• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABU HAMMAM MAHENDRA JAYA, DITHA WIRADIPUTRA. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABU HAMMAM MAHENDRA JAYA, DITHA WIRADIPUTRA. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KLAUSUL KETERBUKAAN INFORMASI SEARAH MENGENAI JUMLAH PEMESANAN BAHAN BAKU TERHADAP PESAING DALAM

SUPPLY AGREEMENT MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.294 K/PDT.SUS/2012) ABU HAMMAM MAHENDRA JAYA, DITHA WIRADIPUTRA Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424,

Indonesia

Email: hammammj@gmail.com

ABSTRAK

Skripsi ini membahas pengaturan mengenai klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku terhadap pesaing di dalam suatu Supply Agreement. Dalam Supply

Agreement, pihak pembeli sebagai pembeli bahan baku akan menyampaikan informasi mengenai

jumlah bahan baku yang ingin dipesan kepada pihak Supplier sebagai penjual bahan baku. Dengan adanya klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku terhadap pesaing dalam Supply Agreement, maka informasi mengenai jumlah bahan baku yang ingin dipesan oleh pembeli juga diberitahukan kepada pesaing dari pembeli. Hasil dari penelitian ini adalah analisis terhadap klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku terhadap pesaing di dalam suatu Supply Agreement menurut hukum persaingan usaha.

Kata kunci: Keterbukaan Informasi Searah, Bahan Baku, Pesaing, Supply Agreement, Persaingan Usaha.

(2)

CLAUSE OF ONE-WAY INFORMATION DISCLOSURE TO

COMPETITOR REGARDING RAW MATERIAL PURCHASE ORDER IN SUPPLY AGREEMENT IN ACCORDANCE WITH COMPETITION LAW

(STUDY OF SUPREME COURT DECISION NUMBER 294 K/PDT.SUS/2012)

ABSTRACT

This thesis discusses about the regulation of clause of one-way information disclosure to competitor regarding raw material purchase order in Supply Agreement. In Supply Agreement, the buyer will inform the raw material purchase order to the supplier, whom will sell the raw material to the buyer. With the addition of clause of one-way information disclosure to competitor regarding raw material purchase order in Supply Agreement, the information regarding buyer‟s raw material purchase order will also be informed to buyer‟s competitor. The results of this study is an analysis of clause of one-way information disclosure to competitor regarding raw material purchase order in Supply Agreement in accordance with competition law.

Keywords: One-way information disclosure, Raw material, Competitor, Supply Agreement, Business competition.

(3)

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Akhir-akhir ini dugaan praktek kartel mulai marak di pemberitaan media massa. Beberapa dugaan yang terbaru adalah dugaan adanya praktek kartel obat oleh Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica, praktek kartel kedelai oleh pelaku usaha kedelai dan praktek kartel bawang putih oleh importir bawang putih. Kartel sendiri merupakan praktik perdagangan yang dapat menghambat tumbuhnya perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini karena dalam kartel, produksi yang dilakukan oleh produsen di dalam pasar berkurang sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap sehingga akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi.1 Jumlah barang yang sedikit akan menyebabkan harga tinggi.2

Namun, pada tahun 2010 terjadi kasus praktek kartel yang menarik ketika KPPU mengadili kasus kartel obat merek Norvask dan Tensivaks yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica. Dalam perkara tersebut, Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica menjadi Terlapor dengan dugaan melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang No.5/1999, salah satunya adalah pasal 11 Undang-Undang No.5/1999 tentang kartel. Dugaan adanya praktek kartel antara Kelompok Usaha Pfizer dengan PT Dexa Medica bermula dari adanya supply agreement (perjanjian pemasokan) antara salah satu pihak dari Kelompok Usaha Pfizer, yakni Pfizer Overseas dengan PT Dexa Medica. Supply

agreement tersebut mempunyai klausul utama yang mengatur Pfizer Overseas

LLC akan memasok zat aktif Amlodipine Besylate, yang mana merupakan bahan baku untuk obat penyakit hipertensi, kepada PT Dexa Medica, yang memproduksi obat penyakit hipertensi dengan merek Tensivaks.3

Pfizer Overseas LLC merupakan perusahaan farmasi dengan salah satu kegiatan usaha yakni produksi dan penjualan bahan baku obat. Pfizer Overseas LLC merupakan anak perusahaan dari Pfizer Inc, sebuah perusahaan farmasi di

1 Theodore P. Kovaleff. Ed, The Antitrust Impulse, vol. I, (New York: M E Sharpe Inc,

1994), hal. 78 - 80.

2

Roesman Anwar, Sendi-Sendi Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Jakarta Press, 2006), hal. 53.

3 Lihat: Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No: 17/KPPU-I/2010 dalam kasus

Kelompok Usaha Pfizer., PT Dexa Medica.v. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (selanjutnya disebut “Putusan KPPU Kelompok Usaha Pfizer”).

(4)

bidang Manufaktur Persiapan Farmasi. Pfizer Inc sendiri punya anak perusahaan lain yakni PT Pfizer Indonesia, yang merupakan perusaan farmasi dengan salah satu kegiatan usaha yakni produksi dan penjualan obat. Dengan demikian, Pfizer Overseas LLC mempunyai hubungan afiliasi dengan PT Pfizer Indonesia karena sama-sama merupakan anak perusahaan dari Pfizer Inc. Sementara itu PT Dexa Medica merupakan perusahaan farmasi dengan salah satu kegiatan usaha yakni produksi dan penjualan obat.4

Dugaan kartel muncul pada salah satu klausul dalam supply agreement tersebut menyatakan bahwa jumlah zat aktif Amlodipine Besylate yang akan dipesan oleh PT Dexa Medica kepada Pfizer Overseas LLC, harus diberitahukan kepada PT Pfizer Indonesia. Padahal PT Pfizer Indonesia merupakan produsen obat penyakit hipertensi dengan bahan baku zat aktif Amlodipine Besylate, dengan merek produk Norvask. Hal ini menunjukan bahwa PT Pfizer Indonesia merupakan pesaing dari PT Dexa Medica karena menjual barang dengan jenis yang sama, yakni obat penyakit hipertensi. KPPU menganggap bahwa dengan demikian, PT Pfizer Indonesia mengetahui jumlah produksi obat penyakit hipertensi yang akan diproduksi oleh PT Dexa Medica dan dapat melakukan penyesuaian serta pembatasan jumlah produksi sesuai dengan informasi mengenai jumlah produksi obat penyakit hipertensi yang diproduksi oleh PT Dexa Medica.5

KPPU pun berpendapat bahwa klausul keterbukaan informasi searah mengenai pemesanan bahan baku terhadap pesaing (PT Pfizer Indonesia) dalam

supply Agreement antara Pfizer LLC dan PT Dexa Medica melanggar pasal 11

UU No.5/1999. KPPU pun menyatakan bahwa Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica bersalah melalui Putusan KPPU No: 17/KPPU-I/2010 karena melanggar beberapa pasal dalam UU No.5/1999, salah satunya adalah pasal 11, dan menghukum denda Rp 125 Miliar kepada Kelompok Usaha Pfizer, serta denda Rp 20 Miliar kepada PT Dexa Medica.6

Pihak Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica pun melakukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas dugaan kartel dalam Putusan KPPU tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun

4 Ibid.. 5 Ibid.. 6 Ibid..

(5)

menerima upaya hukum dari Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica dengan membatalkan putusan KPPU No: 17/KPPU-I/2010 melalui putusan No: 05/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst. Dalam putusan dinyatakan bahwa bukti yang dimiliki oleh KPPU dalam membuktikan dugaan praktek kartel yang dilakukan Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica masih kurang.7 KPPU pun melakukan upaya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Negeri tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak upaya hukum KPPU dan menguatkan putusan Pengadilan melalui Putusan MA No.294 K/Pdt.Sus/2012. Pihak Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica pun terbebas dari hukuman yang dijatuhkan dalam putusan KPPU No: 17/KPPU-I/2010

Menimbang klausul keterbukaan informasi dalam kasus tersebut mengundang banyak perdebatan mengenai praktek kartel, dan penyampaian informasi satu arah mengenai informasi strategis dalam supply agreement, serta praktek kartel sendiri merupakan praktek yang mempunyai dampak yang sangat luas pada kesejahteraan masyarakat umum sebagai konsumen yang dirugikan. Penulis pun ingin mengetahui bagaimana sebenarnya Hukum Persaingan Usaha mengatur mengenai klausul keterbukaan informasi yang ada dalam kasus tersebut. Oleh karena itu penulis pun tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Klausul Keterbukaan Informasi Searah Mengenai Jumlah Pemesanan Bahan Baku Terhadap Pesaing Dalam Supply Agreement Menurut Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan Mahkamah Agung No.294 K/Pdt.Sus/2012).”

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang yang telah dijelaskan oleh penulis, terdapat beberapa permasalahan yang akan ditulis oleh penulis pada bab-bab selanjutnya dalam makalah ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:

7 Arry Anggadha, Oscar Ferri, “PT Pfizer Dukung Putusan MA Soal Kartel Obat”

http://us.m.news.viva.co.id/news/read/336672-pt-pfizer-dukung-putusan-ma-soal-kartel-obat, diunduh 27 Februari 2014.

(6)

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku dalam supply agreement terhadap pesaing menurut Hukum Persaingan Usaha ?

2. Bagaimanakah penerapan hukum persaingan usaha terhadap klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku terhadap PT Pfizer Indonesia dalam supply agreement antara Pfizer Overseas LLC dan PT Dexa Medica ?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk bertujuan untuk memberikan pemikiran baru dan menambah wawasan studi hukum tentang hukum persaingan usaha, khususnya mengenai pengaturan mengenai klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku dalam supply agreement terhadap pesaing menurut Hukum Persaingan Usaha dan penerapan hukum persaingan usaha terhadap klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku terhadap PT Pfizer Indonesia dalam supply agreement antara Pfizer Overseas LLC dan PT Dexa Medica.

II. TINJAUAN TEORI

Herbert Hovenkamp berpendapat bahwa praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerjasama horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau jasa.8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur kartel dalam pasal 11, yang berbunyi:

(7)

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”9

Perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kartel merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum, maka adalah wajar apabila para pelaku kartel akan berusaha agar tidak mudah untuk dideteksi oleh penegak hukum. Oleh karenanya kesepakatan-kesepakatan atau kolusi antar pelaku usaha ini jarang berbentuk tertulis agar tidak mudah untuk terdeteksi dan tidak terdapat bukti-bukti tertulis.10

Dilihat dari perumusan pasal 11 yang menganut rule of reason, maka ditafsirkan bahwa dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran terhadap ketentuan ini, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan terlebih dahulu dibuktikan telah terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel akan dilihat alasan-alasan dari para pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel tersebut dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan demikian, maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam mengenai alasan kesepakatan para pelaku usaha dimaksud dibandingkan dengan kerugian ataupun hal-hal negatif kartel baik bagi persaingan usaha.11

Kartel tidak mengijinkan kekuatan pasar untuk berfungsi karena anggota kartel (khususnya yang memiliki posisi dominan) ingin selalu dapat menetapkan harga yang biasanya lebih tinggo dari harga pasar, untuk mendapatkan

9

Indonesia (A), Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, UU No.9 tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps. 11.

10 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (A), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan KPPU No. 04 Tahun 2010, Lampiran BAB III angka

3.1. Paragraf 3.

(8)

keuntungan yang lebih. Praktek kartel ini akan sevara otomatis meningkatkan keuntungan produsen dengan memperhatikan kepentingan konsumen.12

Hal utama dari praktik kartel ini adalah pengaturan jumlah produksi dan penurunan secara bersama-sama dan sistematis dengan maksud untuk mempengaruhi harga demi keuntungan para anggota-anggota kartel. Sebagai konsekuensi, perjanjian kartel tersebut secara langsung membatasi persaingan usaha.13

Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian baik bagi perekonomian suatu Negara maupun bagi konsumen, yakni :14

A. Kerugian bagi Perekonomian Suatu Negara

1) Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi. 2) Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi. 3) Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru. 4) Menghambat masuknya investor baru.

5) Dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain byang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat.

B. Kerugian bagi konsumen

1) Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pada pasar yang kompetitif.

2) Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha.

3) Terbatasnya pilihan pelaku usaha.

III. METODE PENELITIAN

12

Rondang Marina, “Kartel Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Pada Industri Semen Domestik yang Melibatkan Empat Perusahaan Multinasional),” (Skirpsi Sarjana Universitas Universitas Indonesia, Depok, 2009) hal. 70.

13

Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger Control In Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis , (Volume 19 Mei-Juni 2001), hal. 11-12.

(9)

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, traktat, keputusan pengadilan, dan norma yang hidup dalam masyarakat.15

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini jika dilihat dari sudut sifatnya adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian preskriptif merupakan penelitian yang bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan terkait penilaian yang dilakukan KPPU terhadap klausul keterbukaan informasi terhadap pelaku usaha pesaing yang dapat diduga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.16

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17 yang terdiri atas: Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang

memberikan atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya,18 yang terdiri atas: Buku-buku literatur; Buku-buku yang berkaitan dengan perjanjian, Buku-buku yang

15 William J. Filstead, “Qualitative Method: A Needed Perspective in Evaluation

Research,” dalam Qualitative and Quantitative Research in Evaluation Research, (London: Sage Publications, 1978), hal. 38.

16

Ibid..

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14.

(10)

berkaitan dengan kartel; dan jurnal atau artikel yang berkaitan dengan permasalahan pada skripsi ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder.19

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan 1 (satu) alat pengumpul data, yaitu studi dokumen.20

5. Metode Analisis Data

Metode pengolahan data yang digunakan penulis adalah analisis data kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan sesuai dengan kenyataan.21

IV. PEMBAHASAN

Berdasarkan argumentasi hukum material yang telah dihasilkan dari pemeriksaan atas perkara ini, MA memutuskan bahwa Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum berkaitan dengan bukti-bukti yang telah diperiksa 22 dan putusan Judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.23 MA berpendapat bahwa unsur “Perjanjian Dengan Pelaku Usaha Pesaing” tidak terbukti karena supply agreement dibuat antara PT Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC. MA berpendapat bahwa perjanjian berlaku bagi pihak yang menandatanganinya, bukan untuk pihak lain.24 Penulis menilai bahwa pertimbangan MA tepat karena supply agreement dibuat oleh PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC, yang mana PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LL bukan lah pelaku usaha pesaing satu sama lain, mengingat PT Dexa Medica mempunyai kegiatan usaha memproduksi obat anti hipertensi dengan zat aktif

19 Ibid., hal. 16.

20 Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal. 6. 21

Ibid., hal. 67.

22 Mahkamah Agung, Putusan No. 294 K/Pdt.Sus/2012, hal. 394. 23 Mahkamah Agung, Ibid., hal. 395.

(11)

Amlodipine Besylate, sedangkan Pfizer Overseas LLC memiliki kegiatan usaha

pemasokan bahan baku zat aktif Amlodipine Besylate. Hubungan antara PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC bukan lah bersifat horizontal (sesama pesaing), namun bersifat vertikal (bukan sesama pesaing). Baik menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 maupun pasal 1313 KUHPer memuat syarat adanya “perbuatan mengikatkan diri” dalam menentukan adanya perjanjian. PT Pfizer Indonesia sendiri tidak pernah sepakat/ menandatangani maupun mengikatkan diri terhadap supply agreement.

Kemudian, MA setuju dengan penerapan hukum dari Judex Facti. Judex Facti berpendapat bahwa unsur “Bermaksud Mempengaruhi Harga Dengan

Mengatur Produksi dan atau Pemasaran” tidak dapat dibuktikan secara benar dan sangat sumir karena dalam supply agreement tidak ada klausul mengenai pengaturan mengenai jumlah produksi.25 MA juga berpendapat bahwa sesuai keterangan ahli dalam persidangan perkara ini di PN Jakpus, bukti perintah untuk melakukan komunikasi di antara para pesaing dalam supply agreement diperlukan dalam tujuan bisnis, dalam proses bisnis melakukan pertukaran informasi adalah diperbolehkan.26 Penulis sependapat dengan MA bahwa tidak ada klausul mengenai pengaturan jumlah produksi karena klausul mengenai informasi pemesanan bahan baku bukanlah klausul mengenai pengaturan jumlah produksi. Penulis sepakat dengan pendapat MA bahwa unsur ini tidak terpenuhi dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Tidak ada klausul mengenai pengaturan jumlah produksi antara PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica dalam supply agreement.

2. KPPU tidak memiliki bukti mengenai adanya komunikasi antara PT Pfizer Indonesia dengan PT Dexa Medica mengenai pengaturan jumlah produksi. 3. KPPU tidak memiliki bukti bahwa PT Pfizer Indonesia melakukan

produksi Novask berdasarkan informasi mengenai pemesanan bahan baku

Amlodipine Besylate dari PT Dexa Medica kepada Pfizer Overseas LLC.

KPPU tidak mampu menjelaskan bagaimana caranya mengubah informasi jumlah bahan baku amlodipine besylate yang dipesan menjadi informasi rencana jumlah obat yang diproduksi.

25 PN Jakarta Pusat, Putusan No: 05/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., hal. 376. 26 Mahkamah Agung, Op. Cit., hal. 394.

(12)

4. Jika ditinjau dari teori hukum persaingan usaha, maka dapat diketahui bahwa forecast kebutuhan bahan baku Amlodipine Besylate bukan merupakan informasi yang sensitif.27

5. Penggunaan bahan baku dan volume produksi PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia tidak berbanding lurus dengan jumlah obat yang diproduksi.

6. Perbandingan harga Tensivaks dan Norvask dengan harga produk obat yang mengandung zat aktif Amlodipine Besylate sesuai International Drug

Price Indicator Guide dengan metode MPR (Median Medicines Price Ratios) tidaklah tepat. Ahli ekonomi Sutrisno Iwantono, MA, Ph.D (Ketua

KPPU Periode 2000-2005) dalam pendapatnya mengatakan bahwa harga obat di Indonesia tidak dapat dibandingkan dengan harga obat di negara-negara lain.28

7. Tidak ada kesamaan kesamaan pola atau pergerakan harga antara Norvask dan Tensivask.

8. Kemudian data-data dari KPPU justru membuktikan tidak ada kartel karena (i) tidak ada kesamaan pola produksi antara Terlapor I/Pfizer Indonesia dengan PT Dexa Medica bahkan (ii) tidak ada kesamaan jumlah produksi antara PT Pfizer Indonesia dengan PT Dexa Medica. 9. Selain itu, parallel pricing sebagai bukti tidak langsung bukanlah alat

bukti yang sesuai dengan pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 10. Ahli Ekonomi Prof. Dr. Ine Minara menjelaskan bahwa adanya

kecenderungan pola harga yang sama diantara para produsen (price

parallelism) tidak serta merta menunjukan adanya kartel.29

27 Informasi yang sensitif dalam hubungan antarpesaing adalah antara lain harga jual

produk, baik harga jual sekarang (actual transaction prices, i.e, including individual discounts) maupun rencana harga jual (planned future price), biaya-biaya produksi, informasi yang detail tentang jumlah produk yang dijual, rencana bisnis, utilisasi kapasitas produksi. Pertukaran informasi tersebut antar pesaing, baik pesaing aktual maupun pesaing potensial, dapat menfasilitasi terjadinya kolusi. Praktek menfasilitasi kolusi (facilitating practices) adalah praktek-praktek usaha yang dapat membuat lebih mudah bagi pesaing untuk mencapai atau mempertahankan suatu perjanjian. Lihat OECD, „Policy Roundtables: Prosecute Cartels without Direct Evidence of

Agreement‟ (2006). Lihat pula Mats Bergman, „Introduction‟, dalam Swedish Competition

Authority, „The Pros and Cons of Information Sharing‟ (2006), http://www.konkurrensverket.se/upload/Filer/Trycksacker/Rapporter/Pros&Cons/rap

_pros_and_cons_information_sharing.pdf.

28 Mahkamah Agung, Ibid., hal. 157. 29 PN Jakarta Pusat,

(13)

11. Prof. Dr . Ningrum Nata Sirait S.H., MLI, dalam buku Prosiding Seminar Pemeriksaan atas Keputusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009, halaman 57 berpendapat bahwa Price parallelism atau uniform price atau persamaan harga tidak serta merta menunjukan adanya kesepakatan kartel diantara pelaku usaha pesaing.30

Terakhir, MA setuju dengan pendapat Judex Facti yang tidak menjelaskan mengenai unsur “Yang Dapat Mengakibatkan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat” karena Judex Facti menganggap bahwa supply

agreement antara Pfizer Overseas LLC dan PT Dexa Medica merupakan

perjanjian lisensi yang dikecualikan berdasarkan pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan supply agreement tersebut juga bukan perjanjian pengaturan produksi, sehingga MA memandang bahwa unsur “Yang Dapat Mengakibatkan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat” tidak perlu dipertimbangkan.31 KPPU juga tidak menjelaskan mengenai penjabaran mengenai pemenuhan unsur ini berdasarkan alat bukti dalam perkara ini. Dengan demikian penulis setuju dengan pertimbangan MA yang menilai bahwa unsur ini tidak terbukti.

Melihat penjabaran unsur-unsur diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa supply agreement tidak melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena tidak terbuktinya unsur perjanjian dengan pelaku usaha pesaing, unsur mempengaruhi harga melalui pengaturan produksi dan unsur mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

V. KESIMPULAN

1. Klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku dalam supply agreement terhadap pesaing baru akan dianggap merupakan praktek kartel dan melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jika terbukti memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Harus dibuktikan terlebih dahulu :

30 Mahkamah Agung,

Op. Cit., hal. 342.

31 PN Jakarta Pusat,

(14)

a) Unsur membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing: Ada atau tidak adanya dalam kesepakatan yang dibuat dan disepakati oleh para pesaing dalam supply agreement;

b) Unsur bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa: Ada atau tidaknya kesepakatan mengenai pengaturan jumlah produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa dalam supply agreement serta pengaruh dari kesepakatan tersebut terhadap harga. Informasi mengenai jumlah pemesanan bahan baku yang searah kepada pesaing bukanlah suatu pengaturan produksi;

c) Unsur mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat: Ada atau tidaknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akibat dari kesepakatan antar pesaing tersebut.

2. Klausul klausul keterbukaan informasi searah mengenai jumlah pemesanan bahan baku dalam perkara yang diadili melalui Putusan MA No. 294 K/Pdt.Sus/2012 bukanlah praktek kartel dan tidak memenuhi unsur-unsur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena :

a) Tidak ada perjanjian yang dibuat oleh PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica.

b) Tidak ada kesepakatan mengenai pengaturan jumlah produksi dan atau pemasaran produk Norvask dan Tenivaks yang dibuat oleh PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Informasi pemesanan bahan baku oleh PT Dexa Medica yang disampaikan kepada PT Pfizer Indonesia bukanlah suatu pengaturan produksi.

c) Parallel pricing yang digunakan oleh KPPU sebagai bukti tidak tidak langsung adanya harga yang terpengaruh akibat pengaturan produksi tidak serta merta menunjukan adanya kartel. Parallel

pricing sebagai bukti tidak langsung juga bukan merupakan alat

bukti yang sesuai dengan pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

(15)

d) Tidak ada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terjadi akibat PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia.

VI. SARAN

1. Meskipun patut dipertanyakan apa tujuan dari adanya klausul keterbukaan informasi mengenai pemesanan bahan baku terhadap pesaing dalam suatu supply agreement, KPPU tetap perlu untuk tetap menggunakan alat bukti langsung sesuai dengan yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk membuktikan bahwa klausul tersebut memenuhi unsur-unsur praktek kartel yang diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini mengingat bahwa sangat prematur untuk mengasumsikan dan menyatakan adanya pengaturan jumlah produksi dalam klausul keterbukaan informasi mengenai pemesanan bahan baku terhadap pesaing.

2. KPPU juga harus mempunyai bukti langsung mengenai adanya pertukaran informasi, komunikasi 2 arah, ataupun pertemuan antara pesaing untk membukitkan bahwa klausul keterbukaan informasi mengenai pemesanan bahan baku merupakan praktek kartel, mengingat berdasarkan pasal 36 huruf i Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999KPPU mempunyai kewenangan untuk mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan pemeriksaan. Kemudian sesuai pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.

VII. DAFTAR REFERENSI BUKU

(16)

Filstead, William J.. “Qualitative Method: A Needed Perspective in Evaluation Research” Dalam Qualitative and Quantitative Research in Evaluation

Research. London: Sage Publications, 1978.

Kovaleff, Theodore P. The Antitrust Impulse. Vol. 1. New York: M E Sharpe Inc, 1994.

Mamudji, Sri Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. 1. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005.\

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat. Cet. 3. Jakarta: Rajawali Press, 1990.

JURNAL

Rachbini, Didik J. “Cartel and Merger Control In Indonesia.” Jurnal Hukum Bisnis Volume 19 Mei-Juni, 2001.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No.

3817

Komis Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

SKRIPSI

Marina, Rondang “Kartel Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Pada Industri Semen Domestik yang Melibatkan Empat Perusahaan Multinasional).” Skripsi Universitas Indonesia. Depok 2009

(17)

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Agung No.294 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 28 Juni 2012 dalam kasus KPPU vs Pfizer Inc., PT Pfizer Indonesia, Pfizer Overseas LLC., Pfizer Global Trading, Pfizer Corporation Panama, PT Dexa Medica. Putusan KPPU No: 17/KPPU-I/2010 tanggal 27 September 2010 dalam kasus

KPPU vs Pfizer Inc., PT Pfizer Indonesia, Pfizer Overseas LLC., Pfizer Global Trading, Pfizer Corporation Panama, PT Dexa Medica.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 05/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst. 2010 tanggal 31 Agustus 2011 dalam kasus KPPU vs Pfizer Inc., PT Pfizer Indonesia, Pfizer Overseas LLC., Pfizer Global Trading, Pfizer Corporation Panama, PT Dexa Medica.

WEBSITE

Anggadha, Arry dan Oscar Ferri. “PT Pfizer Dukung Putusan MA Soal Kartel Obat”. http://us.m.news.viva.co.id/news/read/ 336672-pt-pfizer-dukung-putusan-ma-soal-kartel-obat. Diunduh 27 Februari 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak, Bapas Klas 1 Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kali tindakan yang

Judul : Analisa Kebijakan Perpajakan dalam Sektor Minyak dan Gas Bumi Yang Menyangkut Uplift Terhadap Perjanjian Kontrak Bagi Hasil Ditinjau dari Undang-undang Nomor

Penilaian stressor yang teridentifikasi pada hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien risiko bunuh diri diklasifikasikan dalam penilaian

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur larangan perjanjian, menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

Selain menampilkan sisi maskulin dari model iklan, masing-masing iklan juga menampilkan kriteria fisik model iklan yang dianggap mewakili standar pria di Jerman dan

1 Pengaturan independensi Bank Indonesia diatur didalam pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

Kepedulian terhadap perlindungan konsumen ini dapat pelaku usaha buktikan dalam perjanjian yang kebanyakan telah dibuat dalam bentuk standar atau disebut juga klausula

1 PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEMBERLAKUAN UANG