•
625
SENGKETA TATA USAHA NEGARA
_ _ _ _ _ _ _ _ _ Oleh : Wicipto Setiadi, S.H. _ _ _ _ _ _ _ _
Sejak Indonesia menyatakan ke-merdekaannya, tanggal 17 Agustus
1945, sampai di penghujung tahun 1986, Indonesia belum mempunyai suatu wadah (lembaga) yang berdiri sendiri yang berwenang menyelesaikan dan memutus perkara di bidang admi-nistrasi negara (tata usaha negara).
Akhirnya, wadah (lembaga) yang telah lama dinanti-nantikan itu lahir juga dengan pengundangan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada tanggal 29 Desember 1986 dalam LN Nomor 77 Tahun 1986 dan TLN Nomor 3344. Kendati pun demikian, UU ini belum bisa diterapkan secara efektif karena masih menunggu peraturan pelaksana-annya, yang selambat-Iambatnya akan dibentuk 5 tahun sejak saat UU ini di-undangkan. Oleh karena itu, sambil menunggu peraturan pelaksanaan ter-sebut, penulis ingin memberikan
sedi-kit ulasan (gambaran) tentang PTUN kepada para pembaca.
PTUN merupakan lingkungan per-adilan baru yang pembentukannya me-merlukan perencanaan yang matang dari pemerintah, baik material maupun
personalnya. Oleh karena itu, pem-bentukan pengadilan di lingkungan PTUN tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap de-ngan mengingat kondisi keuade-ngan
ne-•
gara dan juga dengan memperhatikan bidang apa yang dianggap paling pen-ting dan perlu mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan terlebih dahulu.
Wewenang untuk menyelesaikan
•
dan memutus perkara: di bidang admi-nistrasi negara (TUN), sebelum berla-kunya UU Nomor 5 Tahun 1986, ma-sih ditangani dan dilakukan oleh ber-bagai macam lembaga yang masing-masing mempunyai batas kompetensi
tertentu dan menempuh prosedur pe-meriksaan yang berbeda-beda pula.
Pemberian wewenang tersebut, pa-da hakikatnya dipa-dasarkan papa-da per-aturan perundang-undangan di masa lampau dan meneruskan keadaan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda dahulu, dengan diadakan perubahan dan penambahan untuk menyesuaikan keadaan setelah merdeka ini.
Lembaga tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola atau sistem· pemeriksaan, yaitu: (I) pemeriksaan pekara TUN yang we-wenangnya diserahkan kepada pejabat/ . panitia/badan dalam lingkungan
ekse-kutif sendiri, misalnya perselisihan ten-tang pemberian izin an ling-kungan (hinderordonantiej, sewa-me-nyewa perumahan, badan sensor film dan sebagainya. Lazimnya, prosedur ini ditempuh melalui suatu upaya yang dikenaJ dengan istilah banding
admi-Desember 1987
626
nistratif (administratief beroep); (2) pemeriksaan perkara TUN yang wewe-nangnya diserahkan kepada badan yang berada di luar lingkungan
ekseku-tif, misalnya perselisihan ten tang per-pajakan diperiksa oleh Majelis
Pertim-bangan Pajak (MPP); (3) pemeriksaan perkara TUN yang wewenangnya dise-rahkan kepada badan yudikatif, yaitu pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, misalnya perselisihan tentang merk, pencabutan hak atas tanah, pa-jak-pajak tidak langsung, dan
sebagai-nya.
Apabila kita simak, sejak berlaku kern bali UU 1945 dengan Dekrit Pre-siden 5 Juli 1959, sebenarnya wadah (lembaga) yang dimaksudkan di atas
telah ada dasar hukumnya, yaitu da-lam UU Nomor 14 Tahun 1970 ten-tang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke-kuasaan Kehakiman, yang merupakan pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945. Pa-sal 10 UU Nemor 1970 ayat (1) sub
d menentukan , dengan jelasbahwa PTUN merupakan salah satu lingkung-an peradillingkung-an ylingkung-ang berdiri sendiri di
bawah kekuasaan Kehakiman, di sam-ping peradilan umum, peradilan
mili-ter dan peradilan agama_
Usaha ke arah perwujudan PTUN, yang sudah jelas dasar hukumnya itu, , menjadi semakin ptmting dengan di-cantumkannya dalam TAP MPR No-mer IV!MPR!1978 tentang GBHN,
Bab IV di bawah Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum, sub d.
Dengan diungkapkannya UU No-mor 5 Tahun 1986, maka lengkaplah unsur-unsur sebagai negara hukum,
ka-rena boleh dikatakan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai nega-ra hukum pasti terdapat suatu PTUN (peradilan administrasi negara). PTUN
,
Hukum dan Pemban6unan
pada hakikatnya merupakan salah satu sarana untuk menuju ke negara hukum yang sempurna. Untuk mencapai nega-ra hukum yang sempurna, diperlukan
waktu yang cukup lama, karena nega-ra hukum adalah suatu proses. Perwu-judan negara hukum itu seperti
revolu-si, yang berjalan secara bertahap.
Jika kita melihat pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada
dan juga berdasarkan pada keadaan dewasa ini, maka dapat dikatakan bah-wa negara RI sudah merupakan
ne-gara hukum (dalam arti luas). Sudah banyak peraturan perundang-undang-an yperundang-undang-ang memberikperundang-undang-an jaminperundang-undang-an pada para warga negaranya untuk menggu-nakan hak-haknya untuk mengajukan tuntutan di muka pengadilan bila hak-hak asasinya atau kebebasannya telah
dilanggar. .
Memang, dalam praktek masih se-ring terjadi penyelewengan-penyele-wengan yang dilakukan olj,h aparatur pemerintah, sehingga hak-hak yang te-lah ada pada setiap warga negara dan
dilindungi itu tidak dapat digunakan dan dibela sebagaimana mestinya. Ken-dati pun demikian, kenyataan itu hen-daknya jangan digunakan sebagai alas-an untuk meniadakalas-an negara hukum. Penyelewengan-penyelewengan
terse-, , '
bu t hendaknya harus dilihat sebagai suatu ekses yang samasekali bukan merupakan tujuan negara. Tujuan ne-gara adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan lahirnya PTUN, maka akan diperoleh keuntungan-keuntungan se-bagai berikut: (1) memperkokoh pastian hukum; (2) memperkokeh ke-percayaan rakyat terhadap administra-si; (3) memberikan suatu putusan yang lebih tepat berhubung dengan sifatnya
yang khusus; (4) membantu pemerin-tah dalam mengambil tindakan yang
cepat dan tepat; (5) lebih memuaskan
para pihak, karena yang menjadi
ha-kim adalah orang-orang yang
mempu-nyai pengetahuan dalam bidang yang
khusus; (6) memberi isi .pada negara
hukum kita yang masih dalam tahap perkembangan.
Objek Sengketa PTUN
Dalam gugat-menggugat, selalu ter-dapat dua pihak atau lebih, yang sa-ling bersehgketa. Dalam sengketa TUN
sekurang-kurangnya harus ada dua pi-hak yang bersengketa dan salah satu pihakharus badan atau pejabat TUN.
Di dalam negara hukum yang ber-dasarkan Pancasila, badan atau peja-bat TUN mengemban tugas yang sa-ngat luas, yaitu mewujudkan tata ke-hidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram dan tertib. Dalam
mengem-ban tugas yang demikian ini, ' badan
atau pejabat TUN diberi suatu
discre-tionaire
bevoegdheid,
yaitu suatuwe-wenang untuk memutuskan suatu
ma-salah tidak berdasarkan pada '
peratur-an perundperatur-ang-undperatur-angperatur-an atau hukum
yang berlaku, tetapi atas dasar
kebijak-sanaan at au pertimbangan-pertimbang-an tertentu. Sehubungpertimbangan-pertimbang-an dengpertimbangan-pertimbang-an itu,
tidak jarang terjadi badan atau pejabat
•
TUN tersebut melakukan tind<ikan-tindakan menyimpang yang melanggar hak dan kewajiban asasi manusia dan mengganggu keseimbangan antara
ke-pentingan individu dengan kepenting-an umum. Pendeknya, penyimpkepenting-angkepenting-an-
penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan
tindakan badan at au pejabat TUN yang melawan hukum dan
mengakibat-kan kerugian bagi yang terkena tindak-,
an tersebut.
•
• •
627
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah sebagai salah satu organ negara diberi tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat. Untuk itu, pemerintah diberiwewe-nang untuk melakukan perbuatan TUN yang dapat dikelompokkan
men-jadi tiga macam perb\latan, yaitu
(I)
mengeluarkan keputusan;
(2)
menge-luarkan peraturan; (3) melakukan
per-buatan materiil.
Dari ketiga macam perbuatan terse-but, yang menjadi kompetensi PTUN
terbatas hanya pada perbuatan yang.
pert-ama (mengeluarkan keputusan),
artinya keputusan y~ng dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN dapat •
dinilai oleh PTUN. Sedangkan perbuat-an yperbuat-ang ketiga (melakukperbuat-an perbuatperbuat-an materiil) tidak termasuk kompetensi PTUN. Kendati pun demikian, tidak
berarti perbuatan yang kedua dan ke-tiga tidak dapat dinilai oleh pengadil-an. Wewenang untuk menilai peratur-an yang dikeluarkan oleh badan at au pejabat TUN diserahkan kepada Mah-kamah Agung (vide UU No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentu,!-n
Po-kok Kekuasaan Kehakimanjo. UU No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), sedangkan wewenang untuk menilai perbuatan materiil yang
dila-kukan oleh badan atau pejabat TUN diserahkan kepada Peradilan Umum
(vide Pasal 1365 KUH Perdata). De-ngan demikian, semua perbuatan ba-dan atau pejabat TUN pada dasarnya dapat dinilai oleh pengadilan, kenti pun yang menilai kentidak termasuk
da-,
lam lingkungan PTUN.
Keputusan yang dapat menjadi ob-jek sengketa pun terbatas hanya pada
keputusan TUN tertulis yang
mempu-• •
nyai akibat hukum saja, artinya
628
tusan TUN secara lisan tidak termasuk
objek sengketa TUN . Hal ini
disebab-kan keputusan lisan itu sukar dijadidisebab-kan pegangan, sukar dibuktikan, lagi pula mudah disangkal oleh salah satu pihak jika timbul sengketa. Persyaratan ter-tulis terutama menunjuk pada isi, bu-kan pada bentuk keputusan yang
dike-"
luarkan oleh badan atau pejabat TUN. Persyaratan tertulis itu diharuskan
ha-nya untuk memudahkan segi pembuk-Han saja.
Putusan hakim dalam rangka tugas yudisial, yaitu memberikan suatu pu-tusan untuk menyelesaikan suatu per-kara, kendati pun tertulis tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN. Hal ini didasarkan pada pertimbangan-pertim-bangan bahwa (1) putusan hakim
bu-kanlah ketetapan dalam arti Hukum Tata Usaha Negara; (2) jika putusan hakim tersebut dirasa tidak memuas-kan para pihak, telah tersedia upaya hukum tertentu, yaitu banding, kasasi, dan peninjau kembali.
Menurut UU No. 5 Tahun 1986,
sengketa di bidang TUN yang timbul antara orang perorangan dengan badan atau pejabat TUN dapat diselesaikan
melalui dua jalur , yaitu jalur upaya
administratif dan jalur pengajuan gu-gatan ke PTUN.
Upaya Administratif
Upaya administratif adalah suatu upaya yang disediakan bagi sese orang atau badan hukum perdata untuk mengajukan keberatan atau
permohon-an kepada badpermohon-an atau pejabat TUN agar membatalkan atau mengubah
sua-tu kepusua-tusan yang telah dikeluarkan olehnya, dengan alasan keputusan itu
tidak sah atau tidak berdasar hukum.
•
Mengenai upaya administratif ini
Hukum dan Pembanl1unan
diatur dalam Pasal 48 UU No.5
Ta-hun 1986. Pasal 48 ayat (1)
menyata-kan bahwa: "Dalam hal suatu badan atau pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
per-undang-undangan untuk ·
menyelesai-kan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa TUN tersebut harus diselesaikan melalui upaya admi-nistratif yang tersedia".
Upaya administratif adalah peng-awasan yang dilakukan oleh organ di lingkungan pemerintah sendiri. Jadi, wewenang eksekutiflah yang
melaksa-nakannya, bukan wewenang badan yu-dikatif. Menurut penjelasan Pasal 48
ayat (1) UU No .. 5 Tahun 1986, upaya
administratif pada dasarnya dapat di-bedakan ke dalam dua golongan, yai-tu: (1) banding administratif, yaitu pe-nyelesaian sengketa TUN yang dilaku-kan oleh instansi atasan atau instansi
lain , yang mengeluarka~ keputusan
yang" bersangku tan. Contohnya,
kepu-tusan Badan Pertimbangan Kepegawai-an (BAPEK) berdasarkKepegawai-an pada Peratur-an Pemerintah No. 30 Tahun 1980
tentang" Peraturan Disiplin Pegawai
Ne-geri Sipil; (2) keberatan , yaitu penye
-lesaian sengketa TUN yang dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan yang
bersangkutan. Contohnya, Pasal 25
UU No.6 Tahun 1983 tentang Keten-tuan-ketentuan Umum Perpajakan.
Berbeda dengan prosedur yang di-tempuh dalam PTUN, maka dalam prosedur banding administratif atau keberatan dilakukan penilaian yang lengkap oleh instansi yang memutus sengketa, baik dari segi penerapan hukum maupun daTi segi
kebijaksana-annya . Sedangkan dalam PTUN, yang
pene-Sengketa Tata Usaha Negara
rapan hukumnya saja.
DaIam penyelesaian sengketa TUN, upaya administratif ini Iebih bersifat musyawarah untuk mencapai mufakat daripada Iangsung menggugat badan
atau. pejabat TUN yang terlalu bersifat
konfrontatif an tara rakyat dengan ba-dan atau pejabat TUN, yang sedapat mungkin harus dihindari sesuai de-ngan dasar falsafah negara kita, Pan-casila.
SeteIah seluruh upaya administra-tif yang teisedia teIah digunakan, te-tapi pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, balUlah ma-salah tersebut diajukan dan digugat melalui PTUN.
-Penyelesaian Melalui PTUN
PTUN melUpakan suatu
pengawas-an ypengawas-ang dilakspengawas-anakpengawas-an oleh orgpengawas-an eks
-tern, yaitu oleh suatu badan yang
ber-•
ada di bawah Kekuasaan Kehakiman yang terpisah dan berada di luar
wewe-nang badan eksekutif. Oleh karena itu,
dapatlah disimpulkan bahwa (1) PTUN
berada di bawah Kekuasaan Kehakim-art (badan yudikatif), bukan di dalam lingkungan badan eksekutif atau badan lain di Iuar ekseku tif yang bukan
ekse-kutif; (2) PTUN sebagai suatu
peng-adilan berpuncak pada Mahkamah Agung; (3) PTUN merupakan ling-kungan peradilan baru yang terpisah
dari Peradilan Umum , Peradilan
Mili-ter, dan Peradilan Agama, kendati pun
berada di satu Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan prinsip "keserasian
hu-bungan atas dasar asas _ kerukunan",
tidak berarti bahwa antara pemerintah dengan rakyatnya tidak mungkin
ter-jadi sengketa. Oleh karena itu , jalan
yang terbaik adalah mencegah adanya sengketa, karena mencegah sengketa
629 sesungguhnya Iebih baik daripada me-nyelesaikan sengketa, sebagaimana
pe-patah, mencegah penyakit adalah lebih baik daripada mengobatinya.
Betapapun segaIa upaya .untuk
mencegah timbuInya sengketa telah di-Iakukan, namun tetap terjadi sengketa juga, maka jalan penyelesaian yang
pertama dan utama adalahmelalui ja-Ian damai atau musyawarah untuk
,
mencapai mufakat.
Penyelesaian sengketa TUN secara damai adalah cara yang paling ideal
sesuai dengan dasar falsafah Pancasila;
Penyelesaian sengketa secara damai tic dak berarti meninggalkan prinsip-prin-sip dan aturan hukum yang berlaku, tetapi pihak yang bersengketa secara aktif mencari dan akhirnya menyadari prinsip dan ketentuan hukum yang
se-benarnya mengenai hal yang
disengke-takan . Dengan cara demikian tidak ada
istilah menang-kalah, tetapi saling pe-ngertian dan saling menyadari hakikat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelesaian melalui PTUN hendak-nya merupakan sarana terakhir (ulti-fIlum remedium), artinya tempuhlah
pertama-tama penyelesaian secara da-mai terlebih dahulu, setelah usaha
per-damaian tersebut ternyata tidak berha
-sil, barulah ditempuh jalan yang
tel'-akhir, yaitu penyelesaian sengketa
me-lalui PTUN .
Sesuai dengan fungsi PTUN, yaitu memberikan perlindungan kepada rak-yat, maka UU No.5 Tahun 1986
men-cantumkan berbagai ketentuan yang
memberikan kemudahan-kemudahan
bagi rakyat pencari keadilan. Kemu-dahan-kemudahan tersebut antara lain: (1) Pengadilan TUN berkedudukan di
tiap Kotamadya atau Kabupaten.
630
ngan demikian, kedudukannya lebih mudah djjangkau oleh rakyat pencari
keadilan (Pasal6 ayat 1);(2) bagi yang tidak pandai baca-tuIis, dalam mem-buat gugatannya dibantu oleh Panitera
•
Pengadilan (Penjelasan Pasal 53 ayat 1); (3) penggugat dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan TUN yang terdekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke peng-adilan yang berwenang mengadilinya (Pasal 54 ayat 3); (4) dalam hal
ter-tentu gugatan dimungkinkan untuk di-adili oleh pengadilan yang daerah hu-kumnya meliputi tempat kediaman
HUkum dan Pembangunan
penggugat (pasal 54 ayat 4); (5) bagi yang tidak mampu, diberi kesempatan untuk berperkara dengan cuma-cuma
(Pasal 60 ayat 1); (6) jika terdapat
ke-pentingan yang mendesak, Ketua peng-adilan dapat menentukan untuk dila-kukan pemeriksaan dengan car a cepat (Pasal 98 ayat 1).
Keberadaan PTUN diharapkan bisa menyelesaikan sengketa TUN yang ada di Indonesia secara tuntas, sehingga akan terciptalah aparatur pemerintah yang kita idam-idamkan bersama, yai-tu aparayai-tur pemerintah yang profesio-nal, bersih dan berwibawa .
•