• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru - Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru - Korelasi Konsep Diri dengan Kepatuhan Pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri aerob berbentuk batang dan tidak berbentuk spora (Knechel, 2009). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh M. Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast bacillus). TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black

& Hawks, 2012).

2.1.2. Transmisi TB paru

Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet di udara, yang disebut nukleus droplet, disebabkan oleh batuk, bersin, berbicara atau nyanyian dari orang

dengan tuberkulosis paru atau laring. Droplet yang sangat kecil tinggal di udara

selama beberapa menit hingga jam setelah meludah. Jumlah basil pada droplet,

virulensi basil, terpaparnya basil pada sinar ultraviolet, dan derajat ventilasi

mempengaruhi transmisi. Masuknya M tuberculosis ke paru memicu infeksi sistem pernafasan; meskipun organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti

limpa, tulang/sendi, atau meningen dan menyebabkan tuberkulosis

(2)

2.1.3. Patofisiologi

Sekali dihirup, droplet infeksius diam di sepanjang jalan nafas. Sebagian

besar basil tertahan di bagian atas jalan nafas dimana terdapat sel goblet yang

mensekresi mukus. Mukus yang dihasilkan menangkap substansi asing, dan silia

pada permukaan sel secara terus menerus mendorongpartikel yang terjebak untuk

berpindah. Sistem ini menyebabkan tubuh mengeluarkan pertahanan fisik awal

yang mencegah infeksi pada sebagian besar orang yang terkena tuberkulosis

(Knechel, 2009).

Bakteri pada droplet yang melewati sistem mukosiliari dan mencapai alveoli

dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag alveolar, sel efektor imunitas

yang paling banyak di rongga alveolar. Makrofag ini, garis pertahanan host

berikutnya, adalah bagian dari sistem imunitas bawaan dan memberikan

kesempatan bagi tubuh untuk merusak mycobakteria yang masuk dan mencegah

infeksi. Makrofag memiliki sel fagosit yang melawan banyak patogen tanpa

membutuhkan pajanan terhadap patogen sebelumnya. Beberapa mekanisme dan

reseptor makrofag terlibat dalam penangkapan mycobacteria. Lipoarabinomannan

mycobacterial adalah kunci untuk reseptor makrofag (Knechel, 2009).

Sistem tambahan juga memainkan peranan dalam fagositosis bakteri. Protein

C3 terikat pada dinding sel dan meningkatkan pengenalan makrofag terhadap

mycobakteri. Opsonisasi oleh C3 terjadi cepat, meskipun di ruang udara host

(3)

infeksi yang berhasil pada tuberkulosis laten, atau kemajuan penyakit aktif, yang

disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil utama ditentukan oleh kualitas dari

pertahanan host dan keseimbangan yang terjadi antara pertahanan host dan invasi mikobakteri (Knechel, 2009).

Setelah dicerna oleh makrofag, mikobakteria terus bermultiplikasi dengan

lambat, dengan pembelahan sel setiap 25 sampai 32 jam. Dengan menghiraukan

apakah infeksi terkontrol atau berkembang, perkembangan awal terkait produksi

enzim proteolitik dan sitokin oleh makrofag sebagai usaha untuk menurunkan

bakteri. Pelepasan sitokin menarik limfosit T pada bagian sel dimana merupakan

imunitas sel. Makrofag kemudian menghadirkan antigen mikobakteria pada

permukaan sel T (Knechel, 2009).

Proses imun awal berlanjut hingga 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme

terus bertumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk mendapatkan

respon imun sel segera yang dapat terdeteksi dengan tes kulit. Untuk orang

dengan imunitas sel yang lengkap, langkah pertahanan berikutnya adalah

pembentukan granuloma di sekitar organisme M tuberculosis. Lesi tipe nodular ini terbentuk melalui akumulasi dari aktivasi limfosit T dan makrofag, yang

membentuk lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan penyebaran

mikobakteri. Lingkungan ini merusak makrofag dan menghasilkan nekrosis solid

awal pada pusat lesi meskipun basilus mampu beradaptasi untuk dapat bertahan.

(4)

Dalam 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik menyerupai keju lunak, selalu

menyerupai nekrosis seperti kayu, dan dikarakteristikkan degan level oksigen

yang rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini membatasi

perkembangan lebih lanjut dan tetap tersembunyi. Lesi pada orang dengan sistem

imun yang adekuat umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, secara sukses

mengontrol infeksi sehingga basilus terkandung di dalam dorman, lesi yang

sembuh. Lesi pada orang dengan sistem imun yang kurang efektif berlanjut

menjadi tuberkulosis progresif primer. Untuk orang dengan kemampuan imun

yang rendah, pembentukan granuloma yang dimulai akhirnya tidak berhasil

mengisi basilus. Jaringan nekrotik mengalami pencairan, dan dinding fibrosa

kehilangan integritas struktural (Knechel, 2009).

Material nekrotik semiliquid dapat dialirkan ke bronkus atau dekat dengan

pembuluh darah, meninggalkan kavitas yang dipenuhi udara pada bagian semula.

Jika keluarnya melalui pembuluh darah terjadi, kemungkinan besar terjadi

tuberkulosis ekstrapulmonal. Basilus juga dapat dialirkan ke sistem limfatik dan

terkumpul di nodus limfa trakeobronkial pada paru yang terkena, dimana

organisme dapat membentuk granula baru seperti kayu (Knechel, 2009).

2.1.4. Manifestasi Klinis

Knechel (2009) mengatakan Tuberkulosis berkembang berbeda-beda pada

setiap pasien, tergantung kepada status sistem imun pasien. Tahapan terdiri dari

fase laten, penyakit primer, penyakit primer progresif, dan penyakit

ekstrapulmonal. Masing-masing tahap memiliki manifestasi klinis yang

(5)

Tabel 2.1

(6)

Tampilan klinis klasik dari Tuberkulosis paru yaitu batuk kronis, produksi

sputum, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, demam, keringat

malam, dan hemoptisis. TB ekstrapulmonal terjadi 10-42 % pasien, tergantung

pada ras dan latar belakang etnik, usia, ada atau tidaknya penyakit penyerta,

genotipe dari M. tuberculosis strain, dan status imun (Zumla, et al., 2013).

2.1.4. Diagnosis a. Infeksi laten

Skreening dan pengobatan untuk infeksi M. Tuberculosis laten diindikasikan untuk kelompok dimana prevalensi infeksi laten tinggi (contoh. Orang asing yang

berasal dari daerah endemik tuberkulosis), kelompok dengan resiko tinggi

berulang kembalinya penyakit (cth. Pasien dengan infeksi HIV atau diabetes dan

pasien yang menerima terapi imunosupresi), dan kelompok dengan kedua faktor

tersebut (cth. Interaksi dengan pasien tuberkulosis). Infeksi laten dapat didiagnosa

dengan tes kulit tuberkulin atau menguji kadar pelepasan interferon-gamma. Tes

kulit tuberkulin lebih murah dan oleh karena itu dianjurkan pada daerah ekonomi

rendah. Sensitifitas tes kulit tuberkulin sama dengan uji kadar pelepasan

interferon-gamma tetapi kurang spesifik (Zumla, et al., 2013).

b. Tuberkulosis Aktif

Kultur dan mikroskopik sputum pada medium cair dengan uji kerentanan obat

berikutnya adalah rekomendasi sebagai metode standar untuk mendiagnosa

tuberkulosis aktif. Uji kada interferon-gamma dan tes kulit tuberkulin tidak

(7)

citraan, dan pemeriksaan histopatologi dari sampel biopsi mendukung evaluasi.

Diagnostik molekular baru yang disebut uji sesitifitas Xpert MTB/RIF mendeteksi

M. Tuberculosis komplek dalam 2 jam, dengan uji sensitifitas yang lebih tinggi

dari usapan mikroskopi. Uji molekular ini potensial untuk meningkatkan (Zumla

et al., 2013).

c. Drug-Resistant Tuberculosis

Standar terkini uji kerentanan obat utama merupakan sistem kultur liquid

otomatis, yang membutuhkan 4 sampai 13 hari untuk hasilnya. Dalam 2 jam, uji

kadar Xpert MTB/RIF secara bersamaan memberi hasil terhadap resistensi

rifampin, mewakili multidrug resistant tuberkulosis pada tempat dimana

prevalensi tnggi dari resistensi obat, sejak resistensi rifampin pada ketiadaan

resistensi isoniazid luar biasa (Zumla et al., 2013).

Modifikasi uji kadar telah diperkenalkan untuk menurunkan kesalahan positif

WHO telah merekomendasikan bahwa ketika uji kerentanan obat dilakukan

diwaktu yang sama juga dilakukan uji kadar Xpert MTB/RIF untuk

mengkonfirmasi resistensi rifampicin dan kerentanan M.tuberculosis terhadap obat lain. Uji skreening lain untuk resistensi obat yaitu uji kadar microscopic-observation drug-susceptibility (MODS), uji kadar nitrat reduktase, dan metode reduktase colorimetric. Uji kadar MODS secara simultan mendeteksi M. Tuberculosis bacilli, pada dasar pembentukan ikatan, resistensi isoniazid dan rifampicin. Sejak hampir semua dari metode ini tidak tersedia di negara-negara

(8)

resistant TB terdiagnosa di seluruh dunia dan hanya setengahnya yang menerima pengobatan yang tepat (Zumla et al., 2013).

2.1.5. Pengobatan a. Infeksi Laten

Pasien dengan infeksi M tuberculosis laten berisiko tinggi terhadap tuberkulosis aktif sehingga memerlukan pengobatan preventif. Regimen yang

dianjurkan adalah isoniazid saja untuk 9 bulan atau durasi yang lebih lama pada

pasien yang terinfeksi HIV di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi.

Baru-baru ini observasi langsung setiap minggu untuk pemberian isoniazid dan

rifapentine untuk 12 minggu telah menunjukkan keefektifan isoniazid saja pada

dewasa tanpa infeksi HIV di negara dengan beban tuberkulosis yang rendah.

Pedoman WHO terbaru merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi

HIV dengan hasil tes tuberkulin kulit positif atau tidak diketahui dan tanpa

tuberkulosis aktif yang tinggal di negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi

menerima terapi pencegahan dengan isoniazid paling sedikit 6 bulan. Tiga

regimen efektif untuk mencegah tuberkulosis aktif pada orang yang terinfeksi

HIV yaitu isoniazid yang dikonsumsi setiap hari untuk 6 sampai 9 bulan, rifampin

yang dikonsumsi setiap hari untuk 3 bulan, dan rifampin dan isoniazid dua kali

seminggu untuk 3 bulan. Regimen yang berisi rifampin memiliki angka toksisitas

obat yang lebih tinggi dengan yang tidak berisi rifampin. Kesulitan mendiagnosa

tuberkulosis aktif pada pasien dengan koinfeksi HIV menyebabkan lambatnya

terapi pencegahan isoniazid pada praktik klinik. Hanya pasien dengan tes

(9)

angka tuberkulosis aktif dan kematian, dan perlindungan terhadap tuberkulosis

menurun dalam beberapa bulan setelah berhentinya terapi isoniazid (Zumla et al.,

2013).

b. Drug-Sensitive Active Tuberculosis

Pengobatan tuberkulosis yang efektif membutuhkan diagnosis yang akurat

dan dini, skreening untuk resistensi obat dan HIV, pemberian regimen yang

efektif di bawah supervisi, dan adanya dukungan pada pasien untuk memenuhi

seluruh rangkaian pengobatan. Standar terbaru regimen pengobatan dengan empat

obat (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan ethambutol) mencapai angka

kesembuhan lebih dari 95% pada kondisi percobaan dan lebih dari 90% pada

pengobatan dengan kelalaian program kontrol tuberkulosis. Pengobatan

membutuhkan minimum 6 bulan dengan 2 fase: 2 bulan dengan semua obat pada

fase intensif dan 4 bulan dengan isoniazid dan rifampin pada fase lanjutan. Faktor

risiko kekambuhan mencakup kavitasi, luasnya penyakit, imunosupresi, dan

kultur sputum yang tetap positif pada 8 minggu. Jika ada dari faktor risiko

tersebut, terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan (Zumla et al., 2013).

Tantangan terapi mencakup ketidakkonsistenan kualitas obat, kebutuhan

untuk menjamin pemberian obat diobservasi secara langsung dan bahwa

dukungan lain disediakan bagi pasien, gangguan pengobatan dan perubahan

regimen karena efek samping, efek toksik, interaksi farmakokinetik (terutama

dengan terapi antiretroviral pada pasien dengan koinfeksi HIV), dan isu

(10)

c. Multidrug-Resistant Tuberculosis(MDR TB)

Pengobatan MDR TB berdasarkan pada opini para ahli dan membutuhkan

ciptaan kombinasi regimen obat yang dipilih dari lima kelompok hirarki

obat-obatan dari garis pertama dan garis kedua. Terapi berkaitan dengan risiko tinggi

terhadap intoleransi dan efek toksik serius. Regimen dapat dipilih berdasarkan

standar atau empiris dan kemudian diganti pada terapi individu setelah data

dianggap uji kerentanan obat menjadi ada. Akan tetapi, uji kerentanan obat yang

reliabel tidak secara luas tersedia ada di daerah dimana endemik tuberkulosis,

terutama pada obat garis kedua (Zumla et al., 2013).

Pedoman pengobatan WHO untuk MDR TB merekomendasikan bahwa pada

fase intensif terapi diberikan paling sedikit 8 bulan. Fluoroquinolone dan agen

yang dapat diinjeksikan secara rutin dimasukkan untuk menghasilkan regimen

dengan sedikitnya empat obat pada garis kedua yang akan memiliki kepastian dan

hampir pasti efektif, seperti pyrazinamide. Terapi harus diberikan untuk

sekurangnya 20 bulan pada pasien yang tidak menerima pengobatan untuk MDR

TB sebelumnya dan sampai 30 bulan bagi mereka yang sudah menerima

pengobatan sebelumnya (Zumla et al., 2013).

Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa regimen yang lebih

pendek, dengan pengobatan yang diberikan 9 sampai 12 bulan, memiliki efikasi

yang dapat diterima dan beberapa reaksi merugikan pada populasi dengan pajanan

terhadap obat garis kedua. Regimen ini lebih luas dievaluasi terus menerus dengan

(11)

obat yang direkomendasikan memiliki efek samping yang serius yang membuat

kesulitan pada pengobatan, kosultasi pada para ahli selalu disarankan untuk

pengobatan MDR TB (Zumla et al., 2013).

2.2. Konsep Diri

2.2.1 Definisi konsep diri

Konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri yang positif

penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep

diri yang positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan

interpersonal dan lebih tahan terhadap penyakit psikologis dan fisik. Individu

yang memiliki konsep diri yang kuat seharusnya lebih mampu menerima atau

beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya. Cara

pandang individu terhadap dirinya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain

(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).

Roy (1999) dalam Marriner Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa

konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang

mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi

terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari

lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh

karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku

seseorang. Roy dan Andrew mengidentifikasi 5 aspek yang berbeda dari konsep

diri, yang terdiri dari citra tubuh, sensasi tubuh, ideal diri, konsistensi diri dan

moral-etik-spiritual diri. Sensasi tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang dan

(12)

terhadap dirinya secara fisik dan pandangan seseorang terhadap penampilan

personal. Konsistensi diri adalah bagian dari diri yang berusaha untuk

mempertahankan organisasi diri yang konsisten dan mencegah

ketidakseimbangan. Ideal diri adalah apa yang seseorang inginkan atau mampu

lakukan. Moral-etikal-spiritual diri adalah aspek dari diri yang terdiri dari sistem

kepercayaan dan evaluasi dari relasi di seluruh bidang.

2.2.2. Dimensi Konsep Diri

a. Pemahaman diri: pemahaman yang dimiliki individu mengenai dirinya,

termasuk daya tilik diri terhadap kemampuan, sifat, dan keterbatasan

dirinya

b. Pengharapan diri: harapan individu, mungkin berupa harapan realistis atau

tidak realistis

c. Sosial diri: cara pandang orang lain dan masyarakat terhadap individu

d. Evaluasi sosial: penilaian individu dalam hubungan dengan orang lain,

kejadian, atau situasi (Kozier et al., 2010).

2.2.3. Komponen Konsep Diri

Konsep diri mencakup semua persepsi diri yaitu penampilan, nilai dan

keyakinan, yang memengaruhi perilaku dan ditunjukkan ketika menggunakan

kata-kata saya atau aku (Kozier et al., 2010). Konsep diri yang positif

memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada seseorang. Konsep diri

yang sehat memiliki derajat stabilitas yang tinggi dan menghasilkan perasaan

positif terhadap diri. Komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan adalah

(13)

konsep diri. Harga diri berasal dari konsep diri, dan harga diri mempengaruhi

konsep diri (Potter & Perry, 2009).

a. Identitas

Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan

konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas

menunjukkan batasan dan pemisahan dari yang lainnya. Menjadi “diri sendiri”

atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar

(Potter & Perry, 2009).

Identitas personal individu merupakan sensasi individualitas dan keunikan

yang disadari dan secara kontinu muncul sepanjang hidup. Individu sering kali

memandang identitas mereka dari nama, jenis kelamin, usia, ras, asal etnis atau

budaya, pekerjaan atau peran, bakat, dan karakteristik situasional lainnya (Kozier

et al., 2010).

Stuart & Laraia (2005) dalam Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa

pencapaian identitas merupakan hal penting dalam menjalin hubungan dekat,

karena individu mengekspresikan identitas mereka saat berhubungan dengan

orang lain. Semakin individu dikenal oleh kelompok sosial, maka akan semakin

besar harga dirinya. Seorang individu yang mengalami diskriminasi, prasangka,

atau tekanan lingkungan biasanya akan menempatkan dirinya secara berbeda dari

individu yang memiliki kondisi kehidupan sebaliknya [Ruiz et al., (2002) dalam

Potter & Perry (2009)].

Individu yang memiliki rasa identitas yang kuat mengintegrasikan citra tubuh,

(14)

ini memberi individu sensasi kontinuitas dan kesatuan kepribadian. Selain itu,

individu memandang dirinya sendiri sebagai orang yang unik (Kozier et al.,

2010).

b. Citra Tubuh

Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh

termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas,

berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2009).

Citra fisik diri, atau citra tubuh, adalah cara individu mempersepsikan ukuran,

penampilan, dan fungsi tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek

kognitif dan afektif. Kognitif adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya,

afektif mencakup sensasi tubuh, seperti nyeri, kesenangan, keletihan, dan gerakan

fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari sikap, kesadaran dan ketidaksadaran, yang

dimiliki seseorang terhadap tubuhnya (Kozier et al., 2010).

Citra tubuh mencakup fungsi tubuh dan bagian-bagiannya termasuk pakaian,

riasan, gaya rambut, perhiasan dan hal lain yang melekat pada diri individu. Citra

tubuh juga mencakup prostese tubuh, seperti kaki palsu, gigi palsu dan wig, juga

semua alat yang dibutuhkan untuk fungsi, seperti kursi roda, tongkat dan

kacamata. Persepsi masa lalu dan saat ini serta bagaimana tubuh berkembang

sepanjang waktu merupakan bagian citra tubuh seseorang (Kozier et al., 2010).

Citra tubuh individu berkembang sebagian dari sikap dan respons orang lain

terhadap tubuh individu tersebut dan sebagian lagi dari eksplorasi individu

(15)

individu. Beragam informasi dan media hiburan selama bertahun-tahun

memengaruhi cara individu memandang diri mereka dengan orang lain. Apabila

citra tubuh individu mendekati ideal dirinya, individu tersebut cenderung berpikir

positif tentang komponen fisik dan nonfisik diri (Kozier et al., 2010).

Individu yang memiliki citra tubuh yang sehat biasanya menunjukkan

kekhawatiran baik terhadap kesehatan maupun penampilan. Individu ini akan

mencari bantuan apabila sakit dan melakukan praktik promosi kesehatan dalam

aktivitas sehari-hari. Individu yang memiliki citra tubuh yang tidak sehat

cenderung terlalu mengkhawatirkan penyakit minor dan mengabaikan aktivitas,

seperti tidur dan diet sehat yang penting untuk kesehatan (Kozier et al., 2010).

Individu yang mengalami gangguan citra tubuh mungkin menyembunyikan

atau tidak melihat atau menyentuh bagian tubuh yang strukturnya telah berubah

akibat penyakit atau trauma. Beberapa individu dapat juga mengekspresikan

perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu mengendalikan situasi, dan

kerapuhan. Individu tersebut kemungkinan juga menunjukkan perilaku destruktif,

seperti usaha bunuh diri atau makan sangat sedikit atau makan sangat berlebihan

(Kozier et al., 2010).

c. Penampilan peran

Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa Penampilan peran (role performance) merupakan cara individu melakukan peran yang berarti. Peran yang dimaksud mencakup peran sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran

yang diikuti individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap

(16)

selama masa dewasa. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku yang

disetujui masyarakat melalui proses-proses berikut ini.

1) Penguatan-pemadaman : Perilaku khusus menjadi biasa atau dihindari,

tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau diperkecil dan dihukum.

2) Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu perilaku, meskipun

saat digoda untuk ikut serta di dalamnya.

3) Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang

memberikan kepuasan personal yang sama

4) Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dari

anggota masyarakat atau kelompok budaya

5) Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai dari

model peran ke dalam suatu ekspresi personal diri yang unik.

Peran merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang

menempati satu posisi tertentu berperilaku. Performa peran menghubungkan apa

yang dilakukan individu dalam peran tertentu dengan perilaku yang diharapkan

oleh peran tersebut. Penguasaan peran berarti bahwa perilaku individu memenuhi

harapan sosial. Harapan, atau standar perilaku peran, ditetapkan oleh masyarakat,

kelompok budaya, atau kelompok yang lebih kecil yang salah satu anggotanya

adalah individu tersebut (Kozier et al., 2010).

Konsep diri juga dipengaruhi oleh ketegangan peran dan konflik peran.

Individu yang mengalami ketegangan peran frustasi karena merasa atau dibuat

merasa tidak adekuat atau tidak cocok dengan satu peran. Konflik peran muncul

(17)

individu memiliki harapan yang berbeda mengenai peran tertentu. Dalam konflik

antarperan, harapan peran seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang

lain atau kelompok lain (Kozier et al., 2010).

d. Harga diri

Harga diri (self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar

dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau

nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna,

dan kompeten [Rosenberg (1965) dalam Potter & Perry (2009)].

Harga diri adalah penilaian individu akan harga dirinya, yaitu bagaimana

standar dan penampilan dirinya dibandingkan dengan standar dan penampilan

orang lain dengan ideal dirinya sendiri. Apabila harga diri seseorang tidak sesuai

dengan ideal dirinya, terjadi penurunan konsep diri (Kozier et al., 2010).

Terdapat dua jenis harga diri: umum dan spesifik. Harga diri umum adalah

seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri

spesifik adalah seberapa besar individu menerima bagian tertentu dari dirinya.

Harga diri berasal dari diri sendiri dan orang lain Pada saat bayi, harga diri

dikaitkan dengan orang lain. Sebagai orang dewasa, seseorang yang memiliki

harga diri tinggi merasa berarti, kompoten, mampu menghadapi kehidupan, dan

mengendalikan takdirnya sendiri (Kozier et al., 2010).

Landasan harga diri dibangun selama pengalaman hidup awal, biasanya

dalam struktur keluarga. Akan tetapi, tingkat fungsi orang dewasa pada

(18)

ke waktu. Harga diri fungsional adalah hasil evaluasi kontinu individu terhadap

interaksinya dengan orang lain dan objek. Harga diri fungsional dapat lebih tinggi

dari harga diri dasar, atau dapat juga mundur ke tingkat di bawah harga diri dasar.

Stres berat, misalnya stres akibat penyakit kronis dapat menurunkan harga diri

individu. Individu sering kali berfokus pada aspek negatif mereka dan

menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghargai aspek positif mereka (Kozier

et al., 2010).

2.2.4. Stresor yang memengaruhi Konsep Diri

Stresor konsep diri adalah perubahan yang nyata atau dapat diterima yang

mengancam identitas, citra tubuh, atau penampilan peran. Persepsi individu

terhadap tekanan merupakan faktor penting dalam menentukan responnya.

Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan

beberapa faktor, termasuk jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan.

Tekanan dapat mengganggu kemampuan adaptasi seseorang. Perubahan yang

terjadi pada kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, keturunan, dan sosial

budaya akan memengaruhi konsep diri. Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan

menimbulkan rasa diri yang positif, sedangkan kegagalan beradaptasi sering

menyebabkan konsep diri yang negatif (Potter & Perry, 2009).

Beberapa perubahan dalam kesehatan merupakan stresor dan dapat

memengaruhi konsep diri. Perubahan fisik tubuh terkadang menyebabkan

perubahan citra tubuh, memengaruhi identitas dan harga diri. Penyakit kronis

biasanya akan mengganggu penampilan peran, yang selanjutnya dapat mengubah

(19)

2.2.5. Faktor yang memengaruhi konsep diri

Konsep diri individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kozier et al. (2010)

mengatakan bahwa faktor utama adalah perkembangan, keluarga dan budaya,

stresor, sumber, riwayat keberhasilan dan kegagalan serta penyakit.

a. Perkembangan

Saat individu berkembang, faktor yang memengaruhi konsep diri berubah.

Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang suportif dan penuh kasih

sayang, sementara anak-anak membutuhkan kebebasan untuk menggali dan

belajar.

b. Keluarga dan budaya

Nilai yang dianut anak kecil sangat dipengaruhi oleh keluarga dan budaya.

Selanjutnya teman sebaya memengaruhi anak dan dengan demikian

mempengaruhi rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan

harapan dari keluarga, budaya dan teman sebaya, rasa diri anak sering kali

membingungkan.

c. Stresor

Stresor dapat menguatkan konsep diri saat individu berhasil menghadapi

masalah. Di pihak lain, stresor yang berlebihan dapat menyebabkan respon

maladaptif termasuk penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan

individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber daya personal.

d. Sumber daya

Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal. Contoh sumber daya

(20)

meliputi jaringan dukungan, pendanaan yang memadai, dan organisasi. Secara

umum, semakin besar jumlah sumber daya yang dimiliki dan digunakan individu,

pengaruhnya pada konsep diri semakin positif.

e. Riwayat keberhasilan dan kegagalan

Individu yang pernah mengalami kegagalan menganggap diri mereka sebagai

orang yang gagal, sementara individu yang memiliki riwayat keberhasilan

memiliki konsep diri yang lebih positif, yang kemungkinan dapat mencapai lebih

banyak keberhasilan.

f. Penyakit

Penyakit dan trauma juga dapat memengaruhi konsep diri. Individu berspon

terhadap stresor, seperti penyakit dan gangguan fungsi akibat penuaan dalam

berbagai cara: menerima, menyangkal, menarik diri, dan depresi adalah reaksi

yang umum.

2.2.6. Konsep Diri Pada Pasien TB paru

Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi

keberhasilan penderita TB dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan

diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB menyebabkan

penurunan harga diri. Hal ini merupakan perbedaan penyakit TB dari penyakit

kronis lainnya.

Raynel (2010) dalam penelitiannya mengenai gambaran konsep diri pada

penderita TB paru menunjukkan sebesar 56,8% memiliki gambaran diri negatif,

54,1% memiliki ideal diri negatif, 51,4% memiliki harga diri tinggi, 54,1%

(21)

Penurunan harga diri karena penyakit menyebabkan hilangnya kepercayaan diri,

hubungan sosial yang memburuk dan menyerah untuk berjuang melawan

penyakit. Pengangguran dan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan, efek

pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk sembuh, perubahan

dalam keluarga dan hubungan sosial dan tidak memiliki dukungan sosial

menurunkan harga diri pasien (Erdem & Tasci, 2003).

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan pengobatan adalah pasien mengikuti pengobatan yang

direkomendasikan dengan meminum seluruh obat yang diresepkan selama

panjangnya waktu yang dibutuhkan. Kepatuhan penting karena TB hampir selalu

teratasi jika pasien patuh terhadap regimen pengobatan TB (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 1999).

Ketidakpatuhan adalah ketidakmampuan pasien atau penolakan untuk

mengkonsumsi obat sesuai dengan resep. Ketika pengobatan medis sulit dan

berakhir untuk waktu yang lama, seperti pengobatan pada penyakit TB, pasien

selalu tidak mengkonsumsi bat mereka sesuai instruksi. Perilaku ini adalah salah

satu masalah terbesar dalam pengendalian TB dan dapat mengarah pada

konsekuensi yang serius. Pasien yang tidak patuh dapat menyebarkan ke orang

lain, tetap sakit untuk waktu yang lebih lama atau memiliki penyakit yang lebih

berat, mengembangkan dan menyebarkan resristensi obat TB, dan meninggal

(22)

2.3.2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Banyak alasan mengapa seseorang terhambat dalam memenuhi regimen

pengobatan TB paru.

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al. (2012) menunjukkan bahwa usia

berhubungan dengan kepatuhan terapi. Kelompok pasien umur 25 tahun ke bawah

lebih patuh dari kelompok pasien yang berumur 35-44 tahun (OR: 0,77; 95% CI:

0,99; p<0,049). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al.

(2013) yang dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara usia

dengan kepatuhan terapi pasien TB (p=0.0165).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) dengan

menggunakan uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844). Hal ini juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang mendapatkan bahwa ada

hubungan antara kurangnya uang transportasi dengan kepatuhan pasien

(p=0.0001).

b. Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan ole Mkopi, et al (2012) menunjukkan bahwa jenis

kelamin dan usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Pasien perempuan lebih

patuh 2 kali dibanding dengan pasien laki-laki (OR= 2,04; 95% CI: 1.24-3,02; p =

0.003). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

(23)

c. Dukungan Sosial

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

signifikan antara dukungan teman dan keluarga dan kepatuhan pasien (p=0.042).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solarte & Barona (2008) yang

mendapatkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan

kepatuhan penderita TB adalah kurangnya dukungan keluarga.

d. Pasien tidak lagi merasa sakit

Ketika pasien tidak lagi merasa sakit, pasien selalu berpikir tidak mengapa

jika tidak melanjutkan konsumsi obat TB. Gejala TB dapat bertambah baik secara

dramatis selama fase awal pengobatan (8 minggu pertama) (CDC, 1999).

Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan

signifikan antara perasaan membaik dan tidak ingin melanjutkan terapi serta

merasa sakit dan depresi juga memiliki hubungan dengan kepatuhan (p=0.0001).

e. Kurangnya pengetahuan

Pasien terkadang tidak mengerti secara penuh mengenai regimen pengobatan,

atau alasan durasi pengobatan TB yang panjang. Kurangnya pengetahuan dapat

menyebabkan ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk memenuhi

regimen (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor

yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak 39%

yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya terapi

dibawah pengawasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello &

(24)

kepatuhan pengobatan pasien. Lebih lanjut dengan menggunakan uji chi square

didapatkan bahwa edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p=0,001).

Zhou, et al. (2012) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pasien yang

tidak patuh tidak mengetahui TB sebelum diagnosa (P=0.05) dan tidak mendapat

edukasi TB terkait kesehatan sebelum terapi (p=0.01). Lebih lanjut, dengan

menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan edukasi

kesehatan terkait TB sebelum terapi adalah faktor yang berhubungan secara

signifikan dengan kepatuhan pasien.

f. Nilai personal dan budaya

Beberapa pasien memiliki kepercayaan personal dan budaya yang kuat

mengenai penyakit TB, bagaimana pengobatannya, dan siapa yang dapat dicari

untuk pertolongan. Ketika pengobatan TB bertentangan dengan keyakinan, pasien

menjadi takut, cemas, atau terasing dari orang yang memberikan pelayanan

kesehatan pada pasien, seperti dokter, asisten dokter dan perawat) (CDC, 1999).

g. Kurangnya keterampilan

Pasien-pasien khusus memiliki keterampilan yang kurang untuk mengikuti

instruksi dan patuh terhadap regimen yang diresepkan. Pasien lansia dengan

keterbatasan mobilitas, pasien dengan penyalahgunaan obat atau masalah

kesehatan mental, dan anak muda yang berisiko memiliki masalah untuk

(25)

h. Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan

Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehtan dapat menjadi hambatan yang

signifikan terhadap keberhasilan pemenuhan regimen TB. Usaha khusus harus

dibuat untuk menjangkau dan memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak

memiliki alamat tetap dan alat transportasi. Pasien yang bekerja kemungkinan

memiliki jadwal kerja yang bertentangan dengan jam klinik (CDC, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor

yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah kesulitan mengakses fasilitas

kesehatan sebanyak 57% karena kurangnya keuangan dan jarak dari tempat

tinggal pasien ke fasilitas kesehatan dan pusat DOT swasta (43%). Sejalan dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Nezenega, Gacho & Tafere (2013) dengan

menggunakan analisis multivariat didapatkan area tempat tinggal, waktu bersama

tim kesehatan, kemudahan menjangkau, waktu tunggu, pelayanan profesional dam

semua kepuasan pasien berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan terapi

TB ( p < 0,05).

i. Hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan

Beberapa pasien memiliki hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan.

Ketika pasien dan petugas kesehatan gagal untuk membangun hubungan saling

percaya, kurangnya hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, Jika pasien

percaya atau merasa nyaman dengan perugas kesehatan, mereka lebih mengikut

intruksi dan nasehat dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan (CDC,

(26)

j. Motivasi yang rendah

Pasien mungkin memiliki motivasi yang rendah untuk patuh terhadap

regimen TB. Jika pasien memiliki banyak prioritas yang bersaing dalam hidupnya

seperti penyalahgunaan obat, tuna wisma, penyakit lain (cth. HIV), konsumsi obat

TB mungkin tidak menjadi prioritas bagi pasien (CDC, 1999).

2.3.4. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

Penelitian yang dilakukan oleh Gopi et.al (2007) didapatkan dari 1666

partisipan yang diwawancarai, 1108 (67%) patuh dan 558 (33%) tidak patuh. Hal

yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al (2012)

yang mendapatkan dari 645 pasien yang diuji, 617 pasien (95,7%; 90% CI

94,3%-96,9%) menunjukkan kepatuhan terhadap terapi TB. Dari 617 pasien yang patuh,

563 (91,2%) melengkapi terapi dengan lengkap, 19 (3,1%) meninggal, 6 (1,0 %)

dipindahkan dari tempat penelitian. Solarte & Barona (2008) juga mendapatkan

dari seluruh responden, kelengkapan terapi dicapai oleh 65,6 % pasien.

Bello & Itiola (2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas

pasien (94,6%) patuh terhadap pengobatannya. Dengan uji regresi parsial

didapatkan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan

pasien. Pada uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844) dan edukasi berhubungan signifikan

dengan kepatuhan (p-0,001).

Penelitian yang dilakukan oleh Nezenega et al. (2013) didapatkan hanya 26%

dari responden memiliki kepatuhan yang buruk terhadap terapi mereka. Shargie &

(27)

menjalani terapi, 310 (77%) melengkapi terapi dengan sukses, sementara sisanya

meninggal, pindah dari tempat penelitian. Jakubowiak, Bogorodskaya, Borisov,

Danilova & Kourbatova (2008) juga mendapatkan angka kegagalan pasien dalam

menjalani terapi 4,6 %. Frekuensi terhentinya terapi 63% pada pasien yang gagal

and 36% pada pasien yang terapi dengan sukses. Terhentinya terapi selama fase

intensif dan 30% pada pasien yang gagal dan 45% pada hasil yang berhasil.

Boogaard, Lyimo, Boeree, Kibikib & Aarnoutsec (2011) dalam penelitiannya juga

mendapatkan rata-rata angka kepatuhan pada populasi yang diteliti adalah 96.3%

(standard deviation, SD: 7.7). Kepatuhan kurang dari 100% pada 70% dari pasien,

kurang dari 95% pada 21% pasien, dan kurang dari 80% pada 2%.

Anyaike et al. (2013) mendapatkan lebih dari dua pertiga (76,5%) responden

mengkonsumsi obat antara 3-6 bulan dengan rata-rata durasi 5,4 bulan,

(SD=±1.8). Penelitian juga mendapatkan bahwa 80.5% pasien tidak meliupakan

pengobatannya dalam 3 bulan terakhir, dan 10,4 % lupa dengan pengobatannya.

Dari yang lupa meminum obatnya, 42,5 % lupa karena bepergian, 21,7% merasa

sakit dan depresi. 34% lupa karena mereka meminum obat di rumah dan 5,6 %

lupa karena merasa lebih baik dan tidak melanjutkan pengobatan. Alasan lain

yang diberikan adalah: tidak ada uang untuk transportasi, menghindari efek

samping obat, lupa, tidak ingin dilihat di klinik ketika mengambil obat, dan tidak

dapat mengambil obat karena liburan pemerintah yang tidak terjadwal.

2.4. Landasan Teori

(28)

digambarkan sebagai keseluruhan dengan fungsi satu untuk beberapa tujuan.

Sistem manusia mencakup manusia sebagai individu atau kelompok termasuk

keluarga, organisasi, komunitas dan sosial sebagai keseluruhan. Roy

mendefinisikan manusia sebagai fokus utama dalam keperawatan, penerima

asuhan keperawatan, sistem kehidupan kompleks dan adaptif dengan proses

internal (kognator dan regulator), bertindak untuk memelihara adaptasi pada

empat mode adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi).

Lingkungan adalah segala kondisi, keadaan dan pengaruh di sekeliling dan

mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari anggota kelompok, dengan

perhatian khusus dari kebersamaan manusia dan sumber bumi yang mencakup

stimulus fokal, kontekstual dan residual. Ini adalah perubahan lingkungan yang

menstimulus orang tersebut untuk membuat respon adaptif. Lingkungan adalah

masukan bagi seseorang sebagai sistem adaptasi termasuk faktor internal dan

eksternal. Faktor tersebut bisa jadi kecil atau besar, negatif atau positif. Perilaku

yang menunjukkan adaptasi dapat dilihat dari empat model adaptasi yang meliputi

fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Roy, 1999).

Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang

pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan

reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari

lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh

karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku

(29)

Dalam penelitian ini hal yang menjadi stimulus bagi pasien adalah penyakit

TB paru dan regimen terapi dalam pengobatan TB paru. Modus adaptasi yang

akan diteliti adalah konsep diri. Penyakit TB paru yang diderita pasien

mendatangkan stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat

terhadap pasien TB paru sehingga menyebabkan penurunan harga diri. Semua

pandangan eksternal yang didapatkan dari lingkungan mempengaruhi konsep diri

penderita TB paru.

Pasien TB paru menggunakan proses kognitif yang disaring oleh konsep diri

untuk menginterpretasikan regimen pengobatan TB paru sebagai ancaman atau

tantangan. Pasien akan menggunakan proses berpikir kognitif sadar dan tidak

sadar untuk mengevaluasi pengalaman dalam menamakan, mengklarifikasi,

mendefinisikan, dan memulai respon perilaku. Untuk tujuan penelitian ini,

persepsi kognitif digunakan untuk menggambarkan proses yang digunakan

seseorang untuk menginterpretasikan stimulus baik sebagai ancaman atau

tantangan untuk konsep diri mereka. Ketika sesuatu diterima sebagai ancaman

untuk diri, hal tersebut akan menyebabkan kecemasan. Orang akan berusaha

untuk meringankan kecemasan dengan menggunakan respon yang berpusat pada

emosional seperti mendefinisikan kembali situasi, menolak, atau menghindari

stress pada situasi tersebut yang melindungi harga diri. Meskipun proteksi

terhadap konsep diri baik, ketidakpatuhan terhadap pengobatan terjadi, yang

menyebabkan memburuknya adaptasi fisik. Meskipun respon berpusat pada

(30)

dengan cara yang bermanfaat, hal tersebut dapat menjadi cara mempertahankan

harapan, optimisme, atau harga diri, yang dapat bermanfaat dalam beberapa hal.

Individu dapat juga menerima stimulus sebagai tantangan. Persepsi sebagai

tantangan terjadi ketika penambahan dan pertumbuhan potensial diantisipasi dan

menghasilkan kegembiraan. Stresor yang dianggap sebagai tantangan terhadap

adaptasi menyebabkan respon penyelesaian masalah. Respon berpusat pada

masalah menggunakan strategi penyelesaian masalah mengatur lingkungan dan

diri. Usaha individu menggunakan respon berpusat pada masalah mengatur ke

arah mendefinisikan masalah, menghasilkan alternatif solusi, mempertimbangkan

alternatif dalam hal biaya dan keuntungan, memilih solusi dan bertindak.

Mengubah tekanan lingkungan, penghambat, sumber, dan prosedur adalah cara

penyelesaian masalah (Roy, 1999).

Dalam penelitian ini, ketika pasien menerima penyakit TB paru dan

pengobatannya sebagai suatu ancaman terhadap dirinya, hal tersebut akan

menyebabkan kecemasan. Pasien akan berusaha untuk meringankan kecemasan

dengan menggunakan respon yang berpusat pada emosional seperti

mendefinisikan kembali situasi, menolak, menghindari, atau mendevaluasikan

penyakit dan pengobatan untuk melindungi harga diri. Salah satu cara adalah

dengan tidak mengikuti regimen pengobatan yang dianjurkan. Hal ini dapat

berdampak terhadap memburuknya adaptasi fisik. Sebaliknya ketika individu

menerima penyakit TB paru dan pengobatannya sebagai suatu tantangan maka

(31)

mengatur lingkungan dan dirinya. Pasien akan mamatuhi regimen pengobatan

sehingga kondisi fisik membaik.

Ancaman dan tantangan dapat terjadi secara simultan meskipun satu atau

lainnya biasanya didominasi. Dalam penelitian ini konsep diri pada pasien TB

paru diukur menggunakan kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti

berdasarkan teori adaptasi Roy.

Roy mengatakan bahwa keperawatan memiliki tujuan khusus untuk

membantu usaha adaptasi seseorang dengan mengatur lingkungan. Hal ini

dilakukan dengan melakukan 6 tahap proses keperawatan yang meliputi

pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penetapan

tujuan, intervensi dan evaluasi. Intervensi keperawatan berfokus pada pengaturan

stimulus lingkungan dengan “mengubah, meningkatkan, mengurangi,

memindahkan, atau mempertahankannya.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan konsep diri dengan

kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand

Medistra Lubuk Pakam. Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah konsep diri dan variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kerangka konsep penelitian ini digambarkan

(32)

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Korelasi Konsep diri dengan Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Korelasi Konsep diri dengan Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan

Referensi

Dokumen terkait

 Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan asli , bilangan bulat dan pecahan

Duncan test showed that the antioxidant activity of the n-hexane extract contained significantly different from the activity of antioxidants found in extracts of ethyl

10 B2K13 Pengorganisasian Kawasan/ Fungsi Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan telah berbasiskan kepentingan masyarakat sesuai dengan fungsi hutan dan lahanb. Rencana

Metode yang digunakan guru untuk mengembangkan kemandirian anak dengan menggunakan pembiasaan, dalam menggunakan metode ini guru melakukannya secara berulang-ulang dan

Berdasarkan beberapa ketentuan yang berlaku, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil meliputi upaya administratif berupa keberatan dan banding

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta dalam tahapan perekrutan ini cukup banyak dan bersifat sangat ketat

Diagnosis NTI yang disebutkan secara eksplisit didapatkan pada tiga kasus yaitu satu pasien nefritis lupus kelas 4 dengan diagnosis histopatologis glomerulonefritis sklerosing

Dari hasil ujicoba program simulasi dan shorewall asli dengan konfigurasi. jaringan dan data yang sama diperoleh hasil