• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 DI KECAMATAN GEMUH KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 DI KECAMATAN GEMUH KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 DI KECAMATAN

GEMUH KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Muhammad Sirojudin Athar 11140440000077

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 1442H/2021M

(2)

i

PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 DI KECAMATAN

GEMUH KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Muhammad Sirojudin Athar 11140440000077

Pembimbing:

Dr. Syahrul Adam, M. Ag.

NIP. 197305042000031002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 1442H/2021M

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Sirojudin Athar

Nim : 11140440000077

Fakultas : Syariah dan Hukum

Jurusan : Hukum Keluarga

Judul Skripsi : Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 05 April 2021

(5)

iv ABSTRAK Muhammad Sirojudin Athar

Praktik Perkawinan Anak Di Bawah Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Skripsi ini membahas tentang praktik perkawinan anak di bawah umur di Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, bahwa batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (Sembilan belas) tahun. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan terkait perkawinan anak di bawah umur di tahun 2019 sampai dengan 2021, terdapat beberapa desa di Kecamatan Gemuh yang melakukan perkawinan di bawah umur hal ini tidak terlepas dari keputusan Pengadilan Agama Kendal yang mengabulkan permorhonan dispensai kawin tersebut, dari beberapa anak yang menikah di bawah umur terdapat beberapa faktor yang menyebakan anak menikahan di bawah umur salah satunya adalah karena hamil sebelum menikah.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field Research) sumber primernya diperoleh melalui wawancara dengan pelaku perkawinan di bawah umur, KUA Kecamatan Gemuh dan majlis hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kendal, sementara itu sumber sekundernya diperoleh dari berbagai buku-buku, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan

Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya praktik perkawinan di bawah umur di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal antara lain hamil di luar nikah, pengaruh rendahnya pendidikan orang tua, media internet dan tidak mengetahui undang-undang perkawinan.

Kata Kunci: Undang-Undang Perkawinan, Perkawinan di bawah umur, Kecamatan Gemuh

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke pada Allah Swt, atas segala rahmat, nikmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Ṣalallah ‘Alaihi wa al-Salām yang selalu kita harapkan limpahan syafa’aatnya, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata Satu (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan bimbingan, arahan, saran, dan kritik dari berbagai pihak yang memberikan kontribusi, baik itu berupa bantuan, motivasi, material, dan spritual. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag, selaku ketua program studi Hukum Keluarga

4. Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A, selaku sekretaris program studi Hukum Keluarga.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis, yakni Bapak Dr. Syahrul Adam M.Ag, yang sangat bermurah hati meluangkan waktunya buat penulis dalam berdiskusi terkait skripsi ini kepada penulis

6. Seluruh dosen di jurusan Hukum Keluarga yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis

(7)

vi

7. Seluruh staf jurusan dan fakultas yang turut membantu mengurusi terkait administrasi penulis.

8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Mahya dan Ma’rifa, yang selalu mendo’akan, memberi nasehat, dukungan, dan memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan mengampuni kesalahannya.

9. Ustadz Akhyar Rosidi yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi, masukan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Bang Khaidir, Fuad, yang selalu memberi nasehat dan dukungan kepada penulis. Semoga dimudahkan segala urusannya.

11. Seluruh sahabat-sahabat Hukum Keluarga angkatan 2014, teman-teman seperjuangan, teman berdiskusi, semoga Allah memberikan keberkahan dalam pertemuan kita.

Sekali lagi, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mohon maaf atas segala kekurangan terimakasih atas dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal kebaikan untuk semua.

Ciputat, 05 April 2021

Muhammad Sirojudin Athar

(8)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Trasliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan kebudayaan R.I. Nomor. 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا Alif - Tidak dilambangkan ب Ba B Be ت Ta T Te ث Ṡ Ṡ Es (dengan titik di atas) ج Jim J Je ح Ḥ Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ج Kha Kh Ka dan Ha د Dal D De

ذ Ż Ż Zet (dengan titik di

atas)

(9)

viii

ز Zai Z Zet

س Sin S Es

ش Syin Sy Es dan Ye

ص Ṣad Ṣ Es (dengan titik di

bawah)

ض Ḍ Ḍ De (dengan titik di

bawah)

ط Ṭ Ṭ Te (dengan titik di

bawah)

ظ Ẓ Ẓ Zet (dengan titik di

bawah)

ع ‘Ain ‘ Koma terbalik

غ Gain G Ge ف Fa F Ef ق Qaf Q Qi ك Kaf K Ka ل Lam L El م Mim M Em ن Nun N En و Wau W We

(10)

ix

ه Ha H Ha

ء Hamzah ` Apostrop

ي Ya Y Ye

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vocal tunggal disebut juga monoftong dan vocal rangkap atau disebut diftong. Untuk vocal tunggu sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan أ A Fathah إ I Kasrah أ U Ḍammah

Adapun untuk vocal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan يئ Ai A dan I وئ Au A dan U

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vocal panjang (mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

(11)

x Arab Latin اى Ā a dan garis di atas يى Ī i dan garis di atas وى Ū u dan garis di atas C. Kata Sandang

Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf syamsiyah dan qamariyah.

Al-Qamariyah رْيِن ملا al-Munīr

Al-Syamsiyah لاَج ِرْلا al-Rijāl

D. Syaddah atau Tasydīd

Dalam bahasa Arab syaddah dan tasydīd dilambangkan dengan “ ّ” ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:

Al-Qamariyah ة َّو قْلا al-Quwwah

Al-Syamsiyah ةَر ْو ر ِضْلا al-Ḍarūrah

E. Ta Marbūṭah

Ta marbūṭah, dalam aksaranya terdapat pada kata yang berisi sendiri. Ta marbūṭah dialih aksarakan menjadi huruf “h”. hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah diikuti oleh kata sifat (na’t). Namun, jika huruf ta

(12)

xi

marbūṭah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”. Contohnya:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةَقْي ِرَط Ṭarīqah

2 ةَّيِمَلاْسِلإْا ةَعِماَجْلا al-Jāmi’ah al-Islāmiyah 3 ِد ْو ج وْلا ةَدْح َو Waḥdat al-Wujūd

F. Huruf Kapital

Penerapan huruf capital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapita tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Kindi.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Indonesia sendiri, tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Ranir, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

G. Singkatan-singkatan

(13)

xii

QS. Al-Qur’an Ṣurah

Swt. Subḥanahu wa Ta’āla

Saw. Ṣallallāhu ‘Alaihi Wasallam

Ra. Raḍiyallāhu ‘Anhu

Terj. Terjemah

M. Masehi

H. Hijriah

(14)

xiii DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL………...i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………..ii

LEMBAR PENGESAHAN………..iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN………...….iv

ABSTRAK……….…...v

KATA PENGANTAR………...vi

LEMBAR PEDOMAN……….……..viii

DAFTAR ISI………..….xiii

BAB I PENDAHULUAN……….…….1

A. Latar Belakang Masalah………...…..1

B. Identifikasi Masalah ………...……6 C. Batasan Masalah………...………...7 D. Rumusan Masalah……..……….7 E. Tujuan Penelitian ………...……8 F. Manfaat Penelitian ………...…….. 8 G. Metodologi Penelitian………...….. 9 H. Sistematika Penulisan………...12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN………....13

A. Berdasarkan Hukum Islam ……… 13

B. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan...……… 22

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………...…... 30

BAB III OBYEK PENELITIAN…………...…….…….………..32

A. Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal………...32

B. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gemuh…... 36

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN……….. 40

A. Praktik Pernikahan Anak di Kecamatan Gemuh…...40

(15)

xiv

C. Analisa Dampak Perkawinan di Bawah Umur………….. 51

D. Solusi Penyelesaian Masalah Perkawinan di Bawah Umur………...54 BAB V PENUTUP……….………...…...59 A. Kesimpulan………….………59 B. Saran……… ………...…...60 DAFTAR PUSTAKA………...61 LAMPIRAN-LAMPIRAN………..62

(16)
(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah Agama universal, yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Tidak ada satupun masalah dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan atau disentuh oleh nilai Islam, salah satu di antaranya adalah mewujudkan sebuah pernikahan yang tentram dan bahagia.

Islam juga memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah Swt, mengikuti sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diperhatikan. Dalam Undang-Undang RI Nomor satu tahun 1974 tentang perkawinan bab 1 pasal 1, Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.1

Dalam al-Qur’an juga dijelaskan sebagaimana firman Allah Swt, dalam Q.S al-Nisa [4]:1 yang berbunyi:

ي

اَهَج ۡوَز اَهۡنِم َقَلَخ َّو ٍةَد ِحا َّو ٍسۡفَّن ۡنِ م ۡم كَقَلَخ ۡىِذَّلا م كَّبَر ا ۡو قَّتا ساَّنلا اَهُّيَاـ

اءٓاَسِن َّو اارۡيِثَك الًاَج ِر اَمُهۡنِم َّثَب َو

ۚ

َماَح ۡرَ ۡلًا َو ٖهِب َن ۡوُلَءٓاَسَت ۡىِذَّلا َ هاللّٰ اوُقَّتا َو

ؕ

َهاللّٰ َّنِا

َلَع َناَك

اابۡيِقَر ۡمُكۡي

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah

1 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV Nuansa

Aulia), 76. Lihat juga Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”, Pendidikan Agama

(18)

menciptaka istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Istilah kawin berasal dari bahasa Arab, disebut dengan kata “nikah” ada pula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqih dengan menggunakan perkataan nikah dan zawaj.2 Sedangkan menurut istilah

Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.3

Perkawinan adalah sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.4 Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawaninan adalah akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dengan akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.5

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Perkawinan di Indonesia yang dikutip oleh Tengku Erwinsyahbana dalam Jurnalnya beliau mengatakan, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan

2 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1974), 79. Liha juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan

Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta, 1973), 468

3 Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 62

4 Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husni al-Damsyiqi al-Syafi’I,

kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t, th., Juz 2),

36

5 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr,

(19)

3

jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar iman.6

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dimana Negara menjamin kepada tiap-tiap warga Negara Indonesia untuk membentuk keluarga sebagaimana pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Terciptanya keluarga yang bahagia dan sejahtera maka secara otomatis akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang pada akhirnya sampai kehidupan bangsa, sehingga apa yang sudah menjadi cita-cita dan tujuan pembangunan nasional akan dapat terwujud.7

Mengingat perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang kesajahteraan bangsa, maka di Indonesia telah ada hukum perkawinan secara otentik diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang kemudian, setelah 45 tahun lamanya, UU No. 1 1974 tentang perkawinan akhirnya mengalami penyegaran. Pasal 7 ayat (1) yang semula menyatakan bahwa batas usia minimum bagi wanita untuk menikah adalah 16 tahun kemudian diubah dengan menaikkannya menjadi 19 tahun setara dengan laki-laki.

Perubahan ini mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 atas permohonan judicial review terhadap Pasal 7 ayat (1) karena dianggap tidak konstitutional dan diskriminatif. Perubahan tersebut secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2019. Pemerintah

6 Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Pada Negara Hukum Berdasarkan

Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 01

7 Budi Prasetyo, “Perspektif Undang-Undang Perkawinan Terhadap Perkawina Di

(20)

berharap perubahan UU Perkawinan tersebut dapat menekan angka perkawinan anak di bawah umur.8

Menurut penulis penentuan batas minimal usia kawin yang telah disebutkan, adalah untuk menjaga keutuhan hubungan suami istri dan juga untuk mencegah meledaknya jumlah kelahiran yaitu dengan cara mencegah perempuan dan laki-laki menikah di usia dini,

Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologis maupun psikologis.

Hal ini sangatlah penting untuk mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan pada usia muda atau perkawinan anak-anak sebab perkawinan yang dilaksanakan pada usia muda banyak mengakibatkan perceraian dan keturunan yang diperolehnya bukan keturunan yang sehat. Karena pernikahan usia dini yang dilakukan oleh remaja di bawah umur yaitu antara 13 sampa 19 tahun dapat dibilang belum cukup matang baik secara fisik maupun fsikologis.

Usia dini sendiri masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa (remaja) dimana anak-anak akan mengalami berbagai perubahan dalam segala bidang, Perkawinan yang dilakukan pada anak di bawah umur merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak karena dampaknya cukup rentan baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan, serta kekerasan dalam hidupnya.

Berdasarkan survey data kependudukan (SDKI) tahun 2007, di beberapa daerah ditemukan banyak sekali jumlah pernikahan dini yang

8 Mughniatul Ilma, “Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia

Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU NO. 16 Tahun 2019” Hukum dan Pranata sosial

(21)

5

dilakukan oleh pasangan di bawah umur (di bawah usia 19 tahun). berdasarkan data dari pusat kajian Gender dan Seksualitas Indonesia pada tahun 2005 mengatakan, bahwa Indonesia berada di peringkat ke dua di kawasan Asia Tenggara karena memiliki angka pernikahan dini yang tinggi, yaitu, sekitar 2 juta dari 7,3 juta prempuan di bawah umur 15 tahun. jumlah kasus pernikahan dini sampai saat ini semakin bertambah jumlahnya dapat melebihi 50 juta penduduk dengan rata-rata usia yang menikah 16-19 tahun.9

Oleh karena itu akhirnya pemerintah pada bulan Oktober 2019 mengesahkan UU N0. 16 tahun 2019 yang isinya membahas tentang perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa batas usia minimal perempuan dan laki-laki menikah menjadi 19 tahun. Berubahnya bunyi pasal ini diharapkan dapat menurunkan angka perkawinan dini yang sebelumnya massif dilakukan

Namun pada prakteknya, lembaga perkawinan justru terkesan membuka peluang legalisasi terhadap terjadinya perkawinan ini dengan adanya pasal 7 Undang-Undang perkawinan yang akhirnya memantik beberapa korban perkawinan dini. Hal ini disebabkan oleh Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan apabila terdapat penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut maka orang tua dari pihak pria maupun wanita diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan karena alasan mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan ini sebagai tugas akhir dalam penyelesaian studi penulis dengan judul Skripsi: Praktik Perkawinan Anak di Bawah

9 Fachria Octaviani, Nunung Nurwati, Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap

Perceraian di Indonesia, (Fakuktas Ilmu sosial dan Ilmu Poitik, Universitas Padjajaran),

(22)

Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di Kec. Gemuh Kab. Kendal, Jawa Tengah

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis jelaskan ditemukan identifikasi masalah yaitu, Pertama, Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur, Kedua, dampak dari pernikahan dini, Ketiga, Pengaruh pernikahan di bawah umur terhadap keharmonisan keluarga, keempat, pertimbangan hakim dalam penetapan dispensasi perkawinan di bawah umur, kelima, Pengaruh Undang-Undang Perkawinan No 16 tahun 2019 terhadap perkawinan dini, keenam, sosialisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh, ketujuh, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh.

C. Batasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diaharapkan penulis. Maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, penulis hanya akan membahas adanya Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas:

(23)

7

a. Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal

b. Bagaimana sosialisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh

c. Bagaimana Pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

d. Untuk megetahui faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal

e. Untuk mengetahui sosialisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh

f. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 di Kecamatan Gemuh

F. Manfaat Penelitian

Penulis berharap semoga dengan adanya penelitian ini yaitu, Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di Kec. Gemuh Kab. Kendal, Jawa Tengah. Semoga penelitian ini bisa bermanfaat untuk orang banyak, dalam permasalahan pernikahan di bawah umur, khususnya dalam persoalan dispensasi yang harus dihadapi dengan serius oleh seorang hakim. tidak boleh dilakukan sekehendak hakim. Meskipun, masih ada ketidakjelasan tentang ketentuan alasan dan bukti yang diajukan dalam permohonan dispensasi, namun

(24)

hakim harus menggali latar belakang dan alasan dispensasi tersebut, tidak hanya sekedar mengetahui atau mendengar tetapi juga menelusuri lebih dalam tentang kondisi mikro dan makro yang mengitari kehidupan si anak, dan memahami kondisi anak secara psikologis, sosiologi, ekonomi, pendidikan dan kesehatannya, serta mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin akan terjadi jika alasan itu diterima, sehingga hakim dapat mengambil kesimpulan tepat tentang layak atau tidak layaknya dikabulkannya suatu permohonan dispensasi.

Seomoga penelitian ini juga dapat menjadi sumber pengetahuan oleh masyarakat khalayak umum terhadap dampak dari pernikhan di bawah umur. Terakhir manfaat penelian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana.

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan atau tatanan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan optimal.10 Sehingga untuk mendapatkan hasil yang cermat, penelitian ini menggunakan tahapan-tahapan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah termasuk penelitian lapangan (field research) yaitu memaparkan dan menggambarkan keadaan serta fenomena yang lebih jelas mengenai situasi yang terjadi, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Adapun yang dimaksud penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

(25)

9

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.11 Sehingga hasil dan kesimpulan penelitiannya nanti bukan berupa data-data anggka melainkan data-data yang diperoleh dengan jalan wawancara 2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normative-empiris yaitu melakukan analisis terhadap suatu fenomena berdasarkan peraturan normatife yang terjadi dalam suatu masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif-nalitis yakni mendiskripsikan berbagai hal seputar data mengenai Praktik Perkawinan Anak Di Bawah Umur Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Di Kecamatan Gemuh.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Gemuh Kabutaen Kendal. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa di desa tersebut masih banyak pasangan yang menikah di bawah umur meskipun pemerintah sudah berupaya mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur dengan cara menetapkan UU Perkawinan No 16 tahun 2019, sehingga menarik untuk diteliti.

4. Data dan Sumber Data

Dalam hal ini data yang akan diteliti meliputi faktor yang menyebabkan praktik perkawinan anak di bawah umur masih sering terjadi meskipun sudah ada Undang-Undangnya.

Sumber data adalah tempat atau orang yang darinya dapat diperoleh suatu data atau informasi.12 Terdapat dua jenis sumber data, yaitu data

11 Lexy j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000), 3

(26)

primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya baik berupa wawancara Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari sumber pertama atau tidak secara langsung, tetapi dari media perantara misalnya buku-buku penunjang.

Dalam penelitian ini sumber data primer yaitu diperoleh melalui wawancara dengan pelaku pernikahan dini, kemudian Pejabat PPN di lingkungan KUA Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal untuk memperoleh informasi tata tertib administrasi pencatatan perkawinan terhadap pasangan bawah umur, terakhir peneliti melakukan wawancara dengan majlis Hakim pengadilan Agama Kota Kendal, untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur di kantor KUA. Sedangkan data sekunder adalah buku-buku penunjang dalam melakukan penelitian ini

5. Metode Pengumpulan Data

a. Penulis menggunakan metode Library Research, dalam mengumpulkan data yaitu dengan cara mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literature-literatur yang berkaitan dengan pembahasan skripsi.

b. Penulis menggunakan metode Field Research, yaitu suatu pola pengumpulan data di lapangan dengan memilih lokasi yang berada di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal. Dalam penelitian ini penulis mengemukakan data melalui metode:

1. Interview, yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan mengadakan wawancara dengan pelaku pernikahan dini, kemudian Pejabat PPN di lingkungan KUA Kecamatan Gemuh

(27)

11

Kabupaten Kendal, dan melakukan wawancara dengan majlis Hakim pada pengadilan Agama Kota Kendal.

2. Observasi, yaitu suatu cara dengan mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung di lapangan terhadap hal yang sesuai dengan pembahasan

6. Metode Pengolahan Data

a. Metode komparasi, yaitu metode yang digunakan untuk membandingkan antara satu data dengan data yang lain. Dalam hal ini mungkin ada data yang didukung atau hanya sekadar diadakn pengkompromian, sehingga tidak saling bertentangan kemudian mengambil suatu kesimpulan.

b. Metode Induksi, yaitu dengan jalan membahas dan meneliti persoalan yang bersifat khusus, kemudian mengadakan generalisasi kepada hal yang lebih umum, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan pengertian universal.

c. Metode deduksi, yaitu dengan jalan membahas dan meneliti persoalan yang bersifat khusus dari segi pengatahuan yang bersifat umum, kemudian ditarik dan ditemukan suatu kesimpulan secara deduktif.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ini terdiri dari lima bab dengan tiap-tiap bab terdiri dari sub bab yang saling terkait sehingga dapat membentuk suatu susunan pembahasan, untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang urutan pembahasan skriosi ini agar menjadi sebuah kesatuan bahasa yang

(28)

utuh maka penulis akan memaparkan mengenai sistematika pembahasa sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi pustaka dan sistematika pembahasan.

Bab II, Landasan teori, dalam bab ini berisi pembahasan tentang

kajian teoritis meliputi pengertian perkawinan dan dasar hukumnya, rukun dan syarat perkawinan, asas-asa perkawinan, tujuan perkawinan, batas usia perkawinan.

Bab III, Hasil penelitian, dalam bab ini penulis akan menjelaskan

mengenai profil Kantor Urusan Agam (KUA) Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, Faktor penyebab perkawinan di bawah umur.

Bab IV, Analisa hasil penelitian, dalam bab ini penulis akan

menganalisa hasil penenlitian faktor penyebab terjadinya praktik perkawinan di bawah umur di KUA Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.

Bab V, Penutup, dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan,

(29)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan

Dalam literatur fiqh yang berbahasa Arab, perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua kata, yaitu nikāh dan zawāj. Kedua kata tersebut sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, dengan memiliki arti kawin.13 Seperti

dalam QS. al-Nisā’ [4]:3

َث ل ث َو ى نْثَم ِء اَسِ نلا َنِ م ْم كَل َباَط اَم ا ْو حِكْناَف ى م تَيْلا ىِف ا ْو طِسْق ت َّلََّا ْم تْف ِخ ْنِا َو

ا ْو ل ْو عَت َّلََّا ىٰٓ نْدَا َكِل ذ ۗ ْم ك ناَمْيَا ْتَكَلَم اَم ْوَا ًةَد ِحا َوَف ا ْو لِدْعَت َّلََّا ْم تْف ِخ ْنِاَف ۚ َع ب ر َو

Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim

Dalam bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering digunakan untuk arti persetubuhan

13Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

(30)

(coitus), juga untuk arti akad nikah.14Dalam kamus besar bahasa Indonesia nikah mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami isteri secara sah.15

Menurut Sajuti Thalib yang dikutip oleh M. Idris Ramulyo dalam bukunya Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam mengatakan perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorag perempuan membentuk keluarga yang kekal santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.16

Perkawinan di Indonesia mempunyai dua makna umum yaitu, pertama, perkawinan dengan makna konvensional, kedua, perkawinan dengan makna modern (pilihan rasional). Dilhihat dari sudut perempuan, perkawinan merupakan sesuatu hal yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial dan menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dilakukan. Menurut Duval dan Miller dalam bukunya “marriage and family development” yang dikutip oleh Lindha Pradhipti Oktarina, dkk, dalam jurnalnya, disebutkan bahwa pernikahan sebagai bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan, dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan.17

Dalam perkawinan yang bersifat konvensional, perempuan tidak diberi kebebasan seperti laki-laki. Pembedaan pandangan dan makna dalam perkawinan inilah yang kadang menyebabkan perempuan, tidak bisa

14 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 8

15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2008), 58

16 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun

19974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1990), 1

17 Lindha Pradhipti Oktarina, dkk, Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus Pada

Perempuan Lajang Yang Bekerja di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri, Jurnal Analissa Sosiologi April 2015 4 (1), 79

(31)

15

memaknai perkawinan sesuai dengan keinginan atau makna secara pribadi, melainkan lebih pada mengikuti berbagai tuntunan dan aturan sosial masyarakat.

Sedangkan perkawinan secara rasional (modern) diartikan sebagai proses yang dilalui individu atas dasar pilihan atau kriteria tertentu. Bagi para perempuan lajang, yang notabene memiliki otonom dan kekuasaan yang luas terhadap dirinya, maka tidak akan memaknai perkawinan secara konvensional, tetapi dimaknai dari sudut pandang kebebasan individu.18

2. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar hukum pernikahan dalam Islam termuat dalam Al- Quran, dan Hadis Nabi. Adapun dalil pernikahan dalam Al-Quran yaitu:

a. Dalil dalam al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisā [4]: 3 sebagai berikut:

َث ل ث َو ى نْثَم ِء اَسِ نلا َنِ م ْم كَل َباَط اَم ا ْو حِكْناَف ى م تَيْلا ىِف ا ْو طِسْق ت َّلََّا ْم تْف ِخ ْنِا َو

ا ْو ل ْو عَت َّلََّا ىٰٓ نْدَا َكِل ذ ۗ ْم ك ناَمْيَا ْتَكَلَم اَم ْوَا ًةَد ِحا َوَف ا ْو لِدْعَت َّلََّا ْم تْف ِخ ْنِاَف ۚ َع ب ر َو

Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim

Menurut Al-Quran surat Al-A’rāf ayat [7]: 189 berbunyi :

18 Lindha Pradhipti Oktarina, dkk, “Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus Pada

Perempuan Lajang Yang Bekerja di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri”,

(32)

اَهىّٰشَغَت اَّمَلَف ۚاَهْيَلِا َن كْسَيِل اَهَج ْوَز اَهْنِم َلَعَج َّو ٍةَد ِحا َّو ٍسْفَّن ْنِ م ْم كَقَلَخ ْيِذَّلا َو ه

َنِم َّنَن ْو ك َنَّل اًحِلاَص اَنَتْيَت ا ْنِٕىَل اَم هَّبَر َ ّٰاللّٰ ا َوَعَّد ْتَلَقْثَا ٰٓاَّمَلَفۚ ٖهِب ْتَّرَمَف اًفْيِفَخ ًلاْمَح ْتَلَمَح

َنْي ِرِكّٰشلا

Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.

Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan salin menyantuni (rohmah).

b. Dalam Hadis Nabi

بابشلا رشعم اي :ﷺ الله لوسر انل لاق : هنع الله يضر دوعسم نب اللهدبع نع

نم

عطتسي مل نمو جرفلل نصحأو رصبلل ضغأ هنإف جوزتيلف ةءابلا مكنم عاطتسا

ءاجو هل هنإف موصلاب هيلعف

Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang memiliki kemmpuan, maka nikahilah,karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiliki itu hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali bahinya”. ( H.R. Bukhari-Muslim).

Perkawinan menurut hukum Islam, selain diatur dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, juga diatur dalam instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam, yaitu dari pasal 1 sampai dengan pasal 170 KHI. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap

(33)

17

perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah (pasal 5 KHI), dengan demikian, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengwasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai hukum (pasal 6 KHI).19

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.. Rukun dan syarat keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa. Rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlalu untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.20

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Yakni

1. Calon suami, dengan syarat: a. Beragama Islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

19 Simanjuntak, Hukum perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), 78

20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Antara Fiqh Munakahat dan

(34)

e. Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon istri, dengan syarat:

a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Wali nikah, dengan syarat:

a. Laki-laki dan beragama Islam b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwakilan d. Tidak terdapat halangan perwalian 4. Saksi nikah, dengan syarat:

a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, dengan syarat:

a. Adanya pernyataan mengawini dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria c. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemah dari kedua kata

tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

(35)

19

g. Majlis ijan dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.21

4. Asas-asas Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata. Asas-asas hukum perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebabasan memilih pasangan, kemitraan suami isteri, untuk selama-lamanya, dan monogamy terbuka.22

a. Asas kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga antara kedua orang tua calon mempelai, Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis Nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas. b. Asas persetujuan kedua belah pihak

Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dari asas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagai persetujuan. Hadis nabi mengatakan bahwa tanpa perstujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan. Jika calon suami dan calon isteri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka tidak dapat

21 Ach. Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Udang-Undang

No. 1 tahun 1974”, Yustitia, Vol. 19 No 1 (Mei 2018): 91

22 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, edisi keenam cet. XI, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2004),

(36)

dikawinkan persetujuan tentunya hanya dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur utuk kawin baik dilihat dari keadaan tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya. Istilah dalam Islam disebut akil baligh, berakal, atau dewasa.23

c. Asas kebebasan memilih pasangan

Asas kebebasan memilih pasangan juga disebut dalam sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan ioleh ayahnya dengan seorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengdauan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.

d. Asas kemitraan suami istri

Dalam beberapa hal kedudukan suami isteri adalah sama, namun dalam beberapa hal berbeda (lihat QS QS. an-Nisā ayat 34 dan QS. al-Baqarah ayat 187). Asas kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda karena perbedaan kodrat (sifat asal dan pembawaan). Suami menjadi kepala keluarga sedangkan isteri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah tangga

e. Asas untuk selama-lamanya

Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta

23 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit

(37)

21

serta kasih sayang selama hidup (QS. ar-Rūm ayat 21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masayarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Perkawinan dilaksakan untuk selama-lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.

f. Asas monogamy terbuka

Pada prisnsipnya perkawinan Islam menganut asas monogamy, namun dalam hal-hal tertentu berpoligami. Laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang isteri (lihat QS. an-Nisā ayat 129). Syarat utamanya adalah bisa berlaku adil di antara isteri-isterinya. Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisā ayat 129 Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun dapat berlaku adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan darurat, agar terhindar dosa.

5. Tujuan Perkawinan

Tujuan Perkawinan ialaha menurut perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasamani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga menjegah perzianahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman keluarga dan masayarakat.

Dalam buku Ny. Sumiayati, disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah: untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,

(38)

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.24

Tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut: 1. Berbakti kepada Allah

2. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita saling membutuhkan 3. Mempertahankan keturunan umat manusia

4. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita

5. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.25

B. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, didasarkan pada unsur agama masing-masing, sebagaimana diatur dalam pasal 1 yaitu perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.26

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin

24 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun

19974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1990), 26

25 Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum

Islam dan Hukum Adata” Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016): 417

26 Hazairin, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 dan Lampiran U.U. Nomor

(39)

23

yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.

Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”

Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil

Keempat, disebutkan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah Agama.27

2. Asas-asas Perkawinan

Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU Perkawinan adalah sebagaimana terdapat pada penjelasan Umum UU Perkawinan itu sendiri, sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

a. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan

27 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Antara Fiqh Munakahat dan

(40)

seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan

b. Undang-undang ini menganut asas Monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

c. Calon suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.

d. Mempersulit terjadinya perceraian karena tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Untuk memungkin perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan. e. Hak dan kedudukan suami isteri adalaha seimbang dengan hak dan

kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri28

28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Antara Fiqh Munakahat dan

(41)

25 3. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974 telah dirumuskan sangat ideal karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu pertauatn batin antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak tuhan yang Maha Esa.

Selanjutnya dijelaskan oleh J. Satrio yang dikutip oleh Trusto Subekti dalam jurnalnya menjelaskan, bahwa menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 suatu perkawinan bukanlah sekadar merupakan perjanjian antara suami isteri, melainkan ikatan lahir batin yang suci dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga/keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah dalam arti keluarga bathin (gezin), yang terdiri dari suami isteri dan anak-anaknya. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa memperoleh/mempunyai anak termasuk dalam tujuan perkawinan, hal tersebut sejalan dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan.29

4. Syarat-syarat Sah Perkawinan

Adapun syarat pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 antara lain :

“Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Udang-Undang No. 1 tahun 1974”,

Yustitia, Vol. 19 No 1 (Mei 2018): 89

29 Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian”, Dianamika Hukum, Vol. 10 No. 3 (September 2010): 333

(42)

1. Perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, pasal 2 ayat (1).

2. Tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasal 2 ayat (2).

3. Perkawinan seorang laki-laki yang sudah mempunyai Isteri harus mendapat ijin dari pengadilan, pasal 3 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2).

4. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pasal 6 ayat (2).

5. Bila orang tua berhalangan, ijin diberikan oleh pihak lain yang ditentukan dalam Undang-Undang pasal 6 ayat (2-5)

6. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. 30

7. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai kecuali apabila hukum menentukan lain. Pasal 6 ayat (1), hal ini untuk menghindarkan paksaan bagi calon mempelai dalam memilih calon isteri atau suami.

Selanjutnya dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 disebutkan bahwa :

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.

2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada

30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2019, Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Khususnya pada pasal 7.

(43)

27

pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

3. Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

5. Pencatatan Perkawinan

Menurut Pasal 2 UU 1/1974 bahwa suatu perkawinan diakui keabsahannya harus memenuhi persyaratan, yaitu: (1) tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan (2) perkawinan dimaksud harus dicatat dalam daftar pencatatan perkawinan dengan mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pencatatan suatu perkawinan hanya akan dilakukan bilamana perkawinan yang bersangkutan telah dilakukan secara agama atau kepercayaan agamanya calon mempelai yang bersangkutan. Persyaratan ini dimaksudkan agar perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum yang sah bagi suami isteri dan anak-anaknya, sehingga perkawinan tersebut dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Kedua persyaratan perkawinan tersebut harus dipenuhi agar perkawinan tersebut diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum yang dijamin dan dilindungi oleh negara

(44)

Suatu perkawinan yang dilakukan sematamata memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, maka perkawinannya diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi tidak diakui sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh negara. Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak mendapat pengakuan dan tidak dilindungi secara hukum. Kedua unsur pada ayat tersebut Pasal 2 UU 1/1974 berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif. Unsur pertama pada Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 berperan memberi label sah kepada perkawinan itu, sedangkan unsur kedua pada Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 memberi label bahwa perkawinan tersebut merupakan perbuatan hukum. Sehubungan dengan itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum. Pencatatan perkawinan di sini sangat penting merupakan bukti otentik tentang telah dilangsungkan perkawinan yang sah.

Mengenai tata cara perkawinan diatur dalam Pasal 10 PP 9/1975, yang menentukan: (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Dari ketentuan Pasal 10 PP 9/1975 ini, tata cara perkawinan harus dilakukan sepenuhnya menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi.31

31 Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan

Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 03 – September( 2017), 260-261

(45)

29

Sebelumnya dalam RUUP 1973 secara tegas menentukan sahnya suatu perkawinan berdasarkan pada pencatatan perkawinan berdasarkan pada pencatatan perkawinan. Hal ini ditegaskan pada pasal 2 ayat (2) RUUP 1973, bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan sepanjag tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan ini suatu perkawinan diakui keabsahannya bilamanan: pertama, dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, Kedua, dicatat oleh pegawai pencatat perkawianan dalam daftar pencatat perkawinan. Dengan demikian pencatatat perkawinan merupakan hal yang menentukan keabsahan suatu perkawinan.

Namun rumusan Pasal 2 ayat (2) RUUP 1973 ini ditentang keras oleh langan ulama, karena dianggap bertentangan degan syari’at Islam, sehingga pasal 2 ayat (2) RUUP 1973 disetujui untuk dirumuskan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Agamanya dan kepercayaannya itu” sementara itu pasal 2 ayat (2) RUUP 1973 dirumuskan “tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi Negara.32

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Setelah menelusuri berbagai referensi yang berkaitan dengan tema skripsi yang diteliti, penulis menemukan beberapa literature yang berbentuk Tesis, Skripsi dan Jurnal yang membahas tentang pernikahan anak di bawah umur dengan tema serta analisis yang berbeda yaitu:

32 Rachmad Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan

Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia”, Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 03 (September 2017): 258-259

(46)

1. Skripsi yang dituliskan oleh Udma Laila yang bejudul Perkawinan di Bawah Umur Ditinjau dari hukum Islam dan Hukum Adat di Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumbang, skripsi ini membahas tentang perkawinan di bawah umur yang terjadi di desa Bulukumbang dengan menggunakan kacamata hukum dan adat setempat.33

2. Skripsi yang disusun oleh Ainur Rafiqoh dengan judul, Dampak Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga (Studi Kasus Di Desa Kedungbanteng Kecematan sukorejo Kabupaten Ponorogo). Penelitian ini membahas tentang faktor penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur serta apa dampak dari pernikahan di bawah umur terhadap kesejahteraan rumah tangga.34

3. Jurnal yang ditulis oleh Ani Yumarni dan Endeh Suharti, yang bertema Perkawinan Bawah Umur dan dan Potensi Perceraian (Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor), Jurnal ini membahas beberapa kajian di antaranya, pertama, kewenangan PPN pada KUA Kecematan di Wilayah Bogor dalam menciptakan tertibn administrasi pencatatan perkawinan bawah umur, Kedua, mengkaji relevansi antara perkawinan bawah umur dan tingginya angka perceraian di wilayah kota Bogor.35

33 Udma Laila, “Perkawinan di Bawah Umur Ditinjau dari hukum Islam dan Hukum

Adat di Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumbang” (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2011).

34 Ainur Rafiqoh, Dampak Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Kesejahteraan

Rumah Tangga (Studi Kasus Di Desa Kedungbanteng Kecematan sukorejo Kabupaten Ponorogo)” (Skripsi S1 Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2017).

35 Ani Yumarni dan Endeh Suharti, “Perkawinan Bawah Umur dan dan Potensi

Perceraian (Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor)”, Hukum IUS QUIA

(47)

31

4. Pengaruh Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga (Studi Kasus Di Desa Banarjoyo Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur) Skripi ditulis oleh Anggi Dian Savendra dalam penelitian tersebut penulis berusaha mendiskripsikan kehidupan rumah tangga pasangan suami istri terkait pengaruh pernikahan di bawah umur terhadap keharmonisan rumah tangganya.36

5. Skripsi yang dituliskan oleh Ririn Anggreany yang berjudul Persepsi Masyarakat Islam Terhadap Pernikahan Dini Di Kecamatan Pattallangssang Kabupaten Gowa, penelitian membahas tentang bagaimana persepsi masyarakat Islam terhadap pernikahan dini37

6. Tesis yang dituliskan oleh Any Sani’Atin, yang berjudul Pernikahan Dini Di Kalangan Remaja Berperilaku Menyimpang Dan Implikasinya Terhadap Keharmonisan Keluarga Perspektif Teori Fenomenologi Alfred Schutz (Studi di Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik). Peneliti menganalisa fenomena pernikahan dini dengan teori fenomenologi Alfred Schutz.

36 Anggi Dian Savendra, “Pengaruh Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap

Keharmonisan Rumah Tangga (Studi Kasus Di Desa Banarjoyo Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur)” (Skripsi S1, Institut Agama Islam Negeri Metro, 2019).

37 Ririn Anggreany, “Persepsi Masyarakat Islam Terhadap Pernikahan Dini Di

Kecamatan Pattallangssang Kabupaten Gowa” (Skripsi S1, Universitas Alauddin Makassar 2016).

(48)

32

A. Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal

1. Letak Geografis Kecamatan Gemuh

Kabupaten Kendal terdiri dari 20 kecamatan yang mana salah satunya adalah kecamatan Gemuh. Wilayah kecataman Gemuh seluruhnya merupakan daratan dengan ketinggian tanah + 15 meter di atas permukaan laut dan berbatasan langsung dengan kecamatan Cepiring dan kecamatan Kangkung di sebelah utara, selanjutnya, di sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Patean, sebelah barat berbatasan dengan Ringinarum dan Kecamatan Rawosari, dan sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Pengandon.

Secara administratif, kecamtan Gemuh terdiri dari 16 desa diantara, Sojomerta, Triharjo, Cepokomulyo, Galih, Pamriyan, Jenarsari, Poncorejo, Gebang, Krompaan, Sedayu, Gemuhblanten, Tamangede, Lumansari, Johorejo, Tlahab, Pucangrejo. Dengan desa terjauh dari ibu kota kecamatan adalah desa Jenarsari, dengan jarak 8,10 km dari ibu kota kecamatan sedangkan desa terdekat adalah desa GemuhBlanten yang merupakan desa tempat ibu kota kecamatan Gemuh. Secara total, luas wilayah kecamatan Gemuh mencapai 38,17 km dengan komposisi terbesar 55,46 persennya merupakan lahan bukan pertanian (rumah/bangunan, hutan Negara, rawa-rawa dan lain-lainnya). Selebihnya sebesar 38,3 persen atau 14,62 km digunakan untuk lahan sawah dan 6,24 persennya atau sebesar 2,38 km digunakan untuk lahan pertanian bukan sawah (lading, hutan, kebun, dan lainnya)38

38 Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal, Kecamatan Gemuh Dalam Angka 2020,

(49)

33

Dilihat dari iklim dan cuaca, rata-rata curah hujan di wilayah kecamatan Gemuh 2019 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sekitar 96 mm dengan rata-rata hari hujan sebanyak 7 hari. Selama tahun 2019, curah hujan tertinggi terjadi di bulan januari dengan rata-rata curah hujan per hari sebesar 17,95 mm/hari.

2. Pemerintahan Kecamatan Gemuh

Secara administratif, kecamatan Gemuh dibagi kedalam enam belas desa dengan ibu kota kecamatan terdapat di Desa Gemuhblanten. Adapun kondisi Julah RT, RW dan Dusun pada tahun 2019 masih seperti tahun sebelumnya yaitu jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 323 RT, jumlah dusun/dukuh 57.

Sedangkan untuk Rukun Warga (RW) masih sebanyak 78 RW. Sementara itu, jumlah parat pemerintah desa di wilayah kecamatan Gemuh pada tahun 2019 mengalami peningkatan jumlah aparat desa, tercatat sebanyak 165 orang yang terdiri dari 16 kepala desa, 16 sekdes, 15 kaur TU dan umum, 16 kasi pelayanan, 16 kasi kesejahteraan, dan 43 kepala dusun.

3. Kependudukan

Menurut data dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Kabupaten Kendal, jumlah penduduk kecamatan Gemuh tahun 2019 tercatat sebanyak 52.448 jiwa yang terdiri dari 26.500 jiwa (50,53 persen) laki-laki dan 25.948 jiwa (49,47 persen) perempuan. Desa dengan jumlah penduduk terbesar tahun 2019 masih seperti tahun 2018 adalah Desa Sojomerto, mencapai 6.080 jiwa (11,59 persen) dari total jumlah penduduk kecamatan Gemuh. Sementara itu, Desa Krompaan merupakan desa dengan jumlah penduduk terkecil di kecamatan Gemuh tahun 2019, yaitu sebesar 12.032 jiwa (3,87 persen) dari total jumlah penduduk kecamatan Gemuh.

Referensi

Dokumen terkait

Jika melihat dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa, tidak ada perubahan yang terlalu signifikan diantara tiga aturan tersebut mengenai batas usia

Analisis hukum perkawinan Islam terhadap batas usia perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, jika kita

Ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia sesuai dengan Undang- undang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

[r]

Hal ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi Undang- Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, tentang

Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antar sesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrhnya merupakan makhluk sosial

Para konsorsium yang merupakan gabungan perusahaan akan bertanggung jawab terhadap proses pembangunan proyek (meliputi desain, biaya dan konstruksi), memelihara

Dasar pertimbangan hakim yang menyatakan kelalaian Para Tergugat karena baru diadakan pertemuan tanggal 20 september 2001 setelah 1 bulan lewat dari tanggal kejadian bukan