• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Azia Shugi oleh Pemerintahan S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan Azia Shugi oleh Pemerintahan S"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN

AZIA SHUGI

OLEH PEMERINTAHAN SHINZO ABE

DALAM PENINGKATAN KAPABILITAS MILITER JEPANG

Oleh:

MIZAN AHSANI (105120403111001)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Pendahuluan

Pada tahun 2014, Kementerian Pertahanan Jepang secara resmi mengajukan

permintaan anggaran belanja militer dengan jumlah terbesar sepanjang sejarah pertahanan

Jepang, sebesar ¥5.05 Triliun.1 Permintaan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa

China dan Korea Utara merupakan ancaman terhadap keamanan Jepang. Menteri

Pertahanan Jepang, Itsunori Onodera, menambahkan bahwasanya peningkatan anggaran

belanja militer tersebut juga disebabkan oleh adanya kebutuhan perbaikan dan peningkatan

infrastruktur dari sistem pertahanan Jepang itu sendiri.2 Apabila permintaan tersebut

diterima, maka peningkatan tersebut akan menjadi yang ketiga dalam tiga tahun terakhir

setelah sebelumnya selama sepuluh tahun mengalami pemotongan anggaran.3

Terdapat jarak yang cukup signifikan antara tahun 2011 dengan 2012, tahun dimana

Jepang mulai menghentikan pemotongan anggaran dan menaikkan anggaran belanja

militernya. Pada tahun 2011, anggaran belanja militer Jepang hanya sebesar ¥4.62 Triliun,

sementara pada tahun 2012 anggaran belanja militer Jepang meningkat hingga ¥4.75

1Anonim, “Japan Defense Ministry to Make Largest Ever Budget Request”, BBC News Asia

, 29 Agustus 2014, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-asia-28978322, pada tanggal 22 September 2014.

2 Ibid. 3

(2)

Triliun.4 Besarnya anggaran belanja militer pada tahun 2012 tersebut membuat Jepang

menduduki peringkat kelima daftar negara dengan anggaran belanja militer terbesar di

dunia pada tahun 2012 berdasarkan Stockholm International Peace Research Institute

(SIPRI).5 Kemudian pada tahun 2013, anggaran belanja militer Jepang sebenarnya kembali

menurun mencapai ¥4.68 Triliun. Namun demikian, penurunan tersebut lebih dikarenakan

infrastruktur berbagai sektor militer yang ada telah diperbaiki dan ditingkatkan di tahun

sebelumnya.6

Peningkatan anggaran belanja militer yang dilakukan oleh Jepang merupakan salah

satu bagian dari upaya Jepang untuk meningkatkan kapabilitas militernya. Tidak hanya

meningkatkan anggaran belanja militer, wewenang pasukan pertahanan Jepang atau Japan

Self Defense Force (JSDF) juga semakin bertambah. Wewenang JSDF mulanya hanya

diperuntukkan sebagai pasukan pembelaan diri dan dibatasi oleh teritori. Namun demikian,

kini JSDF mulai keluar dari batasan teritori tersebut, diantaranya dengan menjadi pasukan

bantuan untuk Amerika Serikat di Iraq, serta beberapa misi perdamaian PBB dan NATO.7

Sebagai sebuah negara yang berdaulat, wajar bagi jepang untuk meningkatkan

kapabilitas militernya. Namun demikian, Konstitusi Nasional Jepang sudah dengan jelas

mengatur mengenai pembatasan kapabilitas dan penggunaan militernya. Bahkan di dalam

4

Japan Ministry of Defense, Defense Progra m and Budget of Japan, Overview 2012, diakses dari http://www.mod.go.jp/e/d_budget/, pada tanggal 10 Juni 2013.

5Anonim, “Japan’s Military Revolution Hints at Shinzo Abe’s Nationalist Aims”, BBC News Asia

, 17 Desember 2013, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-asia-25414430, pada tanggal 22 September 2014.

6

Japan Ministry of Defense, Defense Program and Budget of Japan, Overview 2013, diakses dari http://www.mod.go.jp/e/d_budget/, pada tanggal 10 Juni 2013.

7

(3)

Konstitusi Nasional Jepang secara jelas juga melarang Jepang untuk meningkatkan

kapabilitas militernya.8

Berbagai upaya peningkatan kapabilitas militer tersebut seakan tidak mencerminkan

isi dari Konstitusi Nasional Jepang itu sendiri. Pada akhirnya justru muncul wacana untuk

merevisi konstitusi tersebut sehingga Jepang mampu meningkatkan kapabilitas militernya

tanpa dihambat oleh konstitusinya sendiri. Keinginan itu diungkapkan oleh Shinzo Abe,

Perdana Menteri Jepang saat ini. Shinzo Abe menganggap Jepang perlu untuk merevisi

konstitusi mereka agar penggunaan dan peningkatan kapabilitas militer Jepang tidak

terhambat.9

Keinginan kuat Shinzo Abe yang didukung oleh partainya, Liberal Democratic

Party (LDP), untuk merevisi konstitusi mereka pada dasarnya sulit untuk diwujudkan. Pada

suatu jajak pendapat yang dilakukan pada 2012, sebanyak 59% koresponden menolak

wacana revisi Konstitusi Nasional Jepang.10 Padahal LDPmerupakan partai mayoritas yang

menguasai parlemen Jepang. Oleh karena itu, meningkatkan kapabilitas militer terlebih

merevisi konstitusi demi mempermudah peningkatan tersebut tentu tidak rasional.

8Chapter II: Renunciation of War, Article 9: “

Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce wa r as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well a s other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.

Prime Minister of Japan and His Cabinet, The Constitution of Japan, diakses dari

http://www.kantei.go.jp/foreign/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html, pada 5 April 2013.

9Wahyu Dwi Anggoro, “Perkuat Militer, Jepang Segera Ubah Konstitusi”,

Okezone Internasional, 1 Februari 2013, diakses dari http://international.okezone.com/read/2013/02/01/413/754998/perkuat-militer-jepang-segera-ubah-konstitusi, pada tanggal 11 Juni 2013.

10

(4)

Besarnya anggaran belanja militer tersebut seharusnya sudah cukup bagi negara

yang hanya menggunakan kapabilitas militernya untuk pertahanan diri (self defense) di

dalam wilayah teritorinya saja. Selain itu, Jepang juga memiliki pakta aliansi dengan

Amerika Serikat, kedua negara membentuk United States Force Japan (USFJ). Melalui

USFJ, Amerika Serikat akan membantu Jepang apabila terlibat konflik bersenjata dengan

negara lain. Selain itu, Amerika Serikat juga menunjang infrastruktur militer Jepang dengan

infrastruktur-infrastruktur yang modern, seperti Pesawat Tempur F35 yang akan diberikan

pada Maret 2017.11 Tentu pakta aliansi tersebut semakin memperkuat pertahanan Jepang.

Lantas bagaimana Jepang bisa tetap memaksakan untuk meningkatkan kapabilitas

militernya? Apakah ada faktor-faktor tersendiri yang melatarbelakangi tindakan tersebut?

Pada dasarnya, banyak ilmuan yang menilai bahwa kebijakan Jepang tidak menentu

arahnya, dimana Jepang dikatakan sebagai negara reaktif, tidak berusaha untuk

menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingannya sendiri.12 Jepang juga dikatakan tidak

akan berusaha untuk berubah menjadi salah satu kekuatan besar di dunia, karena terdapat

nilai anti-militarism yang telah terinstitusionalisasi dalam pemerintahan Jepang melalui

proses-proses kompromi yang dilegitimasi.13 Dalam masyarakat Jepang sendiri, nilai

anti-militarism tersebut cenderung lebih disukai meskipun situasi dan kondisi di lingkungan

internasional mulai perlahan berubah. Salah satu buktinya adalah seringnya masyarakat

Jepang menolak atau menentang upaya pemerintah Jepang untuk meningkatkan anggaran

belanja militernya. Nilai tersebut juga semakin dilanggengkan melalui pembelajaran atas

11Jeremy Bender, “Why Japan’s Smaller Military Could Hold Its Own Against China”,

Business Insider Indonesia, 6 Mei 2014, diakses dari http://www.businessinsider.cos.id/japans-smaller-military-could-match-china-2014-5/#.VCxEZlNmgXY, pada tanggal 22 September 2014.

12

Bo-Yu Chen & Jian-Ting Chen, In the Search for Strategy and Identity: Strategic Culture and Japan’s

Security Policy, (Guangzhou: National Sun Yat-sen University Web Press, 2006), hal 5.

(5)

masa lalu Jepang, yang kemudian membentuk kesadaran bersama dari masyarakat Jepang

itu sendiri.14

Perlu diketahui, perubahan dramatis pada sistem internasional pada dasarnya

mampu memunculkan kembali nilai-nilai yang telah lama ditekan ataupun yang tergantikan

oleh nilai yang lain, dan kejadian 911 dipercaya merupakan perubahan dramatis dalam

sistem internasional tersebut.15 Pasca kejadian 911, isu terorisme menjadi isu yang utama

dalam ranah hubungan internasional, dimana Amerika Serikat kemudian mengeluarkan

kebijakan untuk memerangi terorisme. Sebagai negara yang memiliki hubungan aliansi

dengan Amerika Serikat, Jepang juga dituntut oleh Amerika Serikat untuk turut mengambil

peran memerangi terorisme.16 Tuntutan Amerika Serikat tersebut kemudian direspon oleh

Jepang melalui perubahan besar dalam kebijakan pertahanannya. Pada tahun 2003, Perdana

Menteri saat itu, Junichiro Koizumi, menyetujui kebijakan yang dirancang oleh National

Diet untuk menurunkan Ground Self Defense Force (GSDF) di Iraq dalam misi

rekonstruksi, yang mana merupakan pertama kalinya Jepang menurunkan pasukan

pertahanannya dalam misi ‘semi combat zone’.17 Tindakan itu sendiri menuai banyak

kecaman dari berbagai pihak dalam politik domestik Jepang, dan selain itu, juga banyak

dilihat sebagai bentuk kembalinya para nasionalis konservatif dan sayap kanan dalam

pemerintahan Jepang yang membawa nilai dan tradisi yang ada dalam pemerintahan Jepang

sebelumnya. Dalam pemerintahan Jepang itu sendiri, sebelum nilai anti-militarism

terinstitusionalisasi dalam pemerintahan Jepang, yang selalu mewarnai kebijakan-kebijakan

14Ibid. 15Ibid.

, hal 1.

16 Ibid. 17

(6)

Jepang adalah nilai azia shugi. Pemahaman inti dari nilai azia shugi ini adalah Asia perlu

bersatu untuk mencapai kemakmuran bersama.18

Azia shugi atau bisa disebut juga asianism merupakan nilai yang lahir pada era

Restorasi Meiji dan mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut banyak dipengaruhi

oleh pemahaman atas posisi Jepang sendiri di antara negara-negara lain di Asia. Pada

awalnya, pemahaman posisi Jepang setara dan sederajat dengan negara Asia lainnya.

Pemahaman tersebut kemudian berkembang, Jepang lalu menganggap mereka memiliki

kedudukan yang lebih tinggi dari negara Asia lainnya sehingga muncul anggapan Jepang

perlu untuk memimpin negara-negara lain di Asia untuk menyatukan Asia menuju Asia

yang makmur.19

Pada era Restorasi Meiji dimana awal mula munculnya nilai azia shugi ini,

pemerintahan pada era tersebut banyak didominasi oleh para pendiri dari era Meiji yang

menaklukkan Tokugawa Shogun atau disebut dengan istilah genro.20 Para genro

berpengalaman bertempur dengan bangsa Eropa di akhir era Edo (1603-1867), dimana

mereka kemudian banyak belajar bahwa bangsa Eropa jauh lebih kuat daripada Jepang, dan

Jepang bisa saja berakhir dikolonisasi seperti negara Asia lainnya, kecuali apabila Jepang

memperkuat diri.21 Dari pemahaman tersebut, mereka kemudian merasa perlu untuk

membantu bangsa Asia lainnya untuk selamat dari kolonialisme bangsa Eropa karena

18

Ibid., hal 2.

19 Ibid. 20

Yukie Yoshikawa, “Japan’s Asianism: 1868-1945, Dilemmas of Japan’s Modernization”, dalam Asia-Pacific Policy Paper Series No: 8. (Washington DC: Edwin O. Reischauer Center for East Asian Studies, 2009), hal 18.

21

(7)

solidaritas sesama Asia, dan pada tahap ini pula, rasa pentingnya persatuan bagi

negara-negara Asia mulai muncul.22

Namun dalam perkembangannya, setelah diraihnya kemenangan dramatis Jepang

atas Uni Soviet pada Russo-Japan War, pendefinisian terhadap nilai azia shugi tersebut

mulai berubah. Melalui kemenangan atas Rusia tersebut, kepercayaan diri Jepang mulai

muncul, selain itu Jepang merasa tidak perlu untuk bekerja sama dengan negara Asia lain

dalam mempersatukan Asia guna melawan bangsa Eropa dan memimpin Asia mencapai

kemakmuran Asia.23 Sehingga, dalam penerapannya di era Perang Dunia II, nilai tersebut

pada akhirnya membentuk Jepang menjadi negara yang cenderung agresif, melakukan

berbagai penaklukan di Asia dengan alasan demi menyatukan dan memakmurkan mereka.

Hanya saja, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu di akhir Perang Dunia II,

Jepang kemudian dilucuti dan ditekan menjadi negara yang pasifs.

Sebagai negara Asia, azia shugi sebagai budaya strategis Jepang banyak

dipengaruhi oleh pemahaman diri Jepang dan Asia itu sendiri, dimana pemahaman akan

diri sendiri dan negara lain tersebut membentuk azia shugi menjadi berbagai macam

penerapan yang berbeda. Nilai azia shugi itu sendiri juga tidak kaku, sebagaimana

dijelaskan sebelumnya, melainkan mampu berubah sesuai dengan bagaimana elit dalam

pemerintahan Jepang memahami diri mereka sendiri (Jepang) dan negara lain di Asia.24

22Ibid. 23Ibid.

, hal 15.

24

Bo-Yu Chen & Jian-Ting Chen, In the Search for Strategy and Identity: Strategic Culture and Japan’s

(8)

Budaya Strategis Sebagai Pisau Analisis

Dalam memahami budaya strategis, pada dasarnya budaya strategis dari suatu

negara tidak bersifat permanen dan terus menerus bertahan tanpa mengalami perubahan.

Budaya strategis dapat berubah, misalnya seiring dengan berbagai peristiwa yang dilalui

sebuah negara. Menurut Jeffrey S. Lantis, sumber yang membentuk budaya strategis suatu

negara dibagi menjadi tiga yakni fisik, politik, dan sosial budaya. Lebih lengkap, dapat

dilihat variabel-variabel dari sumber yang membentuk maupun mampu merubah budaya

strategis suatu negara sebagaimana tertera dalam tabel berikut:

Sumber Pembentuk Budaya Strategis

Fisik Politik Sosial Budaya

Geografis Pengalaman sejarah Defining texts

Iklim Sistem politik Mitos dan symbol

Sumber daya alam Elite beliefs

Perkembangan Generasi Organisasi militer

Teknologi

(Transnational Normative Pressure)

Sumber: Jeffrey S. Lantis, “Strategic Culture: From Clausewitz to Constructivism”,dalam Strategic Culture Weapon of Mass Destruction, (New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal 40.

Budaya strategis suatu negara, merupakan seperangkat kepercayaan bersama yang

(9)

suatu negara tersebut.25 Jeffrey S. Lantis kemudian mengklasifikasi tiga sumber utama yang

mampu membentuk maupun mengubah budaya strategis suatu negara, diantaranya sumber

fisik, politik, dan juga sosial budaya.26 Sumber fisik banyak terdiri dari aspek-aspek seperti

geografi, iklim, sumber daya alam, terknologi, maupun perkembangan generasi dalam suatu

negara. Sementara politik, terdiri dari aspek seperti pengalaman sejarah, sistem politik, elite

beliefs, maupun organisasi militer. Sedangkan sosial budaya terdiri dari mitos & simbol

serta defining text. Selain itu, terdapat satu aspek lain yang mampu menjadi sumber budaya

strategis suatu negara, yaitu transnational normative pressure.

Tidak dapat dipungkiri, esensi utama dari budaya strategis ada pada variabel mitos

dan simbol. Variabel mitos dan simbol disebutkan oleh Lantis sebagai variabel/faktor

penstabil (stabilizing factor), namun di fenomena dan negara yang berbeda, bisa juga

menjadi sebaliknya (destabilizing factor).27 Namun demikian, keberadaan variabel lain juga

tidak boleh dihiraukan. Variabel geografis misalnya, melalui variabel tersebut bisa dilacak

alasan mengapa negara mengadopsi kebijakan keamanan tertentu, berbeda dengan negara

lainnya.28 Termasuk sejumlah aspek fisik lainnya seperti sumber daya alam, perkembangan

generasi, dan teknologi.

Sementara pada aspek politik, keempat variabel yang ada juga bisa menentukan.

Pengalaman sejarah misalnya, melalui variabel tersebut dapat ditelusuri asal mula lahirnya

sebuah negara, serta perubahan-perubahan yang dialami oleh negara tersebut. Melalui

proses yang dilalui oleh negara tersebut bisa dilihat terbentuknya identitas dan budaya

25

Jeannie L. Johnson, Kerry M. Kartchner, Jeffrey A. Larsen, Strategic Culture Weapon of Mass Destruction, (New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal 9.

26Jeffrey S. Lantis, “Strategic Culture: From Clauesewitz to Constructivism”,

dalam Strategic Culture Weapon of Mass Destruction, (New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal 40.

27 Ibid. 28

(10)

strategisnya.29 Sama halnya dengan variabel lain seperti sistem politik, elite beliefs, dan

organisasi militer. Beberapa negara menggunakan aspek-aspek budaya termasuk agama,

sebagai landasan berpolitik suatu negara. Beberapa negara juga memiliki organisasi militer

yang sangat dominan dalam pengambilan kebijakan khususnya kebijakan keamanan, karena

mereka tentunya memiliki doktrin militer tertentu, serta mereka sendiri merupakan agen

yang melaksanakan kebijakan keamanan tersebut. Selain itu, ada tekanan dalam

penggunaan kekuatan militer yang dijelaskan oleh Theo Farrell sebagai transnational

normative pressure. Farrell menjelaskan bahwasanya norma-norma internasional

khususnya norma terkait penggunaan militer secara profesional dapat merubah paradigma

penggunaan militer suatu negara.30 Norma internasional tersebut bisa menjadi nilai lokal

suatu negara melalui dua cara, dipaksakan diterima oleh masyarakat, atau melalui

pembelajaran oleh masyarakat itu sendiri. Contohnya adalah bagaimana masyarakat

Amerika Serikat menerima penggunaan militer secara luas oleh pemerintahnya adalah

untuk menjaga perdamaian, atau memerangi terorisme.

Lantis juga menambahkan penjelasannya, bahwa elit pemerintahan suatu negara

juga mengambil peran penting dalam jalannya budaya strategis negaranya. Menurut Lantis,

elit pemerintahan suatu negara merupakan keeper dari budaya strategis negaranya, yang

menjaga, menjalankan, maupun mengubah budaya strategis negaranya. 31

Budaya strategis suatu negara dikatakan tidak bersifat kaku, melainkan bisa berubah

sesuai dengan peristiwa yang dialami suatu negara, maupun oleh aspek-aspek lainnya

dalam sumber budaya strategis itu sendiri. Sama halnya dalam budaya strategis Jepang,

29Ibid. 30

Ibid., hal 41.

31

(11)

yang berevolusi sesuai dengan constra in yang ada dalam pemerintahan Jepang dan

pandangan elit pemerintahan di masanya. Selain itu, juga dikarenakan oleh turning event

yang mampu mengubah budaya strategis Jepang itu sendiri.

Sistem Politik Jepang & Latar Belakang Shinzo Abe

Konstitusi Nasional Jepang yang dibentuk pada 1947, didasarkan pada

prinsip-prinsip kedaulatan, hak-hak asasi manusia, dan juga perdamaian.32 Sistem politik Jepang

menganut demokrasi konstitusional, dimana berdasarkan prinsip pembagian kekuasaan,

pemerintahan Jepang dibagi ke dalam tiga bagian diantaranya badan legislatif, yudikatif,

dan juga eksekutif.33 Kedudukan Kaisar di Jepang hanya sebagai simbol negara dan simbol

persatuan masyarakatnya.34

Sebagai negara dengan sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif

merupakan inti dari pemerintahan Jepang. Badan legislatif tersebut dinamakan sebagai

National Diet atau bisa dipersingkat Diet, dan Diet sendiri merupakan badan dengan

kekuasaan tertinggi di Jepang. Bahkan Perdana Menteri yang merupakan posisi tertinggi

dalam badan eksekutif diangkat berdasarkan resolusi yang dikeluarkan oleh Diet.35 Selain

itu, Diet juga disebut sebagai bagian inti dari pemerintahan Jepang, karena kabinet menteri

dalam pemerintahan bahkan juga dipilih dari anggota Diet oleh Perdana Menteri.36 Pada

dasarnya sistem pemerintahan Jepang mirip dengan sistem pemerintahan Inggris, namun

32Web Japan, “Governmental Structure”,

Japan Fact Sheet, diakses dari http://web-Sjapan.org/, pada tanggal 13 Desember 2014.

33Ibid. 34Ibid. 35

Ibid. 36

(12)

berbeda gaya dengan sistem yang sama yang diterapkan oleh Amerika Serikat, dimana tiga

badan kekuasaan secara teoritis kedudukannya sejajar.

Diet dibagi ke dalam dua bagian; lower chamber atau disebut juga house of

representatives, dan upper chamber atau house of councilors. House of representatives

memiliki keistimewaan, bisa mengajukan mosi tidak percaya.37 Namun di sisi sebaliknya,

kabinet juga memiliki satu keistimewaan yaitu membubarkan house of representatives.38

Selain itu, kabinet juga memiliki otoritas mengangkat jaksa agung dan jaksa lain dalam

mahkamah agung Jepang (supreme court). Supreme court sendiri memiliki tanggung jawab

konstitusional terhadap segala hukum yang ada di Jepang.

Sebagai badan dengan kekuasaan tertinggi, anggota Diet dipilih melalui pemilihan

secara langsung oleh masyarakat Jepang yang telah lebih dari batas usia 20 tahun.

Meskipun banyak diantara calon anggota Diet tersebut merupakan anggota dari partai

politik, namun bukan berarti partisipasi calon anggota Diet dari luar partai politik tidak ada.

Perdana menteri dipilih dari anggota Diet, dimana kemudian perdana menteri membentuk

kabinet menteri, lalu kabinet mengontrol urusan-urusan badan eksekutif dari pemerintahan.

Selain itu, Diet juga bisa disebut sebagai badan pembuat kebijakan tunggal dari negara,

karena segala proses perumusan kebijakan akan selalu diakhiri oleh persetujuan dari Diet.39

Fungsi tambahan penting yang lain yang dimiliki Diet adalah menyetujui national budget,

ratifikasi perjanjian internasional, serta turut berpartisipasi dalam penyetujuan amandemen

dari konstitusi.

37Ibid. 38

Ibid. 39

(13)

Diet tidak dapat dipungkiri merupakan bagian penting dalam pemerintahan Jepang,

maka sebagai bagian yang terpenting, siapa orang atau partai mana yang ada di dalamnya

tentu mampu mempengaruhi jalannya Diet itu sendiri. Dalam sistem politik Jepang sendiri,

terdapat banyak partai, karena Jepang sendiri menganut sistem multipartai.

Salah satu partai Jepang yang besar adalah Liberal Democratic Partyof Japan atau

LDP. LDP sendiri merupakan salah satu partai terbesar dan tertua yang ada di Jepang,

berdiri sejak 1955.40 LDP secara garis besar mengusung isu-isu ekonomi dan bisnis serta

isu pro kerjasama dengan Amerika Serikat.41 Semenjak berdiri, LDP nyaris selalu

menguasai pemerintahan Jepang, berkuasa hingga tahun 1993. Pengecualian hanya pada

periode 2009-2012, dimana Democratic Party of Japan atau DPJ mengambil alih

kekuasaan. LDP memiliki peran besar dalam turut membangun kembali Jepang yang kalah

di Perang Dunia II, hingga menjadi negara dengan perekonomian yang maju.42

Selain LDP, Democratic Party of Japan merupakan salah satu partai yang cukup

besar di Jepang. Didirikan pada tahun 1996 dengan tujuan untuk menantang dominasi

partai yang berpuluh tahun berkuasa, LDP.43 DPJ mampu merebut banyak suara bahkan

semenjak pertama kali didirikan, dan hanya dalam kurang dari dua tahun, DPJ mampu

menjadi partai oposisi terbesar di Jepang.44 Lama menjadi oposisi, pada akhirnya di tahun

2009 DPJ mampu merebut suara mayoritas masyarakat Jepang dan menang dalam

40Raymond Christensen, “Liberal Democratic Party of Japan”,

Encyclopedia Britannica, diakses dari

43Kenneth Pletcher, “Democratic Party of Japan”, Encyclopedia Britannica

, diakses dari

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/935945/Democratic-Party-of-Japan-DPJ, pada tanggal 13 Desember 2014.

(14)

pemilihan umum. DPJ kemudian berkuasa selama tiga tahun dari 2009 hingga 2012,

dimana kemudian kekuasaannya digantikan kembali oleh LDP.

Selain LDP dan DPJ, juga terdapat sejumlah partai lain yang turut bertarung dalam

pemilihan umum mendapatkan kursi di Diet. Diantaranya Social Democratic Party of

Japan atau SDPJ, Japanese Communist Party atau JCP, Democratic Socialist Party atau

DSP, Your Party, New Komeito, Kaishinto, hingga Minseito.45

Pada masa pemerintahan Shinzo Abe, partai yang menang dalam pemilihan adalah

LDP, yang mana tentu merupakan partai dari Perdana Menteri terpilih, Shinzo Abe. LDP

yang merupakan partai berbasis sayap kanan pada 2012 membawa isu-isu seperti

pembangunan ekonomi dan pro demokrasi sehingga tidak mengherankan apabila

kebijakan-kebijakan Jepang banyak mengarah pada isu-isu tersebut.

Sebagai pusat dari pemerintahan Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe dan

partainya, Liberal Democratic Party atau LDP sudah tentu memiliki pengaruh besar

terhadap jalannya pemerintahan dari Jepang. Pandangan-pandangan keduanya selain

menentukan arah kebijakan dari Jepang, juga menentukan jalannya budaya strategis dari

Jepang sendiri.

Sesuai dengan penjelasan Lantis, elit pemerintahan suatu negara memiliki pengaruh

yang penting terhadap perubahan atau pembentukan budaya strategis suatu negara.46 Selain

itu, elit pemerintahan juga memiliki peran sebagai keeper atau penjaga dari budaya strategis

45Anonim, “Japan Political Parties”, Encyclopedia Britannica

, diakses dari

http://www.britannica.com/search?query=japan political party, pada tanggal 13 Desember 2014.

46Jeffrey S. Lantis, “Strategic Culture: From Clauesewitz to Constructivism”,

(15)

negaranya.47 Mereka yang menjaga, dan mereka yang menjalankan budaya strategis

negaranya tersebut, dimana tentu pada akhirnya pandangan mereka dapat dibentuk dan

dibatasi oleh budaya strategis, atau sebaliknya, membentuk maupun mengubah budaya

strategis negaranya.

LDP merupakan partai terbesar dan tertua yang ada di Jepang, berdiri bahkan sejak

1955.48 LDP seperti dijelaskan sebelumnya, mengusung isu-isu pembangunan ekonomi

serta isu pro aliansi dengan Amerika Serikat.49 Semenjak berdiri, LDP mampu terus

menguasai pemerintahan Jepang. Oleh sebab itu, LDP sebagai partai penguasa di Diet yang

pandangannya mempengaruhi jalannya kebijakan Jepang secara langsung, memiliki peran

yang besar dalam turut membangun kembali Jepang yang kalah di Perang Dunia II, hingga

menjadi negara dengan perekonomian yang maju.50

Selain itu, Shinzo Abe sebagai salah satu anggota dari LDP juga memiliki

pandangan tersendiri terhadap Jepang. Pada kampanye pemilihan Presiden partai LDP,

Shinzo Abe mengajukan sejumlah ide-ide yang akan diimplementasikan apabila kelak

terpilih menjadi Perdana Menteri. Ide tersebut kemudian dituangkan ke dalam empat

national goals. Shinzo Abe menginginkan Jepang untuk menjadi negara dengan kriteria:

negara yang menghargai budaya, tradisi, alam, dan sejarah, negara yang bebas namun

disiplin, negara yang terus berkembang maju dengan memaksimalkan inovasi, serta negara

47

Ibid., hal 41.

48Raymond Christensen, “Liberal Democratic Party of Japan”,

Encyclopedia Britannica, diakses dari http://www.britannica.com/EBchecked/topic/339041/Liberal-Democratic-Party-of-Japan-LDP, pada tanggal 13 Desember 2014.

49 Ibid. 50

(16)

terbuka yang dipercaya, dihargai, dan dicintai dunia dan berusaha untuk menjadi pemimpin

diantara negara-negara di dunia.51

Untuk mencapai national goals yang dicanangkan Shinzo Abe tersebut, enam

kebijakan konkrit ditawarkan oleh Shinzo Abe: membangun kepemimpinan politik

(political leadership) yang kuat, menciptakan ekonomi terbuka dan masyarakat yang

berlandaskan kebebasan dan kedisiplinan, menciptakan masyarakat yang aman,

menjalankan diplomasi ‘Jepang yang kuat dan terpercaya’, mereformasi sistem kepartaian

agar beradaptasi dengan zaman yang modern, serta terakhir membawa Jepang lepas dari

post-war regime.52 Shinzo Abe sangat menginginkan Jepang lepas dari post-war regime,

karena Shinzo Abe menginginkan Jepang untuk lepas dari belenggu pasifis yang menekan

Jepang. Jepang harus berusaha mendapatkan identitas dan kepentingannya sendiri, sebagai

negara yang kuat dan terpercaya.

Pandangan politik, karir kepolitikan, serta program-program politik dari Shinzo Abe

sendiri pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya.53 Shinzo Abe

lahir di Tokyo pada 21 September 1954. Ayahnya, Shintaro Abe, adalah seorang jurnalis

yang kemudian masuk ke dunia politik sebagai sekretaris dari Kishi Nobusuke, Menteri

Luar Negeri Jepang, yang juga merupakan kakek dari Shinzo Abe. Kakek dari Shinzo Abe

tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Perdana Menteri, dimana Kishi terpilih pada 1957.

51Bert Edstrom, “Success of Successor: Abe Shinzo and Japan’s Security Policy”, dalam Silk Road Paper May 2007, (Uppsala: The Central Asia-Caucasus Institute & Silk Road Studies Program, 2007), hal 8.

52

Ibid., hal 9.

53

(17)

Karir ayah Shinzo Abe, Shintaro Abe, sebagai politisi juga cenderung mulus, dimana pada

1987 ayahnya tersebut nyaris memenangi pemilihan Perdana Menteri Jepang.54

Shinzo Abe mengenyam bangku pendidikan di sekolah Seikei Gakuen School

System, sekolah yang mengajarkan asas-asas liberal dan individualis dalam

pembelajarannya.55 Setelah lulus kuliah dari Seikei University, pada 1978 Shinzo Abe

melanjutkan pendidikannya di University of Southern California, dan mengikuti jejak

mantan Perdana Menteri, Miki Takeo (1974-1976), yang juga menempuh pendidikan di

kampus tersebut.56 Meskipun dilahirkan di Tokyo, Shinzo Abe dibesarkan di prefektur

Yamaguchi, yang merupakan prefektur pencetak perdana menteri terbanyak di Jepang

(sebanyak tujuh perdana menteri). Dua diantara perdana menteri dari Yamaguchi tersebut

merupakan kakek dan paman dari Shinzo Abe, sehingga bisa dikatakan Shinzo Abe

memang terlahir dari keluarga dinasti politik.57

Karir politik Shinzo Abe dipengaruhi oleh gaya karir politik ayahnya.58 Ayahnya,

Shintaro Abe, membangun karir politiknya di Yamaguchi. Sekalipun dilahirkan di Tokyo,

Shintaro Abe sangat mengabdi terhadap konstituennya di Yamaguchi. Yamaguchi sendiri

merupakan sebuah prefektur yang terletak di jantung sebuah wilayah, yang dulunya pada

era shogun bernama Choshu. Choshu adalah salah satu wilayah dari empat wilayah

legendaris yang menggulingkan kekuasaan Tokugawa Shogun pada 1868. Besar di wilayah

Choshu yang legendaris, Shinzo Abe disebut mewarisi tradisi Choshu. Masyarakat Choshu

54

Ibid., hal 18.

55Ibid.

, hal 18.

56Ibid. 57

Ibid., hal 19.

(18)

banyak dikenal sangat peduli terhadap negara dan memikirkan kepentingan nasional

Jepang, bukan hanya wilayah/prefekturnya sendiri.59

Selain ayahnya, kakeknya, Kishi Nobusuke, juga mempengaruhi pandangan politik

dari Shinzo Abe. Bahkan bagi Shinzo Abe, dalam bukunya yang berjudul Utsukushii Kuni e

(Towa rds a Beautiful Country), kakeknya adalah seorang pahlawan yang telah membentuk

pandangan Shinzo Abe terhadap dunia luar dan juga filosofi berpolitiknya.60 Selain itu,

secara khusus, Shinzo Abe juga terinspirasi oleh pengabdian kakeknya terhadap

kepentingan nasional Jepang terutama disaat kakeknya banyak ditentang oleh fraksi dalam

pemerintahan Jepang. Kishi Nobusuke sendiri dikenal sebagai Perdana Menteri yang

menyuarakan revisi terhadap traktat aliansi dengan Amerika Serikat. Menurut Kishi, Jepang

perlu untuk lebih mandiri meskipun berada di bawah tekanan aliansi dengan Amerika

Serikat.61

Sesuai dengan pandangan kakenya, Shinzo Abe juga memandang bahwa Jepang

perlu untuk lebih mandiri. Posisi Jepang dalam lingkungan internasional sebagai pemimpin

juga perlu diperkuat, dengan mengadopsi gaya kepemimpinan yang cenderung keras atau

robust.62

Shinzo Abe sempat mengungkapkan kesan pengabdian terhadap Jepang yang sangat

tinggi sama seperti kakeknya, dengan mengungkapkan bahwa Abe akan membuat Jepang

berusaha keras mencapai tujuan atau kepentingannya. Selain itu, apa yang dilakukan

59Ibid.

, hal 20.

60Ibid.

, hal 21.

61

Ibid., hal 22.

62

(19)

Shinzo Abe tersebut disebutnya sebagai ‘menjalankan jiwa konservatif’, dan menjalankan

tradisi yang selama ini dijaga, sebagaimana dalam dua kutipan pernyataan Shinzo Abe

berikut ini:

“Now in conclusion, ladies and gentlemen, my task is to look toward the future, and make Japan the second biggest emerging market in the world, and the ever more trusted partner for the region and the world.

The road ahead is not short. I know that. But I have made a come-back, just to do it. For the betterment of the world, Japan should work even harder. And I know I must work hard as well to make it happen. So ladies and gentlemen, Japan is back. Keep counting on my country.”63

“For me, conservatism is not an ideology, it is thinking about Japan and the Japanese. It is of course thinking about the present and the future, but also about the responsibility toward those who lived in the past. In other words, the conservative spirit is mainta ining a prudent awareness of how the traditions nurtured through centuries of Japan’s long history have been preserved.”64

Dengan mewujudkan tujuan Jepang sebagai negara yang kuat dan terpercaya, itu

artinya Jepang yang diinginkan Shinzo Abe akan berbeda dengan Jepang yang sebelumnya,

Jepang yang ditekan sebagai negara yang pasifis. Shinzo Abe juga mengatakan bahwa

‘Jepang telah kembali’. Jepang yang dimaksud tentu yang sesuai dengan apa yang

diinginkannya, Jepang sebagai negara yang kuat dan mandiri menentukan nasibnya sendiri,

dan itu merupakan bukti dari upayanya menjaga tradisi yang selama ini ada dalam

pemerintahan Jepang itu sendiri.

63

Speeches and Statements by The Prime Minister, “Japan is Back”, Policy Speech by Prime Minister Shinzo Abe at the Center for Strategic and International Studies (CSIS), diakses dari

http://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201302/22speech_e.html, pada tanggal 11 November 2014.

64Kenneth Pyle, “Abe Shinzo and Japan’s Change of Course”, dalam NBR Analysis Volume 17

(20)

Nilai Azia Shugi

Azia shugi atau bisa disebut juga asianism, merupakan sebuah nilai yang lahir pada

era restorasi meiji. Inti dari nilai tersebut merupakan pemahaman bahwa Asia perlu untuk

bersatu mencapai kemakmuran.65 Pemahaman tersebut banyak dipengaruhi bagaimana

Jepang memandang posisi mereka di antara negara-negara lain di Asia. Pemahaman

tersebut kemudian berkembang, dari mulai Jepang memandang mereka dan negara Asia

lainnya sama sederajat, hingga kemudian muncul kepercayaan diri yang membuat Jepang

merasa bahwa mereka merupakan negara dengan kedudukan yang lebih tinggi dari negara

Asia lainnya. Sehingga atas alasan tersebut, Jepang perlu untuk memimpin negara-negara

lain di Asia dan menyatukan mereka untuk bersama-sama mencapai cita-cita kemakmuran

Asia.66

Dalam memahami azia shugi, untuk lebih jelasnya perlu untuk mengetahui definisi

azia shugi dari Takeuchi Yoshimi sebagai berikut:

“Claim that demands a union of Asian peoples (sho-minzoku) under the leadership of Japan to resist to the aggression (shinryaku) of European and American powers. The idea of a union of Asia is itself closely linked to the question of Japan’s independence and has been propagated since the beginning of the Meiji period. It received special attention within the framework of the ‘Freedom and People’s Rights Movement’ (jiyu minken undo), within which different tendencies began to develop.”67

65

Bo-Yu Chen & Jian-Ting Chen, In the Search for Strategy and Identity: Strategic Culture and Japan’s

Security Policy, (Guangzhou: National Sun Yat-sen University Web Press, 2006), hal 2.

66Ibid. 67

(21)

Selain itu, Takeuchi juga menambahkan:

“Asianism, however, was not an ideology with distinguishable and clearly identifiable contents but, instead must be described as a tendency (in politics and discourse). Sometimes it manifested itself as right-wing extremism, sometimes it manifested itself as left-wing extremism and within all these manifestations one could categorize Asianist and non-Asianist traits. In the following, I want to stick to this preliminary and vague definition of Asianism. Asianism must not be seen as completely identical with expansionism or aggression; neither with nationalism (minzokushugi, kokkashugi, kokuminshugi, kokusuishugi) or with leftist internationalism. Asianism is probably closest to expansionism (bochoshugi).”68

Kemudian Takeuchi memberikan kesimpulannya terhadap azia shugi:

“Asianism is not an independently existing ideology. However, in any form it strives for a union (rentai) of Asian nations, irrespective of whether aggression (shinryaku) would be necessary as a means for reaching its aims or not.”69

Dalam perkembangannya, azia shugi bukan hanya menjadi sebuah nilai, melainkan

bertransformasi menjadi sebuah ideologi, gerakan, atau bahkan bisa digunakan sebagai

propaganda. Sulit untuk kemudian mengetahui untuk siapa sebenarnya azia shugi tersebut,

dan juga diarahkan untuk melawan siapa.70

Mulanya, azia shugi terlahir karena kolonialisme negara-negara Eropa di Asia,

dimana banyak negara-negara di Asia kemudian kehilangan kemerdekaannya baik di

bidang politik, ekonomi, dan juga budaya. Untuk itu negara-negara di Asia harus bertahan

68Ibid. 69

Ibid. 70

(22)

dan berjuang mendapatkan kemerdekaan mereka baik di bidang politik, ekonomi, maupun

budaya. Sehingga, perlu bagi negara-negara Asia tersebut untuk bersatu, dan Jepang harus

membantu negara-negara tersebut untuk mencapai kemerdekaannya. 71

Selain penjelasan sesuai definisi dari Takeuchi Yoshimi, Yukie Yoshikawa juga

memberikan definisinya mengenai azia shugi. Menurut Yukie, sulit untuk mengetahui

definisi secara pasti dari azia shugi karena nilai tersebut terus berkembang mengikuti

perubahan yang ada di lingkungan internasional. Selain itu, berbeda kubu dalam suatu masa

pemerintahan, maka berbeda pula pandangan serta penerapan dari azia shugi tersebut.72

Ruang Lingkup Pemikir Azia Shugi

71Ibid.,

hal 12.

72Yukie Yoshikawa, “Japan’s Asianism: 1868

(23)

Sumber: Yukie Yoshikawa, “Japan’s Asianism: 1868-1945, Dilemmas of Japan’s

Modernization”, dalam Asia-Pacific Policy Paper Series No: 8. (Washington DC: Edwin O. Reischauer Center for East Asian Studies, 2009), hal 14.

Pada awal pemerintahan Meiji, dalam pemerintahan tersebut banyak didominasi

oleh para pendiri dari era Meiji, yang menaklukkan Tokugawa Shogun, atau disebut dengan

istilah Genro.73 Para Genro di masa mudanya banyak yang telah berpengalaman bertempur

dengan bangsa Eropa di akhir era Edo (1603-1867), diantaranya yang terpenting adalah Ito

Hirobumi dan Yamagata Aritomo. Diantara Genro ini banyak yang kemudian berkunjung

dan belajar ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, melalui Iwakura Mission

(1871-1873). Dari kunjungan dan pembelajaran tersebut mereka kemudian banyak belajar bahwa

bangsa-bangsa Barat jauh lebih kuat daripada Jepang, dan Jepang bisa saja berakhir seperti

negara Asia lainnya, kecuali apabila Jepang memperkuat diri.74

Pada periode pertama azia shugi (1868-1905), Jepang hanya ingin terhindar dari

kolonialisme seperti yang dialami banyak negara di Asia. Jepang kemudian merasa karena

solidaritas sesama Asia, maka perlu membantu negara Asia lepas dari kolonialisme Eropa,

dan karena itulah, Asia seharusnya bersatu. Karena perasaan solidaritas dan kuatnya

identitas Asia bagi Jepang pada periode ini, Jepang memandang mereka dan negara Asia

lainnya berada pada derajat yang sama tingginya.

Pada periode ini, dua kubu pencetus azia shugi atau asianism lahir.75 Kubu pertama

merupakan kubu ‘compassionate’, Jepang harus memberikan bantuan terhadap

negara-negara kolonial karena solidaritas terhadap sesama Asia atau ajia rentai. Namun seiring

bertambah modernnya Jepang, bantuan yang diberikan tidak hanya berupa bantuan moral,

73Ibid.

, hal 19.

74

Ibid., hal 19

75

(24)

namun juga bantuan finansial dan militer.76 Sementara itu, kubu kedua cenderung

mengedepankan strategi aliansi khususnya dengan negara yang berdaulat seperti China dan

Korea. Namun kemudian kubu ‘aliansi’ ini pada akhirnya mengubur pandangan mereka.

Alasannya sederhana, China dan Korea hanya tidak tertarik terhadap rencana aliansi

Jepang.77

Pada periode kedua (1905-1931), Kemenangan Jepang dalam Russo-Japanese Wa r

kemudian berdampak besar dalam pemahaman azia shugi. Berkat kemenangan tersebut,

Jepang kemudian mendapat status sebagai bangsa non-kulit putih pertama yang diakui

sebagai salah satu kekuatan dunia, sekaligus membuktikan juga bahwa ras kulit kuning

bukanlah ras yang inferior.78 Akhirnya, melalui kemenangan tersebut, kepercayaan diri

Jepang terhadap kekuatan mereka sendiri semakin besar, sehingga Jepang kemudian merasa

mereka mampu sendiri menyatukan Asia dibawah kepemimpinan mereka.79

Kubu ‘kosmopolitan’ lantas lahir dengan pandangan mereka mengenai kemenangan

atas Russia di perang sebelumnya. Mereka memandang bahwa dengan kemenangan

tersebut, pengaruh Russia di Korea dapat terhapuskan, dan di satu sisi, terbukanya pintu

aneksasi terhadap Korea dan Manchukuo, yang nantinya merupakan negara boneka Jepang

di Manchuria (daerah China).80

Tepatnya pada tahun 1905, Jepang mendapatkan hak untuk menyewa wilayah

Semenanjung Liaodong, dan sebagian jalur kereta api Russia di Manchuria. Tindakan

76 Ibid. 77Ibid. 78Ibid.

, hal 29.

79

Ibid., hal 15.

(25)

tersebut semakin mengokohkan kebijakan Jepang terhadap China yang semakin cenderung

bersifat imperialis.81 Hingga akhirnya pada 1910 Jepang secara resmi menganeksasi Korea.

Lalu pada tahun berikutnya, tepatnya tahun 1911, Jepang bersama dengan sejumlah negara

seperti Inggris, Perancis, Russia, dan amerika Serikat memberikan bantuan bersyarat

terhadap Yuan Shikai, presiden kedua Republik Rakyat China. Melalui Yuan Shikai

tersebut, China kemudian dipaksa menandatangani peraturan perpanjangan sewa atas

Semenanjung Liaodong, serta memberikan Semenanjung Shandong juga kepada Jepang.82

Tindakan Jepang ini dipandang oleh Inggris sebagai penguat potensi invasi oleh Jepang

terhadap China.83

Dengan dimulainya tindakan aneksasi tersebut, kritik terhadap kebijakan Jepang

tersebut mulai berdatangan dari kubu ‘compassionate’. Tindakan aneksasi tersebut seakan

kontradiktif dengan nilai dan cita-cita mereka dalam azia shugi, yang merupakan nilai dan

cita-cita yang mereka bangun sendiri.84

Kritik tehadap tindakan aneksasi tersebut kemudian membelah kubu

‘compassionate’ ke dalam dua kubu berbeda. Kubu pertama disebut sebagai kubu

‘revolusionis’, kubu yang mengkritik keras tindakan imperialis Jepang, serta berusaha

untuk melakukan revolusi atas tindakan imperialis yang dilakukan Jepang tersebut. Salah

satu dari kubu tersebut yang gencar menyuarakan kritik tersebut adalah Kita Ikki, yang

menyebutkan bahwa tindakan imperialis Jepang tersebut melukai rakyat China dan Jepang

81Ibid.

, hal 33.

82Ibid. 83

Ibid. 84

(26)

itu sendiri.85 Jepang selain melukai China, juga dipandangnya hanya sebagai alat

imperialisme Inggris, melalui tindakan-tindakan yang dilakukan Jepang terhadap China,

seperti eksploitasi melalui Yuan Shikai.

Berseberangan dengan kubu ‘revolusionis’ tersebut, muncul kubu ‘imperialistic

compassionate yang bungkam terhadap tindakan imperialisme yang dilakukan Jepang

namun tetap mengkritisi tindakan imperialisme negara-negara barat dan anti terhadap

mereka. Toyama Mitsuru dan Nakatani Takeyo merupakan dua orang yang berada pada

kubu ‘imperialistic compassionate’ tersebut. Mitsuru dan Takeyo memiliki pandangan

bahwa tindakan imperialis Jepang terhadap negara Asia tidak dipermasalahkan asalkan

Jepang mampu membawa Asia bertahan melawan dominasi barat.86 Pada periode ini juga,

Jepang mulai merasakan berada di persimpangan identitas. Sebagai bangsa Asia, Jepang

jelas salah melakukan eksploitasi terhadap saudaranya sendiri. Namun disatu sisi, Jepang

ingin seperti bangsa Eropa dan Amerika, sehingga tidak ada jalan lain selain

mengeksploitasi karena tuntutan pembangunan ekonomi tersebut.

Pada periode ketiga (1931-1945) ini, dilema identitas yang harus dihadapi Jepang

menjadi semakin besar, hingga kemudian memunculkan pertanyaan terhadap kapitalisme

Barat yang selama ini dipuja Jepang sendiri, pada akhirnya dilema tersebut membelah kubu

akhir dari azia shugi, seperti dijelaskan pada berikut ini:

85

Ibid., hal 42.

86

(27)

Perbedaan Kubu Azia Shugi

Sumber: Yukie Yoshikawa, “Japan’s Asianism: 1868-1945, Dilemmas of Japan’s

Modernization”, dalam Asia-Pacific Policy Paper Series No: 8. (Washington DC: Edwin O. Reischauer Center for East Asian Studies, 2009), hal 16.

Sama halnya dengan Russo-Japanese War, peristiwa Mukden kemudian juga

mempengaruhi pemahaman mengenai azia shugi dengan kembali memunculkan kubu-kubu

baru.87 Peristiwa Mukden atau Mukden Incident sendiri diprakarsai oleh Ishiwara Kanji,

yang juga pelopor dari kubu baru yang disebut dengan kubu ‘final war’.88 Kanji percaya

bahwa Jepang harus segera melakukan integrasi secara ekonomi maupun politik dengan

Manchukuo sebagai persiapan peperangan besar melawan negara-negara barat. Kubu kedua

adalah kubu ‘asian monroe doctrine’, yang berdekatan pandangannya dengan kubu

‘imperialistic compassionate’, namun mereka berbeda pendapat dalam satu hal; mereka

percaya bahwa Jepang bisa hidup selaras dengan negara-negara Barat selama negara-negara

87

Ibid., hal 15.

88

(28)

Barat tidak mengganggu urusan atau bahkan kedaulatan negara-negara Asia.89 Salah satu

tokoh dari kubu ‘asian monroe doctrine’ ialah Matsui Iwane, seorang Jenderal dari Pasukan

Imperial Jepang.90 Iwane mengatakan bahwasanya:

“The mission of Asianism lies in strengthening regional self-rule in order to enable global cooperation. … A coalition of Asia should aim to enhance international cooperation and the bases of world peace. In other words, an Asia coalition would cooperate with the British Commonwealth, the Central European nation group including France, Germany, and Italy, America and its sphere of influence by the name of the Monroe Doctrine, and the Soviet Union and its allies. Thus, all such nation groups would contribute to human welfare and world peace.”91

Iwane berpendapat bahwasanya kemerdekaan Asia bisa didapatkan dengan

membangun hubungan yang baik dengan negara-negara Barat. Iwane beralasan,

kemerdekaan Asia tidak akan bisa diwujudkan apabila Jepang tidak mengurangi

ketegangan hubungan dengan negara-negara Barat yang merupakan negara kuat.92

Rekontekstualisasi Nilai Azia Shugi Oleh Pemerintahan Shinzo Abe

Segera setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Jepang kemudian berubah

menjadi negara yang pasifis, berbeda dengan sebelum dan semasa Perang Dunia yang

cenderung agresif. Sifat pasifis tersebut terinstitusionalisasi dalam Konstitusi Nasional

Jepang, yang kemudian tetap menjadi landasan bernegara bagi Jepang hingga kini. Di

dalam sifat pasifis Jepang tersebut, tercermin nilai-nilai anti-militarism, dan dalam

(29)

masyarakat Jepang sendiri, nilai anti-militarism tersebut cenderung lebih disukai, sekalipun

situasi dan kondisi di lingkungan internasional mulai perlahan berubah. Masyarakat Jepang

dalam berbagai kesempatan sering kali menolak dan menentang upaya-upaya pemerintah

Jepang untuk meningkatkan anggaran belanja militernya. Nilai anti-militarism tersebut juga

semakin dilanggengkan di dalam masyarakat Jepang melalui pembelajaran atas kejahatan

dan penderitaan masa lalu Jepang, yang kemudian membentuk kesadaran bersama dari

masyarakat Jepang itu sendiri, bahwasanya lebih baik negaranya tetap menjadi pasifis.

Pada dasarnya, kebijakan-kebijakan Jepang pasca perang dunia didominasi oleh

kebijakan-kebijakan yang mengacu pada yoshida doctrine. Yoshida doctrine sendiri

merupakan doktrin yang dibentuk oleh Yoshida Shigeru, perdana menteri Jepang pada

1946-1947 dan 1948-1954. Doktrin tersebut merupakan salah satu bukti

terinstitusionalkannya nilai anti-militarism dalam Pemerintahan Jepang, selain juga

diinstitusionalisasi dalam Konstitusi Nasional Jepang. Doktrin tersebut berisikan tiga poin

yang menentukan arah kebijakan Jepang, diantaranya: mempertahankan aliansi dengan

Amerika Serikat untuk memperkuat keamanan, tidak meningkatkan kapabilitas militer,

serta menekankan pentingnya Jepang sebagai negara perdagangan (trading nation). Doktrin

ini terus bertahan sebagai patokan kebijakan Jepang meskipun Jepang berganti perdana

menteri maupun berganti jajaran pemerintahannya, setidaknya hingga mulai berubahnya

sistem internasional pasca Perang Dingin.

Setelah perang dingin, lingkungan internasional terlalu berubah secara drastis,

membuat Jepang kesulitan menentukan arah kebijakannya, terutama apabila bergantung

pada yoshida doctrine. Jepang dibingungkan oleh berakhirnya sistem bipolar (dua poros

(30)

yoshida doctrine tersebut menjadi kurang relevan. Jepang kemudian berada di sebuah

persimpangan, apakah Jepang harus memanfaatkan kesempatan tersebut untuk

memperjuangkan kembali identitas dan kepentingannya sendiri di lingkungan internasional,

ataukah tetap mempertahankan kebijakan menjadi negara yang pasifis. Dilema yang

dialami Jepang tersebut akan semakin mencapai puncaknya ketika muncul sebuah turning

event yang akan semakin memberikan urgensi bagi Jepang untuk menentukan nasibnya.

Sebuah turning event sendiri pada dasarnya merupakan salah satu penyebab

perubahan budaya strategis dalam suatu negara. Apabila suatu negara memiliki sebuah core

beliefs yang dipercaya dan menjadi tradisi dalam pemerintahannya, maka sebuah turning

event akan memunculkan kembali core beliefs yang ada dalam suatu negara. Kejadian 911

bagi Jepang merupakan turning event yang semakin memberikan Jeapng urgensi untuk

menentukan kemana arah Jepang melangkah dalam dilema persimpangan menentukan

identitas tersebut. Melalui kejadian 911, Amerika Serikat kemudian memunculkan

kebijakan global untuk memerangi terorisme (global war against terrorism), dan sejak saat

itu, isu terorisme sendiri menjadi isu yang utama dalam ranah hubungan internasional.

Banyak negara kemudian saling berlomba menempatkan posisinya, antara ikut dengan

Amerika Serikat dan dunia untuk memerangi terorisme, atau tidak mengambil sikap

apa-apa. Termasuk tidak terkecuali bagi Jepang yang kemudian juga mengambil sikap terkait

isu terorisme tersebut.

Sebagai negara yang memiliki hubungan aliansi dengan Amerika Serikat, Jepang

kemudian juga dituntut mengubah bentuk pertahanannya, dan juga dituntut oleh Amerika

Serikat untuk turut mengambil peran memerangi terorisme. Tuntutan Amerika Serikat

(31)

persimpangan menentukan nasibnya. Jepang kemudian memberikan respon dengan

melakukan perubahan besar dalam kebijakan pertahanannya. Pada tahun 2003, Perdana

Menteri Jepang saat itu, Junichiro Koizumi, menyetujui kebijakan yang dirancang oleh

National Diet untuk memberikan privilege bagi pasukan pertahanan Jepang (JSDF), untuk

menurunkan salah satu departemen dalam JSDF, yaitu Ground Self Defense Force (GSDF),

dalam sebuah misi rekonstruksi di Iraq. Pengiriman GSDF tersebut merupakan pertama

kalinya Jepang menurunkan pasukan pertahanannya dalam misi ‘semi combat zone’.

Tindakan Jepang mengubah bentuk pasukan pertahanannya tersebut banyak dilihat dan

dikecam, bahwasanya tindakan tersebut akan memberikan jalan bagi para nasionalis

konservatif dan sayap kanan dalam pemerintahan Jepang, yang tentunya juga membawa

kembali core beliefs dalam pemerintahan Jepang sendiri.

Jepang setelah menentukan kemana akan melangkah pada persimpangan penentuan

identitasnya, kini sedang berada dalam tahap perubahan. Salah satu faktor pendorong yang

kuat adalah lahirnya generasi politik yang baru atau generasi heisei, generasi yang lahir

setelah Perang Dunia II.

Salah satu kemampuan penting dari generasi yang baru tersebut adalah kemampuan

beradaptasi dengan baik terhadap perubahan atau turning events dalam sistem internasional.

Mereka percaya bahwa Jepang harus mencari identitasnya sendiri serta berusaha

memperjuangkan kepentingannya sendiri di lingkungan internasional. Generasi baru

tersebut direpresentasikan oleh Shinzo Abe, yang lahir setelah Perang Dunia II.

Pengangkatan Shinzo Abe kemudian disimbolkan sebagai usaha Jepang meraih kembali

kepercayaan dirinya dalam usaha mendapatkan identitas dan kepentingannya sendiri di

(32)

Sebagai generasi baru dengan pandangan yang cenderung radikal, Shinzo Abe juga

memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan para generasi tua. Tidak ada

pendahulu-pendahulu Shinzo Abe yang pada akhirnya terpikir untuk meningkatkan

kapabilitas militer Jepang, karena berpatokan pada salah satu poin dari yoshida doctrine,

yaitu tidak meningkatkan kapabilitas militer. Shinzo Abe berani untuk menghapus batasan

anggaran belanja militer yang hanya dialokasikan 1% dari total GDP. Shinzo Abe bahkan

juga disebut sebagai seorang yang masokis, karena berusaha untuk merevisi konstitusi

Jepang.

Naiknya Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri semakin membawa angin perubahan

dalam pemerintahan Jepang. Pasalnya Shinzo Abe merupakan seorang konservatif. Sebagai

seorang yang konservatif, Shinzo Abe sering kali mengutarakan pentingnya Jepang untuk

kembali pada identitas aslinya, kembali menjadi Jepang yang dulu, yang bebas menentukan

nasibnya (self determination) sesuai identitas dan kepentingannya sendiri. Pandangan dan

keinginan konservatif Shinzo Abe tersebut semakin diakomodir oleh National Diet dalam

pemerintahan Jepang, yang dalam masa pemerintahannya dikuasai oleh partai Shinzo Abe,

Liberal Democratic Party (LDP). LDP sendiri merupakan partai terbesar dan tertua yang

ada di Jepang, berdiri bahkan sejak 1955. LDP merupakan partai dengan pandangan sayap

kanan atau nasionalis.

Melalui naiknya Shinzo Abe yang merupakan seorang konservatif dalam

pemerintahan Jepang, maka memunculkan jalan juga bagi nilai azia shugi yang telah

menjadi tradisi dalam pemerintahan Jepang sebelumnya. Dikarenakan, Shinzo Abe sendiri

berpandangan, bahwa menjadi seorang yang konservatif dalam pemerintahan Jepang,

(33)

Hanya saja, nilai lama dalam pemerintahan Jepang (azia shugi) yang turut dibawa naik

kembali ke permukaan oleh Shinzo Abe sebagai budaya strategis Jepang tersebut pada

dasarnya akan sulit untuk diterapkan. Pasalnya, ketika terjadi kontradiksi yang sangat besar

antara situasi dan kondisi yang dihadapi dengan sebuah nilai, maka nilai yang akan

beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru tersebut, dengan cara diubah dan

diadaptasikan oleh keeper dari nilai itu sendiri. Selain itu, apabila tidak diadaptasikan,

maka tindakan yang dihasilkan dari nilai tersebut tentu sudah tidak bisa menghasilkan

kepentingan yang ingin dicapai. Maka sebab itu, dalam Pemerintahan Shinzo Abe,

dilakukanlah rekontekstualisasi nilai azia shugi itu sendiri. Disini Pemerintahan Shinzo

Abe mengambil perannya dalam budaya strategis, sebagai keeper dari budaya strategis

Jepang, yang menentukan untuk melakukan perubahan dalam budaya strategis Jepang

sendiri.

Azia shugi atau bisa disebut juga asianism, merupakan sebuah nilai yang lahir pada

era restorasi meiji. Inti dari nilai tersebut merupakan pemahaman bahwa Asia harus bersatu

mencapai Asia yang makmur. Sebagai negara Asia, azia shugi banyak dipengaruhi oleh

pemahaman diri Jepang dan Asia itu sendiri, dimana pemahaman memposisikan diri sendiri

dan negara lain tersebut membentuk azia shugi menjadi berbagai macam penerapan yang

berbeda. Intinya adalah, bagaimana nilai tersebut mampu berubah sesuai dengan bagaimana

elit dalam pemerintahan Jepang memahami dan memposisikan diri mereka sendiri dan

diantara negara lain di Asia. Dalam penerapannya semasa era Perang Dunia, pemahaman

posisi Jepang dan hubungannya dengan negara asia lainnya dalam nilai azia shugi tersebut

berkembang. Mulanya Jepang dan negara Asia lainnya memiliki hubungan yang sama,

(34)

Jepang, Jepang merupakan negara dengan kedudukan yang lebih tinggi dari negara Asia

lainnya. Dengan demikian, Jepang merasa perlu untuk memimpin negara-negara lain di

Asia untuk menyatukan Asia mencapai tujuan azia shugi itu sendiri.

Rekontekstualisasi Nilai Azia Shugi Oleh Pemerintahan Shinzo Abe

Sumber: Olahan Penulis

Dalam melakukan rekontekstualisai azia shugi, urgensi pertama bagi Pemerintahan

Shinzo Abe adalah perlunya Jepang untuk lepas dari tekanan atau constrain yang

membatasi Jepang untuk menentukan identitas dan kebijakannya. Shinzo Abe merasa perlu

bagi Jepang untuk mandiri (self determination), menentukan identitasnya dan

Nilai

azia shugi

Self determination: strong military

nation Self determination:

wealthy nation Asian unification &

Asian prosperity

Terpengaruh nilai

peace & human rights pasca PDII

Peningkatan Kapabilitas Militer

- Collective self defense

- Peningkatan anggaran belanja militer - Perbaikan infrastruktur militer yang

(35)

kepentingannya sendiri. Upaya kemandirian itu sendiri perlu dilakukan agar tujuan Jepang

untuk mempersatukan Asia menuju Asia yang makmur dapat tercapai.

Pemerintahan Shinzo Abe tidak dapat dipungkiri, tentu juga masih terikat dengan

warisan nilai anti-miltiarism yang telah terinstitusionalisasi dalam pemerintahan Jepang.

Nilai anti-militarism itu sendiri terinstitusionalisasi melalui Konstitusi Nasional Jepang,

dan ditambah lagi, bagi masyarakat Jepang, mempertahankan Jepang yang cinta damai

sesuai konstitusinya merupakan hal yang lebih baik. Pemahaman tersebut merupakan hasil

dari pembelajaran dari masyarakat Jepang itu sendiri, terhadap penderitaan masa lalu

Jepang akibat tindakan agresifnya sendiri. Selain itu, bagi Pemerintahan Shinzo Abe, perlu

untuk tidak terlalu keluar dari aturan permainan di sistem internasional (international rule

of the game), mengikuti aturan global untuk memerangi isu nuklir dan terorisme, dan tetap

pada pendirian Jepang sebagai negara yang menghargai perdamaian dan hak asasi manusia.

Sehingga, nilai-nilai perdamaian dan menghargai hak asasi manusia di dalam nilai

anti-militarism yang terinstitusionalisasi dalam konstitusi mereka tetap dipertahankan dan

direkontekstualisasi ke dalam nilai azia shugi. Implikasinya, dalam tujuan menyatukan

Asia menuju kemakmuran Asia tersebut, Jepang tidak akan melakukan tindakan-tindakan

bertentangan dengan nilai perdamaian dan hak asasi manusia tersebut. Pada akhirnya,

rekontekstualisasi nilai azia shugi yang dilakukan oleh Shinzo Abe memberikan tiga

obyektif yang harus dilakukan guna mencapai tujuan Asia yang bersatu dan makmur dalam

nilai azia shugi tersebut. Ketiganya diantaranya: usaha kemandirian (self determination)

baik menjadi negara yang kuat dalam hal perekonomian, serta selain itu juga dalam hal

kapabilitas militer. Keduanya dilakukan guna melancarkan obyektif ketiga, yaitu upaya

(36)

berusaha untuk mandiri (self determination) namun juga tetap mengikuti nilai perdamaian

tersebut, pada akhirnya Jepang menetapkan posisinya dalam azia shugi itu sendiri, yaitu

berada di antara Barat dan Asia.

Tiga obyektif dalam nilai azia shugi itu sendiri diinstusionalisasi dan

dioperasionalkan oleh Pemerintahan Shinzo Abe melalui berbagai cara. Pada obyektif

pertama dan yang utama dalam azia shugi, yaitu Asian unification & Asian prosperity,

diimplementasikan oleh Pemerintahan Shinzo Abe melalui keikutsertaan Jepang dalam

berbagai organisasi kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara lain di Asia

seperti misalnya APEC ataupun ASEAN Plus Three. Keikutsertaan Jepang dalam berbagai

organisasi perdagangan tersebut merupakan cara bagi Jepang untuk membawa Jepang dan

negara Asia lainnya bersatu dan menuju kemakmuran. Namun demikian, upaya Jepang

menggerakkan Asia bersatu dan makmur tersebut tidak akan bisa dilakukan bila Jepang

tidak mandiri dalam menentukan kepentingannya guna menunjang pencapaian tujuan azia

shugi ini.

Untuk menjawab kebutuhan kemandirian Jepang tersebut, maka terbentuklah pada

obyektif kedua, upaya kemandirian Jepang salah satunya dalam hal ekonomi (self

determination: wealthy nation). Shinzo Abe pada masa pemerintahannya mengeluarkan

program abenomics plan yang tujuannya adalah demi mencapai pembangunan yang

berkelanjutan (sustainable growth) dari perekonomian Jepang itu sendiri. Abenomics plan

juga ditujukan untuk memperbaiki perekonomian Jepang setelah sebelumnya terkendala

resesi ekonomi yang dikenal dengan ‘lost decade’. Dalam abenomics plan, berisi tiga

program yang dinamakan sebagai three arrows. Ketiga program tersebut adalah program

(37)

demi mendorong investasi swasta Jepang. Implementasi abenomics plan ini merupakan

bentuk self determination atau kemandirian Jepang, yang berusaha untuk menentukan

identitasnya sendiri, serta bertindak sesuai dengan identitasnya tersebut guna mencapai

kepentingannya sendiri.

Obyektif ketiga yang juga sesuai khususnya dengan fenomena peningkatan

kapabilitas militer Jepang sendiri, adalah upaya mencapai kemandirian dalam hal

kapabilitas militer (self determination: strong military nation). Upaya mengejar

kemandirian dalam hal kapabilitas militer ini sesuai dengan yang pernah diutarakan oleh

Peter J. Katzenstein, yang mengutarakan bahwa setelah Jepang mendapatkan

kemakmurannya dalam hal perekonomian, maka Jepang kemudian akan mengalihkan

fokusnya ke pembangunan kapabilitas militernya.93 Dalam pandangan Shinzo Abe sendiri,

Jepang memang perlu untuk lepas dari tekanan atau constrain yang membatasi Jepang

untuk menentukan identitas dan kebijakannya, khususnya dalam hal kapabilitas militer.

Pencapaian kemandirian dalam hal kapabilitas militer ini juga merupakan upaya yang

diperlukan Jepang, agar Jepang mampu mencapai obyektif pertama yang juga merupakan

tujuan dari azia shugi itu sendiri, menyatukan Asia menuju kemakmuran.

Tujuan Jepang mencapai self determination dalam hal kapabilitas militer ini

kemudian diinstitusionalkan oleh Pemerintahan Shinzo Abe ke dalam sebuah institusi atau

lembaga militer yang dibentuk pemerintahannya. Institusi tersebut adalah National Security

Council (NSC), yang berkewenangan membentuk landasan kebijakan keamanan Jepang.

93

(38)

Institusionalisasi Nilai Azia Shugi & Penerapan Dalam Peningkatan Kapabilitas

Militer Jepang

Institusionalisasi Nilai Azia Shugi Oleh Pemerintahan Shinzo Abe

Sumber: Olahan Penulis

Sebelumnya, kebijakan keamanan Jepang mengacu kepada National Defense

Program Guideline atau NDPG. Berdasar landasan NDPG tersebut, kemudian dikerucutkan

oleh Ministry of Defense (MoD) sebagai institusi yang berkewenangan mengurusi bidang

keamanan, ke dalam rencana program pertahanan tahunan yang tertuang dalam Ministry of Self determination:

strong military nation

Terpengaruh nilai peace & human rights yang

terinstitusionalisasi dalam konstitusi

Azia shugi

National Security Strategy (NSS)

Dikerucutkan oleh

Ministry of Defense

Ministry of Defense White Paper

(39)

Defense White Paper. MoD dalam white paper setiap tahunnya, diwajibkan memberikan

rencana program-program yang bertujuan mengimplementasikan landasan NDPG, serta

rencana anggaran belanja militer tahunan guna melancarkan program implementasi

tersebut. Setelah kemudian disetujui oleh Diet, maka MoD kemudian setiap tahunnya juga

diwajibkan melaporkan hasil dari pelaksanaan program-program tiap tahunnya tersebut.

Namun kini, NDPG sendiri mengacu kepada landasan strategi keamanan yang lebih

besar, yaitu National Security Strategy (NSS), yang dibentuk oleh NSC. NSC sendiri adalah

komite keamanan yang terdiri dari sejumlah kementerian terkait beserta Perdana Menteri

Jepang. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan berikut:

(40)

Sumber: The Government of Japan, “Japan’s Proactive Contribution to Peace”, Japan Gov, diakses dari: http://www.japan.go.jp/tomodachi/Features/contribution_peace.html, pada tanggal 20 Januari 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan jumlah 18 responden yang digunakan sebagai sampel untuk menonton demo Video dokumenter desa wisata Wukirsari ini dan dengan 10 pertanyaan yang diberikan maka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman siswa kelas XI IS 3 SMA Stella Duce 2 Yogyakarta pada mata pelajaran siklus akuntansi perusahaan jasa,

Dari hasil pengujian hipotesis terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pada perusahaan WFO dimasa pandemi (kasus pada PT. CS2 Pola Sehat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroba yang terdapat  pada kompos yang berasal dari limbah popok sekali pakai (diapers)  berisi mikroba yang selama ini

Peta yang telah dibuat pada Gambar 10 menunjukkan bahwa tingkat kerawanan bencana non alam yang ada di Provinsi Lampung terdapat dua kriteria tingkat

(perhatian dari BPN RI dan Kanwil BPN Propinsi Jawa Barat dan kedudukan BPN dalam reforma agraria) [S1,S2,]; 2 terkait kebijakan yang ditempuh (hubungan baik dengan

menyimpan bukti transaksi, hal ini merupakan permulaan yang baik karena bukti transaksi merupakan landasan dasar untuk membuat laporan keuangan. Walaupun demikian

Pekerja, Latar Belakang Pendidikan, dan Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan terjadinya Kecelakaan Kerja pada proses installasi platform proyek well connection