• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat:"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1. Lokasi Daerah Penelitian

Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26 - 6.81 LS dan 106.828 - 107.24 BT yang berada pada regional perbatasan Cekungan Jawa Barat Utara – Cekungan Bogor.

Gambar 2.1. Peta Dasar Daerah Penelitian (Lembar Cianjur - Bogor) – World Map.

Lokasi daerah penelitian terletak di dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian variatif pada setiap titik data dari 16 hingga 595.1 meter di atas permukaan laut yang sebagian besar daerahnya ditutupi oleh batuan vulkanik. Wilayah ini merupakan daerah dengan potensi sumberdaya geologi yang sangat potensial akan indikasi hidrotermal dan penambangan mineral.

(2)

2.1.1. Geologi Regional Jawa Barat

Secara umum, Van Bemmelen Bammelen (Cherdasa, 2009: 8) membagi daerah Jawa Barat ke dalam empat zona fisiografis (Gambar 2.2), empat zona Zona tersebut dari arah Utara ke Selatan meliputi:

1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta

Daerah ini mempunyai morfologi yang datar, sebagian besar ditempati oleh endapan alluvial dan lahar gunung api muda. Zona ini, memanjang dari ujung barat Pulau Jawa ke arah timur mengikuti pantai utara Jawa Barat ke kota Cirebon.

2. Zona Bogor

Zona Bogor, terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang dari barat ke timur mulai dari Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang, Purwakarta dan berakhir Bumiayu di Jawa Tengah dengan panjang kurang lebih 40 km. Zona ini mempunyai morfologi daerah yang berbukit-bukit merupakan anticlinorium yang cembung ke utara dengan arah sumbu lipatan barat – timur. Endapannya terdiri dari lapisan batuan berumur Neogen yang terlipat kuat dengan dicirikan oleh endapan laut dalam.

3. Zona Bandung atau Zona Depresi Tengah

Zona Bandung terletak di bagian selatan Zona Bogor, tetapi batas antara keduanya tidak terlalu jelas di lapangan, karena tertutup endapan gunung api muda. Zona Bandung atau Zona Depresi Tengah, dibentuk oleh depresi antar pegunungan. Pegunungan yang membatasi depresi-depresi tersebut

(3)

pada umumnya berupa tinggian yang tersusun atas batuan berumur Tersier. Secara struktural, zona ini merupakan puncak antiklin Jawa Barat yang runtuh setelah pengangkatan, lalu dataran rendah ini terisi oleh endapan gunung api muda. Dari penyelidikan ini, Zona Bandung dalam sejarah geologinya tidak dapat dipisahkan dengan Zona Bogor, kecuali oleh banyaknya puncak-puncak gunung api yang masih aktif sampai sekarang. Berdasarkan fisiografinya, daerah penelitian berada dalam Zona Bandung/ Depresi Tengah Jawa Barat.

4. Zona Pengunungan Selatan Jawa Barat

Zona Pegunungan Selatan Jawa barat, terbentang dari Pelabuhan Ratu hingga Nusa Kambangan, Cilacap. Bagian pegunungan selatan sendiri dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal. Batas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung terlihat jelas di lembah Sungai Cimandiri. Batas tersebut berupa perbukitan bergelombang pada lembah Sungai Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran tinggi (plateau) dari pegunungan selatan dengan beda tinggi sekitar 200 m.

Berdasarkan macam sedimen pembentuknya, Martodjojo (Syahrial, 2008: 9) membagi Jawa Barat menjadi tiga mandala, yaitu:

1. Mandala Paparan Kontinen di utara, tempatnya hampir sama dengan zona fisiografi Dataran Pantai Jakarta. Dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batu gamping, batu lempung, dan batu pasir kuarsa dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Batas selatan Mandala

(4)

Paparan Kontinen ini diperkirakan sama dengan penyebaran Formasi Parigi dari Cibinong, Purwakarta, sejajar dengan pantai utara, sedang bagian utara menerus ke lepas pantai utara Jawa.

(5)

2. Mandala Cekungan Bogor di selatan dan timur, meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelen (1949) yakni Zona Bogor, Zona Depresi Bandung dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat. Mandala ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan sedimen seperti andesit, basalt, tufa dan batu gamping.

3. Mandala Banten di barat. Ciri-ciri mandala ini mirip Cekungan Bogor pada umur Tersier, tetapi dari akhir Tersier lebih mirip Paparan Kontinen.

Gambar 2.3. Pembagian Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo, 1984)

2.1.2. Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan fisiografinya, daerah penelitian berada dalam Geologi Regional Zona Bandung/ Zona Depresi Tengah (Cianjur). Sedangkan berdasarkan pembagian mandala sedimentasinya, daerah penelitian terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Sedimen di Mandala Cekungan Bogor merupakan campuran fasies dangkal (pengaruh dari utara) dan fasies turbidite bersifat vulkanik sebagai

(6)

pengaruh dari selatan dengan ketebalan sedimen mencapai 7.000 m. Mandala Cekungan Bogor ini merupakan depocenter yang memanjang timur-barat dengan lebar 100 km dan telah mengalami deformasi lanjut oleh aktivitas tektonik. Blok pegunungan ini terdiri dari sedimen turbidite dan vulkanik dengan ketebalan lebih dari 2.500 m.

Di Jawa bagian barat terdapat tiga lajur magmatik. Lajur yang paling tua adalah lajur granit dan vulkanik jatibarang berumur Cretaceous sampai Eosen. Lajur magmatik yang kedua adalah berumur Oligo-Miosen berada di selatan pulau Jawa, dengan menganggap sebagai sumber sediment gravity-flow secara keseluruhan di Cekungan Bogor. Lajur magmatik yang ketiga ditunjukkan dengan hadirnya busur vulkanik aktif. Indikasi mulainya aktivitas gunung api di selatan Jawa terjadi pada kala Oligosen Akhir-Miosen Awal. Akibat aktivitas tekto-vulkanik yang terjadi di Jawa telah menyebabkan terbentuknya unsur - unsur tektonik berupa zona akresi, cekungan, dan busur magmatik.

Evolusi tektonik Jawa Barat menyebabkan posisi cekungan yang telah terbentuk dapat berubah kedudukannya terhadap busur magmatik tersebut, Cekungan Bogor pada kala Eosen-Oligosen merupakan cekungan busur muka magmatik, namun pada kala Oligo-Miosen posisi cekungan berubah menjadi cekungan busur-belakang (back arc basin). Endapan volkanik yang berasal dari selatan kemudian tertampung di Cekungan Bogor. Antiklin muda yang berarah timur-barat terbentuk pada saat akhir episode oleh kompresi berarah utara. Pada daerah ini penurunan merupakan gerak tektonik yang dominan (Gambar 2.4). Kegiatan tektonik Plio-Plistosen Cekungan Bogor ditempati oleh jalur magmatik

(7)

hingga kini (Satyana & Armandita, 2004). Cekungan Bogor merupakan penamaan bagi suatu mandala sedimentasi yang melampar dari utara ke selatan di daerah Jawa Barat, posisi tektonik dari Cekungan Bogor ini sendiri dari zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo, 1984).

Pada kala Pliosen, Cekungan Bogor sudah merupakan dataran yang ditempati oleh puncak-puncak gunung api. Cekungan Bogor pada kala ini merupakan jalur magmatis (busur volkanik). Pada permulaan kala Plistosen terjadi perpindahan pusat gunung api dari selatan ke tengah Pulau Jawa, yang merupakan gejala umum yang kompleks terjadi di seluruh gugusan gunung api Sirkum Pasifik (Karig dan Sharman, 1955 dalam Martodjojo, 2003 dalam Santana, 2007).

(8)

Struktur geologi permukaan lintasan penelitian (cross section) pada daerah penelitian saat ini, ditunjukkan oleh peta geologi setempat (Gambar 2.5).

Mdm

ANGGOTA NAPAL DAN BATUPASIR KUARSA FORMASI JATILUHUR: Napal Abu-abu tua, batulempung napalan dan serpih lempungan dengan sisipan-sisipan

batupasir kuarsa, kuarsit, dan batugamping napalan.

Mttb

ANGGOTA BREKSI ANGGOTA FORMASI CENTAYAN (0-1700 ? m): Breksi polimik mengandung komponen-komponen bersifat basal, andesit, batugamping koral, bersisipan batupasir andesit pada bagian atas. Di beberapa tempat mengandung juga

batuan-batuan intrusif andesit.

Qyk BREKSI DAN LAVA DI DAERAH G. LIMO: Bongkahan tuf andesit, breksi andesit, dan lava andesit sepanjang Sungai Cibeet dan Sungai Cikundul

Vi

VITROFIR, PORFIR BASAL DAN DOLERIT: Vitrofir, putih atau abu-abu muda, kemungkinan bersusunan andesit, di daerah sekitar G. Congkrang. Breksi magma dan tuf breksi berwarna muda yang bersusunan sama dengan vitrofirnya, dekat G. Karung. Porfir basal di daerah sekitar Pr. Buluh dan sedikit di sebelah baratnya, diorit mikro dan dolerit yang hanya membentuk tubuh-tubuh kecil, yang rombakannya tersebar di lereng-lereng

(Ludwig, 1933)

Gambar 2.5. Peta geologi daerah penelitian dan satuan batuan yang mengisinya

(Sumber: Peta Geologi Lembar Cianjur tahun 2003 oleh Sudjatmiko dengan lintasan penelitian (cross section) disepanjang koordinat 6.636° LS dan 107.000° – 107.2438° BT)

(9)

Gambar 2.6. Kolom stratigrafi selatan-utara Jawa Barat: Hubungan stratigrafi cekungan Jawa

Barat Utara dan Cekungan Bogor (after Martodjojo, 1994)

Martodjojo, S. (1994) telah menyusun hubungan stratigrafi antara cekungan Jawa Barat Utara – Cekungan Bogor dan Pegunungan Selatan (Gambar 2.6). Berdasarkan kajian regional dengan menggunakan metoda gaya berat telah menghasilkan Peta Anomali Bouguer regional sederhana P. Jawa (Untung dan Sato, 1978) yang memperlihatkan anomali sentral Jawa Barat didominasi anomali positif (20 mGal s.d. 80 mGal). Arah anomali ini umumnya Baratlaut - Tenggara. Melihat sebaran cekungan, dan munculnya konsep baru tentang “deepwater reservoir”, maka perlu dilakukan pelacakan kondisi struktur geologi bawah permukaan (tinggian dan rendahan) dari mandala paparan (Cekungan Jawa Barat Utara) hingga Cekungan Bogor.

(10)

Gambar 2.7. Cekungan Bogor sebagai cekungan busur-belakang magmatik Oligo-Miosen, yang

kini sebagian ditutupi oleh vulkanik Kuarter (Satyana & Armandita, 2004).

2.1.3. Struktur Geologi dan Kerangka Tektonik

Pada umumnya pola struktur geologi Cekungan Bogor dan sekitarnya (Gambar 2.2) dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu :

1. Arah timurlaut – baratdaya (NE – SW) dan baratlaut – tenggara (NW – SE), disebut sebagai pola Meratus, diwakili oleh sesar Cimandiri di Jawa Barat.

2. Arah utara – selatan (N – S), disebut sebagai pola Sunda, diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi sub cekungan Asri, sub cekungan Sunda, dan sub cekungan Arjuna yang memiliki posisi di bagian barat wilayah Jawa Barat.

3. Arah timur – barat (E – W), disebut sebagai pola Jawa, pada umumnya memang dominan untuk wilayah daratan di Pulau Jawa.

(11)

Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-52 juta tahun yang lalu yang diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda. Arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa Timur pada rentang waktu Eosen-Oligosen Akhir. Di Jawa Barat, Pola Meratus diwakili oleh Sesar Cimandiri yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur. Sesar ini juga berkembang di bagian selatan Jawa. Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligosen Akhir.

Pola struktur NW-SE sampai E-W paling banyak berkembang di Pulau Jawa, oleh karenanya dinamakan sebagai Java Structural Domain. Domain struktur ini memotong kedua domain lain yaitu Meratus dan Sunda, hal ini berarti

Java Structural Domain lebih muda dari Meratus dan Sunda Structural Domain. Java Structural Domain ini memanjang dari barat ke timur sejajar dengan subduction zone yang aktif saat ini. Pola patahan yang berasosiasi dengan Java Structural Domain didominasi oleh gaya kompresi dari selatan ke utara. Hal ini

digambarkan oleh thrust-fold belt system di Cekungan Bogor. Cekungan Bogor sebagai bagian dari Java Structural Domain berumur Miosen didominasi oleh sedimen turbidite yang bersifat volkanik.

Struktur geologi yang terdapat di daerah ini adalah lipatan, sesar, dan kekar. Lipatan yang terjadi mempunyai arah sumbu Barat Barat Laut - Timur Tenggara pada Formasi Bentang dan Utara Barat Laut - Selatan Tenggara pada

(12)

Formasi Jampang. Perbedaan arah sumbu tersebut disebabkan oleh perbedaan tahapan dan intensitas tektonik pada kedua satuan batuan tersebut. Sesar yang dijumpai adalah sesar normal dan sesar geser. Sesar normal yang utama merupakan bagian unsur pembentukan depresi (Zona Bandung) yang dicirikan sebagai sesar Pegunungan Selatan, berarah Barat - Timur. Arah jurus sesar geser umumnya Barat Daya - Timur Laut, beberapa ada yang hampir Utara - Selatan dan Barat Laut - Tenggara. Sesar-sesar itu melibatkan satuan batuan Tersier dan Kuarter, sehingga dapat ditafsirkan sebagai sesar yang muda. Melihat pola arahnya diperkirakan gaya tektonik berasal dari Selatan ke Utara yang diduga telah berlangsung sejak Oliogosen Akhir - Miosen Awal. Dengan demikian dapat diduga bahwa mungkin sebagian dari sesar tersebut merupakan penggiatan kembali sesar lama. Sesar yang berkembang dalam kuarter umumnya sebagai pengontrol tumbuhnya gunung api - gunung api muda, terutama sistem sesar berarah Barat Daya - Timur Laut yang memotong bagian tengah lembar yang ditempati jajaran gunung api.

Pola sesar (fault) yang difokuskan pada lintasan penelitian (cross section) yang terletak disepanjang koordinat 6.636° LS dan 107.000° – 107.2438° BT, Cianjur (Peta Geologi Lembar Cianjur: Sudjatmiko, 2003), merupakan daerah terbentuknya pola struktur blok sesar normal, tersusun oleh batuan vulkanik, batuan sedimen dan setempat batuan terobosan akibat aktifitas formasi sebagai reservoir hidrokarbon. Penafsiran banyaknya pola struktur sesar yang kompleks pada daerah ini dan sekitarnya diduga merupakan salah satu kontrol manifestasi

(13)

hidrokarbon (jebakan/entrapment sinklin) pada daerah penelitian secara umum (Geoteknologi LIPI, 2008).

Seperti halnya di daerah lain pada bagian selatan Pulau Jawa, tektonika daerah ini pada Zaman Tersier sangat dipengaruhi oleh penunjaman Lempeng Samudera Hindia ke bawah Lempeng Asia Tenggara. Penunjaman yang terjadi pada Oligosen Akhir - Miosen Awal/Tengah menghasilkan kegiatan gunung api yang bersusun andesit yang diikuti dengan sedimentasi karbonat pada laut dangkal. Daerah Jawa Barat terdiri atas beberapa sub-basin, trought dan

depocenter yang merupakan tempat terakumulasinya sedimen dengan ketebalan

mencapai 5.000 m. Pulau Jawa didominasi endapan Miosen dan vulkanik Kuarter yang membentuk rangkaian pegunungan berarah timur-barat. Busur vulkanik ini sejajar dengan palung Jawa di Samudera Hindia yang merupakan zona subduksi antara lempeng Samudera Hindia dengan lempeng Asia. Subduksi ini dimulai pada Eosen Atas ketika Australia bergerak ke Utara menjauhi Antartika (Packham, 1990, op cit Widianto, 1999).

2.2. Prinsip Dasar Metode Gayaberat

Semua benda bermassa yang berada di daerah medan gravitasi bumi akan dikenai sebuah gaya yang arahnya menuju pusat bumi. Gaya tersebut dikenal sebagai gayaberat. Gayaberat di setiap tempat di permukaan bumi berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor misalnya letak geografis, ketinggian yang berbeda, serta adanya variasi rapat massa. Pengukuran gayaberat sebenarnya

(14)

merupakan interpretasi pengamatan nilai percepatan gayaberat di permukaan bumi.

Pengolahan data dari pengukuran gayaberat di suatu tempat dapat menunjukkan keadaan (harga densitas batuan bawah permukaan) di daerah tersebut. Penggunaan utama pada metode gayaberat, banyak difokuskan pada survei awal dalam peninjauan ekplorasi minyak bumi, panas bumi, penelitian geologi regional, dan penelitian-penelitian geologi ekplorasi dalam lainnya. Secara prinsip, metode gayaberat digunakan karena kemampuannya dalam membedakan densitas dari suatu sumber anomali terhadap densitas lingkungan sekitarnya. Dari variasi densitas tersebut dapat diketahui bentuk struktur bawah permukaan suatu daerah. Hasil dari penyelidikan gayaberat dalam eksplorasi panas bumi dapat memberikan gambaran bawah permukaan yang dapat digunakan untuk penafsiran struktur dan sesar yang mungkin digunakan sebagai jalur oleh fluida-fluida panas bumi untuk mengalir ke permukaan. Namun metode ini memiliki kekurangan yaitu perlu adanya survei geologi yang mendalam dibanding metode lainnya.

2.2.1. Hukum Gravitasi Umum Newton

Landasan yang digunakan dalam metode gayaberat adalah hukum gravitasi umum/ universal Newton (1666) yang menyatakan bahwa gaya gravitasi (interaksi antara dua titik massa benda) yang merupakan gaya tarik-menarik (atraktif) yang dirumuskan sebagai berikut:

(15)

Setiap massa menarik massa titik lainnya dengan gaya segaris dengan garis yang menghubungkan kedua titik. Besar gaya tersebut berbanding lurus dengan perkalian kedua massa tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua massa titik tersebut.

Gambar 2.8. Gaya Tarik-Menarik Antara Dua Massa Titik

Besar gaya gravitasi dapat ditulis secara matematis dengan persamaan:

(2-1) dengan,

= besar dari gaya gravitasi (interaksi massa titik) antara kedua massa titik tersebut (N)

γ = konstanta gravitasi umum Henry Cavendish (1798) = 6,673 x 10-11

Nm2kg-2

m1 = besar massa titik benda pertama (kg)

m2 = besar massa titik benda kedua (kg)

r = jarak antara kedua massa titik (m)

2.2.2. Percepatan Gravitasi

Telah diketahui bahwa berat benda tidak lain adalah gaya gravitasi Bumi yang bekerja pada suatu benda. Berat suatu benda akan agak berbeda sedikit dari suatu tempat ke tempat lain pada permukaan Bumi. Hal ini disebabkan oleh gaya

m2

m1

(16)

gravitasi pada suatu benda agak berubah sedikit, sedangkan massa m tetap. Jadi yang berubah dari suatu tempat ke tempat lain adalah percepatan gravitasi.

Jika sebuah benda dengan massa m memiliki gayaberat , yang tidak lain merupakan gaya tarik massa benda terhadap bumi maka penentuan harga percepatan gayaberat dapat dinyatakan dengan pada hukum II Newton

menyatakan secara matematis:

(2-2) Dengan mensubstitusikan persamaan (2-1) dan (2-2) maka besar medan gayaberat di titik m1 akibat titik massa m2 dalam vektor adalah:

(2-3)

Sedangkan besarnya (skalar) adalah:

(2-4) Densitas merupakan hal yang sangat penting dalam pengukuran nilai gayaberat. Hubungan percepatan gravitasi dengan densitas adalah sebagai berikut:

dengan, m = V x ρ g = γ

g ρ (2-5)

Dari persamaan (2-3) atau (2-4) dapat terlihat bahwa besarnya gayaberat berbanding lurus dengan massa penyebabnya, sedangkan massa berbanding lurus dengan rapat massa (ρ) dan volume benda (V), sehingga besarnya gayaberat

(17)

terukur merupakan pencerminan dari besaran ρ dan V dimana volume berhubungan dengan geometri benda.

Besaran fisika yang terukur dalam metode gayaberat adalah nilai medan gayaberat. Dari persamaan di atas terlihat nilai medan gayaberat berbanding lurus dengan densitas, sehingga variasi medan gayaberat merupakan representasi dari variasi densitasnya. Variasi densitas memberikan informasi tentang kontras densitas yang mengindikasikan adanya variasi struktur dari lapisan bawah permukaan. Kontras densitas ini digunakan untuk interpretasi bawah permukaan pada daerah penelitian.

Persamaan (2-5) menunjukkan bahwa nilai densitas atau rapat massa (ρ) sangat penting dalam pengukuran gayaberat. Satuan percepatan gravitasi g adalah m/s2, sedangkan pada metode gayaberat satuan yang digunakan adalah Gal (1 Gal = 103 mGal = 1 cm/s2 = 10-2 m/s2 = 104 g.u).

Selain gaya tarik massa bumi M, massa m juga dipengaruhi gaya sentrifugal akibat rotasi bumi, sehingga percepatan gayaberat g menjadi:

(2-6) dengan,

g = percepatan gayaberat

= percepatan sentrifugal (m/s2)

= kecepatan sudut rotasi bumi (7.292115 x 10-5 rad/s) d = jarak titik massa m ke poros putar bumi (m)

(18)

2.2.3. Potensial Gayaberat

Suatu massa yang terdapat dalam sistem ruang tertentu akan menimbulkan medan potensial (skalar) disekitarnya. Medan potensial untuk gayaberat (gaya akibat tarik-menarik suatu massa) bersifat konservatif, artinya usaha yang dilakukan dalam suatu medan gayaberat tidak tergantung pada lintasan yang ditempuhnya, tetapi tergantung pada posisi awal dan akhir dan memenuhi persamaan berikut:

(2-7) dengan,

U = potensial skalar g = gayaberat (vektor)

Gaya yang timbul dapat diturunkan dari suatu fungsi potensial skalar U(x,y,z) berikut:

(2-8)

Persamaan (2-8) dapat ditulis dalam koordinat bola menjadi:

(2-9)

Dari persamaan (2-9) dapat diperoleh bentuk persamaan potensial gayaberat:

(2-10) Dengan mensubstitusikan , maka persamaan (2-10) dalam bentuk skalar menjadi:

(19)

2.3. Anomali Gayaberat

Informasi yang diharapkan dari survei gayaberat adalah mengetahui efek dari sumber yang tidak diketahui terhadap perubahan harga gravitasi, diperlukan proses reduksi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi harga gravitasi tersebut, sehingga didapatkan harga gravitasi yang benar-benar ditimbulkan oleh sumber yang tidak diketahui tersebut (anomali gravitasi/ Bouguer). Adanya suatu sumber yang berupa suatu massa di bawah permukaan akan menyebabkan terjadinya gangguan medan gayaberat. Gangguan medan gayaberat ini disebut sebagai anomali gayaberat. Karena perbedaan medan gayaberat ini relatif kecil maka diperlukan alat ukur yang mempunyai sensitifitas dan ketelitian yang tinggi. Alat ukur yang sering digunakan adalah Gravimeter yang memiliki ketelitian cukup tinggi yang bisa mengukur adanya perbedaan percepatan gayaberat lebih kecil dari 0,01 mGal.

Dalam suatu kegiatan eksplorasi dengan menggunakan metode gayaberat, informasi target sub-surface yang didapat akan digambarkan dalam parameter fisikanya yaitu densitas ρ dan geometri relatif terhadap lingkungannya. Sehingga anomali yang teramati di permukaan akan berhubungan dengan adanya variasi densitas serta bentuk atau geometri sumbernya.

Berdasarkan perbedaan densitas terdapat 2 anomali yang terlihat: 1. Anomali Gravitasi Tinggi, akibat massa dengan densitas besar. 2. Anomali Gravitasi Rendah, akibat massa dengan densitas kecil.

(20)

Gambar 2.9. Contoh Variasi Dalam Geologi Berdasarkan Anomali yang Terlihat

Tinjauan lebih lanjut pada suatu zona sesar, juga dapat ditemukan adanya kemungkinan lain dari variasi densitas. Pada saat pensesaran berlangsung, material-material penyusun daerah tersebut akan mengalami tiga kemungkinan proses yaitu proses yang berhubungan dengan termal, kimia, dan proses secara mekanik. Akibat proses ini, pada zona tertentu material-materialnya mengalami perubahan sifat fisika secara langsung atau tidak langsung juga menyebabkan perubahan densitas.

Gambar 2.10. Model Sesar Akibat Proses Thermo – Kemo – Mekanik

Dalam suatu cekungan yang disusun oleh batuan dasar dan batuan sedimen di atasnya, nilai rapat massa batuan tersebut tergantung jenis batuan penyusunannya. Variasi densitas secara horisontal akan memberikan respon nilai percepatan gayaberat yang berbeda di setiap titik. Nilai percepatan gayaberat disetiap titik yang telah terkoreksi dapat dipetakan menjadi peta anomali Bouguer. Kendati pun anomali Bouguer tidak menggambarkan kondisi bawah permukaan

(21)

dan lebih menggambarkan medan potensial, namun dapat digunakan untuk interpretasi bawah permukaan.

Untuk menghitung harga anomali Bouger, diperlukan informasi rapat massa lapisan-lapisan dibawah permukaan di atas datum referensi. Informasi rapat massa dapat dihasilkan dari pengukuran langsung di lapangan dengan berbagai metode yaitu metode sample, metode Nettleton atau metode Parasnis. Data anomali Bouguer merupakan salah satu data dasar kebumian yang diperlukan untuk perencanaan pembangunan, eksplorasi energi dan sumberdaya mineral, dan untuk keperluan penelitian ilmiah kebumian lainnya: deformasi massa. Dengan melakukan pemetaan medan potensial gayaberat maka secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengungkap kondisi bawah permukaan daerah penelitian (Sesar Daerah Cianjur, Jawa Barat).

Anomali gayaberat adalah besaran medan gayaberat yang dianggap benar-benar diakibatkan oleh rapat massa batuan di titik amat akibat adanya perbedaan antara harga gravitasi yang terukur dengan harga gravitasi secara teoritis pada bumi homogen spheroid. Dengan melakukan koreksi pada data gayaberat yang terukur, berarti semua efek teoritis telah kita hilangkan. Sehingga yang didapatkan benar-benar murni harga anomali gayaberat akibat perbedaan densitas yang ada di bawah permukaan. Anomali gayaberat merupakan gambaran kumpulan rapat massa batuan dan dapat diduga sebagai bentuk struktur atau geometri bawah permukaan.

Pada kondisi bumi yang sebenarnya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai percepatan gravitasi seperti efek rotasi bumi, variasi topografi

(22)

bumi, dan variasi densitas secara lateral maupun vertikal. Sedangkan percepatan gravitasi secara teoritik mengasumsikan bahwa bumi berbentuk oblate spheroid dan massa bumi homogen. Perhitungan Anomali Bouguer dilakukan dengan menggunakan rumus (Telford et. Al, 1990):

BA = G.Obs. – Gn + FAC – BC + TC (2-12) dengan,

BA = Bouguer Anomali

G.Obs = Harga gayaberat hasil obsevasi

Gn = Harga gayaberat normal (gayaberat teoritis) FAC = Koreksi udara bebas (free air correction) BC = Koreksi Bouguer

TC = Koreksi Medan

Untuk mendapatkan harga Anomali Bouguer Lengkap dengan menggunakan persamaan tersebut di atas maka terlebih dahulu dilakukan reduksi data yang meliputi: koreksi pasang surut (Tide), koreksi apungan (Drift), koreksi lintang (Gn), dst. Dengan menggunakan rumus perhitungan di atas maka perbedaan antara percepatan gayaberat di titik pengamatan (gObservasi) dan percepatan gayaberat normal (gN) dapat dipetakan yang yang menghasilkan peta anomali Bouguer.

2.4. Koreksi Dalam Metode Gayaberat

Secara teoritis Bumi dianggap bulat, homogen, dan tidak berotasi. Pada kenyataannya, Bumi lebih mendekati bentuk spheroid, relif permukaannya tidak

(23)

rata, berotasi, tidak homogen (sebaran densitas tidak merata), serta dipengaruhi gaya tarik benda di luar Bumi seperti Bulan dan Matahari/ berevolusi dalam sistem matahari, sehingga variasi gayaberat dipermukaan Bumi dipengaruhi oleh faktor berikut:

1. Pasang Surut 2. Perbedaan Lintang 3. Perbedaan Ketinggian 4. Topografi

5. Variasi Densitas Bawah Permukaan

Dalam metode gayaberat yang diharapkan hanya faktor variasi densitas bawah permukaan, sehingga pengaruh 4 faktor lainnya harus dikoreksi atau direduksi dari nilai pembacaan gravimeter. Secara umum ada dua jenis koreksi yang harus dikerjakan pada data gravitasi hasil pengukuran di lapangan. Satu jenis berhubungan dengan waktu. Jika gravimeter berada pada satu titik dan tidak berubah, maka pengukuran pada titik tersebut akan berubah terhadap waktu. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kelelahan alat (drift), juga akibat adanya pengaruh gravitasi matahari dan bulan yang menyebabkan terjadinya pasang-surut di bumi. Jenis kedua dari koreksi yaitu yang berhubungan dengan ruang. Koreksi ini berhubungan dengan posisi lintang dan ketinggian juga topografi daerah pengukuran.

Dalam survei gayaberat hanya faktor variasi densitas bawah permukaan saja yang signifikan dan pada umumnya memiliki nilai yang sangat kecil. Sehingga untuk menghindari efek gayaberat dari komponen yang tidak

(24)

dikehendaki maka faktor-faktor lainnya harus dikoreksi atau direduksi dari nilai pembacaan gravimeter. Nilai g hasil pengukuran gayaberat yang diinginkan adalah nilai densitas dari benda zona target. Adapun koreksi yang diperlukan meliputi: tidal (pasang surut bumi), drift (apungan), latitude (lintang), koreksi udara bebas, koreksi Bouger dan Terrain (Topografi). Semua koreksi dilakukan secara simultan pada data gravitasi sehingga diperoleh harga anomali gravitasi.

2.4.1. Koreksi Pasang Surut

Koreksi ini digunakan untuk menghilangkan gaya tarik yang dialami bumi akibat bulan dan matahari, sehingga di permukaan bumi akan mengalami gaya tarik naik-turun. Hal ini akan menyebabkan perubahan nilai medan gravitasi di permukaan bumi secara periodik. Seperti diperlihatkan pada gambar grafik di bawah ini,

Gambar 2.11. Contoh Data Pasang Surut Hasil Pengukuran Gravitasi Terhadap Waktu

dalam Interval 1 Bulan.

Koreksi pasang surut juga bergantung kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi. Dalam praktek, koreksi pasang surut ini hampir sebagian besar menggunakan persamaan yang diberikan oleh Longman (1965) yang telah dibuat dalam sebuah paket program komputer. Koreksi ini selalu ditambahkan terhadap nilai pengukuran, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut

(25)

dengan,

GST = pembacaan percepatan gravitasi (g) dalam miliGal terkoreksi pasut Gs = pembacaan percepatan gravitasi (g) setelah dikonversi ke miliGal T = koreksi pasang surut

2.4.2. Koreksi Apungan

Adanya perbedaan pembacaan gayaberat dari stasiun yang sama pada waktu yang berbeda diperlukan suatu koreksi yaitu koreksi apungan. Perbedaan pembacaan ini terjadi akibat adanya guncangan pada alat (pegas) selama proses perjalanan dari beberapa titik pengukuran. Untuk mengetahui penyimpangannya maka pada akuisisi data dilakukan dengan desain suatu rangkaian tertutup (Gambar 2.12).

(2-14) dengan,

Dn = koreksi drift pada titik-n

GST0 = pembacaan gravimeter pada awal looping

GSTakh = pembacaan gravimeter pada akhir looping

takh = waktu pembacaan pada akhir looping

t0 = waktu pembacaan pada awal looping

(26)

Gambar 2.12. Sketsa Pengambilan Data Gayaberat dengan Loop Tertutup

Besar koreksi drift ini selalu dikurangkan terhadap pembacaan gravimeter.

GSTD = GST – Dn (2-15)

dengan,

GSTD = g bacaan setelah dikurangi drift (miliGal) GST = g bacaan setelah dikoreksi pasang surut (miliGal) Dn = koreksi drift (miliGal)

2.4.3. Koreksi Lintang

Seorang ilmuwan asal Perancis yang bernama Pierre Bouguer pernah melakukan suatu survei pengukuran dan menemukan bahwa satu derajat lintang di dekat ekuator ternyata lebih pendek daripada satu derajat lintang di sekitar kota Paris (Tarkiman, 2007). Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa bumi tidaklah memiliki bentuk bola sempurna sehingga nilai percepatan gravitasi di seluruh permukaan bumi tidaklah konstan.

Adanya rotasi bumi menimbulkan suatu percepatan sentrifugal yang semakin mengecil bersamaan dengan pertambahan derajat lintang (percepatan sentrifugal memiliki nilai maksimal di daerah ekuator dan nilai minimal di daerah kutub). Hal inilah yang menyebabkan jari-jari bumi di daerah equatorial lebih panjang dari jari-jari bumi di kutub. Percepatan sentrifugal yang berlawanan arah

(27)

dengan percepatan gravitasi ini menjadikan percepatan gravitasi bumi akan terukur lebih besar di daerah kutub. Ditambah lagi perubahan bentuk bumi itu sendiri yang mengalami pemepatan menyebabkan percepatan gravitasi di daerah kutub menjadi semakin besar.

Bentuk rata-rata bumi sebenarnya didekati oleh geoid. Geoid adalah satu bentuk pendekatan bumi dengan suatu bidang yang mempunyai nilai potensial yang sama. Sedangkan bentuk pendekatan bumi teoritik saat ini adalah oblate

spheroid yaitu pendekatan yang sudah memperhitungkan sifat rotasi bumi. Pada

tahun 1980 International Assosiation of Geodesy (IAG) mengembangkan Sistem Referensi Geodetik 1980 (GRS80), yang mengarah ke World Geodetic System 1984 (WGS84) untuk memprediksi gravitasi pada setiap lintang geografis, dalam bentuk:

(2-16) dengan,

gtheo = nilai gayaberat teoritik pada posisi titik pengamatan

λ = sudut lintang (latitude) titik pengamatan

2.4.4. Koreksi Ketinggian

Koreksi ini digunakan untuk menghilangkan perbedaan gravitasi yang dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian dari setiap titik pengamatan. Koreksi ketinggian terdiri dari dua macam yaitu koreksi udara bebas dan koreksi Bouguer.

(28)

2.4.4.1. Koreksi Udara Bebas

Nilai percepatan gravitasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua massa. Sehingga perbedaan ketinggian maupun kedalaman di setiap titik pengukuran terhadap bidang datum (Mean Sea Level) akan mempengaruhi

magnitude dari data percepatan gravitasi yang tercatat di stasiun

pengukuran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan koreksi agar posisi stasiun seakan-akan sama dengan spheroid referensi yang dikenal dengan koreksi udara bebas. Koreksi ini mengukur elevasi stasiun dengan asumsi tidak ada batuan atau suatu massa diantaranya. Nilai KUB untuk daerah ekuator hingga lintang 45° atau - 45° adalah -0.3086 mGal/m. Jika tinggi titik amat di atas permukaan acuan adalah h, maka KUB:

KUB = 0.3086(h) (2-17) dan besarnya anomali udara bebas, adalah:

AUB = gobs – (gn - KUB) (2-18)

dengan,

AUB = anomali udara bebas di topografi (mGal) gobs = harga gayaberat pengamatan (mGal)

G = harga gayaberat teoritik (mGal) KUB = koreksi udara bebas (mGal)

Gambar 2.13. Kanan, Menggambarkan Perbedaan Ketinggian di 2 Titik Pengamatan. Kiri,

(29)

2.4.4.2. Koreksi Bouguer

Pada koreksi udara bebas sudah diperhitungkan efek dari adanya perbedaan elevasi stasiun pengukuran dengan bidang datum. Namun koreksi udara bebas belum memperhitungkan adanya efek tarikan dari massa yang berbeda di antara bidang datum dan stasiun pengukuran itu sendiri. Di sini koreksi Bouguer berfungsi untuk menghitung efek massa tersebut.

Gambar 2.14. Koreksi Bouguer

Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan benda berupa slab tak berhingga dengan tebal h (meter) dan densitas ρ (gr/cm3). Koreksi slab horisontal mengasumsikan pengukuran berada pada suatu bidang mendatar dan mempunyai massa batuan dengan densitas tertentu. Sehingga koreksi Bouger diberikan oleh persamaan:

KB = 2πρGh = 0.04191 ρh (2-19)

2.4.5. Koreksi Topografi

Pada koreksi udara bebas akan didapatkan data pembacaan gayaberat yang baik apabila stasiun terletak pada ketinggian yang sama (datum). Perhitungan tersebut mengasumsikan tidak ada massa maupun materi yang terletak antara

(30)

datum dengan stasiun pengukuran. Pada koreksi Bouguer, nilai koreksi udara bebas diperbaiki dengan mengasumsikan terdapat suatu efek topografi permukaan yang relatif kasar dengan perbedaan elevasi yang besar, seperti permukaan atau lembah di sekitar stasiun pengukuran. Koreksi topografi digunakan untuk menghilangkan pengaruh efek massa di sekitar titik observasi. Adanya bukit dan lembah di sekitar titik pengamatan akan mengurangi besarnya medan gayaberat yang sebenarnya. Karena efek tersebut sifatnya mengurangi medan gayaberat yang sebenarnya di titik pengamatan, maka koreksi medan harus ditambahkan terhadap nilai medan gayaberat.

Gambar 2.15. Sketsa Koreksi Medan Terhadap Data Gayaberat

Cara perhitungan koreksi topografi bisa dilakukan dengan menggunakan Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmund Hammer. Hammer Chart membagi area ke dalam beberapa zona dan kompartemen. Hammer melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin (Gambar 2.16).

Gambar 2.16. Hammer Chart Untuk

(31)

Dengan menggunakan pendekatan cincin silinder, maka besarnya koreksi topografi diberikan oleh persamaan:

(2-20)

dengan,

G = konstanta gravitasi ρ = rapat massa

r0 dan ri = jari-jari dalam dan luar zona

z = perbedaan ketinggian rata-rata kompartemen dan titik pengukuran n = jumlah kompartemen pada zona tersebut

Tabel 2.1. Jari-jari Kompartemen (Telford et al., 1982)

2.4.6. Anomali Bouguer Lengkap

Setelah mereduksi hasil pengukuran lapangan dengan koreksi-koreksi seperti yang telah diuraikan di atas maka menghasilkan koreksi akhir yaitu Anomali Bouguer Lengkap (ABL) yang persamaannya secara umum adalah:

(32)

ABL = gobs - gφ + KUB – KB + KT (mGal) (2-21)

Lalu nilai Anomali Bouguer Lengkap tersebut diplot menjadi peta kontur anomali yang disebut peta anomali Bouguer. Peta tersebut digunakan untuk interpretasi secara kualitatif yaitu berdasarkan pola penyebaran anomalinya. Untuk mempermudah interpretasi biasanya peta anomali tersebut dibagi menjadi tiga kelompok anomali berdasarkan variasi nilai anomalinya yaitu, anomali Bouguer tinggi, anomali Bouguer sedang, dan anomali Bouguer rendah.

2.5. Estimasi Densitas Batuan Rata-Rata

Bumi tidak merupakan suatu bulatan yang homogen, melainkan terdiri dari beberapa lapisan yang konsentris dengan densitas/ berat jenis/ rapat massa (specific gravity: perbandingan berat suatu material dengan air pada volume yang sama. Makin besar jumlah atom dan makin kompak maka makin besar pula densitasnya) yang berbeda. Densitas terbesar terakumulasi pada pusat bumi dan mengecil menjauhi pusat bumi. Dalam perhitungan koreksi Bouguer dan koreksi topografi diperlukan suatu nilai densitas yang merepresentasikan batuan pada daerah penelitian.

Dalam penentuan densitas dapat digunakan beberapa teknik, diantaranya adalah melalui pengukuran laboratorium dengan menggunakan sampel permukaan. Tetapi dalam metode ini ada kemungkinan batuan tersebut telah lapuk atau batuan tersebut tidak merepresentasikan nilai densitas batuan di bawah permukaan daerah penelitian. Metode lain yang dapat digunakan adalah Metode

(33)

Parasnis. Estimasi densitas pada metode ini diturunkan dari persamaan Anomali Bouguer Lengkap yang dituliskan sebagai berikut:

ABL = AUB – KB + KT (2-22) (2-23)

AUB – ABL = (2πGh - c) ρ (2-24)

dengan c adalah koreksi topografi sebelum dikalikan dengan densitas. Persamaan (2-24) dapat dituliskan:

y – ABL = ρ x (2-25)

dimana y adalah AUB dan x adalah KB sebelum dikalikan densitas dikurangi KT sebelum dikalikan densitas. Sehingga besarnya densitas adalah gradient atau slope antara y dan x. metode ini akan memberikan estimasi densitas yang baik, kecuali apabila besarnya densitas di bawah permukaan nilainya sangat beragam.

Berdasarkan klasifikasi jenis batuannya, besaran rapat massa rata-rata batuan (Telford, drr, 1976, lengkap lih. Lampiran I) bernilai sebagai berikut:

Tabel 2.2. Rapat Massa Rata-Rata Jenis Batuan (Telford, drr, 1976) Batuan Sedimen Rapat Massa (gr/cc)

alluvium lempung glasial kerikil loess pasir pasir-lempungan lanau soil batu pasir serpih batu gamping dolomit 1.98 2.21 1.80 2.00 1.64 2.00 2.10 1.93 1.92 2.35 2.40 2.55 2.70

Batuan Beku Rapat Massa (gr/cc) riolit obsidian dasit trasit 2.52 2.30 2.58 2.60

(34)

2.6. Gravimeter

Dalam pengukuran gayaberat, perbedaan percepatan gravitasi bumi di suatu tempat dengan tempat lainnya relatif kecil, maka diperlukan alat ukur dengan ketelitian yang cukup tinggi yang bisa mengukur adanya perbedaan percepatan gayaberat lebih kecil dari 0,01 mGal. Alat yang digunakan dalam pengukuran gayaberat dinamakan gravimeter. Prinsip gravimeter secara umum pada dasarnya merupakan suatu neraca pegas yang mempunyai massa yang terkena gayaberat. Perubahan berat yang disebabkan oleh gayaberat akan menyebabkan panjang pegas berubah. Gaya gravitasi akan menarik massa ke arah pusat bumi dan membuat pegas meregang. Dengan menggunakan hukum Hooke dapat ditunjukkan bahwa besarnya perubahan percepatan gravitasi sebanding dengan perubahan panjang akibat pengaruh gaya gravitasi pada beban.

andesit granit granodiorit syenit diodrite lava diabas basal gabro peridotit piroksenit horenblenda-gabro 2.61 2.64 2.73 2.77 2.83 2.90 2.90 2.99 3.03 2.15 3.17 3.08

Batuan Malihan Rapat Massa (gr/cc) sekis pilit batusabak kuarsit marmer grewak 2.64 2.74 2.79 2.60 2.75 2.65

(35)

ΔF = kΔs = mΔs

dan (2-26)

dengan,

m = massa beban (kg) k = konstanta elastisitas pegas (N/m)

Δg = perubahan percepatan gravitasi (mGal)

Δs = pemuluran panjang pegas Gambar 2.17. Prinsip Kerja Gravimeter Pengukuran perbedaan percepatan gravitasi bisa dilakukan dengan mengukur dua tempat yang berbeda dengan alat yang sama. Untuk tingkat akurasi atau presisi yang bagus, diperlukan alat atau sistem massa-pegas yang canggih. Biasanya pegas yang digunakan adalah pegas tipe zero-length spring (sensor piezoelektrik). Alat untuk tipe ini telah dibuat oleh beberapa pabrikan, diantaranya adalah LaCoste and Romberg dan Scintrex.

Secara sederhana, mekanisme gravimeter ini berdasarkan atas LaCoste & Romberg Seismograph yang terdiri dari suatu beban pada ujung batang yang ditahan oleh

zero length spring yang berfungsi sebagai

spring utama (Gambar 2.18). Perubahan besarnya gaya tarik bumi akan menyebabkan perubahan kedudukan beban, dan pengamatan dilakukan dengan pengaturan kembali kedudukan beban tersebut pada posisi semula.

(36)

Pengaturan kembali ini dilakukan dengan memutar nulling dial/ calibrated

measuring wheel.

2.7. Kontinuasi Ke Atas

Proses reduksi standard yang dilakukan diharapkan akan mendapatkan data Anomali Bouguer Lengkap (ABL) yang terpapar di permukaan topografi. Permasalahan yang dihadapi adalah data ABL yang terpapar pada permukaan topografi tersebut mempunyai ketinggian yang bervariasi. Variasi ini dapat menyebabkan distorsi pada data gayaberat. Sehingga interpretasi anomali gayaberat memberikan hasil yang tidak unik yaitu untuk satu penampang anomali gayaberat dapat memberikan hasil yang beragam (sifat ambiguitas). Untuk meminimalkan distorsi dan mengurangi ambiguitas dilakukan dengan cara membawa ABL tersebut ke suatu bidang datar dengan ketinggian tertentu.

Telah diketahui bahwa prosesing data medan potensial, termasuk teknik penapisan (filtering) dapat dilakukan baik dalam domain spasial (ruang) ataupun domain frekuensi. Mayoritas dari prosesing data digunakan untuk berhubungan secara langsung dengan harga sesungguhnya dalam domain spasial. Proses

filtering data gayaberat dengan menggunakan teknik kontinuasi sangat

menentukan dalam keberhasilan pengangkatan data gayaberat dari topografi (smoothing operation) ke bidang datar.

Dalam banyak kasus geofisika, pengolahan datanya banyak melakukan

filtering frekuensi. Meskipun dalam proses akuisisi data telah dilakukan filtering

(37)

bisa dipungkiri noise masih mungkin terekam dalam data kita. Selain itu filter frekuensi juga disesuaikan dengan target objek pengukuran (ukuran dan posisi kedalamannya). Akuisisi data umumnya dilakukan dalam domain waktu dan/atau ruang, sementara filtering frekuensi harus dilakukan dalam domain frekuensi.

Dalam analisis data gravitasi (maupun geomagnet) kita kenal dua macam kontinuasi: up ward dan down ward. Kontinuasi up ward merupakan proses kontinuasi data yang seakan kita melakukan pengukuran di tempat yang lebih tinggi dari pada tempat pengukuran sesungguhnya. Metoda ini memberikan hasil yang hampir sama dengan hasil pengukuran airborne gravity atau aeromagnetic. Survei ini memang dimaksudkan untuk mengurangi efek anomali dangkal dan untuk mendapatkan efek anomali gravitasi dari benda dalam yang dikenal sebagai anomali regional.

Dengan demikian kontinuasi up ward bisa dikatakan sebagai low pass

filter (Rosid & Irawan, 2011). Dan sebaliknya untuk kontinuasi down ward, ia

mendekatkan bidang pengukuran terhadap benda anomali dan ini berarti mendominankan pengaruh anomali benda lokal/dangkal. Meskipun kontinuasi

down ward bukanlah low cut filter tetapi ia bisa dikatakan sebagai sebuah high pass filter. Kontinuasi upward (ke atas) merupakan salah satu ‘alat’ dan berfungsi

sebagai filter kontinuasi. Ia bisa digunakan untuk menganalisis data gravitasi dan magnetik dalam eksplorasi geofisika. Analisis kontinuasi ini biasanya dilakukan untuk data survei airborne, dan untuk melihat trend data regional dalam survei darat.

(38)

Transfomasi data ke bidang datar diperlukan dalam proses interpretasi. Interpretasi langsung pada topografi yang umumnya tidak datar akan menyebabkan distorsi pada ukuran, bentuk, dan posisi anomali. Pengangkatan data dapat pula digunakan pada proses pemisahan anomali regional-lokal yang pada beberapa kasus cukup signifikan (Grant dan West, 1965). Anomali gayaberat yang terukur di permukaan pada dasarnya merupakan gabungan berbagai macam sumber dan kedalaman anomali yang berada dibawah permukaan dimana salah satunya merupakan target

event dalam eksplorasi. Untuk

kepentingan interpretasi, target event harus dipisahkan dari event lainnya yang tidak diperlukan. Target event

dapat berada di zona yang dalam (regional) atau di zona dangkal (residual).

Bhattacharyya dan Chan (1977) telah menunjukkan bahwa proses pengangkatan data juga dapat mereduksi efek terrain pada daerah pengukuran yang reliefnya cukup rumit. Hal lain yang menyebabkan proses pengangkatan data cukup menarik adalah jika terdapat beberapa survei

Gambar 2.19. Ilustrasi Sumber Ekivalen Titik Massa

(39)

yang berdampingan dan akan digabungkan. Tiap-tiap hasil pengukuran harus diangkat dulu pada ketinggian yang sama kemudian dapat digabung dalam satu proses interpretasi. Dalam prosesnya, analisis data bisa dilakukan dalam domain frekuensi maupun dalam domain ruang atau waktu. Analisis data yang dilakukan dalam domain frekuensi umumnya menggunakan transformasi Fourier. Henderson merumuskan formula transformasi dari bidang datar ke bidang datar, dan penyelesaiannya dengan transformasi Fourier.

Henderson dan Cordell (1971) mengembangkan cara ini untuk pengangkatan dari permukaan tak datar ke bidang datar dengan transformasi Fourier. Syberg (1972) merumuskan formula transformasi dari general surface ke

general surface yang melibatkan operator konvolusi (dalam hal ini melibatkan

transformasi Fourier). Transformasi Fourier telah dikenal secara umum sebagai ’alat matematis’ untuk melakukan transformasi domain waktu-frekuensi ini secara bolak-balik.

Proses yang ditempuh dalam teknik ini adalah menentukan sumber ekivalen titik massa diskrit pada kedalaman tertentu di bawah permukaan dengan memanfaatkan data ABL di permukaan (pengembangan metode Dampney). Kemudian dihitung medan gravitasi teoritis yang diakibatkan oleh sumber ekivalen tersebut pada suatu bidang datar dengan ketinggian tertentu (Gambar 2.19). Data anomali gravitasi yang terletak pada titik-titik yang tidak teratur dengan ketinggian yang bervariasi dapat dibuat suatu sumber ekivalen titik-titik massa diskrit diatas bidang datar dengan kedalaman tertentu di bawah permukaan bumi. Kedalaman bidang sumber ekivalen titik-titik massa harus tetap dijaga

(40)

dengan batas tertentu jarak stasiun. Setelah sumber ekivalen diperoleh, maka secara teoritis kita dapat menghitung percepatan gravitasi yang diakibatkan oleh sumber tersebut pada bidang datar sembarang dengan grid yang kita inginkan. Sifat dasar dari suatu medan gravitasi yaitu adanya ketidakteraturan yang selalu menyertai didalam usaha untuk menentukan sumber penghasil medan gravitasi.

Berbagai test telah dilakukan dan memberikan harga sumber ekuivalen titik massa (h - zi) terbaik adalah:

2.5Δx < (h - zi) < 6Δx (2-27)

Dengan: x adalah jarak rata-rata antar stasiun pengamatan, h adalah bidang kedalaman ekivalen titik massa dan zi adalah ketinggian titik pengamatan.

Pola kontur Anomali Bouguer Lengkap di bidang datar biasanya memperlihatkan pola yang mendekati sama dengan pola anomali topografi, ini menunjukkan bahwa benda anomali memang mempunyai peran dalam pembentukan topografi suatu daerah daerah. Medan gravitasi memenuhi hukum Laplace. Dengan demikian dimungkinkan untuk menghitung medan gravitasi pada suatu area permukaan tertentu jika diketahui besar medan gravitasi di suatu luasan permukaan yang lain selama diantara kedua permukaan tersebut dianggap tidak ada benda bermassa (yang dapat menimbulkan medan gravitasi). Prinsip inilah yang mendasari konsep kontinuasi. Pemisahan anomali lokal-regional dilakukan dengan metode kontinuasi ke atas.

Kontinuasi ke atas adalah transformasi suatu medan potensial terukur pada suatu permukaan yang lain jauh di atas permukaan sumber. Tujuannya untuk menampakan anomali yang disebabkan oleh sumber dangkal. Dari identitas Green

(41)

ketiga (dengan hubungan V = 1/r) menyatakan bahwa kontinuasi ke atas selalu mungkin dilakukan. Jika fungsi U adalah harmonik, kontinyu, dan mempunyai turunan kontinyu di dalam ruang R, maka harga U pada sembarang titik P di dalam R dinyatakan dalam fungsi:

(2-28)

Dimana s menyatakan batas dari R, n arah normal ke luar dan r jarak dari P ke titik integrasi dari S. Persamaan ini menggambarkan prinsip dasar kontinuasi ke atas yaitu suatu potensial dapat dihitung pada sembarang titik di dalam sebuah ruang dari sifat medan pada permukaan yang melingkupi ruang tersebut.

Kontinuasi paling sederhana adalah untuk medan potensial terukur pada bidang rata (level surface), kemudian diturunkan seperti dilakukan oleh Henderson (1949). Menggunakan sistem koordinat kartesian dimana sumbu-z ke bawah, kemudian diasumsikan suatu medan potensial terukur pada suatu bidang rata di z = z0, dan diinginkan suatu medan dititik tunggal P(x,y, z0-Δz) diatas

bidang rata. Dimana Δz > 0. Permukaan S yang terdiri atas bidang rata/ datar dan setengah bola (hemisphere) dengan radius α, seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.20 dengan sumber berada pada z > z0.

Jika α ∞, maka

(2-29)

(42)

Dalam aplikasi, persamaan (2-29) memerlukan gradient vertikal U. Oleh karena itu diperlukan identitas kedua Green untuk mengeliminasi suku derivatif dalam persamaan tersebut. Jika V adalah suatu fungsi harmonik yang lain di dalam R, maka identitas kedua Green menghasilkan:

Dan ditambah ke persamaan (2.28) menghasilkan:

(2-30) Untuk mengeliminasi suku pertama dari integran, diperlukan fungsi harmonik V demikian sehingga V+ (1/r) = 0 pada setiap titik dari S. Dipilih P’ sebagai bayangan dari pada (x,y, z0+Δz) dan diberikan V = - 1/ρ dimana:

V yang terdefinisi disini memenuhi syarat yang diperlukan yaitu V + (1/r) = 0 pada bidang horizontal, V + (1/r) akan hilang pada bidang hemisfer jika α membesar dan V selalu harmonik karena ρ tidak pernah hilang, sehingga persamaan (2-30) menjadi:

(43)

Gambar 2.20. Kontinuasi ke atas dari suatu bidang horizontal. Titik P’ proyeksi dari P. Integrasi

pada permukaan S, serta r dan ρ masing-masing menyatakan jarak dari Q ke P dan dari Q ke P’

jika hemisphere membesar, suku pertama hilang pada setiap titik pada s, dan suku kedua akan hilang kecuali pada permukaan horizontal, sehingga persamaan menjadi:

Dengan melakukan derivatif dan membawa z’ ke bidang horisontal akan diperoleh persamaan:

, (2-31) dengan, Δz > 0

(44)

Persamaan (2-31) merupakan persamaan untuk kontinuasi up ward pada medan gravitasi atau lebih dikenal sebagai integral kontinuasi ke atas, yang menunjukkan cara bagaimana menghitung nilai dari sebuah medan potensial pada sembarang titik diatas bidang horisontal dari suatu medan permukaan.

Untuk setiap titik pada permukaan yang baru, integral dua dimensi harus dilakukan dan ini merupakan suatu pekerjaan rumit. Agar menghitung (2-31) lebih efisien, perlu dikerjakan dalam domain Fourier, sehingga persamaan tersebut merupakan konvolusi dua dimensi:

(2-32) dimana,

(2-33)

Potensial U diukur pada permukaan z = z0 memenuhi ketidaksamaan

maka medan U tersebut mempunyai transformasi Fourier F[U]. Transformasi dari persamaan (2-32) ke dalam domain Fourier diperoleh dengan memanfaatkan teorema konvolusi Fourier, sehingga diperoleh:

F[Uu] = F[U] F[ψu] (2-34)

Dengan F[Uu] merupakan transformasi Fourier dari medan kontinuasi ke atas.

Untuk memperoleh F[Uu], maka diperlukan transformasi F[ψu] dari persamaan

(2-33)

(45)

Dengan . Jadi transformasi Fourier dari persamaan (2-35) adalah

(2-36) Algoritma Transformasi Fourier Cepat (Fast Fourier Transform) sangat membantu dalam mengurangi tingkat kesulitan prosesing data anomali gayaberat dalam domain frekuensi. Kontinuasi medan potensial dari suatu bidang ke bidang lain dapat dilakukan dengan mengalikan hasil transformasi Fourier data pengukuran terhadap suku eksponensial persamaan (2-36), kemudian dilakukan inversi dari hasil transformasi tersebut. Terlampir listing program (subroutine) untuk proses kontinuasi ke atas (lih. Lampiran V).

Dengan asumsi bahwa data medan potensial pada level ketinggian yang berbeda mengandung informasi mengenai variasi parameter fisis (dalam hal ini densitas) terhadap kedalaman, Fedi & Rapolla (1999) berhasil memperoleh model inversi dengan kedalaman yang tepat. Penelitian ini membahas implementasi metoda tersebut pada data gayaberat (data lapangan) di mana data pada beberapa level ketinggian diperoleh melalui proses kontinuasi ke atas.

2.8. Analisis Spektral

Beberapa metoda (analisis spektral, gradient vertikal-horizontal, turunan kedua, dekonvolusi Werner, dekonvolusi Euler) dapat digunakan untuk mengestimasi posisi dan kedalaman benda anomali tanpa harga rapatmassa. Analisis spektra/ spektrum dimaksudkan untuk mengetahui kandungan frekuensi dari data. Pada umumnya frekuensi dari data gravitasi/ gayaberat secara kasar

(46)

dapat dipisahkan menjadi 2 bagian. Bagian dengan frekuensi rendah (panjang gelombang panjang) dengan gradien yang tajam disebut regional yang mewakili struktur dalam dan meluas. Pada frekuensi tinggi (panjang gelombang pendek) merupakan residual yang dicirikan dengan gradien landai yang berasal dari sumber dangkal. Frekuensi sangat tinggi biasanya diakibatkan oleh kesalahan pengukuran, kesalahan digitasi, dan lainnya yang disebut noise. Analisis data geofisika ini dapat memberi gambaran dengan baik dalam mengestimasi benda anomali bawah tanah.

Analisis spektral/ spektrum adalah salah satu analisis harmonik yang digunakan untuk menganalisis fenomena osilator harmonik di alam. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendapatkan distribusi spektrum dari fenomena osilator harmonik dan untuk menunjukkan karakteristik statistiknya. Untuk analisis spektral satu dimensi, data anomali medan gravitasi Bouguer yang terdistribusi pada suatu penampang lintang (cross section) dapat diekspansi dalam deret Fourier. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui batas frekuensi antara sinyal dengan noise melalui nilai bilangan gelombangnya. Penghilangan noise ini penting untuk proses analisis kontinuasi down ward yang bersifat high pass filter atau meninggikan anomali dengan frekuensi tinggi, sehingga bila noise tidak dihilangkan terlebih dahulu maka akan menghasilkan pola anomali yang tidak tepat.

Analisis spektrum dilakukan dengan cara mentransformasi Fourier lintasan yang telah ditentukan pada peta kontur Bouguer Anomali Lengkap. Secara umum, suatu transformasi Fourier adalah menyusun kembali/ mengurai suatu bentuk

(47)

gelombang sembarang ke dalam gelombang sinus dengan frekuensi bervariasi, dengan hasil penjumlahan gelombang-gelombang sinus tersebut adalah bentuk gelombang aslinya. Untuk analisis lebih lanjut, amplitudo gelombang-gelombang sinus tersebut ditampilkan sebagai fungsi dari frekuensinya.

Analisis spektra adalah suatu analisis yang dilaksanakan untuk melihat spektrum frekuensi yang terkandung dalam data runtun waktu (time series data). Analisis spektra didasari oleh transformasi data dari domain waktu ke domain frekuensi sehingga spektrum frekuensi yang terkandung dapat dipantau (Drs. Suarga, 2007).

Analisis spektral/ power spectrum (spektrum daya) dilakukan untuk melihat respon anomali yang berasal dari zona dalam (regional), zona dangkal (residual) dan noise, sehingga kedalaman sumber anomali dapat diperkirakan. Analisis spektrum ini dilakukan dengan cara mentransformasi Fourier nilai ABL pada lintasan yang ingin diperkirakan kedalamannya, kemudian dengan grafik antara k (bilangan gelombang) dan ln A (amplitudo) ditentukan sumber anomali tersebut (Gambar 2.21).

(48)

Spektral diturunkan dari potensial gayaberat yang teramati pada suatu bidang horizontal dimana transformasi Fouriernya adalah (Blakely, 1996):

= (2-37)

dimana, U = potensial gayaberat

γ = konstanta gayaberat μ = anomali densitas

r = jarak

sehingga persamaannya menjadi:

(2-38)

Sehingga transformasi Fourier anomali gayaberat pada lintasan yang kita pilih adalah :

(2-39)

(2-40)

dimana, gz = anomali gayaberat

k = bilangan gelombang

z0 = ketinggian titik amat

z = kedalaman benda anomali

Bila distribusi densitas bersifat random dan tidak ada korelasi antara masing-masing nilai gayaberat, maka μ =1, sehingga hasil transformasi Fourier anomali gayaberat menjadi:

(2-41)

(49)

Untuk mendapatkan hubungan langsung antara amplitudo (A) dengan bilangan gelombang (k) dan kedalaman (z0 – z’) dilakukan dengan

melogaritmakan spektral amplitudo yang dihasilkan dari transformasi Fourier persamaan (2-41) sehingga memberikan hasil persamaan garis lurus. Komponen k menjadi berbanding lurus dengan spektral amplitudo.

(2-42)

Estimasi kedalaman tiap anomali dapat dilakukan dengan melakukan regresi linear pada masing-masing zona dari Gambar 2.21. Akan tergambarkan logaritma spektrum (Ln A vs k atau Ln A vs f, dimana f = k/2 ), menunjukkan bahwa kedalaman sumber sebanding dengan kemiringan (slope). Prinsip inilah yang digunakan untuk memperkirakan kedalaman sumber anomali. Hal ini juga dapat diterapkan untuk kasus 2 dimensi, sehingga didapatkan sebaran kedalaman sumber anomali pada suatu luasan tertentu. Kedalaman regional akan kita dapatkan dengan melakukan regresi linear pada zona regional dan begitu juga dengan zona residual dan noise.

2.9. Pemodelan 2-Dimensi Talwani

Interpretasi anomali gayaberat memberikan hasil yang tidak unik yaitu untuk satu penampang anomali gayaberat dapat memberikan hasil yang bermacam-macam (sifat ambiguity). Untuk mengurangi ambiguitas dari hasil interpretasi anomali gayaberat maka dikembangkan beberapa analisis seperti: penentuan kedalaman benda dengan analisis panjang gelombang, penurunan kedalaman maksimum, analisis frekuensi, teknik gradient vertikal, teknik gradient horizontal dan lain-lain. Sifat ambiguitas ini terjadi untuk semua metode medan

(50)

potensial, yang digunakan pada hampir semua metode geofisika, termasuk pada metode gayaberat dimana model yang bermacam-macam memiliki pola data yang sama. Hal ini terjadi karena sifat integralisasi dari gravitasi itu sendiri, hal ini dapat dibuktikan bahwa berbagai anomali bisa dihasilkan dari jumlah distribusi densitas yang tak terhingga.

Pemodelan adalah suatu proses untuk mendapatkan model bawah permukaan yang diturunkan dari anomali gayaberat permukaan. Interpretasi pemodelan 2D bertujuan untuk menggambarkan distribusi rapat massa dan geometri benda di bawah permukaan berdasarkan kontras densitas lateral. Pemodelan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemodelan kedepan/ tidak langsung (forward modelling), yaitu suatu metode model yang terlebih dahulu mengasumsikan atau memperkirakan densitas spesifik bawah permukaan, dimana benda geologi bawah permukaan dibuat terlebih dahulu, kemudian dihitung variasi anomali gayaberatnya. Metode ini juga menghitung gravitasi secara numerik, yang kemudian dibandingkan dengan data sebenarnya yang diperoleh dari survei gayaberat, dan menyesuaikan model densitas. Tahap-tahap di atas diulangi sampai didapatkan model yang sesuai (trial error). Hasil perhitungan mendekati variasi anomali gayaberat hasil pengukuran di tiap titik pengukuran.

Ambiguitas dalam pemodelan data medan potensial menyebabkan data gravitasi atau magnetik tidak memiliki resolusi vertikal yang baik. Oleh karena itu diperlukan informasi tambahan yang dapat memberikan kendala bagi model yang dicari. Penelitian ini membahas pemodelan data gravitasi/ gayaberat 2D dengan menggunakan data pada beberapa level ketinggian yang berbeda untuk

(51)

meningkatkan resolusi vertikal pada model 2D. Konsep sumber ekivalen digunakan untuk memperoleh data pada beberapa level ketinggian melalui proses kontinuasi ke atas (kajian sebelumnya). Dengan asumsi bahwa data medan potensial pada level ketinggian yang berbeda mengandung informasi mengenai variasi parameter fisis (densitas atau magnetisasi) terhadap kedalaman.

Penelitian ini membahas implementasi metoda tersebut pada data gravitasi (data lapangan) di mana data pada beberapa level ketinggian diperoleh melalui proses kontinuasi ke atas menggunakan teknik sumber ekivalen (Grandis & Yudistira, 2001). Setelah diperoleh data anomali gayaberat permukaan, dapat dilakukan interpretasi geologi melalui pemodelan untuk menggambarkan distribusi rapat massa dan geometri benda di bawah permukaan dari data tersebut. Talwani (Telford, 1990: 46) mengemukakan bahwa “pemodelan ke depan

untuk menghitung efek gayaberat model benda bawah permukaan dengan penampang berbentuk sembarang dapat diwakili oleh suatu bentuk poligon bersisi-n”.

(52)

Efek gayaberat dari gambar tersebut sama dengan integral garis sepanjang sisi-sisi poligon. Hubungannya adalah:

(2-43)

Dimana adalah integral yang diberikan oleh:

(2-44)

Dari geometri gambar (2.22) kita memiliki hubungan sebagai berikut: PQ = ai dan Z = (x-ai) tan = x tan θ

dari persamaan di atas didapat:

(2-45) Komponen gayaberat vertikal untuk sisi poligon BC adalah:

(2-46)

dengan menggunakan substitusi,

(2-47)

Sehingga didapat anomali gravitasi total pada tiap titik observasi,

(2-47) Persamaan (terakhir) di atas dijadikan dasar perhitungan model bawah permukaan yang berbentuk perangkat lunak.

Gambar

Gambar 2.1. Peta Dasar Daerah Penelitian (Lembar Cianjur - Bogor) – World Map.
Gambar 2.2. Pembagian Fisiografi dan Struktur Geologi Jawa Barat (Van Bammelen, 1949)
Gambar 2.3. Pembagian Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo, 1984)
Gambar 2.4. Rekontruksi Tektonik Pulau Jawa bagian Barat (Suparka dan Susanto, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan dalam sari jahe dan kunyit menyebabkan ayam broiler tumbuh cepat dan sehat sehingga akan berdapkan pada dengan pemberian pakan yang tepat serta suplemen air

Primajaya Pantes Garment, dapat disimpulkan bahwa metode peramalan yang paling tepat untuk digunakan oleh perusahaan adalah metode regresi linear dengan nilai MAD dan MSE

yang ditunjukkan dalam Gambar. b) Tebal total minimum lapis pondasi agregat kelas A dan kelas B tidak boleh kurang 1 cm dari tebal yang disyaratkan. c) Pada permukaan lapis

Dengan adanya permasalahan tersebut, Koperasi Wanita Putri Harapan perlu manggunakan sistem terkomputerisasi yaitu dengan menggunakan sistem informasi simpan pinjam yang

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah “Untuk mendiskripsikan konstruksi Pesan Moral dalam Syair Lagu (Studi Hermeneutika Pada Lagu-lagu Album Manusia Setengah

 Pengambilan keputusan persetujuan terhadap RUU ttg Pencabutan PERPPU dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna DPR yang tidak

Interaksi antara naungan dan pupuk daun terhadap jumlah daun umur 1 dan 5 MST pada kondisi tanpa naungan adalah kuadratik, sedangkan pada umur 5 MST untuk kondisi

Model Pembelajaran kooperatif tipe Student teams Achieverment Division (STAD) untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran PKn pada materi pokok memahami