• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI MASYARAKAT DENGAN HUTAN STUDI KAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI MASYARAKAT DENGAN HUTAN STUDI KAS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI MASYARAKAT DENGAN HUTAN

STUDI KASUS PENURUNAN JUMLAH HUTAN MANGROVE AKIBAT

PEMBUKAAN TAMBAK WILAYAH SUMATERA UTARA

MAKALAH PENGGANTI UJIAN TENGAH SEMESTER

MATAKULIAH

HUKUM LINGKUNGAN

AZHAR FIRDAUS

1106143415

FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM KAJIAN ILMU LINGKUNGAN

(2)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak

pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di

tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk

yang terlindung dari gempuran ombak,maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan

mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Wilayah terluas di dunia yang memiliki hutan mangrove adalah wilayah hutan mangrove

yang terdapat di Indonesia, yaitu dengan luas antara 1,5 hingga 4,5 juta hektar. Melebihi Brazil

(1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dd, 1997 dalam Noor ddk,

1999). Hutan mangrove Indonesia yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif

tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatera,

dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Hutan-hutan pantai utara Pulau Jawa telah lama

terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan

Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di

sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas

hutan bakau di Indonesia.

Hutan mangrove Indonesia begitu luas tetapi kondisi hutan tinggal 25 persen yang masih

bertahan lestari. Penurunan hutan mangrove ini akibat dari pembuatan tambak ikan dan budidaya

kelautan lainnya. Produksi tambak sendiri hanya bertahan selama 10 tahun setelah hutan

mangrove ditebang. Akibatnya lahan menjadi tidak produktif. Tanah telah kehabisan semua

unsur hara yang diperlukan untuk kehidupan berikutnya.

Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air

dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan

adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Manfaat tambak sendiri dari segi ekonomi

(3)

2 tinggi mendorong masyarakat untuk membuka usaha tambak udang. Tidak hanya masyarakat

dalam negeri namun juga para investor asing.

Melihat manfaat tambak yang cukup tinggi, bukan berarti hutan mangrove tidak memiliki

fungsi yang penting. Hutan mangrove berfungsi untuk meredam gelombang dan angin,

pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai oleh air laut, penahan intrus air laut ke darat,

penahan lumpur dan perangkap sedimen. Hutan mangrove juga terbukti sebagai penghasil

jumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut. Sebagai

daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah

pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Sebagai habitat

bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilian (biawak, ular), dan mamalia (monyet). Sebagai

penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas. Dan tidak

mustahil, hutan mangrove dapat dikelola menjadi lokasi ekowisata.

Seperti dijelaskan di atas, hutan mangrove di Indonesia hanya tinggal 25 persen.

Permasalahan utama adalah karena ditebangnya hutan mangrove untuk lahan tambak. Kerugian

dapat dilihat dari rusaknya ekosistem di hutan mangrove. Relasi masyarakat dengan hutan sudah

tidak tertanam lagi. Manfaat dari segi ekonomi yang membuat masyarakat mengubah hutan

mangrove menjadi lahan tambak. Kenyataan sebenarnya bahwa hutan sudah ada sebelum

manusia ada. Hutan begitu menjaga kelestariannya tanpa bantuan manusia. Tetapi manusia

selama ini tidak berusaha menjaga alam itu sendiri. Dengan melakukan penebangan hutan

mangrove untuk dijadikan lahan tambak.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40 menyebutkan Rehabilitasi hutan

dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan

dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan tetap terjaga. Kondisi hutan mangrove disesuaikan dengan

Undang-undang tersebut sudah mulai ada pemulihan kembali di beberapa wilayah Indonesia. Tetapi itu

semua belum optimal. Alasan mengapa belum optimal ini akan diteliti mengenai relasi

masyarakat dengan hutan mangrove. Relasi ini bisa menumbulkan dampak positif maupun

(4)

3 Studi kasus yang diambil tepatnya di wilayah Kecamatan Sicanggang, Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara. Kawasan yang ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa semenjak

pemerintahan Belanda dengan nama “Karang Gading” mempunyai luas sekitar 9.520 ha.

Sebagian besar dari kawasan hampir gundul karena penebangan liar dan pembukaan lahan-lahan

pertanian. Sekitar 2.000 ha dari kawasan telah berubah menjadi tambak udang.

1.2 Rumusan Masalah

Makalah ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan mengenai relasi masyarakat dengan

hutan studi kasus masalah penurunan jumlah hutan mangrove akibat pembukaan tambak daerah

Kalimantan Timur yaitu:

1. Bagaimana relasi masyarakat dengan hutan mangrove?

2. Apa solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi perubahan hutan mangrove di

Sumatera Utara menjadi lahan tambak?

1.3 Tujuan Makalah

Makalah ini disusun untuk membeirkan wawasan mengenai masalah hukum lingkungan

dalam aspek ilmu sosial. Tujuan dari makalah ini yaitu:

1. Mengkaji relasi masyarakat dengan hutan mangrove

2. Memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi perubahan hutan mangrove di Sumatera

(5)

4 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kondisi Hutan Mangrove di Sumatera Utara

Luas hutan mangrove di pulau Sumatera kurang lebih 657.000 ha. Dari total ini sekitar 30

persen (kurang lebih 200.000 ha) dapat ditemukan di propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan

penafsiran Citra Landscape, diketahui luasan mangrove di propinsi Sumatera Utara mengalami

penurunan yang sangat cepat dari waktu ke waktu. Dari luas kurang lebih 200.000 ha pada tahun

1987, tinggal 15 persen atau kurang lebih 31.885 ha yang berfungsi baik pada tahun 2001

(Laporan Status Lingkungan, 2002).

Dari data tersebut dapat diambil penjelasan bahwa kondisi hutan mangrove di propinsi

Sumatera Utara sedang mengalami tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan

sehingga mengakibatkan hilangnya kawasan hutan mangrove sekitar 85 persen atau kurang lebih

168.145 ha dalam kurun waktu 14 tahun.

Penyebaran hutan mangrove yang masih tersisa di propinsi Sumatera Utara meliputi

Kabupaten Langkat (9.340 ha), Kabupaten Deli Serdang (6.425 ha), Kabupaten Asahan (150 ha),

Kabupaten Madina (2.900 ha) dan Kabupaten Nias (9.570 ha). Hamparan hutan mangrove

terluas terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten

Deli Serdang.

Kegiatan yang mengakibatkan penurunan hutan mangrove di Sumatera Utara salah

satunya dengan melakukan tambak udang. Tambak udang ada, karena sebelumnya telah

dilakukan penebangan hutan mangrove. Kualitas udang yang semakin tinggi harganya membuat

masyarakat terus menerus melakukan penebangan hutan mangrove.

Pekerjaan masyarakat sendiri sebelumnya menjadi nelayan dan penghasilan yang didapat

tidak seberapa daripada melakukan kegiatan tambak udang. Alasan ini yang membuat nelayan

melihat dari segi ekonomi untuk kebutuhan hidup mereka. Tidak adanya kesadaran untuk

menjaga alam yaitu hutan mangrove.

Eksploitasi yang dilakukan oleh masyarakat sudah merusak ekosistem yang ada di laut.

(6)

5 dan alam. Rusaknya hutan mangrove yang berlangsung secara terus menerus ini berpotensi

menurunkan produksi dari perikanan laut. Kerusakan ini merupakan kerusakan jangka panjang

dan perlu waktu lama untuk mengembalikannya.

2.2 Teori Konsepsi Pengelolaan Hutan Berwawasan Ketahanan Nasional

Pengelolaan hutan berwawasan ketahanan nasional adalah upaya sadar dan terencana

untuk memanfaatkan dimensi geografi, demografi, kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi,

sosial-budaya, dan pertahanan keamanan dari sumberdaya hutan nasional secara integratif,

holistik, dan berkelanjutan guna memperkokoh ketahan nasional. Dengan perkataan lain

konsepsi pengelolaan hutan berwawasan ketahanan nasional memandang sumberdaya hutan

sebagai salah satu unsur kekuatan nasional yang dapat mendukung keuletan dan ketangguhan

bangsa dalam menghadapi tantangan, ancaman, dan hambatan, baik yang datang dari luar

maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas,

dan kelangsungan hidup bangsa dan nerga serta perjuangan mencapai tujuan nasional.

Pengelolaan hutan yang berwawasan ketahanan nasional selayaknya akomodatif terhadap

dinamika dan peran serta masyarakat serta sistem nilai yang berkembang di dalam masyarakat,

khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Dengan perkataan lain pengelolaan hutan

yang berwawasan ketahanan nasional selayaknya dapat menjamin akses masyarakat terhadap

sumber daya tersebut, pengakuan atas hak-hak tradisional, serta manfaat bagi masyarakat lokal.

Terbukanya akses masyarakat kepada sumber daya hutan juga harus meningkatkan peran sumber

daya hutan sebagai sumber pengetahuan. Salah satu faktor penting dalam pencapaian

pengelolaan hutan yang berwawasan ketahanan nasional adalah dicapainya social equity, yang

dasarnya adalah bahwa rakyat kecil dan masyarakat lokal (apakah penghuni hutan, masyarakat

setempat atau penduduk asli) tidak dirugikan. Tolak ukurnya adalah bahwa kehidupan mereka

(7)

6 2.3 Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pembangunan

bangsa dan Negara. Karena hutan itu dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Manfaat itu dapat dibedakan menjadi langsung dan

tidak langsung. Di samping itu, hutan merupakan kekayaan milik bangsa dan Negara yang tidak

ternilai, sehingga hak-hak Negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan, dan

dilindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik.

Keberhasilan pembangunan di bidang kehutanan tidak saja ditentukan oleh aparatur yang

cakap dan terampil, tetapi harus juga didukung dengan peran serta masyarakat. Perlunya peran

serta masyarakat dalam perlindungan adalah didasari pemikiran bahwa dengan adanya peran

serta tersebut dapat memberikan informasi kepada Pemerintah yaitu Menteri Kehutanan dan

mengingatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.

Informasi yang diberikan/disampaikan masyarakat kepada Pemerintah beserta alat

perlengkapannya sangat penting. Karena dengan adanya informasi tersebut Pemerintah dapat

merencanakan peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan secara serba guna dan lestari di

seluruh Indonesia. Sedangkan manfaat bagi masyarakat yang telah ikut berperan serta dalam

bidang kehutanan atau cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna

menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan. Pada pihak lain, dan ini adalah penting,

peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan akan banyak mengurangi kemungkinan

timbulnya pertentangan asal peran serta masyarakat dilaksanakan pada saat yang tepat.

Kewajiban peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan diatur dalam Pasal 15 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang berbunyi: Untuk menjamin terlaksananya

perlindungan hutan ini dengan sebaik-sebaiknya maka rakyat diikutsertakan. Selanjutnya di

dalam penjelasannya disebutkan bahwa kewajiban melindungi hutan adalah bukan kewajiban

dari pemerintah semata-mata, akan tetapi merupakan kewajiban dari seluruh rakyat, karena

(8)

7

3.

PEMBAHASAN

3.1 Relasi Masyarakat dengan Hutan Mangrove

Relasi masyarakat dengan alam seharusnya seimbang. Baik itu relasi masyarakat dengan

laut maupun relasi masyarakat dengan hutan. Kondisi hutan di Indonesia semakin buruk

diakibatkan semakin banyaknya pembalakan liar dari hutan-hutan tersebut. Pembalakan liar juga

terjadi di kawasan hutan lindung. Peraturan Pemerintah sudah menetapkan bahwa dilarang

melakukan pembalakan liar di kawasan tersebut.

Kegiatan pembalakan liar dilakukan untuk membuka lahan tambang terbuka. Kegiatan

lain adalah dengan adanya pembukaan lahan tambak yang terjadi di Sumatera Utara. Pembukaan

tambak yang dilakukan oleh masyarakat di Sumatera Utara karena adanya tekanan ekonomi.

Manfaat hutan mangrove yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tidak terlalu besar. Kemudian

penghasilan dari masyarakat Sumatera Utara sebagai nelayan tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Masyarakat akhirnya melakukan cara lain dengan menebang hutan

mangrove yang kemudian diubah menjadi lahan tambak.

Perubahan hutan mangrove menjadi lahan tambak akan menjadi masalah ketika dalam

skala besar. Masalahnya yaitu rusaknya ekosistem mangrove. Tetapi dalam skala kecil, tidak

terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove. Selain rusaknya ekosistem mangrove, rantai

makanan yang sebelumnya ada menjadi hilang akibat perubahan lahan. Hasil perikanan juga

menjadi menurun. Akibat-akibat yang terjadi karena kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang

lebih bagi kehidupan sehari-hari.

Relasi masyarakat yang terjadi di wilayah Sumatera Utara semakin menurun. Masyarakat

cenderung melakukan perubahan lahan tanpa tahu sebab akibatnya. Perubahan lahan yang

mereka lakukan karena harga udang di dunia semakin tinggi. Masyarakat dengan mudahnya

mengubah lahan mangrove menjadi lahan tambak. Tidak adanya proses pemulihan kembali

(9)

8 3.2 Solusi untuk Mengatasi Perubahan Hutan Mangrove menjadi Lahan Tambak

Sebelum membahas mengenai solusi yang tepat untuk masalah ini. Kita perlu mengetahui

kebijakan pengelolaan hutan dan penerapannya di Indonesia. Selama periode Orde Baru,

kebijakan kehutanan berpusat pada skala besar dan melibatkan hanya beberapa gelintir pelaku di

tingkat pusat. Hak dan akses sumber daya alam diberikan atas dasar patronase politik, yang

menguntungkan pihak yang berkuasa saat itu dan pelaku bisnis tertentu. Pada tahun 1995,

misalnya, pemerintah telah mengeluarkan izin pengelolaan hutan kepada 585 HPH (Hak

Pengusahaan Hutan) yang menguasai 62 juta hektar hutan, atau hampir separuh dari luas hutan

Indonesia saat itu (Brown, 1999). Hal ini telah menyebabkan pengelolaan hutan yang tidak

bertanggung jawab: hutan dianggap sebagai mesin uang belaka. Kegiatan pembalakan kayu

secara besar-besaran ini dibarengi dengan kemampuan pemantauan yang kurang memadai dari

pihak pembuat kebijakan.

Selain kebijakan tersebut ada yang disebut kebijakan pidana untuk upaya

penanggulangan suatu kejahatan. Suatu usaha untuk mewujudkan suatu peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dari situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang

akan datang. Dalam kebijakan pidana ini secara operasional harus melengkapi unsur-unsur

sebagai berikut. Pertama, kebijakan legislatif yaitu tahapan perumusan/penyusunan hukum

pidana. Kedua, kebijakan yudikatif yaitu tahap penerapan hukum pidana. Ketiga, kebijakan

eksekutif yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. Namun, sebaik peraturan hukum yang

dipersiapkan belum dapat menjadi jaminan bilaman dalam penerapannya tidak dilakukan dalam

suatu sistem peradilan pidana yang terpadu. Seperti contoh kasus yang terjadi dalam penelitian

ini.

Penelitian ini menyebutkan bahwa pengelolaan hutan mangrove sudah diatur dalam

peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, tidak sedikit

perusahaan melanggar peraturan tersebut. Bahkan, masyarakat sekitar hutan mangrove ikut

berperan aktif dalam perusakan hutan mangrove. Perusakan hutan mangrove yang mereka

lakukan adalah dengan menebang habis hutan mangrove dan dirubah menjadi lahan tambak.

Kegiatan perusakan yang terjadi akibat tidak adanya sifat saling melengkapi mengenai

(10)

9 Solusi yang tepat adalah dengan melakukan penjagaan di setiap lokasi mangrove oleh

para penjaga lingkungan dari berbagai lembaga lingkungan. Penjagaan ini dilakukan agar tidak

adanya perubahan hutan mangrove secara berlebihan untuk lahan tambak. Selain penjagaan,

perlu adanya pengetahuan bagi masyarakat manfaat hutan mangrove secara luas. Ketika

masyarakat sudah mengetahui manfaat mengenai hutan mangrove, perlu adanya pengontrolan di

sekitar hutan mangrove. Pengontrolan ini diperlukan agar masyarakat tidak melakukan kembali

pembalakan liar di lahan mangrove.

Ketiga proses ini tentu saja ada hambatan yang terjadi. Konflik akan terjadi baik dalam

penjagaan, pemberian pengetahuan, dan pengontrolan. Biasanya yang terjadi adalah adanya

pihak oknum yang melanggar peraturan tersebut. Beberapa penyelesaian yang dilakukan dari

hambatan tersebut adalah dengan model negosiasi dan model mediasi. Proses negosiasi selalu

bertumpu pada kemampuan masing-masing pihak dalam mengajukan dan menawarkan wujud

kompromitas, menentukan kepentingan, kompetitif yang akan dibahas, dan dalam proses “Joint

Problem Solving” harus menerapkan mekanisme solusi yang dapat diterima oleh kedua belah

pihak. Sedangkan untuk proses penyelesaian perkara melalui model mediasi dalam proses

peradilan hukum dapat dilakukan di luar Lembaga Peradilan dan di dalam proses peradilan

hukum dengan terlebih dahulu mendapatkan kesepakatan dari para pihak dan memilih serta

menentukan pihak atau orang tertentu sebagai Mediator yang ditunjuk dan dipercayakan untuk

membangun dan menjalankan proses mediasi dalam penanganan sengketa atau masalah tersebut.

Ketika proses ini telah dilakukan dengan memperhitungkan hambatan yang ada,

diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan .utan mangrove secara bijaksana tanpa merusak

(11)

10

4.

KESIMPULAN

Relasi masyarakat dengan hutan di wilayah Kecamatan Sicanggang, Kabupaten Langkat,

Sumatera semakin menurun. Masyarakat cenderung lebih memikirkan untuk pemenuhan

kebutuhan sehari-hari. Akibatnya hutan mangrove ditebang dan kemudian dirubah menjadi lahan

tambak. Perubahan menjadi lahan tambak disebabkan karena meningkatnya harga udang dunia.

Tetapi ekosistem mangrove dan rantai makanan menjadi terganggu akibat pembukaan tambak

ini.

Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan tiga proses kegiatan. Proses

pertama yaitu adanya penjagaan di sekitar lahan mangrove. Kedua, proses pemberian

pengetahuan mengenai mangrove bagi masyarakat. Ketiga, adanya pengontrolan yang dilakukan

di sekitar lahan mangrove. Ketiga proses ini ketika mengalami hambatan, perlu adanya proses

untuk mengatasinya yaitu dengan proses negosiasi dan mediasi. Ketiga proses ini yaitu

penjagaan, pemberian pengetahuan dan pengontrolan harus dilakukan dengan proses

keberlanjutan yang memperhitungkan hambatan-hambatan yang ada, agar relasi masyarakat dan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap mengenai jajanan aman dengan perilaku memilih jajanan pada siswa kelas V SD

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan

NOMOR 34 TAHUN 2010 TANGGAL 12 Januari 2010 DAFTAR LAMPIRAN PESERTA TUGAS BELAJAR PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PADA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA BAGI

Apakah yang akan kamu lakukan, jika memiliki teman yang selalu mempermasalahkan perbedaan ras (warna kulit) atau suku bangsa.. Tuliskan ciri-ciri orang yang memiliki rasa

Kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada press release PT. Bank Sumut peneliti tidak menemukan adanya strategi yang khusus dilakukan ketika menulis press release oleh

Dari hasil penelitian dan wawancara terhadap responden didapatkan informasi bahwa jumlah ganti rugi yang diterima oleh petani termasuk dalam kategori rendah, hal

Jadi dapat disimpulkan bahwa dosis efektif ekstrak daun tembelekan 1500mg/kgBB yang memiliki aktivitas antiinflamasi lebih baik pada penurunan radang kaki tikus

Definisi operasional disusun untuk menghindari kesalahpahaman dalam istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini. Beberapa definisi operasional pada penelitian