• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Ahli dan Pendapatnya dalam Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kedudukan Ahli dan Pendapatnya dalam Per"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Ahli dan Pendapatnya dalam Perkara Pidana

Hakim tak harus terikat dengan pendapat ahli. Apalagi jika keterangannya tidak cukup kuat dan tidak cukup komprehensif. Konsistensi ahli bisa diuji.

MUHAMMAD YASIN/FITRI N. HERIANI

keterangan dan terdakwa Jessica Kumala Wongso memerhatikan, di PN Jakarta Pusat. Foto: RES

Berada di nomor urut dua dalam daftar alat bukti yang sah menurut KUHAP, keterangan ahli telah menjadi salah satu ‘kekuatan’ aparat penegak hukum untuk membuktikan

terjadinya suatu tindak pidana. Meskipun ahli tak melihat, mengalami atau mendengar langsung suatu peristiwa pidana, keterangannya acapkali sangat diandalkan penegak hukum.

“Keterangan ahli itu sangat penting, membantu hakim mencari kebenaran tentang fakta” kata Lucky Raspati, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, yang lagi meneliti tentang ahli dalam hukum acara pidana.

Pendapat ahli acap dijadikan rujukan untuk menetapkan seseorang tersangka,

membebaskan atau menghukum terdakwa. Begitu pentingnya kedudukan seorang ahli, sehingga dalam perkara-perkara pidana yang menarik perhatian publik, kehadiran ahli sering dinantikan.

Sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin, yang sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat, bisa dijadikan contoh terbaru bagaimana keterangan ahli begitu penting. Hingga pekan ke dua di bulan Agustus, sudah enam orang ahli yang dimintai keterangan. Penuntut umum,

pengacara, dan majelis berupaya menggali informasi sebanyak mungkin pendapat ahli, sesuai kepentingan yang bertanya.

Untuk membuktikan penyebab kematian Mirna, penuntut umum menghadirkan ahli forensik dokter Slamet Purnomo dan ahli racun (toksikolog) Nursamran Subandi. Dokter Slamet mengatakan ada tanda kerusakan yang berasal dari zat korosif. Bagian bibir dalam berwarna kehitaman. Di lambung korban juga ditemukan bercak berwarna hitam. Keterangan

Nursamran Subandi semakin mempertegas penyebab kematian Mirna adalah racun sianida. Kadar sianida dalam tubuh korban melebihi dosis. Artinya, mematikan.

Sampai di sini, masih ada pertanyaan yang harus dijawab: siapakah yang menaruh racun ke dalam gelas es kopi vietnam yang diminum korban? Polisi dan jaksa mengandalkan CCTV kafe Olivier Jakarta. Tetapi untuk meyakinkan hakim pada hasil rekaman itu, penuntut umum menghadirkan dua ahli digital forensik dan teknologi informasi, M. Nuh dan Christopker Hariman Rianto. Ahli menguraikan detik per detik gerakan terdakwa Jessica Kumala Wongso yang terekam CCTV selama di dalam kafe. Detik-detik saat memasukkan sianida ke dalam minuman yang dikonsumsi korban menjadi kunci penting mengungkap siapa yang

membunuh Mirna. Terdakwa Jessica menyatakan keberatan terhadap keterangan ahli digital.

Dua ahli lain yang dihadirkan penuntut umum adalah psikolog klinis Antonia Ratih Handayani dan ahli psikiatri forensik RCSM Natalia Widyasih Raharjanti.

Keahlian khusus

Keenam ahli itu (seharusnya) memberikan keterangan sesuai keahliannya. Dalam teks KUHAP disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. KUHAP tak memberikan penjelasan lebih lanjut makna ‘keahlian khusus’.

(2)

mempertanyakan kapasitas atau kualifikasi seorang ahli. Dalam sidang-sidang di Pengadilan Tipikor, misalnya, kapasitas ahli keuangan negara atau ahli administrasi negara sering dipertanyakan para pihak ketika membahas anasir kerugian negara. OC Kaligis pernah mempertanyakan kedudukan auditor BPK sebagai ahli, padahal auditor bersangkutan adalah yang melakukan pemeriksaan sehingga lebih tepat menjadi saksi. Toh, hakim menolak argumentasi Kaligis.

Kapasitas ahli itu pula yang sempat dipertanyakan organisasi masyarakat sipil dalam kasus SP3 kasus kebakaran hutan di Riau. Polisi antara lain berdalih menggunakan pendapat ahli untuk menghentikan proses penyidikan.

KUHAP memang tak mengatur secara rinci persyaratan untuk menjadi ahli dalam perkara pidana. Yang ada hanya frasa ‘keahlian khusus’ tadi. Pertanyaan mengenai kapasitas ahli antara lain muncul dalam perkara pembunuhan Mirna.

Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, mempertanyakan kapasitas Antonia Ratih Handayani sebagai ahli psikologi klinis. Penyebabnya, Ratih bergelar magister manajemen, bukan magister psikologi. “Kami keberatan dengan ahli yang dihadirkan, Yang Mulia. Karena di CV tertulis bahwa ahli bergelar magister manajemen,” ujarnya, sebelum Antonia memberikan keterangan.

Otto juga mempertanyakan independensi ahli. Menurutnya, Antonia tidak bisa memberikan keterangan di persidangan karena pernah membantu pihak kepolisian dalam proses

penyidikan. Kehadiran Antonia sebagai ahli dikhawatirkan akan memberatkan Jessica. Tak hanya itu. Dalam sidang, Kamis (18/8), Otto kembali menolak dua ahli, yakni Danardi Sostro Sumiardjo, dan Geraldi. Keduanya satu tim dengan ahli Natalia saat memeriksa Jessica. Keberatan Otto kali ini didengar majelis hakim pimpinan Kisworo.

Mengabdi ilmu pengetahuan

Pasal 179 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli

kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.” Sedangkan dalam Pasal 186 menyatakan bahwa “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.”

Ahli yang dihadirkan di persidangan umumnya adalah ahli yang telah dimintai keterangan oleh penyidik dalam proses penyidikan. Dalam perkara pidana pembunuhan, misalnya, ahli yang dihadirkan seringkali dokter forensic yang juga bekerja di rumah sakit Polri. Apakah dalam konteks itu terjadi konflik kepentingan, sehingga ahli akan selalu membela

kepentingan penyidik?

Menurut Lucky Raspati, konflik kepentingan merupakan sesuatu yang pasti terjadi sejak awal. Namun hal tersebut sebenarnya juga dibatasi, sebatas ahli mengabdi kepada

kepentingan ilmu pengetahuan dan pertanggungjawaban kepada ilmu pengetahuan. “Bukan kepada para pihak (kepentingan),” kata Lucky kepada hukumonline, Senin (22/8).

Menurut dia, kekeliruan yang sering terjadi dalam proses peradilan di Indonesia adalah keterangan ahli yang dihadirkan oleh para pihak lebih bertujuan untuk kepentingan para pihak. Ilmu pengetahuan dan hakikat ‘keadilan’ yang disebut Pasal 179 ayat (1) KUHP seolah terabaikan.

(3)

penyebab kematian seseorang.

Sayangnya, lanjut Lucky, Indonesia tidak memiliki kriteria ahli yang bisa masuk ke

persidangan. Terkesan siapa saja bisa menjadi ahli. Bahkan sarjana hukum bisa menjadi ahli untuk menerangkan suatu peraturan, padahal ada prinsip ‘hakim dianggap tahu hukum’ (ius curia novit). Hakim juga khawatir berimbas pada pelaporan ke Komisi Yudisial jika menolak ahli yang dihadirkan salah satu pihak.

Menurut dosen FH Unand itu sejak awal seharusnya sudah ada filter siapa saja yang boleh dijadikan ahli. Keterangan seorang ahli pada hakikatnya tak mengikat hakim. Hakim berhak menolak keterangan ahli jika keterangan itu tidak cukup kuat, dan keterangannya dianggap tidak komprehensif. Karena itu, perlu ada saringan dari majelis. “Sejak awal harus dipastikan bahwa dia harus membantu hakim,” tuturnya.

Biaya

Di kalangan awam telah lama muncul semacam plesetan ‘pendapat ahli sesuai pendapatan’. Kalimat sindiran ini mungkin adalah bentuk kritik terhadap ahli yang pendapatnya tak konsisten, berubah-ubah sesuai kepentingan pihak yang ‘mengundang’.

Lepas dari kritikan itu, pemanggilan ahli memang membawa konsekensi finansial. Ada biaya yang harus dikeluarkan para pihak. Apakah ahli akan cenderung memilih pihak yang

menjanjikan bayaran lebih besar? Tak ada yang bisa memastikan karena ada juga ahli yang bersedia mengabdikan ilmu pengetahuannya tanpa dibayar.

Pasal 229 KUHAP menegaskan ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak mendapatkan penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan hak ahli tersebut.

Jika instansi pemerintah mengundang ahli maka besaran honorariumnya dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Beda halnya dengan dunia swasta yang bisa menentukan besaran honorarium sesuai kesepakatan. Seorang penegak hukum pernah bercerita penyidik sulit memenuhi biaya yang dikeluarkan untuk ahli untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi. Apalagi kalau harus menggunakan satelit atau harus datang ke tempat yang jauh dari tempat tinggal ahli.

Konsistensi keterangan

Konsistensi keterangan ahli juga bisa menjadi masalah. Dalam perkara pidana, banyak nama akademisi yang sering dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai ahli. Suatu saat mereka menjadi ahli atas permintaan polisi, kali lain tokoh yang sama mewakili kepentingan tersangka/terdakwa.

Menurut Lucky Raspati, sejatinya keterangan seorang ahli selalu berkesesuaian untuk kasus yang sama. Ia tidak selayaknya mengubah-ubah keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal. Masalahnya, tidak ada yang bisa memastikan apakah keterangan seorang ahli konsisten dari satu sidang ke sidang lain, dari satu perkara ke perkara lain. Hakim, jaksa, atau penasihat hukum sebenarnya bisa menguji konsistensi itu. Syaratnya, mereka punya pengetahuan yang cukup mengenai ahli sebelum sidang dimulai.

(4)

KUHAP sebenarnya memberi ruang bagi majelis hakim jika mereka ragu atas keterangan ahli. Pengacara terdakwa pun bisa mengajukan protes karena hak itu dijamin Undang-Undang. Pasal 180 ayat (2) dan (3) KUHAP menegaskan ‘dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli, hakim memerintahkan agar dilakukan penelitian ulang’. Misalnya, ada keraguan terhadap hasil otopsi. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan instansi semula melakukan otopsi ulang dengan komposisi tim otopsi yang berbeda.

Revisi KUHAP bisa dijadikan momentum untuk mengkaji kembali masalah-masalah yang berkaitan dengan keterangan ahli. Termasuk perubahan paradigma yang dianut Indonesia selama ini.

Pertanyaan :

Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana

Dimana saya dapat menemukan ketentuan hukum/peraturan mengenai syarat sah menjadi ahli/memberikan keterangan sebagai ahli dalam suatu perkara pidana?

Jawaban :

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Definisi keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di persidangan terdapat dalam sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain:

Pasal 132 ayat (1) KUHAP

Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli;

Pasal 133 ayat (1) KUHAP

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

(5)

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan

Terkait dengan Pasal 179 ayat (1) KUHAP ini, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa biasanya yang dimaksud “ahli kedokteran kehakiman ialah ahli forensik atau ahli bedah mayat”. Akan tetapi pasal itu sendiri tidak membatasinya hanya ahli kedokteran kehakiman saja, tetapi meliputi ahli lainnya (hal. 229).

Melihat dari aturan dalam KUHAP di atas, sepanjang penelusuran kami, KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah selama ia memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan.

Sayangnya, KUHAP maupun peraturan pelaksananya, lagi-lagi berdasarkan penelusuran kami, tidak mengatur lebih lanjut mengenai ‘keahlian khusus’. Namun dalam praktik, keahlian khusus ini bisa ditunjukkan dari pengalaman dan/atau pengetahuan sang ahli atas bidang tertentu.

Contoh kasus yang membutuhkan keterangan ahli adalah kasus korupsi. Dalam artikel berjudulPeranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dibuat berdasarkan pengkajian studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim pengkaji Kejaksaan RIdikatakan bahwa seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.

Keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

Lebih lanjut dalam artikel tersebut dikatakan bahwa KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi. Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal,sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai visi apabila apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

Contoh lain kasus mengenai didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan, yakni perkara yang berhubungan dengan delik pers. Dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008 dikatakan bahwa mengingat banyaknya perkara delik pers yang masuk pengadilan, Mahkamah Agung (“MA”) menyarankan kepada para hakim untuk meminta keterangan dari ahli di bidang pers. Dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli(“SEMA 13/2008”).

(6)

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44)

2. Surat Edaran Mahakamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli Referensi:

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. 2010. Jakarta: Sinar Grafika.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.TataCara&id=12, diakses pada 11 November 2013 pukul 16.21 WIB

http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=52&bc=, diakses pada 11 November 2013 pukul 16.24 WIB

Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana oleh: Albert Aries, SH, MH *)

Sangat penting untuk menegaskan kedudukan ahli, kewenangan hakim untuk menilai keterangan ahli, keterangan ahli tak mengikat hakim.

Dibaca: 15339Tanggapan: 0

Pentingnya Mempertegas Kedudukan Ahli

Adagium yang menyatakan bahwa hukum selalu berada di belakang realitas masyarakat nampaknya cukup teruji (Das Sollen - Das Sein, bahkan Das Sullen/hukum yang dicita-citakan). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk dari suatu kejahatan menjadi lebih mutakhir dari bentuk konvensionalnya. Hal ini membuat Penulis teringat akan perkataan Raja Sulaiman yang terkenal akan kebijaksanaannya bahwa tidak ada sesuatu hal yang benar-benar baru di dunia ini, karena sesungguhnya hal itu sudah pernah ada sebelumnya.

Sebagaimana halnya alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu Saksi, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, maka kedudukan Keterangan Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana menjadi cukup krusial di era penegakan hukum modern, yang tidak dapat dipisahkan dari kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dianut sistem Pembuktian Negatif (negatief wettelijke), yang berarti hakim hanya boleh menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, apabila ada alat bukti yang cukup dengan disertai keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukannya.

(7)

sehingga dapat memberikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memperoleh keyakinannya, dalam mengadili suatu perkara pidana.

Berkaca dari perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat, hal mana didalamnya terjadi perdebatan ahli dari masing-masing pihak yang mengajukannya, penulis berpendapat bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana perlu kembali diperjelas dan dipertegas dalam suatu penjelasan hukum (restatement). Secara hukum, Keterangan Ahli saja sebagai alat bukti tidak cukup untuk membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah, karena substansi dari keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.

Keterangan Ahli sebagai suatu alat bukti baru diperlukan manakala dalam suatu proses pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun di pengadilan diperhadapkan pada suatu hal/permasalahan yang perlu diberikan penjelasan yang khusus, yang mungkin sebelumnya tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, baik ahli yang dihadirkan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum wajib memberikan keterangan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penyeimbang, karena menurut pendapat dari Mr. Trapman, posisi Penuntut Umum adalah objektif dengan pendirian yang subjektif, sedangkan dipihak yang berlawanan, yaitu Penasihat Hukum berada dalam posisi subjektif dengan pendirian yang objektif.

Kewenangan Hakim Untuk Menilai Keterangan Ahli

Mengenai siapa saja yang dapat dikualifikasikan sebagai seorang ahli, dalam praktik hukum acara pidana memang tidak diatur lebih lanjut tentang keharusan bahwa ahli adalah seseorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau memperoleh sertifikasi atau ijazah tertentu. Dengan kata lain, sepanjang yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu bidang tertentu, ia dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan ahli. Akan tetapi menurut hemat penulis, Hakim karena jabatannya (ex officio), sudah sepatutnya dapat memilah, menguji dan menilai kualifikasi seorang ahli, termasuk adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dari ahli tersebut, sehingga objektifitas dari keterangan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan tidak adanya batasan yang pasti mengenai kualifikasi dari seorang ahli, maka tidak jarang dalam praktik, ahli bidang hukum tertentu pun dihadirkan oleh salah satu pihak yang berperkara, padahal menurut asas Ius Curia Novit, hakim dianggap mengetahui (segala) hukum. Dalam praktiknya, keterangan seorang ahli hukum seringkali dapat diterima, dengan pertimbangan terbatasnya penguasaan ilmu hukum dan potensi dilaporkannya Majelis Hakim ke Komisi Yudisial karena dianggap mengurangi hak-hak dari pihak yang berperkara untuk membela kepentingan hukumnya.

Disinilah peran penting dan kualitas dari para Hakim teruji dalam memimpin jalannya proses pemeriksaan dan pembuktian perkara pidana yang menganut asas “Penggunaan Alat-Alat Bukti Secara Langsung (Ommiddelijkheid Der Bewijsvoering).”. Dalam posisi yang objektif dengan pendirian yang objektif pula, Majelis Hakim diberikan kebebasan untuk menguji dan menilai keobjektifitasan keterangan seorang ahli, karena baik Ahli yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum/Terdakwa dapat memiliki kecenderungan untuk menguntungkan pihak yang mengajukannya secara subjektif, termasuk untuk menunjukkan ketegasan manakala salah satu pihak memberikan pertanyaan kepada ahli yang sifatnya menjerat atau menggiring ahli untuk memberikan kesimpulan dalam suatu perkara.

Keterangan Ahli Tidak Mengikat Hakim

(8)

Keterangan Ahli sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri dan memerlukan alat bukti yang lain untuk dapat dicapainya suatu Keyakinan Hakim. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 72 K/Kr/1961 tertanggal 17 Maret 1962 yang memiliki kaidah hukum bahwa hakim tidak terikat pendapat seorang ahli jika pendapat tersebut bertentangan dengan keyakinan hakim.

Tanpa harus “mengambil alih” tugas dari Penuntut Umum, maka peran aktif dari Hakim dalam suatu perkara pidana adalah sangat penting untuk menggali kebenaran materiil, diantaranya untuk mengelaborasi keterangan saksi fakta dan menganalisa perbuatan, kejadian dan keadaan yang memiliki persesuaian yang menandakan telah terjadinya suatu tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pelakunya, atau yang biasa disebut sebagai Petunjuk, karena agak sulit untuk mengandalkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yang oleh undang-undang telah diberikan “hak ingkar” bagi terdakwa dari dakwaan yang dituduhkan kepadanya.

Fiat justitia ne pereat mundus, tegakkanlah keadilan agar dunia tidak runtuh.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dari Penulis selaku pemerhati hukum acara pidana dan tidak dimaksudkan untuk kepentingan pihak manapun juga.

PERATURAN TERKAIT

 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 1 Tahun 2016

 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 192 Tahun 2015

 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2008

 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor . .

Kedudukan keterangan ahli sbg alat bukti dalam pemeriksaan

perkara pidana

Apa fungsi dan kedudukan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pidana ? Jaksa Penuntut Umum (Jaksa) berkewajiban membuktikan dakwaannya terhadap seorang

terdakwa dalam persidangan. Meskipun suatu dakwaan yang disusun Penuntut Umum dibuatnya berdasarkan bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan, tetapi tidak berarti apa yang dirumuskan dan diuraikan dalam surat dakwaan menjadi suatu hal yang sudah benar dan tidak dipertanyakan atau uji lagi. Dalam proses peradilan pidana, Penuntut Umum harus membuktikan dakwaannya itu dalam persidangan, demikian pula dengan

terdakwa/Penasehat hukum yang tentunya merujuk pada alat bukti yang diajukan dalam persidangan.

Terkait dengan pembuktian dalam persidangan perkara pidana, KUHAP Indonesia menyebut berapa jenis alat bukti yang sah, yakni berupa; (1) Keterangan Saksi; (2) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa.

Dari beberapa jenis alat bukti yang sah itu, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah. Bahkan dalam perkembangannya beberapa waktu belakangan dalam

(9)

meminta ahli untuk dimintai keterangannya suatu kasus/perkara pidana yang ditanganinya. Sedangkan bagi terdakwa, kesempatan untuk mengajukan ahli cenderung dihadirkan saat persidangan sudah berlangsung. Walaupun sebenarnya, terdakwa dapat saja mengajukan ahli dari pihaknya untuk juga dimintai keterangan pada waktu penyidikan.

Persoalannya sekarang, apa dan bagaimana kedudukan keterangan ahli sebagai sebuah alat bukti ? Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksudkan dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari defenisi yang diberikan KUHAP terhadap keterangan ahli itu, maka suatu keterangan ahli akan menjadi alat bukti apabila keterangan itu diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus atas sesuatu hal. Dan jika hanya merujuk pada apakah seseorang memiliki keahlian khusus, maka seseorang dikatakan ahli bisa dalam cakupan yang luas dan tidak diukur dari sisi pendidikan, tetapi apakah seseorang itu memiliki kompetensi untuk menjelaskan sesuatu. Kompetensi itu bisa saja didasarkan suatu pendidikan khusus yang sudah dijalani seseorang atau bisa juga melalui suatu proses sertifikasi. Meskipun KUHAP hanya menyebutkan “memiliki keahlian khusus”, namun dalam perkembangannya

belakangan ada kecenderungan keahlian khusus yang dimiliki seseorang itu disertai dengan bukti formal apakah melalui pendidikan khusus, melalui proses sertifikasi atau pengakuan.

Terlepas dari perkembangan atas sosok ahli itu, keterangan ahli adalah merupakan alat bukti dalam suatu proses peradilan perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Terkait dengan keterangan ahli itu sebagai alat bukti, ia hanya akan menjadi alat bukti bagi Penuntut Umum saja ketika seorang ahli memberikan keterangan pada saat penyidikan. Suatu keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana adalah ketika keterangan ahli itu

disampaikan dalam persidangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Karena itu, keterangan ahli yang diberikan ahli pada waktu penyidikan dan menjadi bahan bagi Penuntut dalam menyusun dakwaan, harus diberikan ahli dalam

persidangan. Konsekuensinya, bisa keterangan yang diberikan ahli dalam persidangan, lebih terinci dan tidak tertutup kemungkinan pendapat ahli itu mendapat pengujian dalam

persidangan baik oleh hakim, penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa.

Sesuai dengan kedudukan dan apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai alat bukti, ia sekaligus menjadi pembeda dengan keterangan saksi. Karena itu dalam berbagai kesempatan sering kita dengar istilah “saksi Ahli” adalah suatu kekeliruan, karena secara hukum “ahli” dan “saksi” dari sisi alat bukti adalah dua hal yang berbeda. Secara singkat keberadaan ahli dalam persidangan mengarah pada pendapat ahli atas sesuatu menurut keahlian ahli, sedangkan saksi sebagai alat bukti mengarah kepada apa yang dilihat, dirasakan dan dialami saksi atas suatu peristiwa pidana. Dalam perkataan lain, keterangan ahli adalah berupa pendapat berdasarkan keilmuan yang dimiliki ahli, sedangkan

keterangan saksi menuju pada fakta. Itulah sebabnya, mengapa kepada seorang saksi tidak boleh ditanyakan pendapatnya atas sesuatu terkait suatu perkara pidana. Sebaliknya pada ahli, ia tidak boleh memberikan keterangan atas fakta, melainkan pendapatnya atas sesuatu terkait dengan masalah perkara pidana tengah periksa.

(10)

mengenai hal itu dari orang ahli”. Demikian juga dengan Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan, “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Dari dua ketentuan KUHAP di atas, maka keberadaan keterangan ahli sebagai alat bukti pada prinsipnya berkedudukan untuk menguatkan suatu elemen atau unsur suatu tindak pidana, khususnya atas tindak-tindak pidana yang untuk memastikanya membutuhkan keterangan dari seorang yang memiliki keahlian khusus terkait dengan unsur tindak pidana bersangkutan. Hal itu tentu berarti juga, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah tidak menjadi alat bukti utama berupa keterangan saksi yang memberikan keterangan atas fakta dari suatu perbuatan pidana. Artinya, ketika keterangan saksi sebagai alat bukti tidak ada, maka suatu tindak pidana bisa dinyatakan dengan hanya berdasarkan keterangan ahli saja. Atau keterangan ahli lebih menjadi pertimbangan utama dalam memutus suatu perkara pidana, ketika keterangan saksi lemah.

Sekalipun sama-sama berkedudukan sebagai alat bukti, namun kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti tidak dapat menggantikan atau didorong menjadi alat bukti utama dalam sebuah perkara pidana. Hal ini sesuai dengan keberadaan keterangan ahli dalam lingkup memberikan keterangan bukan mengenai apa yang dilihat, dialami dan dirasakan ahli atas terjadinya suatu tindak pidana, melainkan keterangan atau pendapat ahli berdasarkan keahliannya mengenai hal-hal yang ada hubungannya dengan perkara yang tengah diperiksa.

Dengan demikian, dalam sebuah pemeriksaan perkara pidana, seorang ahli yang dihadirkan dalam persidangan memerlukan pula pengetahuan secara hukum tentang kedudukan dan ruang lingkup keterangannya sebagai ahli dalam sebuah persidangan. Seorang ahli dalam memberikan keterangan dalam satu persidangan perkara pidana harus memiliki

pemahaman yang memadai atas keterangan yang akan diberikannya, karena bisa jadi ahli terjebak memberikan keterangan seolah-olah keterangan yang diberikannya tidak obahnya keterangan “saksi”. Kemungkinan ahli memberikan keterangan layak keterangan seorang saksi bisa berasal dari diri ahli sendiri, bisa pula terjadi karena ketidakmapuannya

menyaring pertanyaan yang diajukan hakim, penuntut umum maupun penasehat hukum.

Akan tetapi, kemungkinan ahli memberikan keterangan bagai keterangan seorang saksi, bisa dihindari apabila ahli sejak dari awal sudah memahami, bahwa keterangan yang diberikannya adalah suatu penghargaan atau pendapat atas sesuatu yang ada

(11)

KEDUDUKAN AHLI PADA TAHAP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DAN KEKUATAN

PEMBUKTIANNYA

ABSTRAK

(12)

bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan ahli dalam perkara pidana serta kekuatan pembuktiannya. Karena dalam suatu persidangan sering kita jumpai seorang ahli yang dimintai pendapatnya untuk membuat terang suatu perkara. Pembahasan meliputi kedudukan ahli, kualifikasi ahli, nilai kekuatan pembuktiannya serta kaitannya dengan hakim sebagi pertimbangan keputusannya.

Penulis dalam penelitian hukum ini menggunakan penelitian dalam kategori

penelitian yuridis normatif/doktrinal yang bertujuan untuk mencari taraf sinkronisasi antara ketentuan-ketentuan yang ada dengan implementasinya dengan spesifikasi penelitian yang digunakan yaitu suatu telaah deskriptif analitis, yang kemudian dianalisa dengan metode analisis komparatif yaitu studi perbandingan hukum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti itu sama dengan saksi lainnya yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Penentuan kualifikasi seorang ahli diputuskan oleh hakim dengan proses pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination). Kekuatan pembuktian seorang ahli dapat dilihat saat proses pengangkatan sumpah sebelumnya, serta keterangan seorang ahli tidak dapat menjadi alat bukti yang mutlak akan tetapi harus disertai dengan alat bukti lain dalam proses pembuktiannya. Dalam hal ini hakim sangat berperan penting sesuai naluri, apakah menyertakan pertimbangan keterangan ahli atau tidak dalam pengambilan keputusan untuk mencari kebenaran materiil.

Kata kunci : Kedudukan Ahli, Kualifikasi Ahli, Kekuatan Pembuktian Dari Keterangan Ahli.

Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara

Tindak Pidana Korupsi

24 Maret 2014 pukul 22:05

PERANAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PENANGANAN

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pengkajian ini juga dimaksudkan untuk mencari solusi atas Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.

Pengkajian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim pengkaji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa:

1.Masalah korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan yang komplek dan terjadi secara meluas di seluruh sisi kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial yang terjadi secara sistematik. Korupsi bukan hanya sekedar soal seorang pegawai negeri menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menyangkut budaya masyarakat yang ingin mendapat keuntungan pribadi dengan segala cara termasuk kolusi dengan para pejabat.

2.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau

ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa

(13)

penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum.

3.Sistem pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan “sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Sistem negatief merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).

4.Sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP adalah ketentuan dasar dalam hukum pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak pidana, kecuali

ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus. Penyimpangan hukum pembuktian ada dalam hukum pidana korupsi, yang meliputi pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian. Kegiatan pembuktian Tindak Pidana Korupsi di samping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang atau hal-hal tertentu berlaku hukum pembuktian khusus. Pembuktian korupsi tetap memperhatikan Pasal 183 KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian terbalik {Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001}.

5.Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

6.Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan

pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya {Pasal 120 ayat (1) KUHAP}. Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.

7.KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat

memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi.

8.Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi apabila :

apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya ;

yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

9.Dalam praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. JPU mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang

terdapat dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum dapat juga

(14)

tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain.

10.Seorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya dan pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan

perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang bertolak belakang satu dengan lainnya.

11.Keterangan ahli yang memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan patokan hakim

maupun putusan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat kompetensi orang yang ditunjuk sebagai ahli. Tidak cukup berpatokan pada formalitas pendidikan atau status sosial orang tersebut, misalnya terhadap seorang profesor yang ditunjuk sebagai ahli.

12.Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah:

 Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan

pengertian terhadap penerapan hukum.

 Dalam praktek dilapangan, untuk kasus korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh polisi dan jaksa minta untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Jarang polisi memenuhi petunjuk jaksa atau akan menjadi kesulitan bagi polisi mendatangkan ahli.

13.Berdasarkan uraian 1 s.d. 12 di atas dapat simpulkan bahwa:

 Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi.

 Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.

 Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.

14.Saran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan alat bukti keterangan ahli adalah :

 Perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi ahli dan keluarganya {sejalan dengan sebagaimana dimaksud article 32 dan 33 UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003}.

 Perlu ditingkatkan kemampuan teknis penyidikan secara terus menerus dan berkesinambungan melalui Diklat teknis dan pertemuan ilmiah.

(15)

KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT Mangiliwati Winardi dan Tri Wahyuni

Abstract

The Objective of this research is to find out of visum et repertum position in criminal proceedings and the linkages visum et repertum with a letter and a description of the evidence . This research used the normative law with the statute approaches. Its data were secondary ones in the from of primary legal materials. They were gathered through the library research by identifying the laws and the legal issues. Technical analysis of the data/legal materials based on the principle of logical consistency between legal principles related raw research problems. The result of the research indicates that visum et repertum as evidence in the form of formal concerns things seen and found by the doctor who examined objects is a substitute for actual evidence and visum et repertum position in the law of evidence in criminal proceedings is included as documentary evidence.

Keywords : Victum Et Repertum, evidence Abstrak

Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Visum Et Repertum dalam proses perkara pidana serta keterkaitan Visum Et Repertum dengan alat bukti surat dan keterangan ahli. Sumber data penelitian ini ialah data sekunder berupa bahan hukum primer. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan. Sumber data penelitian ini ialah data sekunder berupa bahan hukum primer. Teknik pengumpulan data ialah studi pustaka berupa identifikasi hukum dan isu hukum. Teknis analisis data/bahan hukum didasarkan pada prinsip konsistensi logis antara asas-asas hukum baku terkait permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Visum Et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut hal- hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah pengganti barang bukti dan Kedudukan Visum Et Repertum dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana adalah termasuk sebagai alat bukti surat. Kata kunci : Visum Et Repertum, Pembuktian

A. Latar Belakang Masalah

Peranan keterangan ahli untuk kelengkapan alat bukti dalam alat bukti dalam berkas perkara pro yustisial dengan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, sangat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan hakim dalam hal pengambilan keputusan. Apabila di tinjau dari hukum acara pidana, maka peranan keterangan ahli di perlukan dalam setiap tahap proses pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari penyidikan, jaksa maupun hakim terhadap suatu perkara pidana seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kealpaan dan lain-lain.

Kondisi sekarang yang semakin modern, kebutuhan dari orang ahli semakin diperlukan kehadirannya seperti dalam tindak pidana penyelundupan, kejahatan komputer dan komponen canggih, kejahatan perbankan, kejahatan korporasi, tindak pidana tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI), tindak pidana uang palsu dan surat berharga, tindak pidana narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) tindak pidana lingkungan hidup dan lain-lain yang salah satu hal berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri perdagangan, komunikasi, informasi dan sebagainya (R.Soeparmono, 2002 : 2).

(16)

keilmuannya akan dapat menambah kata, fakta dan pendapatnya, yang dipakai oleh ahli dalam menimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara in casu.

Sudah tentu hal tersebut harus dilihat secara kasuistis dari perkara yang sedang diproses, atas tindak pidana yang didakwakan bagi terdakwa dalam surat dakwaan penuntut umum di sidang pengadilan. 3 Bahwa fenomena yang berkaitan dengan Visum Et Repertum tidak saja menarik perhatian para ahli yang berkecimpung dalam ilmu kedokteran forensik atau lembaga ilmu pengetahuan lainnya seperti misalnya kriminalistik, ilmu kimia forensik, ilmu alam forensik dan kedokteran forensik yang ada seperti psikologi forensik, psikiatri forensik dan di tambah dengan laboratorium fotografi, akan tetapi juga ini tersesat bagi ahli-ahli hukum. Ilmu-ilmu forensik tersebut itu dapat dikatakan atau diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk mencari atau menghimpun dan menyusun serta menilai fakta-fakta yang berhubungan dengan suatu perbuatan pidana dimana selanjutnya dapat dipasrahkan bagi pengadilan dalam kepentingan melengkapi pembuktian dalam lapangan hukum acara pidana. Ilmu-ilmu forensik meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan atau dapat dikatakan bahwa dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan, maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting. Dilihat dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik dibagi dalam 3 golongan (R.Soeparmono, 2002 : 11-12).

1) Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis, yaitu : a) Hukum pidana dan b) Hukum acara pidana

2) Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis, yaitu : a) Ilmu kedokteran forensik;

b) Ilmu kimia forensik termasuk taksikologi dan

c) Ilmu fisika forensik antara lain : balistik, daktiloskopi, identifikasi, fotografi dan sebagainya. 3) Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah manusia :

a) Kriminologi;

b) Psikologi forensik dan

c) Psikiatri/neurologi forensik (R. Soeparmono, 2002 : 11-12).

4 Kejahatan di samping merupakan masalah yuridis sekaligus juga merupakan masalah teknis dan masalah manusia. Kejahatan sebagai masalah yuridis merupakan perbuatan manusia yang melanggar ketentuan-ketentuan (peraturan) hukum pidana yang berlaku (hukum positif).

(17)

bantu seperti ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik termasuk toksikologi dan ilmu fisika forensik. Dalam praktek, kemungkinan ada kalanya dijumpai kekeliruan terhadap orangnya (salah tangkap), yaitu kekeliruan terhadap di pelaku kejahatn (error), sehingga membawa akibat pada kesalahan penahanan serta kesalahan penerapan hukum dalam utusan pengadilan walaupun hal itu jarang terjadi sehingga hal seperti hal seperti itu memang harus dihindarkan. Jelas dengan dasar-dasar yang dikemukakan diatas telah memberikan motifasi dan kepada hal-hal yang pasti untuk menilik secara jelas kedudukan Visum Et Repertum dalam proses perkara pidana. B. Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Proses Perkara Pidana Berdasarkan alat bukti yang sah seperti disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka jikalau seumpama tidak ada dokter ahli kedokteran forensik, maka hakim masih dapat meminta keterangan dokter bukan ahli di dalam sidang, yang sekalipun bukan sebagai keterangan ahli, tetapi keterangan dokter bukan ahli itu sendiri dapat dipakai sebagai alat bukti dan sah menurut hukum sebagai “keterangan saksi”. Keterangan dokter bukan ahli tersebut dalam sidang mungkin diperlukan oleh hakim, sehubungan dengan dokter tersebut yang telah membuat dan menandatangani visum et 6 repertum yang dilengkapkan dan terdapat dalam berkas perkara ataupun dapat oleh dokter ahli. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim (Pasal 186 KUHAP serta penjelasannya) atau dilakukan setelah memberikan keterangan ahli. Tahapan pemeriksaan tersebut, maka pengertiannya dapat disimpulkan, jikalau dihubungkan dengan Pasal 133 KUHAP dan penjelasannya maka, permintaan keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli (deskundige verklaring) sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan (verklaring). Dengan demikian, seperti yang telah diterangkan dimuka, dalam tahap penyidikan dan penuntutan, maka suatu laporan yang dibuat penyidik dan penuntut umum atas keterangan orang ahli kedokteran kehakiman, dokter bukan ahli kedokteran kehakiman atau orang ahli lainnya dapat berupa : a. Keterangan Ahli : yaitu dalam suatu bentuk “laporan” oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya susuai Pasal 1 butir 28 KUHAP, tentang sesuatu hal atau sesuatu pokok soal. b. Keterangan Ahli : oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau dokter antara lain, dalam bentuk Visum Et Repertum c. Keterangan : yaitu keterangan oleh dokter, bukan ahli kedokteran kehakiman dilakukan secara tertulis/”laporan”. Hakim berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan dari seorang ahli di muka

persidangan, apabila ia berpendapat, bahwa keterangannya itu sangat diperlukan guna meyakinkan dirinya jo. Pasal 1 butir 180 (1) KUHAP. Di dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP ditentukan : dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli (dan dapat pula minta dengan diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan). Ahli yang telah mengutarakan pendapatnya tentang suatu hal atau keadaan dari suatu perkara 7 tertentu itu, dapat dipakai sebagai kejelasan dan dasar-dasar bagi hakim untuk menambah keyakinannya. Akan tetapi, hakim dengan demikian tidak wajib untuk menuruti pendapat dari ahli itu bilamana pendapat dari ahli itu bertentangan dengan keyakinannya. Hakim berhak pula untuk mengambil alih pendapat ahli tersebut dengan menjadikannya sebagai pendapatnya sendiri, sesuai dengan “istilah-istilah” yang tertera dalam pendapatnya dan atau kesimpulan tersebut atau yang dikemukakan dalam sidang dalam Berita Acara Pemeriksaan di sidang. Sudah tentu dilamana hakim tidak setuju atau tidaksependapat dengan apa yang menjadi pendapat ahli tersebut, maka hakim tersebut wajib mempertimbangkan didalam putusannya, mengapa ia tidak sependapat disertai dengan alasan-alasannya. Misalnya, kedapatan seorang yang meninggal dunia tanpa adanya petunjuk lukaluka ditubuhnya, sehingga ada hal-hal yang menimbulkan persangkaan bahwa ia meninggal karena terkena racun. Maka dalam hal ini dapat diminta campur tangan dari seorang ahli kimia forensik untuk menganalisa dan menjelaskan pendapatnya tentang “sebab-sebab”kematian si korban setelah diperiksa isi perut si korban melalui bedah mayat (otopsi). Apabila hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut sebagai hal yang benar tentang sebab kematian si korban karena racun, maka hakim tersebut mengambil alih sebab-sebab itu sebagai pendapatnya sendiri, sehingga oleh karena racun dan bukan sebab lainnya. Oleh karena dokter (ahli) atau orang ahli juga manusia biasa, maka dimungkinkan membuat kesalahan, sehingga tidak diwajibkan hakim selalu mengikuti pendapat dokter (ahli) atau orang ahli itu bilamana bertentangan dengan keyakinannya, sehingga ia akan mengambil kesimpulan sendiri. Keterangan ahli dapat diperoleh dari pendapat atau pikirannya tentang suatu hal atau keadaan dari perkara yang bersangkutan dan dapat pula diperoleh dari

pengajuan atas fakta-fakta sebenarnya. Dalam hal ahli mengemukakan pendapatnya, hakim dapat menyetujui dan mengambil alih pendapat itu ataupun tidak menyetujui dan mengambil 8 kesimpulan sendiri. Akan tetapi, bila ahli tersebut mengemukakan dan mengajukan hal- hal atau keadaan atas dasar fakta-fakta apa adanya, hakim disini tidak mudah akan mengambil kesimpulan sendiri. Apabila seorang dokter ahli atau ahli lain sampai pada pendapatnya, yaitu yang menyangkut perihal suatu penghargaan dan/pengambilan kesimpulan dari hasil

(18)

dan/pengambilan kesimpulan oleh orang ahli itu didasarkan atas pengalaman dan pengetahuannya yang sebaik-baiknya dalam bidang ilmu, pengalaman dan keahliannya. Untuk hal tersebut hanya dapat diperoleh dari ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, ilmu fisika forensik, ilmu psikiatri/neurologi forensik dan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki ahli tersebut menurut bidang keahliannya (bagi ahli/spesialis ahli lainnya). Pemeriksaan oleh dokter ahli atau orang ahli lainnya, yang kemudian dituangkan dalam pendapat dan pengambilan kesimpulan ahli itu kepada hakim, adalah sebagai salah satu upaya untuk membantu mencari serta mengungkapkan fakta-fakta selengkapnya. Bagi pengadilan, bantuan orang ahli itu bersama-sama alat-alat bukti lain nantinya, akan berangkaian dan bersesuaian satu dengan yang lain dan bermanfaat bagi terbuktinya pemenuhan unsure-unsur tindak pidana itu disertai keyakinan hakim. Sehingga oleh Majelis hakim dapat dinyatakan semua unsure yang telah terbukti berdasarkan fakta-fakta disertai alat-alat bukti yang cukup, termasuk keterangan ahli, dalam hubungannya yang satu dengan yang lainnya tersebut, saling bersesuaian satu dengan yang lain, sehingga menurut hukum dinyatakan bahwa terdakwa itu secara sah dan meyakinkan, telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya tersebut dalam surat dakwaan penuntut umum. Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa sebenarnya nilai atau penghargaan suatu alat bukti keterangan ahli dalam hubungannya dengan aturan pembuktian dalam 9 Hukum Acara Pidana sebagai alat bukti sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka asas atau sistem hukum pembuktian dalam acara pidana kita, adalah seperti yang telah dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, dimana ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Di dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, maka bagi hakim kedudukan dan peranan orang ahli amat penting. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman (atau dokter) atau ahli lainnya, wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi, berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan, bagi mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pemeriksaan oleh hakim (Majelis hakim) di persidangan, suatu berkas perkara pidana, apakah ada atau tidak ada Visum Et repertum, maka perkara yang bersangkutan tetap harus diperiksa dan diputus.

(19)

Majelis hakim dengan demikian tidak mutlak menggantungkan putusannya kepada ada atau tidaknya Visum Et repertum. Teori “Negatief Wettlijk” tentang pembuktian menentukan syarat alat bukti, disertai adanya keyakinan yang diperoleh hakim sebagai unsur-unsur yang memegang peranan penting. Sebaliknya adalah teori “Positief Wettlijk”, yang mendasarkan diri hanya kepada alat bukti saja sekalipun alat bukti tersebut sangat minim. Jikalau ada alat bukti sekalipun satu alat bukti saja, sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, sehingga hanya terikat kepada adanya alat bukti (sekalipun sangat minim) yang ditentukan oleh undang-undang tanpa diisyaratkan adanya keyakinan hakim jadi berlawanan dengan sistem Conviction in time. Teori “Conviction intime”, menentukan sistem pembuktian ini semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim belaka. Keyakinan hakim

menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa dan mungkin pemeriksaan alat-alat bukti akan dkabulkan. Teori yang lain adalah “teori Bebas” yang semata-mata mendasarkan kepada keyakinan belaka untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak bersalah, tanpa terikat kepada suatu alat bukti yang diisyaratkan oleh undang-undang dan hanya mendasarkan kepada keadaan dan perasaan pribadi hakim yang dibenarkan atas dasar pengalaman belaka yang rasional. Hanya saja keyakinan yang bebas tersebut masih dibatasi oleh alasan-alasan yang masuk akal atau beralasan yang logis. Pada sistem pembuktian yang bersifat negatief 12 wettlijk, seperti halnya pada KUHAP, suatu putusan pengadilan harus berdasar atas alat-alat bukti yang cukup apabila untuk meyakinkan kesalahan seorang terdakwa bagi terbuktinya suatu tindak pidana. Sebagaimana dalam surat dakwaan Jaksa penuntut umuum. Hal yang serupa dianut pula oleh HIR dahulu berdasarkan Pasal 294 HIR yang mirip dengan Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian menurut sistem KUHAP, ketentuan-ketentuan undang-undang (KUHAP) tidak boleh dilanggar, artinya hakim tidak boleh dan dilarang “melanggar batas minimum pembuktian” dan hakim wajib (imperative)

(20)

sebagai alat bukti sah seperti disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) sub. B dan sub. E KUHAP. Apabila dalam berkas perkara pidana tidak ada Visum Et Repertum, maka Majelis hakim tetap akan mempergunakan Pasal 183 KUHAP, kecuali acara pemeriksaan cepat. Karena visum Et Repertum merupakan alat bukti sah, apabila terdapat dalam berkas perkara tersebut, berarti Visum Et Repertum harus juga disebutkan serta dipertimbangkan oleh Majelis hakim dalam putusannya. karena itu, suatu visum et repertum dalam berkas perkara pidana menjadi bukan sebagai barang bukti (vide: Pasal 194 KUHAP), karena memang Visum Et Reepertum dibuat (diterbitkan) tidak atau bukan atas dasar penyitaan (sita) atau benda sitaan dari seseorang. C. Keterkaitan Visum et Repertum dengan alat bukti surat dan keterangan ahli Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakina bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhi 2 syarat yaitu: a. Alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen). b. Keyakinan Hakim (overtuiging des rechters). 15 Yang disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, dalam arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama. Sesuai dengan ini, maka kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige overtuiging), atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen). Dengan hanya satu alat bukti saja, seumpama dengan keterangan dari seorang saksi, tidak diperoleh bukti yang sah, tetapi harus dengan ketrangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat bukti” mempunyai kekuatan dalam arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain bukti yang demikian, diperlukan juga keyakinan hakim yang harus diperoleh atau ditimbulkan dari “alat-alat bukti yang sah” (wittig bewijs). Yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah sebagai berikut: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Seperti diketahui, dalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku tindak pidana pastilah dapat

mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-salahannya 16 walaupun selalu ada kemungkinan, merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima sama sekali. Karim Nasution mengatakan, bahwa “jika hakim atas dasar alat bukti-bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan (Karim Nasution, 1975 : 71). Dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam undang- undang atau atas bukti yang tidak mencukupi, misalnya dengan keterangan hanya dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada. Hakim tidak memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahuinya dari luar persidangan, tetapi haruslah memperolehnya dari alat-alat bukti yang sah terdapat dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan di dalam undang- undang, misalnya dalam hal terdakwa tidak mengaku, dengan kesaksian dari sekurang- kurangnya dua orang yang telah disumpah dengan sah. Jika hakim dari alat–alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan, maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan pembebasan dari tuduhan. Dengan demikian, misalnya ada 10 (sepuluh) orang saksi

(21)

hakim adalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat salah raba dalam menentukan keyakinannya perihal barang sesuatu, dan lagi oleh karena putusan hakim pidana dapat menusuk kepentingan-kepentingan terdakwa, yang oleh masyarakat dijunjung tinggi, yaitu jiwa, raga, kemerdekaan, kehormatan dan kekayaan seorang terdakwa, maka ada beberapa aliran dalam dunia mulai dulu kala sampai sekarang tentang apa yang dianggap baik

penyusunan suatu peraturan Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana. D. Simpulan 1. Visum et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut hal- hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya orang yang menjadi obyek penganiayaan, pembunuhan atau kejahatan lainnya dari suatu peristiwa pidana sepatutnya diajukan menjadi barang bukti seperti misalnya orang yang dianiaya dan mati

terbunuh sudah barang tentu 18 menjadi kesulitan dalam praktek; karenannya orang yang meninggal (mayat) harus dikebumikan sebab dapat membusuk untuk selanjutnya mengalami proses alamiah hancur menjadi debu tanah. 2. Kedudukan Visum et Repertum dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana adalah termasuk sebagai alat bukti surat sebagaimana maksud pasal 184 ayat 1 huruf c jo pasal 187 huruf c KUHAP dengan keterangan ahli sesuai maksud pasal 1 angka 28 KUHAP jo Stb 1937-350 jo pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP. Keterkaitan antara Visum Et Repertum dan keterangan ahli adalah Visum Et Repertum dibuat oleh seorang dokter, kemudian dokter tersebut nantinya akan memberikan keterangan sebagai seorang ahli yang disebut keterangan ahli. E. Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1. Meskipun di dalam KUHAP, tidak ada keharusan bagi penyidik untuk mengajukan permintaan Visum et Repertum kepada ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter (ahli) lainnya, akan tetapi untuk kepentingan pemeriksaan perkara serta agar lebih jelas perkaranya sedapat mungkin, bilamana ada permintaan yang diajukan kepada dokter bukan ahli maka permintaan tersebut patut diterima. 2. Para dokter ahli ataupun dokter bukan ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban kejahatan harus berlaku obyektif sesuai dengan sumpah jabatan dokter. Daftar Pustaka Kusuma,Musa Perdana.1989.Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik. Jakarta : cetakan I Galia Indonesia.

Nasution,Karim.1975.Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana. Jakarta Prakoso,Djoko.1988.Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty. 19 Soeparmono R.2002.Keterangan Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung : Mandar Maju. Marzuki,Peter

Mahmud.2013.Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta : Prenada Media Group. KUHAP Dan Penjelasannya. Korespondensi : 1. Nama : Mangiliwati Winardi Alamat : Dusun Sukosewu, Rt.001, Rw.002, Wonoasri, Grogol, Kediri. E-mail : mangiliwati.winardi@gmail.com No. Telp : 085655675712 2. Nama : Tri Wahyuni Alamat : Pantirejo, Rt. 02, Rw. 01, Gabugan, Tanon, Sragen. E-mail : tri.wahyunil97@gmail.com No. Telp : 085728810441

PROPOSAL

PENGAJUAN PENELITIAN

DI KANTOR SAMSAT BERSAMA SURABAYA SELATAN

(22)

DI SUSUN OLEH :

NAMA

: BIMO HIDAYATULLOH

NIM

: 13031069

DiajukankepadaFakultasIlmuSosial Dan PolitikUniversitasBhayangkara Surabaya

untukmemenuhisebagaipersyaratangunamemperolehgelarsarjanaAdministrasiPublik

TahunAjaran

2016-2017

LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL PENELITIAN

Judul skripsi

:

’’Kualitaskinerjasumberdayamanusiadalammeningkatkanpelayananpublikkendar

aanbermotor di samsatketintangsurabaya’’

Nama

: Bimo Hidayatulloh

(23)

Program studi

: Administrasi Publik

Fakultas

: IlmuSosial Dan Politik

Disetujui untuk melakukan penelitian :

Menyetujui :

KaprodiAdministrasiPublik

MengesahkanDekan FISIP

BagusAnanda S.AP.M.AP

ISMAIL S.SOS M.SI

NIP.216000172

NIP.216000168

KATA PENGANTAR

(24)

Laporan proposal ini disusun sebagai salah satu syarat permohonanmelakukanpenelitian di samsatketintang Surabaya.Penulis menyadari

dalam penyusunan proposal Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan

dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1.BapakDrs.Ismail,M.Siselakudekanfakultasilmusosialdanpolitik,universitasbhayangk arasurabaya

1.Ibu Dra.Dewi Amartani,M.Si selakudosenpembibing 1 (pertama) fakultas ilmu sosial dan politik,Universitas Bhayangkara Surabaya

2.Ibu Dra.Tri Prasetijowati,M.Si selaku dosenpembibing 2 (kedua) fakultas ilmu sosial dan politik,Universitas Bhayangkara Surabaya

4.Segenap para dosen fakultas ilmu sosial dan politik,Universitas Bhayangkara Surabaya yang telah memberikan ilmunya kepada saya

5.Orang tua,saudara-saudara kami atas bimbingan,doa serta kasih sayangnya

Kami menyadari proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga akhirnya laporan proposal skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.

Surabaya,25Januari 2017

Peneliti

BimoHidayatulloh

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakangPenelitian

(25)

konsumen (Tjiptono, 2007).

Kualitas pelayanan

(service quality) dapat diketahui dengan

cara membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka

terima / peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan / inginkan terhadap

atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan. Jika jasa yang diterima atau dirasakan (perceived

service) sesuai dengan yang diharapkan, maka

kualitas pelayanan

dipersepsikan baik dan

memuaskan, jika jasa yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan

dipersepsikan sangat baik dan berkualitas.Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah

daripada yang diharapkan maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk.

Menurut Kotler (2002:83) definisi pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat

ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak

mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada

satu produk fisik. Pelayanan merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi

kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri.

Kotler juga mengatakan bahwa perilaku tersebut dapat terjadi pada saat, sebelum dan

sesudah terjadinya transaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi akan

menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang lebih sering. Kata kualitas

mengandung banyak definisi dan makna, orang yang berbeda akan mengartikannya secara

berlainan tetapi dari beberapa definisi yang dapat kita jumpai memiliki beberapa kesamaan

walaupun hanya cara penyampaiannya saja biasanya terdapat pada elemen sebagai berikut:

1.Kualitasmeliputiusaha memenuhi atau melebihkan harapan pelanggan.

2.Kualitasmencakup produksibarangdanjasa

3.Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah.

(26)

masyarakat harus senantiasa baik dan berkualitas mendekati harapan masyarakat karena baik

buruknya pelayanan publik yang diberikan birokrat kepada masyarakat sering dijadikan tolak

ukur keberhasilan suatu instansi pemerintah. Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap

(SAMSAT) Kota Surabaya merupakan salah satu instansi Pemerintah kota Surabaya yang

bertugas memberikan pelayanan publik berupa barang dan jasa secara langsung kepada

masyarakat. Pembentukan SAMSAT Kota surabaya dimaksudkan untuk memperlancar,

mempermudah dan mempercepat pelayanankepadamasyarakat. SAMSAT Kota surabaya

merupakan suatu sistem kerjasama terpadu antara POLRI, Dinas Pendapatan Provinsi dan PT

Jasa Raharja. Pelayanan di SAMSAT Kota surabaya meliputi berbagai macam

pelayanan/pengurusan pajak kendaraan bermotor. Jenis-jenis pengurusan pajak kendaraan

bermotor di SAMSAT Kota Surabaya antara lain pelayanan untuk menerbitkan Surat Tanda

Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor, Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Pemungutan Pajak Kendaraan

Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) serta Sumbangan Wajib

Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLJJ). SAMSAT dapat diibaratkan sebagai suatu

cabang birokrasi yang berada di tengah-tengah birokrasi dan masyarakat. Pada posisinya

dimasyarakat cabang SAMSAT harus memberikan pelayanan yang memuaskan kepada

masyarakat sebagai pengguna layanan baik pelayanan barang maupun pelayanan jasa. Dalam

kaitannya dengan pemungutan pajak kendaraan bermotor maka SAMSAT berkewajiban

untuk memberikan pelayanan yang optimal. Wibawa (2005:178) menjelaskan bahwa terdapat

beberapa alasan SAMSAT harus memberi pelayanan yang optimal yaitu wajib pajak

memiliki hak untuk dihormati, wajib pajak bukan bawahan instansi yang dapat diperintah

paksa, pajak merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta merupakan instansi

berkepentingan untuk memberi kepuasan dalam pelayanan pengurusan kendaraan bermotor.

1.2 FokusPenelitian

Berdasarkanlatarbelakang

di

atas,

makafokuspenelitianiniadalah:’’Kualitaskinerjasumberdayamanusiadalammeningkatkanpelayana

npublik disamsatketintangsurabaya’’

(27)

Berdasarkanlatarbelakangmasalah

yang

telahdikemukanmakapenulisberusahamengidentifikasimasalah

yang

ditemukandalampembahasaninisebagaiberikut:

1. Bagaimana penyelenggaraan

kualitaskinerjapelayanpublik yang ada di

samsatketintangkotasurabaya?

2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung penyelenggaraan pelayanan pengurusan kendaraan

bermotor di SAMSATketintangkotasurabaya?

3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat penyelenggaraan pelayanan kendaraan bermotor di

SAMSATketintang Kota surabaya?

Adapun yang menjaditujuandalampenelitianiniadalahsebagaiberikut :

1. Untuk memahami dan mengetahui penyelenggaraankualitas pelayanan kendaraan bermotor di

SAMSATketintang Kota Surabaya.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung penyelenggaraankualitas pelayanan

kendaraan bermotor di SAMSATketintang Kota surabaya.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penyelenggaraankualitas pelayanan

kendaraan bermotor di SAMSATketintang Kota surabaya.

1.4 KegunaanPenelitian

Melaluipenelitianinipenelitiberharapadabeberapamanfaat

yang

dihasilkanbaikmanfaatteoritismaupunmanfaatpraktis, yaitu :

1.Kegunaan Teoritis : Penelitianinidiharapkandapatmemberimasukan

yangbermanfaatbagistudiAdministrasipublik

yang

akhir-akhirinimakinbanyakmemperolehkajiandariberbagaidisiplinilmu.Penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan referensi, menambah informasi dan pengetahuan mengenai

penyelenggaraan pelayanan kendaraan bermotor, faktor pendukung dan hambatan-hambatan

dalam pelayanan kendaraan bermotor.

2.KegunaanPraktis

:

Secarapraktispenelitianinidiharapkandapatmerefleksikanstrategipelayanandalammeningkatkanku

alitaskinerjapelayananpublik,

Referensi

Dokumen terkait

mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, lubb merupa- kan inti dari segala hati yang terkait dengannya cahaya tauhid, di mana cahaya-cahaya seperti Islam, iman, dan makrifat

Ke lima jenis fakultas yang dimiliki oleh IAIN Alauddin Makassar (kini UIN Alauddin Makassar), pada saat itu telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Oleh karena itu, tentu menjadi perlu kembali memikirkan ulang model praksis yang ideal dan rasional bagi konteks pembangunan Nasional, khususnya yang berkaitan dengan perlu

Manajemen Kepala Sekolah dalam Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Gemuh.. Semarang: Tesis tidak diterbitkan, dalam

Untuk penggunaan bahan baku selama satu minggu berbeda, untuk hari senin dan jumat lebih banyak menggunakan bahan baku yaitu, sebanyak 11 Kg kacang kedelai

a) Mahasiswa dapat mencari judul-judul yang sudah pernah diajukan oleh mahasiswa lain sehingga dapat mengurangi tingkat plagiarisme atau sebagai referensi dalam

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu