• Tidak ada hasil yang ditemukan

REAKTUALISASI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REAKTUALISASI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

REAKTUALISASI HIERARKI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA

Abd. Muni1 adulmuni317@gmail.com

STAI Miftahul Ulum Tarate Pandian Sumenep Jl. Pesantren No 11 Tarate Pandien Sumenep

Absrack; Various literatures mention the hierarchy or sequence of laws and regulations in Indonesia have undergone four changes to the law, with the aim of refreshing and restructuring the hierarchy of existing legislation, but this effort still contains juridical problems in it. The most fundamental problem with regard to the overlap of one rule with other rules. UU no. 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation that is believed to be a reference in the hierarchy of legislation and is considered to be able to overcome the complexity of the problems contained in the previous law, but will also experience the same impasse. As for some of the contrasting problems in the body of Law No. 12 of 2011 concerning the return of Tap's position. The MPR and the contents of the Presidential Regulation are considered the same as the contents of the Government Regulation.

Each hierarchy has its own problems, although the initial goal is the same, namely to regulate and correct the ambiguities of the previous regulations, so that the actualization of the hierarchy of legislation is deemed important enough to be able to guarantee the consistency of norms at every level of Indonesian laws and regulations.

Keywords: hierarchy, statutory regulations, and reactualization.

(2)

2 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

A. PENDAHULUAN

Di dalam disiplin ilmu pengetahuan hukum ( law science ), terutama pada bagian-bagian yang sangat korelatif dengan perbuatan hukum ( law making ) dan pelaksanaannya (law enforcment), masalah sumber hukum merupakan suatu hal yang perlu dipahami, dianalisis, serta dimunculkan kompleksitas problematika dan solusinya, sehingga dapat diharapkan mempunyai keserasian dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat.2

Menurut sistem hukum3 Indonesia pengaturan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dimulai sejak Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI, Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahan dari satu aturan ke aturan lainnya bukan semata-mata faktor dinamika kepemimpinan, akan tetapi di dalam tubuh peraturan tersebut dipahami terjadi ketidak konsistenan norma, sehingga dilakukanlah perubahan-perubahan dengan tujuan penyempurnaan.4

Di Indonesia, mata rantai norma hukum ini diaktualisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam empat peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Adapun perbedaan jenis, hierarki, dan nomenklatur empat peraturan perundang-undangan teesebut akan dipaparkan sebagaimana tabel di bawah ini.5

2 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2014), hal. 23

3 Sistem hukum diartikan, keseluruhan atau prosedur yang spesifik, dengan sebab itu dapat dibedakan ciri-ciri dari kaidah sosial yang lain pada umumnya, dan lebih relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang profesional untuk mengontrol proses sosial yang terjadi di masyarakat. Lihat dalam Soetandyo Wingjosoebroto, Dari

Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Indonesia (Jakarta : Rajawali Press, 1994), hal. 1

4Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia...,

hal. 38

(3)

3 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Tabel I Tabel II

(4)

4 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Tata urutan di atas menunjukkan tingkatan masing-masing bentuk

yang bersangkutan, di mana yang disebut lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk yang disebut setelahnya. Selain itu, tata urutan di atas mengandung konsekuensi hukum, bentuk peraturan atau ketetapan yang posisinya lebih rendah, maka muatan materinya tidak boleh bertentangan dengan materi peraturan yang berada di atasnya. Semisal undang-undang, mengingat posisi undang-undang berada di bawah UUD 1945, maka konten materi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan materi UUD 1945.

Mengacu terhadapa paparan dalam tabel tersebut di atas, maka peraturan-peraturan lainnya seperti Interuksi Menteri dan lainnya yang terkategori jenis peraturan perundang-undangan6 berdasarkan Tap. MPRS tahun 1966 tidak dimuat kembali di dalam Tap. MPR Tahun 2000, akan tetapi di dalam ketentuan Tap. MPR tahun 2000 muncul jenis peraturan baru yang tidak termaktub di dalam Tap. MPRS 1966, yaitu Peraturan Daerah yang bersifat mengatur. Tidak hanya jenisnya yang mengalami perubahan, termasuk tata urutannya pun terjadi perubahan yang cukup signifikan, seperti posisi undang-undang yang sebelumnya sama atau setara degan posisi Perpu, tetapi di dalam Tap. MPR Tahun 2000 posisi undang-undang lebih tinggi dari Perpu. Menurut asas hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang berada di bawahnya, materinya tidak boleh bertentangan dengan muatan materi peraturan yang berada di atasnya, dalam konteks ini

6Terminologi peraturan perundang-undangan terdapat dua macam arti, yaitu :

- Proses pembentukan peraturan negara dari jenis yang tertingi yaitu undang-undang hingga yang terendah yang diperoleh secara atributif atau delagasi dari kekuasaan perundang-undangan.

- Peraturan perundang-undangan merupakan keseluruhan peraturan yang memiliki interelasi dengan undang-undang dan bersumber pada kekuasaan lembaga legislatif. Sementara itu, menurut Bagir Manan, apabila dikorelasikan dengan isinya maka peraturan perundang-undangan merupakan keseluruhan kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang memuat aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat secara universal. Menurut Maria Farida, yang dimaksud dengan peraturan bersifat abstrak dan mengikat secara umum adalah peraturan perundang-undangan tidak hanya berlaku umum akan tetapi juga berlaku keluar. Dari pandangan tokoh terebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan adalah wujud kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat.

(5)

5 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

muatan materi Perpu tidak boleh bertentangan dengan muatan materi undang-undang, apabila terjadi pertentangan materi Perpu dengan muatan materi undang-undang, maka muatan Perpu tersebut cacat dan tidak dapat dijadikan rujukan dalam praktek hukum.7 Pendapat Philipus M. Hadjon berdasarkan hasil studi banding terkait konstitusi yang telah dilakukan, bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, tidak ada suatu negara Uni Eropa yang memformulasikan aturan hukum dan pola heirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana pola Tap. MPRS Tahun 1966.8

Terhitung sejak dimulainya pengaturan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dari Tap. MPRS Tahun 1966 hingga lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan upaya konkret penyempurnaan dari sumber hukum sebgai rujukan dalam berbangsa dan bernegara, walaupun di dalam perjalanan panjangnya masih menemukan ketumpang tindihan norma antara aturan yang satu dengan aturan lainnya. Terbitnya UU No. 12 Tahun 2011 tentunya berdampak pada aspek hukumnya, selain memberikan pedoman yang semakin jelas dan pasti terhadap hal-hal yang tadinya belum jelas diatur, akan tetapi juga memunculkan persoalan-persoalan hukum baru, misalnya saja masuknya Tap. MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004.

Dalam tubuh UU No. 12 Tahun 2011 ini ditemukan problematika baru terkait judicial review9, sederhananya lembaga manakah yang berhak menguji Tap. MPR tersebut, sampai damana batasan Tap MPR yang diberlakukan, sementara lembaga MPR sendiri sudah tidak diberikan kewenangan oleh konstitusi kita untuk merumuskan paraturan yang bersifat eksternal, dikarenakan lembaga MPR sendiri tidak lagi mempunyai kewenangan merumuskan GBHN,

7 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Edisi Revisi, (Bandung : 1997), hal. 128

8 Philipus M. Hadjon, Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, (Surabaya : Fakultas Hukum Airlangga), hal. 3-4

9 Menurut Jimly Ash-Shiddiqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadapa produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Lihat di Fathurrohman, Memahami Keberadaan

(6)

6 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

dan masih banyak lagi problematika atau permasalahan hukum yang muncul.

Di dalam konteks bernegara yang berdasarkan hukum, maka problematika atau permasalahan hukum yang muncul harus segera mendapatkan solusi, agar ada kepastian hukum. Kompleksitas problematika yang bermunculan tersebut dapat disebabkan oleh ketidakjelasan dalam pengaturan atau belum lengkapnya dalam pengaturan atau sebab lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.10

Berdasarkan kompleksitas problematika tersebut di atas, dirasa perlu dibuat konsepsi reaktualisasi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ihwal ini didasarkan pada negara yang berdasarkan atas hukum, heirarki peraturan perundang-undangan dijadikan legalitas dalam menyelesaikan segala macam permasalahan di bidang hukum guna tercapainya rasa keadilan dan kepastian hukum. Eksistensi hierarki peraturan perundang-undangan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia adalah sebuah sistem untuk menjaga adanya konsistensi dan ketaatan asas dalam hukum positif Indonesia.11

B. PEMBAHASAN

1. Hierarki Berdasarkan Tap. MPRS/MPR

Ditinjau dari segi sistem peraturan perundang-undangan, sejatinya Tap. MPRS No. XX Thun 1966 tidak hanya mengatur tentang sumber, jenis, dan tata urutan. Tidak kalah urgen untuk diperhatikan adalah prinsip mengenai muatan materi dan batas-batas kewenangan berdasarkan jenis peraturan perundang-undangan. Sampai detik ini, tidak ada kejelasan deferensiasi antara Peraturan Pemerintah dengan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur ( regelen ).12 Di dalam ketentuan Tap MPRS ini, Peraturan Daerah tidak termaktub sebagai peraturan

10 Retno Saraswati, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jurnal Yustisia Vol.2 No.3 September -

Desember 2013), hal. 97

11 Dian Agung Wicaksana, Implikasi dan Re-Eksistensi Tap. MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan terhadap Jaminan atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia, ( Jurnal Konstitusi, Vol. 10 No. 1, Maret 2013 ), hal. 151-152

12 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung : Alumni, 1993), hal. 63-64

(7)

7 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

undangan, padahal Peraturan Daerah juga terkategori jenis peraturan perundang-undangan dan tidak selalu berstatus sebagai peraturan pelaksana saja.13

Dalam uapaya pembaharuan hukum, penataan kembali susunan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebuah keniscayaan, mengingat susunanya ini dirasa tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Sealin itu, era orde baru yang semula sangat menginginkan pemernian kembali falsafah Pancasila dan implementasi UUD 1945 dengan menata kembali sumber-sumber hukum dan tata urut peraturan perundang-undangan, praktiknya dalam kurun waktu 32 tahun belum menemukan hasil bangunan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan rujukan sistem peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang.

Terlebih di dalam praktiknya relatif banyak produk peraturan yang ditemukan tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem baku, termasuk soal noenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan badan-badan pemerintahan setingkat menteri. Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk memberikan regulasi terhadap institusi perbankan, menggunakan terminologi “Surat Edaran” yang tidak dikenal di dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beberapa kementerian lain menggunakan regulasi di bidangnya dengan menggunakan terminologi “Keputusan Menteri”, dan beberapa lainnya menggunakan “Peraturan Mentei”. Keputusan Presiden sendiri ada dua klasifikasi, ada yang bersifat penetapan administratif dan ada pula yang bersifat mengatur, ironisnya keduanya tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomornya saja, sehingga terjadi kesulitan membedakan antara Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif. Selain itu, munculnya kebutuhan mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa akan datang, yang dapat mendongkrak tumbuh kembangnya dinamika hukum adat yang cenderung

13 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara

(8)

8 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

diabaikan bahkan dikesampingkan disetiap upaya konstruksi hukum selama lebih dari lima puluh tahun terakhir.14

Melalui Sidang Tahunan MPR RI, terhitung sejak tanggal 7-18 Agustus Tahun 2000, MPR telah mengeluarkan regulasi melalui Tap. MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Uarutan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Tap MPR No. III/MPR/2000, peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis memuat konsekuensi hukum, bahwa peraturan perundang-undangan yang posisinya lebih rendah di dalam tingkatannya, konten materinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya. ketentuan tersebut, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferior / hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Hal ini dimaksudkan suapaya tercipta konsepsi kepastian hukum dalam sisitem hierarki peraturan perundang-undangan.

Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung beberapa prinsip berikut :15

a. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan rujukan hukum bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya.

b. Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya.

c. Muatan materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.

d. Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau direvisi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau setidaknya dengan peraturan yang sederajat.

14 Jimly Ash-Shiddiqie, Tata Urutan Perundang-undangan dan Problematika Peraturan

Daerah, makalah yang disampaikan dalam acara Loka Karya Anggota DPRD

se-Indonesia, yang diselenggarakan oleh LP3HET di Jakarta, 22 Oktober 2000, hal. 1. Lihat dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia..., hal. 44-45

15 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara

(9)

9 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

e. Peraturan perundang-undangan yang jenisnya sama, apabila mengatur materi yang sama pula, maka peraturan yang terbaru harus diberlakukan sekalipun tidak dengan tegas dinyatakan, bahwa peraturan yang lama dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi lebih khusus harus diutamakan dari peraturan yang lebih umum.

Melalui Tap. MPR No. III Tahun 2000 ini, Perda secara resmi dan menjadi sumber hukum16 dan termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dari sisi proses pembuatannya, sudah barang tentu kedudukan Perda ini, baik Perda pada tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum legislatif. Kendati demikian, dari segi kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah yang lebih sempit dipahami memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Oleh sebab itu, undang-undang lebih tinggi derajatnya dibanding Perda Provinsi, Kabupaen maupun Kota.

Sebagai konsekuensi yuridis, dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam naskah perubahan pertama UUD 1945, produk lembaga legislatif daerah bisa saja terjadi pertentangan dengan produk hukum eksekutif pusat. Misalnya, materi Perda Provinsi ataupun Kabupaen/Kota yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan isinya dengan materi Peraturan Menteri, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang berlaku, sepanjang diperuntukkan internal daerahnya.17

Lahirnya Tap MPR No. III/MPR/2000 dimaksudkan untuk menyempurnakan ketentuan Tap. MPRS No. XX Tahun 1966, namun rumusan bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan harapan, dikarenakan masih

16 Sumber hukum adalah sesuatu yang menimbulkan atura-aturan yang mempunyai kekuatan dan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar menimbulkan sanksi tegas dan nyata. Lihat dalam Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata

Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Surabaya : Cerdas Pustaka, 2008),

hal. 43

17Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara

(10)

10 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

terdapat beberapa kelemahan, salah satunya Tap. MPR telah menggeser posisi Perpu yang semula setingkat dengan undang-undang menjadi setingkat lebih rendah. Pertanyaanya, tepatkah posisi Perpu diletakkan setingkat di bawah undang-undang, sementara hakikat latar belakang lahirnya Perpu sendiri merupakan jalan pintas presiden untuk mengantisipasi kondisi genting dan memaksa, bahkan fungsi Perpu sendiri adalah berfungsi sebagai undang-undang darurat (emergency law).18

Bahkan ketentuan Pasal 2 Tap. MPR No. III/MPR/2000 ini tidak selaras, yakni bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 (sebelum amandemen), karena Perpu pada prinsipnya tidak ada perbedaan dalam muatan materinya dengan undang-undang. Yusril Ihza Mahendra berpendapat, dengan meletakkan Perpu setingkat di bawah undang-undang berarti Perpu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi pemerintah dalam mengatasi kondisi genting yang menghendaki pemerintah agar menunda/mencabut berlakunya suatu undang-undang.19

2. Hierarki Berdasrkan UU No. 10 Tahun 2004

Kompleksitas permasalahan yurids dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 tersebut menyebabkan pembaharuan hukum yang terjadi tepat pada tanggal 24 Mei 2004, DPR RI dan pemerintah telah menyetujui RUU menjadi undang-undang No. 10 Tahun 2004 yang berlaku secara efektif terhitung sejak November 2004. Di dalam undang-undang ini, menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, artinya seluruh peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia tidak boleh menabrak ketentuan yang termuat dalam Pancasila, apabila hal tersebut terjadi, maka dengan sendirinya peraturan perundang-undangan batal demi hukum.

Lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 merupakan perwujudan dari penyempurnaan dan perbaikan tata urutan peraturan

18 Ni,matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, ( Yogyakarta : FHH UII Press, Cetakan Kedua, 2004 ), hal. 212

19 Zaka Firma Aditya dan M. Reza Winata, Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia, (Jurnal Negara Hukum : Vol. 9, No. 1, Juni 2018), hal. 86

(11)

11 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

perundang-undangan sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Tap. MPR No. III/MPR/2000. Perbaikan sebagaimana penulis maksud adalah :

a. Disejajarkannya kembali Perpu setingkat dengan undang-undang. Yakni, kedudukan dan muatan materi Perpu di dalam UU No. 10 Tahun 2004 dianggap sejajar dengan undang-undang. Menurut Jimly Asshiddiqie, satu-satunya peraturan yang bersifat mandiri, dalam arti kegunaannya tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang adalah terbentuknya Perpu yang berlalu paling lama satu tahun.20

b. Muatan Perda di dalam UU No. 10 Tahun 2004 semakin diperinci dan dipertegas, yaitu Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Desa/Peraturan yang setingkat.

c. Dihapusnya Tap. MPR sebagai sumber hukum formil dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut, merupakan akibat dari adanya perubahan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 dalam amandemen ketiga UUD 1945, sehingga MPR tidak lagi mempunyai kewenangan dalam menetapkan putusan-putasan yang bersifat mengatur secara eksternal dalam bentuk ketetapan MPR.

UU No. 10 Tahun 2004 diundangkannya untuk mengkoreksi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam Tap. MPR No. III/MPR/2000, akan tetapi terdapat juga beberapa problematika klasik yang dijumpai, di antaranya :21 a. Permasalahan yang paling fundamental adalah keberadaan

Perpres yang muatan materinya hampir sama dengan muatan materi Peraturan Pemerintah. Sejatinya dialektika keberadaan Perpres sudah relatif lama terjadi sejak rapat panitia khusus. Dialektika terjadi dilatar belakangi oleh pemikiran, bahwa Presiden sebgai pemegang tampuk kekuasaan dalam lembaga eksekutif memiliki kekuasaan sangat besar, karena di samping membentuk Peraturan Pemerintah juga berwenang membentuk

20 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara

Indonesia...hal. 63-64

21 Zaka Firma Aditya dan M. Reza Winata, Reconstruction Of The Hierarchy...hal. 86-87

(12)

12 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Perpres. Apabila ditijau dari sisi Perpres dalam hal ini sebagai produk hukum pemerintah, maka pelaksaannya cukup dengan menggunakan Peraturan Pemerintah.

b. Di dalam muatan materi UU No. 10 Tahun 2004 dianggap terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum yang terdapat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4) yang menyebutkan, bahwa jenis peraturan perundang-undangan lainnya selain yang termaktub di dalam ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Di satu sisi, dihapusnya Tap. MPR sebagai sumber hukum formil dalam tata urutan peraturan perundang-undangan adalah sebuah kebenaran, mengingat MPR mengalami perubahan kedudukan, tugas, dan kompetensi pasca amandemen UUD 1945, selain membawa implikasi hilangnya tugas MPR menetapkan GBHN, perubahan tersebut juga berimplikasi pada status hukum dan kedudukan produk hukum MPR. Sehingga, peninjauan kembali terhadap Tap. MPRS/MPR RI yang ditetapkan sejak tahun 1966-2002 menjadi agenda yang tidak dielakkan. Oleh sebab itu, Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 pasca amandemen memberikan tugas kepada MPR untuk mengeluarkan suatu Tap MPR dalam peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Tap MPRS/MPR RI. Peninjauan kembali ini, merupakan suatu upaya untuk menghindari ketidak pastian hukum dari Tap MPRS/MPR yang dimaksud.22 Atas dasar amanat UUD 1945, MPR periode 1999-2004 berhasil menyusun dan mengeluarkan Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Tap MPRS/MPR sejak tahun 1966-2002.

Di sisi lain, melihat hasil peninjauan kembali terhadap Tap. MPRS/MPR sejak tahun 1966-2002 ada yang tergolong dihapus ada pula yang masih berlaku, di sinilah memunculkan kebingungan kebali dalam hal Tap MPRS/MPR yang tergolong masih berlaku, sementara dalam hierarki peraturan perundang-undang, tepatnya pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 Tap. MPR tidak

22 Rahmani Puspita Dewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI Setelah

Perubahan UUD RI Tahun 1945, ( Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 25 No. 4, Oktober

(13)

13 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Artinya, sampai ditetapkannya Tap MPR No. I/MPR/2003, persoalan tentang kedudukan, materi dan status hukum Tap. MPRS/MPR belum dipandang selesai.

3. Hierarki Berdasrkan UU No. 12 Tahun 2011

Berkaitan dengan varian-varian problematika yuridis yang terdapat di dalam UU No. 10 Tahun 2004, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 DPR dan Presiden menyetujui UU No. 12 Tahun 2011 sebagai bentuk penyempurnaan dari beberapa kelemahan yang terkandung dalam UU No. 10 Tahun 2004. Diantara yang dianggap sebagai penyempurna adalah :

a. Memasukkan kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan kedudukannya diletakkan satu tingkat setelah UUD 1945. Salah satu alasan memasukkan kembali Tap MPR sebagaimana diungkapkan oleh Patrialis Akbar yang pada saat itu berkapasitas sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, adalah konsekuensi yuridis adanya beberapa Tap. MPRS/MPR yang masih berlaku sampai saat ini, jika Tap. MPRS/MPR tersebut tidak masukkan ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, maka eksistensi Tap. MPRS/MPR akan menjadi masalah baru dalam tatanan hukum di Indonesia.23 b. Perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan

yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melaikan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan perundang-undang lainnya.

c. Pengaturan mikanisme pembahasan Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Perpu.

d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

e. Pengatran mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan

(14)

14 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

f. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I undang-undang ini.24

Keberadaan Tap. MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011 tidak hanya menjadi solusi solutif dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya, namun juga menimbulkan kontroversi atau silang pendapat di kalangan teoritisi dan praktisi hukum, disebabkan :

a. Tidak adanya mikanisme mengenai pengujian Tap. MPR dan hal ini menimbulkan kekosongan hukum ( rechts vacuum). Sementara dalam ketentuan Pasal 9 UU No. 12 Tahun 201125 terdapat pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, namun terbatas pada pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

b. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) 12 Tahun 2011 mengenai muatan materi yang harus diatur dengan UU, dan dalam ketentuan Pasal ini tidak terdapat Tap. MPR sebagai peraturan yang harus dijabarkan lebih lanjut oleh UU. Hal tersebut, tentu menimbulkan kerancuan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang secara kedudukan berada setingkat di atas UU dan setingkat di bawah UUD 1945.

c. Keberadaan Tap MPR tidak berdasarkan UUD 1945 atau tidak diperintah oleh UUD 1945. Dengan demikian, eksistensi Tap MPR tidak mempunyai legitimasi dari UUD 1945.

d. Lembaga MPR bukanlah sebuah lembaga tertinggi Negara pasca amandemen UUD 1945, sehingga ketetapan atau keputusannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh lebih tinggi daripada UU.

e. Karena keberadaan Tap MPR tidak diamanatkan oleh UUD 1945, maka kedudukannya sebagai sumber hukum batal demi hukum dan tidak mengikat secara umum kepada masyarakat

24 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara

Indonesia...hal. 66

25 Pasal (1) : dalam hal suatu UU diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

(2) : dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(15)

15 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

luas. Dengan demikian, jika masih ada Tap MPR maka keberadaanya hanya sebatas penetepan (beschikking) yang bersifat individualistik internal.26

Menurut reguasi yang baru UUD 1945 Pasal 3 jo. Pasal 8 jo. Pasal 37, MPR hanya mempunyai empat kewenangan, yaitu :27

1) Mengubah dan menetapkan UUD 1945

2) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden

3) Memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan, dan

4) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden

Secara yuridis, MPR itu diakui keberadaannya apabila menjalanjakan salah satu dari kewenangannya tersebut di atas. Yang menjadi pertanyaan dewasa ini, dapatkah MPR mengadakan persidangan yang membahas terkait pencabutan ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang menjadi warisan di masa lampau ?, dari ketentuan di atas jelas kegiatan persidangan semacam itu sangatlah inkonstitusional, karena lembaga MPR hanya dapat melaksanakan persidangan terbatas pada salah satu persoalan yang empat sebagaimana penulis jelaskan di atas.

Pasca diterbitkannya UU No. 12 Tahun 2011 keberadaan Tap MPR kembali menjadi diskursus hangat di lintas kalangan, terlebih di antara para ahli hukum tata negara. Implikasi yuridis dimasukkannya kembali Tap. MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan membawa konsekuensi logis dalam penataan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, termasuk ruang pengujiannya. Semestinya, eksistensi Tap. MPR di dalam UU No. 12 Tahun 2011 secara ex-officio menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, seperti UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda.

Silang pendapat di antara para pengamat hukum tata negara tidak terelakkan, ada yang berpendapat keberadaan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah

26Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia...hal. 81 27 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2014), hal. 35

(16)

16 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

membuka kembali ruang bagi MPR untuk kembali merumuskan ketentuan-ketentuan yang mengikat publik, padahal dalam sidang umum MPR pada tahun 2003 telah diputuskan bersama bahwa Tap. MPR tidak lagi mengatur keluar, namun hanya berlaku secara internal lembaga MPR.28

f. Kedudukan Perda Kabupaten/Kota berada di bawah Perda Provinsi dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang kerap memunculkan pertanyaan yuridis, apakah Perda Kabupaten/Kota dapat dibentuk setelah adanya Perda Provinsi atau tidak.

g. Kedudukan Perdes yang tidak dicantumkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Padahal, di dalam UU No. 6 Tahun 2014 telah mengamanatkan bahwa Desa mempunyai kewenangan untuk merumuskan Perdes. Terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 berbunyi, terdapat tiga jenis peraturan di Desa terdiri dari Perdes, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Mengacu pada tiga jenis peraturan tersebut, hanya dua yang wajib diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh Sekretaris Desa, yaitu Perdes dan Peraturan Kepala Desa. Dalam hal ini, secara teoritis berdasarkan karakteristik, pembentukan, dan pengundangannya dapat disimpulkan bahwa Perdes termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.29

Apabila kita perhatikan secara seksama, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966, Tap. MPR No. III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004, UU No. 12 Tahun 2011 masing-masing difungsikan untuk mengatur dan menertibkan hierarki peraturan perundang-undangan sebelumnya yang dinilai tidak representatif dan memuat banyak problem yuridis serta muatan materi yang overlaping. Hal tersebut, apabila dikomparasikan maka dapat terlihat revisi yang dilakukan melalui tambal sulam dan bongkar pasang kedudukan peraturan perundang-undangan.

28 Jimly Asshiddiqie, Perihal

Undang... hal. 39

29 Zaka Firma Aditya dan M. Reza Winata, Reconstruction Of The Hierarchy...hal.88

(17)

17 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Di dalam ketentuan Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 kedudukan Perpu disejajarkan dengan undang-undang, akan tetapi tata urutan peraturan perundang-undangan yang dimuat di dalam Tap. MPR No. III/MPR/2000 Perpu diturunkan satu tingkat di bawah undang-undang. Sementara Peraturan Menteri dicabut kedudukannya dari hierarki dan peraturan pelaksana lainnya digantikan dengan Perda. Berbeda lagi dengan muatan materi UU No. 10 Tahun 2004, yang mana kedudukan Perpu dikembalikan pada posisi semula, yakni sejajar dengan undang-undang, sementara Tap MPR ditiadakan dan Kepres diganrti menjadi Perpres. Adapun di dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 Tap. MPR kembali dimunculkan dan kedudukannya diletakkan satu tingkat di bawah UUD 1945 serta satu tingkat di atas undang-undang.30

Berdasarkan realitas masa lalu, dapat diasumsikan bahwa perubahan demi perubahan dalam hierarki peraturan perundang-undangan untuk masa yang akan datang masih cenderung menggunakan mekanisme bongkar pasang antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-perundang-undangan lainnya. Namun, yang menjadi fokus penulis tidak terbatas pada mikanisme bongkar pasang peraturan perundang-undangan, melainkan juga talaah apakah peraturan tersebut kedepannya menimbulkan permasalahan atau tidak, karena boleh jadi peraturan yang dulu dihapus justru memiliki relevansi dan korelasi dengan perkembangan khazanah saat ini. Hal ini didukung juga oleh perkembangan sistem ketatanegaraan yang semakin hari semakin berkembang. Contoh yang paling konkret, yaitu walaupun Peraturan Menteri tidak berada dalam komposisi hierarki peraturan perundang-undangan di UU No. 12 Tahun 2011, namun pada faktanya justru kerap dijadikan dasar hukum pembuatan Perda sehingga kedudukannya lebih tinggi dari Perda. Hal ini sudah pasti menimbulkan multi interpretatif di kalangan ahli hukum tata negara terlebih di kalangan masyarakat umumnya yang berimplikasi kekacauan dalam penerapan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

30Moh. Mahfud MD, Perdebatan Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, ( Jakarta:

(18)

18 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

C. KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan pengkajian melalui teori dan konsep yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa

reaktualisasi dalam hierarki peraturan perundang-undangan dirasa sangat penting dilakukan guna memberikan jaminan konsistensi dan relevansi norma-norma di berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan, mengingat terdapat norma dalam hierarki yang hakikatnya tidak bersifat mengatur, sepeti Tap. MPR sehingga perlu dikeluarkan. Selain hal tersebut, terdapat ketentuan norma di luar hierarki yang sesungguhnya bersifat mengatur, contoh peraturan-peraturan lembaga negara utama, Peraturan Menteri, lembaga negara setingkat kementerian, dan Peraturan Kepala Daerah, maka perlu untuk dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, serta memberikan penjelasan lebih lanjut terkait kedudukan peraturan selain dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Pengaturan dan penjelasan sebagaimana dimaksud, bisa dilakukan dengan cara melakukan revisi terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(19)

19 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Daftar Pustaka

Huda, Ni’matul, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Wingjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum

Nasional : Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Indonesia. Jakarta : Rajawali Press

Manan, Bagir Manan, 1997. Fungsi dan Materi Peraturan

Perundang-undangan, Edisi Revisi, Bandung : Rajawali Press

M. Hadjon, Philipus, Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surabaya :

Fakultas Hukum Airlangga

Fathurrohman, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Manan, Bagir dan Magnar, 1993, Kuntana, Beberapa Masalah Hukum

Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni

Tutik, Titik Triwulan, 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945, Surabaya : Cerdas Pustaka

Huda, Ni’matul, 2004, Politik Ketatanegaraan Indonesia, ( Yogyakarta : FHH UII Press, Cetakan Kedua

Mahfud MD, Moh., 2010, Perdebatan Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, ( Jakarta: Rajawali Press

Asshiddiqie, Jimly, 2014, Perihal Undang-undang, Jakarta : Rajawali Press

Aditya, Zaka Firma dan Winata, M. Reza, Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia, Jurnal Negara Hukum : Vol. 9, No. 1, Juni 2018

(20)

20 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122

Dewi, Rahmani Puspita, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI

Setelah Perubahan UUD RI Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro

Justitia Vol. 25 No. 4, Oktober 2010

Saraswati, Retno, Problematika Hukum Undang-Undang No.12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Jurnal Yustisia Vol.2 No.3 September - Desember 2013

Wicaksana, Dian Agung, Implikasi dan Re-Eksistensi Tap. MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan terhadap Jaminan atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 10 No. 1, Maret 2013

Gambar

Tabel I  Tabel II

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan tanah merupakan suatu proses geologi yang terjadinya mengalami siklus dimana siklus ini mengalami pengulangan pada setiap musim hujan dengan beberapa tahapan yaitu

Jl. Sebagai salah satu usaha yang menjanjikan, usaha penangkapan udang terus menerus dilakukan. Upaya penangkapan yang tak terkendali dan perusakan ekosistem menyebabkan

dibawah yaitu kurva uji-t, dapat dinyatakan penjelasan bahwa diperoleh nilai t hitung sebesar 4.979, maka Ho ditolak karena nilai t hitung 4.979 lebih besar daripada nilai t

pengendalian sistem informasi penjualan dengan tujuan yang spesifik guna membantu pihak manajemen dalam mencapai tujuan bisnis perusahaan. Hero

Hasil pengukuran unsur jasa ini berdasarkan tingkat kepentingan dan kinerjanya yang memungkinkan pihak PJN Harapan Kita untuk dapat menitikberatkan usaha perbaikan untuk hal

Arini Rahyuwati,

Rumusan daripada analisis keseluruhan menunjukkan bahawa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemerlangan akademik pelajar Fakulti Pendidikan, Jabatan Teknik dan Kejuruteraan

Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pembelajaran virtual untuk meningkat- kan efektifitas pembelajaran pada madrasah negeri di Kota Parepare. Metode pengumpulan data