• Tidak ada hasil yang ditemukan

Husin, Surini Mangundihardjo, Endah Hartati. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Husin, Surini Mangundihardjo, Endah Hartati. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Hukum Perkawinan Orang Antara Yang Berbeda Agama Yang

Dilaksanakan Dengan Penetapan Pengadilan Oleh Pengadilan Negeri

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(Analisis Penetapan PN Surakarta NO. 112/Pdt.P/2008/Pn.Ska)

Husin, Surini Mangundihardjo, Endah Hartati

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

E-mail: husin2799@gmail.com

Abstrak

Pembauran budaya antar suku bangsa, kebudayaan agama, dan negara yang menyebabkan perubahan pandangan terutama pada ikatan antar individu seperti ikatan perkawinan antar orang yang berbeda agama. Perbedaan agama ini sebelumya tidak menjadi masalah hingga timbul pengaturan terbaru dalam hukum positif di Indonesia, yakni adanya definisi perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kemudian pada tahun 2006 keluar Undang-Undang Adminduk yang menyatakan perkawinan beda agama dapat dicatat berdasarkan penetapan pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan menganalisis Penetapan Pengadilan Negeri No. 112/Pdt.P/2008/PN.Ska yang akan dikaitkan dengan peraturan terkait seperti UU No.1 tahun 1974, UU No. 23 tahun 2006. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini ialah yuridis normatif dengan sumber data melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini bahwa UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan kemudian diubah menjadi UU No. 24 tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan saat ini yang dijadikan sebagai dasar permohonan perkawinan beda agama.

Kata Kunci: Perkawinan beda agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

PerkawinanUndang-Undang Administrasi Kependudukan

Legal Analysis Of People With Different Religion Marriage That Implemented By Determination Of The District Court Based On Act No. 1/1974 About Marriage

(Case Study: Determination Of The District Court Of Surakarta Number 112/Pdt.P/2008/Pn.Ska)

Abstract

The assimilation of cultures between ethnic, religious, cultural and country changes the views of individual especially for their relation such as different religion marriage. In the beginning there isn’t problem with the different of the religion, but after arising arrangement until recent positive law in Indonesia is a existence of the definition of marriage in article 1 of the law Number 1/ 1974 about Marriage that stating “marriage was born inner ties between a man with a woman as husband and wife with the aim of forming a family (of a household)

(2)

happy and eternal based on God”. Based on that, the writer will analyze the determination of District Court Number 112/Pdt.P/2008/PN.Ska will be associated with the regulations such as Act Number 1 of 1974, Act Number 23 of 2006. The methodology in this study use juridical normative with data source through the study of librarianship. The results of this research is that law Number 23 of 2006 about the Residency and Changed to Administration of Act No. 24-2013 about changes of Act Number 23 of 2006 about the Administration of the Population here, currently used to have the marriage of difference religious request.

Keywords: difference of religion, Marriage Law No. 1 of 1974 about Marriage, Population Administration laws.

Pendahuluan

Perkembangan zaman yang makin maju dan membuat manusia semakin maju dalam berbagai hal. Dari perkembangan zaman ini membuat manusia dapat saling berinteraksi secara mudah dan cepat. Hal ini tentunya, mempercepat pembauran budaya antar bangsa. Walaupun berbeda suku bangsa, kebudayaan agama, dan negara, mereka dapat saling mengenal dan melakukan hubungan sosial secara intensif dikarenakan adanya perkembangan zaman. Hubungan sosial yang terjadi dapat berupa hubungan perkawinan antara manusia yang memilki perbedaan suku, budaya, agama dan kewarganegaraan.

Di Indonesia Perkawinan beda agama yang dilangsungkan berdasarkan pasal 56 Undang-Undang 1/74 yang megatur perkawinan campuran memberikan peluang untuk melakukan perkawinan beda agama, di luar negeri Perkawinan beda dapat dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan. Akan tetapi, ada keharusan bagi pasangan yang menikah untuk melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan:

“Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”

Tujuan didaftarkannya perkawinan itu di kantor pencatatan perkawinan adalah agar perkawinan tersebut diakui oleh hukum Indonesia.

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah ditentukan pengertian perkawinan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan

(3)

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan perkawinan beda agama dahulu tidak dapat berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974.

Setelah berlakunya Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk) menyebutkan:

“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a) Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan

b) Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.”

Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-undang administrasi kependudukan Pasal 35 Huruf a:

“Yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.”

Jika dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka mustahil untuk melakukan perkawinan beda agama, maka yang dapat dilakukan adalah pilihan hukum yaitu salah satu

dari pasangan tersebut harus tunduk pada hukum dari salah satu calon pasangan tersebut.2

Pokok Permasalahan

1. Apakah pengaturan perkawinan beda agama dengan penetapan pengadilan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?

                                                                                                                         

1 Indonesia (1), Undang-Undang Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, LN Tahun 1974 Nomor 1 TLN RI Nomor 3019.

(4)

2. Apakah Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 112/Pdt.P/2008/PN.Ska yang

memerintahkan Kantor Catatan Sipil menikahkan pasangan beda agama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang perkawinan beda agama dengan penetapan pengadilan negeri dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang terjadi di Indonesia sudah sesuai atau belum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Untuk mengetahui apakah penetapan Pengadilan Negeri Surakarata Nomor: 112/Pdt.P/2008/PN.Ska yang memerintahkan kantor catatan sipil menikahkan pasangan beda agama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Metode Penelitian

Berdasarkan isi yang ada pada penulisan ini, pada dasarnya penulisan ini tergolong ke dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian kepustakaan-normatif dengan melakukan studi dokumen.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Dalam penelitian yuridis normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP 9/75, oUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, PP 37/2007.

Alat pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan studi kepustakaan dan dengan wawancara. Penulis menggunakan beberapa buku yang diantaranya karangan Prof. Subekti. Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan seorang narasumber, yakni seorang Kepala Kantor Catatan Sipil.

(5)

Tipologi Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan

frekuensi suatu gejala.3 Dalam penelitian ini penulis mengulas mengenai pengaturan,

permasalahan perkawinan orang yang berbeda agama yan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri.

Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini ialah bahwa perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan Penetapan Pengadilan. Pembauran budaya antar suku bangsa, kebudayaan agama, dan negara yang menyebabkan perubahan pandangan terutama pada ikatan antar individu seperti ikatan perkawinan antar orang yang berbeda agama. Perbedaan agama ini sebelumya tidak menjadi masalah hingga timbul pengaturan terbaru dalam hukum positif di Indonesia, yakni adanya definisi perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kemudian pada tahun 2006 keluar Undang-Undang Adminduk yang menyatakan perkawinan beda agama dapat dicatat berdasarkan penetapan pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan menganalisis Penetapan Pengadilan Negeri No. 112/Pdt.P/2008/PN.Ska yang akan dikaitkan dengan peraturan terkait seperti UU No.1 tahun 1974, UU No. 23 tahun 2006. Hasil dari penelitian ini bahwa UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan kemudian diubah menjadi UU No. 24 tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan saat ini yang dijadikan sebagai dasar permohonan perkawinan beda agama.

Pembahasan

Penulis tidak sependapat dengan apa yang ditetapkan oleh Pengadilan Surakarta mengabulkan Permohonan Pemohon untuk melakukan perkawinan beda agama dikantor kepala kantor catatan sipil. Dan memerintahkan pegawai pencatat perkawinan pada dinas kependudukan dan catatan sipil kota Surakarta untuk melangsungkan perkawinan sesuai yang diinginkan oleh para pemohon dikarenaka tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan penetapan ini hakim kembali ke KUH Perdata Pasal 26 dan 81 KUH perdata yaitu pencatatan sipil sebagai juru nikah.

                                                                                                                         

3 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Fakultas Hukum

(6)

Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 dikatakan bahwa perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Dalam hal ini perkawinan yang ada di Indonesia harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam kasus diatas pertimbangan hakim menyatakan bahwa hakim mengganggap bahwa syarat materil pada Pasal 6 dan 7 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu persetujuan orang tua sudah dipenuhi dan umur sudah cukup maka perkawinan dapat dilangsungkan perkawinan.

Dalam hal ini saya tidak setuju dengan pertimbangan hakim, karena Dalam undang-undang perkawinan sudah diatur tentang syarat tentang perkawinan dimana syarat-syarat tersebut adalah untuk sah suatu perkawinan, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalam pasal-pasalnya menentukan prasyarat-prasyarat tertentu.

Analisis penulis perkawinan yang dilaksanakan yang ada di dalam dan diluar negeri haruslah tunduk pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dapat menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan calon suami-isteri jika melangsungkan perkawinan bisa dianggap sah atau tidak. Jika perkawinan tidak memenuhi persyaratan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maka perkawinan bisa dianggap sah dan harus diperhatikan juga adalah tentang larangan perkawinan berdasarkan agama dimana hal ini diatur dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini sudah seharusnya hakim sudah pasti harus tidak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama, karena hakim harus menghormati agama, karena dalam agama pasangan yang menikah harus seiman.

Perkawinan menggunakan penetapan pengadilan tidak dapat dilaksanakan dihadapan kepala kantor catatan sipil dikarenakan kantor catatan sipil dalam melaksanakan tugas sebagai instansi yang mencatat tentang peristiwa penting tidak dapat begitu saja melaksanakan apa yang diminta oleh penduduk yang berada diwilayahnya, dalam hal perkawinan haruslah mengacu pada UU Perkawinan dan PP no 9/75 sebagai

(7)

pelaksananya. Dalam hal ini kantor catatan sipil mencatat perkawinan yg menggunakan penetapan pengadilan adalah yang ada dalam undang-undang perkawinan karena semua perkawinan hanya dapat dilaksanakan jika berdasarkan uu perkawinan. Di Kantor Catatan Sipil Depok ada yang memaksa maka kami akan konsultasi terlebih dahulu kepada pengadilan Depok untuk bagaimana pelaksanaan perkawinnannya karena dalam peraturan pelaksana UU Adminduk tidak dijelaskan tentang perkawinan beda agama yang ada hanya perkawinan tentang penghayat kepercayaan. Kepala pencatatan sipil daerah Depok tidak akan melaksanakan perkawinan beda agama berdasarkan UU Adminduk karena tidak ada tata cara pelaksanannya dan cara pencatatannya. Dalam hal praktek sehari-hari para pegawai pencatatan sipil dalam melakasanakan tugas mengacu pada Peraturan

Presiden Nomor 25 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran

Penduduk Dan Pencatatan Sipil, dalam Perpres ini memang ada kewajiban kepala kantor catatan sipil untuk melaksanakan penetapan pengadilan tentang perkawinan, kepala kantor catatan sipil tidak akan melaksanakan suatu penetapan pengadilan jika bertentangan dengan undang-undang. Dalam kasus perkawinan beda agama memang tidak dapat dilaksanakan karena Undang-Undang adminduk hanya menjelaskan peristiwa penting yang terjadi dimasyarakat, peristiwa penting tersebut salah satunya adalah perkawinan, sedangkan tata cara perkawinan itu diatur dalam Undang-Undang perkawinan. Undang-undang perkawinan adalah undang-undang yang khusus mengatur perkawinan di Indonesia, sedangkan undang-undang adminduk hanya undang-undang yang mengambarkan peristiwa penting pada umumnya yang terjadi di masyarakat. Dalam hukum dikenal dengan asas hukum Lex Specialist Derogat Legi Generalis yang artinya peraturan yang lebih khusus diutamakan dari pada peraturan yang lebih umum. Jadi tidak mungkin kami melakukan dimana sudah jelas peraturan yang mengatur tentang perkawinan bahwa perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan kerana perkawinan itu dikembalikan kepada agamanya masing-masing, sedangkan dalam agama yang diakui di Indonesia selama saya menjabat dan pengalaman saya tidak ada satupun yang mengatakan perkawinan beda agama dapat dilakukan karena jika dilakukan akan menimbulkan berbagai masalah yang merupakan akibat dari perkawinan beda agama

tersebut.4

                                                                                                                         

4 Wawancara dengan Bapak Suhadi, S. Sos, M.H, Kepala Bidang Pencatatan Sipil Dinas Kependudukan

(8)

Suatu perkawinan harus terlebih dahulu didaftarkan kekantor catatan sipil sebelum dilangsungkan menurut agama sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Kitab Udang-Undang Hukum Perdata Indonesia, karena perkawinan secara agama dapat dilangsungkan jika sudah dilaksanakan perkawinan dihadapan kepala kantor catatan sipil. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana yang beragama Islam harus mendaftarkan perkawinannya ke KUA KEC dan setelah didaftarkan maka pelaksanaan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai KUA KEC sedangkan yang beragama lainnya dikantor catatan sipil.

Menurut penulis dalam kasus diatas yang menggunakan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) sudah tidak dapat dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim karena kedudukan dari Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) sudah tidak dapat dipakai sebagai pertimbangan hukum hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri mengenai perkawinan beda agama Nomor: 112/Pdt.P/2008/PN.Ska, hal ini karena kedudukannya dan keberlakuannya sudah tidak berlaku, karena pada masa penjajahan Belanda untuk masyarakat asli pribumi tidak berlaku hukum Eropa, yang berlaku adalah hukum adat. Sedangkan yang diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling

Op De Gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) adalah orang yang yang tunduk pada

hukum Eropa dan berlaku hukum Eropa untuk dirinya.

Pada zaman sekarang sesudah kemerdekaan hukum Belanda memang masih berlaku seperti diatur dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi: Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Dalam hal ini harus dilihat dulu apakah hukum Eropa berlaku atau tidak pada warga Indonesia asli.

Pada zaman penjajahan Belanda masalah keperdataan diatur dalam KUH Perdata

(Burgerlijk Wetbook), tetapi KUH Perdata tidak semua berlaku untuk semua golongan

warga negara yang ada di Indonesia, keberlakuan KUH Perdata diatur pada mulanya dengan peraturan dalam Staatsblad 1855 nomor 79 Hukum Perdata (BW dan WvK) dengan pengecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur asing (Arab, India, dll). Pada tahun 1917 dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang golongan Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, karena untuk golongan

(9)

Tionghoa dianggapnya hukum Eropa yang diperlakukan terhadap mereka itu dapat

diperluas lagi.5

Untuk golongan Tionghoa lalu dibuat peraturan tersendiri yaitu Staatsblad tahun 1917 no. 129, dalam peraturan ini hukum Privat Eropa berlaku seluruhnya bagi golongan Tionghoa kecuali pasal-pasal mengenai Burgerlijk Stand, upacara-upacara sebelum berlangsumg pernikahan (bagian 2 dan 3 dari Title 4 Buku I BW) dan bagi orang

Tionghoa diadakan suatu Burgerlijk Stand tersendiri.6

Bagi golongan Timur Asing lainnya (Arab, India, dll) diadakan peraturan tersendiri, dalam ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 no. 556 yang menerangkan bahwa hukum Eropa berlaku bagi mereka kecuali hukum kekeluargaan dan hukum waris, bagian pembuatan wasiat (testament) tetap berlaku bagi mereka. Jadi untuk masalah perdata bagi golongan Tionghoa dan Timur Asing berlaku hukum Eropa tetapi tidak

semuanya berlaku.7

Jadi jika ada warga asli Indonesia yang ingin melakukan perkawinan beda agam harus tunduk dulu kepada hukum Eropa. Untuk warga asli Indonesia yang ingin menikah yang berbeda agama yang beragama Nasrani menggunakan HOCI, sedangkan HOCI sendiri kedudukannya sudah dicabut oleh Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dalam pasal 106.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal adanya golongan-golongan warga

negara, adanya hukum yang berlainan dianggap janggal.8 Sedangkan dalam

Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 106 penggolongan penduduk yang ada di Indonesia telah dicabut.

Menurut penulis bahwa pertimbangan hakim tidak tepat karena Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) sudah tidak                                                                                                                          

5  Subekti,  Loc.,cit.   6  Ibid.  

7  Ibid.   8  Ibid.  

(10)

relevan karena dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde

Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) Pasal 2 berbunyi Istri yang melakukan perkawinan

campuran, selama dalam perkawinannya mengikuti kedudukan suaminya dalam hukum publik dan hukum perdata. Dalam kasus ini si Istri adalah seorang Nasrani dan harus tunduk pada hukum suami yaitu Islam, sedangkan dalam Islam tidak dikenal yang namanya perkawinan beda agama. Hal ini merujuk pada perkawinan harus sesuai dengan agamanya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde

Huwelijke Stbl. 1898 No. 158) otomatis tidak belaku karena Pasal 2 GHR menyebutkan

istri ikut hukum suami, mau agama apapun istrinya di dalam agama manapun yang ada di Indonesia tidak menghendakinya perkawinan beda agama.

Dalam kasus ini pemohon menggunakan Pasal 35 dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan karena udang-undang ini tidak ada hubungannya dengan ritual perkawinan berdasarkan UU no. 1 tahun 1974. dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Kependudukan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan hanya mengatur tentang pencatatan sipil yaitu tentang pencatatan peristiwa penting bukan tentang perkawinan karena sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang-pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Jadi sudah pasti perkawinan tidak dapat terlepas dari agama dalam pelaksanannya. Sehingga Pasal 35 Undang-undang Administrasi kependudukan tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum perkawinan agama karena undang-undang Administrasi kependudukan hanya mengatur tentang pencatatan peristiwa

(11)

penting yang terjadi di masyarakat dan tidak ada hubungannya dengan tata cara perkawinan menurut UU no. 1 tahun 1974.

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat penulis dari uraian dalam bab-bab sebelumnya adalah:

1. Pengaturan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tentang perkawinan beda agama memang tidak diatur. Karena perkawinan dapat dilangsungkan dikembalikan kepada agama, sehingga perkawinan dapat dilangsungkan. Sebelum perkawinan dilangsungkan ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah larangan perkawinan dalam pasal 8 huruf f Undang- Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dapat dilangsungkan jika agama atau peraturan lain mengijinkan, jadi perkawinan tidak hanya memperhatikan syarat materiiel dan syarat formil, tetapi juga pada larangan perkawinan yang sangat harus diperhatikan, karena jika agama dari para calon mempelai tidak mengijinkan maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara beda agama.

2. Perkawinan beda agama menggunakan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta No. 112/Pdt.P/2008/PN/Ska yang memerintahkan Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan pasangan beda agama tidak dapat dilaksanakan karena, perkawinan harus mengacu kepada undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dimana perkawinan yang sah harus dilangsungkan berdasarkan tata cara agama dan kepercayaan. Jadi bila ada pasangan yang ingin tetap menikah dia yang berbeda agama harus melakukan pilihan hukum, hukum mana yang berlaku untuk pelangsungan perkawinan atas pasangan tersebut karena perkawinan campuran yang ada saat ini adalah beda hukum yang berlaku dikarenakan beda kewarganegaraan.

Saran

Saran-saran yang dapat penulis ungkapkan dalam masalah perkawinan beda agama dengan penetapan pengadilan negeri antara lain:

(12)

1. Pada prinsipnya semua agama di Indonesia tidak menghendaki perkawinan beda agama. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, menurut penulis sebaiknya perkawinan beda agama tidak dilakukan karena memang tidak dapat dilaksanakan dengan adanya larangan perkawinan berdasarkan agama.

2. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara haruslah cermat dalam memutus suatu perkara karena hakim dalam memutus perkara harus teliti dalam memberikan pertimbangan. Hakim hendaknya menguasai peraturan perundang-undangan sehingga mengetahui apakah suatu peraturan masih dapat digunakan atau tidak dikarenakan sudah ada hal yang berkaitan dengan peraturan tersebut yang menyebabkan peraturan tersebut menjadi tidak dapat dipakai lagi.

Daftar Pustaka Buku:

Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Rizkita. 2008.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di

Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2004.

Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut Hukum

Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam). Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010.

Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: C.V Zahir Trading. 1975.

Ichsan, Achmad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam Suatu Tinjauan Dan

Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 1986.

Kansil, CST dan Christine SF Kansil. Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia

Jilid I Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka. cet-12. 2002.

Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. hukum perdata

(13)

Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Jakarta Kencana. 2005.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.

Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang. Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 1991.

Soekanto, Soerjono. Penghantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS. 2007.

Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan

Perdata. cet.1. Jakarta: Gitama Jaya. 2005.

Sugondo, Sulistyowati. Indonesian Civil Registration Case Studies: Analysis &

Recommendations. Jakarta: GTZ, GG PAS. Konsorsium Catatan Sipil. 2006.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. cet. 5. Jakarta: UI Press. 1986.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. cet.2. Jakarta: Universitas Indonesia. 1986.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia. Undang-Undang Tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. LN Tahun 1974 Nomor 1 TLN RI Nomor 4674. Yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN Tahun 1974 Nomor 1 TLN RI Nomor 3019.

Indonesia. Undang-Undang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak Dan Rujuk.

Indonesia (3). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 2007 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. PP No.

(14)

Indonesia (3). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975.

LN Tahun 1975 nomor 12.

Indonesia. Perpres Pencatatan Sipil. Peraturan Presiden Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Prasayarat Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil.

INTERNET:

http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan. Diunduh pada 16 April 2014.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ff5a7dfb11ca/negara-negara-yang-membolehkan-kawin-beda-agama. Diunduh pda tanggal 17 Januari 2014.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt528d75a6252d7/masalah-pencatatan-perkawinan-beda-agama. Diunduh pada 16 April 2014.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21475/pencatatan-perkawinan-penghayat-kepercayaan-masih-terkendala. Diunduh pada tanggal 11 Juni 2014.

http://unstats.un.org/ Diunduh pada tanggal 11 Juni 2014

WAWANCARA:

Wawancara dengan Pak Suhadi, S. Sos, MH, Kepala Bidang Pencatatan Sipil Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Depok, pada tanggal 21 April 2014.

SKRIPSI

Shahrana Oliviani. Perkawinan Penghayat Kepercayaan Berdasarkan Peraturan

Perundang-Undangan Di Indonesia (Tinjauan Terhadap Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan). Skripsi: Sarjana Hukum Universitas

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila mengacu kepada Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor l Tahun l974 tentang Perkawinan, jelas bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan disesuaikan

Dengan adanya Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda anak yang dilahirkan akibat pembatalan perkawinan tersebut tetap mempunyai hubungan hukum

c. Konsultasi Publik rencana pembangunan yang dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak. Kesepakatan lalu dituangkan

Selanjutnya dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengungkapkan bahwa Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau

Sewaktu berbicara tentang larangan perkawinan, pasal 8 huruf “f” UU no mor 1 tahun 1974 yang menyatakan “yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

RA binti Haji GZ (kakak perempuan tertua pewaris) yang seharusnya ikut menjadi ahli waris tetapi tidak dicantumkan dalam penetapan, karena para pihak pemohon

Dengan tambahan frasa “selama dalam ikatan perkawinan” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dikombinasikan dengan tambahan frasa “kecuali ditentukan lain dalam

Menurut Swastika, terdapat enam strategi untuk menghadapi permasalahan di sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani, diantaranya adalah (1) meningkatkan