran dari darah murni penyhir, sering melecehkan siswa yang bukan dari darah murni penyihir. Hal ini muncul dalam perseteruan antara Ron dan Draco(Rowling, 1999:112). Pelecehan ini merupakan bentuk lain kekelaman yang ada di Hogwarts. Hal ini juga menimbulkan perselisihan antarsiswa dan antarasrama. Perselisihan ini jaga menjadi pemicu dari serangan-serangan misterius berkaitan dengan pemusnahan penyihir bukan

(11)

darah murni. Penyerangan ini semakin menambah kelam atmosfer pendidikan yang ada di sekolah Hogwarts ini.

Bentuk lain dari kekelaman ini adalah masuknya pihak yang ingin memurnikan Hogwarts dengan menggunakan anak Hogwarts sebagai alibinya. Pihak tersebut menggunakan Ginny, di bawah hipnotis pihak tersebut, untuk membantu menghidupinya (Rowling, 1999:310-11). Bagian ini menunjukkan betapa semakin kelam pendidikan di Hogwarts karena seorang murid yang baru menjadi warga sekolah dihipnotis untuk melakukan segala hal yang, bahkan dirinya sendiri tidak mengetahui, buruk bagi kondisi sekolah tersebut.

Kekelaman di dalam pendidikan ini secara struktural dihasilkan dari kemunculan guru yang kurang bisa disebut menjadi seorang guru. Penilaian ini didasarkan pada oposisi antara guru yang menjadi seorang guru Hogwarts dan yang bukan. Hal ini juga menyebabkan perpecahan dan perselisihan antarsiswa, jika dioposisikan dengan merukunkan siswa. Perselisihan ini juga bermuara pada penghapusan ras penyihir bukan darah murni. Untuk bisa melakukan itu, penggunaan hipnotis untuk mengendalikan seseorang di luar batas kesadarannya melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak. Gambaran struktural di atas dapat diejawantahkan dalam bentuk diagram, seperti di bawah ini:

Berdasarkan atas deskripsi mengenai misteri dan kekelaman pendidikan di Hogwarts ini, kedua hal merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di

Kemunculan guru yang belum disebut guru Perpecahan dan perselisihan antarsiswa Penghapusan ras bukan penyihir darah murni Hipnotis terhadap murid Kekelaman dalam dunia pendidikan di Hogwarts Guru Hogwarts yang disebut guru Kerukunan antarsiswa Apresiasi terhadap semua penyihir dari darah apa pun

Fasilitas bagi murid pemusnah kezaliman

Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS.

(12)

Misteri dan Kekelaman Pendidikan dalam Pembentukan Nilai Karakter Anak Secara Kultural dalam Novel Harry

Potter and The Chamber of Secrets

Kejadian-kejadian misterius dan kelam dalam novel HPCS ini mengkontribusikan pada arti yang didapatkan seorang pembaca ketika membaca novel ini. Pembaca seperti disuguhkan gelas-gelas berisi sirup kemisterian dan piring-piring yang memuat kekelaman pendidikan di sekolah Hogwarts. Gelas dan piring tersebut menjadi wadah menampung segala hal di dalam novel tersebut. Ketika pembaca mengkonsumsi apa yang ada di dalam gelas dan piring tersebut, pembaca akan merasakan dan mencernanya menjadi sebuah nutrisi untuk memunculkan karakter.

Karakter yang muncul dari kejadian-kejadian di dalam novel tersebut diawali dari pembedaan antarsiswa. Pembedaan yang terjadi merupakan manifestasi dari pembedaan perbedaan nama-nama Asrama, yang diambilkan dari nama pembuat sekolah Hogwarts, yang membuat para siswanya mempunyai rasa bangga sebagai pilihan pewaris dari pendiri asrama masing-masing. Karakter untuk membeda-bedakan dapat dirasakan ketika pembaca membaca novel ini. Seolah-olah pembaca diberikan suguhan tiga cawan berbeda, cawan dengan isi keturunan penyihir darah murni, cawan dengan isi penyihir darah campuran, dan cawan dengan isi penyihir darah lumpur (Muggle).

Realisasi pembedaan itu memunculkan karakter yang bersikap melecehkan, mengintimidasi, mengalienasikan, dan menghancurkan.

Keempat hal di atas merupakan jelmaan dari karakter membeda-bedakan. Kejadian-kejadian di dalam novel ini, yang terjadi antara Draco dan Ron, merupakan jelmaan dari konflik pembedaan yang dilakukan Draco terhadap Hermione. Karakter ini yang mulai dibelajarkan Rowling kepada pembaca.

Rowling, dalam hal ini, tidak mengajarkan para pembacanya untuk melakukan seperti itu. Ia memberikan wacana negatif terhadap kejadian yang diilustrasikan dalam novelnya. Ia memberikan contoh negatif untuk dinegasikan para pembaca novelnya. Penandaan yang dimunculkan dalam novel ini merupakan penandaan yang bersifat untuk dinegasikan. Dengan kata lain, kejadian-kejadian pengalienasian, diskriminasi, dan penghancuran yang menjadi jelmaan sifat menbeda-bedakan ini merupakan benih tanaman penyadaran akan perbedaan dan bagaimana menyikapi perbedaan itu.

Karakter selanjutnya yang dapat ditangkap oleh pembaca novel HPCS ini adalah sifat memburuksangkai orang lain. Sifat ini sejatinya tidak dapat dipisahkan sebagai jelmaan dari sifat membeda-bedakan di atas. Kejadian setelah Harry dapat menyingkirkan ular hasil sihir Draco menjadi salah satu contohnya. Ia dianggap oleh teman-temannya bahwa ia yang meminta ular itu untuk menyerang Justin(Rowling, 1999:196). Perbedaan persepsi inilah yang memunculkan sifat buruk sangka. Perasaan bahwa orang lain akan menyakiti orang lainnya merupakan bentuk pembedaan dalam bentuk yang lain.

Sifat yang diilustrasikan Rowling dalam kejadian-kejadian di novelnya

(13)

menunjukkan penandaan yang bersifat menegasikan. Pembaca diminta memahami kejadian dalam novel tersebut sebagai tanda yang dihindari. Dengan kara lain, Rowling, melalui novelnya, memberikan ilustrasi-ilustrasi kejadian yang termanifestasi dari karakter yang dihindari.

Kedua karakter yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik. Hal ini, dengan kata lain, membuktikan apa yang dikatakan Bohlin dalam bukunya Teaching

Character Education through Literature: Awakening the moral imagination in secondary classrooms (2005:27)

SIMPULAN

Berdasarkan dari analisis pada bab sebelumnya, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, kedua hal, misteri dan kekelaman pendidikan, merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS. Kedua, karakter membeda-bedakan

dan berburuk sangka yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik.

DAFTAR PUSTAKA

Audifax. (2005). Mite Harry Potter:

Psikosemiotika dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta:

Jalasutra.

Bohlin, Karen E. (2005). Teaching Character

Education through Literature: Awakening the Moral Imagination in Secondary Classrooms. New York:

Routledge

Cawelti, John G. (1976). Adventure, Mystery,

and Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture. Chicago and

London: The University of Chicago Press.

Chamamah-Soeratno, Siti. (1994). “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. (2004). Metodologi

Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Cet. II.

Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Fiske, John. (1989). UnderstandingPopular

Culture. Cambridge: Unwin Hyman.

Lewis, C.S., (2005). The Chronicles of

Narnia: Sang Singa, Sang Penyihir, dan Lemari. Terj. Donna Widjajanto.

(14)

Lukens, Rebecca J. (2003). A Critical

Handbook of Children’s Literature.

USA: Pearson Education, Inc.

Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi

Penelitian Kualitatif. Cet. XV.

Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Mukhtar, Yasir. (2015) http://

yasirmukhtar.tumblr.com diakses

pada 26 Agustus 2015

Muljadi, Hianli. (2005). “Sihir dalam Harry Potter: Analisis Responsi Pembaca”. Tesis Sarjana S2 Universitas Indonesia, Jakarta.

Rowling, J. K. (2007). Harry Potter dan Batu

Bertuah. Terj. Listiaana Srisantu. Cet.

XXI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Diagram  di  atas  memberikan  gambaran  bahwa  oposisi  kemisterian  dapat  dimunculkan  dari  oposisi-oposisi  biner tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat penelitian dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:.. Dapat dijadikan pertimbangan oleh perusahaan untuk memperbaiki sistem pengendalian

Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada dalam sebuah kancah alternatif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pengaruh model project based learning terhadap sikap tanggung jawab siswa, (2) pengaruh model model project based

 Peserta didik menentukan penyelesaian dari kalimat matematika dan masalah sehari-hari yang sederhana dan berkaitan dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian,

Apabila terdapat ketidaksesuaian maka kedua belah pihak akan mengurusnya ke bank importir setelah memenuhi kewajibannya didalam pelunasan pembayaran kemudian

Baru Klinting dari rumah mereka agar pergi menemui pamannya Dadap Putih yang berada di pantai selatan Jember, dan tinggallah Baru Klinting untuk beberapa waktu lama

Perilaku dan sikap tidak bisa dipisahkan untuk menjadikan lebih sempurna karena kedua- duanya memiliki karakteristik yang berbeda. Sikap itu cara pandang dan pola pikir,

Hasil hipotesis III menggunakan Independent Sample T-test diperoleh nilai p=0,821 (p>0,005) yang berarti tidak ada perbedaan pengaruh pemberian intervensi