SOEKARWO,
Pelaksana Tugas yang Sarat Pertimbangan
“ ... Kehidupan agraris yang saling membutuhkan itu sangatsangat mendasari pemikiran saya, hingga saya terfikir saling membantu. Gotong royong itu menjadi teknis yang bagus ... “
Kalimat di atas tidak lain adalah penuturan Soekarwo yang sedikit banyak merefleksikan pemikiran dan karakter personalnya. Lahir di Madiun 58 tahun yang lalu, pria yang sehari‐harinya lebih akrab dipanggil Pakde Karwo ini memiliki pembawaan yang tenang dan murah senyum.
Ayah dari tiga orang anak ini dibesarkan dalam keluarga petani, sehingga kultur kehidupan pertanian diakuinya banyak mempengaruhi pemikiran‐ pemikirannya selama ini. Kedua orangtuanya adalah petani di daerah Palur, Kebonsari, Madiun. Seperti halnya anak desa yang lain, sejak kecil Soekarwo sudah terbiasa dengan pola hidup kekerabatan yang kental dengan serangkaian aktivitas bercocok tanam. Ungkapnya, “... Saya tahu betul tentang bagaimana menanam padi dan bagaimana tebu itu, juga waktunya panen ...”. Bersama teman‐teman dan tetangganya, ia saling membantu menyelesaikan pekerjaan‐ pekerjaan di lingkungan tempat tinggalnya secara gotong royong.
Soekarwo tampak begitu menikmati ketika menuturkan pengalaman di masa kecilnya. Ia menunjukkan ketertarikan terhadap pembicaraan‐ pembicaraan seputar kehidupan masyarakat tradisional yang mengedepankan kebersamaan dan saling bantu satu sama lain. Relasi antar individu di dalamnya diistilahkan oleh Soekarwo sebagai suatu kondisi yang sangat ”cair”. Kondisi ini menarik baginya karena relasi di lingkungan masyarakat agraris dapat terjalin dalam suasana yang penuh kekeluargaan, spontanitas, dan setiap orang dapat saling bekerjasama untuk melakukan berbagai aktivitas. Ia merasa terkesan ketika norma‐norma pada masyarakat tersebut dapat melekat kuat dan berlaku secara konsisten jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat modern. Menurutnya, “... Orang patuh pada normanorma, jadi kecenderungan
masyarakatmasyarakat agraris itu norma itu menjadi lebih kuat ...”. Dalam pandangan Soekarwo, hal tersebut membawa dampak yang positif karena ketenangan dan keteraturan hidup di masyarakat menjadi lebih terjaga.
Pola kehidupan agraris yang normatif ini begitu melekat dalam pribadi Soekarwo. Ia pun tumbuh menjadi seorang yang konservatif, menjunjung tinggi tradisi, menjaga nilai‐nilai kebersamaan seperti yang telah dipelajarinya, dan berusaha untuk memenuhi setiap peran, baik dalam lingkungan kerja, keluarga, pertemanan maupun masyarakat yang lebih luas.
Di keluarganya, Soekarwo adalah seorang pemimpin yang menjadi teladan bagi ketiga anaknya. Didampingi oleh istri yang sekaligus sahabat tempatnya berbincang dan berbagi ketika menghadapi persoalan, sebagai orangtua ia selalu mengupayakan agar segala urusan dan kepentingan keluarga dapat berjalan dengan lancar. Ia berusaha menyeimbangkan perhatiannya antara urusan pekerjaan dan rumah tangga, serta membangun komunikasi yang terbuka dengan mengajak anak‐anaknya berdiskusi dan sesekali terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga.
Kepatuhan Terhadap Aturan
Pengalaman masa kecil dan seluruh perjalanan hidupnya telah mengajarkan Soekarwo untuk menjaga keteraturan, kestabilan, dan memiliki orientasi bekerja berdasarkan ketentuan yang jelas. Ia memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap sebuah tanggung jawab. Dalam setiap aktivitasnya, ia akan memfokuskan seluruh perhatian dan tenaga agar tugas‐tugas dapat terselesaikan dengan sebaik mungkin, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Baginya, sebuah ketentuan, baik yang dibuat berdasarkan kesepakatan maupun yang diterapkan secara turun‐temurun memiliki arti yang sangat penting untuk menjaga agar berbagai hal dapat berjalan dengan lebih baik. Dengan kata lain, ia berpandangan bahwa norma‐norma dan peraturan berlaku mutlak dan harus dipatuhi. Sehingga baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang‐orang yang ada di sekitarnya, ia akan mengupayakan agar semua dapat berproses mengikuti aturan.
Ia mengutarakan bahwa terhadap sebuah peraturan, dirinya adalah seorang yang tertib, “... Karena saya tertib... kalau ndak tertib... malu saya..”. Pernyataan tersebut menyiratkan kesan bahwa ketertiban dan konsistensi menjalankan norma bukan hanya sebuah kewajiban, namun juga telah menjadi kebutuhan. Pada kalimat yang lain, terhadap sebuah keputusan ia mengatakan, “... Kalau (sesuatu) sudah kita putuskan, marilah kita taati keputusan ...”.
Dalam kepemimpinan, ia lebih fokus terhadap isu atau persoalan yang telah direncanakan. Slogan “APBD untuk rakyat” menyatakan ketegasan fokusnya itu. Ada tersirat keinginan menjadi pelaksana dari APBD, sesuatu yang telah dianalisis, dirancang, dibahas dan ditetapkan menjadi suatu aturan. Segenap waktu dan energi akan dikerahkan untuk mencapai indikator‐indikator keberhasilan. Fokus pada rencana membuat dirinya butuh penyampai pesan mengenai apa yang terjadi di lapangan. Tanpa itu, ia akan terlambat memberikan respon yang sesuai dengan keadaan lapangan.
Pola kerja yang terencana
Sisi positif dari kepatuhan terhadap aturan adalah sikap kerja yang disiplin dan terencana. Namun di sisi lain, karakter ini juga akan membuat individu menjadi kurang fleksibel dan cenderung resisten terhadap perubahan. Tidak mudah baginya menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang berbeda‐beda. Tidak mudah pula baginya untuk bekerja dengan cara‐cara yang tidak biasa. Ia juga akan terganggu ketika ada orang‐orang yang bekerja tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Taat terhadap aturan, berarti pula taat terhadap prosedur. Untuk dapat bekerja dengan langkah‐langkah yang sesuai prosedur, ia akan berusaha membuat perencanaan secara logis dan sistematis. Dalam penggunaan sumberdaya yang dimiliki pun harus pula terencana. Untuk menggunakan dana misalnya, harus tepat dan didasarkan atas perhitungan serta tujuan yang jelas, yang disusun beberapa waktu sebelumnya. Terkait dengan kebutuhannya akan data faktual, ia juga akan mengumpulkan data‐data riil yang akan digunakannya sebagai pertimbangan atau dasar mengambil keputusan. Seperti yang
dikemukakannya, “Kalau saya...agak sulit berbicara kalau itu tanpa data yang jelas. Karena menurut saya,...eee...bagaimana (bisa) membuat konklusi yang premisnya tidak jelas...”.
Seorang yang mementingkan fakta sebagaimana Soekarwo tidak akan mudah mempercayai informasi yang diterimanya. Ia juga akan selalu belajar dari pengalaman hidup, yakni hal nyata yang benar‐benar dialami dan dirasakannya. Pengalaman bagi Soekarwo adalah sumber inspirasi dan pelajaran yang sangat berguna untuk mengatasi setiap kesulitan. Sebagai contoh, ia mengakui bahwa dalam kehidupannya, berbagai langkah yang telah diambil lebih banyak didasari oleh proses belajar serta pengalamannya saat berinteraksi secara langsung dengan orang lain, dan bukan dengan cara mencari inspirasi dari tokoh‐tokoh tertentu.
Karakter Soekarwo yang patuh terhadap aturan dan norma, selalu memperhitungkan data‐data faktual serta pengalaman yang benar‐benar dirasakannya, akan membuatnya penuh pertimbangan dalam mengambil setiap keputusan. Ia memilah data dan mengolah informasi secara jeli, merancang langkah demi langkah prosedur kerja dengan memikirkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, sebelum akhirnya benar‐benar memutuskan. Dapat dibayangkan bahwa proses yang dilakukannya tidaklah singkat. Jika sebuah persoalan datang dan menuntut Soekarwo untuk menyelesaikan dalam waktu yang tidak mendesak, maka ia akan menyelesaikannya dengan sangat baik karena segala pikiran, perhatian, dan kemampuan akan dikerahkannya dalam membuat pertimbangan dan memutuskan pilihan solusi yang terbaik. Namun terhadap persoalan atau tugas‐tugas yang menuntut tindakan cepat, ia akan cenderung kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Dengan latar belakang dan karakternya yang patuh terhadap norma, sosok Soekarwo adalah seorang pekerja keras yang mengedepankan tanggung jawab. Ia memiliki kemampuan yang terlatih dalam menerjemahkan instruksi tugas, mengorganisasikan, merencanakan langkah‐langkah pelaksanaannya serta mengimplementasikan secara terstruktur. Ia melakukan tahap demi tahap hingga tuntas, setelah itu baru menangani kegiatan yang lain.
Untuk memperlancar proses tersebut, ia telah terbiasa berpikir fungsional dengan menempatkan individu‐individu sesuai dengan kapasitasnya masing‐masing. Hal ini karena ia meyakini bahwa seorang yang profesional tidak akan menjadi ahli di setiap bidang. Mereka bukan orang yang tahu banyak hal namun hanya permukaannya saja, melainkan justru memfokuskan perhatian pada bidang tertentu dan mengkajinya secara mendalam. Ia mengatakan, “... Orang hebat itu fungsional, tidak bisa segalanya ...”.
Soekarwo mengaku memiliki sejumlah teman dengan kompetensi yang berbeda‐beda. Ia memiliki relasi dengan banyak orang dari berbagai lingkungan dan komunitas. Di sisi lain, ia tahu betul kelemahan maupun kelebihannya dan memahami segala sesuatu yang mampu dan tidak mampu dilaksanakannya seorang diri. Dengan kemampuannya menganalisis situasi, relasi serta sumberdaya yang dimiliki, pada saat dibutuhkan, ia akan memfungsikan pertemanannya untuk membantu menyusun strategi sampai dengan menyelesaikan tugas. Seperti yang disampaikannya, ketika ia membutuhkan teman untuk diskusi, ia akan memilih teman yang akan dihubunginya sesuai dengan tema pembicaraan atau persoalan yang sedang dihadapi, apakah itu tentang ilmu pengetahuan, politik, ataupun bidang‐bidang yang lain.
Mengajak dengan Halus
Diwarnai oleh karakternya yang normatif, Soekarwo sangat mempertimbangkan etika ketika berbicara. Pola interaksinya di lingkungan terbilang santun, dan terkesan hati‐hati Setiap pembicaraan selalu dikemasnya dalam bahasa yang tertata. Hal ini dilakukan karena ia ingin selalu menghargai lawan bicara dan menempatkan mereka sedemikian rupa agar merasa nyaman ketika berinteraksi dengannya. Sebaliknya, terhadap orang lain pun ia juga mengharapkan hal yang serupa. Ia tidak menyukai gaya bicara yang ekspresif dan blak‐blakan, yang terkesan vulgar dimatanya. Misalnya ketika mendengarkan orang berpidato atau berceramah, ia tidak menyukai bahasa‐ bahasa yang menggurui, terlebih apabila ada nada emosi didalamnya. Ia lebih
suka dengan pidato dan ceramah yang bersifat mengajak, halus, datar, dan tetap menghargai orang lain.
Namun demikian, ia cukup menyadari bahwa tidak selamanya ia berhasil dalam menyampaikan ide atau gagasan kepada pihak‐pihak tertentu. Ketika hal ini terjadi, relasi pertemanannya yang fungsional sedikit banyak akan berperan dalam membuka jalan. Ia akan menempatkan orang‐orang yang tepat sebagai penyambung lidah, sehingga pendapatnya tetap dapat tersampaikan.
Soekarwo tidak nyaman dengan adanya perselisihan. Baginya, itu merupakan hal yang tidak berguna. Hanya dengan stabilitas maka tugas akan terselesaikan. Awalnya, ia akan cenderung menghindari konflik secara terbuka. Ia memilih memikirkan semua kemungkinan secara mendalam. Apabila tidak dapat menghindar, ia akan menggunakan aturan dan norma sebagai landasan berargumentasi dan langkah mencapai stabilitas. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan orang‐orang yang dipercayai untuk meyakinkan mereka yang berselisih.
Sang Pelaksana Tugas
Seluruh perjalanan hidup dan pengalaman telah membentuk pribadi dan kemampuan Soekarwo menjadi seorang pelaksana tugas yang terbilang handal. Segala tugas akan berusaha diselesaikannya dengan sebaik mungkin, sesuai prosedur dan target yang telah ditetapkan. Jika diperbolehkan untuk memilih, ia akan lebih sesuai dengan pekerjaan‐pekerjaan yang bersifat individual. Namun bukan berarti ia tidak dapat bekerja dalam tim. Ia tahu betul orang‐orang yang dapat membantu dan bekerja sama dengannya, serta memposisikan mereka secara strategis.
Soekarwo mampu mengkondisikan sebuah tim agar tetap solid. Kemampuan komunikasi dan relasi sosialnya cukup mendukung untuk membuat teman‐teman sekerjanya nyaman berinteraksi dengannya. Hal ini tentu saja dapat memberikan nilai positif bagi proses kerja tim. Sebuah tim yang kondusif akan lebih berpeluang mencapai hasil kerja yang lebih baik.
Dalam tim, ia akan berperan sebagai evaluator. Orang yang memantau kemajuan dan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan suatu program. Ia akan memberikan penghargaan atas kemajuan dan memberikan koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi. Efektivitasnya peran ini akan membuat tim berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai target. Di sisi lain, apabila peran itu tidak diimbangi dengan peren penjaga emosi tim akan membuat tim mudah tertekan dikejar target.
Akan tetapi proses tersebut akan berjalan dengan optimal jika ”aturan main”‐nya telah ditetapkan secara jelas. Soekarwo memang telah terbiasa menerima berbagai instruksi. Bukan hanya ketika ia bekerja di pemerintahan, namun lebih jauh sejak pembelajaran di masa kecilnya dahulu. Tanpa aturan berarti berjalan di malam gelap, berjaan tanpa arah yang jelas@.