• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LIBRARY RESEARCH

“PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LINGKUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 DAN

UNDANG-UNDANG TERKAIT DI INDONESIA”

Disusun oleh :

1. Aisah Rahma Wati (8111416034) 2. Nindi Anindya Putri (8111416039)

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan Tugas Hukum Lingkungan yang berjudul “Pencegahan Hukum Atas Pelanggaran Izin Lingkungan Berdasarkan UU no 32 Tahun 2009 dan UU Terkait di Indonesia”. Di dalam makalah ini kami membahas tentang sistem perizinan lingkungan hidup dalam Undang – Undang Lingkungan Hidup di Indonesia, penegakan hukum atas pelanggaran izin lingkungan di Indonesia, dan faktor penghambat penegakan hukum lingkungan.

Kami berharap semoga makalah ini dapat memenuhi tugas hukum Lingkungan dengan baik dan dapat bermanfaat bagi kami maupun bagi orang lain untuk menambah wawasan atau ilmu. Kami juga mohon maaf jika ada kesalahan penulisan kata dalam makalah ini.

Semarang, 08 Oktober 2017

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL/GAMBAR iv

DAFTAR PUTUSAN/KASUS v

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG 1

B. RUMUSAN MASALAH 2

C. METODE PENULISAN 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Sistem Perizinan Lingkungan Hidup dalam UU Lingkungan Hidup di Indonesia 3

B. Penegakan Hukum atas Pelanggaran Izin Lingkungan 6

C. Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan 11

BAB III KESIMPULAN 13

(4)

DATA KONFLIK ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DI SEKITAR WILAYAH TAMBANG DI INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2011

(5)
(6)

Tabang, Kbupaten Kutai Krtanegara, Kalimantan Timur (KalTim), terserang lumpuh serta gatal – gatal. Hal ini di duga akibat zat kimia merkuri

dari aktivitas

penambangan emas di sungai kiau.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(8)

Jadi terdapat kaitan yang erat antara izin lingkungan dengan izin usaha dan/ atau kegiatan. Kedudukan AMDAL sendiri merupakan syarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam UU-PPLH. Kewajiban pemegang izin usaha dan/atau kegiatan lingkungan hidup yaitu menaati persyaratan dan kewajiban – kewajiban yang terdapat di dalam izin pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Watt v. Jamieson, Lord President Cooper mengamati bahwa:

The balance in all cases has to be held between the freedom of a proprietor to use his property as he pleases, and the duty on a proprietor not to inflict material loss or inconvenience on adjoining proprietors or adjoining property; and in every case the answer depends on considerations of fact and degree”.1

Yang berarti kesimbangan dalam semua kasus harus diadakan antara kebebasan pemilik untuk menggunakannya sesuai keinginannya, dan kewajiban pada pemilik untuk tidak menimbulkan kerugian material atau ketidaknyamanan pada pemilik yang berdampingan; dan dalam setiap kasus jawabannya tergantung pada pertimbangan fakta dan derajat. Jadi setiap pemilik usaha dan/atau kegiatan wajib menaati apa yang seharusnya dilakukan dalam izin lingkungan, sehingga tidak akan terjadi kerugian yang menimbulkan dampak bagi lingkungan maupun orang lain.

UU-PPLH yang juga merupakan “payung hukum” pengelolaan lingkungan hidup, maka Undang – Undang sektoral bidang lingkungan hidup diantaranya kehutanan, perkebunan, dan pertambangan harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, pertama, UU tersebut harus tunduk pada UU-PPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UU-PPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UU-PPLH.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem perizinan lingkungan hidup dalam Undang – Undang Lingkungan Hidup di Indonesia ?

2. Bagaimana penegakan hukum atas pelanggaran izin lingkungan di Indonesia ?

(9)

C. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka atau studi literatur, yaitu penulis mengambil sumber penulisan dari buku, perpustakaan, jurnal hukum, dan Undang – Undang yang terkait.

1 John Lowry and Rod Edmunds, “Environmental Protection and the Common Law”, (Oxford and

Portland, Oregon:

Hart Publishing, 2000), hlm. 243.

BAB II PEMBAHASAN

A. Sistem Perizinan Lingkungan Hidup dalam UU Lingkungan Hidup di Indonesia

Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrumen administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam instrumen izin, tidak bisa dilepaskan dengan pemerintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin.2 Selain itu fungsi izin adalah represif. Izin

dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar perizinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya.

Dalam UU-PLH, izin merupakan instrumen pengendalian dalam perlindungan dan pengelolaan hidup di Indonesia. Sebagai instrumen pengendalian, izin lingkungan hidup menentukan berhasil tidaknya pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk kelangsungan hidup manusia dan ekosistem. Seperti telah dikemukakan, dalam UU-PPLH terdapat 2 (dua) konsep izin, yakni

(10)

rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36). Kedua izin ini disebutkan sebagai izin lingkungan hidup.3 Yang berwenang dalam menerbitkan

izin lingkungan adalah Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan surat keputusan kelayakan lingkungannya atau rekomendasi UKL-UPL (Pasal 36 ayat (2) UUPPLH). Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan, izin lingkungan diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi:

a. Penyusunan Amdal dan UKL-UPL;

b. Penilaian Amdal dan Pemeriksaan UKL-UPL; dan c. Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan.

Karena terkait dengan Amdal, UKL-UPL, usaha dan/atau kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, izin lingkungan hidup juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 14 UUPLH, yakni beberapa instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang terdiri atas:

a. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis); b.Tata ruang;

c. Baku mutu lingkungan hidup;

d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal;

f. UKL-UPL; g. Perizinan;

h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. Peraturan perundang – undangan berbasis lingkungan hidup; j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. Analisis resiko lingkungan hidup; l. Audit lingkungan hidup; dan

(11)

Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 menegaskan bahwa izin lingkungan bagian dari mata rantai perizinan usaha/ kegiatan. Berpijak pada jenis perizinan dalam peraturan perundang – undangan yang harus dipenuhi penanggungjawab usaha/kegiatan, setidaknya mencakup:4

a. Izin lokasi;

b. Izin mendirikan bangunan (IMB);

c. Izin berdasarkan ordonansi ganguan (izin HO); d. Izin lingkungan;

e. Izin usaha/kegiatan (seperti: izin usaha industry, dll);

Izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat. Pasal 40 UU-PPLH menyatakan, izin lingkungan merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian untuk mendapatkan izin lungkungan, pelaku usaha atau kegiatan diwajibkan membuat Amdal atau UKL-UPL. Dalam hal izin lingkungan di cabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

Dalam UU-PPLH ditentukan, izin lingkungan dapat dibatalkan apabila (Pasal 37 ayat (2)):

a. Persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b. Penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau

c. Kewajiban yang diterapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 38 menentukan, izin lingkungan juga dapat dibatalkan melalui keputusan. Ketentuan yang juga penting mengenai perizinan bidang lingkungan hidup adalah Pasal 123, yakni:

(12)

kewenangannya wajib diintregrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 tahun sejak undang – undang ini diterapkan”.

Ketentuan di atas, menegaskan pertama, setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Kedua, Amdal atau UKL dan UPL merupakan instrumen penting dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan yakni instrumen pencegahan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Ketiga, Amdal atau UKL dan UPL merupakan syarat wajib untuk penerbitan keputusan izin suatu usaha dan/atau kegiatan pengelolaan bidang lingkungan hidup.

Mencermati ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan perizinan dalam UU-PPLH ini, pada satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan sebagai syarat untuk mendapat izin usaha dan/atau kegiatan (sektoral). Pada saat yang sama juga merupakan suatu ketentuan pelanggaran terhadap suatu aturan/ persyaratan (kewajiban - kewajiban) hukum administrasi, seperti kewajiban – kewajiban yang dicantumkan dalam izin, atau melakukan tindakan tersebut dengan tidak memiliki izin. Formulasi kebijakan – kebijakan di dalam hukum administrasi ikut mendorong konkritisasi unsur melawan hukum dari suatu perbuatan, sehingga dalam tingkat tertentu ketergantungan hukum pidana lingkungan terhadap hukum administrasi harus diterima sebagai suatu keharusan guna mendukung pandangam “kesatuan tertib hukum” dari sudut pandang hukum administratif maupun sudut pandang hukum pidana.5

Perbuatan apa yang dinyatakan sebagai terlarang oleh penguasa/ pemerintah (pelanggaran terhadap syarat/ persyaratan izin) harus juga dipandang oleh hukum pidana sebagai perbuatan melawan hukum.

Bahwa alasan mengapa hukum pidana lingkungan sangat ketergantungan pada hukum administrasi dikarenakan yang mengeluarkan izin dan/atau mengetahui adanya pelanggaran adalah lembaga administrasi. Misalkan apabila ada suatu ambang baku mutu yang ditetapkan, namun kemudian perusahaan mendapatkan izin untuk melewati ambang batas tersebut, maka hal tersebut tidak dapat dipidana. Atau dengan kata lain tindakan yang seharusnya tindak pidana menjadi bukan tindak pidana karena sifat melawan hukumnya hilang.

(13)

Penegakan hukum untuk masing – masing instrumen berbeda, yaitu instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan, perdata oleh pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual maupun secara kelompok bahkan masyarakat atau negara sendiri atas nama kepentingan umum (algemeen belang; public interest). Adapun hukum pidana yang penuntutannya dimonopoli oleh negara yang alatnya adalah jaksa sebagai personifikasi negara. Tujuan tempat melapor kepada Bapedal Kantor Lingkungan Hidup juga bermacam – macam karena dapat diketahui apakah benar terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Dari kantor LH ini dapat dipilih proses selanjutnya. Kalau masih ragu, tentang ketentuan mana yang dilanggar, apakah ketentuan administrasi (pelanggaran perizinan), apakah bersifat perdata (misalnya perbuatan melanggar hukum) ataukah perlu dilanjutkan ke proses hukm pidana misalnya jika pelanggar adalah residivis.6

Berdasarkan penjelasan Pasal 123 UU-PPLH, jenis – jenis izin lingkungan adalah izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air. Izin lingkungan termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, menggabungkan proses pengurusan keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin pembuangan limbah cair, dan izin limbah bahan beracun berbahaya. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, keputusan kelayakan lingkungan hidup diurus di awal kegiatan usaha. Setelah kontruksi selesai, pengusaha harus mengurus izin pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga perizinan itu digabungkan, diurus satu kali menjadi izin lingkungan. Syaratnya yaitu, amdal, atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Tanpa ketiga dokumen tersebut, izin lingkungan tidak akan diberikan. Penolakan pengusaha terhadap izin lingkungan karena perubahan tata urutan pemberian izin kegiatan atau usaha. Izin lingkungan menjadi persyaratan izin usaha. Jika ada pejabat publik yang memberikan izin usaha kepada pemohon yang tidak memiliki izin lingkungan, maka pejabat publik itu bisa dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 3 miliar rupiah, sebagaimana Pasal 111 ayat (2) UU-PPLH.

(14)

4 Kartono, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang – Undang Perlindungan

Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Dinamika Hukum, 09, hlm. 254.

5 Sulistyono, “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap Perlindungan Dan

Pengelolaan

Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Hidup”, Forum Teknologi, 06, hlm. 74.

6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 50-51.

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI

Dibandingkan dengan UU No. 23 Tahun 1997, dalam UU No. 32 Tahun 2009 terdapat beberapa pasal yang mengatur sanksi administratif yang tidak terbatas pada sanksi paksaan pemerintahan, pembayaran sejumlah uang dan pencabutan izin saja, tetapi mengatur sanksi administratif yang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2):

Sanksi administratif terdiri atas: a. Teguran tertulis;

b. Paksaan pemerintah;

c. Pembekuan izin lingkungan; atau d. Pencabutan izin lingkungan.

Pihak Pemerintah Pusat dapat mencampuri pihak Pemerintah Daerah yang tidak menjatuhkan sanksi yang disebutkan dalam Pasal 77:

“Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”.

Dalam hal ini dijatuhi sanksi pencabutan izin lingkungan menurut Pasal 76 adalah apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Paksaan pemerintah tersebut dijelaskan dalam Pasal 80 ayat (1) UU-PPLH.

(15)

dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Untuk pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 82 UU-PPLH.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara hukum administrasi dan pidana. Hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang boleh diterapkan setelah ada kejadian (Setyo Rahardjo, 2007). Di samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar – menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam – macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana. Ini berarti jika pelaku tindak pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan, sementara sanksi administrasi menjadikan perusahaan dapat melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya.7

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PERDATA

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui

pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pemilihan secara suka rela para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut diatur dalam UU-PPLH Pasal 84 dan Pasal 85.

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Dalam sengketa lingkungan bahwa penyelesaian sengketa dapat menggunakan jasa pihak ketiga netral, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (Arbitrase) maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan (Mediasi dan Konsiliasi), untuk membantu penyelesaian sengketa lingkungan. Terdapat rumusan “dapat” dan “membantu” penyelesaian konflik lingkungan di luar pengadilan tidak harus menggunakan jasa pihak ketiga (netral), baik mediasi maupun arbitrasi, tetapi boleh dilakukan sendiri oleh pihak bersengketa (negosiasi). Penggunaan jasa pihak ketiga tergantung pada kebutuhan para pihak yang bersengketa. Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Pasal 86 UU-PPLH).8

FORUM PSLH DI LUAR PENGADILAN

9

(16)

Gambar 1. Sumber: DIKLAT ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LH SERPONG, 17 – salahannya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.

Tanggung gugat ini meniadakan syarat – syarat: sifat melanggar hukum dan unsur kesalahan. Ia bertanggung gugat, meskipun di pihaknya sama sekali tidak terdapat sifat melanggar hukum atau unsur kesalahan. Jenis tanggung gugat ini tertuang dalam:

a. Pasal 1367 ayat (3) BW tentang tanggung gugat majikan b. Pasal 1369 BW mengenai tanggung gugat pemilik gedung.9

Pembayaran ganti kerugian kepada penderita bukan berarti pemilik kegiatan dan/atau usaha bebas dari kewajibannya untuk melakukan tindakan

(17)

hukum tertentu memulihkan lingkungan yang telah tercemar oleh perbuatannya itu. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 87 UU-PPLH. Dari rumusan Pasal 87 ayat (1) dapat diketahui bahwa “pencemaran, perusak lingkungan hidup” adalah perbuatan melanggar hukum.10 Tindakan hukum itu dapat

berupa: memasang atau memperbaiki unit pengelolaan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan, memulihkan fungsi lingkungan hidup, menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena sengketa lingkungan adalah pencemaran, maka masyarakat yang mengajukan klaim harus dapat membuktikan apakah misalnya limbah air tambang mencemari lahan perkebunan, debu mencemari tempat tinggal, kebisingan sudah diatas ambang batas. Atas dasar Pasal 65 ayat (1) UU-PPLH tersebut korban pencemaran dapat menuntut pihak pencemar atas ganti rugi.

7 Harry Agung Ariefianto, “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan Hidup Akibat

Kegiatan

Industri (Studi Kasus Di CV. Slamet Widodo di Semarang)”, UNNES LAW JOURNAL, 04, 2015, hlm.81.

8 Hadin Muhjad, Hukum Lingkungan Sebuah Pengantar untuk Konteks Indonesia, (Yogyakarta:

Genta Publishing, 2015), hlm. 209.

9Ibid, hlm. 210

10 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,

(Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2012), hlm. 150.

Dalam Pasal 88 UU-PPLH mengandung apa yang dinamakan dengan

strict liability, adalah asas tanggung jawab mutlak atau asas tanggung jawab mutlak. Pasal 90 ayat (1) UU-PPLH mengatur hal yang baru bahwa Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

(18)

Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut di dalam hukum administrasi, oleh karena itu dalam rumusan tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan bertentangan dengan persyaratan – persyaratan administrasi (misalnya syarat pemberian izin maupun kewajiban – kewajiban yang harus dilaksanakan). Sanksi pidana diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU-PPLH dan menurut Pasal 97 bahwa tindak pidana dalam undang – undang ini merupakan kejahatan.

Dari ketentuan pidana yang terdapat dalam UU-PPLH, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana lingkungan hidup terdiri dari:

1. Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, bau mutu

air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 2. Perbuatan melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau

baku mutu Gangguan.

3. Perbuatan melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media

lingkungan hidup.

4. Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa izin.

5. Kegiatan/usaha yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang

kemudian tidak dilakukan pengelolaan atas limbah B3 tersebut. 6. Perbuatan dumping limbah tanpa izin,

7. Perbuatan memasukkan limbah B3 ke dalam lingkungan wilayah Indonesia,

8. Pembukaan lahan dengan cara membakar,

9. Melakukan usaha/kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

(19)

setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.” Penjelasan umum UU-PPLH tersebut, hanya memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU-PPLH. Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UU-PPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium remideum (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana).11

C. Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan

Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum lingkungan di Indonesia, antara lain:12

1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan

(20)

melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagipula ia seorang residivis bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administrative dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.

2. Kendala dalam pembuktian

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, dan oenyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu disamping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu modal yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pelanggaran (pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 1982).

3. Insfrastruktur penegak hukum

Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang dikekuasannya terdapat titik api. Hanya ada 2 kemungkinan jika terjadi kebakaran didalam satu konsesi kehutanan atau perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawasannya agar bebas dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pembakaran hutan akan turun secara drastis . untuk itu diperlukan suatu aturan perpu atau peraturan pemerintah, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.

(21)

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan dengan pemerintah maupun DPR. Lobby-lobby illegal masih sering terjadi. Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerap kali terjadi, namun hal tersebut bukanlah tidak mungkin.

11 Arga Pramusti, “Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Undang – Undang Yang Bersifat

Administrasi Dalam

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

12 Sulistyono, “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap Perlindungan Dan

Pengelolaan

Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Hidup”, Forum Teknologi, 06, hlm. 77-78.

BAB III KESIMPULAN

(22)
(23)

Penghambat penegakan hukum lingkungan, ada beberapa faktor penghambat penegakan hukum lingkungan. (1) kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan. (2) kendala dalam pembuktian. (3) kendala penegak hukum. (4) budaya hukum yang amsih buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika. Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan.Jakarta: Pancuran Alam.

Muhjad, Hadin. 2015. Hukum Lingkungan Sebuah Pengantar untuk Konteks Indonesia.

Yogyakarta: Genta Publishing.

Arifin, Syamsul. 2012 Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.

(24)

Kartono. 2009. “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang – Undang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Dinamika Hukum,

Volume 09, Nomor 03, 254.

Sulistyono. “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Hidup”.

Forum Teknologi, Volume 06, Nomor 04, 74.

Pramusti, Arga. “Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Undang – Undang Yang Bersifat

Administrasi Dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. 7.

Lowry, John and Rod Edmunds. 2000. “Environmental Protection and the Common Law”,

Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 243.

Ariefianto, Harry Agung. 2015. “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan

Hidup Akibat Kegiatan Industri (Studi Kasus Di CV. Slamet Widodo di Semarang)”,

UNNES LAW JOURNAL, Volme 04, Nomor 01, 81.

Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan

Gambar

Tabel 1. Data Konflik Masyarakat dan Tambang Tahun 2011. Sumber: Wahana Lingkungan
Gambar 1. Sumber: DIKLAT ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LH SERPONG, 17 –20 NOPEMBER 2008

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yaitu, akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya akta pengikatan jualbeli terhadap tanah dan rumah bersetifikat ialah timbulnya hubungan hukum antara pihak

Nilai tambah atas dasar harga konstan 2000 diperoleh dengan cara mengalikan nilai tambah pada tahun dasar 2000 dengan indeks produksi. Indeks produksi sebagai ekstrapolator dapat

[r]

(1) Peningkatan kualitas produksi kopi, (2) Penambahan volume penawaran ekspor kopi saat harga ekspor kopi Indonesia tinggi untuk meningkatkan pendapatan dari

(Untuk Pelelangan Terbataa, peaerta dapat beraaal dari penyedia barang yang namanya tercantum dalam pengumuman Pelelangan Terbataa atau penyedia barang yang memenuhi

Arsirlah (beri garis-garis miring ke kiri, berjarak minimal 3mm), bangun segi yang juga terlihat pada gambar kepala baut atau mur5. Arsirlah (dengan garis-garis miring ke

Premis P 1 : Jika prestasi belajar siswa tidak tinggi, maka bebera siswa belajar tidak dengan.. sungguh-sungguh, maka prestasi belajar

Apakah adik tahu kalau mencuci tangan pakai sabun sebelum makan dapat mencegah kecacingan.. Apakah adik tahu kalau menggunakan sendok saat makan dapat menghindari