• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN UNGGULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN UNGGULAN"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

i

Kode/Nama Rumpun Ilmu* : 134/Geofisika

Bidang Fokus** : Kebencanaan

LAPORAN KEMAJUAN

PENELITIAN UNGGULAN

JUDUL PENELITIAN:

Aplikasi Metode Moving Average (MA) dan Upward

Continuation Data Bouguer Anomali Gravity Untuk

Pemodelan 3D Daerah Resiko Gempa

Pulau Timor dan Flores

TIM PENGUSUL:

Dr.rer.nat. Eko Minarto

197502051999031004

Faridawati, M.Si.

198003302012122002

Prof. Bagus Jaya Santosa

196208021987011001

Yopiter Lukas Alexander Titi, M.Si.

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

SEPTEMBER 2020

(2)

ii IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

--- a. Judul Penelitian : Aplikasi Metode Moving Average (MA) dan Upward Continuation Data

Bouguer Anomali Gravity Untuk Pemodelan 3D Daerah Resiko Gempa Pulau Timor dan Flores

b. Tim Peneliti

No Nama Jabatan Bidang

Keahlian

Instansi asal Alokasi Waktu (jam/minggu) 1 Dr.rer.nat. Eko Minarto Ketua Geofisika ITS

2 Faridawati, MSi Anggota Optik

Instrumentasi ITS 3 Prof. Bagus Jaya S Anggota Geofisika ITS 3 Yopiter Lukas

Alexander Titi, S.Si., M.Si.

Anggota Geofisika Unimor

c. Objek Penelitian (jenis material yang akan diteliti dan segi penelitian): Data Gravity Lapangan Kepulauan Flores dan Timor

d. Masa Pelaksanaan

Mulai : bulan: April tahun: 2020 Berakhir : bulan: Desember tahun: 2020 e. Usulan Biaya DRPM Ditjen Penguatan Risbang

Tahun ke-1 : Rp 100.000.000

Tahun ke-2 : Rp ... Tahun ke-3 : Rp ...

f. Lokasi Penelitian (lab/studio/lapangan) Lapangan Kepulauan Flores dan Timor g. Instansi lain yang terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontribusinya)

……… ……… h. Temuan yang ditargetkan lulusan S-2 dan S-3

Lulusan s1, membantu pembiayaan mahasisa pasca sarjana S-3 Fisika.

i. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata, tekankan pada gagasan fundamental dan orisinal yang akan mendukung pengembangan iptek)

……… ……… ……… ……… j. Jurnal ilmiah yang menjadi sasaran untuk setiap mahasiswa peserta (tuliskan nama terbitan berkala ilmiah internasional bereputasi, nasional terakreditasi, atau nasional tidak terakreditasi dan tahun rencana publikasi)

……… ……… ……… k. Rencana luaran HKI, buku, purwarupa atau luaran lainnya yang ditargetkan, tahun rencana perolehan atau penyelesaiannya untuk setiap mahasiswa peserta (kalau ada) ……… ………

(3)

1 | P a g e

Daftar Isi

DAFTAR GAMBAR ... 4 DAFTAR TABEL ... 6 BAB I ... 7 RINGKASAN PENELITIAN... 7 BAB 2 ... 9 PENDAHULUAN ... 9 2.1. Latar Belakang... 9 2.2. Perumusan Masalah ... 11 2.3. Tujuan Penelitian ... 11 2.4. Batasan Masalah ... 11

2.5. Relevansi dan Manfaat Penelitian ... 12

2.6. Target Luaran ... 12

BAB 3 ... 14

TINJAUAN PUSTAKA ... 14

3.1. Litostratigrafi dan Geologi Pulau Timor ... 14

3.1.1. Batuan Dasar (Basement) ... 14

3.1.2. Sekuen Kekneno ... 15

3.1.3. Sekuen Kolbano... 16

3.1.4. Sekuen Viqueque ... 17

3.2. Batuan... 19

3.2.1. Batuan Beku (Igneus Rocks) ... 20

3.2.2. Batuan Sedimen (Sedimentary Rocks)... 21

3.2.3. Batuan Metamorf (Metamorphyc Rocks) ... 21

3.3. Prinsip Dasar Gravitasi ... 23

3.4. Anomali Gravitasi ... 26

3.5. Hubungan Antara Bidang Referensi Dengan Gravitasi ... 27

3.6. Gravitasi Teoritis ... 28

3.7. Reduksi Data Gravitasi ... 29

3.7.1. Koreksi Udara Bebas ... 30

3.7.2. Koreksi Atmosfer ... 31

3.7.3. Koreksi Topografi... 31

(4)

2 | P a g e

3.7.5. Koreksi Curvature... 33

3.8. Metode Kontinuasi Ke Atas (Upward Continuation)... 34

3.9. Continuous Wavelet Transform (CWT) ... 35

BAB 4 ... 37 METODE PENELITIAN ... 37 ... 37 4.1. Data Penelitian ... 37 4.2. Pengolahan Data ... 37 4.3. Interpretasi Data ... 38

4.4. Diagram Alir Penelitian ... 39

BAB 5 ... 40

HASIL PENGOLAHAN DAN DISKUSI ... 40

5.1. Peta Anomali Bouguer Lengkap ... 40

5.2. Proyeksi ke Bidang Datar ... 41

5.3. Pemisahan Anomali Regional dan Residual ... 42

5.4. Gradien Horisontal dan Gradien Tilt Anomali Regional ... 43

5.5. Pemodelan 3D Anomali Gravitasi ... 45

5.5.1. Pemodelan Anomali Regional ... 45

5.5.2. Pemodelan Anomali Residual... 59

5.6. Seismisitas Daerah Penelitian ... 69

5.7. Kesimpulan... 70

BAB 6 ... 72

ORGANISASI TIM, JADUAL, DAN ANGGARAN BIAYA ... 72

6.1. Organisasi Tim ... 72

6.2. Jadual Pe nelitian ... 73

6.3. Anggaran Biaya Penelitian... 74

BAB 7 ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 78

IDENTITAS DIRI PENELITI ... 82

1. Peneliti Utama... 82

1.1. Data Diri ... 82

1.2. Riwayat Pendidikan ... 82

1.3. Keanggotaan Asosiasi ... 83

(5)

3 | P a g e

1.5. Pengalaman Pelatihan/Workshop ... 84

1.6. Pengalaman Publikasi Penelitian... 85

1.7. Pengalaman Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ... 89

2. Asisten Peneliti... 90

2.1. Identitas Diri ... 90

2.2. Riwayat Pendidikan ... 90

(6)

4 | P a g e

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Road Map Laboratorium Geofisika Departemen Fisika Fakultas

Sains dan Analitika Data ITS 2019-2024...12

Gambar 3. 1. Peta struktur geologi pulau Timor (Charlton, 2001)... 19

Gambar 3. 2. Gaya tarik menarik antara dua partikel massa (Blakely, 1995) ... 24

Gambar 3. 3. Potensial gravitasi distribusi massa kontinu (Grant and West, 1965)... 25

Gambar 3. 4. Hubungan medan gravitasi dengan densitas permukaan (Grant and West, 1965) ... 26

Gambar 3. 5. Bidang referensi (Li and Gotze, 2001) ... 28

Gambar 3. 6. Koreksi udara bebas terhadap data gravitasi (Susilawati, 2005) ... 30

Gambar 4. 1. Diagram alir penelitian ...39

Gambar 5. 1. Peta Kontur Anomali Bouguer Lengkap Dalam Koordinat UTM di Bidang Topografi dengan Interval Kontur 20 mGal ... 40

Gambar 5. 2. Topografi Daerah Penelitian Dalam Koordinat UTM ... 40

Gambar 5. 3. Peta Kontur Anomali Bouguer Lengkap pada Bidang Datar h = 26.000 m 42 Gambar 5. 4. Peta Anomali Regional Hasil Kontinuasi ke Atas Pada Ketinggian 30.000 m ... 43

Gambar 5. 5. Peta Anomali Residual Hasil Kontinuasi ke Atas Pada Ketinggian 30.000 m ... 43

Gambar 5. 6. Gradien Horisontal dari Anomali Regional ... 44

Gambar 5. 7. Gradien Tilt dari Anomali Regional ... 44

Gambar 5. 8. Overlay Antara Peta Teknonik Lokasi Penelitian dengan Gradien Horisontal ... 45

Gambar 5. 9. Overlay Antara Peta Teknonik Lokasi Penelitian dengan Gradien Tilt ... 45

Gambar 5. 10. Model Awal Data Anomali Regional Pada Program Bloxer Berbasis GUI ... 46

Gambar 5. 11. Peta Kontur Hasil Read Data Anomali Regional Sebelum Inversi... 46

Gambar 5. 12. Hasil Optimasi Base Anomali Regional Pengukuran (a) & Perhitungan (b) ... 47

Gambar 5. 13. Hasil Optimasi Density Anomali Regional Pengukuran(a) & Perhitungan(b) ... 48

Gambar 5. 14. Hasil Optimasi Occam Density Anomali Regional Pengukuran dan Perhitungan ... 48

Gambar 5. 15. Hasil Optimasi Height Data Anomali Regional ... 49

Gambar 5. 16. Hasil Optimasi Occam Height Data Anomali Regional ... 49

Gambar 5. 17. Model 3D Bawah Permukaan Berdasarkan Pemodelan Anomali Regional ... 50

(7)

5 | P a g e

Gambar 5. 18. Model Lapisan Pertama Pada Kedalaman 0,0 - 5,54 km... 50

Gambar 5. 19. Model Lapisan Kedua Pada Kedalaman 5,54 - 11,44 km ... 51

Gambar 5. 20. Model Lapisan Ketiga Pada Kedalaman 11,44 - 17,72 km ... 51

Gambar 5. 21. Model Lapisan Keempat Pada Kedalaman 17,72 - 24,11 km ... 51

Gambar 5. 22. Model Lapisan Kelima Pada Kedalaman 24,11 - 30,48 km ... 51

Gambar 5. 23. Model Lapisan Keenam Pada Kedalaman 30,48 - 36,71 km ... 52

Gambar 5. 24. Model Lapisan Ketujuh Pada Kedalaman 36,71 - 42,79 km ... 52

Gambar 5. 25. Model Lapisan Kedelapan Pada Kedalaman 42,79 - 48,84 km... 52

Gambar 5. 26. Model Lapisan Kesembilan Pada Kedalaman 48,84 - 55,23 km... 53

Gambar 5. 27. Model Lapisan Kesepuluh Pada Kedalaman 55,23 - 60,0 km ... 53

Gambar 5. 28. Hasil Pemodelan Anomali Regional (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 68,98 km... 56

Gambar 5. 29. Hasil Pemodelan Anomali Regional (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 202,95 km ... 56

Gambar 5. 30. Hasil Pemodelan Anomali Regional (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 403,05 km ... 57

Gambar 5. 31. Hasil Pemodelan Anomali Regional (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 582,52 km ... 58

Gambar 5. 32. Hasil Pemodelan Anomali Regional (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang x untuk y = 9.152,59 km ... 58

Gambar 5. 33. Tampilan Model Awal Data Anomali Residual Program Bloxer Berbasis GUI ... 60

Gambar 5. 34. Peta Kontur Hasil Read Data Anomali Residual Sebelum Inversi ... 60

Gambar 5. 35. Hasil Optimasi Base Data Anomali Residual ... 61

Gambar 5. 36. Hasil Optimasi Density Data Anomali Residual ... 61

Gambar 5. 37. Hasil Optimasi Occam Density Data Anomali Residual ... 62

Gambar 5. 38. Hasil Optimasi Height Data Anomali Residual... 62

Gambar 5. 39. Hasil Optimasi Occam Height Data Anomali Residual ... 63

Gambar 5. 40. Hasil Pemodelan Anomali Residual (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 314,58 km ... 64

Gambar 5. 41. Hasil Pemodelan Anomali Residual (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 381,57 km ... 64

Gambar 5. 42. Hasil Pemodelan Anomali Residual (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 448,55 km ... 65

Gambar 5. 43. Hasil Pemodelan Anomali Residual (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang y untuk x = 470,88 km ... 66

Gambar 5. 44. Hasil Pemodelan Anomali Residual (a) Profil Sayatan (b) Model Sayatan Dalam Bentuk 3D (c) Penampang Melintang x untuk y = 9.025,57 km ... 69

Gambar 5. 45. Model 3D Bawah Permukaan Berdasarkan Pemodelan Anomali Residual ... 69

(8)

6 | P a g e

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Target output (keluaran) Penelitian ... 13

Tabel 3. 1. Jenis dan densitas batuan (Schon, 1996)... 22

Tabel 5. 1. Nilai Densitas, Kedalaman Blok, dan Densitas Rata-Rata Setiap Lapisan Model 3D Anomali Regional ... 53

Tabel 6. 1. Ketua dan Anggota Tim Peneliti... 72

Tabel 6. 2. Mahasiswa S1 yang terlibat... 72

Tabel 6. 3. Time Schedule Penelitian... 73

(9)

7 | P a g e

BAB I

RINGKASAN PENELITIAN

Pulau Flores dan Timor merupakan salah satu Pulau di Kepulauan Nusa Tenggara yang sering mengalami gempa karena memiliki struktur geologi yang sangat rumit dan menarik untuk diteliti. Dalam penelitian yang akan dilakukan, akan diterapkan metode gravitasi dengan teknik Moving Average dan Upward

Continuation untuk menginterpretasikan permukaan dangkal (shallow surface)

pulau Flores dan Timor untuk pemodelan 3D daerah resiko gempa di pulau Flores dan Timor. Pemanfaatan teknik continuous wavelet transform CWT dalam metode gravitasi dimaksudkan untuk mengurangi masalah non-uniqness dan faktor

ambiguity yang sering terjadi dalam analisis dan interpretasi medan potensial

gravitasi, karena mampu menyediakan model geometri, kedalaman, dan lokasi sumber anomali tanpa informasi apriori.

Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan data gravitasi sekunder dari Bureau Gravimetric International (BGI) yang disediakan website

http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi., dengan mengambil daerah seluruh

pulau Flores dan Timor yang sebelumnya telah diketahui batuan dasarnya dengan metode gravitasi pula. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif untuk memetakan anomali gravitasi pulau Flores dan Timor, memodelkan permukaan dangkal dengan teknik CWT, dan menginterpretasikan struktur permukaan berdasarkan anomali gravitasi.

Teknik CWT akan dilakukan saat menganalisis data anomali lokal untuk memperoleh model yang dapat diinterpretasi secara kualitatif dengan menggunaka n perangkat lunak Matlab, sedangkan interpretasi secara kuantitatif akan dilakukan dengan inversi menggunakan perangkat lunak Grav2DC dengan membuat model yang mengacu pada hasil CWT. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberika n informasi mengenai struktur permukaan dangkal pulau Flores dan Timor untuk

(10)

8 | P a g e

pemodelan 3D daerah resiko gempa di pulau Flores dan Timor yang diharapkan akan berguna bagi perkembangan ilmu geofisika dan berguna bagi penelit ia n selanjutnya.

Kata Kunci: metode gravitasi, teknik continuous wavelet transform (CWT), inversi, shallow surface, ambiguity.

(11)

9 | P a g e

BAB 2

PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang

Pulau Timor merupakan salah satu pulau di kepulauan Nusa Tenggara Timur yang terletak pada 123o25'-127o19' Bujur Timur 8o17'-10o22' Lintang Selatan

dan secara admisnistratif dikuasai oleh dua Negara yakni Timor Leste di wilayah timur, dan Indonesia di wilayah barat.

Daerah ini sebelumnya sudah seringkali diselidiki baik dari segi geologi maupun paleontologinya. Geologi maupun struktur geologinya sangat rumit dan hal ini menjadikan pulau tersebut menjadi obyek penelitian para ahli kebumian, baik dari dalam maupun luar negeri sejak 50 tahun terakhir.

Dalam Hamilton (1979) diperoleh informasi bahwa Pulau Timor diduga berada di atas pertemuan antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo Australia. Pulau Timor terbagi menjadi dua bagian mengikuti sumbu pulau yaitu sebagian besar pada sisi selatan termasuk dalam kerak benua Australia (continental crust), sedangkan pada bagian utara berada di atas kerak samudera (oceanic crust) yang termasuk dalam lempeng Eurasia.

Pulau Timor berada pada busur Banda bagian luar, busur Banda itu sendiri terdiri atas campuran batuan beku, sedimen, dan metamorf dengan struktur geologi yang kompleks. Geologi Timor yang kompleks adalah akibat dari tumbukan Lempeng Australia bagian barat laut dengan busur Kepulauan Banda sehingga kerak Benua Australia menunjam di bawah busur kepulauan dengan arah kecondongan ke utara. Pulau Timor sangat berbeda dengan pulau-pulau di dalam busur Banda. Perbedaan terjadi secara luas antara lain batuan, kedalaman sedimen laut, batuan metamorf dan fasies lain yang terangkat bersama-sama pada suatu kawasan dataran luas sebagai melange. Secara geologi pulau Timor didominasi oleh batuan gamping (limestone) dan lempung (soft scaly clay). Batuan fosil tertua yang ditemukan berumur Permian (Veevers dalam Hamilton, 1979). Fosil dan litologi klastik Permian pulau Timor sama dengan bagian non-glasial di barat laut

(12)

10 | P a g e

Australia. Batuan klastik yang tersebar luas di pulau Timor berasal dari pergerakan massa (landmass) dari Australia.

Geofisika adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dengan menggunakan parameter-parameter fisika. Dalam hal ini yang menjadi target adalah bumi bawah permukaan. Parameter-parameter fisika yang digunakan adalah parameter mekanika yang meliputi metode seismik, gravitasi dan magnetik. Metode gravitasi merupakan salah satu metode geofisika yang berdasarkan pada perbedaan gaya berat yang timbul karena perbedaan massa jenis dari struktur geologis di bawah permukaan. Perbedaan nilai masa jenis tersebut menyebabkan terjadinya anomali gravitasi. Anomali gravitasi merupakan selisih antara nilai gravitasi teoritis dan nilai gravitasi yang diperoleh dari hasil observasi. Dengan menganalis is anomali dalam nilai gravitasi kita dapat memodelkan struktur bawah permukaan bumi (Hinze, Frese, and Saad 2013)

Teknik Continous Wavelet Transform (CWT) merupakan sebuah teknik analisis medan potensial yang dikembangkan untuk mengurangi masalah non-unik dan ambiguitas yang sering terjadi dalam analisis dan interpretasi medan potensial. Teknik CWT dapat menyederhanakan analisis cepat pada data dalam jumlah besar, serta dapat memberikan lokasi, kedalaman, dan geometri dari sebuah objek geologi tanpa infromasi apriori (Singh and Singh 2015). Li, Braitenberg, and Yang (2013) dan Singh and Singh (2015) masing- masing telah berhasil melakukan interpretas i data gravitasi 2 dimensi (2D) dengan menggunakan metode tersebut.

Penelitian dengan metode gravitasi di Pulau Timor telah dilakukan oleh Simamora dan Untung (1983) di daratan pulau Timor bagian barat, Tanesib (2010) di pulau Timor dan sekitarnya, dan Ginya (2015). Tanesib membuat kajian dan pemodelan tektonik secara 2 dimensi (2D), Simamora dan Untung melakukan interpretasi secara kuantitatif mengenai batuan dasar pulau Timor tanpa melakukan pemodelan, Sedangkan Ginya melakukan pemodelan 3 dimensi (3D) batuan dasar dan diduga batuan dasar (basement rock) pulau Timor adalah batuan metamorf.

Berdasarkan Uraian di atas maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemodelan dan interpretasi permukaan dangkal (Shallow Surface) Pulau Timor dengan teknik Continuous Wavelet Transform (CWT) berdasarkan data anomali gravitasi.

(13)

11 | P a g e

2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan, maka didapatkan beberapa permasalahan dalam penelitian yaitu:

1. Bagaimana memetakan pola anomali gravitasi pulau Flores dan Timor?

2. Bagaimana model permukaan dangkal pulau Flores dan Timor berdasarkan medan anomali gravitasi dengan menggunakan teknik CWT?

3. Bagaimana menginterpretasikan struktur permukaan dangkal pulau Flores dan Timor berdasarkan medan anomali gravitasi untuk pemodelan 3D daerah resiko gempa di pulau Flores dan Timor?

2.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam dalam penelitian adalah:

1. Memetakan pola anomali gravitasi regional dan pola anomali gravitasi lokal atau residual pulau Flores dan Timor.

2. Memodelkan struktur permukaan dangkal berdasarkan anomali medan gravitasi lokal dengan menggunakan teknik CWT.

3. Menginterpretasikan struktur permukaan dangkal pulau Flores dan Timor untuk pemodelan 3D daerah resiko gempa di pulau Flores dan Timor.

2.4. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari penelitian yang dikerjakan yaitu:

1. Data gravitasi pulau Timor diambil dari data satelit yang disediakan di website

http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi.

(14)

12 | P a g e

2.5. Relevansi dan Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat berupa infor mas i mengenai struktur permukaan dangkal pulau Flores dan Timor untuk pemodelan 3D daerah resiko gempa di pulau Flores dan Timor, dan diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya untuk pengembangan pengetahuan geosains, geologi, dan khususnya geofisika.

Penelitian ini sejalan dengan road map yang sudah dibuat di laboratorium Geofisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan Analitika Data ITS untuk 5 tahun mendatang (Gambar 2.1). Sesuai dengan rencana strategis (renstra) jangka pendek yang sudah di buat ITS untuk tahun 2019-2024.

Gambar 2. 1. Road Map Laboratorium Geofisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan Analitika Data ITS 2019-2024

2.6. Target Luaran

Target luaran yang hendak dicapai diantaranya adalah publikasi pada seminar dan jurnal Nasional maupun Internasional.

(15)

13 | P a g e

Tabel 2. 1. Target output (keluaran) Penelitian

No. Nama/Jenis output Jumlah

1 Laporan Kemajuan/Akhir 1

2 Jurnal Internasional terindeks SCOPUS (Q2). 1

(16)

14 | P a g e

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Litostratigrafi dan Geologi Pulau Timor

Secara umum, litostratigrafi di pulau Timor dapat dibagi menjadi tiga sekuen yaitu Sekuen Kekneno, Sekuen Kolbano dan Sekuen Viqueque. Umur dari ketiga sekuen ini berkisar dari Perm hingga Pleistosen. Menurut Sawyer, dkk (1993), litostratigrafi regional pulau Timor (Gambar 3.1) secara umum disusun oleh:

3.1.1. Batuan Dasar (Basement)

Batuan dasar adalah batuan yang mendasari lapisan di atasnya yang merupakan lapisan permukaan bumi. Batuan dasar mempunyai sifat impermeab le, yaitu sulit ditembus oleh air. Dengan kata lain, batuan dasar mempunyai porositas yang tinggi. Menurut Sircar (2004), batuan dasar umumnya memiliki karakteristik keras dan brittle dengan porositas matriks dan permeabilitas yang rendah. Sedangkan menurut Landes, et al dalam Sircar (2004), batuan dasar dianggap sebagai batuan metamorf ataupun batuan beku (tanpa memperdulikan umur) yang ditumpangi tak selaras oleh sebuah sekuen batuan sedimen.

Keberadaan batuan dasar di pulau Flores dan Timor agak sulit dimenge rt i. Batuan dasar berupa sekis, filit, amfibolit, dan serpentinit pada Kompleks Mutis/Lolotoi menunjukkan dua kisaran umur yang berbeda yaitu berumur Pra Perm atau berumur Jura Akhir-Kapur Awal. Kemungkinan besar batuan dasar berumur Pra Perm karena memiliki komposisi dan mineralogi yang sama dengan Kompleks Mutis/Lolotoi. Berdasarkan Ginya (2015) diduga bahwa batuan dasar (basement rock) pulau Timor adalah batu sabak (slate) yaitu batuan metamorf yang berada pada kedalaman 3 km hingga 30 km.

(17)

15 | P a g e

3.1.2. Sekuen Kekneno

Umur dari sekuen ini berkisar dari Perm Awal hingga Jura Tengah dengan adanya hiatus pada Jura Akhir. Sekuen ini terdiri dari beberapa formasi, yaitu:

1) Formasi Maubisse

Formasi ini berumur Perm Awal – Perm Akhir dengan litologi penyusunnya adalah biokalkarenit merah-ungu, packstone dan boundstones yang kaya akan rombakan cangkang koral, crinoids, byrozoids, brachipods, cephalopods dan fusilinids serta batuan beku ekstrusif yang merupakan batuan tertua di pulau Timor.

2) Formasi Atahoc

Formasi ini berumur perm Awal berdasarkan umur dari fosil ammonoid. Litologi dominan yang menyusun formasi ini adalah batu pasir halus arkose dengan ciri terpilah sedang, mineralogi terdiri atas kuarsa monokrista lin, feldspar, plagioklas, serta terdapat fragmen filit yang berasosiasi dengan batuan dari Kompleks Mutis/Lolotoi.

3) Formasi Cribas

Formasi ini diperkirakan berumur Perm Awal dan dapat dibagi menjadi beberapa fasies batuan yang kontinu secara lateral yaitu lapisan batu pasir multiwarna, batu lanau, batu lempung hitam dan batu gamping bioklastik. Struktur sedimen seperti ripple dan sole marks menunjukkan bahwa arus turbudit berperan dalam proses pengendapan formasi ini.

4) Formasi Niof

Formasi ini berumur Trias Awal – Trias Tengah yang dicirikan oleh kontak lapisan yang tajam serta menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi yang menyusun formasi ini adalah batu lempung berlapis tipis, batu serpih warna merah-hitam-coklat, batu pasir greywacke, napal dan batu gamping masif. Proses pengendapan formasi ini melalui mekanisme arus turbudit. Lingkungan pengendapan formasi ini diperkirakan terdapat pada lingkungan laut dangkal hingga laut dalam.

(18)

16 | P a g e

Formasi ini berumur Trias Awal – Trias Akhir. Litologi penyusun dari formasi ini adalah batu gamping putih-merah muda dengan perselingan batu lempung karbonatan berwarna abu-abu hitam. Tebal lapisan konsisten yaitu 45-60 cm dan pada bidang perlapisan dapat ditemukan makrofauna seperti Halobia, Daonella, Monotis, Ammonit dan fragmen fosil lainnya. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut terbuka yaitu sekitar paparan luar.

6) Formasi Babulu

Formasi ini disusun oleh litologi perselingan batu lempung-batu lanau dan batu pasir masif. Pada permukaan bidang perlapisan banyak ditemukan brachiopod, ammonit, fragmen tumbuhan, sole marks dan fosil jejak. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berada pada area tepi paparan. 7) Formasi Wailulu

Litologi yang menyusun formasi ini adalah batu lempung gelap dengan perselingan batu gamping organik, kalsilutit, batu lanau dan batu pasir. Umur dari formasi ini adalah Jura Awal – Jura Tengah. Lingkunga n pengendapan dari formasi ini berkisar dari paparan dalam – paparan tengah. 3.1.3. Sekuen Kolbano

Kisaran umur litologi pada sekuen ini berkisar dari Jura Akhir – Pliosen Awal dimana terdapat empat periode hiatus pada Kapur Tengah, Paleosen Awal, Oligosen – Miosen Awal dan Miosen Akhir – Pliosen Awal. Sekuen ini disusun oleh:

1) Formasi Oebaat

Formasi ini berumur Jura Akhir dan dibagi menjadi dua anggota formasi yaitu:

a. Batu pasir masif dengan ciri jarang memiliki kedudukan perlapisan, tapi saat diamati terdiri atas perlapisan batu lanau dan batu pasir. Bagian bawah dari unit ini terdiri dari batu lanau coklat-hitam dan batu lempung bernodul limonit- lanau. Lingkungan pengendapan dari unit ini diperkirakan adalah laut.

(19)

17 | P a g e

b. Batu pasir glaukonit berlapis dengan ciri ketebalan lapisan sekitar 40-50 cm. Fosil ammonit dan belemnit banyak ditemukan pada unit ini. Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah paparan dangkal.

2) Formasi Nakfunu

Litologi yang menyusun formasi ini adalah radiolarite, batu lempung, kalsilutit, batu lanau, perlapisan batu lempung, kalkarenit, wackestones dan packstones. Ciri khusus dari formasi Nakfunu adalah tebal lapisan batuan yang konsisten sekitar 3-30 cm. kehadiran fosil radiolaria sangat melimpa h sedangkan fosil foraminifera jarang ditemukan. Umur formasi ini diperkirakan berumur Kapur Awal – Kapur Akhir. Lingkunga n pengendapan dari formasi ini adalah laut dalam.

3) Formasi Menu

Formasi ini berumur Kapur dan memiliki litologi yang mirip dengan Formasi Ofu yang berumur Tersier. Formasi ini tersusun atas batu gamping dimana terdapat lapisan tipis atau nodul rijing merah serta menunjukka n adanya belahan yang intensif. Kemiripan litologi yang dimiliki oleh Formasi Menu dan Formasi Ofu mengindikasikan adanya kontak stratigra fi. Formasi ini diendapkan dengan mekanisme turbidit pada lingkungan laut dalam.

4) Formasi Ofu

Formasi ini diendapkan setelah terjadinya hiatus pada Paleosen Awal – Miosen Akhir. Litologi penyusun dari formasi ini adlah batu gamping masif berwarna putih-merah muda dengan kenampakan rekahan konkoidal- sub konkoidal. Pada singkapan umumnya banyak dijumpai laminasi tipis, urat kalsit, stilotit, kekar dan rekahan. Formasi ini diendapkan pada lingkunga n laut dalam dengan mekanisme turbidit.

3.1.4. Sekuen Viqueque

Sekuen ini terdiri dari endapan sedimen synorogenik Plio – Pleistosen tipe molasse yang mencakup Formasi Viqueque dan beberapa unit melange

(20)

18 | P a g e

meskipun hubungan genetiknya sulit untuk dijelaskan. Berikut adalah formasi penyusun dari sekuen ini:

1) Formasi Viqueque

Secara umum formasi ini disusun oleh batuan dengan pola suksesi mengkasar ke atas dari kalsilutit menjadi batu pasir hingga ditutupi aluvia l dan batu gamping terumbu Kuarter. Kisaran umur formasi ini adalah Miosen Akhir – Pleistosen. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota formasi yaitu:

a. Anggota Batu Putih, terdiri atas kalsilutit putih masif serta napal abu-abu dengan rombakan tumbuhan. Fosil Globigerina sangat melimpa h pada unit batu gamping ini. Unit ini diendapkan pada lingkungan laut dalam yang dicirikan oleh arus tenang.

b. Anggota Noele, terdiri dari napal, napal tufaan, kalsilutit tufaan, biokalkarenit, batu gamping pasiran, batu lanau dan batu pasir.

2) Melange

Secara umum terdapat dua jenis unit melange yang dapat diidentifikasi di pulau Timor yaitu:

a. Batu Lempung Bersisik Bobonaro, merupakan endapan melange sedimentary (olisostrom) dan diapir yang terbentuk akibat kontak Formasi Viqueque dengan batu lempung abu-abu dan blok ukuran kerikil-bongkah di Diapir Oeleu, Pulau Semau, Oekusi dan Halilukiuk. b. Melange Sonnebait, merupakan endapan melange akibat proses

tektonik. Unit ini dicirikan oleh batu lempung yang mengala mi rekristalisasi dan banyak blok batuan yang menunjukkan gerusan.

(21)

19 | P a g e

Gambar 3. 1. Peta struktur geologi pulau Timor (Charlton, 2001)

Secara geologi, pulau Flores dan Timor didominasi oleh batu gamping (limestone) dan lempung (soft scaly clay). Batuan fosil tertua yang ditemukan berumur Permian (Hamilton dalam Tanesib, 2010). Fosil dan litologi klasik Permian pulau Timor sama dengan bagian non-glasial di barat laut Australia. Batuan klasik yang tersebar luas di pulau Timor berasal dari pergerakan massa (landmass) dari Australia. Pendapat berbeda diajukan oleh Audley, Barber, et al., Carter, et al., dalam Tanesib (2010), bahwa batu gamping terbentuk jauh di utara dan ditransportasi ke pulau Timor hingga Australia. Laws dan Kraus dalam Tanesib (2010) menentang keras pendapat di atas dengan menyatakan bahwa batu gamping berumur upper Permian (251-260 juta tahun lalu) sangat banyak ditemui di lepas pantai barat laut Australia sekitar 150-250 km barat daya pulau Timor. Fosil hewan pada gamping adalah hewan subtropik dan bukan tropik.

3.2. Batuan

Batuan adalah kumpulan dari berbagai macam mineral yang membentuk satuan terkecil dari kerak bumi dan mempunyai komposisi kimia dan mineral yang

(22)

20 | P a g e

tetap sehingga dengan jelas dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, batuan adalah materi penyusun bumi yang terdiri dari mineral, bahan-bahan anorganik dan bahan-bahan vulkanik sehingga dengan jelas dapat dipisahkan satu dengan yang lain (Munir, 2003).

Berdasarkan terjadinya, batuan digolongkan atas batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf. Secara umum, komposisi batuan di kerak bumi terdiri dari sekitar 95 % batuan beku dan hanya sekitar 5 % batuan sedimen dan batuan metamorf (Munir, 2003).

3.2.1. Batuan Beku (Igneus Rocks)

Batuan beku terbentuk sebagai akibat pembekuan magma di bawah permukaan bumi dan di permukaan bumi. Berdasarkan tempat terjadinya, batuan beku dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Batuan Beku Intrusif (Intrusive Rocks)

Batuan beku intrusif adalah batuan beku yang membeku di bawah permukaan bumi. Batuan beku ini terbagi menjadi:

a. Batuan beku dalam (plutonik), terjadi sebagai akibat pembekuan magma yang terjadi jauh di dalam perut bumi. Batuan ini dicirikan dengan komposisi kristal yang berukuran besar atau kasar (faneritik), mudah dibedakan dengan mata telanjang (megaskopis), dan tidak berlapis-lap is. Contohnya adalah batuan granit, diorite, sienit, dan gabro.

b. Batuan beku porfir, terbentuk di sekitar pipa magma atau kawah. Komposisi kristalnya beragam, mulai dari kasar sampai sedang. Contohnya adalah batuan granit porfir, andesit porfir, dan riolit porfir.

c. Batuan beku afanitik, memiliki tekstur krital yang halus. Contohnya adalah batuan latit.

2. Batuan Beku Ekstrusif (Ekstrusive Rocks)

Batuan beku ekstrusif adalah batuan yang terbentuk dari magma atau lava yang telah keluar ke permukaan bumi yang kemudian mendingin dan membeku dengan cepat. Karena proses pendinginan yang cepat maka batuan ini memilik i struktur kristal yang halus atau amorf. Batuan ini disebut juga batuan vulkanik

(23)

21 | P a g e

karena terbentuk dari aktivitas vulkanik. Contohnya adalah batuan obsidian, basalt, dan batu apung.

3.2.2. Batuan Sedimen (Sedimentary Rocks)

Batuan sedimen terbentuk sebagai akibat dari pengendapan material yang berasal dari pelapukan batuan karena proses alam yang kemudian tertransportasi ke suatu tempat tertentu. Batuan tersebut terakumulasi dan selanjutnya mengala mi pemampatan menjadi batuan baru. Batuan sedimen memiliki ciri berlapis-lap is sebagai akibat dari proses pengendapan yang berulang. Batuan sedimen dapat dibagi menjadi:

1. Batuan Sedimen Klastik/Fragmental

Terbentuk sebagai akibat dari pemampatan material hasil pelapukan batuan beku, batuan sedimen lain, dan batuan malihan. Ukuran butir batuan ini beragam. Disebut juga sebagai batuan sedimen mekanik. Contohnya adalah batu gamping dan batu lempung.

2. Batuan Sedimen Organik

Batuan sedimen organik adalah batuan sedimen yang mengandung sisa organisme terawetkan atau fosil. Contohnya adalah batu gamping koral dan batu bara.

3. Batuan Sedimen Kimia

Contohnya adalah batu gamping kristalin, gypsum anhidrit, stalaktit, dan stalagmit.

3.2.3. Batuan Metamorf (Metamorphyc Rocks)

Batuan metamorf atau batuan malihan adalah batuan yang terubahkan di dalam bumi sebagai akibat dari tekanan dan temperatur yang sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan sifat fisik dan sifat kimia batuan ini menjadi berbeda dari batuan asal. Batuan metamorf dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

1. Batuan malihan kontak atau termal, terbentuk karena adanya terobosan magma yang mengakibatkan batuan di sekitar magma tersebut menjadi batuan metamorf. Contohnya adalah marmer.

(24)

22 | P a g e

2. Batuan malihan dinamik atau kinetik, terbentuk karena adanya tekanan yang kuat yang mengakibatkan suatu batuan berubah menjadi batuan metamorf.

Pada Tabel 2.1 ditampilkan beberapa jenis batuan beserta nilai densitas masing- masing batuan.

Tabel 3. 1. Jenis dan densitas batuan (Schon, 1996) Material Type Densitas Range

(mg/m3) Approximate Average Density (mg/m3) Sedimentary Rocks Alluvium Clay Gravel Loess Silt Soil Sand Sandstone Shale Limestone Dolomite Chalk Halite Glacier ice 1.96 – 2.00 1.63 – 2.60 1.70 – 2.40 1.40 – 1.93 1.80 – 2.20 1.20 – 2.40 1.70 – 2.30 1.61 – 2.76 1.77 – 3.20 1.93 – 2.90 2.28 – 2.90 1.53 – 2.60 2.10 – 2.60 0.88 – 0.92 1.98 2.21 2.00 1.64 1.93 1.92 2.00 2.35 2.40 2.55 2.70 2.01 2.22 0.90

(25)

23 | P a g e Igneous Rocks Rhyolite Granite Andesite Syenite Basalt Gabbro Metamorphyc Rocks Schist Gneiss Phylite Slate Granulite Amphibolite Eclogite 1.35 – 2.70 2.50 – 2.81 2.40 – 2.80 2.60 – 2.95 2.70 – 3.30 2.70 – 3.50 2.39 – 2.90 2.59 – 3.00 2.68 – 2.80 2.70 – 2.90 2.52 – 2.73 2.90 – 3.04 3.20 – 3.54 2.52 2.64 2.61 2.77 2.99 3.03 2.64 2.80 2.74 2.79 2.65 2.96 3.37

3.3. Prinsip Dasar Gravitasi

Prinsip dasar fisika yang mendasari metode gravitasi adalah hukum Newton tentang gaya tarik menarik antar partikel. Hukum Newton tersebut menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua partikel dengan massa m1 dan m2 yang terpisah sejauh 𝑟⃑⃑ 2 – 𝑟⃑⃑ 1 dari pusat massanya sebanding dengan perkalian massa m1 dengan m2 dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Gaya tersebut dijabarkan sebagai berikut:

(26)

24 | P a g e

𝐹⃗12(𝑟 ) = −𝐺𝑚1(𝑟⃗1) 𝑚2(𝑟⃗2)

|𝑟 |2 𝑟̂ (2.1)

dengan 𝐹⃗12(𝑟 ) adalah gaya yang bekerja pada m2 oleh karena adanya m1. m1 adalah massa partikel 1 dan m2 adalah massa partikel 2. Sedangkan G adalah konstanta umum gravitasi yang besarnya 6,67 x 10-11 Nm2kg-2.

Gambar 3. 2. Gaya tarik menarik antara dua partikel massa (Blakely, 1995)

Besaran yang terukur dalam metode gravitasi adalah kuat medan gravitas i. Kuat medan gravitasi dari partikel m1(𝑟⃗1) adalah besarnya gaya per satuan massa pada suatu titik sejauh |𝒓⃑⃗𝟐− 𝒓⃑⃗𝟏| dari 𝑚2(𝑟⃗2), yaitu :

𝐸⃑⃗(𝑟⃗) = 𝐹12(𝑟⃗)

𝑚2(𝑟⃗2)= −𝐺 𝑚1(𝑟⃗1)

|𝑟⃗|2 𝑟̂ (2.2)

Jika bumi dianggap homogen, berbentuk sferis dan tidak berotasi, maka besarnya kuat medan gravitasi di permukaan bumi adalah:

𝑔 = 𝐸⃑⃗(𝑟⃗) = −𝐺 𝑀𝑒

𝑅𝑒2𝑟̂ (2.3)

dengan 𝑀𝑒 adalah massa bumi dan 𝑅𝑒 adalah jari-jari bumi. Kuat medan gravitas i g sering disebut sebagai percepatan gravitasi atau percepatan jatuh bebas. Satuan g dalam sistem cgs adalah gal (1 gal = 1 cm/s2).

Medan gravitasi merupakan medan konservatif sehingga dapat dinyatakan sebagai gradien dari suatu fungsi potensial skalar ∇𝑈(𝑟⃗) :

(27)

25 | P a g e

dengan U(𝑟⃗) = −𝐺𝑚1(𝑟⃗1)

|𝑟 | 𝑟̂ merupakan potensial gravitasi massa 𝑚1(𝑟⃗1).

Gambar 3. 3. Potensial gravitasi distribusi massa kontinu (Grant and West, 1965)

Potensial gravitasi yang disebabkan oleh distribusi massa yang kontinu harus dihitung dengan integrasi. Jika massa terdistribusi kontinu, mempunya i densitas 𝜌(𝑟 0)dan volume V, maka potensial di titik P adalah :

𝑈𝑝(𝑟⃗) = ∫ |𝑟 −𝑟 𝐺𝑑𝑚 0| 𝑉 = −𝐺 ∫ 𝜌(𝑟 0)𝑑3(𝑟 0) |𝑟 −𝑟 0| 𝑉 (2.5) dengan |𝑟 − 𝑟 0|= √|𝑟 |2+|𝑟 0|2 − 2|𝑟 ||𝑟 0| cos 𝛾

𝑟⃑⃑ 0 adalah vektor posisi elemen massa Q terhadap O.

𝑟 adalah vektor posisi titik P terhadap O.

Kuat medan gravitasi bumi dapat ditentukan dengan mendeferensia lka n persamaan (2.5). Jika titik P berada di permukaan bumi, maka kuat medan gravitas i bumi g adalah:

𝑔𝑧(𝑟⃗) = |−𝐸⃑⃗(𝑟⃗)| = |∇𝑈𝑝(𝑟⃗)| (2.6)

dengan g adalah percepatan gravitasi bumi.

Kuat medan gravitasi bumi yang terukur mempunyai arah vertikal menuju pusat bumi (sejajar sumbu z). Perubahan intensitas medan gravitasi yang

(28)

26 | P a g e

disebabkan oleh suatu sumber anomali disebut sebagai efek gravitasi, yang dinyatakan sebagai: 𝑔𝑧(𝑟⃗) = − 𝜕𝑈𝑃(𝑟⃗) 𝜕𝑧 = −𝐺 ∫ 𝜌(𝑟⃗0)(𝑍0−𝑍)𝑑3(𝑟⃗0) [ (𝑋−𝑋0)2+)2+(𝑍−𝑍0)2] 3⁄2 𝑉 (2.7)

Arti fisis persamaan di atas adalah percepatan gravitasi bumi yang nilainya bervariasi terhadap perubahan bawah permukaan 𝜌(𝑟⃗0) (Blakely, 1995).

3.4. Anomali Gravitasi

Medan gravitasi bumi g hanya mempunyai satu arah yaitu menuju ke pusat bumi. Arah medan gravitasi tersebut didefinisikan sebagai arah vertikal. Kuat medan gravitasi bumi yang disebabkan oleh benda anomali memiliki arah yang bervariasi terhadap arah vertikal tergantung pada kedudukan benda anomali. Perubahan kuat medan gravitasi bumi yang disebabkan benda anomali lokal ini disebut anomali gravitasi. Anomali tersebut dilambangkan dengan ∆𝑔 dan jika dibandingkan dengan kuat medan gravitasi bumi bernilai sangat kecil (∆𝑔 << 𝑔). Anomali gravitasi hanya dapat diukur bersama kuat medan gravitasi bumi pada arah yang sama.

Gambar 3. 4. Hubungan medan gravitasi dengan densitas permukaan (Grant and West, 1965)

Grant dan West (1965) menjabarkan hubungan kuat medan gravitasi dengan densitas permukaan pada suatu bidang horizontal. Diandaikan sebuah bidang

(29)

27 | P a g e

horizontal di z=0 memiliki densitas σ (x, y) g/cm2. Potensial gravitasi di titik P yang

terletak pada sumbu adalah:

𝑈𝑝= −𝐺 ∫ ∫ √𝑟𝜌(𝑟,𝜃)2+𝑧2

2𝜋 0 ∞

0 𝑟𝜕𝜃𝜕𝑟 (2.8)

Karena potensial gravitasi U diakibatkan oleh massa yang terdistribusi lokal di z=0 maka anomali gravitasi di titik P adalah:

∆𝑔𝑃= −𝜕𝑈𝑃 𝜕𝑧 = 𝐺|𝑧| ∫ ∫ 𝜌(𝑟,𝜃) (𝑟2+𝑧2)3/2 2𝜋 0 ∞ 0 𝑟𝜕𝜃𝜕𝑟 (2.9)

Tanda negatif pada persamaan (2.9) menyatakan bahwa Δg terukur bersama dengan g pada arah yang sama.

Jika posisi Q di bidang horizontal z=0 dipilih secara sebarang, maka di peroleh:

∆𝑔(𝑥, 𝑦) = 2𝜋𝜌𝐺(𝑥, 𝑦) (2.10)

Anomali gravitasi pada bidang z=0 diakibatkan oleh distribusi massa tidak diketahui yang terletak di bawah bidang z=0. Apapun bentuk massa, efek yang ditimbulkan di titik manapun pada bidang z≤0 sama apabila massa tersebut diganti oleh distribusi permukaan pada z=0. Model densitas ini disebut equivalent stratum.

3.5. Hubungan Antara Bidang Referensi Dengan Gravitasi

Geoid adalah bidang ekuipotensial yang mendekati permukaan laut rata-rata. Secara geometrik, permukaan geoid tersebut diorentasikan relatif terhadap suatu bidang ekuipotensial yang disebut potensial gravitasi, sama dengan potensial gravitasi geoid. Bentuk geometrik bidang ekuipotensial tersebut dipilih sebagai elipsoida putaran yang mewakili bentuk bumi sesungguhnya (bumi normal). Elipsoida didefinisikan memiliki kriteri-kriteria sebagai berikut:

1. Massa elipsoida sama dengan massa bumi sesungguhnya. 2. Densitas massanya homogen.

3. Kecepatan sudut rotasi elipsoida sama dengan kecepatan sudut rotasi bumi sesungguhnya.

Kenyataan sebenarnya, densitas massa bumi tidak homogen dengan adanya gunung, lautan, cekungan, dataran yang menyebabkan elipsoida berubah menjadi bentuk yang disebut geoid. Secara fisis geoid disebut sebagai model bumi ya ng

(30)

28 | P a g e

mendekati sesungguhnya. Geoid didefinisikan sebagai bidang ekuipotensial yang berhimpit dengan permukaan laut pada saat keadaan tenang dan tanpa ganggua n, secara praktis geoid dianggap berhimpit dengan permukaan laut rata-rata. Jarak geoid terhadap elipsoida disebut tinggi geoid atau undulasi geoid. Nilai undulas i geoid tidak sama di semua tempat, disebabkan ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi.

Gambar 3. 5. Bidang referensi (Li and Gotze, 2001)

Pada prinsipnya geoid dapat diturunkan dari data gravitasi sebagai data utamanya yang didistribusikan mencakup seluruh permukaan bumi. Data gravitas i dapat diperoleh dari pengukuran secara terestris mengunakan gravimeter dari udara dengan teknik air-bone gravimetry, dan diturunkan dari data satelit, serta melalui interpolasi untuk wilayah-wilayah yang tidak ada data gaya beratnya. Jika bumi benar-benar ideal dalam arti elips maka orbit setelit pun akan elips, tetapi kenyataan bentuk fisis bumi adalah geoid maka pada saat setelit mengelilingi bumi terjadi pergerakan satelit naik atau turun mengikuti permukaan geoid. Pergerakan ini disebut defleksi vertikal.

3.6. Gravitasi Teoritis

Untuk mendapatkan nilai medan gravitasi teoritis, yang pertama dilakukan adalah mencari nilai medan gravitasi normal. Nilai gravitasi normal analitis, secara fisis terletak pada bidang referensi sferoida (z=0) sebagai titik referensi geodesi. Perumusan tentang medan gravitasi normal diterbitkan beberapa badan yaitu International Association of Geodesy (IAG) National Imagery and Mapping

(31)

29 | P a g e

Agency (NIMA). Sistem terbaru adalah Earth Gravitational Model 2008 (EGM 2008) oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA). Formula terbaru dari NIMA dan WGS 1984 adalah

𝑔𝑛 = 978032,53359 1+0,00193185265241 𝑠𝑖𝑛2𝜃

√1−0,00669437999014 𝑠𝑖𝑛2𝜃 𝑚𝑔𝑎𝑙 (2.11)

dengan gn (x,y,0) adalah nilai medan gravitasi teoritis di bidang referensi sferoida

dan 𝜃 adalah posisi lintang titik pengukuran.

Model terbaru yang diterbitkan NGA disebut EGM 2008. Model terbaru ini tetap menggunakan formula WGS 1984. Model inilah yang digunakan Sandwell dan Smith untuk perhitungan anomali udara bebas.

3.7. Reduksi Data Gravitasi

Anomali medan gravitasi adalah nilai medan gravitasi yang ditimbulka n oleh perbedaan nilai kontras densitas di bawah permukaan bumi. Anomali medan gravitasi bumi diukur/terukur bersama medan gravitasi bumi. Maka untuk memperolehnya secara matematis dapat didefinisikan bahwa anomali medan gravitasi di topografi atau posisi (x, y, z) merupakan selisih dari medan gravitas i observasi di topografi dengan medan gravitasi teoritis di topografi. Atau dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:

Δg (x, y, z) = gobs (x, y, z) - gteoritis (x, y, z)

(2.12)

dengan Δg (x, y, z) merupakan anomali medan gravitasi di topografi, gobs (x, y, z) adalah medan gravitasi observasi di topografi dan gteoritis (x, y, z) adalah medan gravitasi teoritis di topografi.

Nilai medan gravitasi normal yang secara fisis terdefinisi pada posisi referensi sferoida g (x, y, 0) dibawa ke posisi topografi g (x, y, z). Hal ini dilakukan karena nilai medan gravitasi observasi secara fisis berada pada bidang topografi. Proses ini dikenal sebagai koreksi udara bebas.

Selanjutnya medan gravitasi normal diperhitungkan atau dikoreksi terhadap massa yang terletak di antara bidang referensi sferoida dengan permukaan topografi

(32)

30 | P a g e

karena massa ini turut mempengaruhi harga anomali medan gravitas i. Koreksi ini dikenal sebagai koreksi topografi (Susilawati, 2005).

3.7.1. Koreksi Udara Bebas

Koreksi udara bebas merupakan proses perpindahan medan gravitasi normal di bidang referensi sferoida (z=0) menjadi medan gravitasi normal di permukaan topografi.

Secara matematis koreksi udara bebas (free-air correction) dapat dirumuska n sebagai berikut:

gfa = - (0,3087691 – 0,0004398 sin2 Τ) h mgal (2.13) dengan h adalah ketinggian titik amat dari referensi sferoida. Untuk Τ = 45θ, diperoleh:

gfa = - 0,3085672 h mgal (2.14)

Gambar 3. 6. Koreksi udara bebas terhadap data gravitasi (Susilawati, 2005)

Koreksi udara bebas orde satu mengasumsikan bahwa komponen vertikal dari gravitasi di dekat permukaan bumi dihasilkan oleh bumi yang berbentuk sferis dan berbanding linier dengan jarak. Tetapi pada kenyataannya, bentuk bumi lebih mendekati elipsoida putar dan hukum Newton tentang gaya tarik-menarik antar partikel yang menyatakan bahwa gaya tarik-menarik antar partikel berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Sebagai akibatnya diperlukan koreksi udara bebas orde dua sebagai berikut:

(33)

31 | P a g e

Persamaan 2.15 disebut koreksi udara bebas karena hanya memperhitungkan udara elevasi antara permukaan topografi (titik pengukuran) dengan referensi sferoida. Dengan koreksi udara bebas ini maka diperoleh anomali medan gravitasi udara bebas di topografi sebagai:

Δgfa (x, y, z) = gobs (x, y, z) – gn (x, y, z) (2.16)

dengan gn (x, y, 0) = g0 adalah medan gravitasi normal di bidang referensi sferoida dan gfa adalah koreksi udara bebas.

3.7.2. Koreksi Atmosfer

Dalam perhitungan gravitasi teoritis, massa atmosfer bumi disertakan dalam massa bumi. Karena itu dalam perhitungan anomali gravitasi diperlukan koreksi atmosfer. Efek gravitasi massa atmosfer sampai ketinggian titik amat 10 km dari elipsoida diperoleh melalui persamaan Blakely (1995):

gatm (x, y, z) = 0,874 - 9,9 x 10-5 h + 3,56 x 10-9h2 (2.17)

dengan h adalah ketinggian dari titik amat dalam meter. Jika Koreksi atmosfer dikurangkan dari gravitasi teoritis di titik amat, maka diperoleh:

∆𝑔𝑎𝑡𝑚(x, y, z) = ∆𝑔𝑓𝑎(x, y, z) + 𝑔𝑎𝑡𝑚(x, y, z) (2.18)

3.7.3. Koreksi Topografi

Pada koreksi udara bebas, tidak diperhitungkan massa yang terletak di antara permukaan topografi dan referensi sferoida, padahal massa ini sangat mempengaruhi harga anomali medan gravitasi. Jika massa ini diperhitungkan maka koreksi terhadap medan gravitasi normal menjadi lengkap. Grant and West (1965) mendefinisikan bahwa massa yang terletak antara permukaan topografi dan bidang datum (referensi sferoida) dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Bagian massa yang terletak antara bidang bouguer dengan bidang datum dimana efek dari massa ini disebut efek bouguer. Anomali yang dihasilka n setelah dilakukan koreksi bouguer terhadap anomali udara bebas disebut anomali gravitasi bouguer sederhana.

2. Bagian massa yang berada di atas bidang bouguer dan bagian massa yang hilang di bawah bidang bouguer. Efek massa ini disebut efek medan (terrain

(34)

32 | P a g e

effect). Anomali yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi medan terhadap anomali bouguer sederhana disebut anomali medan gravitasi bouguer lengkap.

Secara matematis, anomali gravitasi bouguer lengkap pada topografi dirumuskan sebagai:

∆𝑔𝐵𝐿(𝑥, 𝑦, 𝑧) = 𝑔𝑜𝑏𝑠(𝑥, 𝑦, 𝑧) − [𝑔𝑛(𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑔𝐵𝑆(𝑥, 𝑦, 𝑧) + 𝑔𝐶(𝑥, 𝑦, 𝑧)] (2.19)

Dengan ∆𝑔𝐵𝐿(𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah anomali gravitasi bouguer lengkap, 𝑔𝐵𝑆(𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah koreksi bouguer sederhana, dan 𝑔𝐶(𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah koreksi curvature.

Anomali medan gravitasi bouguer lengkap merefleksikan adanya variasi densitas dalam kerak, dimana koreksi bouguer sederhana dan curvature adalah fungsi dari ketinggian dan densitas topografi.

Koreksi anomali bouguer lengkap tidak menghilangkan anomali massa yang terdapat di atas referensi sferoida. Hal ini disebabkan karena densitas massa yang digunakan dalam perhitungan bouguer lengkap adalah densitas rata-rata dengan menganggap massa topografi homogen. Seperti halnya pada koreksi udara bebas, koreksi bouguer lengkap tidak berarti secara fisis memindahkan titik-tit ik observasi ke referensi sferoida dan tidak pula menimbulkan diskontinuitas densitas dari massa-massa yang berada di atas dan di bawah referensi sferoida.

3.7.4. Koreksi Bouguer Sederhana

Koreksi bouguer sederhana mencakup massa berbentuk lempeng (slab) horisontal dengan ketebalan yang panjangnya tak hingga. Massa ini terletak antara bidang bouguer dan bidang referensi sferoida. Efek dari massa ini disebut efek Bouguer. Model koreksi ini dikenal dengan model slab horizontal tak hingga dengan ketebalan h relatif dari bidang referensi sferoida ke bidang Bouguer letak titik amat. Besarnya koreksi Bouguer sederhana adalah

gBS = 2πρGh (2.20) dengan ρ adalah densitas masssa Bouguer (massa topografi), G adalah konstanta gravitasi (6,67428x10-8 cm2g-1s2)dan h adalah ketinggian titik amat dari referensi

(35)

33 | P a g e

Pada koreksi ini secara geometris mengandalkan permukaan bumi yang datar dan masih terdapat massa kosong yang turut masuk dalam perhitunga n. Meskipun demikian, model ini masih bisa digunakan untuk daerah penelitian yang sempit dengan undulasi kecil. Secara geometris, makin sempit area penelitian maka makin rendah derajat kelengkungan atau mendekati bentuk datar.

3.7.5. Koreksi Curvature

Koreksi curvature adalah bentuk pengembangan dari koreksi bouguer sederhana dengan memperhitungkan kelengkungan bumi. Model cangkang bola atau spherical shell diajukan oleh Karl (1971). Karl menganggap bahwa bagian massa Bouguer berbentuk cangkang bola dengan ketebalan h dari referensi sferoida. Besarnya koreksi adalah:

gBS + gC | 4πρG (2.21) Koreksi curvature yang lain diusulkan oleh LaFehr dengan memodifikas i slab horisontal tak hingga ke suatu topi sferis dengan radius permukaan 166,735 km. Radius permukaan ini dipilih untuk meminimalkan perbedaan antara efek topi sferis dengan efek slab horisontal tak hingga yang tidak diperhitungkan oleh Karl. Koreksi curvature LaFehr (1991) dapat dirumuskan sebagai:

gc = 2 πρBG (μh – λR) (2.22)

Jika ditambahkan dengan nilai koreksi bouguer sederhana menjadi:

gBS + gC = 2 πρBG +2 πρBG (μh – λR) (2.23)

dengan μ dan λ merupakan koefisien-koefisien tanpa dimensi dan R adalah radius Bumi sampai di titik amat.

Whitman (1991) mengembangkan pendekatan terhadap persamaan LaFehr sebagai: 𝑔𝐶 = 2𝜋𝜌𝐺 {𝛼

2− 𝐻 [1 + 1

2𝛼]} (2.24)

dengan H adalah rasio h terhadap R (dengan R = R0 + h dan R0 adalah radius Bumi

normal sampai referensi sferoida) dan 2α adalah adalah sudut dari pusat Bumi. Persamaan (2.22) merupakan koreksi kelengkungan Whitman dan pendekatan ini akurat sampai 1 μgal untuk h kurang dari 4 km. Suku 𝛼

2 adalah gaya

gravitasi vertikal akibat kelengkungan bumi dengan sudut kelengkungan α, suku H menunjukkan berkurangnya kelengkungan bumi dengan bertambahnya radius

(36)

34 | P a g e

permukaan bumi R(dengan R = R0 + h) atau dengan bertambahnya ketebalan slab

h.

Koreksi curvature lain diusulkan oleh USGS, dapat dirumuskan sebagai:

gc = 1,464𝑥10−3ℎ − 3,533𝑥10−7ℎ2+ 4,5𝑥10−14ℎ3𝑚ga𝑙 (2.25)

3.8. Metode Kontinuasi Ke Atas (Upward Continuation)

Anomali gravitasi yang telah direduksi menjadi anomali bouguer lengkap masih merupakan superposisi dari anomali lokal dengan anomali regional. Anomali regional bersifat smooth (halus) dan biasanya disebabkan oleh batuan-batuan yang dalam. Sedangkan anomali lokal bersifat kasar dan disebabkan oleh batuan-batuan yang dangkal. Kedua anomali tersebut harus dipisahkan karena mempunyai fungs i yang berlainan untuk mendapatkan manfaatnya secara optimum. Pemisahan antara anomali regional dan anomali lokal bisa dilakukan dengan proses kontinuasi ke atas (upward continuation) atau kontinuasi ke bawah (downward continuation) (Hidayat, 2011).

Prinsip dasar metode kontinuasi ke atas adalah menghilangkan efek lokal sehingga yang didapatkan adalah menonjolkan efek regional. Persamaan yang digunakan dalam melakukan kontinuasi ke atas (Blakely,1995) adalah:

𝑈(𝑥, 𝑦. 𝑧0− ∆𝑧) = 𝛥𝑧 2𝜋∫ ∫ 𝑈(𝑥′,𝑦′,𝑧0) [(𝑥−𝑥′)2(𝑦−𝑦)2+∆𝑧2]32 ∞ −∞ ∞ −∞ 𝑑𝑥 ′𝑑𝑦 (2.26) dengan ∆𝑧 >0

Persamaan integral ini dapat digunakan untuk menghitung nilai medan potensial pada sembarang titik di atas permukaan yang nilai potensialnya ada. Untuk mempermudah maka dikonversi dalam bentuk domain Fourier.

Persamaan (2.26) disederhanakan menjadi dua dimensi yaitu:

𝑈(𝑥, 𝑦. 𝑧0− ∆𝑧) = ∫−∞∞ ∫−∞∞ 𝑈(𝑥′, 𝑦′, 𝑧0)𝛹𝑢(𝑥 − 𝑥′, 𝑦 − 𝑦′, ∆𝑧)𝑑𝑥′𝑑𝑦′ (2.27) dengan 𝜓𝑢 = 𝛥𝑧 2𝜋 1 [(𝑥−𝑥′)2(𝑦−𝑦)2+∆𝑧2]32 (2.28)

(37)

35 | P a g e

Jika medan potensial U diukur pada permukaan z=𝑧0 memenuhi

ketidaksamaan ∫ |𝑓(𝑥)|𝑑𝑥−∞< ∞, maka medan U tersebut mempunya i transformasi Fourier F[U]. Transformasi Fourier dari persamaan (2.27) diperoleh dengan mentransformasikan kedua sisi persamaan tersebut ke dalam domain-domain Fourier dan memanfaatkan teorema sehingga diperoleh :

F[Uu] = F[Uu]F[Ψu] (2.29) dengan F[Uu] merupakan transformasi Fourier dari medan kontinuasi ke atas. Untuk mendapatkan F[Uu] diperlukan suatu rumusan analitik dari F[Ψu], yang dapat diperoleh dari transformasi Fourier persamaan (2.28) dan dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝜓𝑢 = −1 2𝜋 𝜕 𝜕 ∆𝑧 1 𝑟 (2.30) dengan 𝑟 = √𝑥2+ 𝑦2+ Δ𝑧2,

Dengan demikian transformasi Fourier dari persamaan (2.30) menjadi: 𝐹[𝜓𝑢] = − 1 2𝜋 𝜕 𝜕∆𝑧𝐹 [ 1 𝑟] = − 𝜕 𝜕∆𝑧 𝑒−|𝑘|∆𝑧 |𝑘| = 𝑒−|𝑘|∆𝑧 ,Δz>0 (2.31)

Kontinuasi ke atas dari suatu permukaan ke permukaan lain dapat dicapai dengan mengalikan transformasi Fourier data pengukuran terhadap suku eksponensial persamaan (2.31).

3.9. Continuous Wavelet Transform (CWT)

Continuous Wavelet Transform (CWT) merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk menganalisis medan potensial dan untuk menemukan sumber penyebabnya. Transformasi wavelet menghadirkan beberapa keuntungan seperti; memungkinkan analisis lokal untuk bidang yang diukur bertentangan dengan transformasi Fourier global, serta, transformasi wavelet memberikan mean untuk menangani noise yang ada dalam data dengan benar (Moreau, 1999).

Teknik Continous Wavelet Transform (CWT) dikembangkan untuk mengurangi masalah non-unik dan ambiguitas yang sering terjadi dalam analis is dan interpretasi medan potensial. Teknik CWT dapat menyederhanakan analis is

(38)

36 | P a g e

cepat pada data dalam jumlah besar, serta dapat memberikan lokasi, kedalaman, dan geometri dari sebuah objek geologi tanpa infromasi apriori (Singh and Singh, 2015)

Continuous Wavelet transform (W) dari sebuah potensial terukur Μ0(x) didefenisikan sebagai:

Di mana ψ adalah wavelet yang dianalisis, b adalah parameter posisi, a adalah parameter dilatasi, dan operator Da didefenisikan sebagai

a x a x

Da∴( ) 1∴

Untuk bidang homogen, Moreau (1995) telah memberikan hubungan antara koefisien-koefisien wavelet pada dua ketinggian untuk tiap-tiap wavelet.

÷÷≠ • ♦ ♦ ♥ ♣ ÷÷≠ • ♦ ♦ ♥ ♣ ÷ ≠ • ♦ ♥ ♣ , " ' " ' " " ' ) ' , ( 0 0 0 0 a z a z a x W z a z a a a a x W ϑ Ε ϑ ϑ

Di mana β merepresentasikan eksponen holder, a’ dan a” merepresentasika n ketinggian-ketinggian berbeda, Z0 merepresentasikan kedalaman benda penyebab

(causative body). ) )( ( ) ( ) , ( 0 0 ,0 b D x a x b a dx a b W a∴ Ι Ι Ι ÷≠ • ♦ ♥ ♣ <

φ φ <

(39)

37 | P a g e

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Data Penelitian

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data anomali gravitasi pulau Flores dan Timor terkoreksi free air yang diperoleh dari

http://topex.ucsd.edu/cgi-bin/get_data.cgi.

4.2. Pengolahan Data

Pengolahan data akan dilakukan pada data anomali Bouguer lengkap dengan zona penelitian adalah permukaan dangkal (shallow surface) pulau Timor. Pengolahan data akan menggunakan beberapa perangkat lunak diantaranya Microsoft Word, Surfer 9.0, Matlab R2013a, Magpick, Grav2Dc. Adapun tahapan dalam penelitian ini yaitu:

1. Data anomali gravitasi free air dikoreksi sampai pada koreksi Bouguer lengkap.

2. Data digrid menggunakan program surfer untuk memperoleh peta konturnya. Peta kontur yang diperoleh dalam satuan koordinat derajat geografis juga dikonversi ke koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) dalam satuan meter agar pengolahan data selanjutnya lebih mudah dikerjakan dan diinterpretasi.

3. Tahap selanjutnya adalah pemisahan anomali lokal dan anomali regional dengan metode kontinuasi ke atas (upward continuation). Anomali Bouguer lengkap yang diperoleh masih berupa gabungan antara anomali regional yang disebabkan oleh sumber dalam dan anomali lokal yang disebabkan oleh sumber dangkal. Untuk keperluan interpretasi dan pemodelan maka anomali ini dipisahkan dengan metode kontinuasi ke atas. Proses kontinuasi ke atas dilakukan secara coba-coba (trial and error) dan bertahap tiap ketinggiannya,

(40)

38 | P a g e

sampai diperoleh peta kontur yang relative stabil. Tahapan ini dilakukan dengan perangkat lunak Magpick.

4. Melakukan pemotongan (slice) pada data anomali lokal.

5. Tahapan analisis dengan teknik CWT dilakukan pada anomali lokal di bawah garis pemotongan (slice) dengan memanfaatkan perangkat lunak Matlab. 6. Pemodelan 2D menggunakan perangkat lunak Grav2Dc pada anomali lokal di

bawah garis pemotongan mengacu pada model geometri hasil dari analisa CWT.

4.3. Interpretasi Data

Interpretasi data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif langsung dilakukan pada kontur anomali Bouguer lengkap, sebelum dan sesudah dikontinuasi. Data anomali ini memberikan interpretasi secara umum yang memperkirakan anomali dari daerah penelitian. Interpretasi kualitatif juga dilakukan pada hasil analisa CWT.

Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan pemodelan inversi 2D yaitu dengan mencari nilai anomali sintetik dan mencocokannya dengan kurva anomali lapangan untuk memperoleh model bawah permukaan. Untuk pemodelan invers i, jika kurva yang dihasilkan sudah menunjukkan korelasi dengan nilai error yang kecil, maka model yang dihasilkan tersebut yang diinterpretasikan. Interpretasi bawah permukaan juga dilakukan dengan mengkorelasikan nilai densitas batuan bawah permukaan hasil pemodelan dengan data dan informasu geologi daerah penelitian serta nilai densitas batuan bawah permukaan berdasarkan data jenis batuan menurut Telford et al., (1990).

(41)

39 | P a g e

4.4. Diagram Alir Penelitian

Gambar 4. 1. Diagram alir penelitian

ANOMALI REGIONAL ANOMALI LOKAL

ANALISIS CWT PEMODELAN 2D INTERPRETASI KUALITATIF INTERPRETASI KUANTITATIF KONTINUASI KE ATAS

KOREKSI BOUGUER LENGKAP

KONVERSI KE KOORDINAT UTM

PLOT PETA KONTUR

DATA SEKUNDER TERKOREKSI FREE AIR INFORMASI DAN DATA

GEOLOGI MULAI

KESIMPULAN

(42)

40 | P a g e

BAB 5

HASIL PENGOLAHAN DAN DISKUSI

5.1. Peta Anomali Bouguer Lengkap

Peta anomali Bouguer lengkap merupakan peta anomali gaya berat yang mencerminkan pola penyebaran densitas batuan bawah permukaan. Hasil pemetaan anomali Bouguer lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.1 dalam koordinat UTM dengan interva l kontur 20 mGal. Peta anomali Bouguer lengkap memiliki nilai anomali positif berkisar antara 150 mGal hingga 430 mGal. Hasil pemetaan topografi data model ETOPO1 Global Relief Model yang ditunjukkan pada Gambar 5.2 memiliki ketinggian maksimum 1700 m dan kedalaman maksimum di bawah mean sea level yaitu 5088 m.

Gambar 5. 1. Peta Kontur Anomali Bouguer Lengkap Dalam Koordinat UTM di Bidang Topografi dengan Interval Kontur 20 mGal

Gambar 5. 2. Topografi Daerah Penelitian Dalam Koordinat UTM

Bagian Utara pada peta menunjukkan pola anomali positif yang tinggi, mengindikasika n bahwa batuan di daerah ini memiliki densitas yang tinggi. Sedangkan di bagian Selatan termasuk daerah pulau Flores hingga bagian Barat Daya dan bagian Tenggara daerah

(43)

41 | P a g e

penelitian menunjukkan anomali positif rendah yang mengindikasikan memiliki densitas yang lebih rendah dibanding daerah di bagian Utara yang merupakan daerah sesar belakang Flores dan daerah cekungan. Keberadaan anomali tinggi di zona gunung api tidak terliha t , dikarenakan pada anomali Bouguer lengkap efek medan terrain yang menambah nila i anomali gravitasi sudah dihilangkan. Keberadaan anomali rendah di daerah samudera tidak terlihat pada peta kontur akibat reduksi yang dilakukan dengan menghilangkan pengaruh massa jenis air laut terhadap anomali gravitasi berdasarkan teori batas pasif benua menurut Lillie (1999), sehingga yang berpengaruh hanya massa yang berada di bawah permukaan.

Hasil pemetaan anomali Bouguer lengkap berupa anomali tinggi pada daerah bagia n Utara, diduga terjadi akibat tumbukan lempeng yang merupakan reaksi terhadap tekanan yang timbul pada busur kepulauan Nusa Tenggara karena adanya tumbukan antara lempeng Eurasia dengan dorongan lempeng Indo-Australia. Selain zona subduksi yang dihasilkan dari tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudera, akibat tumbukan tersebut juga menyebabkan munculnya cekungan belakang dan juga sesar belakang. Akibat penunja ma n lempeng samudera yang memiliki massa jenis lebih besar dari lempeng benua mengakibatkan terjadi penumpukan atau akumulasi massa di daerah zona subduksi, daerah cekungan dan busur belakang. Selain itu yang memungkinkan di bagian Utara memilik i anomali yang tinggi karena kerak samudera cekungan Flores menunjam ke Selatan di bawah busur vulkanik sehingga menyebabkan massa di daerah sesar dan cekungan semakin besar. Hal ini berlawanan dengan subduksi ke arah Utara kerak benua Australia.

5.2. Proyeksi ke Bidang Datar

Proyeksi pada bidang datar dilakukan untuk kedalaman ekuivalen titik massa 18.000 m, 22.000 m, 26.000 m, 30.000 m, 33.450 m dan 36.000 m. Hal ini sesuai dengan kesimpula n dari penelitian yang dilakukan oleh Dampney (1969) tentang kedalaman optimum dari massa ekuivalen. Kedalaman optimum dari massa ekivalen harus memenuhi persamaan 2,5 Δ𝑥<(ℎ−𝑧𝑖)<6 Δ𝑥, dengan Δ𝑥 adalah jarak rata-rata antara titik survei, h adalah bidang kedalaman ekuivalen titik massa, z adalah ketinggian titik survei. Persamaan ini menyataka n bahwa selisih jarak antara sumber ekuivalen titik massa dan ketinggian bidang datar dari referensi minimal 2,5 kali dari spasi grid dan 6 kali dari spasi grid. Perbedaan kedalaman sumber ekuivalen titik massa mempengaruhi hasil proyeksi medan gravitasi ke bidang datar, semakin besar jarak yang diberikan maka semakin kecil medan gravitasinya. Anomali

Gambar

Gambar  2. 1. Road Map Laboratorium  Geofisika  Departemen  Fisika  Fakultas  Sains  dan Analitika  Data  ITS 2019-2024
Gambar  3. 1. Peta struktur  geologi  pulau  Timor  (Charlton,  2001)
Gambar  3. 2. Gaya  tarik  menarik  antara  dua  partikel  massa  (Blakely,  1995)
Gambar  3. 3. Potensial  gravitasi  distribusi  massa  kontinu  (Grant  and West, 1965)
+7

Referensi

Dokumen terkait

jarum hipodermik yang beranggapan bahwa massa merupakan tubuh besar yang terdiri dari orang-orang yang tidak berhubungan tetapi berkaitan kepada media, maka model dua

Kesemua faktor tersebut memiliki pengaruh positif yang signifikan, dimana semakin tinggi manfaat, kemudahan, serta penggunaan sistem, maka tingkat penerimaan

Sedangkan Ikan Kerapu merupakan k omoditas unggulan di pulau Siko, Laigoma dan­ Gafi.­ Secara­ umum­ komoditas­ cakalang­ dan tuna adalah komoditas yang berbasis pada upaya

Dalam pembuatan sabuk pengaman safety belt safe control system (SSCS) pada truk HINO FM-260TI ini menggunakan berbagai komponen pada bagian alat safety belt safe control

Gambaran mengenai perilaku interactive petani bawang merah dalam mereduksi risiko mencerminkan kepatuhan mereka dalam menggunakan teknologi sesuai anjuran, diantaranya :

Tahap observasi pengajaran merupakan langkah keempat dalam pelaksanaan supervisi. Tahapan ini merupakan tahapan paling penting karena berkaitan langsung

 Untuk menghindari terjadinya situasi tersebut, semua proses yang dapat mengakses suatu data tertentu harus disinkronisasi..  Lebih dari satu

koordinasi yang kurang tepat antara rele CHL TR 1A dengan rele CHL TIE I/C, Berdasarkan analisa kurva koordinasi di atas, pada saat terjadi gangguan short circuit minimum bus 234