• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORETIS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Nafkah (Livelihood)

Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana

livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka

atau peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001). Dalam pandangan yang sangat sederhana livelihood terlihat sebagai “aliran pendapatan” berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Definisi lain dinyatakan oleh Ellis (2000) bahwa livelihood mencakup pendapatan “cash” (berupa uang) dan “in

kind” (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya

seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi jender, dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Lebih lanjut livelihood juga mencakup akses terhadap, dan keuntungan yang berasal dari pelayanan publik dan sosial yang disediakan oleh negara.

Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of

living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah,

pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka

(2)

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of

livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan

satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Secara konseptual menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000), terdapat lima tipe modal yang dapat dimiliki/dikuasai rumah tangga untuk pencapaian nafkahnya yaitu:

1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya.

2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Wujudnya adalah air, tanah, hewan, udara, pepohonan dan sumber lainnya.

3. Modal sosial yaitu modal yang berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya.

4. Modal finansial yang berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi.

5. Modal fisik yaitu berbagai benda yang dibutuhkan saat proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan berbagai benda fisik lainnya.

Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi

sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu:

1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan terhadap berbagai macam resiko dengan membangun

(3)

hubungan (jaringan sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung), membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.

2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama). 3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk

memperbaiki kehancuran dan mendapat kembali akses untuk memperoleh sumberdaya.

Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi nafkah, yaitu:

1. Harus ada pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif.

2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang lain. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol (aset) akan lebih mempunyai kekuatan untuk dapat memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu strategi nafkah dapat dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang ingin dikuasai.

3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat diminimalisir.

4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang.

5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.

(4)

6. Strategi biasanya merupakan keluaran dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa secara umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu strategi nafkah normatif dan strategi nafkah yang ilegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan membangun jaringan sosial. Strategi ini disebut „peaceful ways‟ atau sah dalam melaksanakan strategi nafkah. Sedangkan strategi nafkah ilegal di dalamnya termasuk tindakan sosial ekonomi yang melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan, perampokan, pelacuran, dan sebagainya. Kategori ini disebut sebagai „non peaceful‟, karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal.

Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan

Meikle, Ramasut dan Walker (2001) menggambarkan bahwa inti untuk memahami konsep nafkah berkelanjutan adalah apresiasi bahwa kemiskinan

(5)

bukanlah kondisi stabil, permanen dan statis. Terkait dengan gambaran tersebut, maka gambaran dari nafkah berkelanjutan oleh ketiga ahli tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memberikan kemampuan, aset (materi dan sosial) dan aktivitas yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan miskin yang hidup bersama. Banyaknya kesempatan yang ada berbeda menurut orang yang hidup dan atau memiliki akses kepada sumberdaya di kampung, sub-urban, dan kota. Nafkah dapat termasuk pekerjaan yang dibayar, tetapi hanya satu elemen dan bukan yang paling penting dari hubungan jaringan fungsional yang bersama untuk hidup. Elemen lain termasuk jaringan sosial dan bermacam institusi yang menyediakan hubungan rumahtangga dan akses terhadap sumberdaya.

2. Dinamis dan mudah diadaptasi. Nafkah berkelanjutan memiliki

kemampuan untuk merespons perubahan dan secara berlanjut

diperbaharukan melalui pengembangan dari strategi adaptif kemudian, dapat bangkit dari tekanan dan kejutan, stabil dan berlanjut dalam jangka panjang.

3. Berhubungan ke prioritas, interpretasi dan kemampuan masyarakat miskin. Masyarakat di pusat kerangka nafkah dianggap sebagai aktor yang mampu, bukan korban yang tidak berdaya. Nafkah menggambarkan kemakmuran, pengetahuan, strategi adaptif dan orang miskin. Ketika nafkah berkelanjutan mencerminkan prioritas dari masyarakat miskin, perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan diantara jangka pendek, prioritas pragmatis yang mengarah kepada bertahan hidup, yang bertujuan untuk pembangunan dari nafkah berkelanjutan. Contohnya, prioritas jangka pendek untuk mengurangi pengeluaran rumahtangga dapat membuat anak putus sekolah atau mengurangi biaya kesehatan, namun ini bukan berarti sikap rumahtangga tidak menghargai investasi pada kesehatan dan pendidikan pada jangka panjang.

4. Rumahtangga dan komunitas terpusat pada alokasi sensitif. Anggota rumahtangga berkontribusi pada berbagai cara tergantung peran, tanggungjawab dan kemampuan. Rumahtangga memiliki modal sosial dan

(6)

hutang. Mereka terintegrasi kepada bahan sosial yang lebih luas, dan menggambarkan kepada hubungan dengan bermacam individu dan kelompok dalam komunitas seperti kesempatan pada bisnis lokal dan pemerintahan. Hal ini juga dapat dicatat bahwa sebagian strategi nafkah mungkin berdasarkan kepada individu daripada aktivitas rumahtangga dan lainnya dapat melihat dari hubungan diantara anggota rumahtangga yang tidak hidup bersama.

5. Meraih komponen yang disebutkan di atas tanpa merongrong dasar sumber daya alam.

2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani

Wolf (1985) dalam Lestari (2005) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Menurut Shanin seperti dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka pada lahan. Bagi petani lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.

(7)

Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White (1978) mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknik-teknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyek-proyek pembangunan.

Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White (1978), rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaan-pekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, (c) pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.

2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi 2.1.4.1 Ekologi Dataran Tinggi

Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering. Sedangkan yang dimaksud lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 mdpl (700-2500 mdpl). Departemen pertanian (2006) dalam Sabiham et al (2008) bahkan mendefinisikan

(8)

wilayah dengan elevasi minimal 350 mdpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 persen sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada di sekitar areal pertanian. Lebih lanjut dijelaskan dalam Sabiham et al (2008), lahan dataran tinggi di Indonesia berdasarkan tipe agroklimatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Di daerah beriklim basah alternatif jenis usaha yang dapat dilakukan oleh petani lebih beragam dibandingkan daerah yang beriklim kering.

Lahan kering memiliki karakteristik kemampuan tertentu yang ditentukan oleh jenis, letak, kemiringan, dan berbagai faktor lainnya. Secara implisit hal itu mengindikasikan bahwa untuk setiap jenis penggunaan atau peruntukan lahan diperlukan perlakuan dan teknologi tertentu agar lahan tersebut memberikan manfaat yang optimal dan lestari. Pola pemanfaatan lahan kering yang dimanfaatkan penduduk selama ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang banyak tergantung pada tingkat kemampuan, keterampilan, dan peluang serta prospek yang terdapat pada setiap daerah. Sebagian besar jenis tanah lahan kering adalah tanah podsolik merah kuning yang sangat peka terhadap erosi. Pori aerasi tanah rendah, terutama di lapisan bawah sehingga tanahnya memadat, akibatnya infiltrasi air lambat dan erosi permukaan bertambah besar. Akibat lebih jauh adalah usaha tani pada lahan ini sering kekeringan meskipun intensitas hujan cukup tinggi (Rasahan et al, 1999).

Dataran tinggi memiliki fungsi utama sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun, kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut (Sabiham et al, 2008). Lahan dataran tinggi pada batasan-batasan

(9)

tertentu, dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil pangan nasional. Harus diakui bahwa dimasa mendatang ketergantungan produksi pangan dari kawasan tersebut akan terus meningkat seiring dengan konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah yang sulit dicegah lagi.

Namun demikian, sedikitnya terdapat empat hal sama yang mencerminkan kondisi pertanian lahan dataran tinggi pada saat ini yaitu: pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit (Anyamba et

al, 2006 dalam Sabiham et al, 2008). Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat

untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar.

2.1.4.2 Masyarakat Dataran Tinggi

Tekanan penduduk dan pemenuhan pangan mengharuskan sebagian besar dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dimanfaatkan juga untuk lahan pertanian. Petani di daerah dengan curah hujan tinggi biasanya mengembangkan sayuran, sedangkan petani daerah kering yang memiliki curah hujan sedikit akan memilih menanami lahannya dengan tanaman yang lebih tahan kekeringan seperti ubi kayu, jagung, atau pepaya (Sabiham et al, 2008). Penyebab yang sama disampaikan oleh Rasahan et al (1999) bahwa akibat tekanan penduduk dan lapar lahan, lahan kering yang diusahakan sering melebihi batas kemiringan lereng yang relatif aman untuk usaha tani tanaman pangan. Sebagai akibatnya produktivitas lahan cepat menurun jika dalam pengusahaannya tidak diterapkan kaidah konservasi tanah dan air secara cepat.

Penduduk dataran tinggi sering dipandang sebagai kelompok masyarakat yang bodoh, yang mempertahankan cara hidup tradisional yang sangat berbeda;

(10)

sebagai kaum tani, yang mungkin agak kurang efisien; sebagai perusak dan penghuni liar; dan akhir-akhir ini, sebagai ahli lingkungan, yang tetap memegang rahasia sistem pengelolaan sumber daya berlandaskan komunitas yang berkelanjutan dan adil (Li, 2002). Selain itu, Hefner (1999) juga menyebutkan bahwa selama ini, menjadi masyarakat dataran tinggi diidentikkan dengan istilah “wong tani”. Bahkan Hanani dan Purnomo (2010) mendefinisikan corak masyarakat dataran tinggi yang relatif “sukar” diorganisir sebagaimana masyarakat dataran rendah pada umumnya dan tidak memiliki stratifikasi yang ketat.

2.1.5 Struktur Agraria

Wiradi (2009), memberikan definisi bahwa struktur agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah, namun menyangkut juga hubungan sosial manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hubungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dengan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya.

Lebih lanjut Wiradi (2009) mengungkapkan bahwa hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Terdapat dua istilah penting dalam hal ini yaitu land tenure dan land

tenancy. Land tenure berarti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini

biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan,

(11)

mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Sedangkan land tenancy menunjuk kepada pendekatan ekonomi. Artinya penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Dalam pengertian struktur agraria ini perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Untuk kata “pengusahaan” menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif.

2.1.6 Pertanian Berkelanjutan

Suzuki (1997) dalam Sunito (2007) memberikan gagasan tentang prinsip-prinsip berkelanjutan yang kemudian terkenal dengan istilah Natural Steps yaitu:

pertama, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis

dari hasil-hasil penambangan dari kulit bumi (seperti mineral, minyak, dsb).

Kedua, alam tidak dapat menanggung beban dari penimbunan secara sistematis

dari bahan-bahan rekayasa permanen buatan manusia. Dan ketiga, alam tidak dapat menanggung beban dari perusakan secara sistematis dari kemampuannya untuk memperbarui dirinya (misalnya memanen ikan lebih cepat dari kemampuannya untuk memulihkan populasi atau mengkonversi tanah subur menjadi gurun pasir. Dengan demikian, bila kehidupan ingin lestari, maka kita harus: (a) efisien memanfaatkan sumberdaya; dan (b) menegakkan keadilan, karena kemiskinan akan membawa pada usaha dengan perspektif jangka pendek yang merusak lingkungan (misalnya hutan) yang diperlukan oleh semua untuk kehidupan jangka panjang. Kritik terhadap konsep pertanian yang kini dominan dan lebih dikenal sebagai High External Input Agriculture (selanjutnya disebut

(12)

HEIA) serta pendekatan pertanian alternatif dengan pendekatan ekologis, merupakan bentuk keresahan terhadap perilaku manusia terhadap alam. Sistem HEIA mengejar produktifitas yang tinggi namun menuntut pengorbanan dalam bentuk menurunnya keberlanjutan.

Lebih jauh Gips (1986) dalam Reijntjes et al (1992) menerangkan bahwa terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sistem pertanian berkelanjutan yaitu:

1. Mantap secara ekologis: kualitas sumberdaya alam dipertahankan; kemampuan agroekosistem (manusia, tanaman, hewan, mikro-organisme) ditingkatkan melalui pengelolaan secara biologis (regulasi sendiri) dengan penggunaan sumberdaya yang bisa diperbaharui. 2. Layak secara ekonomis: produk usahatani harus mencukupi kebutuhan

serta menutupi biaya produksi. Kelayakan ekonomi dari sistem pertanian berkelanjutan harus dapat diukur juga dari kemampuannya melestarikan sumberdaya dan meminimalkan resiko.

3. Adil: sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pokok dan hak-hak anggota masyarakat untuk memperoleh akses pada tanah, modal, dukungan teknologi dan informasi terpenuhi.

4. Manusiawi: semua bentuk kehidupan (manusia, tanaman, hewan) dihargai. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dipelihara. Untuk nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar–kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, dan rasa sayang – harus diperjuangkan.

5. Luwes: petani harus mampu menyesuaikan usaha pertaniannya denga perubahan–jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar – yang berlangsung terus. Penyesuaian ini menyangkut dimensi teknologi maupun sosial dan budaya.

Altieri seperti dikutip Hecht (1987) dalam Sunito (2007) menyampaikan terdapat empat elemen yang lebih spesifik dibanding pendapat di atas tentang persyaratan pertanian berkelanjutan yaitu: (1) Mengurangi penggunaan energi dan sumberdaya; (2) Menerapkan metoda produksi yang mengembalikan mekanisme

(13)

memastikan aliran energi yang efisien; (3) Menggalakkan budidaya pangan yang sesuai dengan kondisi alam dan sosial ekonomi setempat; dan (4) Mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dan kelayakan ekonomis dari usaha pertanian rumahtangga, dengan demikian memajukan suatu sistem pertanian yang memiliki keragaman dan ketahanan tinggi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kegiatan ekonomi masyarakat dataran tinggi Dieng yang berbasis pertanian telah berlangsung secara turun-temurun. Secara geografis sangat memungkinkan bahwa sektor ekonomi menjadi sektor utama atau andalan masyarakat setempat. Apalagi ditambah sarana pendukung yang memungkinkan seperti mudahnya akses memperoleh saprotan (sarana produksi pertanian) serta semakin mudahnya akses pemasaran hasil pertanian.

Berdasarkan Fadjar et al (2008), sumberdaya agraria (tanah) tetap menjadi kekuatan produksi yang penting karena di atas sumberdaya agraria itulah kegiatan produksi dimulai dan kemudian sumberdaya agraria tersebut akan menjadi sumber penghasilan petani. Sebelumnya Purwanti (2007) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa luas lahan garapan petani merupakan modal petani dalam berusahatani. Kedua hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa lahan menjadi faktor penting dalam kegiatan usahatani.

Dalam konteks rumahtangga pertanian, pilihan strategi nafkah on farm yang diterapkan tentu saja dipengaruhi oleh luas lahan garapan. Besar kecilnya pendapatan petani dari usahataninya ditentukan oleh luas lahan yang dikuasainya karena luas lahan tersebut dapat mempengaruhi produksi per satuan luas. Apabila usia petani, tingkat pendidikan, lama bertani, jumlah tanggungan keluarga ikut menjadi penentu bagaimana arah pilihan strategi nafkah maka hal ini bisa menyebabkan komposisi mata pencaharian akan bergeser ke sektor non pertanian (non farm). Pilihan-pilihan rasional atas strategi nafkah tersebut berpengaruh pada jumlah pendapatan rumahtangga petani kentang yang pada akhirnya menentukan keberlanjutan nafkah rumahtangga petani serta strategi nafkah dominan yang dipilih petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Chambers dan Conway (1991) mengungkapkan bahwa sistem nafkah yang berkelanjutan harus mampu: a)

(14)

beradaptasi dengan shock dan tekanan; b) memelihara kapabilitas dan asset-asset yang dimiliki; c) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya.

Keterangan: Mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis

Status penguasaan lahan dan karakteristik petani menentukan bentuk strategi nafkah rumahtangga petani kentang.

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Usia/umur adalah lama hidup responden yang dihitung berdasarkan tahun.

Kategorisasi variabel ini berdasarkan rata-rata usia responden, yaitu: a. Kategori petani umur antara 20 – 34 tahun.

b. Kategori petani umur antara 35 – 49 tahun. Sektor Pertanian (on farm)

-Pertanian kentang -Pertanian non-kentang -Buruh tani (off farm)

Strategi nafkah rumahtangga petani (Scoones, 1998) Sektor non Pertanian (non farm) -Diversifikasi nafkah

-Migrasi

 Kontribusi pendapatan sektor pertanian terhadap rumahtangga petani kentang

 Kontribusi pendapatan sektor non pertanian terhadap rumahtangga petani kentang

Keberlanjutan nafkah

Faktor yang Mempengaruhi Arah Strategi Nafkah 1. Status Penguasaan Lahan

2. Karakteristik Petani -Usia/Umur

-Tingkat pendidikan -Jumlah tanggungan -Pengalaman bertani

(15)

c. Kategori petani umur > 49 tahun.

2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dialami oleh responden dalam penelitian. Kategorisasi tingkat pendidikan tersebut berdasarkan kondisi faktual di lokasi penelitian yaitu:

a. Kategori tidak bersekolah b. Kategori SD tapi tidak lulus c. Kategori lulus SD

d. Kategori SMP e. Kategori SMP f. Kategori S1

3. Jumlah tanggungan adalah jumlah jiwa yang ditanggung oleh satu kepala keluarga dalam rumahtangga pertanian. Jumlah tanggungan dikategorisasikan berdasarkan rata-rata tanggungan masing-masing responden:

a. Tanggungan dalam rumahtangga berjumlah ≤ 3 orang b. Tanggungan dalam rumahtangga = 4 orang

c. Tanggungan dalam rumahtangga > 4 orang

4. Pengalaman bertani dioperasionalkan oleh peneliti dengan mengikuti pengertian dari Oxford Dictionary (2007) bahwa pengalaman digunakan untuk merujuk pada pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu yang diperoleh melalui tindakan atau dengan memperhatikan. Pengalaman bertani yang dimaksud adalah pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian yang dimiliki oleh petani selama periode tertentu yang dihitung dalam ukuran tahun. Pengalaman bertani dikategorisasi berdasarkan rata-rata pengalaman responden dalam melakukan usahatani, yaitu:

a. Pengalaman bertani 1 – 7 tahun b. Pengalaman bertani 1 – 14 tahun c. Pengalaman bertani ≥ 15 tahun

5. Status penguasaan lahan adalah bentuk hak kuasa seseorang atas lahan dimana pada lokasi penelitian bentuknya berupa lahan milik, lahan sewa, dan lahan bagi hasil.

6. Luas lahan adalah ukuran lahan garapan yang dikuasai oleh responden untuk kegiatan usahataninya dan dihitung dalam satuan hektar. Luas lahan yang

(16)

digarap diukur dari lahan yang paling sempit hingga paling luas dan diklasifikasikan menjadi:

a. Lahan dengan luas 0,1 ha – < 0,3 ha b. Lahan dengan luas 0,3 ha ≤ x < 0,5 ha c. Lahan dengan luas 0,5 ha ≤ x < 1,0 ha d. Lahan dengan luas 1,0 ha ≤ x ≤ 2,0 ha

7. Strategi nafkah dalam penelitian ini mengikuti pengertian dari Dharmawan (2006) yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok

dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap

memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

8. Aktivitas nafkah adalah wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian (on farm dan off farm) dan kegiatan non pertanian (non farm) (Ellis, 2000):

a. On farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll). Dalam penelitian ini pertanian utama yang menjadi fokus adalah usahatani kentang, sedangkan untuk pertanian lainnya dianggap sebagai pertanian sampingan.

b. Off farm; yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. c. Non farm; yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan

pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.

9. Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini sesuai dengan pengertian yang diajukan oleh Scoones (1998) yaitu penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –selain pertanian- dan memperoleh pendapatan.

(17)

10. Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu bentuk strategi nafkah yang merujuk pada pengertian Scoones (1998) yaitu merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

11. Kontribusi pendapatan mengikuti pengertian pendapatan dari (Oxford

Dictionary (2007) sebagai jumlah uang yang diterima seseorang sebagai upah

kerja pada periode waktu tertentu sehingga kontribusi pendapatan dalam penelitian ini diartikan sebagai jumlah uang yang diperoleh rumahtangga petani kentang baik dari sektor pertanian maupun sektor non pertanian terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani kentang.

12. Rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian dari Badan Pusat Statitistik (1994) dalam Sensus Pertanian 1993 yaitu rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun. Rumahtangga petani kentang adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota kelarganya bertani kentang.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Lakukan pengeboran dengan countersink lubang secara berurutan dan pada kedua permukaan sesuai gambar kerja.. Chek ketepatan jarak dan bentuk pada masing –

[r]

Abstrak – Pelabuhan Banten adalah suatu perusahan yang bergerak di bidang jasa pelabuhan di Indonesia yang salah satu aspek pentingnya adalah proses bongkar

KESIMPULAN Perlakuan pemberian berbagai dosis pupuk hijau paitan tidak memberikan pengaruh pada pupuk urea 300 kg ha -1 sehingga tidak memberikan interaksi yang nyata

Tugas Akhir berjudul “ PENGARUH VARIASI UKURAN PARTIKEL SEKAM PADI PADA KOMPOSIT SEMEN-SEKAM PADI TERHADAP KEKUATAN TEKAN DAN SERAPAN AIR ” dapat terselesaikan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh citra merek terhadap ekuitas merek dan ekuitas merek terhadap respon

Pada kesempatan ini peneliti menyarankan kepada berbagai pihak yang berkaitan dengan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren