BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Definisi TB Paru
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri aerob berbentuk batang dan tidak berbentuk spora (Knechel, 2009). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh M. Tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast bacillus). TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black
& Hawks, 2012).
2.1.2. Transmisi TB paru
Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui droplet di udara, yang disebut nukleus droplet, disebabkan oleh batuk, bersin, berbicara atau nyanyian dari orang
dengan tuberkulosis paru atau laring. Droplet yang sangat kecil tinggal di udara
selama beberapa menit hingga jam setelah meludah. Jumlah basil pada droplet,
virulensi basil, terpaparnya basil pada sinar ultraviolet, dan derajat ventilasi
mempengaruhi transmisi. Masuknya M tuberculosis ke paru memicu infeksi sistem pernafasan; meskipun organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti
limpa, tulang/sendi, atau meningen dan menyebabkan tuberkulosis
2.1.3. Patofisiologi
Sekali dihirup, droplet infeksius diam di sepanjang jalan nafas. Sebagian
besar basil tertahan di bagian atas jalan nafas dimana terdapat sel goblet yang
mensekresi mukus. Mukus yang dihasilkan menangkap substansi asing, dan silia
pada permukaan sel secara terus menerus mendorongpartikel yang terjebak untuk
berpindah. Sistem ini menyebabkan tubuh mengeluarkan pertahanan fisik awal
yang mencegah infeksi pada sebagian besar orang yang terkena tuberkulosis
(Knechel, 2009).
Bakteri pada droplet yang melewati sistem mukosiliari dan mencapai alveoli
dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag alveolar, sel efektor imunitas
yang paling banyak di rongga alveolar. Makrofag ini, garis pertahanan host
berikutnya, adalah bagian dari sistem imunitas bawaan dan memberikan
kesempatan bagi tubuh untuk merusak mycobakteria yang masuk dan mencegah
infeksi. Makrofag memiliki sel fagosit yang melawan banyak patogen tanpa
membutuhkan pajanan terhadap patogen sebelumnya. Beberapa mekanisme dan
reseptor makrofag terlibat dalam penangkapan mycobacteria. Lipoarabinomannan
mycobacterial adalah kunci untuk reseptor makrofag (Knechel, 2009).
Sistem tambahan juga memainkan peranan dalam fagositosis bakteri. Protein
C3 terikat pada dinding sel dan meningkatkan pengenalan makrofag terhadap
mycobakteri. Opsonisasi oleh C3 terjadi cepat, meskipun di ruang udara host
infeksi yang berhasil pada tuberkulosis laten, atau kemajuan penyakit aktif, yang
disebut tuberkulosis progresif primer. Hasil utama ditentukan oleh kualitas dari
pertahanan host dan keseimbangan yang terjadi antara pertahanan host dan invasi mikobakteri (Knechel, 2009).
Setelah dicerna oleh makrofag, mikobakteria terus bermultiplikasi dengan
lambat, dengan pembelahan sel setiap 25 sampai 32 jam. Dengan menghiraukan
apakah infeksi terkontrol atau berkembang, perkembangan awal terkait produksi
enzim proteolitik dan sitokin oleh makrofag sebagai usaha untuk menurunkan
bakteri. Pelepasan sitokin menarik limfosit T pada bagian sel dimana merupakan
imunitas sel. Makrofag kemudian menghadirkan antigen mikobakteria pada
permukaan sel T (Knechel, 2009).
Proses imun awal berlanjut hingga 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme
terus bertumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk mendapatkan
respon imun sel segera yang dapat terdeteksi dengan tes kulit. Untuk orang
dengan imunitas sel yang lengkap, langkah pertahanan berikutnya adalah
pembentukan granuloma di sekitar organisme M tuberculosis. Lesi tipe nodular ini terbentuk melalui akumulasi dari aktivasi limfosit T dan makrofag, yang
membentuk lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan penyebaran
mikobakteri. Lingkungan ini merusak makrofag dan menghasilkan nekrosis solid
awal pada pusat lesi meskipun basilus mampu beradaptasi untuk dapat bertahan.
Dalam 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik menyerupai keju lunak, selalu
menyerupai nekrosis seperti kayu, dan dikarakteristikkan degan level oksigen
yang rendah, pH rendah, dan nutrisi yang terbatas. Kondisi ini membatasi
perkembangan lebih lanjut dan tetap tersembunyi. Lesi pada orang dengan sistem
imun yang adekuat umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, secara sukses
mengontrol infeksi sehingga basilus terkandung di dalam dorman, lesi yang
sembuh. Lesi pada orang dengan sistem imun yang kurang efektif berlanjut
menjadi tuberkulosis progresif primer. Untuk orang dengan kemampuan imun
yang rendah, pembentukan granuloma yang dimulai akhirnya tidak berhasil
mengisi basilus. Jaringan nekrotik mengalami pencairan, dan dinding fibrosa
kehilangan integritas struktural (Knechel, 2009).
Material nekrotik semiliquid dapat dialirkan ke bronkus atau dekat dengan
pembuluh darah, meninggalkan kavitas yang dipenuhi udara pada bagian semula.
Jika keluarnya melalui pembuluh darah terjadi, kemungkinan besar terjadi
tuberkulosis ekstrapulmonal. Basilus juga dapat dialirkan ke sistem limfatik dan
terkumpul di nodus limfa trakeobronkial pada paru yang terkena, dimana
organisme dapat membentuk granula baru seperti kayu (Knechel, 2009).
2.1.4. Manifestasi Klinis
Knechel (2009) mengatakan Tuberkulosis berkembang berbeda-beda pada
setiap pasien, tergantung kepada status sistem imun pasien. Tahapan terdiri dari
fase laten, penyakit primer, penyakit primer progresif, dan penyakit
ekstrapulmonal. Masing-masing tahap memiliki manifestasi klinis yang
Tabel 2.1
Tampilan klinis klasik dari Tuberkulosis paru yaitu batuk kronis, produksi
sputum, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, demam, keringat
malam, dan hemoptisis. TB ekstrapulmonal terjadi 10-42 % pasien, tergantung
pada ras dan latar belakang etnik, usia, ada atau tidaknya penyakit penyerta,
genotipe dari M. tuberculosis strain, dan status imun (Zumla, et al., 2013).
2.1.4. Diagnosis a. Infeksi laten
Skreening dan pengobatan untuk infeksi M. Tuberculosis laten diindikasikan untuk kelompok dimana prevalensi infeksi laten tinggi (contoh. Orang asing yang
berasal dari daerah endemik tuberkulosis), kelompok dengan resiko tinggi
berulang kembalinya penyakit (cth. Pasien dengan infeksi HIV atau diabetes dan
pasien yang menerima terapi imunosupresi), dan kelompok dengan kedua faktor
tersebut (cth. Interaksi dengan pasien tuberkulosis). Infeksi laten dapat didiagnosa
dengan tes kulit tuberkulin atau menguji kadar pelepasan interferon-gamma. Tes
kulit tuberkulin lebih murah dan oleh karena itu dianjurkan pada daerah ekonomi
rendah. Sensitifitas tes kulit tuberkulin sama dengan uji kadar pelepasan
interferon-gamma tetapi kurang spesifik (Zumla, et al., 2013).
b. Tuberkulosis Aktif
Kultur dan mikroskopik sputum pada medium cair dengan uji kerentanan obat
berikutnya adalah rekomendasi sebagai metode standar untuk mendiagnosa
tuberkulosis aktif. Uji kada interferon-gamma dan tes kulit tuberkulin tidak
citraan, dan pemeriksaan histopatologi dari sampel biopsi mendukung evaluasi.
Diagnostik molekular baru yang disebut uji sesitifitas Xpert MTB/RIF mendeteksi
M. Tuberculosis komplek dalam 2 jam, dengan uji sensitifitas yang lebih tinggi
dari usapan mikroskopi. Uji molekular ini potensial untuk meningkatkan (Zumla
et al., 2013).
c. Drug-Resistant Tuberculosis
Standar terkini uji kerentanan obat utama merupakan sistem kultur liquid
otomatis, yang membutuhkan 4 sampai 13 hari untuk hasilnya. Dalam 2 jam, uji
kadar Xpert MTB/RIF secara bersamaan memberi hasil terhadap resistensi
rifampin, mewakili multidrug resistant tuberkulosis pada tempat dimana
prevalensi tnggi dari resistensi obat, sejak resistensi rifampin pada ketiadaan
resistensi isoniazid luar biasa (Zumla et al., 2013).
Modifikasi uji kadar telah diperkenalkan untuk menurunkan kesalahan positif
WHO telah merekomendasikan bahwa ketika uji kerentanan obat dilakukan
diwaktu yang sama juga dilakukan uji kadar Xpert MTB/RIF untuk
mengkonfirmasi resistensi rifampicin dan kerentanan M.tuberculosis terhadap obat lain. Uji skreening lain untuk resistensi obat yaitu uji kadar microscopic-observation drug-susceptibility (MODS), uji kadar nitrat reduktase, dan metode reduktase colorimetric. Uji kadar MODS secara simultan mendeteksi M. Tuberculosis bacilli, pada dasar pembentukan ikatan, resistensi isoniazid dan rifampicin. Sejak hampir semua dari metode ini tidak tersedia di negara-negara
resistant TB terdiagnosa di seluruh dunia dan hanya setengahnya yang menerima pengobatan yang tepat (Zumla et al., 2013).
2.1.5. Pengobatan a. Infeksi Laten
Pasien dengan infeksi M tuberculosis laten berisiko tinggi terhadap tuberkulosis aktif sehingga memerlukan pengobatan preventif. Regimen yang
dianjurkan adalah isoniazid saja untuk 9 bulan atau durasi yang lebih lama pada
pasien yang terinfeksi HIV di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi.
Baru-baru ini observasi langsung setiap minggu untuk pemberian isoniazid dan
rifapentine untuk 12 minggu telah menunjukkan keefektifan isoniazid saja pada
dewasa tanpa infeksi HIV di negara dengan beban tuberkulosis yang rendah.
Pedoman WHO terbaru merekomendasikan bahwa semua orang yang terinfeksi
HIV dengan hasil tes tuberkulin kulit positif atau tidak diketahui dan tanpa
tuberkulosis aktif yang tinggal di negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi
menerima terapi pencegahan dengan isoniazid paling sedikit 6 bulan. Tiga
regimen efektif untuk mencegah tuberkulosis aktif pada orang yang terinfeksi
HIV yaitu isoniazid yang dikonsumsi setiap hari untuk 6 sampai 9 bulan, rifampin
yang dikonsumsi setiap hari untuk 3 bulan, dan rifampin dan isoniazid dua kali
seminggu untuk 3 bulan. Regimen yang berisi rifampin memiliki angka toksisitas
obat yang lebih tinggi dengan yang tidak berisi rifampin. Kesulitan mendiagnosa
tuberkulosis aktif pada pasien dengan koinfeksi HIV menyebabkan lambatnya
terapi pencegahan isoniazid pada praktik klinik. Hanya pasien dengan tes
angka tuberkulosis aktif dan kematian, dan perlindungan terhadap tuberkulosis
menurun dalam beberapa bulan setelah berhentinya terapi isoniazid (Zumla et al.,
2013).
b. Drug-Sensitive Active Tuberculosis
Pengobatan tuberkulosis yang efektif membutuhkan diagnosis yang akurat
dan dini, skreening untuk resistensi obat dan HIV, pemberian regimen yang
efektif di bawah supervisi, dan adanya dukungan pada pasien untuk memenuhi
seluruh rangkaian pengobatan. Standar terbaru regimen pengobatan dengan empat
obat (isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan ethambutol) mencapai angka
kesembuhan lebih dari 95% pada kondisi percobaan dan lebih dari 90% pada
pengobatan dengan kelalaian program kontrol tuberkulosis. Pengobatan
membutuhkan minimum 6 bulan dengan 2 fase: 2 bulan dengan semua obat pada
fase intensif dan 4 bulan dengan isoniazid dan rifampin pada fase lanjutan. Faktor
risiko kekambuhan mencakup kavitasi, luasnya penyakit, imunosupresi, dan
kultur sputum yang tetap positif pada 8 minggu. Jika ada dari faktor risiko
tersebut, terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan (Zumla et al., 2013).
Tantangan terapi mencakup ketidakkonsistenan kualitas obat, kebutuhan
untuk menjamin pemberian obat diobservasi secara langsung dan bahwa
dukungan lain disediakan bagi pasien, gangguan pengobatan dan perubahan
regimen karena efek samping, efek toksik, interaksi farmakokinetik (terutama
dengan terapi antiretroviral pada pasien dengan koinfeksi HIV), dan isu
c. Multidrug-Resistant Tuberculosis(MDR TB)
Pengobatan MDR TB berdasarkan pada opini para ahli dan membutuhkan
ciptaan kombinasi regimen obat yang dipilih dari lima kelompok hirarki
obat-obatan dari garis pertama dan garis kedua. Terapi berkaitan dengan risiko tinggi
terhadap intoleransi dan efek toksik serius. Regimen dapat dipilih berdasarkan
standar atau empiris dan kemudian diganti pada terapi individu setelah data
dianggap uji kerentanan obat menjadi ada. Akan tetapi, uji kerentanan obat yang
reliabel tidak secara luas tersedia ada di daerah dimana endemik tuberkulosis,
terutama pada obat garis kedua (Zumla et al., 2013).
Pedoman pengobatan WHO untuk MDR TB merekomendasikan bahwa pada
fase intensif terapi diberikan paling sedikit 8 bulan. Fluoroquinolone dan agen
yang dapat diinjeksikan secara rutin dimasukkan untuk menghasilkan regimen
dengan sedikitnya empat obat pada garis kedua yang akan memiliki kepastian dan
hampir pasti efektif, seperti pyrazinamide. Terapi harus diberikan untuk
sekurangnya 20 bulan pada pasien yang tidak menerima pengobatan untuk MDR
TB sebelumnya dan sampai 30 bulan bagi mereka yang sudah menerima
pengobatan sebelumnya (Zumla et al., 2013).
Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa regimen yang lebih
pendek, dengan pengobatan yang diberikan 9 sampai 12 bulan, memiliki efikasi
yang dapat diterima dan beberapa reaksi merugikan pada populasi dengan pajanan
terhadap obat garis kedua. Regimen ini lebih luas dievaluasi terus menerus dengan
obat yang direkomendasikan memiliki efek samping yang serius yang membuat
kesulitan pada pengobatan, kosultasi pada para ahli selalu disarankan untuk
pengobatan MDR TB (Zumla et al., 2013).
2.2. Konsep Diri
2.2.1 Definisi konsep diri
Konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri yang positif
penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep
diri yang positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan
interpersonal dan lebih tahan terhadap penyakit psikologis dan fisik. Individu
yang memiliki konsep diri yang kuat seharusnya lebih mampu menerima atau
beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya. Cara
pandang individu terhadap dirinya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain
(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Roy (1999) dalam Marriner Tomey dan Alligood (2006) mengatakan bahwa
konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang pegang
mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan reaksi
terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari
lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh
karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku
seseorang. Roy dan Andrew mengidentifikasi 5 aspek yang berbeda dari konsep
diri, yang terdiri dari citra tubuh, sensasi tubuh, ideal diri, konsistensi diri dan
moral-etik-spiritual diri. Sensasi tubuh adalah bagaimana perasaan seseorang dan
terhadap dirinya secara fisik dan pandangan seseorang terhadap penampilan
personal. Konsistensi diri adalah bagian dari diri yang berusaha untuk
mempertahankan organisasi diri yang konsisten dan mencegah
ketidakseimbangan. Ideal diri adalah apa yang seseorang inginkan atau mampu
lakukan. Moral-etikal-spiritual diri adalah aspek dari diri yang terdiri dari sistem
kepercayaan dan evaluasi dari relasi di seluruh bidang.
2.2.2. Dimensi Konsep Diri
a. Pemahaman diri: pemahaman yang dimiliki individu mengenai dirinya,
termasuk daya tilik diri terhadap kemampuan, sifat, dan keterbatasan
dirinya
b. Pengharapan diri: harapan individu, mungkin berupa harapan realistis atau
tidak realistis
c. Sosial diri: cara pandang orang lain dan masyarakat terhadap individu
d. Evaluasi sosial: penilaian individu dalam hubungan dengan orang lain,
kejadian, atau situasi (Kozier et al., 2010).
2.2.3. Komponen Konsep Diri
Konsep diri mencakup semua persepsi diri yaitu penampilan, nilai dan
keyakinan, yang memengaruhi perilaku dan ditunjukkan ketika menggunakan
kata-kata saya atau aku (Kozier et al., 2010). Konsep diri yang positif
memberikan rasa berarti, menyeluruh, dan konsisten pada seseorang. Konsep diri
yang sehat memiliki derajat stabilitas yang tinggi dan menghasilkan perasaan
positif terhadap diri. Komponen konsep diri yang sering dipertimbangkan adalah
konsep diri. Harga diri berasal dari konsep diri, dan harga diri mempengaruhi
konsep diri (Potter & Perry, 2009).
a. Identitas
Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan
konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas
menunjukkan batasan dan pemisahan dari yang lainnya. Menjadi “diri sendiri”
atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar
(Potter & Perry, 2009).
Identitas personal individu merupakan sensasi individualitas dan keunikan
yang disadari dan secara kontinu muncul sepanjang hidup. Individu sering kali
memandang identitas mereka dari nama, jenis kelamin, usia, ras, asal etnis atau
budaya, pekerjaan atau peran, bakat, dan karakteristik situasional lainnya (Kozier
et al., 2010).
Stuart & Laraia (2005) dalam Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa
pencapaian identitas merupakan hal penting dalam menjalin hubungan dekat,
karena individu mengekspresikan identitas mereka saat berhubungan dengan
orang lain. Semakin individu dikenal oleh kelompok sosial, maka akan semakin
besar harga dirinya. Seorang individu yang mengalami diskriminasi, prasangka,
atau tekanan lingkungan biasanya akan menempatkan dirinya secara berbeda dari
individu yang memiliki kondisi kehidupan sebaliknya [Ruiz et al., (2002) dalam
Potter & Perry (2009)].
Individu yang memiliki rasa identitas yang kuat mengintegrasikan citra tubuh,
ini memberi individu sensasi kontinuitas dan kesatuan kepribadian. Selain itu,
individu memandang dirinya sendiri sebagai orang yang unik (Kozier et al.,
2010).
b. Citra Tubuh
Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh
termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas,
berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2009).
Citra fisik diri, atau citra tubuh, adalah cara individu mempersepsikan ukuran,
penampilan, dan fungsi tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek
kognitif dan afektif. Kognitif adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya,
afektif mencakup sensasi tubuh, seperti nyeri, kesenangan, keletihan, dan gerakan
fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari sikap, kesadaran dan ketidaksadaran, yang
dimiliki seseorang terhadap tubuhnya (Kozier et al., 2010).
Citra tubuh mencakup fungsi tubuh dan bagian-bagiannya termasuk pakaian,
riasan, gaya rambut, perhiasan dan hal lain yang melekat pada diri individu. Citra
tubuh juga mencakup prostese tubuh, seperti kaki palsu, gigi palsu dan wig, juga
semua alat yang dibutuhkan untuk fungsi, seperti kursi roda, tongkat dan
kacamata. Persepsi masa lalu dan saat ini serta bagaimana tubuh berkembang
sepanjang waktu merupakan bagian citra tubuh seseorang (Kozier et al., 2010).
Citra tubuh individu berkembang sebagian dari sikap dan respons orang lain
terhadap tubuh individu tersebut dan sebagian lagi dari eksplorasi individu
individu. Beragam informasi dan media hiburan selama bertahun-tahun
memengaruhi cara individu memandang diri mereka dengan orang lain. Apabila
citra tubuh individu mendekati ideal dirinya, individu tersebut cenderung berpikir
positif tentang komponen fisik dan nonfisik diri (Kozier et al., 2010).
Individu yang memiliki citra tubuh yang sehat biasanya menunjukkan
kekhawatiran baik terhadap kesehatan maupun penampilan. Individu ini akan
mencari bantuan apabila sakit dan melakukan praktik promosi kesehatan dalam
aktivitas sehari-hari. Individu yang memiliki citra tubuh yang tidak sehat
cenderung terlalu mengkhawatirkan penyakit minor dan mengabaikan aktivitas,
seperti tidur dan diet sehat yang penting untuk kesehatan (Kozier et al., 2010).
Individu yang mengalami gangguan citra tubuh mungkin menyembunyikan
atau tidak melihat atau menyentuh bagian tubuh yang strukturnya telah berubah
akibat penyakit atau trauma. Beberapa individu dapat juga mengekspresikan
perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu mengendalikan situasi, dan
kerapuhan. Individu tersebut kemungkinan juga menunjukkan perilaku destruktif,
seperti usaha bunuh diri atau makan sangat sedikit atau makan sangat berlebihan
(Kozier et al., 2010).
c. Penampilan peran
Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa Penampilan peran (role performance) merupakan cara individu melakukan peran yang berarti. Peran yang dimaksud mencakup peran sebagai orang tua, pengawas, atau teman dekat. Peran
yang diikuti individu dalam berbagai situasi mencakup sosialisasi terhadap
selama masa dewasa. Individu mengembangkan dan menjaga perilaku yang
disetujui masyarakat melalui proses-proses berikut ini.
1) Penguatan-pemadaman : Perilaku khusus menjadi biasa atau dihindari,
tergantung apakah mereka setuju dan diperkuat, atau diperkecil dan dihukum.
2) Hambatan: Individu belajar untuk menahan diri dari suatu perilaku, meskipun
saat digoda untuk ikut serta di dalamnya.
3) Substitusi: Individu menggantikan satu perilaku dengan perilaku lainnya, yang
memberikan kepuasan personal yang sama
4) Imitasi: Individu membutuhkan pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dari
anggota masyarakat atau kelompok budaya
5) Identifikasi: Individu memasukkan kepercayaan, perilaku, dan nilai-nilai dari
model peran ke dalam suatu ekspresi personal diri yang unik.
Peran merupakan sekumpulan harapan mengenai bagaimana individu yang
menempati satu posisi tertentu berperilaku. Performa peran menghubungkan apa
yang dilakukan individu dalam peran tertentu dengan perilaku yang diharapkan
oleh peran tersebut. Penguasaan peran berarti bahwa perilaku individu memenuhi
harapan sosial. Harapan, atau standar perilaku peran, ditetapkan oleh masyarakat,
kelompok budaya, atau kelompok yang lebih kecil yang salah satu anggotanya
adalah individu tersebut (Kozier et al., 2010).
Konsep diri juga dipengaruhi oleh ketegangan peran dan konflik peran.
Individu yang mengalami ketegangan peran frustasi karena merasa atau dibuat
merasa tidak adekuat atau tidak cocok dengan satu peran. Konflik peran muncul
individu memiliki harapan yang berbeda mengenai peran tertentu. Dalam konflik
antarperan, harapan peran seseorang atau kelompok berbeda dari harapan orang
lain atau kelompok lain (Kozier et al., 2010).
d. Harga diri
Harga diri (self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar
dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau
nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna,
dan kompeten [Rosenberg (1965) dalam Potter & Perry (2009)].
Harga diri adalah penilaian individu akan harga dirinya, yaitu bagaimana
standar dan penampilan dirinya dibandingkan dengan standar dan penampilan
orang lain dengan ideal dirinya sendiri. Apabila harga diri seseorang tidak sesuai
dengan ideal dirinya, terjadi penurunan konsep diri (Kozier et al., 2010).
Terdapat dua jenis harga diri: umum dan spesifik. Harga diri umum adalah
seberapa besar individu menyukai dirinya sendiri secara keseluruhan. Harga diri
spesifik adalah seberapa besar individu menerima bagian tertentu dari dirinya.
Harga diri berasal dari diri sendiri dan orang lain Pada saat bayi, harga diri
dikaitkan dengan orang lain. Sebagai orang dewasa, seseorang yang memiliki
harga diri tinggi merasa berarti, kompoten, mampu menghadapi kehidupan, dan
mengendalikan takdirnya sendiri (Kozier et al., 2010).
Landasan harga diri dibangun selama pengalaman hidup awal, biasanya
dalam struktur keluarga. Akan tetapi, tingkat fungsi orang dewasa pada
ke waktu. Harga diri fungsional adalah hasil evaluasi kontinu individu terhadap
interaksinya dengan orang lain dan objek. Harga diri fungsional dapat lebih tinggi
dari harga diri dasar, atau dapat juga mundur ke tingkat di bawah harga diri dasar.
Stres berat, misalnya stres akibat penyakit kronis dapat menurunkan harga diri
individu. Individu sering kali berfokus pada aspek negatif mereka dan
menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menghargai aspek positif mereka (Kozier
et al., 2010).
2.2.4. Stresor yang memengaruhi Konsep Diri
Stresor konsep diri adalah perubahan yang nyata atau dapat diterima yang
mengancam identitas, citra tubuh, atau penampilan peran. Persepsi individu
terhadap tekanan merupakan faktor penting dalam menentukan responnya.
Kemampuan untuk menyeimbangkan tekanan yang ada berkaitan dengan
beberapa faktor, termasuk jumlah tekanan, lamanya tekanan dan status kesehatan.
Tekanan dapat mengganggu kemampuan adaptasi seseorang. Perubahan yang
terjadi pada kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, keturunan, dan sosial
budaya akan memengaruhi konsep diri. Dapat beradaptasi terhadap tekanan akan
menimbulkan rasa diri yang positif, sedangkan kegagalan beradaptasi sering
menyebabkan konsep diri yang negatif (Potter & Perry, 2009).
Beberapa perubahan dalam kesehatan merupakan stresor dan dapat
memengaruhi konsep diri. Perubahan fisik tubuh terkadang menyebabkan
perubahan citra tubuh, memengaruhi identitas dan harga diri. Penyakit kronis
biasanya akan mengganggu penampilan peran, yang selanjutnya dapat mengubah
2.2.5. Faktor yang memengaruhi konsep diri
Konsep diri individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kozier et al. (2010)
mengatakan bahwa faktor utama adalah perkembangan, keluarga dan budaya,
stresor, sumber, riwayat keberhasilan dan kegagalan serta penyakit.
a. Perkembangan
Saat individu berkembang, faktor yang memengaruhi konsep diri berubah.
Sebagai contoh, bayi membutuhkan lingkungan yang suportif dan penuh kasih
sayang, sementara anak-anak membutuhkan kebebasan untuk menggali dan
belajar.
b. Keluarga dan budaya
Nilai yang dianut anak kecil sangat dipengaruhi oleh keluarga dan budaya.
Selanjutnya teman sebaya memengaruhi anak dan dengan demikian
mempengaruhi rasa dirinya. Ketika anak berkonfrontasi dengan membedakan
harapan dari keluarga, budaya dan teman sebaya, rasa diri anak sering kali
membingungkan.
c. Stresor
Stresor dapat menguatkan konsep diri saat individu berhasil menghadapi
masalah. Di pihak lain, stresor yang berlebihan dapat menyebabkan respon
maladaptif termasuk penyalahgunaan zat, menarik diri, dan ansietas. Kemampuan
individu untuk menangani stresor sangat bergantung pada sumber daya personal.
d. Sumber daya
Individu memiliki sumber daya internal dan eksternal. Contoh sumber daya
meliputi jaringan dukungan, pendanaan yang memadai, dan organisasi. Secara
umum, semakin besar jumlah sumber daya yang dimiliki dan digunakan individu,
pengaruhnya pada konsep diri semakin positif.
e. Riwayat keberhasilan dan kegagalan
Individu yang pernah mengalami kegagalan menganggap diri mereka sebagai
orang yang gagal, sementara individu yang memiliki riwayat keberhasilan
memiliki konsep diri yang lebih positif, yang kemungkinan dapat mencapai lebih
banyak keberhasilan.
f. Penyakit
Penyakit dan trauma juga dapat memengaruhi konsep diri. Individu berspon
terhadap stresor, seperti penyakit dan gangguan fungsi akibat penuaan dalam
berbagai cara: menerima, menyangkal, menarik diri, dan depresi adalah reaksi
yang umum.
2.2.6. Konsep Diri Pada Pasien TB paru
Masalah psikososial adalah salah satu rintangan yang mempengaruhi
keberhasilan penderita TB dalam menjalani terapi. Stigma, isolasi dan
diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB menyebabkan
penurunan harga diri. Hal ini merupakan perbedaan penyakit TB dari penyakit
kronis lainnya.
Raynel (2010) dalam penelitiannya mengenai gambaran konsep diri pada
penderita TB paru menunjukkan sebesar 56,8% memiliki gambaran diri negatif,
54,1% memiliki ideal diri negatif, 51,4% memiliki harga diri tinggi, 54,1%
Penurunan harga diri karena penyakit menyebabkan hilangnya kepercayaan diri,
hubungan sosial yang memburuk dan menyerah untuk berjuang melawan
penyakit. Pengangguran dan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan, efek
pada status ekonomi pasien, tidak memiliki harapan untuk sembuh, perubahan
dalam keluarga dan hubungan sosial dan tidak memiliki dukungan sosial
menurunkan harga diri pasien (Erdem & Tasci, 2003).
2.3. Kepatuhan
2.3.1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan pengobatan adalah pasien mengikuti pengobatan yang
direkomendasikan dengan meminum seluruh obat yang diresepkan selama
panjangnya waktu yang dibutuhkan. Kepatuhan penting karena TB hampir selalu
teratasi jika pasien patuh terhadap regimen pengobatan TB (Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 1999).
Ketidakpatuhan adalah ketidakmampuan pasien atau penolakan untuk
mengkonsumsi obat sesuai dengan resep. Ketika pengobatan medis sulit dan
berakhir untuk waktu yang lama, seperti pengobatan pada penyakit TB, pasien
selalu tidak mengkonsumsi bat mereka sesuai instruksi. Perilaku ini adalah salah
satu masalah terbesar dalam pengendalian TB dan dapat mengarah pada
konsekuensi yang serius. Pasien yang tidak patuh dapat menyebarkan ke orang
lain, tetap sakit untuk waktu yang lebih lama atau memiliki penyakit yang lebih
berat, mengembangkan dan menyebarkan resristensi obat TB, dan meninggal
2.3.2. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Banyak alasan mengapa seseorang terhambat dalam memenuhi regimen
pengobatan TB paru.
a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al. (2012) menunjukkan bahwa usia
berhubungan dengan kepatuhan terapi. Kelompok pasien umur 25 tahun ke bawah
lebih patuh dari kelompok pasien yang berumur 35-44 tahun (OR: 0,77; 95% CI:
0,99; p<0,049). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anyaike et al.
(2013) yang dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan signifikan atara usia
dengan kepatuhan terapi pasien TB (p=0.0165).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello & Itiola (2010) dengan
menggunakan uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844). Hal ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Anyaike et al. (2013) yang mendapatkan bahwa ada
hubungan antara kurangnya uang transportasi dengan kepatuhan pasien
(p=0.0001).
b. Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan ole Mkopi, et al (2012) menunjukkan bahwa jenis
kelamin dan usia berhubungan dengan kepatuhan terapi. Pasien perempuan lebih
patuh 2 kali dibanding dengan pasien laki-laki (OR= 2,04; 95% CI: 1.24-3,02; p =
0.003). Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan
c. Dukungan Sosial
Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan
signifikan antara dukungan teman dan keluarga dan kepatuhan pasien (p=0.042).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solarte & Barona (2008) yang
mendapatkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan signifikan dengan
kepatuhan penderita TB adalah kurangnya dukungan keluarga.
d. Pasien tidak lagi merasa sakit
Ketika pasien tidak lagi merasa sakit, pasien selalu berpikir tidak mengapa
jika tidak melanjutkan konsumsi obat TB. Gejala TB dapat bertambah baik secara
dramatis selama fase awal pengobatan (8 minggu pertama) (CDC, 1999).
Anyaike et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan ada hubungan
signifikan antara perasaan membaik dan tidak ingin melanjutkan terapi serta
merasa sakit dan depresi juga memiliki hubungan dengan kepatuhan (p=0.0001).
e. Kurangnya pengetahuan
Pasien terkadang tidak mengerti secara penuh mengenai regimen pengobatan,
atau alasan durasi pengobatan TB yang panjang. Kurangnya pengetahuan dapat
menyebabkan ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk memenuhi
regimen (CDC, 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor
yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah tidak sekolah sebanyak 39%
yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya terapi
dibawah pengawasan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bello &
kepatuhan pengobatan pasien. Lebih lanjut dengan menggunakan uji chi square
didapatkan bahwa edukasi berhubungan signifikan dengan kepatuhan (p=0,001).
Zhou, et al. (2012) dalam penelitiannya juga mendapatkan bahwa pasien yang
tidak patuh tidak mengetahui TB sebelum diagnosa (P=0.05) dan tidak mendapat
edukasi TB terkait kesehatan sebelum terapi (p=0.01). Lebih lanjut, dengan
menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan edukasi
kesehatan terkait TB sebelum terapi adalah faktor yang berhubungan secara
signifikan dengan kepatuhan pasien.
f. Nilai personal dan budaya
Beberapa pasien memiliki kepercayaan personal dan budaya yang kuat
mengenai penyakit TB, bagaimana pengobatannya, dan siapa yang dapat dicari
untuk pertolongan. Ketika pengobatan TB bertentangan dengan keyakinan, pasien
menjadi takut, cemas, atau terasing dari orang yang memberikan pelayanan
kesehatan pada pasien, seperti dokter, asisten dokter dan perawat) (CDC, 1999).
g. Kurangnya keterampilan
Pasien-pasien khusus memiliki keterampilan yang kurang untuk mengikuti
instruksi dan patuh terhadap regimen yang diresepkan. Pasien lansia dengan
keterbatasan mobilitas, pasien dengan penyalahgunaan obat atau masalah
kesehatan mental, dan anak muda yang berisiko memiliki masalah untuk
h. Kurangnya akses pada pelayanan kesehatan
Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehtan dapat menjadi hambatan yang
signifikan terhadap keberhasilan pemenuhan regimen TB. Usaha khusus harus
dibuat untuk menjangkau dan memberikan pelayanan bagi pasien yang tidak
memiliki alamat tetap dan alat transportasi. Pasien yang bekerja kemungkinan
memiliki jadwal kerja yang bertentangan dengan jam klinik (CDC, 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gopi et al. (2007) didapatkan faktor
yang berhubungan dengan ketidakpatuhan adalah kesulitan mengakses fasilitas
kesehatan sebanyak 57% karena kurangnya keuangan dan jarak dari tempat
tinggal pasien ke fasilitas kesehatan dan pusat DOT swasta (43%). Sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nezenega, Gacho & Tafere (2013) dengan
menggunakan analisis multivariat didapatkan area tempat tinggal, waktu bersama
tim kesehatan, kemudahan menjangkau, waktu tunggu, pelayanan profesional dam
semua kepuasan pasien berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan terapi
TB ( p < 0,05).
i. Hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan
Beberapa pasien memiliki hubungan yang buruk dengan petugas kesehatan.
Ketika pasien dan petugas kesehatan gagal untuk membangun hubungan saling
percaya, kurangnya hubungan dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, Jika pasien
percaya atau merasa nyaman dengan perugas kesehatan, mereka lebih mengikut
intruksi dan nasehat dan mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan (CDC,
j. Motivasi yang rendah
Pasien mungkin memiliki motivasi yang rendah untuk patuh terhadap
regimen TB. Jika pasien memiliki banyak prioritas yang bersaing dalam hidupnya
seperti penyalahgunaan obat, tuna wisma, penyakit lain (cth. HIV), konsumsi obat
TB mungkin tidak menjadi prioritas bagi pasien (CDC, 1999).
2.3.4. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru
Penelitian yang dilakukan oleh Gopi et.al (2007) didapatkan dari 1666
partisipan yang diwawancarai, 1108 (67%) patuh dan 558 (33%) tidak patuh. Hal
yang sama didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mkopi, et al (2012)
yang mendapatkan dari 645 pasien yang diuji, 617 pasien (95,7%; 90% CI
94,3%-96,9%) menunjukkan kepatuhan terhadap terapi TB. Dari 617 pasien yang patuh,
563 (91,2%) melengkapi terapi dengan lengkap, 19 (3,1%) meninggal, 6 (1,0 %)
dipindahkan dari tempat penelitian. Solarte & Barona (2008) juga mendapatkan
dari seluruh responden, kelengkapan terapi dicapai oleh 65,6 % pasien.
Bello & Itiola (2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas
pasien (94,6%) patuh terhadap pengobatannya. Dengan uji regresi parsial
didapatkan ada pengaruh positif dari konseling terhadap kepatuhan pengobatan
pasien. Pada uji chi square didapatkan bahwa usia tidak memiliki hubungan yang signifikan degan kepatuhan (p=0,844) dan edukasi berhubungan signifikan
dengan kepatuhan (p-0,001).
Penelitian yang dilakukan oleh Nezenega et al. (2013) didapatkan hanya 26%
dari responden memiliki kepatuhan yang buruk terhadap terapi mereka. Shargie &
menjalani terapi, 310 (77%) melengkapi terapi dengan sukses, sementara sisanya
meninggal, pindah dari tempat penelitian. Jakubowiak, Bogorodskaya, Borisov,
Danilova & Kourbatova (2008) juga mendapatkan angka kegagalan pasien dalam
menjalani terapi 4,6 %. Frekuensi terhentinya terapi 63% pada pasien yang gagal
and 36% pada pasien yang terapi dengan sukses. Terhentinya terapi selama fase
intensif dan 30% pada pasien yang gagal dan 45% pada hasil yang berhasil.
Boogaard, Lyimo, Boeree, Kibikib & Aarnoutsec (2011) dalam penelitiannya juga
mendapatkan rata-rata angka kepatuhan pada populasi yang diteliti adalah 96.3%
(standard deviation, SD: 7.7). Kepatuhan kurang dari 100% pada 70% dari pasien,
kurang dari 95% pada 21% pasien, dan kurang dari 80% pada 2%.
Anyaike et al. (2013) mendapatkan lebih dari dua pertiga (76,5%) responden
mengkonsumsi obat antara 3-6 bulan dengan rata-rata durasi 5,4 bulan,
(SD=±1.8). Penelitian juga mendapatkan bahwa 80.5% pasien tidak meliupakan
pengobatannya dalam 3 bulan terakhir, dan 10,4 % lupa dengan pengobatannya.
Dari yang lupa meminum obatnya, 42,5 % lupa karena bepergian, 21,7% merasa
sakit dan depresi. 34% lupa karena mereka meminum obat di rumah dan 5,6 %
lupa karena merasa lebih baik dan tidak melanjutkan pengobatan. Alasan lain
yang diberikan adalah: tidak ada uang untuk transportasi, menghindari efek
samping obat, lupa, tidak ingin dilihat di klinik ketika mengambil obat, dan tidak
dapat mengambil obat karena liburan pemerintah yang tidak terjadwal.
2.4. Landasan Teori
digambarkan sebagai keseluruhan dengan fungsi satu untuk beberapa tujuan.
Sistem manusia mencakup manusia sebagai individu atau kelompok termasuk
keluarga, organisasi, komunitas dan sosial sebagai keseluruhan. Roy
mendefinisikan manusia sebagai fokus utama dalam keperawatan, penerima
asuhan keperawatan, sistem kehidupan kompleks dan adaptif dengan proses
internal (kognator dan regulator), bertindak untuk memelihara adaptasi pada
empat mode adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi).
Lingkungan adalah segala kondisi, keadaan dan pengaruh di sekeliling dan
mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari anggota kelompok, dengan
perhatian khusus dari kebersamaan manusia dan sumber bumi yang mencakup
stimulus fokal, kontekstual dan residual. Ini adalah perubahan lingkungan yang
menstimulus orang tersebut untuk membuat respon adaptif. Lingkungan adalah
masukan bagi seseorang sebagai sistem adaptasi termasuk faktor internal dan
eksternal. Faktor tersebut bisa jadi kecil atau besar, negatif atau positif. Perilaku
yang menunjukkan adaptasi dapat dilihat dari empat model adaptasi yang meliputi
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Roy, 1999).
Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan dan perasaan yang seseorang
pegang mengenai dirinya pada suatu waktu; dibentuk dari persepsi internal dan
reaksi terhadap persepsi orang lain. Pengalaman individu dan interpretasi dari
lingkungan membentuk persepsi diri. Oleh karena itu, perasaan yang diterima oleh
karena penyakit dan pengobatan dapat mempengaruhi konsep diri dan perilaku
Dalam penelitian ini hal yang menjadi stimulus bagi pasien adalah penyakit
TB paru dan regimen terapi dalam pengobatan TB paru. Modus adaptasi yang
akan diteliti adalah konsep diri. Penyakit TB paru yang diderita pasien
mendatangkan stigma, isolasi dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat
terhadap pasien TB paru sehingga menyebabkan penurunan harga diri. Semua
pandangan eksternal yang didapatkan dari lingkungan mempengaruhi konsep diri
penderita TB paru.
Pasien TB paru menggunakan proses kognitif yang disaring oleh konsep diri
untuk menginterpretasikan regimen pengobatan TB paru sebagai ancaman atau
tantangan. Pasien akan menggunakan proses berpikir kognitif sadar dan tidak
sadar untuk mengevaluasi pengalaman dalam menamakan, mengklarifikasi,
mendefinisikan, dan memulai respon perilaku. Untuk tujuan penelitian ini,
persepsi kognitif digunakan untuk menggambarkan proses yang digunakan
seseorang untuk menginterpretasikan stimulus baik sebagai ancaman atau
tantangan untuk konsep diri mereka. Ketika sesuatu diterima sebagai ancaman
untuk diri, hal tersebut akan menyebabkan kecemasan. Orang akan berusaha
untuk meringankan kecemasan dengan menggunakan respon yang berpusat pada
emosional seperti mendefinisikan kembali situasi, menolak, atau menghindari
stress pada situasi tersebut yang melindungi harga diri. Meskipun proteksi
terhadap konsep diri baik, ketidakpatuhan terhadap pengobatan terjadi, yang
menyebabkan memburuknya adaptasi fisik. Meskipun respon berpusat pada
dengan cara yang bermanfaat, hal tersebut dapat menjadi cara mempertahankan
harapan, optimisme, atau harga diri, yang dapat bermanfaat dalam beberapa hal.
Individu dapat juga menerima stimulus sebagai tantangan. Persepsi sebagai
tantangan terjadi ketika penambahan dan pertumbuhan potensial diantisipasi dan
menghasilkan kegembiraan. Stresor yang dianggap sebagai tantangan terhadap
adaptasi menyebabkan respon penyelesaian masalah. Respon berpusat pada
masalah menggunakan strategi penyelesaian masalah mengatur lingkungan dan
diri. Usaha individu menggunakan respon berpusat pada masalah mengatur ke
arah mendefinisikan masalah, menghasilkan alternatif solusi, mempertimbangkan
alternatif dalam hal biaya dan keuntungan, memilih solusi dan bertindak.
Mengubah tekanan lingkungan, penghambat, sumber, dan prosedur adalah cara
penyelesaian masalah (Roy, 1999).
Dalam penelitian ini, ketika pasien menerima penyakit TB paru dan
pengobatannya sebagai suatu ancaman terhadap dirinya, hal tersebut akan
menyebabkan kecemasan. Pasien akan berusaha untuk meringankan kecemasan
dengan menggunakan respon yang berpusat pada emosional seperti
mendefinisikan kembali situasi, menolak, menghindari, atau mendevaluasikan
penyakit dan pengobatan untuk melindungi harga diri. Salah satu cara adalah
dengan tidak mengikuti regimen pengobatan yang dianjurkan. Hal ini dapat
berdampak terhadap memburuknya adaptasi fisik. Sebaliknya ketika individu
menerima penyakit TB paru dan pengobatannya sebagai suatu tantangan maka
mengatur lingkungan dan dirinya. Pasien akan mamatuhi regimen pengobatan
sehingga kondisi fisik membaik.
Ancaman dan tantangan dapat terjadi secara simultan meskipun satu atau
lainnya biasanya didominasi. Dalam penelitian ini konsep diri pada pasien TB
paru diukur menggunakan kuisioner yang dikembangkan sendiri oleh peneliti
berdasarkan teori adaptasi Roy.
Roy mengatakan bahwa keperawatan memiliki tujuan khusus untuk
membantu usaha adaptasi seseorang dengan mengatur lingkungan. Hal ini
dilakukan dengan melakukan 6 tahap proses keperawatan yang meliputi
pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan, intervensi dan evaluasi. Intervensi keperawatan berfokus pada pengaturan
stimulus lingkungan dengan “mengubah, meningkatkan, mengurangi,
memindahkan, atau mempertahankannya.
2.5. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan konsep diri dengan
kepatuhan pasien TB paru dalam menjalani pengobatan di Rumah Sakit Grand
Medistra Lubuk Pakam. Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah konsep diri dan variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Kerangka konsep penelitian ini digambarkan
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Korelasi Konsep diri dengan Kepatuhan pasien TB Paru dalam Menjalani Pengobatan