• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALISASI KATA GANTI ORANG KEDUA TUNGGAL DALAM BAHASA JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REALISASI KATA GANTI ORANG KEDUA TUNGGAL DALAM BAHASA JAWA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2089-3884

REALISASI KATA GANTI ORANG KEDUA TUNGGAL

DALAM BAHASA JAWA

Lisda Farikhatunnisak e-mail: lizzzda@yahoo.com ABSTRACT

Pronoun is a word which is used instead of a noun or a noun phrase. There are some pronouns of Javanese language used in the Javanese people’s daily activity. However, there is also some variation of its use that happens if it is compared with Indonesian language. This paper aims to describe some use variation of the second personal pronoun that relates with the influence of level in good manner and thought construction. The method that will be used in this research is translational equivalence because the analysis is focused on the two languages that are different; Indonesian and Javanese languages. The result of analysis shows that pronoun of Javanese and Indonesian languages have different act of expressing. In the case of word “Anda” in Indonesian language that in Javanese language can be realized in the word “sampeyan, panjenengan”, which may be influenced by age and good manner factors. Furthermore, both pronouns create a man’s thought construction about the region, and social context that are faced by.

ABSTRAK

Kata ganti atau pronomina adalah jenis kata yang menggantikan nomina atau frasa nomina. Ada beberapa kata ganti orang berbahasa Jawa yang digunakan dalam keseharian orang Jawa, tetapi ada beberapa ragam penggunaan yang terjadi jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Paper ini bertujuan mendiskripsikan beberapa ragam penggunaan kata ganti orang bahasa Jawa yang dikhususkan pada orang kedua tunggal kaitannya dengan pengaruh tingkat kesopanan, dan konstruksi pemikiran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan translasional karena analisisnya difokuskan pada dua bahasa yakni Indonesia dan Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa kata ganti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan dalam pengungkapan. Pada kasus kata “Anda” dalam bahasa Indonesia misalnya, yang dalam bahasa Jawanya dapat berupa kata “sampeyan, panjenengan” yang kata ini jika digunakan lebih dipengaruhi oleh faktor usia dan kesopanan. Selain itu, kedua kata ganti tersebut membentuk konstruk pemikiran seseorang tentang wilayah, dan konteks sosial yang dihadapi.

▸ Baca selengkapnya: arti cengkir dalam bahasa jawa

(2)

A. PENDAHULUAN

Jawa merupakan wilayah yang menjadi bagian dari Indonesia. Ia bisa dikata merupakan pulau yang memiliki keragaman budaya yang luar biasa, terutama dalam penggunaan bahasa. Keragaman itu bisa ditemui di beberapa daerah di Jawa. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, ada beberapa bahasa tertentu yang berbeda termasuk dalam penggunaan kata ganti. Bahkan, terdapat perbedaan tertentu antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia.

Penggunaan kata ganti dalam bahasa Jawa terdapat beberapa ungkapan yang cukup beragam dibanding bahasa Indonesia. Keragaman ini memiliki karakteristik dan makna tersendiri. Misalnya saja “kowe, sampeyan, dan panjenengan” memiliki arti sama, namun berbeda maknanya. “Kowe” memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibanding “sampeyan”. Sedangkan “Panjenengan” merupakan kata ganti yang sopan yang biasanya digunakan untuk orang yang usianya tua.

Bagitu juga dalam bahasa Indonesia, kata ganti memiliki tingkat kesopanan yang diungkapan dengan kata yang berbeda. Misalnya kata “anda” lebih sopan ketimbang kata “kamu”. Keduanya mengandung arti sama, namun maknanya akan berbeda ketika dikontekskan dengan subjek yang ditunjuk.

Di samping memiliki tingkat kesopanan, kata ganti tersebut juga mempengaruhi pemikiran seseorang ketika di tempat lain di Jawa yang mana memiliki pengungkapan kata ganti yang berbeda. Misalnya saja, di daerah Jawa Timur, kata ganti “kamu” diungkapan dengan “awakmu, riko, koen, sampeyan dan panjenengan”. Orang daerah Jawa Tengah dan sekitarnya mungkin akan berbeda pemikiran mengenai kata ganti dengan orang Jawa Timur tersebut. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.

Dari sini, bahasa dapat mengkonstruk pemikiran seseorang tentang apa itu “awakmu dan koen” dan kata itu ditujukan kepada siapa. Tidak hanya itu, bahasa ini akan membentuk sebuah kebudayaan tersendiri mengenai tidak hanya wilayah geografis, tetapi juga budaya pelabelan atas bahasa tersebut.

Berangkat dari kenyataan bahasa tersebut, pertanyaan yang muncul adalah apa perbedaan antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia? Kenapa bahasa tersebut muncul sebagai ungkapan yang memiliki, sekaligus mempengaruhi, tingkat kesopanan, dan

(3)

konstruksi pemikiran yang berbeda-beda antara kata ganti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia? Apakah penggunaan bahasa tersebut merupakan kreasi orang Jawa yang mencirikan sebagai budaya Jawa?

Oleh karena itu lah, kiranya penting untuk mengkaji secara khusus penggunaan kata ganti tersebut. Meski ungkapan tersebut cukup lazim dikalangan orang Jawa, namun menjadi perbedaan ketika dikaji secara akademis melalui kaidah bahasa. Selain itu, kajian ini ingin melihat bagaimana bahasa mempengaruhi budaya dan konstruksi pemikiran seseorang.

Karena penelitian ini memfokuskan pada penggunaan kata ganti antara kedua bahasa dengan mengambil fokus satu kasus kata ganti persona yang kedua, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia realisasinya dalam keseharian serta makna di dalamnya, maka metode yang digunakan adalah Padan Translasional. Penggunaan metode ini karena membandingkan antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia serta melihat pengaruh-pengaruh dan kedetailan bahasa tersebut dalam tingkat tertentu.

B. HIPOTESIS SAPIR-WHORF

Dalam sejarah teori linguistik, terdapat hipotesis yang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Hipotesis ini dikeluarkan oleh dua orang pakar yakni Edward Sapir and Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini biasa disebut Hipotesis Sapir-Whorf, Hipotesis Whorfian, Relativitas Linguistik atau Determinasi Linguistik. Whorf (1956, h.212-214) merangkum hipotesis seperti ini:

Sistem linguistik yang melatarbelakangi (dengan kata lain, tata bahasa) tidak semata-mata sebuah instrumen reproduksi untuk menyuarakan ide-ide tetapi agaknya sistem itulah pembentuk ide-ide, program dan panduan untuk aktivitas mental seseorang, untuk analisis kesannya, untuk sintesis pertukaran stok mentalnya… kita menganalisis sifat dasar mengikuti jalur yang sudah digariskan bahasa asli kita … Kita membedah sifat dasar, menatanya menjadi konsep-konsep, dan menyandangkan signifikansi seperti yang kita lakukan, sebagian besar karena kita adalah pihak-pihak yang bersepakat untuk menatanya dengan cara ini- sebuah kesepakatan yang bertahan di seluruh komunitas wicara kita dan dikodifikasi dalam pola bahasa kita (Brown, 2008: 233).

(4)

Dapat diambil kesimpulan bahwasannya pernyataan Sapir-Whorf adalah bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Jadi, bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya. Misalnya, pada kasus bahasa-bahasa yang terikat dengan waktu atau kala cenderung masyarakatnya lebih menghargai waktu. Apa yang mereka lakukan harus sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. Hal ini berkebalikan dengan bahasa-bahasa orang yang tidak terikat dengan waktu yang masyarakatnya sangat tidak menghargai waktu. Tidak heran jika acara yang telah dibuat tidak sesuai dengan pelaksanaannya (Chaer, 2007: 70).

Konsep Kebahasan menurut Hipotesis Sapir-Whorf memiliki dua versi, versi ekstrem dan versi moderat.

1. Versi ekstrem dikenal dengan determenisme bahasa (linguistic determenism) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan menentukan cara pandang dan pola piker penuturnya dalam melihat realitas dunia.

2. Versi moderat, dikenal dengan relativitas bahasa (linguistic relativity) menyatakan perbedaan dalam berbagai bahasa mencerminkan pola pikir yang berbeda dari penutur bahasa (Strazny, 2005:927 via Ubaidillah).

C. KATA GANTI

Pronomina atau kata ganti adalah kata yg dipakai untuk mengganti orang atau benda; kata ganti spt aku, engkau, dia

(http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php). Kata ganti dibedakan atas:

1. Kata ganti orang

a. Kata ganti orang pertama, terbagi atas: 1) Kata ganti orang pertama tunggal

Contoh: aku, saya, daku, ku, -ku 2) Kata ganti orang pertama jamak

Contoh: kami, kita

b. Kata ganti orang kedua, terbagi atas: 1) Kata ganti orang kedua tunggal

(5)

2) Kata ganti orang kedua jamak Contoh: kalian, kamu sekalian c. Kata ganti orang ketiga, terbagi atas:

1) Kata ganti orang ketiga tunggal Contoh: dia, beliau, ia, -nya 2) Kata ganti orang ketiga jamak

Contoh: mereka, -nya 2. Kata ganti penunjuk

a. Kata ganti penunjuk umum Contoh: ini, itu

b. Kata ganti penunjuk tempat

Contoh: sini, situ, sana, di sini, ke sana, dari situ, ke sini, dari sana, ke sini, yakni, yaitu

c. Kata ganti penunjuk ihwal Contoh: begini begitu d. Kata ganti penanya

1) Kata ganti penanya benda atau orang Contoh: apa, siapa, mana, yang mana 2) Kata ganti penanya waktu

Contoh: kapan, bilamana, apabila 3) Kata ganti penanya tempat

Contoh: di mana, ke mana, dari mana 4) Kata ganti penanya keadaan

Contoh: mengapa, bagaimana 5) Kata ganti penanya jumlah

Contoh: berapa

3. Kata ganti yang tidak menunjuk pada orang atau benda tertentu.

Contoh: sesuatu, seseorang, barabg siapa, siapa, apa, apa-apa, anu, masing-masing, sendiri (Waridah, 2010: 275-276). Dalam pembahasan ini, penulis hanya memfokuskan pada kata ganti persona orang kedua yang terealisasikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Jika ditabelkan, maka realisasi pronominal persona bentuk kedua akan terlihat sebagai berikut.

(6)

Kata ganti orang Bahasa Indonesia Bahasa Jawa

Tunggal Tunggal

Kedua Kamu Kowe

Engkau Koen

Kau Riko

Dikau Awakmu

-mu Sampeyan

Anda Panjenengan

D. GAYA BAHASA BAHASA JAWA

Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock via Koentjaraningrat, 1984: 17). Bahasa Jawa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari orang Jawa tidak lepas dari sistem tingkat yang sangat rumit. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan seperti perbedaan kedudukan, pangkat, umur, serta tingkat keakraban antara yang menyapa dan yang disapa. Dalam konsepsi orang Jawa, timbullah tingkat-tingkat bahasa yang berbeda-beda tinggi dan rendahnya yang disebabkan oleh berbagai gaya. Berdasarkan analisis linguistik, unsur-unsur yang menyebabkan berbagai gaya itu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

a) Perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain,

b) Perbedaan sintaksis karena penggunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, kata ganti orang yang lain, atau kata ganti penunjuk yang lain.

Ada 3 gaya yang paling dasar: a) Gaya tak resmi (Ngoko) b) Gaya setengah resmi (Madya)

c) Gaya Resmi (Krami) (Koentjaraningrat, 1984: 17)

Dari ketiga macam dasar tersebut dapat dihasilkan beberapa macam turunan tipe bahasa jawa sebagai berikut,

a) Bahasa ngoko adalah suatu tatanan bahasa yang paling bawah, digunakan dalam percakapan sehari-hari antara yang lebih tua dengan yang muda, orang sederajat atau teman sejawat, atasan keapada pegawainya (bawahannya). Contoh: Lho, koen mau wes mangan a?

(7)

(Lho, kamu tadi sudah makan?)

b) Ngoko andhap digunakan kepada siapa saja yang sudah akrab akan tetapi masih menghormati satu sama lain. Ngoko

andhap itu dibagi menjadi dua: antya basa dan basa antya. Ngoko andhap antya sampai sekarang masih digunakan,

akan tetapi ngoko andhap antya sudah lama tak digunakan bahkan sudah tak lagi dilestarikan dan dianggap sirna. Contoh: Lho, samean mau wes maem a?

(Lho, kamu tadi sudah makan?)

c) Madya adalah bahasa yang sering digunakan dalam masyarakat pedesaan atau masyarakat gunung. Madhya dibagi menjadi dua: madhya ngoko dan madhya krama.

Madhya ngoko adalah sebuah bahasa yang dikalobarasi

dengan bahasa ngoko tetapi lebih lekat kedaerahan; bisa dibilang bahasa daerah setempat yang tak semua orang Jawa mengerti. Ciri-cirinya:

Saya diganti menjadi kula. Anda menjadi dika.

Awalan tak- diganti menjadi kula. Awalan ko- diganti menjadi dika. Awalan di- tidak berubah.

Contoh: Lho, dika wes maem a? (Lho, kamu sudah makan?)

Sedangkan madhya krama biasa digunakan masyarakat desa berbicara dengan orang yang baru kenal atau orang yang dihormati. Bisa dikatakan hampir sama dengan ngoko andhap tetapi memunyai batasan: orang muda kepada yang lebih tua atau dihormati. Ciri-cirinya:

Saya, diganti menjadi kula.

Anda, diganti menjadi sampeyan, samang. Awalan tak- diganti menjadi kula.

Awalan ko- diganti menjadi samang, mang. Akhiran -ku diganti menjadi kula.

Akhiran -mu diganti menjadi sampéyan, samang. Akhiran -e tetap tidak berubah.

(8)

Contoh: Lho, samang sampun maem? (Lho, kamu sudah makan?)

d) Bahasa madhyantara terbentuk dari madya krama akan tetapi kalimat-kalimat yang ditujukan adalah kepada orang yang diajak bicara ditambahi dengan bahasa krama inggil. Bahasa madhyantara dulu biasa digunakan priyayi kecil atau anak bangsawan kepada utusannya. Akan tetapi, bahasa ini sekarang sudah jarang dipergunakan. Ciri-cirinya hampir sama dengan bahasa madya

Contoh: Lho, samang sampun dahar? (Lho, kamu sudah makan?)

e) Bahasa kromo atau krama adalah tingkatan tengah dalam bahasa Jawa sebelum kromo inggil di mana tidak semua kosakata yang diucapkan diganti dengan bahasa alus.

Kromo digunakan kepada orang yang baru kenal atau

sejawat yang lebih dihormati.

Contoh: Lho, samean sampun nedo?

(Lho, kamu sudah makan?)

f) Bahasa kromo Inggil adalah bahasa di mana pengucapanan

krama dicampur dengan krama inggil. Bahasa krama biasa

digunakan priyayi kecil (anak bangsawan) dengan priyayi yang lebih tua, anak muda kepada orang yang lebih tua. Ciri-cirinya:

Saya diganti menjadi kawula, abdidalem kawula, atau dalem. Anda diganti menjadi panjenengan dalem atau disingkat

nandalem.

Contoh: Panjenengan dalem sampun dahar? (Kamu sudah makan?)

g) Bahasa bagongan mulai dikembangkan pada masa pemerintahan Sultan Agung. Basa ini biasa digunakan di lingkungan kraton Mataram dengan tujuan untuk menghilangkan kesenjangan antara pejabat istana dengan keluarga raja. Seiring dengan perkembangan, bahasa

bagongan sekrang sudah jarang digunakan dan bisa

dikatakan hampir punah kecuali oleh orangtua yang dulu pernah mengenal bahasa ini Ciri-ciri:

(9)

Saya diganti menjadi manira. Anda diganti menjadi pakenira Ya diganti menjadi enggeh. Tidak diganti menjadi mboya. Bukan diganti menjadi seyos. Saja diganti menjadi mbesaos. Ini diganti menjadi puniki. Itu diganti menjadi puniku. Apa diganti menjadi punapi. Ada diganti menjadi wenten.

Contoh: Pakeniro pilih puniku mbesaos. (Kamu pilih itu saja).

h) Basa kedhaton dipergunakan dalam area kedhaton/keraton. Bahasa ini juga hampir hilang dan perlu pelestarian.Ciri bahasa ini adalah penyampaian yang halus dan kosakata yang digunakan tergolong tinggi dan sastrawi.

Contoh: Kawula mirsani panjenenganipun ing dalem jawi.

(Saya melihat kamu di luar) (Dhamardjati, 2011 via

http://djatiesampoerno.weebly.com/1/post/2011/1/harmo nisasi-bahasa-dalam-kebudayaan-jawa.html).

Jika kata “kamu” maka dapat diperoleh bahwa bahasa ngokonya adalah “kowe”, bahasa Madyanya adalah “sampeyan”, dan bahasa Kraminya adalah “panjenengan” (Daryanto:73).

E. KETERKAITAN KELUARGA, KEAKRABAN DAN HORMAT ORANG JAWA

Perilaku sosial Jawa ditentukan oleh prinsip-prinsip kerukunan, dan hormat. Tiap individu dituntut untuk selamanya berada di bawah tekanan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan kedua prinsip tersebut. Tekanan dari luar ini didukung oleh perasaan isin dan

sungkam dari dalam. Kedua prinsip keselarasan itu menuntut agar

dorongan-dorongannya sendiri senantiasa dikontrol. Rangsangan-rangsangan alamiah yang muncul ditahan sebisa mungkin untuk dapat menyesuaikan diri dengan berbagai otoritas. Begitu pula prinsip keselarasan menuntut agar masing-masing orang selalu menempatkan penilaian-penilaian dan pertimbangan-pertimbangannya di bawah prasyarat persetujuan masyarakat, yang

(10)

sesuai dengan hubungan-hubungan hirarki yang ada. Satu-satunya tempat bebas tanpa tekanan tersebut adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah tempat keamanan dan sumber perlindungan.

Dalam keluarga hubungan antara para anggotanya diharapkan didasari oleh rasa cinta (tresna), dan tresna itu nampak kalau orang tidak merasa isin satu sama lain. Bagi perasaan Jawa perbedaan yang paling berarti secara psikologis adalah perbedaan antara keakraban (tresna) dan hubungan-hubungan yang menuntut sikap hormat. Ia merasa enak dan aman di mana ia bebas dari dorongan untuk bersikap hormat dan di mana terdapat suasana keakraban.

Keluarga idealnya merupakan tempat di mana orang Jawa, bebas dari tekanan-tekanan lahiriah dan batiniah, dimana seseorang dapat mengembangkan jiwa kesosialannya dan individualitasnya. Justru karena dalam masyarakat luas ia berada di bawah tekanan psikis untuk selalu menyembunyikan perasaan-perasaannya yang sebenarnya, serta untuk selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap pihak, maka keluarga menjadi oasis kebebasan tekanan batin dan tempat di mana ia bisa menjalankan keutamaan-keutamaan sosial sesuai dengan perasaan dan pengertiannya sendiri.

Dari sini, jika dalam lingkungan masyarakat yang luas selalu dipengaruhi oleh kedudukan dan pangkat, maka di dalam lingkungan keluargalah dipengaruhi oleh suasana keakraban. Tidak heran jika orang Jawa dalam berbahasa dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya dapat berbeda.

F. PEMBAHASAN

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia memiliki perbedaan dalam penggunaan kata ganti tunggal yang pada dasarnya memiliki arti yang sama. Misalnya saja kata ganti “kamu” sama artinya dengan kata “kowe, awakmu, riko”. Pada kata “anda” sama artinya dengan kata “sampeyan dan panjenengan”.

Dari kedua bahasa tersebut, kita bisa mengamati dengan menggunakan metode padan transasional tentang bagaimana perbedaan keduanya, lalu menguhubungkan padanannya. Dalam tulisan ini, penulis ingin melihat bagaimana bahasa itu digunakan

(11)

dalam komunikasi kebanyakan masyarakat Jawa. Untuk melihat lebih jauh, perlu dianalisis bagaimana pengaruh kedua bahasa tersebut terhadap konstruk pemikiran dan budaya.

1. Kesamaan Translasional

Barangkali kedua bahasa tersebut bisa jadi ada beberapa kata yang lebih detail antara yang satu dengan yang lain. Dalam bahasa Indonesia, hanya kata “anda” yang biasanya digunakan untuk orang yang lebih tua. Sedangkan dalam bahasa Jawa, untuk menunjuk pada orang yang lebih tua terdapat kata “sampeyan dan panjenengan”. Kedetailan bahasa Jawa ini barangkali tidak bisa disamakan persis. Namun, karena keterbatasan bahasa Indonesia, kedua kata bisa dibilang sama dalam pengertiannya.

Untuk melihat lebih jauh tentang kesamaan translasional, perlu kiranya disebutkan disini satu persatu sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini

Bahasa Indonesia Bahasa Jawa

1. Kamu 1. Kowe (biasanya digunakan didaerah Jawa tengah), awakmu, koen, riko (digunakan di daerah Jawa Timur)

2. Anda 2. Sampeyan dan panjenengan

Kesamaan tersebut berangkat dari kata yang umum digunakan dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Hal ini mengingat orang Jawa terkadang menciptakan bahasa-bahasa baru, dan biasanya digunakan untuk kelompok tertentu. Maka, yang disepadankan diatas adalah kata ganti yang seringkali digunakan masyarakat Jawa, bukan bahasa “gaul” muncul pada trend-trend tertentu.

Menyangkut kesepadanan diatas kalau dilihat lebih jauh sebenarnya masih ada perbedaan yang sulit disepadankan. Kata “anda” memang bisa disepadankan dengan kata “sampeyan dan panjenengan”, tetapi kata yang kedua ini memiliki kedetailan tersendiri. Kata “Sampeyan” memiliki konteks tersendiri dan kata “panjenengan” memiliki konteks dan tersendiri. Sedangkan kalau kata “anda” bisa masuk keduanya.

(12)

2. Konstruk Pemikiran

Bahasa dapat mempengaruhi budaya. Apa yang dilakukan orang terkadang sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan. Orang yang menggunakan bahasa “kowe” misalnya pada tataran kebiasaan keseharian akan membentuk suatu budaya bagaimana mengungkapkan kata ganti kepada orang. Begitupun penggunaan kata ganti “kamu” secara otomatis akan membentuk kebiasaan tersendiri ketika menggunakanya kepada orang yang tidak dikenal atau di lingkungan pendidikan.

Pengaruh terhadap pemikiran seseorang terlihat ketika kata ganti bahasa Jawa dan Indonesia memiliki penggunaan pada konteks tertentu. Karena dalam proses pendidikan, misalnya, terbiasa ataupun dianjurkan menggunakan kata “kamu” untuk menyebut kata ganti tunggal, maka apa yang terdapat dalam pikiran orang adalah penggunaan “kamu” digunakan untuk kegiatan formal. Dalam hal ini, pemikiran orang tersebut mula-mulanya berangkat dari fakta bahasa.

Adanya kata ganti “kowe, awakmu, riko, sampeyan dan panjenengan, konstruk pemikiran seseorang akan mengarah pada batas usia sebagai sasaran pengungkapan kata ganti tersebut. Dengan demikian, kata ganti tersebut juga tidak hanya sekadar menujuk pada subjek yang diganti, melainkan juga berbicara mengenai batas usia, kebiasaan, moral, wilayah, dan lainnya. Karena itu lah dalam makna dan hubungannya yang lebih kompleks, bahasa sangat mempengaruhi budaya.

3. Pengaruh Budaya

Kedua bahasa tersebut memiliki tingkat kebudayaan tertentu. Setidaknya, budaya tersebut bisa disederhanakan menjadi dua, yaitu kesopanan dan kekerabatan atau kedekatan.

a. Kesopanan

Kata ganti Bahasa Indonesia dan Jawa sebagaimana dijelaskan diatas bisa disepadankan melalui tingkat kesopanan. Karena keduanya membentuk suatu pola penggunaan bahasa untuk

(13)

menunjuk kesopanan. Misalnya saja, “anda” lebih sopan dibandingkan dengan “kamu”. Ini akan membentuk sebuah budaya masyarakat bahwa anda merupakan sebuah penggunaan kata yang sopan.

Begitu juga dalam bahasa Jawa, ada tingkat kesopanan dalam penggunaan kata ganti. Misalnya saja, kata “sampeyan dan panjenengan” lebih sopan ketimbang kata “kowe, awakmu, dan riko”. Pada level ini, bahasa Jawa juga membicarakan tentang batas usia, moral, dan kebiasaan. Ini lah kenapa bahasa cukup mempengaruhi budaya.

b. Kekerabatan

Selain memiliki tingkat kesopanan, bahasa juga memiliki makna kekerabatan. Ini bisa dijumpai dalam penggunaan kata ganti kedua bahasa diatas. Dalam bahasa Indonesia, kata “kamu” biasanya lebih mengarah pada kekerabatan yang terdapat diantara sesama pemuda. Sesama pemuda akan merasa asing ketika disebut dengan kata anda. Ini juga lebih menajamkan rasa emosional antara keduanya. Bagi orang yang belum dikenal, biasanya orang lebih menggunakan kata “anda” ketimbang kata kamu.

Begitu juga dalam bahasa Jawa, kata ganti yang seringkali diungkapan oleh orang Jawa juga menunjukkan unsur kekerabatan atau kedekatan. Orang Jawa ketika berbicara dengan orang yang belum dikenal, yang notabene usianya sepadan, lebih menggunakan kata “sampeyan dan panjenengan”. Sedangkan ketika sudah kenal secara dekat atau memiliki hubungan kerabat dekat, yang usianya sepadan, lebih sering menggunakan kata “kowe, koen, atau riko”.

G. KESIMPULAN

Dari deskripsi diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa penggunaan bahasa Jawa dan Indonesia terdapat perbedaan ungkapan dan konteks, tetapi memiliki kesamaan arti. Kesemua pembahasan diatas kiranya bisa disimpulkan sebagai berikut;

1. Kata ganti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan dalam pengungkapan.

(14)

2. Kata ganti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terdapat perbedaan pada kata “Anda”. Kata ganti bahasa Jawa lebih detail dalam konteks usia dan kesopanan, yaitu “sampeyan dan panjenengan”.

3. Kata ganti kedua bahasa tersebut membentuk konstruk pemikiran seseorang tentang batas usia, wilayah, dan konteks sosial yang dihadapi.

Kata ganti kedua bahasa tersebut mempengaruhi budaya satu sama lain, terutama pada tingkat kesopanan dan kekerabatan. Akan tetapi, bahasa Jawa memiliki tingkat kesopanan dan kekerabatan yang lebih detail ketimbang bahasa Jawa.

H. DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa,

ed. kelima, terj. Amerika: Pearson Education.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Daryanto. Kawruh Basa Jawa Pepak. Surabaya: Apollo.

Dhamardjati, Diemas. Harmonisasi Bahasa dalam Kebudayaan

Jawa. Weebly.com. 14 Januari 2011. Web. 25 Juni 2012. < http://djatiesampoerno.weebly.com/1/post/2011/1/harmonisasi -bahasa-dalam-kebudayaan-jawa.html>

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa; Seri Etnografi Indonesia

No. 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik; ed. ketiga. Jakarta: Gramedia Putaka Utama.

Ubaidillah. 2012. Hipotesis Sapir-Whorf, ppt. Yogyakarta: Sastra Inggris FAIB UIN Sunan Kalijaga.

Waridah, Ernawati. 2010. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta : Kawan Pustaka.

__. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 4

Februari 2008. Web. 24 Juni 2012. <

Referensi

Dokumen terkait

Kerja Sama Usaha tani Tebu Rakyat (KSU-TR), yaitu kerja sama saling menguntungkan dalam melaksanakan usaha tani tebu antara petani/kelompok tani/Koperasi dengan Pabrik

(2005) yang mengkaji suhu ion dan elektron di lapisan F ionosfera pada kawasan India ketika suria minimum tahun 1995 - 1996 mendapati bahawa suhu ion dan elektron adalah berkadar

Dasar pertimbangan peneliti memilih SDN 1 Prigi Kebumen sebagai lokasi penelitian dikarenakan (1) pembelajaran IPS yang di sekolah tersebut masih bersifat

Pengantar $ebuah diskusi dalarn pelatihan keuangan menjadi penga- Iaman menarik karena ternyata banyak di antara peserta diskusi tersebut mengalami, merasakan, dan

Karena kualitas lembaran pulp kulit durian rendah maka pulp tersebut dibuat untuk kertas dasar untuk kertas bungkus berlaminasi plastik yang persyaratan

Departemen pendidikan Lithuania yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005 mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti

Uji toksisitas tahap awal dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dilakukan terhadap ekstrak kental n -heksana dan metanol untuk mengetahui aktivitas

i. Mengkaji kesan agregat berkubik yang telah dihancurkan menggunakan mesin Barmac terhadap kekuatan konkrit asfalt berbanding agregat ketaksekataan. Menentukan kandungan