LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA (LAPSPI) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERBANKAN
Oleh
Agus Prihartono P.S. Rani Sri Agustina *)
Abstrak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk lembaga khusus penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan bernama Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). LAPS yang dibentuk oleh OJK dan Kementerian Perdagangan ini merupakan bentuk fasilitas dan pelayanan terhadap konsumen yang memerlukan mekanisme layanan pengaduan dan penyelesaian sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien. salah satunya yaitu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). Pendirian LAPSPI tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Lembaga Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Perbankan. Mekanisme penyelesaian sengketa di LAPSPI dilakukan secara mediasi, ajudikasi, maupun arbitrase.
Kata Kunci : Perbankan, Sengketa A. PENDAHULUAN
Mengamati kegiatan bisnis per-bankan yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/
difference) antar pihak yang terlibat.
Hubungan hukum nasabah dengan bank yang berkaitan dengan perjanjian kedua pihak merupakan masalah ke-perdataan yang berpotensi menimbul-kan sengketa apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi. Sengketa keperdataan antara bank nasabah tim-bul dari transaksi keuangan yang dila-kukan oleh kedua pihak.
Secara umum sengketa keperdata-an ialah sengketa ykeperdata-ang terjadi dalam wilayah hukum kebendaan dan per-orangan yang disebabkan oleh salah satu pihak melanggar asas kepentingan publik. Sengketa ini biasanya muncul akibat tidak terpenuhinya asas-asas
hukum perikatan. Selama ini jika timbul sengketa perdata maka penye-lesaiannya dilakukan melalui proses
hukum perdata materiil melalui
tuntutan hukum oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan ke lembaga yang berwenang yaitu pengadilan. Pada hakikatnya, sengketa ini dapat muncul karena adanya suatu masalah. Masalah ini sendiri terjadi karena adanya suatu kesenjangan antara das sollen dan das
sein, atau dapat pula terjadi karena
adanya perbedaan antara hal yang
diinginkan dengan hal yang terjadi.
Setiap jenis sengketa yang terjadi
selalu menuntut pemecahan dan
penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, freku-ensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus disele-saikan. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum
quickly”, menuntut cara-cara yang
“informal procedur and be put in motion
quickly”.1
Praktek perbankan selama ini dalam menyelesaikan sengketa belum banyak mempergunakan proses non- litigasi. Hal ini dapat dilihat dari per-janjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah yang tidak men-cantumkan klasul seperti arbitrase, mediasi, dan sebagainya seperti yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam keadaan demikian, penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama selain itu juga posisi para pihak yang bersengketa sangat anta-gonistis (saling berlawanan satu sama lain). Menurut penulis penyelesaian sengketa melalui pengadilan seharus-nya semata-mata haseharus-nya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.
OJK sebagai lembaga otoritas ter-tinggi di lembaga keuangan termasuk
perbankan, menerbitkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindung-an Konsumen Sektor Jasa KeuPerlindung-angPerlindung-an; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lem-baga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan; dan Surat Edaran OJK No 2/SOJK.07/2014 Ten-tang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan, untuk selanjutnya disebut peraturan OJK. Walaupun de-mikian, peraturan OJK tidak mencabut keberlakuan peraturan BI selama ketentuan-ketentuan dalam peraturan
1 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan
Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1997, hlm. 280-281
BI tidak bertentangan dengan pera-turan OJK.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk lembaga khusus penyele-saian sengketa di sektor jasa keuangan bernama Lembaga Alternatif Penyele-saian Sengketa (LAPS). LAPS yang dibentuk oleh OJK dan Kementerian Perdagangan ini merupakan bentuk fasilitas dan pelayanan terhadap kon-sumen yang memerlukan mekanisme layanan pengaduan dan penyelesaian sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien. Saat ini, sudah ada 7 LAPS. Namun yang beroperasi baru ada 6, yaitu Badan Mediasi Asuransi Indo-nesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Me-diasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Per-bankan Indonesia (LAPSPI), Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indo-nesia (BAMPPI), dan Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI).
Khusus Lembaga Alternatif Penye-lesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), memiliki 143 anggota yang terdiri dari 18 Bank Umum baik kon-vensional maupun syariah sebanyak 118 bank, dan 25 perwakilan Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR/BPRS) yang ter-daftar pada dan memiliki izin usaha perbankan dari instansi yang ber-wenang. Perwakilan BPR/BPRS ter-sebut terdiri dari, 1 Dewan Perwakilan Pusat dan 14 Dewan Perwakilan Dae-rah Seluruh Indonesia. Sesuai dengan Anggaran Lembaga, maka setiap Lem-baga Jasa Keuangan di sektor bankan yang memiliki ijin usaha Per-bankan, secara otomatis menjadi anggota Perkumpulan dan akan dicatat dalam Daftar Anggota.
Dibentuknya Lembaga Alternatif
merupakan prestasi yang patut diapre-siasi. Mengingat Bank Indonesia seba-gaimana diamatkan oleh API tidak ber-hasil membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Per-bankan. Diharapkan dengan adanya LAPSPI menjadi wadah untuk memak-simalkan penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Umum Alternatif Lembaga Penyelesaian Sengketa
Hubungan bisnis atau usaha tidak akan terlepas dari suatu konflik atau sengketa. Secara konseptual istilah konflik atau sengketa tidaklah berbeda. Kedua istilah tersebut dapat dides-kripsikan sebagai situasi dan kondisi dimana orang-orang sedang mengalami perselisihan yang bersifat faktual mau-pun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka (para pihak)
saja. 2 Menurut Rahmadi Usman,
sengketa adalah pertentangan antara kedua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya3.
Melalui proses non litigasi atau di luar pengadilan, para pihak dapat men-ghasilkan kesepakatan yang bersifat
“win-win solution”, kerahasiaan para
pihak yang bersengketa dapat terjaga berbeda dengan proses persidangan karena keputusan hakim dapat dipu-blikasikan, prosesnya lebih cepat karena tidak ada hal-hal prosedural
2 Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat,
Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm. 1
3 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 3.
dan administratif yang harus dipenuhi, dan dapat menjaga hubungan baik para pihaknya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinamakan juga dengan Alternatif Penyelesaian Seng-keta atau Alternative Dispute Resolution selanjutnya disebut ADR.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi (Alternative Dispute
Resolution/ADR) saat ini mulai
dikem-bangkan sebagai bentuk alternatif yang lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang terlibat sengketa. Mengapa de-mikian? Berdasarkan beberapa asumsi, proses litigasi memiliki banyak keku-rangan dan kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Per-sidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menyebutkan be-berapa kelemahan dari proses litigasi antara lain:
1. Penyelesaian sengketa lambat; 2. Biaya perkara mahal;
3. Peradilan tidak tanggap
(unrespon-sive):
4. Putusan pengadilan tidak menyele-saikan masalah;
5. Putusan pengadilan membingung-kan;
6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum;
7. Kemampuan para hakim bercorak generalis.4
Pengembangan ADR dilatarbela-kangi oleh kebutuhan sebagai berikut: 1. Mengurangi kemacetan di
penga-dilan. Banyaknya kasus yang diaju-kan ke Pengadilan menyebabdiaju-kan proses pengadilan sering kali ber-kepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering mem-berikan hasil yang kurang memuas-kan;
2. Meningkatkan ketertiban masyara-kat dalam proses penyelesaian sengketa;
3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan;
4. Memberikan kesempatan bagi
tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan dan
memuaskan semua pihak.5
Adapun bentuk-bentuk ADR,
yaitu:6
1. The Binding Adjudicative Procedure, dimana prosedur ini mengikat karena prosedur ini biasanya
menghasilkan keputusan yang
mengikat tentang hak-hak dari pihak yang diputuskan oleh pihak ketiga yang netral. Jenis-jenis ADR dalam bentuk tersebut adalah: a. Arbitrase: penyelesaian sengketa
(umumnya dagang) melalui
proses tersebut ditentukan oleh pihak yang berperkara.
4 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima, Jakarta :
Sinar Grafika,2007, hlm.: 233-235 5
William Ury.J.M Brett dan S.B. Golderg,
Getting Disputes Resolved sebagaimana
dikutip Susanti Adi Nugroho, Mediasi
sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Tangerang : Telaga Ilmu Indonesia, 2009, hlm. 7
6 Ibid, hlm. 12.
b. Med-Arb (Mediation-Arbitration): penyelesaian sengketa dimulai dari proses mediasi oleh media-tor yang netral dan apabila kemudian ternyata terdapat hal-hal teknis yang tidak dapat ter-capai keputusan bersama para pihak, maka sengketa tersebut dapat dilanjutkan melalui proses arbitrase.
c. Hakim Parkulir: pemeriksaan isu tertentu atau keseluruhan di depan hakim partikulir, wasit melalui penunjukan atau per-setujuan para pihak.
2. The Non Binding Adjudicative
Procedures, Prosedur ini tidak
mengikat dan murni berupa pem-berian nasehat. Prosedur ini ter-gantung sepenuhnya kepada kere-laan para pihak dan sering kali dilakukan oleh bantuan pihak ketiga yang bersifat netral (tidak memihak). Jenis ADR dalam bentuk ini, yaitu:
a. Konsiliasi: dimana konsiliator bertindak sebagi penengah deng-an kesepakatdeng-an para pihak ddeng-an mengusahakan solusi yang dapat diterima para pihak. Misalnya pada sengketa anakanak, seng-keta kecil antar tetangga dan lain sebagainya.
b. Mediasi: Mediator sebagai pihak yang membantu para pihak men-capai penyelesaian atas dasar kesepakatan atau pemahaman atau pengertian akan perbedaan pendapat para pihak.
2. Peran LAPSPI dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan
Pendirian Lembaga Alternatif Pe-nyelesaian Sengeta Perbankan Indone-sia (LAPSPI) tidak terlepas dari kenya-taan bahwa dalam penyelesaian
peng-aduan Konsumen oleh Lembaga
kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Perbankan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan Lembaga Alter-natif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan yang ditangani oleh orang-orang yang memahami dunia per-bankan dan mampu menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien.7
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) berhasil dibentuk berdasarkan Nota Kesepakatan Bersama tertanggal 5 Mei 2015 untuk membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lem-baga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dibentuk oleh bank-bank Yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor perbankan yaitu Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Him-bara), Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda),
Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), dan Asosiasi Bank Interna-sional (Asbi).8
LAPSPI memberikan jasa penyele-saian sengketa melalui mekanisme penyelesaian di sengketa luar peng-adilan (out-of-court dispute settlement), yang meliputi Mediasi, Ajudikasi dan Arbitrase. Penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPSPI harus memenuhi persyaratan sebagai beri-kut :
a. Merupakan sengketa perdata yang timbul di antara para pihak di
bidang atau terkait dengan
perbankan
b. Terdapat kesepahaman di antara para pihak yang bersengketa bahwa sengketa akan diselesaikan melalui LAPSPI
7 https://lapspi.org/profile/latar-belakang/
diakses pada tanggal 2 April 20117
8 Ibid
c. Ada permohonan tertulis (pendaf-taran perkara) dari pihak-pihak yang bersengketa kepada LAPSPI d. Bukan merupakan sengketa
per-kara dalam ruang lingkup hukum
pidana dan atau hukum
administratif.
Penyelesaian sengketa di LAPSPI diatur dalam Peraturan Lembaga Alter-natif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 7/LAPSPI-PER/2015 Ten-tang Peraturan dan Prosedur mediasi, Peraturan Lembaga Alternatif Penye-lesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 8/LAPSPI-PER/2015 Tentang turan dan Prosedur Ajudikasi, Pera-turan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 9/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peratur-an dPeratur-an Prosedur Arbitrase, dPeratur-an Pera-turan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 10/LAPSPI-PER/2015 Tentang Kode Etik Mediator/Ajudikator/Arbiter.
Ruang lingkup penyelesaian seng-keta di LAPSPI meliputi :9
1. Mediasi
Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai berikut :
a. Sebelum terjadinya sengketa;
yang tertuang dalam klausula
penyelesaian sengketa dari
perjanjian pokok antara Bank dengan nasabah
b. Setelah terjadinya sengketa :
- Dibuat dalam suatu dokumen
yang ditandatangani oleh Para Pihak;
- Dalam bentuk pernyataan
Para Pihak di hadapan
persidangan Arbitrase LAPSPI. Dalam hal pengajuan Mediasi
dibuat dalam bentuk pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam butir b
9 www.lapspi.org
di atas, maka perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan Arbitrase LAPSPI. Per-janjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi. LAPSPI, atas permintaan salah satu Pihak, dapat memfasilitasi pertemuan antara Para
Pihak dalam rangka membuat
Perjanjian Mediasi.
Perundingan Mediasi dalam LAPSPI dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal mene-rima surat keputusan pengangkatan Mediator, dan berlangsung paling lama 30 (tigapuluh) hari. Atas kesepakatan Para Pihak dan Mediator perundingan Mediasi dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari lagi. Proses mediasi dilaksanakan secara efisien dan sungguh-sungguh sehingga Para Pihak dapat mencapai Kesepakatan Perdamaian.
Mediator harus mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusul-kan jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas dan disepakati. Disamping itu Mediator harus mendorong Para Pihak untuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam:
a. Proses Mediasi secara keseluruhan; b. Menelusuri dan menggali
kepen-tingan Para Pihak; dan
c. Mencari berbagai pilihan penye-lesaian yang terbaik bagi Para Pihak.
Apabila menganggap perlu, Media-tor dapat melakukan Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak, dan dengan persetujuan dan biaya Para Pihak, Mediator dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli
dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya untuk memberikan keterangan. Para Pihak harus meng-hadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya. Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum Para Pihak. Dalam hal suatu Pihak merupakan badan hukum, maka harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah dan berwenang atau berdasarkan surat kuasa khusus, untuk:
a. Mewakili badan hukum;
b. Mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum; dan c. Membuat perdamaian untuk dan
atas nama badan hukum.
Acara perundingan, Kaukus dan mendengar keterangan ahli/pihak ke-tiga dilakukan dalam bentuk pertemu-an tatap muka lpertemu-angsung atau dapat melalui sarana teknologi informasi (seperti telepon, telekonferensi dan/ atau videokonferensi). Selama belum
tercapai Kesepakatan Perdamaian,
salah satu Pihak dapat menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus, jika terdapat alasan dan bukti yang kuat bahwa Pihak lain menunjukkan itikad tidak baik dalam menjalani proses Mediasi.
Dalam proses mediasi ada 2 ke-mungkinan, yakni berhasil atau gagal. Mediasi dikatakan berhasil apabila proses Mediasi berujung kepada ditan-datanganinya Kesepakatan Perdamaian di antara para pihak. Apabila para pihak menghendaki Kesepakatan Per-damaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial, maka Kesepakatan Per-damaian tersebut dapat dituangkan ke dalam Akta Perdamaian (Acta Van
Dading) oleh Majelis Arbitrase/Arbiter
Tunggal apabila Mediasi tersebut dilaksanakan dalam kerangka proses Arbitrase. Akta Perdamaian tersebut memiliki kekuatan hukum sebagai-mana layaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun apabila proses Mediasi ber-langsung di luar proses Arbitrase dan para pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (lebih dari sekedar keku-atan suatu perjanjian), maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan Arbitrase kepada LAPSPI yang di dalam petitumnya meminta kepada Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal untuk meng-hukum para pihak menaati kesepa-katan perdamaian yang telah dibuat oleh para pihak. Selanjutnya Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal akan men-jatuhkan putusan dengan amar seba-gaimana yang dituntut oleh pemohon, sehingga perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial karena tertuang dalam putusan Arbitrase. Jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian, maka Kesepakatan Perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
Mediasi dikatakan gagal apabila perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) dan para pihak tidak mau melanjutkannya. Apabila kegagalan ini terjadi, maka proses penyelesaian diserahkan kembali kepada masing-masing pihak, apakah selanjutnya akan memilih jalur Arbitrase atau Penga-dilan. Apabila Mediasi tersebut disele-nggarakan dalam kerangka proses Arbitrase, maka Majelis Arbitrase/ Arbiter Tunggal melanjutkan kembali persidangan Arbitrase. Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Kesepakatan Perdamai-an dalam jPerdamai-angka waktu yPerdamai-ang disepakati
dalam kesepakatan tersebut, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepa-da Pihak yang ingkar dengan tembusan kepada LAPSPI. Setelah menerima tem-busan surat tersebut maka Pengurus LAPSPI akan menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat teguran masih juga diingkari, maka Pengurus dan/atau Pihak lain me-nyampaikan kembali teguran tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi Per-bankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Pihak yang berkepentingan atas pelak-sanaan Kesepakatan Perdamaian ber-hak melakukan upaya hukum terhadap Pihak yang ingkar sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Ajudikasi
Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar Arbitrase dan Peradilan umum yang dilakukan oleh Ajudikator untuk menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat Pihak Termohon.
Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa perkara dan memberikan putusan Ajudikasi mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi LAPSPI. Dalam pem-bahasan mengenai Alternative Dispute
Resolution (ADR), yang termasuk dalam
mekanisme Ajudikasi adalah Penga-dilan dan Arbitrase, karena disana ada putusan yang dijatuhkan oleh Otoritas yang berwenang (Hakim/Arbiter) dan
Sedangkan yang termasuk dalam
mekanisme Non-Adjudikasi adalah
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan sebagainya, yang di sana tidak ada
suatu putusan (melainkan suatu
kesepakatan damai yang dibuat secara sukarela oleh para pihak).
Perkembangannya “Ajudikasi” di-pergunakan untuk mekanisme ADR yang karakteristiknya mirip dengan Arbitrase. Dapat dikatakan bahwa Ajudikasi adalah mekanisme Arbitrase yang disederhanakan dan kemudian
di-customised sedemikian rupa sehingga
dapat memenuhi kebutuhan penye-lesaian sengketa yang ritel dan kecil (retail & small claim), karena sengketa ritel dan kecil tersebut akan sangat tidak efisien jika diselesaikan melalui Arbitrase.
PERJANJIAN AJUDIKASI
a. Syarat terpenting untuk dapat
mengajukan permohonan penyele-saian sengketa kepada Ajudikasi LAPSPI adalah adanya suatu Per-janjian Ajudikasi antara para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan Perjanjian Ajudikasi adalah kesepakatan tertulis para pihak bahwa persengketaan di antara para pihak akan diselesaikan mela-lui Ajudikasi LAPSPI.
b. Perjanjian Ajudikasi dibuat oleh
Para Pihak hanya setelah upaya penyelesaian sengketa melalui Me-diasi tidak mencapai Kesepakatan Perdamaian.
c. Perjanjian Ajudikasi dibuat oleh
Para Pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah Mediator menghentikan proses Mediasi. Apabila Para Pihak belum membuat Perjanjian Ajudi-kasi hingga melewati batas waktu tersebut, maka persengketaan Para Pihak tersebut sudah tidak dapat
lagi diajukan penyelesaiannya ke-pada Ajudikasi LAPSPI.
d. LAPSPI atas permintaan salah satu
Pihak dapat memfasilitasi pertemu-an pertemu-antara Para Pihak dalam rpertemu-angka membuat Perjanjian Ajudikasi.
e. Setelah menandatangani Perjanjian
Ajudikasi, maka :
- Pemohon terikat dengan
Peratur-an DPeratur-an Prosedur Ajudikasi LAPSPI
- Termohon terikat Peraturan Dan
Prosedur ini dan Putusan
Ajudikasi yang akan diputuskan nanti walaupun Termohon tidak datang atau tidak berpartisipasi dalam proses Ajudikasi.
- Pihak yang akan menjadi
Pemohon dalam proses Ajudikasi
harus segera mengajukan
Permohonan Ajudikasi kepada LAPSPI dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
setelah ditandatanganinya
Perjanjian Ajudikasi. Penunjukan ajudikator,
Berbeda dengan pada Arbitrase LAPSPI yang memungkinkan me-nunjuk orang di luar yang tercatat dalam Daftar Arbiter Tetap LAPSPI sebagai Arbiter dalam suatu per-kara (arbiter ad hoc), sedangkan dalam Ajudikasi LAPSPI Pengurus hanya menunjuk Ajudikator yang tercantum dalam Daftar Ajudikator Tetap LAPSPI saja.
3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum, yang diseleng-garakan LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur Arbitrase LAPSPI.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan Arbiter Tetap LAPSPI atau Arbiter Tidak Tetap LAPSPI yang
ditunjuk menurut Peraturan dan
Prosedur LAPSPI sebagai Arbiter
Tunggal/Majelis Arbitrase untuk
memeriksa perkara dan memberikan Putusan Arbitrase mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Arbitrase LAPSPI.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa Arbitrase LAPSPI pada hakekatnya mirip dengan Pengadilan. Sedangkan Arbiter dalam proses Arbitrase adalah mirip hakim pada proses litigasi. Yang mem-bedakannya adalah sebagai berikut : a. Arbitrase merupakan pilihan dan
kesepakatan para pihak yang ber-sengketa;
b. Proses Arbitrase baru dapat dilak-sanakan setelah ada permohonan dari pihak yang bersengketa kepada LAPSPI;
c. Para pihak berhak menentukan apakah Arbiter akan berjumlah satu (Arbiter Tunggal) atau lebih (Majelis Arbitrase);
d. Para pihak bebas menentukan tempat Arbitrase;
e. Para pihak berhak memilih Arbiter, yang dipilih berdasarkan keahlian-nya
f. Persidangan Arbitrase berlangsung tertutup untuk umum;
g. Putusan Arbitrase tidak mengenal preseden atau yurisprudensi;
h. Arbiter dapat mengambil keputusan atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), tidak semata-mata atas dasar ketentuan hukum; i. Putusan Arbitrase tidak dapat
diajukan banding;
j. Putusan Arbitrase tidak terbatasi oleh batas yurisdiksi negara.
k. Kelebihan Arbitrase adalah murah, efisien dan cepat.
Syarat terpenting untuk dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase LAPSPI
adalah adanya Perjanjian Arbitrase antara para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan Perjanjian Arbitrase adalah kesepakatan tertulis para pihak bahwa persengketaan di antara para pihak akan diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI.
Perjanjian Arbitrase dapat dituang-kan ke dalam bentuk :
a. Salah satu pasal di dalam per-janjian yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa (Klausula Arbitrase); atau
b. Perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Para pihak yang telah terikat deng-an Perjdeng-anjideng-an Arbitrase tidak mem-punyai hak untuk mengajukan penye-lesaian sengketa ke Pengadilan Negeri, dan dalam hal ini pun Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk meng-adili sengketa para pihak yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase.
Dalam hal penunjukan arbiter, Arbiter adalah orang perorangan yang karena kompetensi dan integritasnya dipilih oleh para pihak yang berseng-keta untuk memeriksa dan memberi-kan putusan atas sengketa yang ber-sangkutan. Para pihak berhak menun-juk Arbiter, dan Arbiter pun berhak untuk menerima atau menolak penun-jukan tersebut. Dalam proses Arbitrase LAPSPI, para pihak harus menyepakati terlebih dahulu bentuk Arbitrase, apa-kah akan berbentuk Arbiter Tunggal atau berbentuk Majelis Arbiter (ber-jumlah 3 orang Arbiter atau lebih, dan harus berjumlah ganjil).
Peraturan LAPSPI memiliki banyak kelebihan karena mengatur secara mendetail misalnya mengenai biaya layanan penyelesaian sengketa baik mediasi, ajudikasi maupun arbitrase, seperti biaya pendaftaran; biaya seng-keta; dan biaya mediator/ajudikator/ arbiter, hal ini tentunya sangat
membantu para pihak yang berseng-keta dalam menyelesaikan sengberseng-keta- sengketa-nya, karena para pihak dapat mempre-diksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi saat proses mediasi/ ajudikasi/arbitrase berlangsung. Selain itu, Peraturan LAPSPI juga mengatur secara mendetail mengenai benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud adalah adanya hubung-an kekerabathubung-an hubung-antara mediator/ ajudikator/arbiter dengan salah satu pihak.
Sebagai lembaga alternatif penye-lesaian sengketa, LAPSPI menjamin dan menjunjung tinggi integritas, keman-dirian dan imparsialitas para Mediator/
Ajudikator/Arbiternya, sebagaimana
yang diatur dalam Kode Etik tor/Arbiter LAPSPI. Seorang Media-tor/Ajudikator/Arbiter LAPSPI tidak diperkenankan untuk menangani seng-keta apabila yang bersangkutan mem-punyai benturan kepentingan dengan kasus yang ditangani atau dengan salah satu pihak yang bersengketa atau kuasa hukumnya. Jika diketahui ter-nyata terdapat benturan kepentingan antara Mediator/Ajudikator/Arbiter de-ngan para pihak, maka Media-tor/Ajudikator/Arbiter yang bersang-kutan harus diganti dengan yang lain
yang tidak memiliki benturan
kepentingan.10
Peraturan LAPSPI juga mengatur secara khusus mengenai mediasi/ ajudikasi/arbitrase untuk Nasabah
Basic Saving Accounts dan nasabah
UMKM. Nasabah bank Saving Accounts adalah tabungan yang dimiliki oleh nasabah yang hanya mempunyai jumlah saldo kecil dan tertentu sebagaimana diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan maupun Bank Indonesia.
10 Ibid
Dengan segala kelebihan dari LAPSPI yang memudahkan penyelesaian seng-keta di bidang perbankan, satu hal yang menjadi catatan dari penulis adalah jumlah mediator dan ajudikator yang masih sedikit, mengingat untuk mediasi dan ajudikasi, tidak dibentuk secara ad-hok tetapi menggunakan mediator dan ajudikator yang terdapat di dalam LAPSPI, sedangkan untuk arbitrase dapat memilih arbiter diluar yang sudah disiapkan LAPSPI. Jumlah mediator hanya 2 (dua) orang dan judikator merangkap arbiter berjumlah 6 (enam orang). Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan tidak optimalnya LAPSPI menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank, mengingat semakin hari semakin tinggi intensitas kegiatan perbankan yang memungkinkan tim-bulnya sengketa. Karena berdirinya LAPSPI masih baru yaitu pada Januari 2016, kita mengharapkan LAPSPI berjalan dengan efektif dan dapat lebih memberikan perlindungan hukum bagi nasabah yang memilih LAPSPI sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang perbankan
C. PENUTUP
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui LAPSPI haruslah berupa seng-keta perdata yang timbul di antara para pihak terkait dengan perbankan yang sebelumnya sudah diselesaikan pada LJK (Lembaga Jasa Keuangan) yang bersangkutan berdasarkan POJK No. 1/2013 yang mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh kon-sumen tanpa dipungut bayaran.
Bentuk-bentuk penyelesaian seng-keta perbankan melalui LAPSPI ialah berupa Mediasi, Ajudikasi, dan Arbi-trase. Mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan per-damaian dengan dibantu oleh mediator. Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ajudika-tor untuk menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima oleh pemohon sehingga dengan penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat pihak
termohon. Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum, yang diselenggarakan oleh LAPSPI dengan menggunakan peraturan dan
prosedur LAPSPI
.
D. DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan
Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
---, Hukum Acara Perdata, Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima,
Jakarta : Sinar Grafika,2007. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian
Sengketa Di Luar Pengadilan,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Tangerang : Telaga Ilmu
Indonesia, 2009.
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian
Sengketa melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta : Rajawali Pers,
2011.
Sumber lain :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Sektor Jasa
Keuangan
Peraturan Lembaga Alternatif Penyele-saian Sengketa Perbankan Indo-nesia No 7/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur mediasi
Peraturan Lembaga Alternatif
Penye-lesaian Sengketa Perbankan
Indonesia No
8/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Ajudikasi
Peraturan Lembaga Alternatif
Penye-lesaian Sengketa Perbankan
Indonesia No
9/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Arbitrase
Peraturan Lembaga Alternatif
Penye-lesaian Sengketa Perbankan
Indonesia No
10/LAPSPI-PER/2015 Tentang Kode Etik Mediator/Ajudikator/Arbiter.
https://lapspi.org/profile/latar-belakang/diakses pada tanggal 2 April 20117